Berkembangnya dunia usaha atau bisnis saat ini, merupakan dampak perubahan
global, yang menyebabkan organisasi yang berjalan saat ini harus memperhatikan
perubahan-perubahan yang berlangsung. Terutama dalam pembangunan Indonesia,
menuju Indonesia yang maju dan sejahtera. Salah satu organisasi yang menjadi sumber
pendorong pembangunan yaitu perusahaan. Perusahaan memiliki beberapa fungsi
operasional yang terdiri dari fungsi pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia,
keuangan , dan produksi. Fungsi keuangan merupakan bidang yang sangat luas dan
dinamis. Bidang ini juga merupakan bagian penting dalam kegiatan perusahaan. Sumber
daya yang dimiliki perusahaan untuk dikelola selain sumber daya manusia adalah sumber
pendanaan, yaitu sumber daya yang berupa pendanaan untuk mendukung aktivitas
perusahaan secara langsung akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Manajemen
Keuangan merupakan seni dan ilmu dalam mengelola uang. Ilmu keuangan
memperhatikan dua hal pokok yaitu penilaian dan pengambilan keputusan. Ilmu
keuangan dapat dibagi menjadi tiga bagian , pertama keuangan perusahaan atau corporate
finance , investasi atau investment, dan pasar keuangan & perantara atau financial market
and intermediaries.
Pembagian fokus keuangan pada perusahaan yang dikenal dengan Corporate
Finance atau keuangan perusahaan adalah bidang keuangan yang berhubungan dengan
operasi suatu perusahaan, kemudian dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak
diistilahkan dengan manajemen keuangan. Manajemen Keuangan dalam perusahaan
dapat diartikan sebagai gabungan seni dan pengetahuan yang dilakukan oleh manajer
keuangan untuk menggunakan dana yang dimiliki oleh perusahaan dan mendapatkan
dana untuk membiayai kegiatan perusahaan. Manajer keuangan dibantu oleh dua staf
yaitu bagian pencatatan atau dikenal dengan controller dan staf lainnya atau treasurer.
Tempat untuk mendapatkan dana disebut dengan pasar keuangan, yang terdiri dari pasar
1
modal dan pasar uang. Pasar keuangan yang mencukupi kegiatan perusahaan pada
dasarnya bisa bersipat sektor formal atau sektor informal.
Pengelolaan keuangan atau Manajemen keuangan berhubungan dengan masalah
perencanaan , analisis dan pengendalian kegiatan keuangan perusahaan. Mereka yang
melakukan aktivitas tersebut diatas dikenal dengan sebutan Manajer Keuangan. Secara
skematis kegiatan manajer keuangan dapat digambarkan sebagai berikut :
1
2
Manajer Keuangan
Aktiva Perusahaan 4b Pasar Keuangan
3 4a
Seorang Manajer Keuangan perlu mendapatkan dana dari pasar keuangan atau
financial market (lihat panah 1). Dana yang diperoleh kemudian diinvestasikan pada
berbagai aktiva (aktiva lancar dan aktiva tetap) untuk mendanai kegaiatan perusahaan
(lihat panah 2). Kegiatan perusahaan bertujuan untuk memperoleh hasil atau pendapatan
yang lebih besar dibandingkan dengan biaya (lihat panah 3). Laba yang merupakan
selisih antara pendapatan dengan biaya perlu diputuskan untuk ke pemilik dana (lihat
panah 4a), atau diinvestasikan kembali ke perusahaan (lihat panah 4b).
Dalam skema diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga keputusan yang harus
diputuskan oleh manajer keuangan meliputi :
1. Penggunaan Dana sebagai keputusan investasi
2. Memperoleh dana sebagai keputusan pendanaan atau pembiayaan
3. Pembagian laba atau dikenal sebagai kebijakan dividen.
Faktor produksi yang dikenal dalam kegiatan perusahaan salah satunya adalah dana atau
modal , bagian yang mengelola dana atau modal adalah bagian atau departemen
keuangan, yang memiliki hubungan dengan bentuk perusahaan seperti dibahas dibawah
ini :
Secara umum terdapat tiga bentuk usaha yang biasanya terjadi dalam kegiatan sehari-hari
adalah sebagai berikut :
1) Perusahaan perseorangan (Sole Proprietorship), merupakan bentuk usaha yang paling
terkecil atau bentuk awal dari setiap usaha. Biasanya sumber dana berasal dari pemilik
usaha dan masih terbatas.
2) Persekutuan (Partnership), merupakan bentuk usaha dalam bentuk kerjasama antara
yang berbagai partner , besarnya dana akan bertambah besar .
3) Perseroan Terbatas (Corporation), bila bentuk usaha adalah PT keuntungannya:
(a) Tanggung jawab terhadap hutang perusahaan yang terbatas dari pemegang saham
(pemilik perusahaan) yaitu sebesar modal yang disetor
(b) Usia perusahaan tidak terbatas
(c) Pemindahan kepemilikan yang mudah dengan cara menjual saham di bursa efek
(d) Lebih mudah mengumpulkan dana dalam jumlah besar
(e) Lebih mudah memperoleh manajemen yang profesional
Lembaga dan mekanisme yang memungkinkan terciptanya aliran dana dari pihak yang
memiliki dana berlebih (surplus) kepada pihak yang memerlukan dana dimana proses
pemindahan dana secara cepat dan paling efisien disebut pasar keuangan, pedoman yang
perlu diperhatikan bagi seorang Manajer Keuangan dalam pengelolaan dana yang baik
dalam perusahaan yaitu harus mengelola dana secara konservatif. Di sini dituntut disiplin
dalam penggunaan dana yaitu sumber dana jangka panjang dan setoran modal harus
digunakan untuk penggunaan /investasi dan jangka panjang juga seperti untuk pembelian
tanah, pembuatan bangunan kantor dan pabrik, pembelian mesin produksi, dan untuk
ekspansi usaha.
Sedangkan sumber dana jangka pendek hanya digunakan bagi penggunaan dana dalam
operasional perusahaan yang bersifat jangka pendek pula (untuk modal kerja). Yang
paling fatal dan tidak boleh dilakukan adalah sumber dana jangka pendek seperti:
pinjaman modal kerja dari bank digunakan untuk penggunaan/investasi jangka panjang
karena hal ini akan sangat mengganggu likuiditas perusahaan.
Sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 Perusahaan Efek terdiri
dari:
a. Penjamin Emisi Efek (Underwriter)
b. Perantara Pedagang Efek (Broker dan Dealer)
c. Manajer Investasi (Fund Manager)
Menteri Keuangan
Selanjutnya BEJ yang berdiri sejak 1912, pada tahun 2007, tepatnya 1 Desember 2007
digabung dengan BES , menjadi Bursa Efek Indonesia atau dikenal dengan nama BEI.
Sedangkan Bapepam sejak 2011 dialihkan kegiatan kepada OJK atau Otoritas Jasa
Keuangan Indonesia. Pada kegiatan utama BEI dan OJK hampir melakukan kegiatan
yang sama dengan yang dijelaskan sebelumnya.
14
Perantara pedagang efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli efek
untuk kepentingan sendiri atau pihak lain (Undang undang No. 8/1995 tentang pasar
modal)
d.Bank Kustodian
Peranan kustodian adalah melindungi harta nasabah yang disimpannya, atas nama
nasabah, mengurus hak-hak yang melekat pada harta nasabah tersebut, dan menjalankan
tugas berdasarkan perjanjian yang telah ditandatangani bersama dengan nasabah.
e.Wali Amanat
Wali Amanat mewakili dan melindungi kepentingan para pemegang obligasi sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam akte perjanjian perwaliamanatan dengan emiten,
menilai dan mengawasi jaminan yang diberikan emiten.
f.Penanggung (Guarantor)
Peranan penanggung diperlukan dalam emisi obligasi. Kehadiran penanggung
mutlak diperlukan apabila perbandingan antara hutang termasuk obligasi yang
diterbitkan dengan total aktiva emiten melebihi 80%. Oleh karena jaminan yang
diberikan oleh penanggung adalah bersifat pribadi, maka bonafiditasnya sangat
diperlukan. Dalam peraturan pasar modal, jaminan garansi hanya dapat diberikan oleh
lembaga keuangan bukan bank dan bank yang telah memperoleh ijin dari Menteri
Keuangan. Sesuai dengan fungsinya, penanggung memberikan jaminan kepada para
pemegang obligasi (kreditur) untuk membayar pokok pinjaman dan bunga obligasi
apabila emiten tidak dapat memenuhi kewajibannya atau cedera janji.
g.Akuntan Publik
Akuntan Publik memeriksa laporan keuangan perusahaan sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterapkan secara konsisten, bersifat independen dan
tidak memihak dalam pelaksanaan pekerjaannya serta memberikan pernyataan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar (unqualified opinion)
h.Konsultan Hukum
Konsultan Hukum menyatakan pendapatnya tentang keadaan perusahaan dari segi hukum
seperti keabsahan kekayaan perusahaan, kelengkapan perijinan, kasus-kasus tuntutan
hokum terhadap perusahaan yang mungkin ada dan lain-lain.
i.Penilai (Appraisal)
Penilai melakukan penilaian terhadap kekayaan sebenarnya dari perusahan yang go
public berdasarkan nilai wajar.
j.Notaris
Notaris membantu membuatkan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perusahaan
seperti akte perusahaan, anggaran dasar, perjanjian penjaminan emisi antara perusahaan
dan penjamin emisi.
k.Pasar Perdana
Penawaran surat berharga oleh penjamin emisi dibantu oleh broker pertama kali dibeli
oleh kumpulan individu dan lembaga investasi.
l.Pasar Sekunder
Transaksi surat berharga yang terjadi di pasar modal yang tidak akan mempengaruhi
posisi keuangan perusahaan Transaksi antar investor Capital Gain (terutama).
Pengaruhnya hanya pada: Komposisi kepemilikan saham perusahaan.
Dep
Teknis
BKPM
Dep. - Pernyt. Pendaftaran
- Anggaran Dasar
- Susunan Organisasi BAPEPAM
EMITEN Penjamin Emisi - Izin Usaha Pemeriksaa
- Rancangan Propektus n dan
- Rancangan Perjanjian Evaluasi
LEMBAGA PENUNJANG
Notaris
PASAR PERDANA
- Penyebaran Prospektus
Valuer/Appraisal
- Iklan Ringkasan IZIN EMISI
Akuntan Publik
- Prospektus
Konsultan Huku
- Penawaran Umum
Agen Penjualan
- Penjatahan
- Laporan Pasar Perdana
- Listing
Sesuai dengan perubahan yang ada sejak 2011, Bapepam diganti fungsinya oleh Otoritas
Jasa Keuangan Indonesia (OJK).
Menurut Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1990 tanggal 10 Nopember 1990 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 tentang Pasar Modal
tanggal 4 Desember 1990, definisi efek adalah setiap surat pengakuan hutang, surat
berharga komersial, saham obligasi sekuritas kredit, tanda bukti hutang, setiap rights,
warrant, opsi atau setiap turunan/derivatif dari efek, atau setiap instrument yang
ditetapkan oleh BAPEPAM.
Ad. a. Saham
Saham adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaaan yang berbentuk
perseroan terbatas atau yang biasa disebut emiten. Saham menyatakan bahwa
pemilik saham tersebut juga pemilik sebagian dari perusahaan itu. Dengan demikian
kalau seorang investor membeli saham, maka dia juga menjadi pemilik/pemegang saham
perusahaan. Saham ada dua macam yaitu saham atas nama dan saham atas tunjuk. Pada
saat ini saham-saham yang diperdagangkan di bursa efek adalah saham atas nama, yaitu
saham yang nama pemilik saham tertera di atas saham tersebut
Ad. b. Obligasi
Obligasi merupa kan suatu surat pengakuan hutang atas pinjaman yang diterima oleh
perusahaan penerbit obligasi dari masyarakat, jangka waktu obligasi telah ditetapkan dan
disertai dengan pemberian imbalan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya juga
telah ditetapkan dalam perjanjian. Obligasi ini dapat diterbitkan oleh Negara seperti yang
sekarang kita kenal dengan Surat Utang Negara (SUN), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), misalnya obligasi yang diterbitkan PT. JASA MARGA, dan perusahaan swasta
seperti PT. ASTRA INTERNASIONAL.
Obligasi konversi adalah bukti hutang suatu perusahaan yang mengandung janji
pembayaran bunga dan dapat dituka r dengan saham biasa perusahaan dengan harga
dan jangka waktu yang ditentukan.
Ad.d. Waran
Menurut peraturan BAPEPAM, waran adalah efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga tertentu untuk enam bulan atau lebih. Waran memiliki
karakteristik opsi yang hampir sama dengan Sertifikat Bukti Right (SBR), dengan
perbedaan utama antara lain pada jangka waktu SBR merupakan instrumen jangka
pendek (umumnya umur SBR kurang dari 6 bulan), sedang waran adalah jangka panjang
(umumnya umur waran antara 6 bulan hingga 5 tahun).
Salah satu sumber penerimaan negara yang biasanya terlihat pada Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara adalah pajak yang digunakan untuk mendukung
pembangunan nasional dari tahun ke tahun bagi kepentingan bersama. Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan jasa timbale (kontra prestasi) yang berlangsung dapat ditunjukkan dan
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Soal Essay.
1. Jelaskan definisi dari keuangan, major area-nya dan opportunity yang tersedia , dan bentuk
legal dari organisasi bisnis.
2. Jelaskan fungsi manajemen keuangan dan hubungan antara economics dan accounting.
FVn = PV (1+k)n
dimana:
FVn = Future Value periode ke n
PV = present value
k = suku bunga
n = periode penggandaan/compounding
Untuk memudahkan menghitung future value , maka factor (1+k) n dapat dihitung
menggunakan tabel Future Value Interest Factor atau Tabel FVIF . Nilai (1+k) n
adalah future value Interest factor (FVIF).
1
2
.
.
.
5 1,0927
Contoh:
Asep mendepositokan uang sebesar Rp 1 juta ke salah satu bank yang menghasilkan suatu
tingkat bunga 10% per tahun. Tingkat bunga ini tetap selama 3 tahun. Diasumsikan pula Asep
bahwa deposito yang dilakukan dengan roll over. Berapa uang Asep 3 tahun mendatang?
Jawab:
0,1 0,1 0,1
0 1 2 3
1 juta FV-3 = ?
Present Value adalah nilai rupiah saat ini , nilai rupiah saat ini lebih tinggi
dibanding rupiah yang akan diterima besok, karena nilai rupiah saat ini bisa
diinvestasikan untuk memperoleh nilai dimasa yang akan datang. Perhitungan dengan
istilah didiskon, dan tingkat diskon sering dikenal dengan istilah discount rate, required
return, dan cost of capital. Present value adalah kebalikan dari future Value. Proses
mencari present value disebut sebagai melakukan proses diskonto (discounting). Present
value dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari suatu nilai yang akan diterima atau
dibayar dimasa mendatang.
Discounting adalah proses menghitung nilai sekarang dari sejumlah uang yang akan
diterima/dibayar dimasa mendatang. Rumus menghitung present value:
Nilai adalah Present Value Interest Factor (PVIF) yang nilainya dapat dicari
dengan bantuan table PVIF.
PV = FVn . (PVIF)
Contoh penggunaan tabel PVIF:
3 0,7513
Contoh:
Perusahaan harus membayar pokok pinjaman sebesar Rp 100 juta, pada 3 tahun
mendatang. Berapa present value dari pembayaran tersebut jika diasumsikan
opportunity cost atau tingkat keuntungan pada investasi perusahaan adalah 10% dan
suku bunga ini tetap selama 3 tahun mendatang.
Jawab:
PV = FV-3/(1+k)3
= 100.000.000/(1+0,1)3
= 75.130.000
atau menggunakan bantuan tabel A-1:
PV = FV-3 (PVIF), 10%,3)
= 100.000.000 (0,7513)
= 75.130.000
2.3. Annuitas
Jika penerimaan atau pembayaran terjadi pada akhir setiap periode, annuitasnya disebut
annuitas biasa (ordinary of deferred annuity)
PVA FVAn
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
x x x x x
x = penerimaan/pembayaran
dimana:
FVAn = Future Value Annuity ordinary
PMT = penerimaan/pembayaran
k = suku bunga
n = periode waktu
Contoh:
Selama 3 tahun berturut-turut sejak tahun ini (t=0) perusahaan menerima pembayaran bunga
sebesar Rp 1 juta. Berapa future value dari rangkaian pembayaran ini jika diasumsikan: (1)
opportunity cost perusahaan 10%, (2) pembayaran bunga dilakukan pada akhir tahun?
0 1 2 3
1 juta 1 juta 1 juta
FVA = ?
= FV (10%,3,1 juta)
= FV (10%,3,1 juta, 1)
Contoh:
Melanjutkan soal future value annuity di depan. Dengan data yang sama kecuali
opportunity cost diganti menjadi 15%, hitunglah present value dari sejumlah
penerimaan pembayaran bunga tersebut?
Jawab:
0,15 0,15 0,15
0 1 2 3
PVA 1 juta 1 juta 1 juta
Jika penerimaan atau pembayaran terjadi pada awal setiap periode, annuitasnya disebut
annuity due.
dan
PVA(due) = PMT . (PVIFA, k, n)
Contoh:
Melanjutkan kedua soal di depan tetapi diasumsikan bahwa penerimaan pembayaran
bunga dilakukan pada awal tahun.
2.4. Perpetuity
Kondisi akan berbeda bila ada pembayaran selama-lamanya atau dikenal dengan
perpetuity, yaitu suatu annuitas yang berlangsung sampai periode waktu tak
terhingga. Dengan demikian pembayaran (PMT) dari suatu perpetuity adalah tak
terhingga jumlahnya.
PV (perpetuity) = PMT/k
dimana:
PMT = payment
k = suku bunga atau tingkat diskonto
Perlu dicatat bahwa PMT dan k harus sama periode waktunya. Jika PMT setiap tahunan, k
juga suku bunga per tahun. Jika PMT setiap bulanan, k harus suku bunga per bulan.
Contoh:
Pak Andito menerima royalty buku karangannya sebesar 1 juta per tahun. Diasumsikan
penerimaan ini tetap dan berlangsung terus hingga turun temurun (buku ini laku terus
sepanjang masa). Berapa present value dari royalty buku ini jika opportunity cost pak Andito
10% dan tidak berubah sepanjang masa?
Jawab:
Royalti buku bersifat tak terhingga dan jumlahnya tetap. Ini merupakan ciri-ciri perpetuitas.
PV = PMT/k
= 1.000.000/0,1
= 10.000.000
Bunga majemuk atau compounding dan discounting tidak selalu tahunan, tapi bisa
harian, mingguan, bulanan atau tengah tahunan. Semakin singkat periode compounding,
semakin menguntungkan penabung atau investor karena bunga segera diterima dan dapat
diinvestasikan kembali. Dengan demikian, untuk bunga yang sama, misalnya sebesar
10%, tabungan yang menawarkan bunga yang dibayar harian akan lebih menarik
daripada tabungan bunga yang dibayar bulanan. Untuk periode compounding/discounting
yang tidak tahunan perlu suatu modifikasi.
FVn = PV (1 + kNom/m)m.n
dimana:
knom = suku bunga nominal/tahun
m = berapa kali bunga dibayar dalam 1 tahun
n = periode (dalam tahun)
Dengan bantuan tabel, k = kNom/m
n = m.n
Untuk present value:
PV =
Contoh:
Amirudin menabung Rp 1 juta dengan bunga 10% per tahun dan tidak berubah. Bunga tidak
pernah diambil. Berapa future value dari tabungan Amirudin pada akhir tahun ke 2?
Jawab:
0,5 0,5 0,5 0,5
0 1 2
Jika sejumlah uang digandakan (compounding) atau di diskonto (discounting) secara terus
menerus (continuously):
m=
PV =
dan
FVn = V.ek.n
dimana:
e = 2,7183
k = suku bunga
n = periode
EAR = (1+kNom/m)m-1
dimana:
kNom = suku bunga pertahun
m = berapa kali dalam setahun bunga dibayar
Contoh:
Bunga tabungan 12%, bunga dibayar setiap 3 bulan
Knom = 12%
m = =4
EAR = (1 + 12%/4)4 – 1
= 12,55%
Jadi investor sebenarnya menikmati bunga tahunan 12,55%, bukan 12%.
Contoh:
Asep membayar uang Rp 1 juta bila dibayar tunai untuk pembayaran rumah yang akan
dibelinya, bila menggunakan KPR (kredit pemilikan rumah) sebuah bank dan harus
membayar bunga 6% per tahun, dimana bunga dihitung dari saldo utangnya (utang yang
masih tersisa). Asep mengangsur pembayaran bunga serta pokok pinjaman sebesar Rp x
setiap tahun selama 3 tahun. Angsuran pertama dilakukan tahun mendatang. Berapakah x?
Jawab:
PVA = 1.000.000
PMT = VA/PVIFA, 6%,3
= 1.000.000/2,6730
= 374.110
Dengan program Excel , digunakan rumus:
= PMT (6%, 3, 1)
Setiap pembayaran digunakan sebagian untuk membayar bunga dan sebagianlagi untuk
mengembalikan pokok pinjaman. Pemecahan ini dikembangkan dalam suatu jadual
amortisasi hutang (loan amortization schedule).
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya, kita dapat membuat skedul amortisasi sebagai berikut:
oo0oo
2.7. Latihan Time Value of Money
Soal Essay
1. Calculate the future value of $4,600 received today if it is deposited at 9 percent for three
years/.
3. Jeanie has deposited $33,000 today in an account which will earn 10 percent annually. She
plans to leave the funds in this account for seven years earning interest. If the goal of this
deposit is to cover a future obligation of $65,000, what recommendation would you make
to Jeanie?
4. EcoSystems, Inc. is preparing a five-year plan. Today, sales are $1,000,000. If the growth
rate in sales is projected to be 10 percent over the next five years, what will the dollar
amount of sales be in year five?
5. Fred has inherited $6,000 from the death of Barney. He would like to use this money to buy
Wilma a new rockmobile costing $7,000 for their 10th anniversary celebration which will
take place in 2 years from now. Will Fred have enough money to buy the gift if he deposits
his money in an account paying 8 percent compounded semi-annually?
6. Kay and Arthur are newlyweds and have just purchased a condominium for $70,000. Since
the condo is very small, they hope to move into a single-family house in 5 years. How
much will their condo worth in 5 years if inflation is expected to be 8 percent?
8. Calculate the future value of an annuity of $5,000 each year for eight years, deposited at 6
percent.
9. Calculate the present value of an annuity of $3,900 each year for four years, assuming an
opportunity cost of 10 percent.
10. Linda has decided to set up an account that will pay her granddaughter (Janice) $5,000 a
year indefinitely. How much should Linda deposit in an account paying 8 percent annual
interest?
11. A wealthy industrialist wishes to establish a $2,000,000 trust fund which will provide
income for his grandchild into perpetuity. He stipulates in the trust agreement that the
principal may not be distributed. The grandchild may only receive the interest earned. If the
interest rate earned on the trust is expected to be at least 7 percent in all future periods, how
much income will the grandchild receive each year?
12. Cara establishes a seven-year, 8 percent loan with a bank requiring annual end-of-year
payments of $960.43. Calculate the original principal amount.
13. A lottery administrator has just completed the state’s most recent $50 million lottery.
Receipts from lottery sales were $50 million and the payout will be $5 million at the end of
each year for 10 years. The expenses of running the lottery were $800,000. The state can
earn an annual compound rate of 8 percent on any funds invested.
(a) Calculate the gross profit to the state from this lottery.
(b) Calculate the net profit to the state from this lottery (no taxes).
14. Kimberly has just won a $20 million lottery, which will pay her $1 million at the end of
each year for 20 years. An investor has offered her $10 million for this annuity. She
estimates that she can earn 10 percent interest, compounded annually, on any amounts she
invests. She asks your advice on whether to accept or reject the offer. What will you tell
her? (Ignore Taxes)
15. Mr. Handyman has been awarded a bonus for his outstanding work. His employer offers
him a choice of a lump-sum of $5,000 today, or an annuity of $1,250 a year for the next
five years. Which option should Mr. Handyman choose if his opportunity cost is 9 percent?
16. In their meeting with their advisor, Mr. & Mrs. Smith concluded that they would need
$40,000 per year during their retirement years in order to live comfortably. They will retire
10 years from now and expect a 20-year retirement period. How much should Mr. & Mrs.
Smith deposit now in a bank account paying 9 percent to reach financial happiness during
retirement?
17. Jay is 30 years old and will retire at age 65. He will receive retirement benefits but the
benefits are not going to be enough to make a comfortable retirement life for him. Jay has
estimated that an additional $25,000 a year over his retirement benefits will allow him to
have a satisfactory life. How much should Jay deposit today in an account paying 6 percent
interest to meet his goal? Assume Jay will have 15 years of retirement.
18. You have been given a choice between two retirement policies as described below.
Policy A: You will receive equal annual payments of $10,000 beginning 35 years from now
for 10 years.
Policy B: You will receive one lump-sum of $100,000 in 40 years from now.
Which policy would you choose? Assume rate of interest is 6 percent.
19. Joie is planning to attend college when she graduates from high school 7 years from now.
She anticipates that she will need $10,000 at the beginning of each college year to pay for
tuition and fees, and have some spending money. Joie has made an arrangement with her
father to do the household chores if her dad deposits $3,500 at the end of each year for the
next 7 years in a bank account paying 8 percent interest. Will there be enough money in the
account for Joie to pay for her college expenses? Assume the rate of interest stays at 8
percent during the college years.
20. During her four years at college, Rose received the following amounts of money at the end
of each year from her grandmother. She deposited her money in a saving account paying 6
percent rate of interest. How much money will Rose have on graduation day?
Year
1 100
2 200
3 300
4 400
BAB IX
9.1 PENDAHULUAN
Manusia pada dasarnya berusaha mendapat kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.
Masa yang akan datang sulit diprediksi oleh manusia, investasi adalah kegiatan yang
keberhasilannya ditentukan dimasa yang akan datang, beberapa pendekatan telah dilakukan
untuk bisa memprediksi keberhasilan suatu investasi yang dilakukan oleh investor. Investor
hanya bisa melakukan analisis berdasar data masa lalu dilakukan prediksi dengan beberapa
tingkat ketidakpastian. Melalui analisis risiko dan tingkat pengembalian terhadap individual
asset atau portfolio asset para investor bisa melakukan prediksi terhadap hasil investasi yang
diharapkan.
Berdasarkan konteks bisnis dan keuangan, risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya
perusahaan mengalami kerugian keuangan. Real assetl atau financial asset yang memiliki
kemungkinan kerugian yang besar, berarti memiliki risiko yang besar. Risiko ada juga yang
menghubungkan dengan ketidakpastian atau variability dari suatu tingkat pengembalian pada
suatu asset.
Risiko dapat juga dibagi berdasarkan sumber risiko, seperti risiko spesifik perusahaan dapat
digolongkan kedalam risiko bisnis (business risk) dan risiko keuangan (financial risk). Risiko
spesifik pemegang saham digolongkan kedalam risiko tingkat suku bunga (interest rate risk),
risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko pasar (market risk). Sedangkan sumber risiko yang
berasal risiko pemegang saham dan perusahaan dapat digolongkan menjadi : risiko kejadian
(event risk), risiko nilai tukar (exchange rate risk), risiko daya beli (purchasing power risk),
risiko pajak (tax risk).
Return atau pengembalian merupakan hasil lebih atau kurang dari suatu investasi. Pada dasarnya
besarnya return ditentukan oleh selisih antara nilai asset pada saat diperoleh dengan nilai asset
pada saat dijual dibagi dengan nilai asset pada saat diperoleh. Berdasarkan pengalaman negara
212
maju seperti Amerika Serikat sekitar 1926 – 2003, beberapa hasil telah menunjukkan bahwa
return saham industri kecil besarnya mencapai 17,5%, sedangkan saham industri besar 12,4%.
Kerangka analisis risiko dan pengembalian sangat penting bagi seorang investor yang melakukan
investasi pada kondisi yang tidak pasti (probabilistik). Seperti diketahui, hukum atau konsep
dasar yang berlaku di bidang investasi (termasuk investasi pada aktiva finansial) adalah: semakin
tinggi tingkat pengembalian suatu investasi, semakin besar pula risikonya. Bagi investor awam,
konsep ini mungkijn bukan merupakan hal baru. Masalahnya adalah bagaimana mereka dapat
mengukur risiko suatu investasi atau himpunan investasi (portofolio). Tanpa mengetahui ukuran
risiko tersebut, sulit bagi mereka untuk menentukan tingkat pengembalian yang seharusnya ada
pada suatu investasi atau portofolio (required rate of return on investment or portfolio).
Bab ini akan membahas tentang: (1) ukuran risiko dalam konteks investasi pada aktiva finansial
berupa sekuritas (surat berharga) dan (2) hubungan antara risiko dan tingkat pengembalian pada
equilibrium menurut teori keuangan yang sangat terkenal : Capital Asset Pricing Model
(CAPM).
Terdapat beberapa definisi mengenai risiko , misalnya kata risiko dikaitkan dengan
ketidakpastian atau uncertainty , sehingga ada yang menyatakan bahwa risiko adalah
ketidakpastian yang bisa diukur. Beberapa definisi lainnya seperti menurut The American
Heritage Dictionary, risiko didefinisikan sebagai the possibility of suffering harm or loss. Dalam
konteks investasi, kondisi harm atau loss tersebut dapat berupa kondisi dimana investor
menerima pengembalian yang lebih kecil dari yang disyaratkan/diharapkan. Karena risiko timbul
dari kondisi ketidakpastian, maka untuk mengukur risiko kita harus memahami konsep distribusi
probabilitas.
Preferensi seseorang terhadap risiko dapat terbagi kedalam 3 golongan, yang pertama adalah
golongan risk averse, yaitu seseorang akan meminta tambahan return bila risiko bertambah
tinggi. Golongan kedua adalah kelompok orang yang berpandangan bahwa meningkatnya risiko
tidak harus menambah return yang akan diperoleh, sering disebut sebagai golongan risk
indeferent dan golongan terakhir yaitu golongan risk lover atau golongan yang tidak meminta
tambahan return bila risiko meningkat.
Distribusi probabllitas sering didefinisikan sebagai himpunan hasil-hasil yang mungkin terjadi
dengan probabilitas terjadinya. Untuk lebih mudah memahami konsep distribusi probabilitas ini,
disajikan contoh sebagai berikut:
Dari distribusi probabilitas tingkat pengembalian tersebut dapat kita hitung rata-rata tertimbang
dan deviasi standarnya dengan rumus:
k =k . P
Tingkat pengembalian yang diharapkan =
dimana:
k̂ = tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return)
ki= tingkat pengembalian pada kondisi i
Pi= probabilitas kondisi I terjadi
Maka tingkat pengemblian yang diharapkan (expected rate of return) pada proyek A adalah:
k = k.P
Gambar berikut ini menunjukkan distribusi keuntungan dari 2 proyek yang memiliki
expected return yang sama tetapi risiko (deviasi standar ini memiliki risiko yang lebih besar.
Probabilitas
B
A
Tingkat keuntungan (k)
Semakin besar deviasi standar, semakin bervariasi nilai k (tingkat pengembalian) dari nilai yang
diharapkan (k), dengan demikian semakin besar pula risikonya.
Untuk membandingkan total risiko dua atau lebih proyek, kita tidak menggunakan deviasi standar,
tetapi koefisien variasi atau coefficient of variation (CV)
CV =
dimana:
CV = Coefficient of variation
σ = deviasi standar dari k
k = Nilai harapan atau tingkat pengembalian yang diharapkan
CV mengukur risiko per unit tingkat pengembalian Proyek yang CV-nya lebih besar adalah proyek
yang lebih berisiko. Investor yang bijak akan memilih proyek dengan CV yang lebih rendah.
Dalam hal menghitung deviasi standar dari probabilitas pengembalian sebenarnya ada 2 cara:
ex-ante dan ex-post. Cara ex-ante artinya kita memprediksi apa yang akan terjadi di masa
mendatang tanpa menggunakan data di masa lalu. Dengan cara ini kita harus menetapkan
probabilitas dari suatu kejadian akan terjadi di masa mendatang. Cara ini telah diterangkan di
depan.
Cara ex-post adalah menghitung pengembalian yang diharapkan dan deviasi standarnya
dengan menggunakan data historis atau data di masa lalu. Dengan cara ini pengembalian
yang diharapkan dihitung dengan merata-rata tingkat pengembalian selama suatu periode
tertentu di masa lalu, atau dengan rumus:
k
Pengembalian yang diharapkan = Rata-rata pengembalian =
k = n-1
Deviasi standar
σ= (ki– k)²
n-1
Gambar berikut menunjukkan suatu distribusi probabilitas keuntungan untuk suatu portofolio
yang terdiri dari 100 sekuritas yang dihitung dengan menggunakan data dari Januari 1945 –
Juni 1970. Distribusi probabilitas ini nampak simetris dengan rata-rata sebesar 0,9% per
bulan dan deviasi standar 4,5% per bulan.
Distribution of Monthly return for a 100 security Portfolio,
January 1945-June 1970
Frequency
50 -
40 -
30 -
20 -
10 -
Studi jangka panjang yang dilakukan oleh Roger Ibbotson dan Rex Sinquedield
menunjukkan bahwa investor menerima keuntungan yang lebih tinggi untuk menanggung
risiko yang lebih besar. Mereka menggunakan data dari 1926-1988 seperti tersaji pada tabel
berikut:
Selected Performance Statistics, 1926-88
Annual Number of Number of Highest Lowest Standard
(Geometric Years Years Annual Annual Deviation
Mean Rate Returns are Returns are Return Return of Annual
Series of Return) Positive Negative (and Year) (and Year) Returns Distribution
-50% 0% 50%
Sumber: Burton G. Malkiel, A Random Walk Down Wall Street, Norton & Co
Dari tabel di atas nampak bahwa investasi yang paling berisiko adalah saham perusahaan kecil
(small company stocks), ditunjukkan dengan distribusi probabilitas keuntungan yang paling datar
dan lebar. Kemudian berturut-turut diikuti oleh saham biasa (common stocks), obligasi perusahaan
jangka panjang (longterm corporate bonds) dan obligasi pemerintah AS (Treasury bills). Ternyata
risiko yang tinggi dikompensasi dengan tingkat keuntungan yang tinggi pula. Dapat dilihat pada tabel
bahwa tingkat keuntungan untuk investasi berisiko paling tinggi hingga rendah berturut-turut:
12,3%, 10%, 5% dan 3,5%.
Teori portofolio modern berangkat dari premis bahwa semua investor adalah enggan
terhadap risiko (risk-averse). Teori ini mengajarkan bagaimana mengkombinasikan saham-
saham ke dalam suatu portofolio (kumpulan asset keuangan) untuk: (1) memperoleh
keuntungan maksimal dengan risiko tertentu, atau (2) memperoleh keuntungan tertentu
dengan risiko minimal.
Teori ini diajukan oleh Harry Markowitz dari University of Chicago pada tahun1950-an.
Markowitz menemukan fenomena sebagai berikut: jika saham-saham berisiko tinggi
disatukan dalam suatu portofolio dengan suatu cara, portofolio tersebut lebih kecil risikonya
dibandingkan dengan risiko saham secara individu.
Perhitungan matematis dari Teori Portofolio Modern ini sangat kompleks. Untungnya, teori
ini mudah dipahami, misalnya melalui ilustrasi sederhana sebagai berikut: andaikan suatu
ekonomi hanya memiliki dua bisnis: pabrik payung dan wisata pantai. Cuaca amat
mempengaruhi keuntungan dari masing-masing usaha tersebut. Tabel berikut menunjukkan
keuntungan hipotesis dari kedua bisnis pada dua musim.
Andaikan seorang investor memiliki dana 100 juta. Jika investor menginvestasikan seluruh
dananya pada bisnis payung, ia akan untung 50% jika hujan dan rugi 25% jika cuaca cerah.
Karena keuntungannya tidak pasti, ada risiko investasi. Secara rata-rata keuntungan yang
diharapkan adalah (0,5)(50%) + (0,5)(-25%) = 12,5%. Jika investor memilih investasi wisata
pantai, ia rugi 25% jika hujan dan untung 50% jika cuaca cerah. Keuntungan rata-rata atau
yang diharapkan juga sama yaitu 12,5%. Investasi inipun berisiko karena keuntungan tidak
dapat dipastikan. Sekarang kita andaikan investor menanamkan setengah dari dananya pada
bisnis payung dan setengah sisanya pada bisnis wisata pantai. Pada cuaca hujan, investor
untung 50% dari bisnis payung dan rugi 25% pada bisnis wisata pantai. Artinya ia masih
menikmati keuntungan 25% atau 25 juta. Pada cuaca cerah, ia rugi 25% pada bisnis payung
dan untung 50% dari bisnis wisata pantai. Ia memiliki keuntungan bersih 25% atau 25 juta.
Keuntungan rata-rata atau yang diharapkan adalah 25 juta x probabilitas hujan (50%)
ditambah 25 juta x probabilitas cerah (50%) atau sebesar 12,5 juta (12,5%). Perhatikan
bahwa dengan membentuk suatu portofolio, kita akan memperoleh keuntungan 12,5% dan
bebas risiko karena dalam kondisi apapun kita tetap memperoleh 12,,5%.
Ilustrasi di atas memperlihatkan suatu yang ajaib dari diversifikasi. Dimana kunci dari
pengurangan risiko melalui diversifikasi. Pada korelasi antara dua atau lebih investasi yang
membentuk portofolio. Pada ilustrasi di atas, kedua bisnis memiliki korelasi keuntungan
yang negatif sempurna (koefisien korelasi = -1) sehingga dapat dibentuk portofolio yang
bebas risiko. Teori Portofolio Modern mengatakan jika terdapat koefisien korelasi yang lebih
kecil dari +1 antara dua atau lebih bisnis, kita dapat mendiversifikasikan risiko.
Sebelum membicarakan formula risiko suatu portofolio, kita pelajari konsep kovarians
(covariance) dan koefisien korelasi (correlation coefficient). Kovarians adalah suatu ukuran
kekuatan atau derajat hubungan antara dua variabel. Kovarians positif menunjukkan
hubungan positif, sedangkan kovarians negatif menunjukkan hubungan negatif. Kovarians
antara A dan B dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
dimana:
kAi = keuntungan A jika kondisi I terjadi
kA = nilai harapan keuntungan A
kBi = keuntungan B jika kondisi I terjadi
kB = keuntungan rata-rata atau nilai harapan keuntungan B
Pi = probabilitas kondisi I terjadi
Contoh:
kA = 10%
kB = 10%
σA = 2,2%
σB = 2,2%
Cov( ) = (k − k ) (k − k ) P
= (6-10) (14-10) (0,1) + (8-10) (12-10) (0,2)
+ (10-10) (10-10) (0,4) + (12-10) (8-10) (8-10) (0,2)
+ (14-10) (6-10) (0,1)
= -4,8
Kovarians dapat distandarkan dengan membagi angka kovarians dengan hasil kali standar
deviasi ke dua variabel. Hasil ini disebut koefisien korelasi (coefficient of correlation).
Standardisasi ini memudahkan kita untuk melakukan perbandingan keeratan hubungan antar
beberapa variabel. Koefisien korelasi berkisar antara +1 dan -1. Korelasi +1 menunjukkan
hubungan searah yang kuat sempurna. Korelasi -1 menunjukkan hubungan terbalik yang kuat
sempurna. Korelasi 0 menunjukkan tiada hubungan sama sekali. Jarang sekali kita
menemukan ke tiga kondisi ekstrem tersebut, yang ada adalah koefisien korelasi yang
mendekati +1, -1 atau 0.
Rumus koefisien korelasi antara variabel A dan B adalah:
()
Koefisien korelasi = r() =.
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya tentang kovarians. Koefisien korelasi dapat dihitung sebagai berikut:
,
r( )=
( , )( )
= -1,0
Rumus untuk menghitung keuntungan yang diharapkan dan deviasi standar keuntungan suatu
portofolio adalah sebagai berikut:
dan
½
σ= X.σ+ X.X.σ.
dimana:
kP = perkiraan keuntungan portofolio atau expected return on portfolio
Xi = proporsi dana yang diinvestasikan pada aktiva i
kI = expected return saham atau aktiva i
σ = varians saham atau aktiva
σ = kovarians keuntungan aktiva I dan j atau ri.j . σ . σ
Contoh:
Uang 100.000 diinvestasikan pada saham A dan saham B sama rata. Expected return saham A dan B
adalah 20% dan 10%. Maka expected return portofolio ini adalah:
KP = XA . kA + XB . kB
= 0,5 (20%) + 0,5 (10%)
= 15%
Jika diketahui standar deviasi keuntungan saham A dan B adalah 10% dan 5%, serta berapa
korelasinya? Keuntungan antara A dan B adalah 0, maka deviasi standar portofolio adalah:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X . σ . σ ]½
= [(0,5)2 . (0,1)2 + (0,5)2 . (0,05)2 + 2(0,5)(0,5)90,5)90,1)(0,05)] ½
= 6,614%
Dari rumusan di atas nampak bahwa keuntungan suatu portofolio merupakan rata-rata
tertimbang dari keuntungan saham-saham individu dalam portofolio, akan tetapi deviasi
standar portofolio (sepanjang korelasi tidak +1) bukan merupakan rata-rata tertimbang dari
deviasi standar keuntungan masing-masing saham individu. Deviasi standar suatu portofolio
tergantung pada faktor (1) korelasi antara keuntungan saham-saham dalam portofolio, (2)
deviasi standar masing-masing saham dalam portofolio, dan (3) proporsi masing-masing
saham dalam portofolio.
Deviasi standar portofolio jika korelasi = +1:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(1) σ . σ ]½
= [(X . σ + X . σ )2]½
=X .σ +X.σ
Jika korelasi = +1, diversifikasi tidak efektif karena risiko portofolio merupakan rata-rata tertimbang
dari deviasi masing-masing saham, atau sama dengan tingkat keuntungan portofolio yang juga
merupakan rata-rata tertimbang dari tingkat keuntungan masing-masing saham.
Deviasi standar portofolio jika korelasi = 0:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(0) σ . σ ]½
= [ X . σ + X . σ ]½
Deviasi standar portofolio jika korelasi = -1:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(-1) σ . σ ]½
= [X . σ + X . σ − 2. X . X σ ]½
Perhatikan bahwa jika korelasi = -1, kita dapat membentuk portofolio bebas risiko meskipun
portofolio ini terdiri dari saham-saham yang berisiko, jika:
X . σ + X . σ = 2. X . X . σ . σ
Perhitungan deviasi standar portofolio tersebut di atas semakin kompleks jika jumlah
sekuritas yang ada dalam portofolio meningkat. Untuk memudahkan perhitungan kita dapat
menggunakan program bantu komputer untuk keuangan. Jika terpaksa harus menghitung
secara manual, kita dapat menggunakan bantuan grafik sebagai berikut:
Saham A Saham B Saham C Saham N
Saham A X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
Saham B X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
Saham C X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
Saham N X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
Keterangan:
XA = proporsi saham A dalam portofolio
σA = deviasi standar keuntungan saham A
σA,B = kovarians keuntungan saham A dan keuntungan saham B
σA. σA = varians keuntungan saham A
Penjumlahan dari seluruh sel merupakan varians portofolio (σ 2). Misalnya, untuk portofolio yang
terdiri atas 2 saham:
Saham A Saham B
Saham A X.X.σ.σ X.X.σ,
Saham B X.X.σ, X.X.σ.σ
σ = X . σ + X . σ + 2.XA.XB .σA,B
½
σP = X . σ + X . σ + 2. X . X . σ .
σ =(k – k )². P
dimana:
σP = deviasi standar portofolio
kpi = keuntungan portofolio jika kondisi i terjadi
kp = nilai harapan keuntungan portofolio
Pi = probabilitas kondisi i terjadi
Teori Portofolio merubah cara investor dalam menilai risiko suatu saham. Jika semua
investor melakukan diversifikasi seperti diajarkan oleh Harry Markowitz, maka ada sebagian
risiko yang hilang akibat diversifikasi. Menurut teori Capital Asset Pricing Model atau
CAPM, risiko ini disebut sebagai risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) yaitu
risiko yang dapat dihilangkan melalui diversifikasi. Risiko ini merupakan probabilitas
keuntungan berada di bawah keuntungan yang diharapkan disebabkan oleh faktor-faktor
yang hanya ada pada suatu perusahaan. Misalnya, pemogokan buruh, perubahan manajemen,
inovasi, kebakaran, dsb. Risiko sistematis (systematic risk) adalah risiko yang tidak dapat
dihilangkan melalui diversifikasi. Risiko ini sering disebut risiko pasar (market risk) atau
risiko sistematis karena disebabkan faktor yang menimpa seluruh ekonomi atau pasar. Risiko
sistematis ini merupakan probabilitas bahwa keuntungan perusahaan berada di bawah
keuntungan yang diharapkan karena adanya faktor-faktor yang membawa dampak bagi
seluruh perusahaan yang berada dalam suatu perekonomian. Misalnya peraturan pemerintah,
kenaikan pajak, resesi, devaluasi, dan sebagainya.
Penjumlahan unsystematic risk dan systematic risk merupakan total risk. Risiko total atau
total risk adalah risiko suatu aset yang disimpan secara terisolir atau risiko dari suatu aset
tunggal. Maka jelas bahwa risiko total adalah deviasi standar keuntungan suatu investasi.
Hubungan antara risiko total dengan risiko sistematis dan tidak sistematis digambarkan
sebagai berikut:
Risiko Portofolio
(GP)
Risiko
Risiko sistematis
Jumlah saham dalam portofolio
0 10 20
Jika investor melakukan diversifikasi secara internasional, risiko sistematis dapat diperkecil.
Investor dikatakan melakukan diversifikasi internasional apabila portofolio terdiri atas
sekuritas perusahaan di lebih dari satu negara. Diversifikasi internasional lebih baik daripada
diversifikasi domestik (dalam satu negara). Portofolio yang terdiri dari saham-saham dari
berbagai negara memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan portofolio yang terdiri dari
saham-saham satu negara tertentu. Gambar berikut memperlihatkan keuntungan melakukan
diversifikasi secara internasional.
Risk (%)
100 –
-
80 -
-
60 -
-
40 - US. Stocks portofolio
Risiko sistematis diukur dengan koefisien beta yaitu koefisien yang menunjukkan kepekaan
keuntungan suatu saham terhadap perubahan keuntungan saham-saham secara rata-rata di
pasar (indeks pasar). Untuk mencari beta suatu saham secara historis kita dapat membuat
regresi antara keuntungan historis indeks pasar (misalnya IHSG) sebagai variabel bebas.
Koefisien regresi hasil perhitungan kita merupakan beta atau risiko sistematis. Perhatikan
gambar berikut:
*
*
* *
*
∆
* beta =
∆
* *
Beta sebesar 1 artinya setiap kenaikan/penurunan keuntungan pasar (kn) sebesar 1% akan
mengakibatkan kenaikan/penurunan keuntungan saham (ki) sebesar 1%. Dengan demikian,
semakin besar beta, semakin peka keuntungan saham terhadap perubahan keuntungan pasar,
dan semakin berisiko pula saham tersebut. Saham dengan beta 1 adalah saham yang memiliki
risiko sama dengan rata-rata saham di pasar modal. Saham dengan beta lebih dari 1 disebut
saham agresif dan saham dengan beta kurang dari 1 disebut saham defensif.
Beta dapat dihitung dengan cara lain, yaitu menggunakan rumus:
Cov (k , k )r , . σ . σ )σ b === r , .
σσσ
2 25
dimana:
bi = beta untuk saham i
kI = rata-rata keuntungan historis (yang telah terjadi) saham i
kM = rata-rata keuntungan historis portofolio pasar
ri,M = korelasi antara keuntungan saham i dan keuntungan pasar
σi = deviasi standar keuntungan saham i
σM = deviasi standar keuntungan pasar (portofolio pasar)
Semakin besar beta suatu saham, semakin besar risiko saham tersebut. Mengapa beta yang
digunakan? Perhatikan bahwa:
Investor tidak peduli dengan diversifiable risk karena risiko ini dapat dihilangkan dengan
diversifikasi. Investor hanya peduli dengan market risk, yaitu bi . σ .σ adalah varians
portofolio pasar yang besarnya sama untuk semua saham. Maka besar kecilnya nilai bi , σ
suatu saham semata-mata tergantung pada bi.
CAPM yang diajukan oleh William Sharpe (Standford University) dan John Lintner
(Harvard University), merupakan kelanjutan dari teori portofolio modern dari Harry
Markowitz. Teori ini mendefinisikan hubungan antara risiko dengan tingkat keuntungan
aktiva pada equilibrium.
Jika investor mengkombinasikan dua saham ke dalam portofolio dengan proporsi
(timbangan) tertentu, diperoleh tingkat keuntungan dan deviasi standar keuntungan
portofolio. Kombinasi portofolio yang terbentuk sangat banyak, apalagi jika jumlah saham
yang dikombinasikan bertambah. Tingkat keuntungan yang diharapkan atau k̂p dan risiko
(diukur dengan deviasi standar) portofolio dapat digambarkan pada suatu grafik. Dari grafik
ini akan terlihat suatu kurva yang disebut minimum variance set. Minimum variance set
adalah himpunan portofolio yang memberikan deviasi standar terkecil untuk tingkat
keuntungan tertentu. Perhatikan gambar berikut ini:
226
kp
.C....
....
.... .
... . . .
B*....
.... .
... . . .
.....
......
A
σp
Kurva A-B-C dan titik-titik di dalamnya adalah seluruh kemungkinan portofolio yang
terbentuk. A-B-C disebut minimum variance set (MVS). Portofolio yang berada pada MVS
adalah portofolio yang memberikan varians (atau deviasi standar) minimum untuk rate of
return tertentu. Kurva B-C disebut efficient set. Portofolio pada efficient set adalah
portofolio yang memberikan rate of return tertinggi untuk risiko tertentu. Investor yang bijak
akan memilih portofolio –portofolio yang terletak pada efficient set.
Jika terdapat suku bunga bebas risiko (krf) di pasar, maka minimum variance set menjadi:
kp N
C
M*
.....
....
B*....
. . . ..
.....
krf ......
......
A
σp
Efficient set tidak lagi A-B-C, tetapi krf-M-N. Portofolio M disebut market portfolio, yaitu
portofolio yang meliputi seluruh saham atau aktiva finansial yang ada di pasar modal.
Portofolio M ini sering diidentikkan dengan indeks pasar (market index).
Hubungan antara risiko portofolio (σp) dan keuntungan portofolio yang diharapkan k̂p
dengan asumsi semua investor melakukan investasi pada efficient set adalah sebagai berikut:
kp
kM M
kM - krf
krf
σ σM σP
M
dimana:
kp = expected rate of return pada portofolio
σp = risiko portofolio
krf = suku bunga bebas risiko
σM = risiko portofolio pasar
kM = expected rate of return pada portofolio pasar.
Persamaan linier di atas disebut Capital Market Line (CML), yaitu garis linier yang
menerangkan hubungan antara risiko portofolio yang diukur dengan deviasi standar
portofolio (σp) dengan tingkat keuntungan portofolio yang diharapkan (k̂p) untuk setiap
portofolio yang efisien.
Persamaan CML:
(–)
kp = krf + .σ untuk portofolio
atau
Menurut CAPM, jika risiko diukur dengan beta, hubungan antara risiko yang relevan dari
suatu saham dengan keuntungan yang disyaratkan dinyatakan dengan suatu garis linier yang
disebut Security Market Line (SML). Security Market Line ini diturunkan dari Capital
Market Line sebagai berikut:
kp CAPITAL MARKET LINE kp SECURITY MARKET LINE
ki
km M km M
σM
σP σP
σM bi
Persamaan SML:
dimana:
ki = tingkat keuntungan yang disyaratkan (required rate of return) pada saham I sebelumnya
kita gunakan ki atau expected return pada saham i. Pada equilibrium, ki = ki
krf = tingkat bunga bebas risiko
kM = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada portofolio pasar (market index).Pada equilibrium,
kM= kM
bi = beta saham i
untuk portofolio:
Beta untuk portofolio pasar adalah 1. Sedangkan (k M - krf) adalah premi risiko pasar (market
risk premium). Premi risiko pasar ini menunjukkan derajat keengganan para investor
terhadap risiko (risk aversion). Semakin tinggi risk aversion, semakin besar pula (kM - krf).
Apa bedanya expected rate of return dengan required rate of return. Pada equilibrium
(kondisi keseimbangan) keduanya sama, k̂i = ki dan k̂M= kM
Persamaan Security Market Line ini merupakan inti dari teori CAPM. Jika investor percaya
pada teori ini, ia dapat menggunakannya untuk mengevaluasi rencana investasi pada suatu
saham. Perhatikan ilustrasi berikut: suatu saham menjanjikan keuntungan (expected rate of
return) sebesar 22%. Saham ini memiliki beta 1,5. Diketahui tingkat keuntungan portofolio
pasar (IHSG) 20% dan tingkat keuntungan bebas risiko 10%. Untuk mengambil keputusan
membeli saham ini atau tidak, kita harus menghitung tingkat keuntungan yang kita syaratkan
pada saham tersebut sebagai berikut:
ki = krf + (kM –krf) bi
= 10% + (20% - 10%) 1,5
= 25%
Karena tingkat keuntungan yang kita syaratkan (required rate of return) lebih besar daripada
tingkat keuntungan yang diharapkan (expected rate of return), maka saham tersebut
sebaiknya ditolak.
CAPM memberikan dua pelajaran penting: (1) untuk mengukur risiko saham atau aktiva
finansial yang dibeli dalam rangka membentuk portofolio, dipergunakan koefisien beta, dan
(2) hubungan antara tingkat keuntungan yang disyaratkan dengan risiko saham (beta) adalah
linear dan positif.
Dampak inflasi terhadap SML, jika investor memperkirakan bahwa inflasi akan naik, mereka
mengharapkan kenaikan suku bunga bebas risiko serta tingkat keuntungan saham rata-rata
(portofolio pasar) juga sebesar kenaikan inflasi. Oleh sebab itu, krf akan naik, namun, (k̂M -
krf) tetap karena k̂M dan krf naik dengan besaran yang sama. Perhatikan gambar berikut:
ki SML2
SML1
∆ Inflasi
bi
Dampak perubahan risk aversion atau premi risiko pasar. Jika risk aversion berubah, Slope
SML juga berubah, sedangkan konstanta (krf) tetap. Ingat bahwa risk aversion diukur dengan
(k̂M - krf)
ki SML2
SML1
krf
Perubahan beta suatu saham. Beta suatu saham tidaklah tetap, tapi dapat berubah-ubah.
Faktor-faktor yang dapat merubah beta adalah: kompetisi yang meningkat, komposisi aktiva
perusahaan, tingkat hutang perusahaan, dsb. Jika beta berubah, SML tidak akan berubah,
yang berubah adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan.
Beta suatu portofolio. Beta suatu portofolio dapat dihitung dengan rumus:
b =b . X
dimana:
bp = beta portofolio
bi = beta saham atau aktiva i
Xi = bagian uang yang diinvestasikan pada saham/aktiva i
n = jumlah saham atau aktiva dalam portofolio
Contoh:
Berapa beta portofolio yang terdiri atas 2 saham A dan B dengan proporsi yang sama
(equally weighted portfolio), jika diketahui beta saham A sebesar 2 dan beta saham B adalah
1?
Jawab:
bp = (0,5)(2) + (0,5)(1)
= 1,5
9.8 Latihan Mandiri
2. Misalkan sebuah proyek memilki beta 1,5. Pada saat tersebut diketahui bahwa tingkat
pengembalian asset bebas risiko adalah 7% dan rata-rata pengembalian pasar adalah 10%.
Proyek ini diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar 11% setiap tahunnya.
a. Jika tingkat pengembalian pasar meningkat sebesar 10%, bagaimanakah tingkat
pengembalian proyek tersebut? Dan bagaimana jika tingkat pengembalian pasar turun
sebesar 10%?
b. Dengan menggunakan Capital Asset Pricing Model (CAPM), tentukan tingkat
pengembalian dari proyek ini
c. Berdasarkan perhitungan pada bagian b, apakah investasi ini sebaiknya diambil atau
tidak?
d. Jika diasumsikan bahwa investor proyek ini adalah seorang risk-averse, dan tingakat
pengembalian pasar turun menjadi 9%, bagaimanakah dampak atas perubahan ini?
Solusi
2.
a. Jika tingkat pengembalian pasar meningkat sebesar 10%, maka tingkat pengembalian
proyek akan meningkat sebesar 15% (1,5 x 10%), sedangkan jika pengembalian pasar
turun sebesar 10%, maka tingkat pengembalian proyek juga akan turun sebesar 15%
(1,5 x (-10%)).
b. ki = krf + (kM –krf) bi
= 7% + (10%-7%)1,5
= 7% + 4,5% = 11,5%
c. Tidak, sebaiknya investasi tersebut ditolak karena tingkat pengembalian proyek
hanya 11%, lebih kecil dari 11.5%
d. ki = krf + (kM –krf) bi
= 7% +(9%-7%)1,5
= 7% + 3% = 10%
Jika tingkat pengembalian pasar turun menjadi 9%, maka sebaiknya proyek ini
diterima karena tingkat pengembalian proyek adalah 11%, lebih besar dari 10%.
Bab III
Capital Budgeting
38
Perusahaan dapat mengklasifikasikan sebagai kajian capital budgeting meliputi , 1)
Penggantian (replacement) untuk mempertahankan bisnis yang ada, 2) Penggantian untuk
mengurangi biaya, 3) Pengembangan produk yang ada atau pasar sekarang, 4) Pengembangan
produk baru atau pasar baru, dan 5) Keamanan dan lingkungan.
Proses penganggaran modal memiliki prosedur yang sama seperti proses menilai sekuritas
(misalnya saham dan obligasi). Proses tersebut adalah:
1) Menilai arus kas proyek diperkirakan
2) Menilai risiko dari arus kas proyek melalui WACC perusahaan untuk memperkirakan
tingkat diskonto (discount rate) proyek, yang disebut “biaya modal proyek” atau project
cost of capital
3) Menilai arus kas di diskonto untuk menghitung present value-nya
4) Mendiskon atau mem-present value pemasukan (arus kas masuk atau cash inflows)
dibandingkan dengan present value dari pengeluaran atau biaya (arus kas keluar atau cash
outflows). Jika present value arus kas masuk lebih besar, proyek seharusnya diterima
karena akan meningkatkan nilai perusahaan.
Bila investasi dipandang dari dimensi waktu, disebut sebagai investasi jangka panjang.
Istilah lain yang sering dipergunakan adalah capital investment (investasi modal), dan untuk
singkatnya disebut sebagai “investasi” saja. Meskipun disebut sebagai investasi jangka panjang,
akan terlihat nanti bahwa investasi modal juga akan melibatkan modal kerja (yang disebut
sebagai investasi jangka pendek).
Pengaturan investasi modal yang efektif perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini.
1. Menerima adanya usul-usul investasi
2. Melakukan estimasi arus kas dari usul-usul investasi tersebut
3. Evaluasi arus kas tersebut
4. Melakukan pemilihan proyek-proyek yang sesuai dengan criteria tertentu, dan
5. Melakukan monitoring dan penilaian terus menerus terhadap proyek investasi setelah
investasi dilaksanakan.
Usul-usul investasi tidak mesti dari bagian keuangan. Mungkin saja usul investasi
tersebut berasal dari bagian pemasaran (missal, membuka jaringan distribusi baru), bagian
produksi (mengganti mesin lama dengan mesin baru), dan melibatkan berbagai bagian
(meluncurkan produk baru, mendirikan pabrik baru). Demikian juga estimasi arus kas akan
memerlukan kerja sama antara bagian yang mengusulkan dengan bagian keuangan. Evaluasi arus
kas mungkin lebih banyak dilakukan oleh bagian keuangan, demikian juga pemilihan proyek.
Akhirnya monitoring memerlukan kerja sama dengan seluruh bagian yang terlibat.
Memperkirakan arus kas proyek merupakan langkah yang paling penting sekaligus paling sulit.
Berikut ini dibahas dalam memperkirakan arus kas atau dikenal dengan menaksir arus kas.
Penaksiran arus kas bukan hanya menyangkut akurasi taksiran, tetapi juga memahami
arus kas yang relevan. Taksiran menyangkut masa yang akan datang, maka selalu terbuka
peluang untuk melakukan kesalahan. Kesalahan mungkin tidak sengaja dilakukan, tetapi
mungkin juga sengaja dilakukan. Sponsor yang sangat ingin proyek tersebut dilaksanakan, akan
cenderung memberikan taksiran yang terlalu optimis. Karena itu diperlukan evaluasi arus kas
yang dinilai relevan. Bagian keuangan sering bertanggung jawab dalam masalah ini. Untuk
menaksir arus kas yang relevan perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Taksirlah arus kas atas dasar setelah pajak. Perhatikan bahwa yang dinikmati oleh pemilik
perusahaan adalah kas masuk bersih setelah pajak.
2. Taksirlah arus kas atas dasar (incremental atau selisih). Rencana peluncuran produk baru
mungkin akan mengakibatkan pengurangan penjualan produk lama (kanibalisme), lebih-lebih
kalau produk-produk tersebut ternyata mempunyai pasar yang sama. Dengan demikian perlu
diperhatikan pengurangan kas masuk dari produk lama akibat peluncuran produk baru.
3. Taksirlah arus kas yang timbul karena keputusan investasi. Arus kas karena keputusan
pendanaan, seperti membayar bunga pinjaman, mengangsur pokok pinjaman, dan
pembayaran dividen, tidak perlu diperhatikan. Perhatikan yang dianalisis adalah profitabilitas
investasi.
4. Tidak memasukkan sunk costs (biaya yang telah terjadi sehingga tidak akan berubah karena
keputusan yang akan diambil). Apa yang telah terjadi tidak mungkin berubah karena
keputusan yang diambil. Hanya biaya yang berubah karena keputusan yang relevan dalam
analisis.
Seringkali untuk menaksir arus kas dipergunakan taksiran rugi laba sesuai dengan prinsip
akuntansi, dan kemudian merubahnya menjadi taksiran atas dasar arus kas. Tabel dibawah ini
menunjukkan ilustrasi tersebut.
Sesuai dengan prinsip akuntansi, laba bersih dilaporkan sebesar Rp. 350 juta. Sedangkan
menurut arus kas, pada periode tersebut proyek tersebut menghasilkan kas masuk bersih sebesar
Rp. 850 juta. Perhatikan bahwa kas masuk bersih = laba setelah pajak ditambah
penyusutan. Perhatikan pula bahwa dalam taksiran rugi laba sama sekali tidak dimunculkan
transaksi yang menyangkut keputusan pendanaan, yaitu pembayaran bunga (kalau ada). Ini
merupakan cara yang benar.
Misalkan taksiran arus kas pada tabel diatas tersebut merupakan taksiran arus kas dari
proyek peluncuran produk baru. Ternyata peluncuran produk baru tersebut mengakibatkan
penurunan kas masuk bersih dari produk lama sebesar Rp. 150 juta. Dengan demikian arus kas
yang relevan untuk proyek peluncuran produk baru tersebut adalah Rp. 850 juta dikurangi Rp.
150 juta, yaitu sebesar Rp. 700 juta.
Misalkan untuk pengembangan produk baru tersebut telah dikeluarkan biaya riset dan
pengembangan senilai Rp. 10 milyar. Seandainya perusahaan akan memproduksikan produk baru
tersebut, perlakuan terhadap biaya riset dan pengembangan ini harus dimasukkan sebagai
komponen investasi. Bahwa arus kas yang relevan dalam penilaian investasi adalah arus kas
yang terjadi apabila investasi tersebut dilaksanakan dan tidak terjadi apabila tidak dilaksanakan.
Sebagai misal, untuk pembuatan produk tersebut diperlukan mesin tertentu senilai Rp. 30 milyar.
Arus kas untuk membeli mesin ini relevan dalam perhitungan karena arus kas tersebut akan
terjadi kalau memutuskan untuk membuat produk baru tersebut, dan tidak terjadi kalau tidak
membuat produk baru tersebut, dan tidak terjadi kalau tidak membuat produk baru. Sebaliknya
pengeluaran biaya untuk riset telah dilakukan, dan apapun keputusan kita (artinya melaksanakan
atau tidak proyek tersebut tidak akan merubah arus kas ). Karena itu arus kas ini tidak relevan
dalam penilaian investasi. Biaya yang telah dikeluarkan disebut sebagai sunk costs yang
menunjukkan bahwa kita tidak bisa merubahnya apapun keputusanny, karena itu tidak relevan.
Setelah arus kas proyek diperkirakan, langkah berikut adalah dievaluasi dengan
menggunakan suatu metoda untuk menentukan apakah proyek harus diterima atau ditolak. Ada
paling tidak 5 metoda umum digunakan:
a) Payback Period dan Discounted Payback Period
b) Net Present Value (NPV)
c) Internal Rate of Return (IRR)
d) Profitability Index (PI)
e) Modified IRR (MIRR)
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas bersih Arus kas kumulatif
setelah pajak proyek X
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 500.000 (500.000)
2 400.000 (100.000)
3 300.000 200.000
4 100.000 300.000
Investasi sebesar Rp 1 juta dapat dikembalikan pada akhir tahun ke 3. Jika arus kas
diasumsikan terjadi sepanjang tahun secara sama, maka pada tahun ke 3, Rp 100.000 dapat
dikembalikan dalam:
.
. = 1/3 tahun
Maka payback period adalah 2⅓ tahun atau 2 tahun 4 bulan. Jika ada proyek lain yang
memiliki payback period 2 tahun dan kita harus memilih, maka proyek yang memiliki
payback period lebih pendek yang lebih disukai.
Kriteria: Tidak ada batas waktu yang jelas, semuanya tergantung pada pemilik modal.
Namun pada umumnya, payback period yang pendek lebih disukai.
Keuntungan metoda payback period: mudah dihitung dan dimengerti. Selain itu, payback
peiod memberikan informasi mengenai risiko dan likuidaitas proyek. Proyek yang payback
period-nya pendek memiliki risiko yang lebih kecil dan likuiditas yang lebih baik.
Kelemahan metoda payback period: mengabaikan arus kas setelah payback period dan nilai
waktu uang.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek A Arus Kas Proyek B
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 1.000.000 500.000
2 100.000 1.000.000
3 - 2.000.000
4 - 1.000.000
Payback period proyek A = 1 tahun
Payback period proyek B = 1,5 tahun
Menurut metoda payback period, proyek A lebih baik. Tapi sebenarnya proyek B lebih
menguntungkan karena pada tahun ke 3 dan 4, Proyek B masih menghasilkan arus kas
sebesar 3 juta, sementara proyek A sudah berhenti memberikan pemasukan.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek C Arus Kas Proyek D
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 - 800.000
2 900.000 100.000
3 100.000 100.000
Ke 2 proyek memiliki payback period yang sama yaitu 3 tahun, tapi proyek D sebenarnya
lebih menarik karena memberikan 800.000,- pada tahun pertama sementara proyek C tidak
memberikan apa-apa. Present value arus kas masuk proyek C.
Kelemahan mengabaikan waktu uang ini dapat diatasi dengan memodifikasi metoda payback
period menjadi metoda discounted payback period. Dengan metoda ini, arus kas di diskonto
(dicari present value-nya) kemudian baru dicari payback period-nya.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Present Value Arus Kas Arus kas kumulatif
Proyek di diskonto pada 10%
0 (1.000.000) (1.000.000) (1.000.000)
1 500.000 455.000 ( 545.000)
2 400.000 331.000 ( 214.000)
3 300.000 225.000 11.000
4 100.000 68.000 79.000
.
Discounted payback period =2+ .
= 2,95 tahun
Meski banyak kelemahannya, metoda payback period masih terus digunakan secara intensif
dalam membuat keputusan penganggaran modal. Tapi metoda ini tidak digunakan sebagai
alat utama, melainkan hanya sebagai indikator dari likuiditas dan risiko proyek.
dimana:
CFt = cash flow atau arus kas pada waktu t
k = biaya modal proyek (project cost of capital)
t = periode waktu
n = usia proyek
Arus kas dapat berupa pengeluaran (cash outflows) dan penerimaaan (cash inflows). Cash
outflows diberi tanda – (negatif) dan cash inflows diberi tanda + (positif).
Kriteria penerimaan: NPV nol atau positif, yang berarti present value dari arus kas masuk
sama dengan atau lebih besar dari present value dari arus kas keluar. Dengan demikian, jika NPV
proyek negatif, proyek tersebut harus ditolak. Jika 2 proyek bersifat “mutually exclusive”
(artinya hanya 1 yang dipilih) maka proyek yang memiliki NPV positif yang terbesar yang
dipilih.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
Biaya modal proyek adalah 10%
. . . . . .
+
NPV = + + + , ) ( ,)
( , ) ( , ) ( , ) (
= -1.000.000 + 454.550 + 330.580 + 225.390 + 68.300
= 78.820,-
Karena NPV adalah positif, proyek ini dapat diterima.
NPV sebesar nol menunjukkan bahwa arus kas proyek tepat cukup untuk: 1) membayar kembali
modal yang diinvestasikan dan 2) menyediakan tingkat keuntungan yang disyaratkan pada modal
(biaya modal proyek).
Jika NPV adalah positif, arus kas proyek menghasilkan suatu “sisa keuntungan” atau excess
return yang akan dinikmati oleh para pemegang saham (pemilik perusahaan). Jadi jika
perusahaan mengambil proyek dengan NPV positif, nilai perusahaan (harga saham) akan naik
yang berarti kesejahteraan pemegang saham (wealth of stockholders) naik. Jika perusahaan
mengambil proyek dengan NPV = 0, harga saham tidak berubah karena proyek hanya
menghasilkan keuntungan sebesar yang disyaratkan.
Metoda NPV ini dipandang sebagai pengukur profitabilitas suatu proyek yang terbaik karena
metoda ini memfokus pada kontribusi proyek kepada kemakmuran pemegang saham.
CF
NPV = (1 + r)
dimana:
r = IRR atau tingkat diskonto yang menyebabkan NPV = 0
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
. . . .
0 = -1.000.000 + () + () + () + ()
r atau IRR dapat dicari dengan bantuan tabel PVIF, untuk itu kita harus menggunakan teknik coba-
coba atau “trial and error”.
Misalnya, jika r = 14%, NPV = 8083,-
Jika r = 15%, NPV = -8330,-
Artinya r yang membuat NPV = 0 ada diantara 14% sampai dengan 15%. Untuk menemukan IRR,
kita gunakan teknik interpolasi sebagai berikut:
NPV
A
8083 *
B IRR atau E
O * r atau discount rate
14% 15%
-8330 C D
(8083 − 0)
= (8083 − 8330)
(IRR – 14%)
(15% − 14%)
(IRR – 14%) = ( %)
(
(IRR – 14%) = 0,49% )
IRR = 14,49%
= 14,5%
Untuk memperoleh perhitungan IRR yang lebih cepat dan akurat, kita dapat menggunakan
dengan personal komputer (program EXCEL). Anda dapat menggunakan rumus: = IRR (A i :
Aj), dimana Ai:Aj menunjukkan sel-sel arus kas. Ai:Aj dapat diganti sesuai dengan sel-sel
arus kas suatu proyek.
Contoh EXCEL
A B
1 -1.000.000 = IRR (A1:A5) lalu ENTER
hasilnya adalah IRR
2 500.000
3 400.000
4 300.000
5 100.000
Kriteria penerimaan proyek: Jika IRR lebih besar atau sama dengan project cost of capital
maka poyek sebaiknya diterima. Jika IRR lebih kecil dari project cost of capital, proyek harus
ditolak. Mengapa? IRR dapat dipandang sebagai suatu tingkat keuntungan yang diharapkan dari
proyek (expected rate of return). Sedangkan project cost of capital adalah tingkat keuntungan
yang disyaratkan (required rate of return). Jika IRR lebih besar dari biaya model proyek, proyek
dapat membayar biaya modal proyek dan tetap menghasilkan suatu surplus keuntungan yang
dinikmati oleh pemegang saham. Dengan demikian, mengambil proyek yang IRR-nya (expected
rate of return) lebih besar dari biaya modal proyek (required rate of return) akan meningkatkan
kemakmuran pemegang saham.
Jika IRR sama dengan biaya modal proyek, proyek diperkirakan akan menghasilkan keuntungan
sebesar yang disyaratkan oleh pemilik modal, tidak lebih tidak kurang. Kondisi ini tentunya
masih dapat diterima oleh pemilik modal (baik pemilik modal asing atau kreditur maupun
pemilik modal sendiri).
Jika terdapat 2 proyek yang bersifat mutually exclusive, proyek dengan IRR yang lebih tinggi
yang sebaiknya dipilih, dengan asumsi IRR kedua proyek lebih besar atau sama dengan biaya
modal proyek. Hal ini berlaku pula untuk lebih dari 2 proyek yang mutually exclusive. Pada
kondisi ini, proyek dengan IRR terbesar yang dipilih, dengan asumsi IRR ≥ biaya modal.
Kelemahan metoda IRR: jika proyek memiliki arus kas yang “tidak normal”, ada kemungkinan
IRR tidak dapat digunakan. Yang dimaksud arus kas “yang normal”adalah serangkaian (satu
atau lebih) arus kas keluar diikuti dengan serangkaian arus kas masuk. Pada arus kas yang
“tidak
normal”, arus kas negatif (pengeluaran) muncul selama tahun-tahun setelah proyek berjalan. Jika
arus kas “tidak normal”, dapat timbul masalah “multiple IRR” atau IRR ganda.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek
0 - 1.600.000
1 +10.000.000
2 - 10.000.000
Terdapat 2 r yang menyebabkan NPV = 0, yaitu r = 25% dan r = 400%. Hubungan ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
NPV(jutaan)
1,5 -
0,5 -
IRR mana yang digunakan? Jika IRR = 25%, untuk biaya modal, katakanlah 200%, proyek harus
ditolak, padahal NPV-nya positif. Jika IRR = 400% yang dipakai, untuk biaya modal = 10%,
proyek harus diterima, padahal NPV-nya negative.
Kesimpulan: jika terjadi IRR ganda, kita harus menghitung NPV-nya. Lalu buat apa kita
menggunakan IRR? Bukankah lebih baik langsung menggunakan metoda NPV?
CIF
(1 + k)
PI = =
COF
(1 + k)
dimana:
CIFt = cash inflows pada periode t
COFt = cash outflows pada periode t
k = biaya modal proyek
t = periode waktu
Contoh:
Tahun Arus kas proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
Biaya modal proyek = 10%
. . . .
(, ) (, )(, ) (, )
PI = ..
(, )
.
PI = ..
= 1,079
Kriteria penerimaan proyek: suatu proyek diterima jika PI proyek adalah sama dengan atau
lebih besar dari 1. Jika PI proyek sama dengan atau lebih besar dari 1, artinya PV penerimaan
sama dengan atau lebih besar dari PV pengeluaran. Sebaliknya, jika PI proyek lebih kecil dari 1,
proyek ditolak. Untuk proyek yang mutually exclusive, proyel dengan PI lebih besar yang
dipilih, dengan catatan PI ≥ 1.
400.000 -
NPV profil proyek Y
300.000 -
Contoh 2:
Timing penerimaan arus kas berbeda, skala proyek sama.
Tahun Perkiraan Arus kas proyek K Perkiraan Arus kas proyek L
0 -10 -10
1 0 4
2 2 4
3 3 3
4 5 3
5 9 2
CIF . (1 + k)
PV biaya = =
( ) (1 + MIRR)
52
dimana:
CIFt = cash inflows pada periode t
MIRR = modified IRR
n = usia proyek
Nilai terminal = FV dari CIF yang digandakan dengan suku bungasebesar biaya modal
k = biaya modal proyek
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus kas proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
CIF . (1 + k)
PV biaya = =
( )
(1 + MIRR)
. ( , ) . ( , ) . ( , ) .
1.000.000 =
( )
Nilai MIRR yaitu sebesar 12,1% dapat dicari dengan cara:
1.000.000 = ,
( )
(1+MIRR)4 = 1,5795
log (1+MIRR)4 = log 1,5795
4 log (1+MIRR) = 0,1985
log (1+MIRR) = 0,0496
1+ MIRR = antilog (0,0496)
1+ MIRR = 1,12098
MIRR = 0,121
= 12,1%
Perhitungan MIRR dengan program EXCEL:
Ai : Aj menunjukkan sel-sel arus kas proyek, B% menunjukkan biaya modal proyek (tingkat diskonto)
MIRR memiliki kelebihan disbanding IRR karena MIRR mengasumsikan arus kas dari proyek
diinvestasikan kembali (digandakan) dengan menggunakan biaya modal. Selain itu MIRR juga
dapat menghindari masalah “multiple IRR” yang terjadi pada metoda IRR.
53
Jika 2 proyek yang mutually exclusive memiliki skala yang sama dan usia yang sama, NPV dan
MIRR akan memberikan keputusan yang sama. Tapi jika ke 2 proyek tersebut berbeda skala atau
ukurannya (biayanya), dapat terjadi konflik antara NPV dan MIRR. Dalam hal ini, NPV tetap
lebih baik.
Contoh:
Tahun Arus kas proyek “P” Arus Kas Proyek “R”
0 (5.000.000) (100.000)
1 600.000 130.000
Biaya modal untuk ke 2 proyek adalah sama yaitu 10%
..
NPV “R” = -5.000.000 + (,)
= 454,545
.
NPV “P” = -1.000.000 + (,)
= 18,182
..
( , )
PI “P” = ..
.
(,)
PI “R” = .
= 1,18
Menurut NPV, proyek “P” harus dipilih. Tapi menurut PI, proyek “R” yang harus dipilih. Mana
yang benar? Kalau kita ingin memaksimumkan nilai perusahaan, maka proyek “P” yang harus
dipilih karena akan memberikan tambahan nilai sebesar 454,545 dibanding dengan hanya 18,182
jika proyek “R” yang dipilih. Kelemahan PI adalah ukurannya dalam proporsi, bukan angka
absolut.
Jika kita menggunakan metoda IRR, akan timbul masalah karena biaya modal tidak tetap. IRR harus
dibandingkan dengan apa? Hal ini memperkuat alasan kita untuk menggunakan metoda NPV.
Tidak semua analisis investasi menggunakan metode NPV untuk menentukan menguntungkan
tidaknya suatu usulan investasi. Berikut ini berbagai metode yang sering dipergunakan untuk
menilai profitabilitas usulan investasi.
Perhitungan rata-rata of return ditempuh dengan cara membagi rata-rata laba setelah pajak dengan
rata-rata investasi. Dengan kata lain,
Mengapa angka yang dihasilkan berbeda? Hal tersebut disebabkan karena pengaruh magnitude
dari pembagi yang berbeda. Disamping kelemahan dalam bentuk hasil perhitungan yang bisa
berbeda kalau digunakan angka rata-rata dan dihitung setiap tahun, kelemahan mendasar dari
teknik ini adalah (1) bagaimana menentukan tingkat keuntungan (rate of return) yang dianggap
layak, (2) konsep ini menggunakan konsep laba akuntansi, dan bukan arus kas, dan (3)
mengabaikan nilai waktu uang.
Metode ini mengatakan bahwa semakin tinggi average rate of return, semakin menarik usulan
investasi tersebut. Tetapi berapa batas untuk dikatakan menarik? Secara konsepsional belum ada
cara untuk menentukannya. Berlainan dengan penentuan tingkat bunga yang layak dalam
perhitungan NPV, terdapat model yang secara konsepsional dapat dipergunakan untuk
menentukan batal cutoff) nilai tersebut.
Kelemahan metode average rate of return juga Nampak dalam masalah pemilihan usulan
iunvestasi. Misalkan terdapat usulan investasi lain (kita sebut saja usulan investasi B) yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut.
Baik investasi divisi taksi maupun investasi B, diharapkan average rate of return yang sama,
yaitu 59,26%. Meskipun demikian kita melihat bahwa investasi usaha taksi diharapkan
memberikan keuntungan yang lebih besar pada tahun 1 (yaitu Rp. 503,75 dibandingkan dengan
hanya Rp. 303,75), dan lebih kecil pada tahun ke 4, meskipun jumlahnya sama. Kalau kita
memperhatikan nilai waktu uang, maka usulan investasi divisi taksi akan lebih menarik dari
usulan investasi B.
Dua metode yang pertama, yaitu average rate return dan payback period, mempunyai
kelemahan yang sama, yaitu mengabaikan nilai waktu uang. Padahal, kita mengetahui bahwa
uang mempunyai nilai waktu. Dua metode yang terakhir, yaitu IRR dan PI, mempunyai
persamaan yaitu memperhatikan nilai waktu uang dan menggunakan dasar arus kas. Meskipun
demikian kita akan melihat adanya beberapa kelemahan metode-metode tersebut.
Kelemahan yang kedua adalah bisa diperoleh i yang lebih dari satu angka (multiple IRR).
Perhatikan contoh berikut ini.
Tahun 0 1 2
Arus kas -Rp. 1,6 juta +Rp. 10,0 juta -Rp. 10,00 juta
Perhatikan bahwa terjadi dua kali pergantian tanda arus kasnya. Persoalan tersebut bisa
dirumuskan sebagai berikut.
1,6 = -
() ()
Kalau kita hitung, kita akan memperoleh dua nilai I yang membuat sisi kiri persamaan sama
dengan nilai sisi kanan persamaan. Nilai-nilai I adalah :
I1 = 4,00 (artinya 400%), dan
I2 = 0,25 (artinya 25%).
Dengan demikian timbul masalah, yaitu i mana yang akan kita pergunakan. Kalau kita pilih i1,
maka investasi akan dikatakan menguntungkan apabila r < 400% (missal 30%). Sebaliknya kalau
dipergunakan i2, maka investasi dikatakan tidak menguntungksn kalau r = 20%, sehingga kita
menyimpulkan investasi tersebut menguntungkan baik dipergunakan i1 maupun i2. Hal tersebut
terjadi karena NPV investasi tersebut kalau digambarkan akan Nampak sebagaimana pada
Gambar 12.1. Gambar tersebut menunjukkan justru kalau r < 25%, maka NPV investasi tersebut
negative (artinya investasi harus ditolak).
NPV (Rupiah)
2,0.
1,0.
Kelemahan ketiga adalah pada saat perusahaan harus memilih proyek yang bersifat mutually
exculusive (artinya pilihan yang satu meniadakan pilihan lainnya). Untuk itu perhatikan contoh
berikut ini (arus kas dalam rupiah).
Kalau kita perhatikan NPVnya, maka proyek B seharusnya dipilih karena memberikan NPV
tersbesar. Sedangkan kalau kita menggunakan IRR, kita akan memilih A karena proyek tersebut
memberikan IRR yang lebih tinggi. Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah kita seharusnya
memilih A (sesuai dengan criteria NPV) ataukah memilih B (sesuai dengan criteria IRR). Untuk
itu persoalan tersebut bisa dimodifikasikan sebagai berikut.
Berarti dalam situasi mutually exclusive kita mungkin salah memilih proyek kalau kita
menggunakan criteria IRR. Penggunaan IRR akan tepat kalau dipergunakan incremental IRR.
d. Kelemahan metode PI
Metode PI akan selalu memberikan keputusan yang sama dengan NPV kalau dipergunakan untuk
menilai usulan investasi yang sama. Tetapi kalau dipergunakan untuk memilih proyek yang
mutually exclusive, metode PI bisa kontradiktif dengan NPV. Untuk itu perhatikan contoh
berikut ini.
Tabel di atas menunjukkan bahwa kalau dipergunakan criteria NPV, maka proyek C dipilih,
tetapi dengan criteria PI, proyek D yang dipilih. Masalah ini memang sering membingungkan
para mahasiswa karena bukankh proyek D memberikan “keuntungan” Rp.60 dari investasi Rp.
500, sedangkan C memang memberikan “keuntungan” Rp. 100 tetapi dari investasi Rp. 1.000?
mengapa harus memilih C?
Sebenarnya “kebingungan” tersebut berasal dari asumsi yang mendasarinya. Kalau perusahaan
bisa memilih antara C dan D, maka tentunya perusahaan memiliki dana minimal Rp. 1.000.
Kalau kurang dari Rp. 1.000, perusahaan tidak akan bisa mengambil proyek C. Dengan
demikian, persoalan bisa dirumuskan sebagai berikut. Seandainya perusahaan memiliki dana
sebesar Rp. 1.000, dan tidak ada proyek-proyek lain selain C dan D, proyek mana yang akan
dipilih? C atau D? Jawabnya jelas C.
e. NPV dan tujuan normative menajemen keuangan
Dengan penjelasan di atas mudah-mudahan para pembaca menjadi yakin bahwa secara teoretis
penggunaan NPV akan memberikan hasil yang terbaik dalam penilaian profitabilitas investasi.
Disamping itu, PNV menunjukkan tambahan kemakmuran riil yang diperoleh oleh pemodal
dengan mengambil suatu proyek. Apabila kita kaitkan dengan tujuan normative manajemen
keuangan, yaitu untuk meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan, maka NPV konsisten
dengan tujuan normative tersebut. Marilah kita perhatikan contoh hipotetis berikut ini.
Misalkan suatu perusahaan memperoleh tawaran untuk mengelola perparkiran disuatu wilayah
selama lima tahun. Hak tersebut harus dibayar kepada pemerintah daerah seharga Rp. 1.200 juta.
Misalkan perusahaan menggunakan 100% modal sendiri. Setelah perusahaan membayar hak
parker tersebut neraca perusahaan, pada harga perolehan akan Nampak sebagai berikut
(anggaplah bahwa perusahaan tidak mempunyai aktiva apapun selain hak parker tersebut).
Tabel Neraca perusahaan setelah membeli hak parker (pada harga perolehan)
Aktiva Pasiva
Hak parkir Rp. 1.200 juta Modal sendiri Rp. 1.200 juta
Total Rp. 1.200 juta Total Rp. 1.200 juta
Setelah perusahaan memperoleh hak parker tersebut, para analis keuangan berpendapat bahwa
perusahaan bisa memperoleh kas masuk bersih per bulan sebesar Rp. 30 juta. Mereka juga
berpendapat bahwa tingkat bunga yang relevan untuk perusahaan tersebut adalah 1% per bulan.
Apabila semua orang sepakat tentang analisis tersebut, maka nilai hak parkir tersebut adalah,
PVHak parker = ∑
(, )
Dengan demikian apabila disajikan dalam bentuk neraca, tetapi dicatat pada nilai pasar, maka
neraca perusahaan tersebut adalah sebagai berikut.
Ini berarti bahwa nilai sebesar Rp. 1.200 yang diinvestasikan sekarang naik menjadi Rp. 1.348
juta. Pertambahan nilai sebeswar Rp. 148 juta ini tidak lain merupakan Net Present Value
investasi tersebut. Ini berarti bahwa seandainya perusahaan tersebut saat ini dijual, maka para
pemodal akan menawarkan harga Rp. 1.348 juta. Dengan kata lain, bagi pemilik perusahaan
akan mengalami kenaikan kemakmuran sebesar Rp. 148 juta.
Pada bagian ini akan dibicarakan berbagai variasi dalam capital budgeting. Variasi-variasi yang
akan dibicarakan adalah :
(1) Masalah metode penyusunan yang dipercepat
(2) Masalah keterbatasan dana
(3) Masalah modal kerja dalam capitak bugeting
(4) Masalah pemilihan aktiva
(5) Masalah penggantian aktiva
(6) Pengaruh inflasi pada penilaian investasi modal
Tabel Besarnya penyusutan setiap tahun, usaha mobil taksi, dengan metode DDB
Tahun Besarnya penyusutan
1 0,50 x Rp. 26 x 50 = Rp. 650,0 juta
2 0,50 x Rp. 13 x 50 = Rp. 325,0 juta
3 0,50 x Rp. 6,5 x 50 = Rp. 16,5 juta
4 Sisanya = Rp. 162,5 juta
Dengan demikian perhitungan rugi laba setiap tahun, mulai dari tahun 1 s/d tahun 4 adalah sebagai
berikut.
Nilai keseluruhan kas masuk bersih selama empat tahun juga sebesar Rp. 2.215 juta, sama
dengan sewaktu dipergunakan metode penyusutan garis lurus . Meskipun demikian dapat dilihat
bahwa pada tahun awal eprusahaan akan menerima kas masuk yang lebih besar. Dengan
demikian maka PV kas masuknya akan lebih besar, dan NPVnya akan lebih besar pula .
Perhatikan bahwa apabila dipergunakan kinerja akuntansi, maka pada tahun-tahun awal akan
Nampak kinerja keuangannya lebih jelek (karena menanggung beban penyusutan yang lebih
besar). Meskipun demikian penilaian profitabilitas suatu investasi dilakukan untuk sepanjang
usia ekonomi investasi tersebut, dan bukan per tahun. Mereka yang memusatkan perhatian hanya
pada kinerja setiap tahun sering disebut berpandangan pendek atau short-termism. Pemusatan
perhatian pada dampak jangka pendek mungkin mengakibatkan penolakan terhadap rencana-
rencana investasi yang sebenarnya menguntungkan.
Direksi mungkin tidak bersedia mengambil suatu kesempatan investasi yang sebenarnya
diperkirakan menguntungkan (yaitu memberikan NPV positif), hanya karena takut dampaknya
pada kinerja keuangan tahunan. Penurunan kinerja tahunan mungkin dikhawatirkan akan
mengakibatkan direksi dinilai tidak baik, sehingga para direksi menolak proyek-proyek yang
membawa dampak menguntungkan jangka panjang. Masalah ini disebut sebagai agency costs,
yang berarti bahwa manajemen (sebagai agent) mengambil keputusan bukan untuk kepentingan
para pemegang saham, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri.
Proyek 3 1 2 4
PI 1,15 1,13 1,11 1,08
Investasi awal Rp. 200 Rp. 125 Rp. 175 Rp. 150
Apabila dana terbatas hanya sebesar Rp. 300, maka proyek yang sebaiknya diambil adalah
proyek 1 dan 2 bukan proyek 3. Mengapa? Hal ini disebabkan karena meskipun karena meskipun
PI proyek yang tinggi, tetapi dengan mengambil proyek 1 dan 2, perusahaan diharapkan akan
memperoleh NPV yang lebih besar (yaitu Rp. 16,25 + Rp. 19,25 = Rp. 35,5), dibandingkan
dengan kalau mengambil proyek 1 (NPVnya hanya sebesar Rp. 30).
Batasan dana yang tetap untuk suatu periode biasanya jarang terjadi. Hal ini disebabkan karena
dengan berjalannya waktu, proyek yang sedang dilaksanakan mungkin telah menghasilkan kas
masuk bersih, dan arus kas tersebut bisa dipergunakan untuk menambah anggaran yang
ditetapkan.
Masalah yang timbul dalam keadaan keterbatasan dana adalah penentuan opportunity costs.
Opportunity cost menunjukkan biaya yang ditanggung perusahaan karena memilih suatu
alternative. Contoh di atas menunjukkan bahwa perusahaan tidak bisa mengambil proyek 1 dan
4, dan memilih alternative proyek 2 dan 3. Misalkan semua proyek tersebut dihitung dengan
menggunakan r = 18%. Apakah opportunity cost proyek-proyek tersebut sebesar 18%.
Jawabannya jelas tidak. Berapa “kerugian” yang ditanggun perusahaan karena tidak bisa
mengambil proyek 1 dan 4 hanya karena ridak mempunyai dana yang cukup? Jelas lebih dari
18%. Inilah sebenarnya ooprtunity cost karena perusahaan tidak memiliki dana yang cukup.
Setiap investasi modal umumnya akan memerlukan tambahan modal kerja. Tidak mungkin suatu
investasi hanya akan memerlukan pembelian aktiva tetap tanpa harus memiliki aktiva lancar.
Jumlah dana yang diperlukan untuk tetap tanpa harus memiliki aktiva lancar. Jumlah dana yang
diperlukan untuk membiayai aktiva lancar ini (setelah dikurangi dengan pendanaan spontan
kalau ada), merupakan kebutuhan akan modal kerja. Untuk memperjelas pembahasan marilah
kita perhatikan contoh berikut ini.
Misalkan suatu rencana investasi modal diperkirakan memerlukan pembelian aktiva tetap senilai
Rp. 300 juta. Usia ekonomis 3 tahun, dan untuk menyederhanakan, dianggap tidak ada nilai sisa.
Penyusutan dilakukan diperlukan aktiva lancar sebesar Rp. 200 juta. Untuk memudahkan analisis
dianggap tidak ada pendanaan spontan.
Jumlah aktiva lancar sebesar Rp. 200 juta ini dikaitkan dengan estimasi penjualan pada tahun
pertama sebesar Rp. 1.000 juta. Dengan demikian apabila penjualan diperkirakan naik, maka
jumlah aktiva lancar juga akan naik. Sebagai akibatnya, kebutuhan modal kerja akan berubah
dari waktu ke waktu, dan tidak jhanya terbatas pada awal usia proyek (tahun ke 0). Proporsi
aktiva lancar untuk tahun-tahun berikutnya diestimasi meningkat secara proporsional dengan
penjualan. Taksiran rugi laba dank as masuk operasional untuk tahun 1 s/d 3 adalah sebagai
berikut.
Untuk menaksir arus kas secara keseluruhan, baik kas keluar maupun kas masuk, perlu dipehatikan
penambahan aktiva lancar (atau modal kerja). Selama berjalannya usia investasi, jumlah aktiva lancar
akan meningkat dari tahun ke tahun (karena penjualan diharapkan meningkat). Pada akhir usia proyek,
modal kerja tersebut akan kembali sebagai terminal cash flow. Masalah tersebut bisa disajikan sebagai
berikut.
Aktiva tetap (nilai buku) Rp. 300 Rp. 200 Rp. 100 0
Aktiva lancar Rp. 200 Rp. 240 Rp. 400 0
Penambahan aktiva lancar Rp. 200 Rp. 40 Rp. 160 (Rp. 400)
Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - - -
Penambahan aktiva lancar -200 - 40 -160 -
Kembalinya modal kerja - - - +400
Arus kas operasional - +230 +282 +490
Total arus kas -500 +190 +122 +890
Apabila tingkat bunga yang dipandang layak (= r) sebesar 18%, maka NPV proyek tersebut adalah,
NPV = -500 + 790
= + 290
i. Pemilihan aktiva
Masalah yang sering dihadapi perusahaan adalah memilih aktiva (mesin misalnya) yang
mempunyai karakteristik yang berbeda, tetap kapasitasnya sama. Sebagai missal, apakah kita
akan menggunakan printer merk A ataukah B. Apakah kita akan memilih mesin ketik merk C
ataukah D. Apabila kapasitas kedua aktiva tersebut sama, maka kita tinggal melakukan analisis
terhadap factor-faktor yang berbeda. Faktor-faktor tersebut biasanya, (1) harga, (2) biaya operasi,
dan (3) usia ekonomis.
Apabila ada dua mesin yang mempunyai kapasitas yang sama, mempunyai harga yang sama,
usia ekonomis yang sama pula, tetapi dengan biaya operasi yang lebih rendah, maka tanpa
melakukan analisis yang terlalu rumit kita dengan mudah memilih mesin yang mempunyai biaya
operasi yang lebih rendah. Pertimbangan kita adalah memilih mesin yang mempunyai present
value kas keluar yang paling kecil. Meskipun demikian pedoman ini perlu berhati-hati dalam
menerapkannya. Marilah kita perhatikan contoh berikut ini.
Ada dua mesin, A dan B, yang mempunyai kapasitas yang sama. Bedanya adalah harga mesin A
lebih mahal, yaitu Rp. 15 juta, sedangkan B hanya Rp. 10 juta. Karena harga yang lebih mahal,
usia ekonomis mesin A sampai 3 tahun, sedangkan mesin B hanya 2 tahun. Biaya operasi mesin
A adalah Rp. 4 juta, sedangkan mesin B Rp. 6 juta. Mesin mana yang seharusnya dipilih kalau r
= 10%?
Kalau kita membandingkan begitu saja antara kedua mesin tersebut, maka kita mungkin akan
melakukan analisis sebagai berikut.
Kalau dibandingkan begitu saja antara kedua mesin tersebut, mungkin kesimpulannya salah,
yaitu memilih mesin B karena memberikan NPV kas keluar yang kecil. Mengapa pilihan tersebut
salah? Karena kita menggunakan dasar usia ekonomis yang tidak sama. Dengan membeli mesin
B pada akhir tahun ke 2 (atau awal tahun ke 3) kita harus membeli mesin baru lagi, sedangkan
mesin A belum perlu diganti. Untuk itulah salah satu cara yang bisa dipergunakan adalah
menggunakan basis waktu yang sama, yang disebut sebagai common horizon approach.
Pendekatan ini mengatakan bahwa kalau kita ingin membandingkan dua alternative, gunakan
dasar waktu yang sama. Kalau mesin A mempunyai usia ekonomis 3 tahun, sedangkan B
mempunyai usia ekonomis 2 tahun, maka kita bisa menggunakan common horizon 6 tahun.
Dalam periode tersebut mesin A akan berganti 2 kali, sedangkan B akan berganti 3 kali. Dengan
demikian bisa dilakukan analisis sebagai berikut.
Mesin 0 1 2 3 4 5 6 PV
R=10
%
A 15 4 4 4 + 15 4 4 4 43,69
B 6 6 6 + 10 6 6 + 10 6 6 51,22
Dengan menggunakan basis waktu yang sama, maka pilihan seharusnya adalah pada mesin A.
Sayangnya penggunaan pendekatan ini akan memakan waktu yang cukup lama kalau usia
ekonomis antara dua aktiva yang diperbandingkan ternyata agak “unik”. Ambil missal bahwa
usia ekonomis mesin C adalah 7 tahun, sedangkan mesin D adalah 8 tahun. Berapa common
horizonnya? Kita terpaksa menggunakan basis waktu 56 tahun. Ini berarti mesin C akan berganti
sebanyak 8 kali sedangkan mesin D sebanyak 7 kali.
Untuk mempersingkat perhitungan, digunakan pendekatan yang disebut equivalent annual cost
approach. Pendekatan ini menghitung berapa pengeluaran tahunan yang ekuivalent dengan PV
kas keluar. PV kas keluar mesin A adalah Rp. 24,95 juta, untuk 3 tahun. Berapa kas keluar setiap
tahun (yang jumlahnya sama) yang akan sama nilainya dengan PV kas keluar selama 3 tahun
tersebut? Persoalan tersebut bisa dirumuskan sebagai berikut.
24,95 = + +
(, ) (, ) (, )
Dengan cara yang sama kita lakukan untuk mesin B (tetapi ingat usia ekonomisnya hanya 2
tahun), dan kita akan mendapatkan nilai equivalent annual costsnya sebesar Rp. 11,76 juta.
Dengan demikian kita akan memilih mesin A karena memberikan equivalent annual cost yang
terkecil.
j. Penggantian aktiva
Misalkan suatu perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengganti mesin lama dengan
mesin baru yang lebih efisien (ditunjukkan dari biaya operasi yang lebih rendah). Nilai buku
mesin lama sebesar Rp. 80 juta, dan masih dipergunakan empat tahun lagi, tanpa nilai sisa.
Untuk keperluan analisis dan pajak, metode penyusutan garis lurus dipergunakan. Kalau mesin
baru dipergunakan, perusahaan bisa menghemat biaya operasi sebesar Rp. 25 juta per tahun.
Mesin lama kalau dijual saat ini diperkirakan juga akan laku terjual dengan harga Rp. 80 juta.
Anggaplah bahwa usia ekonomis mesin baru juga empat tahun.
Kalau kita ingin menggunakan penaksiran kas secara incremental (selisih atau perbedaan), maka
kita bisa melakukan sebagai berikut.
Kalau mesin lama diganti dengan mesin baru, maka akan terdapat tambahan pengeluaran sebesar
Rp. 120 – Rp. 80 juta = Rp. 40 juta. Taksiran arus kas operasional per tahun adalah sebagai
berikut.
Apabila tingkat bunga yang relevan (r) = 20%, maka perhitungan NPV adalah sebagai berikut,
4
,
NPV = - 40 ∑ (, )
t=1
= -40 + 53,07
= + Rp. 13,07 juta
Apabila usia ekonomis tidak sama analisis incremental dengan cara di atas tidak bisa dilakukan.
Hal tersebut dikarenakan ada perbedaan incremental cash flow pada tahun-tahun pada saat
(umumnya) usia ekonomis mesin lama sudah berakhir, sedangkan mesin baru masih beroperasi.
Untuk itu perhatikan contoh berikut ini.
Suatu perusahaan transportasi sedang mempertimbangkan untuk mengganti bis lama dengan bis
baru. Perusahaan saat ini terkena tariff pajak penghasilan sebesar 35%, dan untuk memudahkan
analisis, penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus. Perbandingan antara bis lama dengan
bis baru adalah sebagai berikut.
Tingkat keuntungan yang dipandang layak adalah 18%. Apakah perusahaan sebaiknya
mengganti bis lama dengan bis baru? Analisis baik dengan menggunakan NPV masing-masing
bis maupun incrementalnya akan Nampak sebagai berikut.
Karena NPV bus baru lebih besar, maka penggantian bis lama dapat dibenarkan.
NPV incrementalnya dapat dihitung sebagai berikut. Kalau perusahaan mengganti bis lama dengan bis
baru, perusahaan harus mengeluarkan tambahan investasi senilai Rp. 30 juta. Disamping itu taksiran
tambahan kas masuk bersih setiap tahun dari tahun 1 s/d 5 adalah sebagai berikut.
Tambahan kas masuk bersih per tahun, dari tahun 1 s/d 5, adalah Rp. 10,1 juta. Disamping itu, pada
tahun ke 5, apabila bis lama diganti dengan bis baru, akan menimbulkan arus kas – Rp. 5,0 juta dari
kehilangan penjualan nili residu bis lama, dan pada tahun ke 7 juga sebesar Rp. 32,75 juta plus Rp. 10
juta nili residu bis baru. Dengan demikian perhitungan NPV incrementalnya adalah sebagai berikut.
, , ,
NPVincr1 = -30 + (, )
- + (, )
+ (, )
+
(, ) (, )
Dengan demikian penggantian bis lama dengan bis baru akan memberikan NPV yang positif. Perhatikan
bahwa NPV incremental sama dengan selisih NPV bis baru dengan bis lama.
k. Pengaruh inflasi
Apa dampak inflasi terhadap analisis investasi modal? Inflasi akan mempengaruhi dua factor,
yaitu (1) arus kas, dan (2) tingkat keuntungan yang dipandang layak (r). Semakin besar inflasi
yang diharapkan, semakin tinggi tingkat keuntungan yang disyaratkan. Sedangkan pengaruh
terhadap arus kas terutama akan disebabkan oleh (1) pembebanan pajak yang cenderung dihitung
berdasar atas nilai historis, dan (2) intensitas inflasi terhadap factor-faktor yang mempengaruhi
arus kas.
Untuk menghitung NPV proyek tersebut, kita perlu menaksir kas masuk operasional terlebih
dulu.
Sedangkan taksiran arus kas karena investasi disajikan dalam Tabel 13.6. Tabel
Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - - -
Penambahan aktiva lancar -200 -64 -220 -
Kembalinya modal kerja - - - +484
Arus kas operasional - +230,0 +292,4 +506,9
Total arus kas -500 +166 +72,4 +990,9
Dengan demikian perhitungan NPV investasi tersebut bisa dinyatakan sebagai berikut.
Dalam keadaan terdapat inflasi (yang mungkin cukup serius), kita perlu menggunakan dasar
penaksiran yang sama. Maksudnya adalah bahwa tingkat inflasi umumnya segera dicerminkan
pada penentuan r. Semakin tinggi expected inflation, semakin tinggi r. kalau kita menggunakan r
yang telah memasukkan factor inflasi, maka dalam menaksir arus kas kita juga harus telah
memasukkan factor inflasi.
Yang sering terjadi adalah bahwa r telah memasukkan factor inflasi sedangkan arus kas tidak
memasukkan factor inflasi. Arus kas mungkin ditaksir pada real values, dan bukan pada nominal
value. Perhatikan contoh berikut ini untuk menggambarkan perbedaan antara real dan nominal
value.
Misalkan tahun depan kita mengharapkan akan menerima Rp. 100 real value. Apabila tingkat
inflasi diperkirakan sebesar 10%, maka nominal valuenya akan Rp. 100(1+0,1) = Rp. 110.
Misalkan real interest rate = 6%. Dengan inflasi sebesar 10%, maka nominal interest rate =
(1+0,06)(1+0,1) = 1,166. Dengan demikian apabila dihitung PV penerimaan tersebut, maka
dengan menggunakan nominal value akan diperoleh,
PV = 110/(1+0,166)
= 94,34
PV = 100/(1 + 0,06)
= 94,34
Hasil tersebut akan sama sejauh dipergunakan dasar yang konsisten. Sayangnya dalam
penaksiran arus kas, penggunaan nominal value seperti yang telah kita lakukan di atas, tidak
akan menghasilkan hasil yang sama dengan perhitungan atas dasar real value karena terdapat
distorsi dalam beban penyusutan yang dihitung atas dasar nilai historis (perolehan).
Pada garis besarnya ada dua pendekatan untuk memasukkan factor risiko dalam investasi. Yang
pertama adalah mengukur risiko dalam bentuk ketidak-pastian arus kas, dan yang kedua
menggunakan konsep hubungan yang positif antara risiko dengan tingkat keuntungan yang
dipandang layak. Pendekatan yang kedua ini merupakan penerapan Capital Asset Pricing Model
(CAPM) yang telah dibicarakan pada Bab 4, dan akan dibicarakan lebih lanjut pada Bab 15. Bab
ini hanya membicarakan risiko dalam pengertian ketidak-pastian arus kas.
Pendekatan ini menggunakan dasar pemikiran bahwa semakin tidak pasti arus kas suatu
investasi, semakin berisiko investasi tersebut. Dengan demikian analisis akan dipusatkan pada
arus kas. Dengan memperkirakan distribusi arus kas tersebut, bagaimana probabilitas proyek
tersebut akan menghasilkan NPV negative? Bagaimana kita bisa memperkirakan ketidak-pastian
arus kas? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dicoba
dijawab oleh metode ini.
2. Risiko Proyek
Apabila dipergunakan ketidak-pastian arus kas sebagai pengukur risiko, maka pemikiran ini
berarti bahwa semakin tidak pasti arus kasnya, atau semakin besar nilai deviasi standar arus kas
tersebut, semakin berisiko proyek tersebut. Masalah yang timbul adalah bahwa proyek investasi
mempunyai jangka waktu cukup lama. Sementara kita menaksir arus kas setiap tahun (termasuk
ketidak-pastiannya), proyek tersebut mungkin diharapkan akan menghasilkan arus kas selama
beberapa tahun. Dengan kata lain, kita perlu menaksir arus kas yang diharapkan (expected cash
flow) dan deviasi standarnya pada tahun 1, tahun 2, sampai dengan tahun ke n. Untuk proyek
secara keseluruhan, penghitungan deviasi standar NPV perlu memperhatikan keterkaitan arus
kas tahun 1 dengan tahun ke 2, tahun ke 2 dengan tahun ke 3, dan tahun ke n-1 dengan tahun ke
n.
Pada ekstremnya, pola arus kas bisa dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu (1) tidak mempunyai
korelasi sama sekali (independen), dan (2) berkorelasi sempurna. Kemungkinan lainnya adalah
bentuk-bentuk antara (berkorelasi moderat).
Masalah lain adalah pemilihan tingkat bunga yang dianggap relevan untuk menaksir NPV proyek
tersebut. Apabila ketidak-pastian arus kas dipergunakan sebagai pengukur risiko, dan karenanya
semakin tidak pasti arus kas, semakin besar risikonya , maka tingkat bunga yang dipergunakan
tentunya tidak bisa mengakomodir factor risiko tersebut. Dengan kata lain kita tidak bisa
menggunakan tingkat bunga yang makin besar apabila kita merasa bahwa ketidak-pastian arus
kas tersebut makin besar pula. Mengapa?
Hal ini disebabkan oleh dua alas an. Pertama, kita belum bisa merumuskan hubungan risiko
dengan tingkat bunga yang dipandang layak. Maksudnya, misalkan koefisien variasi arus kas
adalah sebesar 0,4. Angka ini lebih besar daripada proyek yang mempunyai arus kas 0,3
misalnya. Kalau kita ingin memasukkan factor risiko dalam penentuan tingkat bunga, bagaimana
persamaannya? Sampai saat ini belum bisa dirumuskan persamaan yang berlaku.
Kedua, apabila dipergunakan ketidak-pastian arus kas sebagai indicator risiko dan kemudian arus
kas tersebut di present-value-kan dengan menggunakan tingkat bunga yang telah mengkomodir
unsure risiko, berarti kita melakukan perhitungan ganda (double counting). Kita memperlakukan
risiko tersebut dua kali dalam analisis. Pertama pada penentuan ketidak-pastian arus kas dan
kedua pada penggunaan tingkat bunga.
Kesulitan menggunakan cara di atas adalah menaksir conditional probability, lebih-lebih kalau
proyek tersebut mempunyai usia ekonomis yang cukup panjang. Kita akan sampai pada situasi
jumlah seri NPV menjadi sangat banyak. Sebenarnya masalahnya bukanlah sangat banyaknya
seri NPV yang akan muncul, tetapi penaksiran probabilitas kondisional yang sangat banyak.
Metode yang mencoba menyederhanakan simulasi. Simulasi bisa (dan perlu) dilakukan banyak
kali sehingga diperlukan bantuan computer, tetapi penaksiran probabilitas tidak akan serumit
persoalan di atas. Untuk itu marilah kita perhatikan contoh berikut ini.
Misalkan tim analisis proyek yang mempunyai usia ekonomis 3 tahun sampai pada kesimpulan
sebagai berikut.
(1) Taksiran unit yang terjual setiap tahun usia ekonomis 3 tahun adalah sebagai berikut.
Unit yang terjual Probabilitas
80.000 0,30
100.000 0,40
140.000 0,30
(2) Taksiran harga jual per unit setiap tahun adalah sebagai berikut.
Harga jual Probabilitas
Rp. 5.000 0,10
Rp. 8.000 0,70
Rp. 9.000 0,20
(1) Biaya variabel per unit untuk setiap tahun adalah sebagai berikut.
Biaya variabel Probabilitas
Rp. 3.000 0,20
Rp. 5.000 0,60
Rp. 6.000 0,20
(2) Biaya tetap yang bersifat tunai per tahun adalah sebagai berikut.
Biaya tetap Probabilitas
Rp. 80 juta 0,10
Rp. 100 juta 0,80
Rp. 120 juta 0,10
Bagaimana melakukan simulasi? Dalam ilustrasi di atas dipergunakan empat variabel yang tidak
pasti sifatnya, yaitu (1) unit yang terjual, (2) harga jual, (3) biaya variabel per unit, dan (4) biaya
tetap per unit. Karena itu simulasi bisa dilakukan misalnya dengan cara sebagai berikut. Kita
taruh empat tumpuk kartu di atas meja, yang masing-masing tumpuk terdiri dari 10 kartu dan kita
beri nomor 1 s/d 10. Tumpukan pertama mewakili unit yang terjual, tumpukan kedua mewakili
harga jual,tumpukan ketiga mewakili biaya variabel, dan tumpukan keempat mewakili biaya
tetap.
Untuk masing-masing tumpuk kartu setiap nomor mewakili nilai tertentu yang bisa kita sajikan
sebagai berikut.
Simulasi dilakukan sebagai berikut. Kita ambil satu kartu dari tumpukan kartu I, tumpukan II, II dan IV.
Misalkan dari simulasi pertama terambil oleh kita kartu-kartu sebagai berikut.
Ini berarti bahwa taksiran arus kas operasional setiap tahun adalah sebagai berikut.
Penjualan 100.000 x Rp. 9.000 Rp. 900,00 juta
Biaya-biaya
Variabel 100.000 x Rp. 3.000 = Rp. 300,00 juta
Tetap Rp. 100,00 juta
Penyusutan Rp. 50,00 juta Rp. 450.00 juta
Laba operasi Rp. 450,00 juta
Pajak (35%) Rp. 157,50 juta
Kas masuk operasional = Rp. 292,50 + Rp. 50 = Rp. 342,50 juta
,
NPV1 = -500 + ∑ ,) + = +614,7
(, )
Kemudian kita bisa melakukan simulasi ke 2, ke 3, dan seterusnya smpai dengan jumlah yang
kita pandang cukup. Bukan hal yang aneh kalau simulasi dilakukan sampai 100 kali (karena itu
perlu dipergunakan bantuan computer untuk membantu mempercepat perrhitungan). Dengan
demikian akan diperoleh NPV1 s/d NPV100. Setelah kita memperoleh sejumlah besar NPV, maka
kita bisa menyusun disdribusinya. Ini berarti kita menghitung rata-rata NPV (sebagai NPV yang
diharapkan) dan deviasi standar NPV-NPV tersebut.
3.12. Latihan Capital Budgeting
Kasus 1
PT. SSS mempertimbangkan untuk mengganti mesin yang baru dan lebih efisien. Mesin lama
dapat dijual dengan harga 350 juta setelah dipakai selama 3 tahun, didepresiasikan dengan nilai
buku 600 juta selama 8 tahun, metode yang digunakan metode straight line. Mesin baru dibeli
dengan harga 2,4 milyar beserta pemasangannya. Mempunyai umur pemakaian 8 tahun, dan nilai
sisanya 200 juta, metode depresiasi yang digunakan sama dengan mesin lama. Diharapkan mesin
baru dapat menghemat 600 juta pertahun. Pajak yang dikenakan sebesar 30 %.
a. Berapakah incremental cash inflow dan outflownya ?
b. Berapakah NPV jika rate of returnnya 14 % ?
c. Berapakah IRR-nya.
Kasus 2
Berikut ini adalah investasi dengan biaya modal ditentukan 13%, diperoleh data bahwa net
income after tax untuk masing-masing tahun (dalam ribuan rupiah) adalah sebagai berikut :
Investasi awal 80.000.000
Tahun Proyek X (NIAT)
1 1.000.000.
2 1.000.000.
3 5.000.000.
4 10.000.000.
5 15.000.000.
Pajak yang dikenakan adalah 40 %, metode depresiasi yang digunakan adalah straight line
method
a. Hitunglah pay back period untuk investasi proyek X
b. Hitunglah nilai tunai bersih (npv) untuk proyek X
c. Hitunglah IRR untuk proyek
X Kasus 3
Berikut ini adalah dua proyek investasi dengan risiko yang sama dan proyek tersebut bersifat
mutually exclusive. Biaya modal ditentukan 13 % , cash flow untuk masing – masing adalah
sebagai berikut :
Proyek A Proyek B
Investasi awal 80.000.000 50.000.000.
Tahun CF CF
1 15 juta 15 juta
2 20 15
3 25 15
4 30 15
5 35 15
Biaya Modal
Cost of capital atau biaya modal perusahaan merupakan konsep yang sangat penting
untuk diketahui oleh manajer keuangan perusahaan. Keberhasilan perusahaan dalam memperoleh
dana dengan biaya modal yang optimal merupakan usaha yang harus dilakukan oleh manajer
keuangan. Biaya modal yang optimal bilamana tercapai biaya modal minimal sehingga bisa
meningkatkan nilai perusahaan , dan tidak menyebabkan perusahaan terancam financial distress.
Biaya modal saling berhubungan dengan keputusan investasi jangka panjang dan akan
sangat menentukan dalam peningkatan kekayaan pemegang saham. Biaya modal bukan sekedar
angka tetapi sangat berarti bagi tanda-tanda penurunan atau kenaikan dari harga saham. Secara
formal bahwa biaya modal adalah tingkat pengembalian yang diinginkan dari suatu proyek,
dimana akan mempertahankan tingkat kekayaan yang dimiliki oleh pemegang saham.
Pada neraca yang dimiliki oleh perusahaan , biaya modal akan tercermin pada sisi kanan
atau sisi passiva . Pada kelompok ini yaitu utang jangka panjang, saham preferens, dan saham
biasa, akan menentukan besarnya proporsi dan berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya modal
rata-rata tertimbang. Selain besarnya proporsi besar kecilnya biaya modal juga ditentukan pula
oleh besar dan kecilnya biaya modal masing – masing komponen yaitu utang jangka panjang,
saham preferens dan saham biasa.
Pada saat menentukan biaya modal, maka asumsi digunakan sebagai dasar perhitungan,
yaitu mengenai risiko bisnis, risiko keuangan, dan ketentuan setelah dipotong pajak. Risiko
bisnis adalah risiko bahwa perusahaan tidak mampu membiayai biaya operasional, diasumsikan
bahwa risiko bisnis pada perhitungan biaya modal diasumsikan tidak berubah. Ini berarti
diterimanya suatu proyek tertentu tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi
biaya operasionalnya. Demikian pula risiko keuangan yaitu risiko perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangan seperti bunga, dan diasumsikan tidak berubah, sehingga proyek dibiayai
oleh perusahaan dianggap tidak berubah.
Modal adalah dana yang digunakan untuk membiayai pengadaan aktiva dan operasi
perusahaan. Modal terdiri dari item-item yang ada di sisi kanan suatu neraca, yaitu hutang,
83
saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. Perhitungan biaya penggunaan modal sangatlah
penting berdasarkan 3 alasan: 1) maksimisasi nilai perusahaan mengharuskan biaya-biaya
(termasuk biaya modal) diminimumkan, 2) keputusan penganggaran modal (capital budgeting)
memerlukan suatu estimasi tentang biaya modal, dan 3) keputusan-keputusan lain seperti leasing,
modal kerja juga memerlukan estimasi biaya modal.
Biaya modal yang tepat untuk semua keputusan adalah rata-rata tertimbang dari seluruh
komponen modal (Weighted Cost of Capital atau WACC) . Tidak semua komponen modal
diperhitungkan dalam menentukan WACC. Hutang dagang (Accounts Payable) tidak
diperhitungkan dalam penentuan WACC karena 1) tidak terlalu dapat dikontrol oleh manajemen,
2) diperlakukan sebagai arus kas modal kerja bersih dalam proses penganggaran modal. Hutang
wesel (notes payable) atau hutang jangka pendek yang berbunga (short-term interest-bea0ring
debt) dimasukkan dalam perhitungan WACC hanya jika hutang tersebut merupakan bagian dari
pembelanjaan tetap perusahaan, bukan merupakan pembelanjaan sementara.
Pada umumnya hutang jangka panjang dari modal sendiri merupakan unsur untuk
mmenghitung WACC. Dengan demikian kita harus menghitung 1) biaya hutang (cost of debt), 2)
biaya laba ditahan (cost of retained earning), 3) biaya saham biasa baru (cost of new common
stock) dan 4) biaya saham preferen (cost of preferred stock). Biaya modal harus dihitung
berdasarkan suatu basis setelah pajak (after tax basis), karena aruskas setelah pajak adalah yang
paling relevan untuk keputusan investasi.
Sewaktu kita membicarakan keputusan investasi, kesimpulan yang kita peroleh adalah
bahwa keputusan investasi yang memberikan NPV positif akan meningkatkan nilai perusahaan
(atau kemakmuran pemilik perusahaan. Dengan demikian, maka tujuan yang sama, - yaitu
memperoleh NPV yang positif -, juga bisa dipergunakan dalam mengambil keputusan pendanaan
(financing decisions).
Perbedaannya adalah bahwa relative jauh lebih sulit untuk memperoleh NPV positif dari
keputusan pendanaan dibandingkan dengan keputusan investasi. Hal ini disebabkan karena
keputusan investasi – yang dilakukan pada sector riil – dilakukan pada pasar yang tidak
sempurna, informasi tidak lengkap dan/atau sangat mahal, kadang-kadang juga dijumpai adanya
hambatan untuk masuk (barrier to entry) untuk sector tersebut, sehingga terbuka peluang untuk
memperoleh NPV yang positif. Dalam bahasa ekonomi, tercipta peluang untuk memperoleh
economic profit (yaitu keuntungan di atas keuntungan yang wajar, sesuai dengan biaya
modalnya). Keputusan pendanaan, sebaliknya, dilakukan dalam pasar modal yang umumnya
sangat kompetitif, informasi terbuka luas bagi semua pemodal, dan pemodal individual tidak bisa
mempengaruhi harga. Pasar yang seperti ini disebut sebagai pasar modal yang efisien. Dalam
keadaan seperti ini, transaksi jual beli sekuritas akan cenderung menghasilkan NPV tidak positif
(Brealey and Myers, 1991).
Meskipun demikian perlu diingat bahwa transaksi yang menghasilkan NPV=0 bukanlah
transaksi yang tidak menghasilkan laba menurut pengertian akuntansi. Mungkin sekali dalam
transaksi tersebut dipeoleh capital gains yang positif (artinya sewaktu dijual harga saham
tersebut sudah lebih tinggi dari harga belinya) Hanya saja, tingkat keuntungan yang diperoleh
tidaklah melebihi tingkat keuntungan yang diisyaratkan apabila telah diperhatikan factor risiko.
Misal bahwa tahun lalu kita membeli saham dengan harga Rp. 10.000. Saat ini saham tersebut
tidk membagi dividen). Dengan demikian maka tingkat keuntungan yang kita peroleh adalah
18%. Angka ini lebih tinggi dari suku bunga deposito yang hanya 14%. Tetapi kita perlu
mengingat bahwa sewaktu kita membeli saham, kita memutuskan untuk menanggung risiko yang
lebih besar. Karena itu mungkin tingkat keuntungan 18% hanyalah sesuai dengan risiko yang
kita tanggung (misalnya kita taksir dengan CAPM).
Besarnya pembayaran setiap tahun, mulai akhir tahun ke 1 dihitung dengan cara sebagai berikut.
1.000 = + +
(, ) (, ) (, )
Apabila peusahaan hanya membayar Rp. 409 juta per tahun selama 3 tahun, maka PV
pembayaran tersebut apabila dipergunakan r = 18% adalah,
PV = ∑
(, )
Dengan kata lain, perusahaan yang memperoleh kredit dengan suku bunga murah tersebut
menerima subsidi dari pemerintah senilai Rp. 111 juta. Tentu saja tidak perlu heran kalau ada
yang dapat memperoleh kredit dengan suku bunga murah, tentunya akan menerima manfaat.
Cara di atas menunjukkan cara menghitung nilai manfaat tersebut.
Jika perusahaan menggunakan obligasi sebagai sarana untuk memperoleh dana dari utang
jangka panjang, maka biaya utang adalah sama dengan Kd atau Yield To Maturity (YTM) yaitu
tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemegang/pembeli obligasi.
Contoh:
Perusahaan menerbitkan obligasi yang membayar bunga 10%, nilai nominal 1.000, jatuh
tempo dalam waktu 5 tahun. Obligasi tersebut terjual dengan harga 1.000.
Biaya hutang dapat dicari dengan cara:
1 M
Harga obligasi = +
(1 + Kd) (1 + Kd)
Dengan menggunakan bantuan tabel PVIFA dan PVIF, kita dapat menemukan Kd sebesar
10%. Untuk lebih jelas, silahkan melihat kembali bab penilaian obligasi.
Biaya utang (Kd) ini merupakan biaya utang sebelum pajak (pre-tax cost). Dalam
menghitung WACC, yang relevan adalah biaya hutang setelah pajak (after-tax cost of debt)
Biaya utang sesudah pajak = biaya utang sebelum pajak (1- tingkat pajak)
Contoh:
Kd = 10%
Pajak= 15%
Biaya utang setelah pajak = 10% (1-15%) = 8,5%
Hal ini didasari pada kenyataan bahwa hutang menimbulkan biaya bunga yang akan
menurunkan penghasilan yang dikenai pajak. Dengan demikian penggunaan hutang dapat
mengurangi pajak yang harus dibayar. Ini adalah salah satu keuntungan menggunakan hutang
dibanding menggunakan modal sendiri. Penggunaan hutang disebut bersifat tax-deductible.
Contoh:
Perusahaan menggunakan modal 100 juta, seluruhnya modal sendiri.
Penjualan 200 juta
Harga pokok penjualan 100
juta
Laba kotor 100 juta
Biaya administrasi, overhead, lain-lain 20
juta
Laba bersih sebelum bunga dan pajak 80 juta
Biaya bunga 0
Laba bersih sebelum pajak 80 juta
Pajak 15% (15% x 80 juta) 12 juta
Laba bersih sesudah pajak 68 juta
Modal perusahaan 100 juta, dimana 50% adalah hutang dengan bunga 10%, sisanya modal
sendiri.
Penjualan 200 juta
HPP 100 juta
Laba kotor 100 juta
Biaya administrasi, overhead, lain-lain 20 juta
Laba bersih sebelum bunga dan pajak 80 juta
Biaya bunga (50 juta x 10%) 5 juta
Laba bersih sebelum pajak 75 juta
Pajak 15% (15% x 75 juta) 11,25 juta
Laba bersih sesudah pajak 63,75 juta
Dengan menggunakan hutang kita dapat menghemat pembayaran pajak sebesar 12 juta – 11,25
juta = 750.000,-. Penghematan pajak ini akan mengurangi biaya bunga.
Biaya bunga 5 juta
Penghematan pajak 0,75 juta
Biaya bunga yang sebenarnya 4,25 juta
Atau:
Biaya hutang sebelum pajak 5 juta
Penghematan pajak 0,75 juta
Biaya hutang sesudah pajak 4,25 juta
Jika dinyatakan dalam presentase, biaya hutang sesudah pajak adalah 4,25 juta/50 juta = 8,5%
atau sama dengan Kd (1-T) = 10% (1-15%) = 8,5%
Biaya utang menunjukkan berapa biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan karena
perusahaan menggunakan dana yang berasal dari pinjaman. Untuk menaksir berapa besarnya
biaya utang tersebut, maka konsep present value diterapkan. Sebagai misal, suatu perusahaan
akan menerbitkan obligasi dengan jangka waktu 10 tahun, membayarkan bunga sebesar 14% per
tahun. Nilai nomisal obligasi tersebut adalah Rp. 1.000.000. Sewaktu ditawarkan ke masyarakat,
obligasi tersebut hanya laku terjual dengan harga Rp. 980.000.
Dalam persoalan tersebut kita bisa menghitung biaya hutang (diberi notasi kd) sebagai berikut.
. ..
980.000 = [∑ ] + ()
( )
Dengan melakukan trial and error bisa dihitung bahwa kd sekitar 14,40%.
Faktor pajak perlu diperhatikan dalam menaksir biaya hutang. Karena umumnya
pembayaran bunga bersifat tax deductible, dan penaksiran arus kas untuk penilaian profitabilitas
investasi didasarkan atas dasar setelah pajak, maka biaya hutang perlu disesuaikan dengan pajak.
Rumus yang dipergunakan adalah,
kod = kd(1-
t) Dalam hal ini,
kod = Biaya hutang setelah pajak
t = Tarif pajak penghasilan
Untuk contoh di atas, apabila tariff pajak adalah 35%, maka biaya hutang setelah pajak adalah,
kod = 14,4%(1-0,35)
= 9,36%
Angka inilah nanti yang akan dipergunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata
tertimbang, apabila ada pajak dan pembayaran bunga bersifat tax deductible.
Selain factor pajak, factor biaya floatiation mungkin perlu juga dipertimbangkan. Apabila
dlam penerbitan obligasi tersebut dikeluarkan biaya floatation (emisi) sebesar Rp. 20.000 per
lembar obligasi, maka dari Rp. 980.000 yang dibayar permodal, hanya Rp. 960.000 yang
diterima oleh perusahaan. Dalam hal tersebut biaya utang (sebelum pajak) adalah,
. ..
960.000 = [∑ ]+ ()
( )
Kita akan memperoleh kd yang sedikit lebih besar dari 14,4% (sewaktu tidak ada floatation cost).
4.2. BIAYA SAHAM PREFEREN
Selain utang jangka panjang , sumber pembiayan perusahaan dapat berasal dari saham
preferen. Biaya saham preferen adalah sama dengan tingkat keuntungan yang dinikmati
pembeli saham preferen atau Kp. Saham preferen adalah saham yang memberikan jaminan
kepada pemiliknya untuk menerima dividen dalam jumlah tertentu berapapun laba (rugi)
perusahaan. Karena saham preferen merupakan salah satu bentuk modal sendiri, maka
perusahaan tidak berkewajiban melunasi saham tersebut.
Kp =
dimana:
Kp = biaya saham preferen
Dp = dividen saham preferen tahunan
Pn = harga saham preferen bersih yang diterima perusahaan penerbit (setelah dikurangi
biaya
peluncuran saham atau flotation cost)
Contoh:
Perusahaan menjual saham preferen yang memberikan dividen 10,- per tahun. Harga saham
adalah 100,- dengan flotation cost 2,5,- per lembar saham.
Kp =
= = 10,26%
,
Po =
maka
K̂ s =+
dimana:
D1 = dividen akhir eriode
Po = harga saham pada awal periode
g = tingkat pertumbuhan dividen
Untuk lebih jelas, silahkan lihat bab penilaian saham (Bab 6)
Metode Estimasi
Tinggi Rendah
CAPM 15,2% 14,6%
DCF (constant growth) 15% 14%
DCF (nonconstant growth) 15% 14,4%
Bond yield plus risk premium 15,3% 14,3%
Rata-rata 14,3% 15,1%
Rata-rata keseluruhan 14,7%
dimana:
WACC = biaya modal rata-rata tertimbang
wd = persentase hutang dari mmodal
wp = presentase saham preferen dari modal
Ws = persentase saham biasa atau laba ditahan dari
modal Kd = biaya hutang
kp = biaya saham preferen
Ks = biaya laba ditahan
Ke = biaya saham biasa baru
T = pajak (dalam presentase)
Wd, Wp, Ws didasarkan pada sasaran struktur modal (capital structure) perusahaan yang
dihitung dengan nilai pasar (Market value)-nya. Setiap perusahaan harus memiliki suatu
struktur modal yang dapat meminimumkan biaya modal sehingga dapat memaksimumkan
harga saham.
Contoh:
Target struktur modal perusahaan adalah 30% hutang, 10% saham preferen dan 60%
modal sendiri (yang seluruhnya berasal dari laba ditahan). Biaya hutang adalah 12%, biaya
saham preferen 12,6% dan biaya laba ditahan 16,5% pajak diketahui sebesar 40%.
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= 0,3 (12%)(1-40%) + 0,1 (12,6%) + 0,6 (16,5%)
= 13,32%
Misalkan suatu proyek akan didanai dengan komposisi sebagai berikut.
Biaya laba yang ditahan (yaitu modal sendiri) ditaksir sebesar 19,0%, dan emisi saham baru
diperlukan biaya emisi 3%. Biaya saham baru sebesar 15% sebelum pajak. Pajak penghasilan
sebesar 35%.
Untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang perlu dihitung biaya modal dari masing-
masing sumber pendanaan. Biaya saham baru sebesar (19,0%/0,97) = 19,6%. Biaya hutang
setelah pajak sebesar 15%(1-0,35) = 9,75%. Dengan demikian maka,
Sumber Dana Komposisi Biaya modal Rata-rata
setelah pajak tertimbang
Saham baru 0,40 19,60% 7,84%
Laba yang ditahan 0,30 19,00% 5,70%
Hutang 0,30 9,75% 2,93%
Biaya modal rata-
rata tertimbang (ko) 16,47%
Angka tersebut menunjukkan bahwa apabila proyek tersebut diharapkan akan bisa memberikan
IRR > 16,47% maka proyek tersebut dinilai menguntungkan. Atau, kalau NPV proyek tersebut
dihitung dengan tingkat bunga sebesar 16,47% dan diharapkan memberikan angka yang positif,
maka proyek tersebut dinilai menguntungkan.
4.6. Kesalahan Yang Sering Dibuat dengan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang
Misalkan proyek yang sedang dianalisis diperkirakan memberikan IRR hanya sebesar 15%.
Dengan demikian, apabila digunakan proporsi pendanaan seperti pada table di atas, proyek
tersebut akan dinilai tidak menguntungkan. Apabila Direktur Keuangan sangat ingin
melaksanakan proyek tersebut, maka mungkin ia akan melakukan tindakan “kreatif: sebagai
berikut. “Mengapa” kita tidak mendanai proyek tersebut dengan 70% hutang dan hanya 30%
laba yang ditahan?. Bukankah dengan menempuh cara tersebut biaya modal rata-rata tertimbang
akan sebesar,
ko = 0,70(9,75%) + 0,30(19,00%)
= 12,53%
Dan karena itu proyek tersebut akan dinilai menguntungkan?
Kesalahan cara yang dilakukan di atas adalah bahwa Direktur keuangan menggunakan asumsi
bahwa biaya modal sendiri (=ko) konstan meskipun proyek akan dibiayai dengan proporsi dana
yang lebih banya terdiri dari hutang. Hal ini tentu saja tidak benar, karena ko akan meningkat,
dan mungkin peningkatannya tidak lagi linier, apabila perusahaan menggunakan hutang yang
makin banyak.
Kesalahan lain, adalah kemungkinan digunakannya struktur modal dari perusahaan saat ini.
Padahal yang seharusnya dipergunakan adalah struktur modal yang optimal. Dengan demikian
mungkin saja proporsi pendanaan yang dipergunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata
tertimbang berbeda dengan proporsi pendanaan yang akan dipergunakan untuk proyek yang
dianalisis.
Jadi misalkan struktur pendanaan perusahaan saat ini adalah 50% hutang dan 50% modal sendiri.
Ada kencenderungan bahwa analis poroyek akan mengunakan struktur pendanaan ini dalam
menghitung biaya modal rata-rata tertimbang. Apabila struktur pendanaan dari perusahaan saat
ini memang merupakan struktur pendanaan yang optimal, maka pilihan tersebut memang tepat.
Sebaliknya apabila struktur pendanaan yang dinilai optimal adalah 40% hutang dan 60% modal
sendiri, maka struktur yang optimallah yang seharusnya dipergunakan sebagai bobot
penghitungan biaya modal rata-rata tertimbang, bukan struktur pendanaan saat ini dari
perusahaan.
Satu hal juga yang tidak boleh dilupakan adalah biaya modal sendiri proyek tersebut mungkin
saja berbeda dengan biaya modal sendiri dari perusahaan. Hal ini akan terjadi apabila proyek
yang dianalisis merupakan bisnis yang berbeda dengan bisnis yang saat ini dijalankan oleh
perusahaan.
Sebagai missal, proyek yang sedang dilaksanakan adalah meluncurkan produk baru. Apabila
produk tersebut dinilai mempunyai risiko (atau beta dalam konteks CAPM) yang berbeda dengan
bisnis perusahaan saat ini, maka biaya modal sendiri yang relevan untuk proyek tersebut
bukanlah biaya modal sendiri dari perusahaan saat ini. Penggunaan biaya modal sendiri dari
perusahaan saat ini hany tepat apabila risiko proyek tersebut relative sama dengan risiko bisnis
saat ini. Untuk proyek-proyek seperti penggantian mesin, penambahan kapasitas produksi,
penggunaan biaya modal sendiri dari perusahaan saat ini dapat dibenarkan.
Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah sewaktu menaksir arus kas operasi pada saat akan
dipergunakan biaya modal rata-rata tertimbang sebagai cut-off rate dalam perhitungan IRR atau
NPV. Kesalahan tersebut terjadi sewaktu dipergunakan cara menaksir arus kas operasi (proceed)
dengan cara,
Cara tersebut hanya benar apabila kita mengasumsikan bahwa proyek akan dibiayai dengan
100% modal sendiri. Dengan kata lain, dalam perhitungan laba setelah pajak, tidak dikurangi
terlebih dulu dengan pembayaran bunga. Apabila kita mengurangi terlebih dulu pembayaran
bunga (karena proyek dibiayai sebgaian dengan hutang) maka akan terjadi perhitungan ganda
kalau dipergunakan rumus proceed .
Marginal Cost of Capital (MCC) adalah biaya memperoleh rupiah tambahan sebagai modal
baru. Pada umumnya, biaya marginal modal akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
penggunaan modal.
Contoh:
Suatu perusahaan membutuhkan modal baru sebanyak 500 juta. Struktur modal yang hendak
dicapai adalah 60% modal sendiri dari saham biasa atau laba ditahan (common equity), 30%
hutang, dan 10% saham preferen. Tarif pajak adalah 40%. Biaya hutang sebelum pajak
adalah 14% dan biaya saham preferen 12,6%. Perusahaan berharap dapat menahan laba
sebesar 100 juta. Biaya laba ditahan 16%, biaya saham biasa baru 16,8%. WACC jika
menggunakan laba ditahan adalah:
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= (0,3)(14%)(1-40) + (0,1)(12,6%) + (0,6)(16%)
= 13,38%
WACC jika menggunakan saham biasa baru adalah:
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= (0,3)(14%)(1-40) + (0,1)(12,6%) + (0,6)(16,8%)
= 13,86%
Karena menggunakan saham biasa baru lebih mahal, perusahaan pada umumnya berusaha
menggunakan laba ditahan sebanyak mungkin. Jika kurang, baru digunakan saham biasa
baru. Pada soal diatas perusahaan menargetkan 60% modal sendiri dari saham biasa atau laba
ditahan 60% dari 500 juta adalah 300 juta. Sedangkan laba ditahan hanya 100 juta, sehingga
perusahaan harus menerbitkan saham biasa baru untuk memperoleh 200 juta. Artinya sampai
titik dimana modal sendiri diperoleh dari laba ditahan, WACC perusahaan adalah 13,38%.
Setelah melewati titik tersebut, kebutuhan modal sendiri harus dipenuhi dari penjualan saham
baru sehingga WACC berubah menjadi 13,86%.
Titik dimana MCC naik tersebut disebut “Break point”. Break point dapat dicari dengan
rumus:
Break point =
Artinya pada saat dana baru yang diperoleh mencapai angka 166.666.666,7, perusahaan telah
menggunakan 0,6 (166.666.666,7) = 100 juta laba ditahan. Setelah angka ini, perusahaan
harus menerbitkan saham biasa baru.
Menggambar skedul MCC.
Persoalan sebelumnya dapat digambar dalam suatu skedul Marginal Cost of Capital:
WACC
(%)
WACC = 13,86%
MCC
WACC = 13,38
216.666.666,7
50.000.000
Modal baru
0 Break point
Skedul MCC dengan depresiasi
Selain saham biasa baru dan laba ditahan, perusahaan juga dapat memanfaatkan depresiasi.
Depresiasi adalah suatu “noncash expense” dianggap sebagai biaya tapi kita tidak kehilangan
sepeserpun uang kas kita. Artinya depresiasi dicatat sebagai biaya tetapi uang untuk
“membayar” biaya tersebut tidak dari kas kita, tetap ada dalam kas. Depresiasi biasanya
ditujukan untuk mengganti aktiva yang telah habis usianya. Tapi bagi perusahaan, depresiasi
ini merupakan arus kas yang dapat digunakan untuk investasi pada aktiva tetap perusahaan
(reinvestment atau investasi kembali). Dengan demikian, depresiasi dapat memperpanjang
break point atau menunda kenaikan WACC. Biaya penggunaan dari depresiasi (cost of
depreciation) adalah sebesar WACC sebelum perusahaan menggunakan dana yang berasal
dari emisi saham baru.
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya, misalnya diketahui bahwa perusahaan memiliki dana dari
depresiasi sebesar 50 juta. Skedul MCC akan menjadi
WACC
(%)
WACC = 13,86%
MCC
WACC = 13,38
216.666.666,7
Modal baru
50.000.000
A B
A adalah titik dimana seluruh dana depresiasi telah dipakai habis
B adalah titik dimana seluruh laba ditahan telah dipakai habis
Apakah suatu investasi yang menguntungkan kalau dibiayai dengan 100 persen modal
sendiri akan selalu menguntungkan kalau dibiayai dengan sebagian hutang? Apakah kalau suatu
investasi yang tidak menguntungkan kalau dibiayai dengan 100 persen modal sendiri juga akan
tidak menguntungkan kalau dibiayai dengan sebagian hutang? Seandainya jawaban atas kedua
pertanyaan tersebut adalah “ya”, maka berarti menguntungkan tidaknya suatu investasi akan
tergantung pada keputusan investasi, bukan pada keputusan pendanaan. Sebaliknya apabila
jawabannya adalah “mungkin saja”, maka berarti menguntungkan tidaknya investasi dapat
dipengaruhi oleh sumber dananya.
Masalah tersebut merupakan masalah yang dibicarakan dalam bab ini. Pemilihan
investasi yang menguntungkan merupakan masalah keputusan investasi, penggunaan sumber
dana yang berbeda-beda merupakan hasil keputusan pendanaan. Karena itu masalah tersebut
disebut sebagai interaksi keputusan investasi dengan keputusan pendanaan.
Paling tidak ada dua cara yang dipergunakan untuk mengkaitkan keputusan investasi
dengan keputusan pendanaan. Metode yang pertama adalah dengan menggunakan biaya modal
rata-rata tertimbang, dan yang kedua dengan menggunakan metode adjusted present value.
Untuk itu marilah kita bicarakan terlebih dulu cara yang pertama, yaitu penggunaan biaya modal
rata-rata tertimbang.
Cara ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa kalau suatu investasi akan dibiayai dengan
berbagai sumber dana, sedangkan masing-masing sumber dana mempunyai biaya yang berbeda-
beda, maka perlu dihitung rata-rata tertimbang dari biaya-biaya modal tersebut. Biaya modal
rata-rata tertimbang inilah yang kemudian dipergunakan sebagai tingkat keuntungan yang layak
inilah yang kemudian dipergunakan sebagai tingkat keuntungan yang layak dalam perhitungan
NPV (atau sebagai cut-off rate dalam perhitungan IRRI). Apabila dengan menggunakan tingkat
bunga tersebut diperoleh NPV yang positif (atau IRR > biaya modal rata-rata tertimbang) maka
investasi tersebut dinilai menguntungkan, dan sebaliknya. Karena itu, untuk menggunakan
metode ini perlu ditaksir terlebih dulu biaya modal dari masing-masing sumber dana.
oo0oo
4.9. Latihan Biaya Modal
1. A firm has determined its optimal capital structure, which is composed of the following
sources and target market value proportions:
DEBT: The firm can sell a 20-year, $1,000 par value, 9 percent bond for $980. A
flotation cost of 2 percent of the face value would be required in addition to the
discount of $20.
PREFERRED STOCK: The firm has determined it can issue preferred stock at $65 per
share par value. The stock will pay an $8.00 annual dividend. The cost of issuing
and selling the stock is $3 per share.
COMMON STOCK: The firm's common stock is currently selling for $40 per share.
The dividend expected to be paid at the end of the coming year is $5.07. Its
dividend payments have been growing at a constant rate for the last five years.
Five years ago, the dividend was $3.45. It is expected that to sell, a new common
stock issue must be underpriced at $1 per share and the firm must pay $1 per
share in flotation costs. Additionally, the firm's marginal tax rate is 40 percent.
Calculate the firm's weighted average cost of capital assuming the firm has exhausted all
retained earnings.
$20,000,000 $25,000,000
a. Calculate the weighted average cost of capital using book value weights.
b. Calculate the weighted average cost of capital using market value weights.
BAB X PENILAIAN OBLIGASI
10.1 PENDAHULUAN
Pada penilaian obligasi perlu dipahami konsep obligasi, obligasi merupakan salah satu bentuk
financial asset, yang selalu berkaitan dengan interest rate atau required return , sebagai suatu
representasi harga uang. Interest rate bisa sebagai alat regulasi pada obligasi untuk melakukan
pengendalian aliran uang antara supply dengan demand pada dana yang dimiliki. Bank Sentral di
Indonesia dikenal dengan Bank Indonesia biasanya akan melakukan inisiasi terhadap perubahan
interest rate yang merupakan bentuk pengendalian antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Interest rate bisa menjadi salah satu kompensasi dari perusahaan penerbit obligasi yang
dibayarkan kepada pembeli obligasi. Sehingga biaya yang dikeluarkan peminjam adalah interest
rate, sedangakan dana yang diperoleh dengan menerbitkan saham atau obligasi akan
menimbulkan biaya yang harus dibayar perusahaan dinamakan required return, yang
mencerminkan tingkat return yang diminta oleh pembeli obligasi.
Penilaian adalah proses penentuan harga atau nilai sekuritas . Sekuritas merupakan secarik kertas
yang menunjukkan hak pemilik kertas tersebut untuk memperoleh bagi dari prospek atau
kekayaan perusahaan yang menerbitkan sekuritas tersebut dan berbagai kondisi untuk
melaksanakan hak tersebut. Kalau definisi tersebut terdengar kompleks, marilah kita ambil
contoh sekuritas yang disebut sebagai obligasi (bond). Apabila dibaca di berbagai surat kabar
bisnis (Bisnis Indonesia, Harian Investor), pada halaman tertentu ada daftar harga obligasi yang
dijual belikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Anda akan melihat harga yang sangat beraneka
ragam, meskipun semuanya mempunyai nilai nominal yang sama , tetapi memiliki harga yang
berbeda.
Secara garis besar, sekuritas dibagi menjadi dua, yaitu yang memberikan penghasilan tetap dan
yang memberikan penghasilan tidak tetap. Meskipun demikian konsep penilainnya sebenarnya
234
sama. Dalam penilaian sekuritas dipergunakan konsep adanya hubungan yang positif antara
risiko dengan tingkat keuntungah diharapkan atau diisyaratkan oleh pemodal (investor). Karena
pemodal bersikap tidak menyukai risiko (risk averse) maka mereka baru bersedia mengambil
suatu kesempatan investasi yang lebih berisiko kalau mereka mengharapkan akan memperoleh
tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Apabila disini dipergunakan istilah tingkat keuntungan,
maka yang dimaksudkan disini keuntungan dalam persentase (atau desimal) dan bukan dalam
rupiah. Hubungan antara risiko dan tingkat keuntungan tersebut digambarkan, menunjukkan
bahwa hubungan tersebut bersifat positif.
Tingkat keuntungan
Yang diharapkan
Tingkat keuntungan
Bebas risiko
Risiko
0
Ada beberpa pertanyaan yang dapat diajukan dengan mengamati gambar tersebut. Pertama, apa
yang dimaksud dengan risiko? Kedua, apakah hubungan tersebut akan linier? Kalau ya,
mengapa? Dan ketiga, apakah pola hubungan tersebut akan konstan? Dengan kata lain, apakah
intercept (potongan dengan sumbu tegak) dan slope (kemiringan) garis tersebut akan tetap?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diuraikan secara singkat pada penjelasan
tentang Capital Asset Pricing Model (CAPM). Tetapi untuk sementara ini marilah kita bicarakan
terlebih konsep penilaian masing-masing jenis sekuritas, dan kemudian kaitan CAPM dalam
penilaian sekuritas.
Contoh sekuritas tipe ini adalah oblgasi. Obligasi biasanya mempunyai feature sebagai berikut.
Mempunyai nilai nominal, atau disebut juga face value, (missal Rp. 1.000.000). Kapan akan
dilunasi (misal 5 tahun). Mempunyai coupon rate (missal 18% per tahun). Kalau kita
mengabaikan kemungkinan obligasi tersebut tidak bisa dilunasi (default), maka pembeli obligasi
akan memperoleh Rp. 180.000 pada tahun 1 s/d 5, ditambah pelunasan pokok pinjaman sebesar
Rp. 1.000.000 pada tahun ke 5.
Arus kas yang diharapkan akan diperoleh oleh pemodal yang membeli obligasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut (semua angka dalam ribuan rupiah).
Nilai pada tahun ke 0 (satu saat ini) merupakan harga yang bersedia dibayar oleh para pemodal.
Untuk itu nilai pasar obligasi (Bo) bisa dihitung sebagai berikut.
Bo=∑ +
( ) ( )
Dalam hal ini F, adalah bunga yang dibayarkan setiap periode (t = 1 ….,n). N adalah nilai
nominal pelunasan, dan r adalah tingkat bunga yang dianggap relevan oleh pemodal.
Sekarang misalkan obligasi tersebut ditawarkan ke pasar modal, dan para pemodal menginginkan
tingkat keuntungan 17%. Berapa harga obligasi tersebut.
Bo = 180/(1 + 0,17) + 180/(1 + 0,17)2 + …. + 1.180/(1 + 0,17)5
= Rp. 1.032.000 (dibulatkan)
Harga yang bersedia dibayar lebih tinggi dari nilai nominal karena coupon rate yang ditawarkan
lebih tinggi dari tingkat keuntungan yang diinginkan pemodal.
Perhatikan bahwa apabila tingkat bunga yang dianggap relevan oleh pemodal meningkat, harga
pasar obligasi akan menurun dan sebaliknya. Dengan demikian apabila diabaikan kemungkinan
default, maka harga obligasi akan tergantung pada (pengharapan akan) tingkat bunga.
Saham merupakan sekuritas yang memberikan penghasilan yang tidak tetap bagi pemiliknya.
Pemilik saham akan menerima penghasilan dalam bentuk dividen dan perubahan harga saham.
Kalau harga saham meningkat dari harga beli, maka pemodal dikatakan memperoleh capital
gains apabila sebaliknya disebut sebagai capital loss.
Apabila harga saham saat ini (Po) sebesar Rp. 10.000 kemudian diharapkan memberikan dividen
Rp. 1.000 pada tahun depan, dan tahun depan diperkirakan harganya Rp. 11.000. Dengan
demikian tingkat keuntungan yang diharapkan (r) akan diperoleh,
r = (P1 – Po + D1)/Po
= (11.000 – 10.000 + 1.000)/10.000
= 0,20 ATAU 20%
Po = P1/(1 + r) + D1/(1 + r)
= 11.000/(1 + 0,20) + 1.000/(1 + 0,20)
= 10.000
Tetapi apa yang menentukan harga pada t = 1? Harga pada t = 1 akan dipengaruhi oleh dividen
t = 2 dan harga pada t = 2. Atau secara formal,
P1 = P2/(1 + r) + D2/(1 + r)
Dan seterusnya.
Karena seseorang bisa memiliki saham untuk waktu n tahun, maka persamaan umumnya
menjadi,
Po = ∑ +
( ) ( )
Dalam hal ini Po adalah harga saham saat ini. D1 adalah dividen yang diterima oleh pemodal
pada tahun ke t (t = 1, …..,n), Pn adalah harga saham pada tahun ke n, dan r adalah tingkat
keuntungan yang dianggap relevan.
Meskipun seorang pemodal bisa memiliki saham selama n tahun, tetapi sewaktu saham tersebut
dijual, akhirnya periode kepemilikan akan menjadi tidak terhingga. Dengan demikian persamaan
(3.2.) bisa dituliskan menjadi,
Po = ∑
( )
Secara konsepsional rumus penentuan harga saham tersebut benar, tetapi untuk
operasionalisasinya akan sulit. Bagaimana kita bisa memperkirakan Dt dari tahun ke 1 sampai
dengan tahun tidak terhingga. Semakin jauh dimensi waktu estimasi kita semakin tidak pasti
estimasi tersebut. Karena itulah kemudian dipergunakan berbagai penyederhanaan.
Po = E/r
Atau
P0 = D/r
Asumsi-asumsi tersebut kemudian dirasa tidak realistis. Karena itu kemudian diasumsikan:
(1) Tidak semua laba dibagi, tetapi ada sebagian yang ditahan. Proporsi laba yang ditahan ( = b)
diasumsikan konstan.
(2) Laba yang ditahan dan diinventasikan kembali tersebut bisa menghasilkan tingkat
keuntungan, disebut juga Return on Equity, sebesar R.
(3) Sebagai akibat dari asumsi-asumsi tersebut, maka laba per lembar saham ( = E) dan juga
dividen ( = D) meningkat sebesar bR. Peningkatan ini kita beri notasi g. Dengan kata lain g =
bR.
Po = ( + .......... + ( )
+ ) ( )
() ( )
oo
Dengan n = , maka persamaan tersebut merupakan penjumlahan dari suatu deret ukur dengan
kelipatan [(1 + g)/(1 + r)] dan n = OO, sehingga jumlah adalah sama dengan,
Po =
menjadi, Po = D1/(r-g)
Model tersebut disebut sebagai modal pertumbuhan konstan, karena diasumsikan pertumbuhan
laba (dan juga dividen) meningkat secara konstan. Tentu saja kita bisa menggunakan
pertumbuhan yang tidak konstan, yang menyatakan bahwa g1 > g2. Misalnya selama 3 tahun
pertama pertumbuhan diperkirakan sebesar 20% per tahun (g1), tetapi setelah itu hanya tumbuh
sebesar 10% per tahun (g2).
P3 = D4/(r-g2)
Karena itu,
1. PT. Anggrek memiliki obligasi dengan nilai nominal sebesar $ 1.000 nominal dan
memiliki kupon bunga sebesar 8%. Obligasi tersebut memiliki 12 tahun tersisa
hingga tanggal jatuh temponya. Jika bunga dibayarkan setiap tahunnya, berapakah
nilai obligasi ketika required rate of return sebesar (a) 5%, (b) 8%, dan (c) 12% ?
2. PT. Mawar, sebuah perusahaan sepatu membagikan dividen tunai dari tahun 2007
hingga 2012 sebagai berikut :
Year DPS
2012 $ 1.4
2011 1.29
2010 1.20
2009 1.12
2008 1.05
2007 1.00
3. Bapak Budi sedang mempertimbangkan untuk membeli saham PT. Melati, sebuah
perusahaan kosmetik yang sedang berkembang pesat. Berdasarkan laporan
keuangan PT. Melati diperoleh data bahwa dividen yang dibagikan di tahun 2012
sebesar $ 1,5 per saham. Bapak Budi memperkirakan bahwa dividen akan tumbuh
10 % per tahun selama 3 tahun mendatang. Setelahnya dividen akan tumbuh
konstan pada tingkat 5 %. Bapak Budi mensyaratkan tingkat return sebesar 15%
untuk berinvestasi pada saham tersebut. Berapakah nilai intrinsik saham PT.
Melati?
JAWABAN LATIHAN MANDIRI
1. a. required rate of return = 5 %
80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 1265,90
0.05 (1 + 0.05) (1 + 0.05)
80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 1000
0.08 (1 + 0.08) (1 + 0.08)
80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 752.23
0.12 (1 + 0.12) (1 + 0.12)
2.
g = 1.069610376 – 1
g = 0.069610376 = 7%
Step 3 : nilai dari saham pada akhir initial growth period dapat ditentukan pertama-tama
dengan menghitung besarnya DN+1 = D2016
D2016 = D2015 * (1 + 0.05) = $2.00 * (1.05) = $2.10
Dengan menggunakan D2016 = $2.10, 15% required return, dan 5% dividend growth
rate,nilai saham diakhir 2015 dapat dihitung sebagai berikut
Akhirnya, di Step 3 , nilai $21 diakhir 2015 harus dikonversi menjadi nilai sekarang . dengan
menggunakan 15% required return, kita peroleh
Kegiatan perusahaan dalam mencapai tujuannya harus dikelola dengan baik, pengelolaan
keuangan yang baik, akan memberikan pencapaian kinerja yang maksimal. Upaya untuk
melakukan pengelolaan keuangan yang baik , yaitu dengan pengelolaan aset perusahaan secarta
efisien dan efektif. Penanggung jawab pengelolaan keuangan , atau dalam hal aset perusahaan,
yang meliputi aset tetap atau aktiva tetap dan aktiva lancar adalah manajer keuangan. Aktiva
lancar perusahaan mereupakan aktiva yang harus diperhatikan dengan baik, karena memiliki
perputaran yang lebih cepat dibandingkan dengan aktiva tetap.
Modal kerja didalamnya adalah kas, piutang, dan persedian atau dikenal dengan aktiva
lancar, termasuk didalamnya adalah utang lancar. Sehingga ada istilah yang dikenal dengan
modal kerja bersih yaitu selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar. Modal kerja bersih
dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu modal kerja bersih positif dan modal kerja bersih
negative. Pengelompokkan tersebut berdasarkan risiko dan return yang akan diperoleh bila
perusahaan melakukan strategi dalam manajemen modal kerjanya. Bila aktiva lancar lebih besar
dari pada utang lancar , manajemen modal kerja ini akan mengakibatkan modal kerja bersih
positif dengan hasil return yang rendah dan risiko yang rendah pula. Sebaliknya bila aktiva
lancar lebih rendah dibandingkan dengan utang lancarnya, maka hasil return yang diperoleh
tinggi dan risiko yang ditanggung juga tinggi.
Manajemen dana jangka pendek berarti manajemen terhadap aktiva lancar dan utang
lancar merupakan pekerjaan manajer keuangan sehari-hari yang sangat penting. Tujuan
manajemen dana jangka pendek adalah mengelola masing-masing komponen dalam aktiva lancer
dan utang lancer dengan menyeimbangkan antara profitability dan risiko sehingga berkontribusi
positif pada nilai perusahaan. Fokus dalam manajamen dana jangka pendek adalah memahami
bagaimana siklus dari perubahan kas.
Tujuan manajemen dana jangka pendek adalah meyakinkan bahwa perusahaan dapat
memelihara atau mengendalikan likuiditasnya. Likuiditas di sini diartikan sebagai kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tunai yang telah jatuh tempo. Dengan
demikian, suatu perusahaan dikatakan likuid jika ia mampu membayar gaji karyawan pada
101
waktunya, tagihan-tagihan dari supplier, tagihan pajak, dsb. Selaim pengertian modal kerja
bersih sering pula disebut sebagai gross working capital atau modal kerja kotor, didefinisikan
sebagai item-item pada aktiva lancar, yakni: kas (cash), surat berharga (security), piutang
(account receivable) dan persediaan (inventory).
Sedangkan modal kerja bersih atau net capital working adalah aktiva lancar setelah
dikurangi dengan utang lancar. Utang lancar sendiri terdiri atas: utang dagang, utang wesel,
utang jangka pendek berasal dari utang jangka panjang, gaji terutang serta pajak terutang.
Sebagai contoh, jika jumlah aktiva lancar adalah 250 juta dan jumlah utang lancar sebesar 150
juta, maka modal kerja bersih berjumlah 250 juta - 150 juta = 100 juta. Konsep modal kerja
bersih akan berkaitan dengan risiko , bila modal kerja bersih negative berarti risiko perusahaan
tinggi dan bisa menyebabkan return yang tinggi, demikian sebaliknya. Biasanya tingkat aktiva
lancar dan kebutuhan pendanaannya berfluktuasi mengikuti fluktuasi siklus bisnis dan trend
musiman. Pada siklus puncak, perusahaan harus menanggung aktiva lancar yang maksimum.
Sebaliknya pada resesi, jumlah aktiva lancar menurun, namun tidak pernah mencapai titik nol.
Pentingnya kas bagi perusahaan , bisa dilihat alasan atau motif seperti yang disampaikan
pendapat John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa ada tiga motif untuk memiliki kas,
yaitu (1) motif transaksi, (2) motive berjaga-jaga, dan (3) motif spekulasi. Motif pertama yaitu
motif transaksi yang berarti perusahaan menyediakan kas untuk membayar berbagai transaksi
bisnisnya. Baik transaksi yang regular maupun yang tidak regular. Motif kedua yaitu motif
berjaga-jaga dimaksudkan untuk mempertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas
yang sifatnya tidak terduga. Seandainya semua pengeluaran dan pemasukan kas bisa diprediksi
dengan sangat akurat, maka saldo kas untuk maksud berjaga-jaga akan sangat rendah. Selain
akurasi prediksi kas, apabila perusahaan mempunyai akses kuat ke sumber dana eksternal, saldo
kas ini juga akan rendah. Motif berjaga-jaga ini nampak dalam kebijakan penentuan saldo kas
minimal dalam penyusunan anggaran kas.
Ketiga adalah motif spekulasi yaitu motif untuk memperoleh keuntungan dari memiliki
atau menginvestasikan kas dalam bentuk investasi yang sangat likuid. Biasanya jenis investasi
yang dipilih adalah investasi pada sekuritas. Apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka
perusahaan akan merubah kas yang dimiliki menjadi saham, dengan harapan harga saham akan
naik apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka perusahaan akan merubah kas yang dimiliki
menjadi saham, dengan harapan harga saham akan naik apabila memang semua pemodal
berpendapat bahwa suku bunga akan (dan mungkin telah) turun.
dimana:
ICP = Inventory conversion period
RCP = Receivables collection period
PDP = Payables deferral period
Inventory conversion period adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk mengubah bahan
mentah menjadi produk jadi dan kemudian dijual. Rumus untuk menghitung ICP adalah:
Payables deferral period adalah waktu rata-rata antara pembelian bahan baku dan tenaga
kerja dengan waktu pembayarannya.
Contoh:
Harga pokok produksi= 500 juta
Persediaan = 100 juta
Piutang = 50 juta
Penjualan = 750 juta
Rata-rata waktu pembayaran bahan baku dan tenaga kerja = 30 hari
ICP = (360 x 100)/500 = 72 hari
RCP = (360 x 50)/750 = 24 hari
PDP = 30 hari
CCC = ICP + RCP - PDP = (72 + 24) - 30 = 66 hari
Dilihat dari sisi lain:
CCC = Penundaan penerimaan – penundaan pembayaran
= Penundaan bersih
CCC = (72 + 24) - 30 = 66 hari
Perhatikan model cash conversion cycle berikut ini:
MODEL CASH CONVERSION CYCLE
(72) (24)
ICP RCP
ICP CCC
(30) (72 + 24 - 30 = 66)
Gambar 20.1
Pada umumnya surat berharga yang likuid (marketable securities) memberikan keuntungan
yang lebih rendah daripada keuntungan dari operasi perusahaan. Namun cukup banyak
perusahaan besar yang menginvestasikan dananya pada surat berharga. Ada 2 alasan dasar
untuk tindakan tersebut: (1) surat berharga digunakan untuk mengganti saldo kas, dan (2)
surat berharga digunakan sebagai investasi jangka pendek (temporary investment).
Beberapa perusahaan lebih suka memegang sebagian surat berharga daripada saldo kas yang
besar. Surat berharga ini segera dijual jika kas dibutuhkan untuk transaksi. Sebagai contoh,
IBM beberapa tahun yang lalu memiliki surat berharga dalam jumlah cukup besar. Hal itu
disebabkan oleh banyaknya kasus di pengadilan mengenai antimonopoli melawan IBM yang
belum diputuskan. Ketika mulai jelas bahwa IBM akan memenangkan sebagian besar kasus
tersebut, kebutuhan uang tunai (untuk ganti rugi) menurun, sebagian besar surat berharga
dijual untuk diinvestasikan pada aktiva lain dan membeli kembali saham perusahaan. Pada
kasus IBM ini jelas bahwa perusahaan harus mencadangkan uang tunai guna membayar ganti
rugi jika kalah dipengadilan. Daripada menyimpan uang tunai, IBM memilih memegang
surat berharga yang likuid (sewaktu-waktu dapat diubah menjadi uang tunai) serta
menghasilkan keuntungan.
Surat berharga digunakan sebagai investasi temporer timbul dari situasi berikut: (1) ketika
perusahaan harus mendanai operasi yang bersifat musiman atau siklus, dan (2) ketika
perusahaan harus memenuhi kewajiban financial yang telah diketahui atau diprediksi
sebelumnya. Opearasi yang bersifat musiman atau siklus biasanya menghasilkan surplus kas
pada suatu periode dan defisit kas pada periode lain. Pada saat surplus, kas diubah menjadi
surat berharga yang akhirnya dijual (dilikuidasi) saat kas defisit.
Dalam memilih surat berharga, harus diperhitungkan faktor risiko dan keuntungan. Risiko
pada surat berharga antara lain: (1) Risiko kegagalan (default risk), yakni bila perusahaan
penerbit surat berharga tidak mampu membayar bunga dan pokok pinjaman, (2) Risiko
peristiwa (evrut risk), yakni jika ada peristiwa yang segera meningkatkan default risk seperti
rekapitalisasi atau Leverage Buy Out (LBO), (3) Risiko suku bunga (interest rate risk), yakni
naik turunnya harga obligasi seiring dengan turun naiknya suku bunga di pasar, (4) Risiko
daya beli (Purchasing power risk), yakni turunnya daya beli uang akibat inflasi, dan (5)
Risiko likuiditas (liquidity risk), yakni kesulitan menjual sekuritas pada harga yang pantas.
Karena tujuan membeli sekuritas disini adalah sebagai cadangan kas (cash reserve),
manajemen kas sebaiknya memilih sekuritas yang risikonya rendah, meskipun sebagai
konsekuensinya tingkat keuntungannya rendah pula.
Keputusan keuangan jangka pendek secara konsep adalah sama dengan keputusan keuangan
jangka panjang, seperti keputusan penganggaran modal dan struktur modal, dalam hal keputusan
dibuat berdasarkan kerangka trade off antara risiko dan keuntungan. Namun demikian, tidak
seperti halnya pada keputusan keuangan jangka panjang, para ahli keuangan belum dapat
menunjukkan secara jelas hubungan antara keputusan keuangan jangka pendek dengan tulisan
memaksimumkan nilai perusahaan. Oleh karena itu belum ada dasar teori yang kuat yang dapat
dipakai sebagai acuan oleh manajer keuangan.
Kebijakan keuangan menyangkut aktiva lancar terdiri atas dua keputusan dasar: (1) tingkat
investasi pada aktiva lancar, dan (2) bagaimana perusahaan mendanai aktiva lancar tersebut.
Ada 3 alternatif kebijakan keuangan perusahaan menyangkut jumlah aktiva lancar yang harus
ada pada perusahaan, yakni (1) kebijakan longgar (relaxed policy), (2) kebijakan ketat (restricted
policy) dan (3) kebijakan moderat (moderate policy). Relaxed policy adalah kebijakan
menetapkan jumlah aktiva lancar pada tingkat tinggi. Restricted policy merupakan kebalikan dari
relaxed policy, menetapkan aktiva lancar pada tingkat rendah. Moderate policy berada diantara
relaxed dan restricted policy. Misalnya pada tingkat penjualan sebesar 1 milyar, relaxed policy
mempunyai target aktiva lancar 300 juta, moderate policy menrgetkan aktiva lancar 230 juta dan
restricted policy mungkin menargetkan aktiva lancar hanya sebesar 160 juta. Perhatikan gambar
berikut:
30 Moderate
23 Restricted
16
Penjualan
100
Jika dikaitkan dengan cash conversion cycle, relaxed investment policy cenderung
meningkatkan persediaan dan piutang, memperpanjang inventory conversion period dan
receiveables conversion period, yang akhirnya akan memperpanjang cash conversion period.
Sebaliknya restricted investment policy akan memberikan cash conversion cycle yang lebih
pendek.
Pada umumnya, keputusan tentang tingkat investasi pada aktiva lancar meliputi
pertimbangan trade off antara risiko dan keuntungan. Relaxed policy akan meminimumkan
risiko, tetapi tingkat keuntungan juga ikut menurun karena dana yang terikat pada aktiva lancar
cukup tinggi. Restricted policy menawarkan tingkat kauntungan yang tinggi karena jumlah dana
yang terikat pada aktiva lancar sedikit, namun risikonya juga tinggi.
Kas merupakan aktiva yang tidak memberikan penghasilan (non earning asset). Kas
dibutuhkan untukk membayar gaji dan bahan baku, membeli aktiva tetap, membayar pajak,
melunasi hutang, membayar dividen, dan lain-lain. Karena kas tidak memberikan
penghasilan atau bunga, tujuan dari manajemen kas adalah: “meminimumkan jumlah kas
yang harus ada pada perusahaan agar aktivitas perusahaan dapat berjalan normal, namun
pada saat yang sama, perusahaan memiliki kas yang cukup untuk (1) mengambil diskon
pembelian, (2) melunasi hutang yang jatuh tempo, dan (3) memenuhi kebutuhan kas yang
tidak terduga.”
Perusahaan memperkirakan kebutuhan akan kas sebagai bagian dari proses penganggaran
atau peramalan secara umum. Pertama, perusahaan meramal kebutuhan akan aktiva tetap dan
persediaan beserta waktu pembayarannya. Informasi ini dikombinasikan dengan proyeksi
tentang penundaan pada pengumpulan piutang, pembayaran pajak, pembayaran dividen dan
bunga, dan lain-lain. Semua informasi ini disimpulkan dalam anggaran kas (cash budget).
Anggaran kas memproyeksi arus kas masuk dan arus kas keluar pada suatu periode tertentu.
Anggaran kas dapat disusun untuk berbagai interval waktuy, tetapi perusahaan pada
umumnya menggunakan anggaran kas bulanan untuk tahun mendatang, anggaran kas
mingguan untuk bulan mendatang, dan anggaran kas harian untuk minggu mendatang.
Anggaran kas bulanan digunakan untuk pengwasan kas.
Suatu anggaran kas umumnya terdiri atas 3 bagian:
1. Pengumpulan dan pembelian yang mencatat pengumpulan kas dari penjualan dan
pembelian bahan baku secara tunai.
2. Penambahan dan pengurangan kas
3. Surplus kas atau kebutuhan hutang, mencatat kebutuhan kumulatif perusahaan akan
hutang dan surplus kas kumulatif.
BAUMOL’S MODEL
- Baumol’s Model dikembangkan William Baumol dari konsep manajemen persediaan, yaitu
konsep EOQ (Economic Order Quantity). Saldo kas optimal dihitung dengan rumus:
( )( )
C* =
Keterangan:
C* = saldo kas optimal
F = Fixed cost untuk sekali menjual sekuritas atau meminjam dana
T = jumlah kas yang dibutuhkan untuk mendanai transaksi sepanjang periode
k = opportunity cost dari memegang uang tunai, yang sama dengan tingkat keuntungann
yang diperoleh jika membeli sekuritas atau biaya meminjam untuk memegang
uang tunai
C = jumlah kas yang diperoleh dari penjualan sekuritas atau meminjam C/2 adalah rata-rata
saldo kas
Contoh:
Perusahaan memperkirakan kebutuhan kas adalah 100 juta per minggu dan arus kas masuk
dari operasi perusahaan adalah 90 juta per minggu. Biaya transaksi (biaya tetap) untuk
menjual sekuritas atau untuk meminjam uang adalah 0,5 juta per transaksi. Opportunity cost
adalah 15% per tahun.
Saldo kas optimal menurut
Baumol: Kebutuhan kas = 100 juta
Penerimaan = 90 juta
Kebutuhan kas = 10 juta/minggu
= 520 juta/tahun
( )( )
C* =
( , )()
= , 5,88 juta
Rata-rata saldo kas perusahaan = C*/2 = 588 juta/2 = 2,94 juta
- Baumol’s Model mengasumsikan bahwa (1)kebutuhan kas perusahaan adalah stabil dan
dapat diperkirakan, dan (2) arus kas masuk dari operasi juga stabil. Asumsi ini
merupakan kelemahan Baumol’s Model karena pada prktiknya kebutuhan kas maupun
penerimaan kas dari operasi berfluktuasi sepanjang tahun (ada unsur musiman)
MILLER-ORR MODEL
- Merton Miller ndan Daniel Orr mengembangkan suatu model penentuan saldo kas sasaran
yang amemperhitungkan unsure ketidakpastian dari arus kas masuk dan keluar. Mereka
mengasumsikan bahwa distribusi arus kas bersih harian mendekati normal. Setiap hari, arus
kas bersih bisa sama dengan atau lebih atau kurang dari expected value pada distribusi
normal. Jasi arus kas harian mengikuti pola acak (random walk).
- Terminologi berikut digunakan pada Miller-Orr Model:
Z = saldo kas sasaran
H = batas atas
L = batas bawah
F = transactions costs (fixed costs)
k = opportunity cost memegang kas (harian)
σ2 = varians arus kas bersih harian
atau batas bawah saldo kas ditentukan oleh manajemen. Saldo kas sasaran, batas atas serta
rata-rata saldo kas dapat dihitung dengan rumus Miller-Orr model sebagai berikut:
/
Z= +
H=3Z–2L
H Batas atas
Z Sasaran
L Batas bawah
Hari
Saldo kas dimulai dari Z. Karena arus kas berfluktuasi mengikuti pola acak, saldo kas akan naik
atau turun sampai menyentuh batas atas (H) atau batas bawah (L). Jika menyentuh H, sejumlah
uang tunai yakni H - Z ditransfer keluar dari saldo kas (ditukar menjadi sekuritas yang likuid).
Jika menyentuh L, sejumlah uang tunai , yakni Z - L, ditransfer menjadi saldo kas.
Contoh:
Misalkan F = 200, opportunity cost = k = 15%, dan deviasi standar arus kas bersih harian = 2.000
maka opportunity cost harian adalah:
(1 + k)360 - 1 = 0,15
(1 + k)360 = 1,15
1 + k = (1,15)1/360
1 + k = 1,00039
k = 0,00039
dan varians arus kas bersih harian adalah
σ2 = (2.000)2 = 4.000.000
Jika L ditetapkan sebesar nol,
/
maka: . .σ
Z = +L
/
()( . .)
= (, +0
)
= 11.533,36
H = 3 (Z) - 2 (L)
= 3 (11.533) - 2(0) = 34.599
()
Rata-rata saldo kas =
( .)
= = 15.377
Setiap analisis ekonomi menyangkut perbandingan antara manfaat dan pngorbanan. Sejauh
manfaat diharapkan lebih besar dari pengorbanan suatu keputusan dibenarkan secara ekonomi.
Karena itu dalam merencanakan kebijakan keuangan yang mempengaruhi piutang, perlu
diidentifikasi manfaat dan pengorbanan karena keputusan tersebut. Berikut ini diberikan
berbagai contoh untuk mengidentifikasikan manfaat dan perngorbanan tersebut.
Penjualan kredit tanpa diskon. Misalkan suatu perusahaan dagang semula melakukan penjualan
secara tunai. Penjualan yang tercapai setiap tahun rata-rata sebesar Rp. 800 juta. Perusahaan
kemudian merencanakan akan menawarkan syarat penjualan n/60. Ini berarti bahwa pembeli bisa
membayar pembelian mereka pada hari ke 60. Diperkirakan dengan syarat penjualan yang baru
tersebut akan bisa meningkatkan penjualan sampai dengan Rp. 1.050 juta. Profit margin yang
diperoleh sekitar 15%. Apakah perusahaan perlu beralih ke penjualan kredit, kalau biaya dana
sebesar 16%.
Manfaat yang diperoleh karena menjual secara kredit adalah tambahan laba. Sedangkan
pengorbanannya adalah tambahan biaya dana. Tambahan biaya tersebut timbul karena
perusahaan akan memerlukan dana yang lebih banyak apabila menjual secara kredit. Tambahan
dana tersebut diperlukan untuk membiayai piutang (pada waktu perusahaan menjual secara tunai,
tentu saja piutang tidak ada). Perhatikan bahwa biaya dana mungkin bersifat eksplisit (artinya
benar-benar dikeluarkan, seperti kalau kita membayar bunga karena menggunakan hutang),
tetapi mungkin juga bersifat implicit (tidak benar-benar dikeluarkan, tetapi dana tersebut
mempunyai opportunity cost). Opportunity cost menunjukkan manfaat yang hilang karena kita
memilih suatu alternative.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa manfaat lebih besar dari pengorbanan, sehingga diperoleh
manfaat bersih yang positif. Ini berarti bahwa rencana untuk menjual secara kredit diharapkan
memberikan hasil yang menguntungkan.
Tabel Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai
Manfaat:
Tambahan keuntungan karena tambahan penjualan,
= (1.050-800) x 15% Rp. 37.50 juta
Pengorbanan:
Perputaran piutang = 360 hari/60hari
= 6 x dalam satu tahun
Rata-rata piutang = Rp. 1.050/6
= Rp. 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang tersebut,
= Rp. 148,75 juta (175 juta x 0.85)
Menjual secara kredit dengan diskon. Sering perusahaan mengintrodusir diskon dengan maksud
agar para pembeli mempercepat pembayaran mereka. Dengan demikian bisa ditekan keperluan
dana akan tambahan piutang, meskipun biaya karena diberikannya diskon perlu diperhatikan.
Misalkan perusahaan menawarkan syarat penjualan, 2/20 net 60. Ini berarti bahwa kalau pembeli
melunasi pembeliannya pada hari ke 20, mereka akan memperoleh diskon 2%, tetapi kalau
melunasi pada hari ke 60 harus membayar dengan harga penuh. Diperkirakan 50% akan
memanfaatkan diskon, dan sisanya membayar pada hari ke 60. Apakah perusahaan sebaiknya
mengintrodusir diskon atau menjual kredit tanpa diskon?
Tabel. Analisis penjualan kredit dengan diskon dibandingkan dengan tanpa diskon
Manfaat:
Rata-rata periode pembayaran piutang
= 0,5 (20) + 0,5(60) = 40 hari
Perputaran piutang
= 360/40 =8x
Rata-rata piutang
= 1.050/8 = Rp. 131,25 juta
Rata-rata dana yang diperlukan untuk membiayai piutang
= Rp. 131,25 juta x 85 % = Rp. 111,56 juta
Analisis tersebut menunjukkan bahwa diskon yang diberikan ternyata lebih besar dari pada
penghematan biaya. Dengan demikian maka perusahaan tidak perlu memberikan diskon, karena
dengan syarat penjualan 2/20 net 60 diperkirakan akan memberikan manfaat bersih yang negatif.
Tabel. Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai (memperhatikan kemungkinan piutang tidak
tertagih)
Manfaat:
Tambahan keuntungan karena tambahan penjualan,
= (1.050-800) x 15% = Rp. 37,50 juta
Pengorbanan:
Perputaran piutang = 360 hari/60hari =6x
Rata-rata piutang = Rp. 1.050/6
= Rp. 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang tersebut,
= Rp. 148,75 juta
Faktor-faktor lain. Penjualan yang bersifat musiman bisa diberikan potongan khusus pada
waktu penjujalan sedang off, agar bisa meningkatkan penjualan. Perusahaan juga bisa
membentuk bagian penagihan kredit agar jumlah kredit macet berkurang, dan/atau periode
pengumpulan piutang menjadi makin cepat. Apakah cara-cara tersebut bisa dibenarkan secara
ekonomi, analisis yang perlu dilakukan tetap dengan membandingkan antara menfaat dan
pengorbanan.
Misalkan perputaran piutang ternyata mencapai hanya 4x dalam satu tahun, padahal persyaratan
penjualan adalah n/60. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab.
(1) Pemberian kredit tidak dilakukan secara ketat sesuai dengan standar kredit. Dengan demikian
disamping menentukan syarat penjualan (seperti n/60 ataupun 2/10/net 60) perusahaan perlu
menentukan standar kreditnya. Standar kredit menunjukkan siapa yang diizinkan membeli
secara kredit. Mungkin standar kredit ditentukan sangat ketat (misalnya hanya untuk mereka
yang berpenghasilan tetap dan angsuran kredit mencapai hanya 10% dari total penghasilan)
atau agak longgar. Semakin ketat standar kredit, semakin kecil kemungkinan kredit semakin
tidak tertagih, dan sebaliknya. Hanya saja apabila standar kredit semakin ketat, (calon)
pembeli yang memenuhi persyaratan mungkin tidak banyak sehingga penjualan tidak
setinggi yang diharapkan.
(2) Kegiatan bagian kredit tidak baik. Sering kasus-kasus macetnya piutang menunjukkan bahwa
kemacetan tersebut disebabkan perusahaan tidak menagih piutangnya. Terlambatnya
penagihan dapat disebabkan karena manajemen yang tidak baik (seperti system pencatatan
piutang yang tidak segera menunjukkan mana piutang yang harus ditagih), meskipun dapat
pula karena pembeli yng “nakal”.
Misalkan sekarang sekarang bahwa penjualan kredit setiap tahun mencapai Rp. 12.000 juta,
maka piutang mencapai Rp. 3.000 juta dan bukannya Rp. 2.000 juta sebagaimana standar
penjualan. Apabila profit margin adalah sebesar 10 % maka perusahaan memerlukan tambahan
dana (karena keterlambatan pengumpulan piutang) sebesar,
0,90(Rp.3.000-Rp.2.000) = Rp. 900 juta
Apabila biaya dana adalah sebesar 15%, maka kerugian karena tertundanya pengumpulan
piutang adalah,
0,15(Rp.900 juta) = Rp. 135 juta
Karena itu, apabila perusahaan dapat mempercepat pengumpulan piutang (misalnya dengan
menambah jumlah karyawan bagian penagihan) kembali ke 6x perputaran dalam satu tahun,
tetapi memerlukan biaya kurang dari Rp. 135 juta dalam satu tahun, maka penambahan biaya
tersebut dapat dibenarkan secara ekonomis.
Sekali perusahaan memutuskan untuk menjual secara kredit, timbul masalah tentang siapa yang
akan diijinkan untuk membeli secara kredit. Perlu ditentukan standard an kemudian dilakukan
evaluasi terhadap pembeli. Standar bisa ditentukanberdasarkan atas evaluasi data historis
terhadap variabel-variabel tertentu, atau karena pertimbangan tertentu. Sebagi missal, karyawan
yang berpenghasilan tetap mungkin diijinkan membeli secara kredit karena ada kerja sama
dengan organisasi tempat karyawan tersebut bekerja (missal akan memotong gaji setiap bulan
sesuai dengan angsuran yang ditetapkan).
Evaluasi juga bisa dilakukan terhadap data historis variabel tertentu. Sebagai missal, data historis
menunjukkan bahwa karyawan yang telah berkeluarga, mempunyai tempat tinggal sendiri, telah
lama memangku suatu jabatan tertentu, lebih tepat memenuhi pembayaran pada waktunya
dibandingkan dengan yang masih single, belum mempunyai tempat tinggal sendiri, baru
memangku jabatan tertentu, dan sebagainya. Karena itu mungkin sekali kalau pembeli adalah
individu, mereka diminta untuk mengisi formulir seperti yang pada table dibawah ini.
Contoh di atas menunjukkan sebagian formulir yang dipergunakan untuk memperoleh informasi
yang akan dipergunakan untuk analisis kredit terhadap pembeli individual. Umumnya dijumpai
hubungan (korelasi) tertentu antara factor-faktor tertentu dengan ketepatan pembeli melunasi
pembelian mereka. Sebagai missal, kalai seseorang telah lama bertempat tinggal di satu alamat
rumah yang ditempati milik sendiri, mempunyai telpon, berkeluarga, dan telah bekerja cukup
lama, seringkali pembeli tersebut memang merupakan pembeli yang baik.
Karena itulah informasi yang dicantumkan dalam formulir, dan bagaimana melakukan analisis
dan penafsirannya, haruslah dirancang dengan seksama. Jangan sampai informasi yang diperoleh
bukan hanya tidak ada manfaatnya bahkan mungkin menyesatkan.
Tabel Contoh informasi yang ingin diperoleh untuk langganan individu
Nama :
Alamat :
Pekerjaan anda ?
, 1993
Tanda tangan:
Nama Terang :
Untuk pembeli yang merupakan perusahaan, informasi yang diperlukan biasanya menyangkut
laporan keuangan (plus informasi dari rekan bisnis dan lain-lain). Sering bisa dibuat suatu model
yang memisahkan (to discriminate) pelanggan yang baik (dalam arti membayar tepat pada
waktunya dan pelanggan yang buruk (tidak membayar). Teknik ini dalam statistic disebut
sebagai discriminant analysis. Misalkan kita memperoleh data dari 15 perusahaan dengan debt to
equity ratio (DER) dan return on equity (ROE) sebagai berikut.
Tabel Rasio-rasio DER dan ROE dari perusahaan yang baik dan yang buruk
Dengan melakukan pengamatan sepintas terhadap gambar tersebut kita dapat menyimpulkan
adanya hubungan antara DER dan ROE dengan baik tidaknya perusahan. Perusahaan yang
mempunyai DER tinggi dan ROE rendah (atau bahkan negative) akan terklasifikasikan sebagai
perusahaan yang tidak baik.
Tentu saja kita dapat menggunakan lebih dari variabel untuk memisahkan perusahaan yang baik
dan yang buruk. Salah satu peneliti yang telah menerpkan analisis diskriminan untuk
memisahkan perusahaan yang bankrupt dan tidak adalah Altman.
DER
200
o
o
o
o o
Keterangan:
* = Baik
o = Buruk
*
*
*
*
* *
* *
*
67 ROE
-15 21
Gambar 8.1. Return on Equity dan DER dari perusahaan yang baik dan tidak
Untuk itu dapat dilakukan analisis dengan menggunakan asumsi bahwa seandainya pembeli tidak
melunasi pembelian mereka, jumlah yang dibeli tersebut dianggap hilang sebagai kerugian.
Analisis ini memerlukan penerapan kondep statistic.
Misalkan seorang pembeli akan membeli dengan kredit suatu barang dengan harga Rp. 100.
Harga pokok barang tersebut Rp. 80, dan diperkirakan probalibilitas pembeli tersebut akan
melunasi pembeliannya adalah 0,95. Apakah permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan?
Apabila permohonan tersebut ditolak, maka kerugian perusahaan sama dengan nol. Dengan
demikian permohonan tersebut dapat dikabulkan hanya apabila diharapkan akan memberikan
laba yang lebih besar dari nol (expected profit > 0).
Expected profit = prob. Akan membayar (harga-biaya) – prob, tidak membayar (biaya)
= 0,95(100-80) – 0,05(80)
= 19 – 4
= 15
Karena expected profit positif, maka permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan
Dengan demikian sejauh probabilitas pembeli akan membayar masih di atas 80%, maka
permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan. Cut-off probabilitas sebesar 80% tersebut diperoleh
dari persamaan berikut ini. Pada saat expected profit sama dengan nol, maka kita berada dalam
posisi indifference. Dengan demikian apabila probabilitas akan membayar diberi notasi p, maka
O = p(100-80) – (1-p)(80)
= 20p – 80 + 80p
P = 0,80
Tentu saja semakin besar p semakin besar dorongan agar permohonan tersebut dikabulkan.
Trade-off antara mengabulkan (memperoleh laba tetapi mungkin juga tidak terbayar) dan
menolak (tidak akan terjadi kerugian karena tidak membayar, tetapi kehilangan penjualan) selalu
muncul dalam analisis.
Dasar pemikiran yang sama dapat diterapkan untuk persoalan berikut ini. Misalkan data historis
menunjukkan bahwa kelompok pembeli yang “baik” mempunyai rata-rata periode pengumpulan
piutang 30 hari. Rata-rata biaya pengumpulan Rp. 100 dan probabilitas piutang tidak terbayar
hanya 0,02 (atau 2%).
Permohonan pembelian kredit dikabulkan kalau biaya penerimaan lebih besar dari biaya
penolakan. Biaya yang diharapkan dari masing-masing alternative dapat dirumuskan sebagai
berikut.
Biaya penerimaan = Prob tidak membayar (biaya variabel per unit) unit yang dibeli +
(Tingkat
keuntungan yang diisyaratkan)(Periode pengumpulan/360)(biaya
variabel per
unit) unit yang dibeli + Biaya pengumpulan
Biaya penolakan = (1 – Prob. Tidak terbayar)(laba marginal per unit) unit yang dibeli
Misalkan biaya variabel (juga disebut sebagai biaya marginal) sebesar Rp. 1.800 per unit, dan
laba marginal (artinya tambahan laba yang diperoleh dari setiap tambahan satu unit penjualan)
Rp. 1.200 dan tingkat keuntungan yang diisyaratkan sebesar 18%. Dengan demikian apabila X
adalah unit yang dibeli, maka untuk kelompok “baik” biaya penerimaan dan penolakan yang
diharapkan adalah,
Apa arti persamaan-persamaan tersebut. Apabila (calon) pembeli yang dikelompokkan “baik”
bermaksud membeli 3.000 unit, maka
5. 3. PENGELOLAAN PERSEDIAAN
Perusahaan memiliki persediaan dengan maksud untuk menjaga kelancaran operasinya. Bagi
perusahaan dagang, persediaan barang dagangan memungkinkan perusahaan memenuhi
permintaan pembeli. Sedangkan bagi perusahaan industry, persediaan bahan baku dan barang
dalam proses bertujuan untuk memperlancar kegiatan produksi, sedangkan persediaan barang
jadi dimaksudkan untuk memenuhi permintaan pasar. Meskipun demikian tidak berarti
perusahaan harus menyediakan persediaan sebanyak-banyaknya untuk meksud-maksud tersebut.
Dengan demikian maka masalahnya adalah reliabilitas system informasi dan system pengadaan
bahan (atau system produksi), sehingga mampu menekan jumlah persediaan yang pada waktu
yang tidak diperlukan. Masalah pengelolaan persediaan merupakan contoh lain bahwa keputusan
keuangan mungkin dilakukan bukan oleh “bagian keuangan”. Sistem ini biasanya menjadi
tanggung jawab bagian produksi dan/atau bagian pembelian. Bagi manajemen keuangan kita
perlu memahami dampak penggunaan suatu kebijakan persediaan terhadap aspek keuangan.
Jumlah persediaan dikaitkan dengan variabel tertentu. Cara ini merupakan cara yang sangat
sederhana. Misalkan perusahaan menetapkan bahwa persediaan barang jadi rata-rata akan
sebesar satu bulan penjualan. Dengan demikian apabila penjualan meningkat, rata-rata
persediaan juga akan meningkat, demikian pula kalau menurun. Cara lain misalnya mengkaitkan
kapan harus memesan kembali dan jumlah yang dipesan dihubungkan dihubungkan dengan
kebutuhan selama periode tertentu. Misalkan kebijaksanaan perusahaan adalah memesan bahan
baku pada saat jumlah bahan tinggal mencapai dua minggu kebutuhan produksi, dan jumlah yang
dipesan sebesar kebutuhan dua bulan produksi.
Economic Order Quantity. Salah satu model yang paling sering dibicarakan dalam berbagai buku
teks adalah model economic order quantity (EOQ). Model ini mendasarkan pada pemikiran yang
sama dengan sewaktu kita membicarakan model persediaan pada pengelolaan kas. Pemikirannya
adalah bahwa:
(1) Kalau perusahaan memiliki rata-rata persediaan yang besar, untuk jumlah kebutuhan yang
sama dalam suatu periode, berarti perusahaan tidak perlu melakukan pembelian terlalu
sering. Jadi menghemat biaya pembelian (pemasaran).
(2) Tetapi kalau perusahaan membeli dalam jumlah besar sehingga bisa menghemat biaya
pembelian, perusahaan akan menanggung persediaan dalam jumlah yang besar pula. Berarti
menanggung biaya simpan yang terlelu tinggi.
(3) Karena itu perlu dicari jumlah yang akan membuat biaya persediaan terkecil. Biaya
persediaan adalah biaya simpan plus biaya pembelian (pemasaran).
Misalkan kebutuhan bahan baku dalam satu tahun sebesar D satuan. Pemakaian bahan dilakukan
secara ajeg setiap waktu. Perusahaan tersebut memesan Q satuan setiap kali pesan. Dengan
demikian frekuensi pesanan dalam satu tahun adalah,
Persediaan yang dimiki oleh perusahaan akan berkisar dari O sampai dengan Q satuan. Dengan
demikian rata-rata persediaan buku tersebut adalah,
Kalau biaya simpan per tahun dinyatakan sebagai I, maka biaya simpan per tahun yang akan
ditanggung perusahaan adalah,
Apabila setiap kali perusahaan memesan memerlukan biaya sebesar o, maka biaya pemesanan
dalam satu tahun adalah,
Dengan demikian total biaya persediaan dalam satu tahun (kita beri notasi Y)
Biaya ini yang harus dimimumkan. Untuk itu persamaan diatas tersebut kita derivasikan terhadap
Q, dan kita buat sama dengan nol.
Q = √
Misalkan bahwa kebutuhan bahan baku dalam satu tahun sebesar 3.600 satuan, dengan harga Rp.
50.000 per satuan. Kebiasaan perusahaan adalah melakukan pembelian setiap bulan sekali. Biaya
simpan (termasuk biaya modal) berkisar 18% per tahun, sedangkan biaya setiap kali memesan
sebesar Rp. 200.000. Berdasarkan kebiasaan tersebut, maka biaya persediaannya adalah sebagai
berikut.
Dengan menerapkan model EQO, perusahaan akan dapat menekan biaya persediaannya.
Penerapan rumus EOQ menghasilkan jumlah pembelian sebagai berikut,
Q = [(2 x 3.600 x Rp. 200.000)/(0,18)(Rp. 50.000)]1/2
= 400 satuan
Dengan demikian maka
Yang berarti perusahaan dapat diperlukan sejak saat bahan dipesan sampai dengan bahan sampai
di perusahaan adalah selama setengah bulan (disebut sebagai lead time), maka perusahaan harus
memesan pada saat bahan baku mencapai D/24. Tingkat persediaan ini disebut sebagai titik
pemesanan kembali (rearder point).
Jadi pada waktu jumlah bahan baku telah mencapai 150 unit, perusahaan akan melakukan
pemesanan kembali.
Untuk berjaga-jaga terhadap ketidak-pastian, baik dalam hal penggunaan maupun dalam hal lead
time, perusahaan mungkin menetapkan perlunya persediaan keamanan (safety stocks). Sebab
mungkin terjadi bahwa selama lead time penggunaan bahan meningkat, atau pengiriman bahan
mengalami keterlamabatan. Misalkan ternyata pengiriman mengalami kelambatan, bukannya
setengah bulan tetapi mencapai satu bulan. Dengan demikian apabila perusahaan tidak memiliki
safety stocks perusahaan akan kehabisan bahan (stockout) sebanyak 150 unit.
Cara yang lain adalah dengan menentukan berapa probabilitas kehabisan bahan yang bisa
diterima oleh perusahaan. Semakin kecil probabilitas ini semakin besar safety stocks ditentukan.
Pengalaman biasanya dipergunakan sebagai dasar penentuan safety stock ini.
Sekarang misalkan perusahaan menentukan safety stocks sebanyak 150 unit. Apa yang terjadi
dengan rata-rata persediaan?
Sebelum perusahaan menentukan safety stocks perkembangan jumlah bahan baku ditunjukkan
pada gambar dibawah ini.
400 . .
..
. . . .
0 Waktu
Gambar Perkembangan persediaan bahan baku sewaktu tidak memiliki safety stock
Pada saat tidak terdapat safety stocks maka jumlah persediaan maksimal adalah 400 unit, dengan
minimal nol unit. Karena itu rata-rata persediaan adalah 200 unit. Selama satu tahun terdapat 9
“segitiga”, karena dilakukan 9x pedmbelian selama satu tahun tersebut. Reorder point dilakukan
pada titik 150 unit.
Pada saat ditentukan persediaan keamanan sebanyak 150 unit, maka perkembangan persediaan
bahan baku akan napak seperti pada Gambar dibawah ini. Perhatikan bahwa dengan adanya
persediaan keamanan sebanyak 150 unit akan membuat persediaan maksimum mencapai 550
unit, dan minimum 150 unit. Dengan demikian rata-rata persediaan adalah 350 unit. Meskipun
demikian frekuensi pembelian selama satu tahun tetap tidak mengalami perusabahan, yaitu 9x.
Hanya saja sekarang reorder point dilakukan pada saat persediaan mencapai 300 unit.
550 . . . . . .
150 . . . . . .
SAFETY STOCKS
Gambar Perkembangan persediaan bahan baku dengan safety stock sebanyak 150 unit
Masalah yang perlu diperhatikan dalam penerapan model tersebut adalah pada asumsi-asumsi
yang mendasarinya. Sebagai missal model tersebut menggunakan asumsi harga bahan baku
konstan. Bisa terjadi pada saat diperkirakan akan terjadi kenaikan harga bahan baku, perusahaan
sengaja membeli dalam jumlah besar. Demikian juga kadang-kadang perusahaan membeli
jumlah besar. Demikian juga kadang-kadang perusahaan melakukan pembelian di atas jumlah
yang paling ekonomis (atau melanggar kebijakan yang biasa dianut) dengan maksud untuk
memperoleh quantity discount.
Untuk ilustrasi, misalkan perusahaan di atas memperoleh tawaran quantity discount sebesar 2%
apabila perusahaan membeli dalam jumlah minimal 1.000 unit setiap kali pembelian. Apabila
perusahaan memanfaatkan discount ini, maka biaya yang dapat dihemat adalah,
Tetapi sebagai akibat biaya persediaan akan naik apabila dibandingkan dengan biaya persediaan
dengan menggunakan EOQ. Biaya persediaan akan sebesar,
Dengan demikian tambahan biaya masih lebih kecil dibandingkan dengan diskon yang
dinikmati, maka perusahaan sebaiknya memanfaatkan tawaran quantity discount tersebut.
Dengan demikian perusahaan akan membeli dalam jumlah sesuai dengan rumus EOQ.
Apabila perusahaan mengelola persediaan dengan dikaitkan pada factor tertentu (misal produksi
atau penjualan), sangat boleh jadi bahwa jumlah persediaan akan proporsional dengan factor
tersebut. Sebagai missal perusahaan menentukan bahwa persediaan barang jadi sebesar setengah
bulan penjualan. Dengan demikian apabila penjualan dalam satu tahun sebesar Rp. 48.000 juta,
maka persediaan akan sebesar Rp. 48.000/24 = 25%), maka persediaan akan naik menjadi Rp.
60.0 juta/224 = Rp. 2.500 juta (juga naik 25%).
Dalam keadaan semacam ini masuk akal kalau manajer keuangan menggunakan metode sales
percentage untuk merencakan keuangan , atau menggunakan data tahun lalu sebagai dasar
perbandingan rasio perputaran persediaan .
Masalah menjadi lain kalau diterapkan model EOQ. Perhatikan bahwa persamaan tidak
menunjukkan sifat hubungan yang linier. Masalah akan makin kompleks kalau dimasukkan
adanya factor safety stock. Penerapan model ini menyebabkan kita tidak bisa membandingkan
efisiensi pengaturan persediaan (yang diukur dengan perputaran persediaan) dari waktu ke
waktu.
Kalau kita menggunakan contoh di atas, maka seandainya perusahaan menerapkan modal EOQ
tanpa persediaan keamanan, maka perputaran persediaan bahan baku adalah.
Sekarang misalkan pemakaian bahan meningkat 25% menjadi 4.500 unit dalam satu tahun.
Perhitungan EOQ akan berubah menjadi,
Phenomena sebaliknya akan muncul apabila pemakaian bahan berkurang. Artinya, perputaran
persediaan bahan baku akan menurun apabila diterapkan model EOQ dan terjadi penurunan
aktivitas perusahaan. Karena itulah penggunaan rasio-rasio keuangan sebagai ukuran kinerja
manajemen perlu berhati-hati, dan pemahaman terhadap kebijaksanaan perusahaan eprlu
dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran.
Latihan Manajemen Modal Kerja
Soal 1.
Minny Fishing Products is analyzing the performance of its cash management. On the average,
the firm holds inventory 65 days, pays its suppliers in 35 days, and collects its receivables
in 15 days. The firm has a current annual outlay of $1,960,000 on operating cycle
investments. Minny currently pays 10 percent for its negotiated financing. (Assume a 360
day year.)
(a) Calculate the firm’s cash conversion cycle.
(b) Calculate the firm’s operating cycle.
(c) Calculate the daily expenditure and the firm’s annual savings if the operating cycle is
reduced by 15 days.
Soal 2
Table 14.7
Ace Business
Forms
Current Fixed Total
Month Assets Assets Assets
January $125,000 $250,000 $375,000
February 130,000 250,000 380,000
March 135,000 250,000 385,000
April 150,000 250,000 400,000
May 150,000 250,000 400,000
June 125,000 250,000 375,000
July 115,000 250,000 365,000
August 120,000 250,000 370,000
September 115,000 250,000 365,000
October 100,000 250,000 350,000
November 110,000 250,000 360,000
December 115,000 250,000 365,000
Ace Business Forms has compiled several factors relative to its financing mix. The firm
pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term funds. The firm’s monthly
current, fixed and total asset requirements for the previous year are summarized in Table
14.7.
Determine:
(a) the monthly average permanent funds requirement
(b) the monthly average seasonal funds requirement
(c) the annual financing costs (aggressive strategy)
(d) the annual financing costs (conservative strategy)
Soal 3
3. Ligure Jewelers has seasonal financing needs that vary from $250,000 to $2,725,000. The
permanent financing requirement is $4,100,000. Check the appropriate box indicating the better
strategy for each of the following events.
Soal 4
Contex, Inc. uses 800 units of a product per year on a continuous basis. The product has carrying
costs of $50 per unit per year and order costs of $300 per order. It takes 30 days to receive
a shipment after an order is placed and the firm requires a safety stock of 5 days usage in
inventory.
(a) Calculate the economic order quantity (EOQ).
(b) Determine the reorder point.
Soal 5
Krug Gold Coin, Inc. is considering shortening its credit period from 30 days to 20 days and
believes, as a result of this change, its average collection period will decrease from 36 days
to 30 days. Bad debt expenses are also expected to decrease from 1.2 percent to 0.8 percent
of sales. The firm is currently selling 300,000 units but believes as a result of the change,
sales will decline to 275,000 units. On 300,000 units, sales revenue is $4,200,000, variable
costs total $3,300,000, and fixed costs are $300,000. The firm has a required return on
similar-risk investments of 15 percent. Evaluate this proposed change and make a
recommendation to the firm.
Bab VIII
182
Bila dilihat pada sumber kas, maka bisa disampaikan bahwa kas bisa berasal dari modal
sendiri, utang, penjualan tunai, pembayaran piutang, dan penjulan aktiva tetap. Sedangkan
penggunaan kas bisa digunakan untuk pembayaran bahan baku, gaji, dividen, dan pembelian
aktiva tetap , seperti yang disampaikan oleh Van Horn dalam buku Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan (Dr. Suad Husnan) secara skematis menggambarkan arus kas dalam perusahaan
sebagai berikut.
Barang Dalam
Proses
Persediaan
Barang Jadi Biaya
Tenaga Penyusutan
Kerja
Biaya Adm.
Hutang Gaji Aktiva Tetap Bahan Mentah
dan penju- dan Biaya-biaya
alan lain
Pembayaran Pembelian Penjualan
Penjualan kredit Gaji dan Biaya Aktiva Aktiva Tetap
Tetap
Piutang Hutang
Dagang Dagang
Penjualan Pengumpulan
Tunai
Dividen*
Pinjam
Arus kas yang ditunjukkan oleh anak panah di atas reservoir KAS merupakan arus kas
yang terjadi karena kegiatan operasi perusahaan. Sedangkan yang dibawah KAS merupakan arus
kas yang terjadi karena keputusan pendanaan yang diambil oleh perusahaan. Secara akuntansi,
pengeluaran atau pemasukan kas tidaklah identik dengan penghasilan dan biaya. Beberapa arus
kas ada yang mempengaruhi rugi laba, beberapa mempengaruhi neraca.
Kegiatan perusahaan dalam suatu periode (misal satu tahun) laporan-laporan keuangan yang
disajikan perusahaan menunjukkan adanya penambahan atau pengurangan dana (kas). Contoh
laporan sumber dan penggunaan dana PT. Mawar Tbk, maka dari laporan yang diperbandingkan
dapat dilihat bahwa pada tahun 20x1 terjadi penambahan dana sebesar Rp. 3.000.000.000. Perlu
analisis dari mana saja sumber dan penggunaan dana tersebut.
Analisis sumber dan penggunaan dana diarahkan pada penerapan matching principle dalam
pendanaan. Prinsip ini mengatakan bahwa penggunaan jangka panjang harus didanai dengan
dana jangka panjang, sedangkan dana jangka pendek hanya untuk keperluan jangka pendek.
Analisis sumber dan penggunaan dana lebih menekankan pada pertimbangan likuiditas.
Pada penerapan analisis sumber dan penggunaan dana untuk PT. Mawar Tbk., maka hasilnya
akan dapat dilihat bahwa sebagian besar dana adalah dari operasi perusahaan (yaitu laba setelah
pajak dan penyusutan). Penggunaan dana sebagian besar adalah untuk membayar dividend an
pengurangan hutang jangka panjang. Karena sumbernya adalah bersifat jangka panjang, maka
penggunaan tersebut (yaitu mengurangi utang jangka panjang dan pembayaran dividen) tidaklah
bertentangan dengan matching principle.
Tabel . Analisis sumber dan penggunaan dana PT. Mawar 20X1 (dalam milyar rupiah)
Sumber dana:
(1) Laba setelah pajak Rp. 166
(2) Penyusutan 50
Dana dari hasil operasi Rp. 216
(3) Berkurangnya persediaan Rp. 5
(4) Bertambahnya hutang pajak Rp. 2
Jumlah sumber dana Rp. 223
Penggunaan dana:
(1) Pembayaran dividen Rp. 87
(2) Penambahan sekuritas 5
(3) Penambahan piutang 6
(4) Pengurangan hutang dagang 2
(5) Pengurangan hutang wesel 20
(6) Pengurangan hutang j. panjang 100
Jumlah penggunaan dana Penambahan dana Rp. 220
Jumlah Rp. 3
Rp. 223
Beberapa analis menyukai melakukan analisis sumber dan penggunaan modal kerja (dalam
artian selisih antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar). Selain analisis sumber modal kerja
tersebut, dan penggunaannya. Sumber modal kerja adalah berasal dari operasi perusahaan, dan
digunakan untuk mengurangi utang jngka panjang dan membayar dividen. Maka dapat
disimpulkan bahwa penggunaan dana tersebut tidak menyimpang dari matcing principle.
Penggunaan yang terbesar, yaitu untuk mengurangi utang jangka panjang dan pembayaran
dividen, bisa dipenuhi dengan dana dari hasil operasi. Karena itu diharapkan tidak akan
menimbulkan masalah likuiditas. Analisis yang dilakukan adalah untuk data historis, juga bisa
dilakukan analisis dengan menggunakan data keuangan di masa yang akan datang (laporan
keuangan diproyeksikan atau proforma financial statements). Maka analisisnya adalah sebagai
berikut .
Tabel Analisis sumber dan penggunaan modal kerja PT. Mawar Tbk 20X1
(dalam milyar rupiah)
Pro forma laporan keuangan dapat dikembangkan melalui beberapa proses , pertama
menyiapkan laporan keuangan sebelumnya , membuat prediksi penjualan di tahun yang akan
datang. Selanjutnya adalah membuat asumsi untuk melengkapi yang ada. Berikut ini adalah
laporan keuangan sebelumnya adalah sebagai berikut :
Laporan Rugi – Laba PT. Mawar Tbk.
Desember 31, 20X0 (Dalam Jutaan Rupiah)
Pendapatan Penjualan
Produk X (1000 unit x Rp 20 ) Rp 20.000
Produk Y (2000 unit x Rp 40 ) Rp 80.000
Total Pendapatan Penjualan Rp 100.000
Dikurangi : Harga Pokok Produk
Upah Rp 28.500
Bahan Baku A Rp 8.000
Bahan Baku B Rp 5.500
Overhead Rp 38.000
Total Harga Pokok Produk Rp 80.000
Laba Kotor Rp 20.000
Dikurangi : Biaya operasional Rp 10.000
Laba Operasi Rp 10.000
Dikurangi : Biaya bunga Rp 1.000
Laba sebelum pajak Rp 9.000
Dikurangi : Pajak Rp 1.350
Laba setelah pajak Rp 7.650
Dikurangi : Dividen Rp 4.000
Total laba ditahan Rp 3.650
Selanjutanya dilakukan langkah penyusunan proforma laporan keuangan dengan dimulai dari
laporan rugi laba melalui metode percentage of sales . Diperlukan data forecast penjualan untuk
mengetahui penjualan yang akan datang, maka dilakukan forecast penjualan untuk tahun 20X1,
yaitu sebagai berikut :
Diawali dengan membuat forecast penjualan dengan asumsi bahwa pada tahun yang akan dating
terjadi kenaikan harga pada produk X dan produk Y, produk X mengalami kenaikan dari Rp 20
per unit menjadi Rp 25 per unit, sedangkan produk Y dari Rp 40 menjadi Rp 50. Kenaikan yang
dimaksud dalam rangka mengantisipasi kenaikan bahan baku, upah, dan overhead.
Langkah berikutnya adalah menyiapkan pro forma laporan rugi laba, yaitu menyiapkan metode
percent of sales , yaitu diawali dengan dengan melakukan forecast penjualan, kemudian
menentukan harga pokok penjualan , biaya operasional , dan akun lainya berdasarkan persentase
dari proyeksi penjualan. Berikut adalah contoh :
1. Menggunakan data proyeksi penjualan
2. Diasumsikan bahwa semua biaya adalah variable dan akan naik atau turun berdasarkan
proporsi penjualan.
3. Akan terjadi penurunan profit ketika terjadi peningkatan penjualan demikian sebaliknya.
Beberapa kelemahan dari pendekatan yang dilakukan diatas pada penyusunan pro forma
laporan keuangan yang berkaitan dengan asumsi dibawah ini :
1. Kinerja keuangan perusahaan di masa lalu tidak merupakan replikasi dimasa yang
akan datang
2. Ada paksaan itu menetapkan angka tertentu.
3. Untuk kesempurnaan terhadap proforma laporan keuangan, maka pertama kali yang
harus diperhatikan adalah forecast kondisi ekonomi dan lakukan penyesuaian dengan
fakta atau kejadian yang lainnya.
Cara lain untuk menyusun laporan keuangan proforma adalah dengan menggunakan system
anggaran. Dengan memahami interaksi masing-masing anggaran, bisa disusun neraca dan rugi
laba proforma. Pada sub bab berikut ini diberikan ilustrasi penggunaan anggaran untuk
menyusun laporan keuangan proforma.
Contoh Penerimaan
PT. Gelatik , perusahaan yang bergerak dibidang pakan unggas, membuat anggaran kas
untuk bulan oktober, November, dan desember. Penjualan pada bulan agustus dan
September adalah Rp 100.000.000 dan Rp 200.000.000. Penjualan sebesar Rp
400.000.000, Rp 300.000.000, dan Rp 200.000.000 di forecast untuk bulan oktober,
November, dan desember. Data sebelumnya sekitar 20% perusahaan meneriman
penjualan tunai, 50% akan diterima setelah 1 bulan penjualan, dan 30 % diterima setelah
2 bulan penjualan. Pada bulan desemebr PT. Gelatik akan menerima dividen dari anak
perusahaan sebesar Rp 30.000.000,-.
Penjualan tunai 20 40 80 60 40
Pengumpulan (1 bulan) 50 100 200 150
Pengumpulan (2 bulan) 30 60 120
Penerimaan lainnya 30
Contoh Pengeluaran
PT. Gelatik telah mengumpulkan informasi yang relevan berkaitan dengan skedul
pengeluaran. Pembelian diperkirakan 70% dari penjualan, 10% akan dibayar tunai, 70% akan
dibayar 1 bulan kemudian, dan 20% dibayar 2 bulan kemudian. Perusahaan akan membayar upah
& gaji, pajak, bunga, dividen sebagai berikut :
Pembelian tunai 7 14 28 21 14
Pembayaran (1 bulan) 49 98 196 147
Pembayaran (2 bulan) 14 28 56
Pembayaran sewa 5 5 5
Upah dan gaji 48 38 28
Pembayaran pajak 25
Pembelian aktiva tetap 130
Pembayaran bunga 10
Pembayaran dividen 20
Pemabayaran pokok pinjaman 20
Total pengeluaran 213 418 305
Informasi Tambahan Untuk Anggaran Kas
Anggaran kas untuk PT. Gelatik dapat dilakukan dengan menggabungkan antara
penerimaan dan pengeluaran. Pada akhir September , saldo kas perusahaan sebesar Rp
50.000.000, note payable = 0, dan marketable securities = 0. Perusahaan juga mengharapkan
saldo minimum Rp 25.000.000. Hasilnya sebagai anggaran kas adalah sebagai berikut :
Format Umum Anggaran Kas
Model yang dipergunakan ternyata tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hal itu
tidak mengherankan karena proyeksi keuangan yang dilakukan sebenarnya hanya mendasarkan
diri atas mekanisme akuntansi (apa dampaknya bagi neraca dan rugi laba dimasa yang akan
datang/). Dan tidak menggunakan model untuk memperkirakan nilai perusahaan dimasa yang
akan daaing. Kalau diproyeksikan laba setelah pajak sebesar Rp. X, maka proyeksi nilai
perusahaan akan dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan Price Earnings
Ratio. Apabila diperkirakan PER konstan maka nilai pasar modal sendiri akan sebesar PER x
(laba setelah pajak).
(1) Pertumbuhan agresif, Strategi ini berarti perusahaan akan mencoba merebut pangsa pasar
para pesaing. Sebagai akibatnya perusahaan akan memerlukan dana dari luar perusahaan
dalam julmah yang cukup besar.
(2) Pertumbuhan moderat. Strategi ini berarti bahwa pertumbuhan penjualan disebabkan karena
pertumbuhan permintaan dalam industry yang bersangkutan. Tidak ada upaya untuk merebut
pangsa pasar pesaing. Pertumbuhan diharapkan dapat dibiayai dari hasil operasi perusahaan
(dana itern).
(3) Memperkecil bisnis yang dilakukan. Apabila produk yang dihasilkan diperkirakan sudah
berada dalam tahap akhir kedewasaan, maka perusahaan mungkin memutuskan untuk
bersiap-siap menambah dan/atau beralih ke bisnis yang lain. Dana dari bisnis saat ini akan
diinvestasikan ke bisnis lain.
Soal Essay
1. Given the financial data for New Electronic World, Inc. (NEW), compute the following
measures of cash flows for the NEW for the year ended December 31, 2005
(a) Operating Cash Flow.
(b) Free Cash Flow.
2. Identify each expense or revenue as a cash flow from operating activities (O), a cash flow
from investment activities (I), or a cash flow from financing activities (F).
Administrative expenses
Rent payment
Interest on a note payable
Interest on a note receivable
Sale of equipment
Dividend payment
Stock repurchase
Sale of finished goods
Labor expense
Sale of a bond issue
Repayment of a long-term debt
Selling expenses
Depreciation expense
Sale of common stock
Purchase of fixed assets
3. Calculate the change in the key balance sheet accounts between 2002 and 2003 and classify each
as a source (S), a use (U), or neither (N), and indicate which type of cash flow it is: an operating
cash flow (O), and investment cash flow (I) or a financing cash flow (F).
ABC Corp.
Balance Sheet Changes and Classification
of Key Accounts between 2004 and 2005
Account 2004 2005 Change Classification Type
Long-term debts $ 960 $ 800
Accounts receivable 640 500
Common stock 200 200
Cash 640 500
Retained earnings 960 800
Accruals 50 200
Inventory 840 600
Accounts payable 1,150 1,000
Net fixed assets 1,800 2,000
Table 3.5
Magna Fax, Inc.
Income Statement
For the Year Ended December 31, 2005
Sales revenue $150,000
Cost of goods sold 117,500
Gross Profits $32,500
Selling expense 4,500
General and administrative expense 4,000
Depreciation expense 4,000
Operating profits $ 20,000
Interest expense 2,500
Net profit before taxes $ 17,500
Taxes (40%) 7,000
Net profit after taxes $ 10,500
Magna Fax, Inc.
Balance Sheet
For the Years Ended December 31, 2004 and 2005
2004 2005
Assets
Cash $24,000 $21,000
Accounts receivable 45,000 39,000
Inventory 30,000 27,000
Gross fixed assets $42,000 $40,000
Acc. Depreciation 22,000 18,000
Net fixed assets 20,000 22,000
Total assets $119,000 $109,000
Liabilities and Equity
Accounts payable $25,000 $30,000
Notes payable 50,000 40,000
Accruals 1,000 2,000
Long-term debts 10,000 8,000
Common stock at par 1,000 1,000
Paid-in capital in excess of par 4,000 4,000
Retained earnings 28,000 24,000
Total liabilities and equity $119,000 $109,000
4. The credit manager at First National Bank has just received the income statement and balance sheet
for Magna Fax, Inc. for the year ended December 31,2005. (See Table 3.5.) The bank requires the
firm to report its earnings performance and financial position quarterly as a condition of a loan
agreement. The bank’s credit manager must prepare two key financial statements based on the
information sent by Magna Fax, Inc. This will be passed on to the commercial loan officer
assigned to this account, so that he may review the financial condition of the firm.
(a) Prepare a statement of retained earnings for the year ended December 31, 2005.
(b) Prepare a summary of cash inflows and cash outflows for the year ended December 31, 2005.
(c) Prepare a statement of cash flows for the year ended December 31, 2005, organized by
cash flow from operating activities, cash flow from investment activities, and cash flow
from financing activities.
5. Gerry Jacobs, a financial analyst for Best Valu Supermarkets, has prepared the following sales
and cash disbursement estimates for the period August through December of the current year.
90 percent of sales are for cash, the remaining 10 percent are collected one month later. All
disbursements are on a cash basis. The firm wishes to maintain a minimum cash balance of $50.
The beginning cash balance in September is $25. Prepare a cash budget for the months of October,
November, and December, noting any needed financing or excess cash available.
6. Terrel Manufacturing expects stable sales through the summer months of June, July, and August of
$500,000 per month. The firm will make purchases of $350,000 per month during these months.
Wages and salaries are estimated at $60,000 per month plus 7 percent of sales. The firm must make
a principal and interest payment on an outstanding loan in June of $100,000. The firm plans a
purchase of a fixed asset costing $75,000 in July. The second quarter tax payment of $20,000 is
also due in June. All sales are for cash.
(a) Construct a cash budget for June, July, and August, assuming the firm has a beginning
cash balance of $100,000 in June.
(b) The sales projections may not be accurate due to the lack of experience by a newly-hired sales
manager. If the sales manager believes the most optimistic and pessimistic estimates of sales
are $600,000 and $400,000, respectively, what are the monthly net cash flows and required
financing or excess cash balances?
7. In preparation for the quarterly cash budget, the following revenue and cost information have been
compiled. Prepare and evaluate a cash budget for the months of October, November, and
December based on the information shown below.
The firm collects 60 percent of sales for cash and 40 percent of its sales one month later.
Interest income of $50,000 on marketable securities will be received in December.
The firm pays cash for 40 percent of its purchases.
The firm pays for 60 percent of its purchases the following month.
Salaries and wages amount to 15 percent of the preceding month’s sales.
Sales commissions amount to 2 percent of the preceding month’s sales.
Lease payments of $100,000 must be made each month.
A principal and interest payment on an outstanding loan is due in December of $150,000.
The firm pays dividends of $50,000 at the end of the quarter.
Fixed assets costing $600,000 will be purchased in December.
Depreciation expense each month of $45,000.
The firm has a beginning cash balance in October of $100,000 and maintains a minimum
cash balance of $200,000.
8. Harry’s House of Hamburgers (HHH) wants to prepare a cash budget for months of September
through December. Using the following information, prepare the cash budget schedule and
interpret the results.
Sales were $50,000 in June and $60,000 in July. Sales have been forecasted to be $65,000,
$72,000, $63,000, $59,000, and $56,000 for months of August, September, October,
November, and December, respectively. In the past, 10 percent of sales were on cash basis, and
the collection were 50 percent in the first month, 30 percent in the second month, and 10
percent in the third month following the sales.
Every four months (three times a year) $500 of dividends from investments are expected.
The first dividend payment was received in January.
Purchases are 60 percent of sales, 15 percent of which are paid in cash, 65 percent are paid
one month later, and the rest is paid two months after purchase.
$8,000 dividends are paid twice a year (in March and September).
The monthly rent is $2,000.
Taxes are $6,500 payable in December.
A new hamburger press will be purchased in October for $2,300.
$1,500 interest will be paid in November.
$1,000 loan payments are paid every month.
Wages and salaries are $1,000 plus 5 percent of sales in each month.
August’s ending cash balance is $3,000.
HHH would like to maintain a minimum cash balance of $10,000.
9.
Income Statement
Huddleston Manufacturing Company
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $2,800,000
Less: Cost of goods sold 1,820,000
Gross profits $ 980,000
Less: Operating expenses 240,000
Operating Profits $ 740,000
Less: Interest expense 70,000
Net profits before taxes $ 670,000
Less: Taxes (40%) 268,000
Net profits after taxes $ 402,000
Less: Cash Dividends 132,000
To: Retained earnings $ 270,000
Huddleston Manufacturing estimates its sales in 2006 will be $3 million. Interest expense is
expected to remain unchanged at $70,000, and the firm plans to pay cash dividends of $140,000
during 2006. Use the percent-of-sales method to prepare a pro forma income statement for the year
ended December 31, 2006, based on the 2005 income statement shown above.
Table 3.6
Income Statement
Ace Manufacturing, Inc.
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $2,000,000
Less: Cost of goods sold 1,200,000
Gross profit $800,000
Less: Selling expense 200,000
General & administrative expense 60,000
Less: Depreciation 40,000
Operating profit $ 500,000
Less: Interest 80,000
Earnings before taxes $ 420,000
Less: Taxes (40%) 168,000
Net profit after taxes/EACS $ 252,000
Common stock dividends $ 100,000
10. Ace Manufacturing, Inc., is preparing pro forma financial statements for 2006. The firm utilized
the percent-of-sales method to estimate costs for the next year. Sales in 2005 were $2 million and
are expected to increase to $2.4 million in 2006. The firm has a 40 per cent tax rate.
(a) Given the 2005 income statement in Table 3.6, estimate net profit and retained earnings
for 2006.
(b) If $200,000 of the cost of goods sold and $40,000 of selling expense are fixed costs; and
the interest expense and dividends are not expected to change, what is the dollar effect on
net income and retained earnings? What is the significance of this effect?
The income statement and balance sheet for the ZZZ Mattress Co. for the year ended December
31, 2005 follow.
Table 3.7
Income Statement
ZZZ Mattress Company
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $300,000
Less: Cost of goods sold 195,000
Gross profit $105,000
Less: Selling expense 40,000
General and administrative expense 11,000
Less: Depreciation 10,000
Operating profit $ 44,000
Less: Interest 12,000
Net profit before taxes $ 32,000
Less: Taxes (40%) 12,800
$ 19,200
Balance Sheet
ZZZ Mattress Company
December 31, 2005
Assets
Cash $1,500
Accounts receivable 60,000
Inventory 95,000
Total current assets $156,500
Stockholders’ equity:
Common stock $71,000
Retained earnings 75,000
Total liabilities and equities $306,500
11. The ZZZ Mattress Co. has been requested by the 1st National Bank, a major creditor, to prepare a
pro forma balance sheet for the year ending, December 31, 2006. Using the percent-of-sales method
and the following financial data, prepare the pro forma income statement and balance sheet and
discuss the resulting external financing required. (See Table 3.7)
2006 sales are estimated at $330,000.
Accounts receivable represent 20 percent of sales.
A minimum cash balance of $1,650 is maintained.
Inventory represents 32 percent of sales.
Fixed-asset outlays in 2006 are $20,000. Total depreciation expense for 2006 will be $15,000.
Accounts payable represents 15 percent of sales.
Notes payable and accruals will remain the same.
No long-term debt will be retired in 2004.
No common stock will be repurchased in 2006.
The firm will pay dividends equal to 50 percent of its earnings after taxes.
Table 3.8
Income Statement
Wirl Wind Company
Sales revenue $3,028,500
Less: Cost of goods sold
Fixed costs 1,350,000
Variable costs 1,260,600
Gross profits $417,900
Less: Operating expenses
Fixed expenses 4,500
Variable expenses 85,840
Operating profits $327,560
Less: Interest expense 82,150
Net profits before taxes $245,410
Less: Taxes (40%) 98,164
Net profits after taxes $147,246
Less: Dividend 50,000
Increased retained earnings $ 97,246
Balance Sheet
Wirl Wind Company
Assets
Current assets
Cash $625,000
Marketable securities 298,000
Accounts receivable 580,000
Inventories 496,000
Total current assets $1,999,000
Current liabilities
Accounts payable $267,000
Notes payable 135,000
Accruals 288,000
Stockholders’ equity
Preferred stock 79,000
Common stock 750,000
Paid-in-capital 601,000
Retained earnings 149,000
12. The Wirl-Wind Company of America is trying to plan for the next year. Using the current
income statement and balance sheet given in Table 3.8, and the additional information provided,
prepare the company’s pro forma statements.
Sales are projected to increase by 15 percent.
Total of $75,000 in dividend will be paid.
A minimum cash balance of $650,000 is desired.
A new asset for $50,000 will be purchased.
Depreciation expense for next year is $50,000.
Marketable securities will remain the same.
Accounts receivable, inventory, accounts payable, notes payable, and accruals will increase
by 15 percent.
$30,000 new issue of bond will be sold.
No new stock will be issued.
Bab VI
Bagian penting dalam modal kerja yang diperhatikan oleh manajer keuangan adalah
masalah sumber dana. Sumber dana perusahaan bisa bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Sumber dana yang bersifat jangka pendek menjadi pendanaan modal kerja perusahaan.
Pendanaan modal kerja atau pendanaan jangka pendek meliputi pendanaan yang bersifat
permanen dan pendanaan yang bersifat musiman. Dana permanen merupakan dana terendah
yang disediakan pada periode tertentu untuk total asset perusahaan, sedangkan dana musiman
merupakan selisih antara dana permanen dengan dana teretndah pada pembiayaan secara total
dari asset , dan dalam strategi pendanaan atau pembiayaan dikenal dengan aggressive strategy
dan conservative strategy.
138
6.1.1 Maturity matching approach
Adalah kebijakan untuk menyelaraskan usia aktiva dan pasiva perusahaan. Strategi ini
meminimumkan kemungkinan perusahaan tidak dapat melunasi kewajiban-kewajiban
keuangannya. Sebagai contoh, PT. Manis berutang dengan pengembalian setahun untuk
membangun pabrik. Arus kas yang dihasilkan pabrik tersebut mungkin tidak cukup untuk
membayar bunga dan pokok pinjaman pada akhir tahun depan sehingga utang harus
diperbaharui. Misalnya terjadi sesuatu sehingga kreditor tidak ingin memperpanjang utang, PT.
Manis akan mengalami kesulitan likuiditas. Jika pembangunan pabrik didanai dengan utang
jangka panjang, kesulitan tersebut bisa dihindari. Intinya, pabrik dengan usia 30 tahun mestinya
didanai dengan utang yang berusia 30 tahun pula. Persediaan dengan usia 30 hari didanai dengan
pinjaman bank berusia 30 hari, demikian seterusnya. Namun demikian ada 2 kendala dalam
menyelaraskan usia aktiva dengan pasiva: (1) usia aktiva kadang kala tidak menentu, dan (2)
timbul masalah jika menggunakan pendanaan dari modal sendiri karena modal sendiri tidak
memilki waktu jatuh tempo (usia tak terhingga).
Menurut Maturity matching approach, aktiva tetap dan aktiva lancar permanen harus didanai
dengan utang jangka panjang dan modal sendiri ditambah pasiva lancar spontan (spontaneous
current liabilities). Pasiva lancar spontan terdiri atas utang dagang (account payable) dan
accruals (gaji atau upah dan pajak yang belum dibayar) yang tidak membutuhkan biaya bunga.
Sedangkan aktiva lancar temporer yang berfluktuasi didanai dengan utang jangka pendek yang
tidak spontan (short term non spontaneous debt). Perhatikan gambar dibawah ini.
Gambar 1
6.1.2Aggressive approach
Adalah kebijakan dimana perusahaan mendanai seluruh aktiva tetapnya serta sebagian dari
aktiva lancarnya dengan utang jangka panjang dan modal sendiri di tambah pasiva lancar
spontan. Sebagian dari aktiva lancar permanen serta aktiva lancar temporer didanai dengan utang
jangka pendek tidak spontan. Sebagai contoh, PT. Manis memiliki aktiva tetap sebesar 500 juta
dan aktiva lancar permanen sebesar 200 juta yang didanai dengan utang jangka panjang dan
modal sendiri sebesar hanya 590 juta serta pasiva lancar spontan 60 juta. Kekurangan sebesar 50
juta didanai dengan utang jangka pendek dari huutang wesel (notes payables). Kebijakan ini
disebutagresif karena penggunaan utang kjangka apendek untuk mendanai sebagian aktiva lancar
permanen relative berisiko. Risiko timbul jika suku bunga naik atu masalah-masalah yang
mungkin timbul dalam memperbaharui utang. Risiko ini dikompensasi dengan keuntungan
karena utang jangka pendek biasanya lebih murah dari utang jangka panjang. Semakin agresif
kebijakan ini, semakin besarbagian dari aktiva lancar permanen yang didanai dengan utang
jangka pendek. Jika kebijakan sangat agresif dilakukan, sebagian dari aktiva tetap dibiayai
dengan utang jangka pendek. Perhatikan gambar dibawah ini.
AGGRESIVE APPROACH
Rp
Aktiva Tetap
t
Gambar 2
6.1.3 Conservative approach
Adalah kebijakan dimana perusahaan menggunakan utang jangka panjang dan modal sendiri
ditambah pasiva lancar spontan untuk mendanai aktiva tetap, aktiva lancar permanen serta
sebagian dari aktiva lancar temporer. Sebagian lain dari aktiva lancar temporer jika diperlukan,
dibiayai dengan menggunakan utang jangka pendek tidak spontan. Saat aktiva lancar temporer
mencapai titik terendah, dana yang menganggur dibelikan sekuritas (surat berharga) yang likuid.
Kebijakan ini relatif aman (ingat bahwa konservatif berarti hati-hati) karena hampir seluruh
aktiva tetap dan lancar didanai dengan utang jangka panjang dan modal sendiri. Namun
demikian, sesuai hukum low risk, low return, kebijakan ini mahal karena pada umumnya utang
jangka panjang lebih mahal dari utang jangka pendek. Perhatikan Gambar dibawah ini.
AGGRESIVE APPROACH
Gambar 3
Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa ketiga kebijakan pendanaan aktiva lancar
dibedakan dari tingkat penggunaan utang jangka pendek. Pendekatan agresif menggunakan
banyak utang jangka pendek, sedangkan pendekatan konservatif sedikit menggunakan utang
jangka pendek. Meskipun menggunakan utang jangka pendek lebih berisiko daripada
menggunakan utang jangka panjang, utang jangka pendek dibahas berikut ini.
Kecepatan. Lebih cepat untuk memperoleh kredit jangka pendek daripada kredit jangka
panjang. Kreditor akan melakukan analisis yang yang lebih mendalam untuk kredit berjangka
panjang karena dana akan terikat dalam waktu yang lama. Jika perusahaan membutuhkan
dana segera, ia lebih suka memilih utang jangka pendek.
Fleksibilitas. Untuk mendanai aktiva lancar temporer atau musiman, perusahaan cenderung
kurang menyukai utang jangka panjang. Alasannya: (1) flotation cost (biaya untuk
memperoleh utang) untuk utang jangka panjang biasanya lebih besar dari flotation cost untuk
utang jangka pendek, (2) meskipun utang jangka panjang dapat dibayar sebelum waktunya,
untuk melakukan ini diperlukan biaya, (3) utang jangka panjang biasanya disertai dengan
“covenant” atau aturan-aturann dari kreditur yang dapat menghambat efisiensi pengambilan
keputusan manajemen.
Biaya Utang. Pada umumnya utang jangka panjang lebih mahal biayanya (suku bunganya
lebih tinggi) daripada utang jangka pendek. Hak ini ditunjukkan dengan yield curve1 yang
naik. Utang jangka panjang lebih mahal karena perkiraan bahwa tingkat inflasi di masa
mendatang akan naik serta risiko yang lebih besar untuk masa peminjaman yang lebih
panjang.
Risiko Utang. Risiko utang jangka pendek lebih besar karena: (1) jika perusahaan
menggunakan utang jangka panjang, biaya bunga relatif stabil untuk waktu yang lama, tapi
jika ia menggunakan utang jangka pendek, suku bunga relatif berfluktuasi, (2) jika
perusahaan menggunakan terlalu banyak utang jangka pendek, ia dapat mengalami kesulitan
likuiditas. Tidak jarang hal ini menyebabkan kebangkrutan perusahaan.
Commercial Paper adalah surat utang jangka pendek yang diterbitkan suatu perusahaan yang
biasanya dibeli oleh perusahaan lain, lembaga pensiun, lembaga keuangan, perusahaan asuransi,
dll. Surat ini biasanya tanpa jaminan sehingga hanya dapat diterbitkan oleh perusahaan besar,
kuat dan bonafit.
Perusahaan pada umumnya membeli barang dari supplier secara kredit, kemudian dicatat
sebagai utang dagang (account payable) atau trade credit. Perusahaan menjual secara kredit
biasanya dengan menggunakan terminologi kredit sebagai berikut: dijual pada 2/10, net 30 yang
berarti pembayaran harus dilakukan 30 hari setelah penerimaan barang, jika dalam 10 hari sudah
dibayar, pembeli akan mendapat potongan 2%. Artinya jika pembeli membayar lebih cepat, ia
dapat memanfaatkan discount yang ada. Jika membayar setelah 10 hari, ia tidak memanfaatkan
discount.
Untuk memilih memanfaatkan discount atau tidak, kita harus menghitung biaya untuk
memanfaatkan discount. Biaya ini kemudian dibandingkan dengan biaya pendanaan untuk
memperoleh discount (ingat bahwa memperoleh discount berarti membayar lebih awal, dan ini
harus dibiayai misalnya melalui utang jangka pendek).
Contoh:
Suatu perusahaan membeli bahan baku dari supplier rata-rata Rp 120 juta per tahun dengan
terminology 2/10, net 30. Jika perusahaan memanfaatkan discount 2%, maka rata-rata per hari ia
membeli bahan baku sebanyak (120 juta x 0,98)/360 = Rp 326.666,67,-. Pada akhir hari
kesepuluh, utang dagang menjadi 10 x 326.666,67 = Rp 3.266.666,67,-. Pada hari kesebelas,
utang dagang bertambah Rp 326.666,67,- tetapi sebelumnya telah terjadi pelunasan utang dagang
sejumlah yang sama sehingga utang dagang secara rata-rata adalah RP 3.266.666,67,-.
Jika discount tidak dimanfaatkan, perusahaan membayar pada hari ketigapuluh, sehingga utang
dagang rata-rata adalah 30 x Rp 326.666,67,- = Rp 9,8 juta 2. Selisih rata-rata utang dagang
dengan memanfaatkan discount dan tidak adalah Rp 6.533.333,33,-. Dengan kata lain, penyalur
member kredit lebih banyak sebesar Rp 6.533.333,33,- kepada perusahaan. Dengan adanya
penundaan pembayaran ini perusahaan dapat memanfaatkan dana yang ada untuk hal-hal lain
seperti membayar utang, mendanai piutang, dsb. Perusahaan memperoleh tambahan utang
dagang sebesar itu tidak gratis, tetapi dengan pengorbanan tidak memperoleh discount 2% dari
Rp 120 juta = Rp 2,4 juta. Maka biaya kredit dagang atau utang dagang adalah:
2,4 juta / 6.533.333,33 = 36,7%
atau menggunakan rumus di atas:
[2/(100-2)] x [360/(30-10)] = 36,7%
Dengan membayar 30 hari, perusahaan menambah utang dagang sebesar Rp 6.533.333,33,-.
Dana dapat dihemat dan dapat digunakan untuk mendanai piutang perusahaan, investasi,
membayar kembali utang bank, dsb.
Mana yang harus dipilih: memanfaatkan discount atau tidak? Jika perusahaan dapat
memperoleh utang jangka pendek dengan biaya lebih murah dari 36,7% guna mendanai
pembayaran utang dagang lebih awal, seharusnya perusahaan memanfaatkan discount tersebut.
Rumus biaya tidak menggunakan utang di atas mengasumsikan bahwa bunga dibayar setahun
sekali. Yang lebih tepat adalah bunga dibayar setiap 30 - 10 = 20 hari atau 360/20 = 18 kali
setahun. Karena bunga dibayar lebih cepat, bunga tahunannya menjadi lebih besar.
Oleh sebab itu kita harus mencari bunga efektif tahunan atau Effective Annual Rate (EAR)
dengan rumus:
Biaya tidak memanfaatkan discount tergantung pada besarnya discount maupun lamanya
waktu pembayaran. Misalnya penjualan 2%, net 60 hari akan memiliki biaya tidak
memanfaatkan discount sebesar: [2/98] x [360/(60 - 10)] = 14,7%
atau
EAR = (1 + (0,02/0,98)]7,2 - 1 = 15,7%
dimana m = 360/50 = 7,2
Perlu dicatat bahwa rumus-rumus di atas mengasumsikan bahwa pembayaran untuk periode
discount maupun periode tanpa discount selalu dilakukan pada hari terakhir pembayaran.
Dengan kata lain, perusahaan tidak terlalu social untuk membayar pada hari kelima jika ia dapat
membayar pada hari kesepuluh.
Beberapa contoh hasil perhitungan biaya utang dagang jika discount tidak dimanfaatkan:
Kredit Perkiraan Biaya Biaya Efektif
1/10, net 20 36% 44%
1/10, net 30 18% 20%
2/10, net 20 73% 107%
3/10, net 45 37% 44%
Nampak bahwa semakin lama waktu pembayaran tanpa memanfaatkan discount, biaya tidak
memanfaatkan discount akan turun. Sebaliknya, semakin besar discount yang diberikan, biaya
tidak memanfaatkan discount semakin besar.
Untuk menjelaskan permasalahan ini, kita sajikan kembali contoh sebelumnya: sebuah
perusahaan melakukan pembelian bahan baku sejumlah Rp 120 juta setahun dengan terminologi
2/10, net 30. Jika discount dimanfaatkan, rata-rata utang dagang harian adalah (120 juta x
0,98)/360 = Rp 326.666,67,-. Pada hari pertama perusahaan beroperasi, jumlah ini akan muncul
di sisi pasiva neraca sebagai utang dagang (disisi aktiva, persediaan bertambah sejumlah yang
sama). Pada hari kedua, perusahaan membeli bahan baku sejumlah Rp 326.666,67,- lagi,
sedangkan utang dagang hari pertama belum dibayar sehingga jumlah utang dagang menjadi Rp
653.333,34,-. Setelah 10 hari, utang dagang menjadi Rp 3.266.666,67,-. Pada hari ke 11,
perusahaan akan membayar utang dagang hari pertama karena mereka ingin memanfaatkan
discount, namun pada hari itu utang dagang masih bertambah sejumlah yang sama (karena
perusahaan tetap membeli bahan baku). Akibatnya saldo utang dagang perusahaan akan stabil
sebesar Rp 653.333,34,- dengan asumsi perusahaan memanfaatkan discount.
Bagaimana jika perusahaan tidak memanfaatkan discount? Pada situasi ini, pada hari ke 11
tidak ada pelunasan utang dagang sehingga saldo utang dagang bertambah Rp 326.666,67,-
akibat pembelian bahan baku pada hari tersebut. Pada hari ke 30 saldo utang dagang akan
menjadi 30 x Rp 326.666,67,- = Rp 9,8 juta 3. Pada hari ke 31 perusahaan akan melunasi utang
dagang dari pembelian bahan baku hari 1 dan sekaligus membeli bahan baku (menambah utang
dagang) dengan jumlah yang sama.
Akibatnya saldo utang dagang setelah hari ke 30 adalah tetap pada angka Rp 9,8 juta dengan
asumsi perusahaan tidak memanfaatkan discount.
Pengaruh memanfaatkan discount atau tidak pada neraca adalah sebagai berikut: jika
discount diambil, saldo utang dagang sebesar Rp 3.266.666,67,- dan saldo utang wesel sebesar
Rp 9,8 juta - Rp 3.266.666,67,- = Rp 6.533.333,34,- (ini adalah jumlah uang untuk mendanai
pembayaran lebih awal). Jika discount tidak dimanfaatkan, saldo utang dagang adalah Rp 9,8
juta dan saldo utang wesel sebesar 0.
Pengaruh memanfaatkan discount atau tidak pada laporan rugi laba adalah: jika discount
diambil, ada kebutuhan dana untuk membiayai pembayaran awal yang biasanya diperoleh dari
utang wesel.
Artinya perusahaan harus membayar bunga. Namun jika discount tidak diambil, perusahaan
dapat menghemat dana tersebut (tidak perlu membayar bunga) tetapi menanggung biaya tidak
memnfaatkan discount atau discount lost. Untuk memilih memanfaatkan discount atau tidak, kita
tinggal membandingkan biaya bunga dengan discount lost. Jika biaya bunga lebih besar dari
discount lost, sebaiknya tidak memanfaatkan discount, demikian sebaliknya.
Sebagai sumber dana jangka pendek, utang dari bank menduduki ranking kedua setelah utang
dagang. Utang jangka pendek dari bank biasanya dicatat di neraca bagian pasiva sebagai utang
wesel (notes payable). Beberapa karakteristik utang bank yang perlu dikuasai dibahas berikut ini.
Jatuh Tempo (maturity)
Meskipun bank juga menyediakan utang jangka panjang, sebagian besar dari kredit yang
diberikan adalah berjangka pendek (jatuh tempo kurang dari setahun).
Promissory Note
Jika kredit disetujui, perjanjian dilakukan dengan mendatangani promissory note yang
menyatakan: (1) jumlah kredit, (2) persentase suku bunga, (3) skedul pengembalian, (4)
jaminan, dan (5) terminology dan kondisilain yang disepakati oleh kreditur dan debitur.
Compensating Balances
Kadang kala bank mengharuskan debitur untuk memelihara suatu rata-rata saldo checking
account (demand deposit) sekian persen dari jumlah utang. Saldo ini disebut compensating
balance yang mengakibatkan biaya utang naik. Misalnya, jika perusahaan meminjam Rp 10
juta, ia hanya dapat menggunakan Rp 8 juta saja karena adanya compensating balance 20%
dari total utang. Jika bunga utang adalah 8%, bunga utang yang sebenarnya atau efektif
adalah (8% x 10 juta)/8 juta = 10%.
Line of Credit
Line of credit adalah suatu persetujuan informal atau formal antara bank dan peminjam
tentang jumlah maksimum utang yang disediakan bank. Misalnya, line of credit sebesar Rp
80 juta berarti peminjam dapat meminjam hingga sejumlah tersebut.
Revolving Credit Agreement
Revolving credit agreement adalah suatu line of credit yang formal yang sering dimanfaatkan
oleh perusahaan besar. Bank berkewajiban menyediakan kredit hingga jumlahh maksimal
yang dijanjikan. Untuk kewajiban formalnya ini (legal obligation), bank biuasanya
memungut commitment fee sebesar sekian persen dari kredit yang tidak digunakan. Misalnya,
line of credit sebesar Rp 100 juta hanya dimanfaatkan sebesar Rp 60 juta. Maka peminjam
harus membayar fee untuk Rp 40 juta yang tidak digunakan.
Biaya utang bank bervariasi tergantung peminjamnya serta besar kecilnya utang. Peminjam
yang berisiko tinggi akan dikenai bunga yang lebih tinggi, sedangkan utang berjumlah kecil akan
menanggung bunga yang lebih tinggi karena adanya fixed cost untuk memperoleh utang dan
membayar jasa. Jika suatu perusahaan tergolong “prime risk” karena kinerjanya yang bagus dan
jumlah pinjaman cukup besar, bank dapat memberikan bunga yang terbaik yang disebut prime
rate. Ada 3 cara menghitung biaya utang bank: (1) regular atau simple interest, (2) discount
interest, dan (3) add-on interest.
Regular atau Simple Interest
Pada metoda ini, debitur meminjam sejumlah uang dan akan mengembalikannya berikut
bunga pada waktu yang akan dating. Misalnya, pada uutang Rp 10 jutadengan bunga 12%
per tahun, debitur akan membayar kembali Rp 10 juta plusbunga 12% x Rp 10 juta = Rp 1,2
juta setahun kemudian. Rumus menghitung bunga bank dengan pendekatan ini adalah:
- Untuk utang satu atau lebih dari satu tahun
Effective Annual Rate = Bunga/Jumlah
Dimana:
k = suku bunga nominal tahunan
m = berapa kali dalam setahun bunga dibayar
Contoh: kredit 3 bulan dengan bunga nominal 12%/th menanggung biaya sebesar :
EAR = [1+(12%/4)]4 - 1 = 12,55%/th
dimana m = 12 bulan/3 bulan = 4 kali
Karena debitur membayar bunga lebih cepat dari 1 tahun, maka bunga yang ditanggung
sebenarnya lebih besar dari 12% (bunga nominal tahunan). Jika utang nya setahun atau lebih
dari setahun, bunga nominal sama dengan bunga efektif.
Discount Interest
Pada pendekatan ini bank mengambil pembayaran bunga di depan. Misalnya, pada kredit Rp
100 juta dengan bunga 12% per tahun, bank hanya memberikan uang sebesar Rp 100 juta -
(12% x Rp 100 juta) = Rp 88 juta. Maka biaya bunga adalah 12 juta/88 juta = 13,64%.
Rumus untuk menghitung bunga bank dengan pendekatan ini adalah:
- Untuk utang satu atau lebih dari satu tahun
Sebagai contoh, huutang Rp 100 juta selama 3 bulan dengan bunga nominal 12%/th (atau 3%
per 3 bulan) memiliki bunga efektif:
EAR = [1+(3/(100 - 3)]4 - 1 = 12,96%
Add-on Interest
Pendekatan ini biasanya digunakan pada kredit mobil atau sepeda motor yang dikenal dengan
istilah dikalangan praktisi bunga flat yang artinya bunga dihitung dari saldo utang awal. Cara
menghitung bunga secara Add-On adalah: bunga nominal per tahun dikalikan jumlah utang.
Bunga ini kemudian ditambahkan pada utang untuk memperoleh total utang. Misalnya kita
membeli mobil seharga Rp 100 juta secara kredit dengan bunga Add-On atau bunga flat
12%/th, pembayaran dilakukan setiap bulan dengan jumlah yang sama selama 12 bulan.
Setiap bulan kita harus membayar (Rp 100 juta + Rp 12 juta)/12 bulan = Rp 9,33 juta. Jelas
kita dirugikan karena harus membayar bunga yang dihitung dari jumlah utang awal, bukan
saldo utang (ingat bahwa jumlah utang kita berkurang dari bulan ke bulan, sehingga bunga
yang dibayar seharusnya berkurang juga). Artinya bunga Add-On ini jika dihitung secara
efektif (yang benar-benar dirasakan peminjam) akan lebih tinggi. Dikalangan praktisi, bunga
efektif sering juga disebut bunga menurun. Bunga menurun akan lebih besar dari bunga flat.
Bagaimana menghitung bunga efektif atau bunga yang sebenarnya ditanggung peminjam
yang dikenai bunga Add-On?
Bunga efektif dari bunga Add-On (pendekatan):
Add-On = 12%/th, jumlah utang Rp 100 juta, EAR = [12 juta/(100 juta/2)] = 24%
- Secara tepat bunga efektif dari bunga Add-On dapat dicari dengan menguhitung IRR
(internal rate of return)
Contoh: bunga Add-On 12%, pinjaman Rp 100 juta, pembayaran per bulan selama 12 bulan.
Jumlah cicilan: (Rp 100 juta + Rp 12 juta)/12 = Rp 9,33 juta per bulan. Memperoleh Rp 100 juta
hari ini dan harus membayar Rp 9,33 juta selama 12 bulan. Arus kasnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
0 1 2 3 12
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
100 9,33 9,33 9,33 9,33
Soal ESSAY
1. Ligure Jewelers has seasonal financing needs that vary from $250,000 to $2,725,000.
The permanent financing requirement is $4,100,000. Check the appropriate box
indicating the better strategy for each of the following events.
Aggressive Conservative
Event Financing Strategy Financing Strategy
1. Due to high
inflation, short-
term interest rates
are much higher than
long-term rates.
2. Sales revenue is
unpredictable.
3. The firm has
a large
proportion of its
assets in
fixed assets.
4. The average
seasonal financing
need is $1,000,000.
5. The average
seasonal financing
need is $2,000,000.
FIGURE 1503
2. Ace Business Forms has compiled several factors relative to its financing mix. The firm
pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term funds. The firm's
monthly current, fixed and total asset requirements for the previous year are summarized
in Figure 1503.
Determine:
a. the monthly average permanent funds requirement
b. the monthly average seasonal funds requirement
c. the annual financing costs (aggressive strategy)
d. the annual financing costs (conservative strategy)
3. Ace Business Forms pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term
funds. Determine its annual financing costs using the trade-off strategy described: Ace
Business Forms has seasonal financing requirements ranging from zero to $50,000 per
month. Based on this range, the firm has decided to finance $25,000 per month of the
seasonal funds with long-term debt and the rest of the seasonal funds with short-term
debt. The permanent funds requirement will be financed with long-term funds. (See
Figure 1503.)
4. Studio One, a dealer in contemporary art, has forecasted its seasonal financing needs for
the next six months as follows:
January $1,450,000
February 1,895,000
March 2,000,000
April 1,575,000
May 1,342,000
June 1,562,000
The firm projects short-term funds will cost 11 percent and long-term funds will
cost 13 percent annually.
The firm's permanent funds requirement is $500,000.
Calculate financing costs for the first six months using the aggressive and conservative
strategies.
5. Tim's Sons Company is interested in making sure they have enough money to finance
their assets. The company's current assets and fixed assets for the months of January
through December are given in the following table.
6. ProntoPak Rapid Delivery Service is analyzing the credit terms of each of three
suppliers, A, B, and C.
A 1/15 net 40
B 2/10 net 30
C 2/15 net 35
7. Mime Theatrical Supply is in the process of negotiating a line of credit with two local
banks. The prime rate is currently eight percent. The terms follow:
8. General Aviation has just sold an issue of 30-day commercial paper with a face value of
$5,000,000. The firm has just received $4,958,000. What is the effective annual interest
rate on the commercial paper?
9. A&A Apple Company would like to manufacture and market a new packaging. A&A
has sold an issue of commercial paper for $1,500,000 and maturity of 90 days to finance
the new project. Compute the annual interest rate on the issue of commercial paper if the
value of the commercial paper at maturity is $1,650,000.
10. A&A Company purchased a new machine on October 20th, 1999 for $1,000,000 on
credit. The supplier has offered A&A terms of 2/10, net 45. The current interest rate the
bank is offering is 16 percent.
a. Compute the cost of giving up cash discount.
b. Should the firm take or give up the cash discount?
c. What is the effective rate of interest if the firm decides to take the cash discount
by borrowing money on a discount basis?
11. Giant Feeds, Inc. is considering obtaining funding through advances against receivables.
Total annual credit sales are $600,000, terms are net 30 days, and payment is made on the
average of 30 days. Western National Bank will advance funds under a pledging
arrangement for 13 percent annual interest. On average, 75 percent of credit sales will be
accepted as collateral. Commodity Finance offers factoring on a nonrecourse basis for a
1 percent factoring commission, charging 1.5 percent per month on advances and
requiring a 15 percent factor's reserve. Under this plan, the firm would factor all
accounts and close its credit and collections department, saving $10,000 per year.
a. What is the effective interest rate and the average amount of funds available under
pledging and under factoring?
b. Which plan do you recommend? Why?
Bab VII
Pengelolaan perusahaan akan berkaitan dengan kinerja suatu organisasi. Laporan keuangan
bisa menjadi gambaran pengelolaan kinerja keuangan. Apabila laporan keuangan memperoleh
kinerja baik, maka diharapkan kinerja perusahaan melaui nilai perusahaan akan meningkat. Nilai
perusahaan yang meningkat berarti ada peningkatan kekayaan pemegang saham. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuan perusahaan tercapai.
Perusahaan harus melaporkan kinerja kepada stakeholder , dan dibuatlah laporan yang
berstandar yaitu laporan keuangan sesuai ketentuan standar akuntansi Indonesia, bagi
perusahaan publik memiliki stakeholders yang bervariasi seperti: pemegang saham, pemegang
obligasi, banker, kreditur, supplier, karyawan dan manajemen. Para stakeholders perlu
mengetahui bagaimana kinerja perusahaan. Untuk itu mereka bergantung pada laporan keuangan
perusahaan yang diumumkan secara periodik untuk menyediakan informasi mendasar tentang
kinerja keuangan perusahaan. Perusahaan pada setiap aktivitas akan mencatatkan dalam suatu
laporan, dan salah satu laporan yang dibuat adalah laporan keuangan. Laporan keuangan dapat
dibagi dua yaitu balance sheet atau neraca dan income statement atau laporan rugi laba. Laporan
keuangan yang dianalisis adalah (1) laporan rugi laba (income statement), dan (2) neraca
(balance sheet).
Mempelajari bagaimana menggunakan informasi pada laporan keuangan untuk menganalisis
kinerja perusahaan dan kondisi keuangan saat ini sangatlah penting. Diharapkan setelah
menganalisis informasi keuangan akan dapat: (1) menghitung dan menginterpretasikan ukuran-
ukuran utang, likuiditas, profitabilitas, manajemen aktiva dan penilaian pasar perusahaan, serta
(2) menggunakan formula Du Pont untuk memahami determinan keuntungan perusahaan pada
aktiva dan modal sendiri.
155
(fixed assets). Sisi pasiva terdiri atas hutang lancar (current liabilities), hutang jangka panjang
(long-term debt) dan modal sendiri pemegang saham (shareholders equity).
Contoh suatu neraca disajikan dibawah ini.
NERACA PT Melati
31 Desember 2010
(dalam jutaan rupiah)
Aktiva Pasiva
Aktiva lancar Utang lancar
Kas & surat berharga Utang wesel
Piutang Utang dagang
Persediaan Utang lainnya
Aktiva lancar lainnya
Total Kativa lancar Total utang lancar
Utang jangka panjang
Aktiva tetap
Gedung, tanah, perlengkapan Modal sendiri pemegang saham
Kurangi akumulasi depresiasi Saham biasa & modal disetor
Aktiva tetap bersih Laba ditahan
Aktiva lainnya
Total aktiva Total utang & modal sendiri
Sebagai alternatif dari neraca nilai buku, dapat dibuat neraca nilai pasar (market value
balance sheet). Pada neraca ini , semua item pada sisi aktiva maupun pasiva dihitung berdasarkan
harga pasar sekarang. Perbedaan antara nilai pasar aktiva dan nilai pasar utang adalah nilai pasar
modal sendiri. Sedangkan harga saham adalah nilai pasar modal sendiri dibagi dengan jumlah
lembar saham yang beredar.
V=D+E
V = Value of the firm (nilai perusahaan)
D = Debt (utang perusahaan)
E = Equity (modal sendiri)
Jika V - D, kita dapatkan E
Contoh:
Mendirikan perusahaan baru senilai Rp 10 milyar dengan dana Rp 4 milyar berasal dari Utang
dan Rp 6 milyar dari modal sendiri (menjual saham biasa baru). Jumlah lembar saham yang
beredar adalah 1 juta, sehingga nilai buku per lembar saham adalah Rp 6 milyar dibagi 1 juta,
sebesar Rp 6.000,-/lembar saham. Misalkan saham tersebut memilkiki harga pasar Rp 7.500,-
/lembar.
Laporan keuangan berikutnya yang penting bagi perusahaan , yaitu Laporan Rugi-Laba
adalah laporan keuangan yang memperlihatkan penghasilan,biaya dan pendapatan bersih dari
suatu perusahaan selama suatu periode waktu. Contoh suatu laporan Rugi-Laba:
Laba atau profit menurut akuntansi berbeda dari arus kas (cash flow). Setidaknya ada 3
alasan untuk mendukung pernyataan ini.
- Pertama, akuntansi biasa membagi pembayaran tunai (cash payment) menjadi: (1) current
expenditure, misalnya gaji, dan (2) capital expenditure, misalnya pembelian mesin.
Current expenditure akan mengurangi current profit tetapi capital expenditure dibagi
sepanjang usia aktiva tersebut dalam bentuk depresiasi. Akuntansi tidak mengurangi
penghasilan dengan pengeluaran untuk membeli mesin baru yang terjadi pada tahun tersebut,
meskipun sebenarnya ada arus kas keluar. Sebaliknya akuntan mencatat adanya pengeluaran
sebesar biaya depresiasi dari pembelian mesin tahun lalu yang sebenarnya tidak ada
pengeluaran kas pada tahun ini. Oleh karena itu, dalam menghitung arus kas kita harus
mengembalikan biaya depresiasi (yang bukan cash payment) dan mengurangi laba dengan
pengeluaran pada aktiva baru (yang merupakan cash payment)
- Kedua, pertimbangkan kondisi berikut: pada periode 1 perusahaan memproduksi barang yang
dijual pada periode 2 dan dibayar pada periode 3. Akuntan akan mencatat adanya penjualan
pada periode 2 di laporan rugi-laba dan ada tambahan piutang di neraca. Pada periode
berikut, meskipuntidak ada penjualan, piutang berkurang dan perusahaan menerima uang
tunai. Untuk menghitung arus kas:
Periode 2 3
Penjualan 100 0
- Perubahan piutang 100 (100)
= Penerimaan kas 0 +100
Periode 1 2
Harga pokok Penjualan 0 60
+ Perubahan pada persediaan 60 (60)
- Arus kas keluar +60 0
Leverage
1. Debt Ratio =
Mengukur kemampuan EBIT (Earning Before Interest and Tax) membayar bunga
Mengukur kemampuan EBIT ditambah dana dari depresiasi untuk membayar bunga.
Liquidity
1. Current Ratio =
Seperti current ratio tetapi persediaan tidak diperhitungkan karena kurang likuid.
3. Cash Ratio =
Efficiency
Mengukur perputaran
persediaan
Profitability
Market-Value
1. Price-Earnings Ratio (PER) =
2. Dividend Yield =
ROE
Industri x
Profitabilitas perusahaan “X” semakin berada dibawah profitabilitas industri, namun trend
profitabilitas bagus karena meningkat terus hingga mendekati industri.
ROE
Industri
Profitabilitas perusahaan “Y” semakin menurun walaupun pada tahun 1994-1996 masih
berada diatas industri. Kondisi perusahaan ini kurang baik karena trend negatif serta ROA tahun
1997 sudah berada di bawah industri.
ROA Assets/Equity
Keterangan:
- Bagian kiri dari grafik menentukan profit margin pada penjualan. Berbagai biaya didaftar dan
membentuk total cost. Jika penjualan dikurangi toral costs menghasilkan Net Income. Jika
Net Income dibagi sales kita dapatkan profit margin.
- Bagian kanan dari grafik mendaftar berbagai aktiva, yang jika dijumlah akan kita peroleh
aktiva total. Ika penjualan dibagi aktiva total, kita peroleh Total Asset Turnover.
- Bila profit margin dikalikan total asset turnover akan menghasilkan return on asset
(ROA) Persamaan ini disebut Du Pont equation
atau
ROE =xx
dimana:
1. Profit margin memperlihatkan pengawasan terhadap biaya
2. Total assets turnover memperlihatkan efektifitas penggunaan aktiva
3. Equity multiplier memperlihatkan efektifitas penggunaan hutang
1. CONTOH SOAL
Perhatikan laporan keuangan PT MURAI BATU sebagai berikut:
Tanah dan gedung 36.000 29.400 Hutang jangka panjang 16.000 11.600
Kurangi depresiasi 10.000 8.000
Tanah dan gedung bersih 26.000 21.400 Modal sendiri 2.000 2.000
Saham preferen (1 juta lembar,
nilai nominal 2.000)
Saham biasa (50 juta lembar, 1.000 1.000
nilai nominal 20)
Tambahan modal disetor 1.800 1.800
Laba ditahan 13.200 12.800
Total modal sendiri dari saham 16.000 15.600
Biasa
Total modal sendiri 18.000 17.600
Total aktiva 40.000 33.600 Total Pasiva 40.000 33.600
1997 1996
Penjualan bersih 60.000 57.000
Biaya dan k as:
Tenaga kerja dan bahan baku 50.880 48.260
Depresiasi 2.000 1.800
Penjualan 440 400
Administrasi dan umum 800 700
Pembayaran leasing 360 360
Total biaya 54.680 51.720
Laba bersih sebelum bunga & pajak (EBIT) 5.320 5.280
Kurangi biaya bunga:
Bunga pada hutang wesel 160 40
Bunga pada hutang jangka panjang 1.160 900
Total bunga 1.320 940
Laba bersih sebelum pajak (EBT) 4.000 4.340
Pajak (40%) 1.600 1.740
Penghasilan bersih sebelum dividend saham preferen 2.400 2.600
Dividen saham preferen 200 200
Penghasilan bersih tersedia untuk pemegang saham biasa 2.200 2.400
Pembagian penghasilan bersih
Dividen saham biasa 1.800 1.600
Tambahan laba ditahan 400 800
Neraca Perubahan
31/12/97 31/12/96 Sumber Penggunaan
Kas 1.000 1.100 100
Sekuritas 0 500 500
Piutang 7.000 6.300 700
Persediaan 6.000 4.300 1.700
Tanah & Gedung 36.000 29.400 6.600
Depresiasi 10.000 8.000 2.000
Hutang dagang 1.200 600 600
Hutang wesel 2.000 1.200 800
Upah terhutang 200 200
Pajak terhutang 2.600 2.400 200
Hutang jangka panjang 16.000 11.600 4.400
Saham preferen 2.000 2.000
Saham biasa 1.000 1.000
Tambahan modal disetor 1.800 1.800
Laba ditahan 13.200 12.800 400
9.000 9.000
Tabel 24.7 Laporan Arus Kas (dalam jutaan rupiah)
.
1997 : . = 16,7%
.
1996 : . = 25%
1997 : .
= 10 x
.
1996 : .
= 13,3 x
.
(2) Days Sales Outstanding (DSO) = x 360
1997 : .
= 42 hari
./
.
1996 : ./ 39,8 hari
(3) Fixed Asset
Turnover =
.
1997 :
. = 2,3 x
.
1996 : = 2,7 x
.
1997 : .
= 3,7”%
.
1996 : .
= 4,2%
.
(4) Basic Earning Power (BEP) =
1997 : .
= 13,3%
.
1996 : .
= 15,7%
.
1997 : ...
= Rp 44,-/lembar
..
1996 : ...
.. = Rp 48,-/lembar
1997 : = 12,9 x
1996 : = 12,1 x
()
(2) Dividend Yield =
...
DPS 1997 = .. = Rp 36,-/lembar
...
DPS 1996 = .. = Rp 32,-/lembar
Dividend Yield 1997 = = 6,3%
Dividend Yield 1996 = = 5,5%
(f) Rangkuman dari analisis terhadap rasio keuangan disajikan pada tabel berikut:
Tabel 24.8 PT MURAI BATU: Rangkuman Rasio Keuangan
=
= (3,7%) (1,5) (2,5) = 13,8%
Jika dibandingkan dengan ROE rata-rata industri: ROE (industri) = (5,1%) (1,8) (1,67)
= 15,3% nampak bahwa:
- Profit margin di bawah rata-rata industri, artinya pengawasan terhadap biaya kurang
baik
- Total Asset Turnover dibawah rata-rata industri, artinya pemanfaatan aktiva
perusahaan belum maksimal
- Equitty Multiplier lebih tinggi dari rata-rata industri, artinya dapat memanfaatkan
hutang. Tingkat hutang lebih tinggi dari industri sehingga perusahaan menanggung
lebih banyak risiko.
Soal Essay
1. Ag Silver Mining, Inc. has $500,000 of earnings before interest and taxes at the year end. Interest
expenses for the year were $10,000. The firm expects to distribute $100,000 in dividends. Calculate
the earnings after taxes for the firm assuming a 40 percent tax on ordinary income.
2. At the end of 2005, the Long Life Light Bulb Company announced it had produced a gross profit of
$1 million. The company has also established that over the course of this year it has incurred
$345,000 in operating expenses and $125,000 in interest expenses. The company is subject to a 30
percent tax rate and has declared $57,000 total preferred stock dividends.
(a) How much is the earnings available for common stockholders?
(b) Compute the increased retained earnings for 2005 if the company were to declare a $4.25
common stock dividend. The company has 15,000 shares of common stock outstanding.
3. Reliable Auto Parts has 5,000 shares of common stock outstanding. The company also has
the following amounts in revenue and expense accounts.
Calculate
(a) gross profits.
(b) operating profits.
(c) net profits before taxes.
(d) net profits after taxes (assume a 40 percent tax rate).
(e) cash flow from operations.
(f) earnings available to common stockholders.
(g) earnings per share.
4. Colonial Furniture’s net profits before taxes for 2002 totaled $354,000. The company’s total
retained earnings were $338,000 for 2004 year end and $389,000 for 2005 year end. Colonial is
subject to a 26 percent tax rate. How large was the cash dividend declared by Colonial Furniture
in 2005?
5. On December 31, 2004, the Bradshaw Corporation had $485,000 as an ending balance for its
retained earnings account. During 2005, the corporation declared a $3.50/share dividend to its
stockholders. The Bradshaw Corporation has 35,000 shares of common stock outstanding.
When the books were closed for 2005 year end, the corporation had a final retained earnings
balance of
$565,000. What was the net profit earned by Bradshaw Corporation during 2005?
6. The Sunshine Company had a retained earnings balance of $850,000 at the beginning of 2005. By
the end of 2005, the company’s retained earnings balance was $950,000. During 2005, the company
earned $245,000 as net profits after paying its taxes. The company was then able to pay its
preferred stockholders $45,000. Compute the common stock dividend per share in 2005 assuming
10,000 shares of common stock outstanding.
7. Discuss the limitations of ratio analysis and the cautions which must be taken when reviewing
a cross-sectional and time-series analysis.
8.
Prepare a common-size income statement for Dreamscape, Inc. for the year ended December 31,
2005. Evaluate the company’s performance against industry average ratios and against last year’s
results.
9. In an effort to analyze Clockwork Company finances, Jim realized that he was missing the
company’s net profits after taxes for the current year. Find the company’s net profits after
taxes using the following information.
Return on total assets 2%
Total Asset Turnover 0.5
Cost of Goods Sold $105,000
Gross Profit Margin 0.30
10. Construct the DuPont system of analysis using the following financial data for Key Wahl
Industries and determine which areas of the firm need further analysis.
11. Given the following balance sheet, income statement, historical ratios and industry averages,
calculate the Pulp, Paper, and Paperboard, Inc. financial ratios for the most recent year. Analyze its
overall financial situation for the most recent year. Analyze its overall financial situation from
both a cross-sectional and time-series viewpoint. Break your analysis into an evaluation of the
firm’s liquidity, activity, debt, and profitability.
Income Statement
Pulp, Paper and Paperboard, Inc.
For the Year Ended December 31, 2005
Sales Revenue $2,080,976
Less: Cost of Goods Sold 1,701,000
Gross Profits $379,976
Less: Operating Expenses 273,846
Operating Profits $106,130
Less: Interest Expense 19,296
Net Profits Before Taxes $86,834
Less: Taxes (40%) 34,810
Net Profits After Taxes $52,024
Balance Sheet
Pulp, Paper and Paperboard, Inc.
December 31, 2005
Assets
Cash $ 95,000
Accounts receivable 237,000
Inventories 243,000
Total current assets $ 575,000
Gross fixed assets 500,000
Less: Accumulated depreciation 75,000
Net fixed assets $ 425,000
Total assets $1,000,000
Liabilities and stockholders’ equity
Current liabilities
Accounts payable $ 89,000
Notes payable 169,000
Accruals 87,000
Total current liabilities $ 345,000
Long-term debt 188,000
Total liabilities $ 533,000
Stockholders’ equity
Common stock 255,000
Retained earnings 212,000
Total stockholders’ equity $ 467,000
Total liabilities and stockholders’ equity $1,000,000
12. Complete the balance sheet for General Aviation, Inc. based on the following financial data.
Balance Sheet
General Aviation, Inc.
December 31, 2005
Assets
Cash $ 8,005
Marketable securities —
Accounts receivable —
Inventories —
Total current assets —
Gross fixed assets —
Less: Accumulated depreciation $50,000
Net fixed assets —
Total assets —
11.1. Pendahuluan
Dalam hal melakukan penilaian terhadap sekuritas , sangat penting terutama bagi perusahaan yang sudah
go public. Pada perusahaan yang sahamnya dijual di bursa , harga wajar saham bisa dibandingkan dengan
hasil penilaian. Melakukan penilaian merupakan proses yang tidak mudah, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Karakteristik saham yang sangat beragam sangat menentukan nilai dari suatu saham,
seperti adanya perbedaan karakteristik antara saham preferen, dengan saham biasa, dalam hal dividen
yang akan diterima oleh pemilik saham, menyebabkan nilai saham preferen berbeda dalam cara menilai
dibanding dengan saham biasa.
Bila harga saham yang di muat pada bursa lebih rendah dari hasil penilaian , maka para investor bisa
melakukan pembelian, demikian sebaliknya. Pada bagian dibawah ini akan dijelaskan bagaimana menilai
saham, baik saham preferen maupun saham biasa.
Bentuk saham yang dibahas pertama yaitu saham preferen atau (preferred stock), didefinisikan
sebagai saham yang memberikan sejumlah dividen yang tetap jumlahnya dan telah dinyatakan
sebelumnya. Jadi dividen saham preferen merupakan suatu annuity, karena saham preferen tidak
memiliki tanggal jatuh tempo, maka annuity tersebut memiliki periode sampai tak terhingga (∞) atau
merupakan suatu perpetuity.
∞
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
P=? D D D D D D D
Nilai atau harga saham preferen merupakan present value dari seluruh dividen yang diterima.
Vps =
243
dimana:
Vps = nilai saham preferen
Dps = dividen saham preferen
Kps = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham preferen
Bentuk saham yang kedua adalah saham biasa (common stock) berbeda dari saham preferen dalam hal
pembayaran dividen. Pada saham biasa, besarnya dividen tidak pasti dan tidak tetap jumlahnya.
Perusahaan pun tidak wajib memberikan dividen setiap tahun meskipun misalnya pada tahun tersebut
perusahaan memperoleh laba. Karakteristik ini membuat penilaian saham biasa menjadi lebih rumit
dibanding penilaian saham preferen. Seandainya investor yang membeli suatu saham biasa
bermaksud menyimpan saham tersebut sampai waktu tak terhingga (∞), maka harga atau nilai saham
tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
∞
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
P=? D1 D2 D3 D4 D∞
P0 = ( + +…+ )
)( )(
∞
D
P̂ =
(1 + K )
dimana:
P̂o = harga saham yang diharapkan
Dt = dividen periode ke t
Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham
Hasil dari saham biasa atau dividen yang akan diperoleh tidak tetap dan sulit diprediksi. Hal ini
menyebabkan penilaian saham biasa jauh lebih sulit daripada penilaian obligasi atau saham preferen.
Supaya dapat menghitung nilai suatu saham, investor harus memprediksi dividen saham biasa.
Ada 3 pendekatan:
1) zero growth model
2) Constant growth model , dan
3) Non-constant growth (variable growth model)
Seorang investor diasumsikan akan menerima dividen saham biasa tidak tumbuh, atau growth (g)
adalah 0, nilai saham dapat dihitung sebagai berikut:
P̂0 = + +…+ ∞
)∞
() () (
D1 = D2 = D3 = … = D∞ = D (karena g = 0)
Maka
P̂0 = + +…+ ∞
() ( )∞
()
Contoh:
Jika saham perusahaan B diprediksi memberikan dividen sebesar Rp 100 per lembar setahun
mendatang. Calon pembeli saham tersebut mensyaratkan suatu tingkat keuntungan pada saham
sebesar 10% per tahun dan dividen diperkirakan tidak tumbuh (g=0) atau tetap Rp 100,-. Berapa
harga saham yang bersedia dibayar calon pembeli tersebut?. Berapa harga saham tersebut jika
dividen diberikan setiap 3 bulan sebesar Rp 100 dan tidak pernah tumbuh (g=0) sedangkan tingkat
keuntungan yang disyaratkan investor 12% per tahun atau 4% per 3 bulan?
Jawab:
D = 100
Kp = 0,1
P0 =
= 100/0,1 = Rp 1.000
Jika D = , Kp = ,
0,03
maka:
P0 = = = Rp 3.333,33
,
Asumsi yang digunakan bahwa dividen tidak tumbuh atau konstan adalah tidak realistis. Pada
umumnya dividen tumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan perusahaan. Misalnya, diasumsikan
dividen tumbuh secara konstan dari tahun ke tahun yang berarti dividen tumbuh dengan suatu tingkat
pertumbuhan yang selalu sama atau konstan. Misalnya jika dividen tumbuh secara konstan 10% per
tahun. Jika dividen tahun ini Rp 100, maka dividen tahun depan adalah 100 (1+0,1) = Rp 110 dan
dividen tahun berikutnya adalah 110 (1+0,1) = Rp 121. Demikian seterusnya.
Asumsi dividen tumbuh secara konstan ini biasanya diterapkan pada perusahaan yang telah mapan
atau memasuki tahap kedewasaan. Untuk perusahaan yang baru biasanya pada awal-awal tahun,
tingkat pertumbuhan dividen tinggi. Setelah beberapa tahun, tingkat pertumbuhan ini menurun dan
cenderung konstan. Seandainya dividen diasumsikan tumbuh secara konstan dari waktu ke waktu,
maka nilai saham dapat dihitung sebagai berikut:
P̂0 =
+ + +... + ∞
)∞
() () ( ) (
= ( ) ( ) ( ) ( ) ∞
()
+ ()
+ )
+... + ( )∞
(
∞
D (1 + g)
=
(1 + K )
Jika g adalah konstan, dan Ks > g, maka persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:
()
P0 = =
dimana:
P̂0 = nilai/harga saham biasa pada t=0
Do = dividen terakhir yang dibagikan (dividen yang telah berlalu, tidak akan kita terima jika kita
membeli saham sekarang/pada t=0)
g = growth atau tingkat pertumbuhan dividen
Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham tersebut.
Model penilaian saham tersebut disebut Gordon Model untuk menghormati penemunya, Myron J.
Gordon.
Contoh:
Dividen saham A diduga akan tumbuh secara konstan dengan tingkat pertumbuhan 10% per tahun.
Dividen terakhir yang dibagikan adalah Rp 1,82. Jika investor mensyaratkan tingkat keuntungan
sebesar 16% pada saham ini, berapa harga saham A?
D0 = Rp 1,82
G = 10%
ks = 16%
()
P̂0 = =
,(, )
= ,,
= Rp 33,33
Jadi nilai saham A adalah Rp 33,33
Perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dividen (g).
Pertumbuhan dividen terutama disebabkan oleh pertumbuhan pada Earning per share (EPS) atau
penghasilan per lembar saham. Pertumbuhan earning atau penghasilan perusahaan sendiri
dipengaruhi oleh: (1) inflasi, (2) jumlah penghasilan yang diinvestasikan kembali, dan (3) tingkat
keuntungan dari modal sendiri atau Return on Equity (ROE). Tingkat pertumbuhan dividen dapat
diprediksi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
g = Plowback ratio x ROE
dimana:
g = prediksi tingkat pertumbuhan dividen
Plowback ratio = 1 -0 dividend payout ratio
ROE = Return on Equity
Asumsi model ini adalah dividend payout ratio (presentase penghasilan bersih yang dibagikan dalam
bentuk dividen) konstan.
Pada umumnya dividen saham biasa suatu perusahaan tidak konstan tapi berubah sesuai dengan daur
hidup (life cycle) perusahaan tersebut. Pada periode awal, biasanya dividen perusahaan berubah-ubah.
Tapi begitu memasuki periode kedewasaan, pertumbuhan dividen tersebut cenderung konstan.
Beberapa tahapan dalam menghitung nilai saham biasa jika pertumbuhan dividen tidak konstan:
a) Membuat estimasi pertumbuhan dividen
b) Menghitung present value dividen selama periode dimana dividen tidak tumbuh secara konstan
c) Menghitung nilai saham pada akhir periode pertumbuhan tidak konstan
d) Jumlahkan langkah b dan c untuk mendapatkan P̂0
Contoh:
Dividen saham B diharapkan tumbuh secara konstan sebesar 30% pada 3 tahun pertama. Setelah itu
dividen akan tumbuh 10% setiap tahun untuk selamanya. Dividen terakhir yang dibayarkan adalah Rp
1,82. Berapa harga saham B jika investor mensyaratkan tingkat keuntungan pada saham tersebut
sebesar 16%?
30% 30% 30% 10% 10% 10%
0 1 2 3 4 5 ∞
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
D0 D1 D2 D3 D4 D5
D∞
D0 = 1,82
= D0 (1+0,30)
= 1,82 (1,3) = 2,366
D2 = 1,82 (1+0,3)2 = 3,076
D3 = 1,82 (1+0,3)3 = 3,999
D4 = D3 (1+g)
= 3,999 (1+0,10)
= 4,399
Present value dari dividen 1, 2,dan 3 adalah:
, , ,
= + +
(, ) (, ) (, )
P̂3 =
()
=
,(, )
= ,– ,
= 73,32
0 1 2 3
‘ ‘ ‘ ‘
P̂3 = 73,32
P̂3 = 73,32 adalah nilai pada saat 3 tahun mendatang oleh karena itu kita harus mencari present value
,
dari P̂3 . PV (P̂3) = (, ) = 46,97
Ada yang diharapkan investor dari pembelian saham biasa. Seandainya seorang investor bermaksud
menyimpan saham selamanya, ia mengharapkan dividen saham atau dividend yield. Jika investor
bermaksud menjual saham dikemudian hari, ia mengharapkan dividen saham dan keuntungan akibat
kenaikan harga saham Capital Gain Yield,
Keuntungan dari dividen saham disebut dividend yield dan keuntungan dari kenaikan harga saham
disebut capital gain yield. Dividend yield ditambah capital gain yield adalah tingkat keuntungan
saham atau Ks.
DY =
dimana:
DY = Dividend Yield
D1 = dividen pada periode 1
P0 = harga saham pada awal periode 1
CGY =
dimana:
CGY = Capital Gain Yield
P1 = harga saham pada akhir periode 1
P0 = harga saham pada awal periode 1
Ks = DY + CGY
dimana:
Ks = tingkat keuntungan saham
DY = Dividend Yield
CGY = Capital Gain Yield
Jika diandaikan membeli saham seperti membeli rumah untuk tujuan investasi. Penghasilan dari
investasi rumah berasal dari uang kontrak rumah dan kenaikan harga rumah. Penghasilan dari
mengontrakkan rumah sama dengan dividend yield dan penghasilan dari kenaikan harga rumah sama
dengan capital gain yield.
Berapa tingkat keuntungan untuk saham dengan pertumbuhan dividen yang konstan.
Maka:
Ks =+ g
dimana:
K̂s = tingkat keuntungan yang diharapkan pada saham (Expected rate of return on stock)
Contoh:
Pada 01/01/2012, harga saham C adalah Rp 33,33 (P o). Dividen pada akhir 2012 diharapkan sebesar
Rp 2. Dividen diharapkan tumbuh secara konstan pada 10% per tahun. Berapa tingkat keuntungan
yang diharapkan pada saham C?
Jawab:
K̂s = +g
= 2/33,33 +10%
= 6% + 10%
= 16%
Dividen Yield adalah 6% dan growth rate atau capital gain yield adalah 10%
g = CGY =
Pembuktian:
0 D1 = 2 1 D2 = 2,2 2
Po P1
()
P̂1 = =
(, )
= ,– ,
= 36,67
g = CGY =
,–,
= ,
= 10%
Tingkat keuntungan untuk saham dengan dividen yang tidak tumbuh.
P̂o =
maka:
K̂s =
dimana:
K̂s = tingkat keuntungan yang diharapkan pada saham
D = dividen saham
Po = harga saham dipasar modal saat ini
Contoh:
Saham D dijual seharga Rp 11,38. Berapa tingkat keuntungan yang diharapkan investor jika saham
ini memberikan dividen yang besarnya tetap dari waktu ke waktu sebesar Rp 1,82 setiap tahun?
Jawab:
K̂s =
,
=
,
= 16%
dimana:
Ki = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham i
KRf = suku bunga bebas risiko
KM = tingkat keuntungan portfolio pasar/indeks pasar
bi = beta saham i
Ki atau Ks besarnya sangat ditentukan oleh risiko saham tersebut yang diukur dengan beta saham
tersebut.
oo0oo
11.9. Latihan Mandiri
1. PT AHM baru saja membayarkan dividen kepada pemegang sahamnya sebesar Rp 180/lembar.
Jika tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor adalah 12%, maka berapakah nilai saham
tersebut dengan asumsi sebagai berikut :
a. Perusahaan tidak mengalami pertumbuhan
b. Perusahaan tumbuh secara konstan sebesar 5%
c. Perusahaan mengalami pertumbuhan sebesar 5% pada 3 tahun pertama, kemudian tumbuh
secara konstan sebesar 4% sampai waktu yang tidak terbatas
2. Saham Adona Corp. dijual di pasar seharga Rp 2600/lembar. Dividen yang dibayarkan Adona
Corp. tahun lalu adalah Rp 195/lembar. Perusahaan ini diharapkan akan tumbuh sebesar 5%.
Berapakan nilai saham Adona Corp, jika return yang disyaratkan investor adalah 12%?
3. Bapak Samuel memilki sejumlah dana yang akan diinvestasikan pada saham PT ABC. Diketahui
bahwa tingkat pengembalian pada pasar modal adalah 11% dan SBI rate pada waktu itu adalah
sebesar 5,75%. Jika beta PT ABC adalah 1,2, maka berapakah tingkat return yang akan
disyaratkan oleh Bapak Samuel pada saham PT ABC tersebut ?
Solusi
1. Do = Rp 180/lembar
Ks = 12%
a. Pertumbuhan 0
Po = = = Rp 1500/lembar
,
Po = = = = Rp 2700/lembar
.. .
c. Pertumbuhan bervariasi, N=3, g1 = 5% pada tahun 1 sampai tahun 3 dan g2 = 4% pada tahun
ke 4 hingga seterusnya
()
Po = ∑ () + x
( )
()
=∑ () = + + = Rp 475
(. ) ( .) (. )
= x = Rp 1.922
( ) (. ) ..
195(1 0,05)
= 0,12 0,05
= Rp 2.925
12.1 PENDAHULUAN
Kebijakan dividen merupakan kebijakan yang penting dalam keuangan perusahaan, dan
tujuan perusahaan didirikan adalah agar perusahaan bisa tumbuh dan bertahan ditengah
persaingan yang ketat, oleh karena itu perusahaan harus bisa mengelola hasil keuntungan
perusahaan, apakah dibagikan dalam bentuk dividen atau ditahan. Dividen merupakan salah
satu produk dari kebijakan dividen, merupakan jasa yang akan diterima oleh pemegang
saham. Pemegang saham berharap memperoleh dividen dari kepersertaan modal yang
ditanamkan pada perusahaan. Sehingga tingginya dividen sangat diharapkan oleh pemegang
saham, tetapi tingginya dividen akan berpengaruh terhadap rendahnya laba ditahan
perusahaan yang akan menyebabkan perusahaan kesulitan melakukan investasi. Dan
investasi bagi perusahaan merupakan hal penting bagi perkembangan perusahaan. Adanya
investasi akan menambah sales atau penjualan dan bisa meningkatkan nilai perusahaan.
Salah satu kebijakan perusahaan yang penting adalah kebijakan dividen, merupakan
kebijakan yang penting karena akan berpengaruh terhadap kebijakan lainnya, seperti
kebijakan pembiayaan, dan kebijakan investasi. Tujuan perusahaan adalah untuk
memperoleh profit, dalam jangka panjang perusahaan dengan profit tersebut bisa bertahan
atau survive. Oleh karena itu manajemen mempunyai 2 alternatif perlakuan terhadap profit
atau penghasilan bersih sesudah pajak (EAT) perusahaan: 1) dibagi kepada para pemegang
saham perusahaan dalam bentuk dividen, dan 2) diinvestasikan kembali ke perusahaan
sebagai laba ditahan (retained earning). Pada umumnya sebagai EAT (Earning After Tax)
dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali. Artinya, manajemen
harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen. Pembuatan
keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen ini disebut dengan
kebijakan dividen (dividend policy).
Persentase dividen yang dibagi dari EAT disebut Dividend Payout Ratio (DPR)
Terdapat tiga masalah utama yang dibicarakan dalam bab kebijakan dividen: 1) Tentang
besarnya DPR dari waktu ke waktu, secara rata-rata. 2) Tentang keharusan DPR bertumbuh
secara relatif stabil atau bervariasi menurut arus kas dan kebutuhan dana perusahaan, dan 3)
Tentang besarnya DPR yang harus ditetapkan saat ini.
Masalah lainnya, masalah kebijakan dividen adalah suatu hal yang penting dalam
mempengaruhi nilai perusahaan. Ada berbagai pendapat atau teori tentang kebijakan dividen
antara lain: a) Teori Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miller, b) Teori The Bird in
the Hand, c) Teori Perbedaan Pajak, d) Teori Signaling Hypothesis, dan e) Teori Clientele
Effect.
a) Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miler
Layaknya suatu teori, maka dapat dipaparkan pernyataan secara singkat menurut Modigliani
dan Miler (MM), bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya DPR,
tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas risiko perusahaan. Jadi
menurut MM, dividen adalah tidak relevan.
Maka berdasarkan pernyataan MM tersebut ada beberapa asumsi penting yaitu:
a) Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional
b) Tidak ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru
c) Tidak ada pajak
d) Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah
Pada kenyataannya: 1) pasar modal yang sempurna sulit ditemui, 2) biaya emisi saham baru
pasti ada, 3) pajak pasti ada, 4) kebijakan investasi perusahaan tidak mungkin tidak berubah.
Perbedaan pendapat terjadi dalam menyikapi pernyataan yang dibuat MM, beberapa ahli
menentang pendapat MM tentang dividen adalah tidak relevan dengan menunjukkan bahwa
adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaaan. Seperti telah kita
pelajari pada bab biaya modal, modal sendiri dapat berasal dari laba ditahan dan menerbitkan
saham biasa baru. Jika modal sendiri berasal dari laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar
KS. Tapi bila berasal dari saham biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke.
KS =+ g
Ke = )+g
(
dimana:
Ks = biaya modal sendiri dari laba ditahan
Ke = biaya modal sendiri dari saham biasa baru
D1 = dividen setahun mendatang
Po = harga saham saat ini
g = pertumbuhan dividen/keuntungan
F = Flotation cost atau biaya emisi saham
Jika D1, Po dan g adalah sama, dapat disimpulkan bahwa Ke lebih besar dari Ks. Artinya
perusahaan lebih suka menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru. Ada
kemungkinan laba ditahan tidak cukup besar sehingga perusahaan harus menerbitkan saham
baru. Semakin besar target laba ditahan, semakin kecil kemungkinan perusahaan menerbitkan
saham baru. Karena biaya modal sendiri ditentukan oleh besar kecilnya laba ditahan dan besar
kecilnya laba ditahan ditentukan oleh DPR maka kebijakan dividen mempengaruhi nilai
perusahaan.
Beberapa ahli lain menyoroti asumsi tidak adanya pajak. Jika ada pajak maka penghasilan
investor dari dividen dan dari capital gains (kenaikan harga saham) akan dikenai pajak.
Seandainya tingkat pajak untuk dividen dan capital gains adalah sama, investor cenderung labih
suka menerima capital gains daripada dividen karena pajak pada capital gains baru dibayar saat
saham dijual dan keuntungan diakui/dinikmati. Dengan kata lain, investor lebih untung karena
dapat menunda pembayaran pajak. Investor lebih suka bila perusahaan menetapkan DPR yang
rendah, menginvestasikan kembali keuntungan dan menaikkan nilai perusahaan atau harga
saham.
b) Teori The Bird in the Hand
Teori yang mendukung bahwa ada hubungan antara kebijakan dividen dengan nilai
perusahaan antara lain yaitu teori Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal
sendiri (Ks) perusahaan akan naik jika DPR rendah, karena investor lebih suka menerima
dividen daripada capital gains. Menurut mereka, investor memandang dividend yield (D1/Po)
lebih pasti daripada capital gains yield (g). Perlu diingat bahwa dilihat dari sisi investor, Ks
adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham. Ks adalah keuntungan dari
dividen (dividend yield) ditambah keuntungan dari capital gains (capital gains yield).
KS =+ g
Modigliani dan Miller menganggap bahwa argument Gordon dan Lintner ini merupakan
suatu kesalahan (MM menggunakan istilah The Bird in the Hand Fallacy). Menurut MM,
pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada
perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir sama.
f) Pengujian Empiris
Dibawah ini bisa dilakukan sejumlah studi empiris telah dilakukan untuk memecahkan
kontroversi tentang apakah kebijakan dividen mempengaruhi kemakmuran (wealth)
pemegang saham. Berikut ini disajikan beberapa pengujian empiris yang telah dilakukan para
ahli keuangan.
1. Pengujian berdasarkan Pure Discounted Cash Flow
(%) -
15 -
2 1 3
Growth rate (g)) (%)
` ` ` `10 `15 `20
Garis 1 menunjukkan bahwa investor berpreferensi “indifferent” terhadap dividend yield dan
growth rate (capital gains). Garis 2 menunjukkan bahwa investor lebih menyukai growth
rate daripada dividend yield karena growth rate 10% dihargai sama dengan dividend yield
15%. Garis 3 menunjukkan bahwa investor lebih menyukai dividend yield daripada growth
rate karena dividend yield 15% dihargai sama dengan growth rate 20%.
Sejumlah perusahaan diambil sebagai sampel dan dianalisis dividend yield dan growth rate-
nya. Posisi setiap perusahaan ditentukan oleh dividend yield dan growth rate-nya. Jika
diperoleh hasil serupa garis 1 (dengan slope -1), hasil ini mendukung teori dividen tidak
relevan dari MM. Jika diperoleh garis dengan slope < -1 (garis 2), hasil ini mendukung teori
perbedaan pajak dari Litzenberger dan Ramaswamy. Jika diperoleh garis dengan slope >-1
(garis 3), hasil ini mendukung teori Gordon dan Litner. Pengujian empiris menunjukkan
bahwa slope garis regresi antara growth rate dan dividend yield adalah mendekati -1 atau
mendukung teori MM.
2. Pengujian berdasarkan CAPM
Pengujian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
Ki = krf + (KM-krf)bi + (Di-DM) i
dimana Di adalah dividend yield untuk saham i, DM adalah dividend yield untuk saham rata-
rata (pasar) dan i adalah koefisien yang menunjukkan dampak (Di-DM) terhadap Ki.
Selanjutnya dilakukan regresi berganda dengan memasukkan data Ki, KM, krf, Di dan DM.
Dari analisis regresi berganda akan diperoleh nilai bi dan i.
Jika nilai i adalah 0 artinya (D1-DM) memilki dampak positif terhadap Ki. Artinya, jika suatu
saham memberikan dividen yang tinggi, investor juga mensyaratkan suatu tingkat
keuntungan yang tinggi. Hasil ini mendukung teori perbedaan pajak dari Litzenberger dan
Ramaswamy. Jika nilai i adalah negatif, (Di-DM) memiliki dampak negatif terhadap Ki.
Artinya, semakin besar dividen saham, semakin kecil tingkat keuntungan yang disyaratkan
investor. Hal ini menunjukkan bahwa investor lebih senang dividend yield atau mendukung
teori Gordon dan Litner.
Penelitian Litzenberger dan Ramaswamy menunjukkan bahwa I adalah positif. Tetapi
Menjaga kestabilan dividen tidak berarti menjaga Dividend Payout Ratio tetap stabil karena
jumlah nominal dividen juga tergantung pada penghasilan bersih perusahaan (EAT). Jika
DPR dijaga kestabilannya, misalnya ditetapkan sebesar 50% dari waktu ke waktu, tetapi EAT
berfluktuasi, maka pembayaran dividen juga akan berfluktuasi.
Rupiah
EPS
DPS
` ` ` ` ` ` ` Waktu
Keterangan: EPS = Earning per share (laba bersih per lembar saham)
DPS = Dividend per share (dividen per lembar saham)
Pada umumnya perusahaan akan menaikkan dividen hingga suatu tingkatan dimana mereka
yakin dapat mempertahankannya di masa mendatang. Artinya jika terjadi kondisi yang
terburuk sekalipun, perusahaan masih dapat mempertahankan pembayaran dividennya.
Pada implementasinya, ada juga perusahaan yang menggunakan model residual dividend
dimana dividen ditentukan dengan cara: (1) mempertimbangkan kesempatan investasi
perusahaan, (2) mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan
besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi, (3) Memanfaatkan laba ditahan
untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin, dan (4)
membayar dividen hanya jika ada sisa laba. Dengan demikian, besarnya dividen bersifat
fluktuatif. Model residual dividend ini berkembang karena perusahaan lebih senang
menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru untuk memenuhi kebutuhan
modal sendiri. Alasannya: 1) menerbitkan saham menimbulkan biaya emisi saham
(floatation cost) dan 2) menurut teori signaling hypothesis penerbitan saham baru sering
disalahartikan oleh investor bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan sehingga
menyebabkan penurunan harga saham.
Rupiah
EPS
DPS
` ` ` ` ` ` ` Waktu
a) Stock Repurchase
Sebagai alternatif terhadap pemberian dividen berupa uang tunai (cash dividend), perusahaan
dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali
saham perusahaan (repurchasing stock)
Efek dari pembelian kembali saham perusahaan diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:
PT. Mulya memiliki laba bersih setelah pajak untuk tahun 2003 sebesar 100 juta. 50% dari
jumlah ini akan didistribusikan kepada pemegang saham. Jumlah saham beredar adalah
25.000 lembar. PT. Mulya dapat menggunakan 50 juta untuk membeli kembali 2.273 lembar
saham perusahaan melalui tender dengan harga Rp 22.000,-/lembar. Sebagai alternatif,
perusahaan dapat membagikan dividen sebesar Rp 2000,-/lembar. Harga saham saat ini
adalah Rp 20.000/lembar.
Efek dari stock repurchase pada EPS (earning pe share) dan harga saham adalah:
4) Harga saham yang diharapkan setelah stock repurchase = PER x EPS = 5 x 4.400 = Rp 22.000,-
5) Capital Gains yang diharapkan = 22.000 - 20.000 = Rp 2.000,-
Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa investor akan menerima hasil yang sama dari
pembayaran dividen tunai maupun pembelian kembali saham yaitu sebesar Rp 2.000,-. Hasil
ini mungkin terjadi karena kita mengasumsikan bahwa: 1) saham sapat dibeli kembali pada
harga Rp 22.000,-, 2) PER tetap. Jika saham dapat dibeli kembali dengan harga kurang dari
Rp 22.000,- ini akan merugikan investor yang menjual kembali sahamnya dan akan
menguntungkan investor atau pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya
(remaining shareholders). Hal yang sebaliknya akan terjadi jika saham dibeli kembali
dengan harga lebih dari Rp 22.000,-. Demikian pula PER dapat berubah setelah stock
repurchase. PER dapat naik atau turun tergantung bagaimana investor di pasar modal
memandang stock repurchase tersebut.
Harga stock repurchase pada ekuilibrium (harga yang membuat sama pilihan untuk menjual
saham kembali ke perusahaan atau menahannya) dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
( )
P* = ( )
dimana:
P* = harga stock repurchase equilibrium
S = jumlah saham beredar sebelum stock repurchase
Po = harga saham saat ini sebelum stock repurchase
n = jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan
Misalnya, ilustrasi PT. Mulya di depan dapat dihitung harga stock repurchase-nya sebagai berikut:
S = 25.000 lembar
Po = Rp 20.000,-
N = 2.273 lembar
P* = ( . .)
.– .
= Rp 22.000,-
Bagian yang integral dari kebijakan dividen adalah penggunaan “stock dividend” dan “stock split”.
Stock split adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar menjadi bagian yang lebih
kecil. Misalnya, pada stock split “two for one” selembar saham dengan nominal 1000,- ditukar dengan
2 lembar saham dengan nominal 500,-. Setelah stock split jumlah saham yang beredar bertambah
tetapi modal perusahaan tetap. Stock dividend adalah tindakan perusahaan memberikan saham baru
sebagai pembayaran dividen. Misalnya, “three for one” stock dividend berarti untuk satu lembar
saham akan mendapat 3 lembar saham baru sebagai dividen.
Bagi pemegang saham, stock split tidak membuat mereka bertambah kaya karena kenaikan jumlah
saham diimbangi dengan penurunan nilai nominal atau harga saham. Secara keseluruhan kekayaan
mereka tidak berubah, hanya saja sekarang mereka memegang lebih banyak lembar saham dengan
nominal yang lebih kecil.
Sama seperti stock split, stock dividend juga tidak mengubah kekayaan pemegang saham. Misalkan
PT. Sempurna memiliki 100.000 saham beredar. Penghasilan bersih setelah pajak perusahaan ini
adalah 500.000,-. Dengan demikian EPS adalah 5,-/lembar. Saat ini harga pasar saham adalah 50,-
sehingga PER adalah 10 x. Perusahaan merencanakan memberikan 20% stock dividend atau 20.000
lembar saham, sehingga setiap pemilik 10 lembar saham akan memperoleh 2 lembar saham baru.
Mungkin kita langsung berfikir bahwa kekayaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat 2 x
50,- = 100,- karena ia menerima 2 lembar saham baru. Konklusi itu menyesatkan! Ingat bahwa
perusahaan menerbitkan 20.000 lembar saham baru. Karena EAT tidak berubah yaitu sebesar
500.000,-, maka EPS akan turun menjadi : 500.000,-/120.000 = 4,167,-. Jika PER tetap sebesar 10 x
maka harga saham setelah stock dividend akan turun menjadi 10 x 4,167 = 41,67,-. Sebelum stock
dividend, kekayaan investor adalah 10 lb x 50,- = 500,-. Setelah pemberian stock dividend, kekayaan
investor adalah 12 lb x 41,67 = 500,-. Kekayaan investor tidak berubah.
Jika tidak ada keuntungan secara ekonomis, mengapa perusahaan melakukan stock split dan stock
dividend?
(1) Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga saham tetap berada pada “optimal price range”
atau harga pasar yang optimal untuk menjaga agar saham tetap diperjualbelikan banyak orang.
Harga saham yang terlalu tinggi akan menyulitkan investor kecil untuk membeli saham tersebut,
sehingga menurunkan demand untuk saham tersebut dipasar sekunder.
(2) Stock dividend digunakan pada saat perusahaan ingin menghemat kas untuk dapat mengambil
proyek-proyek yang menguntungkan. Masalahnya adalah jika perusahaan tidak membagi dividen
tunai, investor bisa “salah tangkap” dan menduga perusahaan dalam kesulitan keuangan.
Akibatnya harga saham bisa turun. Untuk menghindari efek negatif ini, perusahaan dapat
memberikan stock dividend sebagai pengganti cash dividend. Lain halnya jika perusahaan tidak
dapat memberikan cash dividend karena kesulitan keuangan. Pada kondisi ini perusahaan bisa
saja memberikan stock dividend. Akan tetapi investor yang kritis akan menyadari kondisi yang
sebenarnya dan harga saham akan jatuh.
Meskipun stock split dan stock dividend tidak berbeda secara pertimbangan ekonomis, perlakuan
akuntansi untuk keduanya berbeda. Untuk stock dividend, perusahaan harus melakukan kapitalisasi
nilai pasar dari stock dividend dengan cara mentransfer sejumlah rupiah dari stock dividend ke
rekening modal (modal saham dan agio saham). Misalnya PT. Bahagia memiliki neraca (bagian
modal sendiri) sebagai berikut:
Perusahaan bermaksud memberikan 15% stock dividend. Harga pasar saham adalah 14,-. 15% stock
dividend akan meningkatkan jumlah saham beredar sebanyak 15% x 1 juta = 150.000 lembar.
Perusahaan harus mentransfer 150.000 x 14 = 2,1 juta dari rekening laba ditahan ke rekening modal
saham (saham 150.000 x 2,- = 300.000,-) dan rekening agio saham (sebesar 2,1 juta - 300.000,- =
1.800.000,-). Neraca PT. Bahagia setelah terjadi stock dividend adalah:
Modal saham (1,15 juta lembar beredar, nominal 2,-) = 2,3 juta
Agio saham (8 juta + 1,8 juta) = 9,8 juta
Laba ditahan (15 juta – 2,1 juta) = 12,9 juta
Total modal sendiri 25 juta
Bagaimana bila PT. Bahagia mengubah rencana dan sebagai ganti stock dividend mereka melakukan
“two for one stock split” (artinya 1 saham berubah menjadi 2 saham). Akibatnya adalah jumlah saham
beredar meningkat menjadi 2 kali lipat dan nilai nominal saham turun menjadi setengahnya.
Neraca PT. Bahagia menjadi
oo0oo
12.5. LATIHAN MANDIRI
Harga pasar saham perusahaan pada tanggal 31 Desember 2013 adalah NZ$ 6
per lembar saham.
1.
13.1. Pendahuluan
Sumber modal perusahaan untuk keberlangsungan usaha bisa didapatkan dari modal pemilik atau
sumber lain seperti misalnya utang. Keputusan terhadap proporsi antara besarnya utang yang
digunakan dengan modal sendiri yang ada pada perusahaan sangat penting . Kebijakan dalam
menentukan besaran yang disebutkan di atas dinamakan struktur modal. Kebijakan struktur
modal perusahaan akan berakibat pada kebijakan keuangan lainnya seperti kebijakan investasi.
Pada saat perusahaan diharapkan meningkatkan besarnya investasi karena adanya persaingan
yang semakin tajam, maka untuk mendukung kebijakan tersebut harus menambah modal
pinjaman, yang menyebabkan struktur modal berubah. Pada bagian berikut akan dijelaskan teori-
teori yang berkaitan dengan struktur modal.
dimana:
VL = nilai perusahaan yang menggunakan utang (Levered Firm)
VU = nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang (Unlevered Firm) atau perusahaan
yang menggunakan 100% modal sendiri
EBIT = Earning Before Interest and Tax
KSU = keuntungan yang disyaratkan pada saham Unlevered Firm
WACC = Weighted Average Cost of Capital
Perlu ditambahkan bahwa:
V=D+S
dimana:
V = Nilai perusahaan
D = Utang (Debt)
S = Modal sendiri (Stock)
Dari dalil 1 ini dapat disimpulkan bahwa menurut model MM, jika tidak ada pajak, nilai
perusahaan tidak tergantung pada leverage (menggunakan utang atau tidak).
b) Dalil II
dimana:
KSL = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri atau hanya modal sendiri pada
levered firm
KSU=Biaya modal sendiri pada Unlevered Firm
D/S = Utang dibagi modal sendiri
Kd = Biaya Utang
Dapat disimpulkan:
Jika penggunaan utang bertambah (D bertambah besar), biaya modal sendiri (KSL) juga
bertambah besar. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: jika utang yang digunakan
bertambah, risiko perusahaan juga bertambah sehingga biaya modal sendiri atau
keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri juga bertambah.
Perlu diingat bahwa:
WACC = Wd . Kd . (1-T) + WS .
KS Wd = =
WS = =
asumsi T = 0, maka:
WACC = . Kd + . KSL
dimana:
WACC = Weighted Average Cost of Capital (biaya modal perusahaan)
Kd = Biaya utang
D = Utang
S = Modal sendiri
V = Nilai perusahaan
KSL = Biaya modal sendiri pada Levered Firm
Dari Dalil II ini dapat disimpulkan juga bahwa penggunaan utang tidak akan mengubah WACC.
Biaya utang (Kd) memang lebih kecil dibanding biaya modal sendiri (K SL). Tapi semakin besar
penggunaan utang, semakin besar pula risiko sehingga biaya modal sendiri (K SL) bertambah. Jadi
penggunaan utang tidak akan meningkatkan nilai perusahaan karena keuntungan dari biaya utang
yang lebih kecil (murah) ditutup dengan naiknya biaya modal sendiri.
Contoh:
EBIT = 2,4 juta dan konstan dari waktu ke waktu. Biaya utang (K d) = 8%. Biaya modal sendiri
jika perusahaan tidak menggunakan utang (KSU) = 12%. Jika perusahaan berutang, uang tersebut
digunakan untuk membeli kembali saham, dengan kata lain jika utang bertambah sebesar X,
modal sendiri akan berkurang sebesar X pula sehingga aktiva atau nilai perusahaan tetap.
Jawab:
a) Jika D = 0 dan S = 20 juta
VU = = ,
= 20 juta
,
VU = WACC = 12% (karena tidak ada utang)
b) Jika D = 5
V=D+S
S=V-D
= 20 - 5 = 15 juta
Vh = = ,
= 20 juta
,
atau = VL =
(kita menggunakan VL karena perusahaan sekarang menggunakan utang atau
Levered). KSL = KSU + (KSU – Kd) D/S
= 12% + (12% - 8%) 5/15
= 13,33%
WACC = . Kd + . KSL
= . (8%) + . (13,33%)
= 2% + 10%
= 12%
,
VL = = = 20 juta
,
atau: V = D + S
D = 5 dan
(. )
S=
(. )
S=
, –( , )
maka S =
,
V = 5 + 15 = 20 juta
c) Jika D = 10
S = V - D = 20 - 10 = 10 juta
KSL = KSU + (KSU - Kd)
= 12% + (12% - 8%) .
= 16%
WACC = . Kd + . KSL
= . (8%) + . (16%)
= 12%
YL = ,
, = 20 juta
d) Jika D = 15
S = V - D = 20 - 15 = 5 juta
KSL = KSU + (KSU – Kd) . D/S
= 125 + (12% - 8%) . 15/5
= 24%
WACC = . Kd + . KSL
= . (18%) + . (4%)
= 12%
e) Bagaimana jika perusahaan menggunakan 100% utang (secara teori bisa tapi secara
praktik tidak ada perusahaan yang dibiayai dengan 100% utang). V = 20 maka D = 20
dan S = 0. Pada kondisi ini, karena pemberi utang menanggung seluruh risiko
perusahaan maka Kd = KSU = 12%.
V= = ,
= 20 juta
,
WACC = Kd = 12%
D V S D/V Kd KS WACC
0 20 20 0% 8% 12 % 12%
5 20 15 25% 8% 13,3% 12%
10 20 10 50% 8% 16 % 12%
15 20 5 75% 8% 24 % 12%
20 20 0 100% 12% 12%
30 -
20 - KS
WACC
10 - Kd
Nilai Perusahaan
30 -
VU = 20 - VL
-
10
Utang
0 `5 `10 `15 `20
Dari 2 grafik tersebut nampak bahwa 1) Semakin besar persentase utang, KS naik, Kd
tetap dan WACC tetap, dan 2) semakin besar utang, nilai perusahaan (V) tetap.
Catatan: D = 100% adalah sama dengan S = 100% (Kd = KSU untuk D = 100%).
VL = Vu + T.D
dimana:
VL = Nilai perusahaan yang menggunakan utang (Levered firm)
VU = Nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang (Unlevered firm)
T = Pajak (tax rate)
D = Utang (debt)
Nilai perusahaan yang sama sekali tidak menggunakan utang sama dengan nilai modal
sendiri perusahaan tersebut (S).
()
S = VU =
b) Dalil II
KSL = KSU + (KSU - Kd) (1-T) (D/S)
dimana:
KSL = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri pada Levered Firm
KSU = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri pada Unlevered Firm
Kd = biaya utang
T = pajak
D = utang perusahaan
S = modal sendiri perusahaan
Contoh:
EBIT = 4 juta dan konstan sepanjang waktu
Kd = 8%
KSU = 12%
Pajak = 40%
()
VL = VL =
( ,) ,
= = 24 juta
, ,
Cara lain:
( . )()
S= =
[ ( , )]( ,)
S=
,%
= 14 juta
V=D+S
= 10 juta + 14 juta
D V S D/V Kd KS WACC
0 20 20 0 % 8% 12 % 12 %
5 22 17 22,73% 8% 12,71% 10,91%
10 24 14 41,67% 8% 13,71% 10 %
15 26 11 57,69% 8% 15,27% 9,23%
20 28 8 71,43% 8% 18 % 8,57%
25 30 5 83,33% 8% 24 % 8 %
30 32 2 93,75% 8% 48 % 7,5 %
33,33 33,33 0 100 % 12% - 12 %
30 -
20 -
10 -
WACC
Kd (1-T)
33,33 VL
30 -
T.D
20 - VU
10 -
Pada 2 grafik di atas dapat dilihat bahwa penggunaan utang akan meningkatkan nilai
perusahaan dan menurunkan WACC perusahaan. Modal MM-Dengan pajak ini
menyimpulkan bahwa perusahaan seharusnya menggunakan hampir 100% utang.
13.4. MODEL MILLER
Tahun 1976, Miller menyajikan suatu teori struktur modal yang juga meliputi pajak untuk
penghasilan pribadi. Pajak pribadi ini adalah: 1) pajak penghasilan dari saham (Ts), dan 2)
pajak penghasilan dari obligasi (Td).
Dalil I dari model Miller adalah:
VL = VU + T . D
dimana
( )( )
T = 1–
( )
sehingga:
VL = VU + (1−Tc)(1−Ts) D
1−Td
dimana:
TC = pajak perusahaan (corporate tax rate)
TS = pajak pribadi pada penghasilan saham (personal tax rate on stock income)
Td = pajak pribadi pada penghasilan obligasi (personal tax rate on bond income)
D = utang perusahaan
Jika tidak ada pajak, maka TC = TS = Td = 0, model Miller akan menjadi MM-Tanpa pajak yaitu VL = VU.
Jika tidak ada pajak pribadi, maka TS = Td = 0, model Miller akan menjadi MM-Dengan pajak yaitu V L =
VU + T . D
Keuntungan dari penggunaan utang pada model Miller tergantung pada T C, TS, Td dan D
Karena pajak pada capital gains suatu saham biasanya dibayar belakangan atau tertunda (pajak dibayar
setelah saham terjual), pada umumnya TS < Td.
Kelemahan utama model Miller dan Modigliani Miller adalah mengabaikan faktor yang disebut sebagai:
1) Financial Distress, 2) Agency costs.
PV biaya PV biaya
VL = VU + T . D . −
yang diharapkankeagenan
Semakin besar penggunaan utang (D), semakin besar keuntungan dari penggunaan utang (leverage
gain atau T.D), tapi PV biaya financial distress dan PV agency cost juga meningkat, bahkan lebih
besar. Kesimpulannya adalah: penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tapi hanya
sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan utang justru akan menurunkan nilai
perusahaan karena kenaikan keuntungan dari penggunaan utang tidak sebanding dengan kenaikan
biaya financial distress dan agency problem. Titik balik tersebut disebut struktur modal yang optimal,
menunjukkan jumlah utang perusahaan yang optimal.
Nilai perusahaan (V)
VL = VU +
T.D
VU VL
Pada titik U, biaya financial distress dan agency problem mulai diperhitungkan dan mengurangi
keuntungan penggunaan utang (T.D). Antara titik U dan W, biaya financial distress dan agency
problem semakin besar tapi nilai perusahaan masih naik. Setelah titik W, penggunaan utang tidak
menguntungkan lagi. Semakin besar utang, semakin menurun nilai perusahaan.
Model ini disebut model “Trade-Off” karena struktur modal yang optimal dapat ditemukan dengan
menyeimbangkan keuntungan penggunaan utang (tax shield benefits of leverage) dengan biaya
financial distress dan agency problem.
Model trade-off tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal karena sulit untuk
menentukan secara tepat PV biaya financial distress dan PV agency costs. Namun demikian model ini
memberikan 3 masukan penting.
a) Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi variabilitas keuntungannya akan memiliki
probabilita financial distress yang besar. Perusahaan semacam ini harus menggunakan sedikit
utang.
b) Aktiva tetap yang khas (tidak umum), aktiva yang tidak nampak (intangible assets) dan
kesempatan bertumbuh akan kehilangan banyak nilai jika terjadi financial distress. Perusahaan
yang menggunakan aktiva semacam ini seharusnya menggunakan sedikit utang.
c) Perusahaan yang membayar pajak yang tinggi (dikenai tingkat pajak yang besar) sebaiknya lebih
banyak menggunakan utang dibanding perusahaan yang membayar pajak yang rendah (tingkat
pajak rendah).
Meskipun model Trade-off cukup logis secara teori, secara empiris, bukti-bukti yang mendukung
model ini kurang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor-faktor yang belum mampu
dipertimbangkan dalam model.
Model Trade-off dari Modigliani dan Miller serta Model Miller dapat digambarkan sebagai berikut:
WACC
Kd (1-TC)
VU VL
Pada grafik di atas, ditunjukkan hubungan antara biaya utang, biaya modal sendiri dan biaya modal
perusahaan (WACC). Baik Ks maupun Kd (1-Ts) naik terus dengan naiknya penggunaan utang, tapi
tingkat kenaikan bertambah pada tingkat penggunaan utang yang tinggi, menunjukkan kenaikan pada
biaya financial distress dan biaya keagenan. Kurva WACC mula-mula turun (karena kemungkinan
penggunaan utang masih besar, PV biaya financial distress dan PV biaya keagenan masih kecil)
hingga D/V optimal, setelah itu naik (karena biaya PV financial distress dan PV biaya keagenan
semakin besar). Pada grafik bawah ditunjukkan bahwa pada saat WACC minimum, nilai perusahaan
mencapai titik maksimum.
Karena sulit menentukan D optimal secara akurat (karena sulit mengkuantitatifkan kerugian dan
keuntungan dari penggunaan utang), umumnya struktur modal perusahaan berkisar di sekitar D
optimal.
Nilai Perusahaan (V)
VU VL
Dengan mengkombinasikan teori Trade-off dan teori Asymmetric Information kita dapat
menyimpulkan perilaku perusahaan sebagai berikut:
a. Penggunaan utang memberikan keuntungan karena adanya pengurangan pembayaran pajak akibat
bunga utang. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya menggunakan utang dalam struktur modal
mereka.
b. Namun demkian, financial distress dan agency cost membatasi penggunaan utang. Lewat dari
suatu titik tertentu, biaya tersebut menutup keuntungan penggunaan utang.
c. Karena adanya asymmetric information, perusahaan cenderung memelihara kemungkinan
berutang untuk dapat mengambil keuntungan dari kesempatan investasi yang baik tanpa harus
menerbitkan saham baru pada harga yang sedang turun akibat “bad signaling”.
oo0oo
13.8. Latihan Mandiri
2. PT Madamia telah memiliki data terkait dengan beberapa kemungkinan struktur modal,
perikiraan earning per share serta tingkat keuntungan seperti berikut :
a. Hitung nilai saham per lembar dari masing-masing struktur modal tersebut
b. Tentukan struktur modal manakah yang dapat memberikan nilai saham yang
maximum bagi PT Madamia dan berapakah EPS maksimum yang dapat diperoleh
oleh pemegang saham PT Madamia?
c. Struktur modal manakah yang Saudara rekomendasikan?
Solusi
Ada terdapat struktur modal yang optimal atau paling tidak tertelak dalam suatu rentang
tertentu untuk setiap perusahaan, meskipun masih sulit untuk menentukan secara pasti satu
struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal menurut Brigham dan Houston
adalah kombinasi ekuitas dan utang yang dapat memaksimalkan harga saham
2. a.
Struktur Modal EPS yang Tingkat Nilai Saham
(Rasio Utang) diperkirakan (1) Keuntungan (2) (1) : (2)
0% Rp 312 13% Rp 2.400
10 390 15 2.600
20 480 16 3.000
30 544 17 3.200
40 551 19 2.900
50 500 20 2.500
60 440 22 2.000
b. Struktur modal yang dapat memberikan nilai saham maksimum bagi perusahaan adalah
struktru modal yang terdiri atas 30% utang dengan nilai sahamnya yaitu Rp 3.200/lembar.
Sedangkan struktur modal yang dapat memberikan EPS terbesar bagi perusahaan adalah
dengan rasio utang sebesar 40% yang dapat memberikan EPS sebesar Rp 551
c. Struktur modal yang direkomendasikan adalah struktur modal yang terdiri atas 30% utang,
karena komposisi tersebut dapat memaksimumkan nilai saham (nilai perusahaan). Hal ini
sejalan dengan tujuan manajemen keuangan yaitu untuk memaksimumkan nilai perusahaan
BAB XIV MERGER DAN AKUISISI
14.1. PENDAHULUAN
Beberapa contoh di Bursa Efek Indonesia diantaranya adalah, PT. Mayora Indah Tbk (industri
makanan dan minuman) mengakuisisi 96% saham PT. Torabika Eka Semesta Tbk sebanyak 25,5
juta lembar saham senilai sekitar Rp. 62,5 milyar. PT. Dynaplast (industri plastik) mengakuisisi
51% saham PT. Rexplast (perusahaan botol dan pengepakan plastik) senilai Rp. 7,76 milyar. PT.
Sari Husada Tbk (industri makanan bayi) mengakuisisi 100% saham PT. Sugizindo Tbk
(industry makanan bayi) senilai Rp. 28,3 milyar. Istilah merger sering dipergunakan untuk
menunjukkan penggabungan dua perusahaan atau lebih, dan kemudian tinggal nama salah satu
perusahaan yang bergabung. Sedangkan consolidation menunjukkan penggabungan dari dua
perusahaan atau lebih, dan nama dari perusahaan-perusahaan yang bergabung tersebut hilang,
kemudian muncul nama baru dari perusahaan gabungan. Dalam pembicaraan disini istilah-istilah
tersebut akan sering dipergunakan dengan maksud yang sama (interchangeable).
Pembahasan diarahkan pada bagaimana mengevaluir suatu rencana akuisisi, dan mengapa dalam
implementasinya muncul berbagai resistensi terhadap upaya—upaya akuisisi.
Ada alasan mengapa perusahaan bergabung dengan perusahaan lain, atau membeli perusahaan
lain (akuisisi). Alasan yang sering dikemukakan adalah lebih cepat dari pada harus membangun
unit usaha sendiri. Meskipun alasan tersebut benar, faktor yang paling mendasari sebenarnya
adalah motif ekonomi. Dengan kata lain, kalau kita akan membeli perusahaan lain, maka
pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut menguntungkan kita.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, kalau pembelian tersebut akan menguntungkan kita,
apakah tidak akan merugikan pemilik perusahaan yang dijual. Kalau ya, tentunya tidak akan
terjadi transaksi. Dengan kata lain, transaksi tersebut hanya akan terjadi kalau pembelian tersebut
akan menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan pemilik perusahaan yang dijual, dan
juga pemilik perusahaan yang membeli.
Kondisi saling menguntungkan tersebut akan terjadi kalau dari peristiwa akuisisi atau merger
tersebut diperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut
lebih besar dari penjumlahan masing-masing nilai perusahaan yang digabungkan. Dalam bahasa
yang lebih mudah, synergy adalah situasi pada saat 2 + 2 = 5. Synergy dapat bersumber dari
berbagai sebab. Misalnya, pemanfaatan manajemen, untuk beroperasi lebih ekonomis (operating
economies of scale), untuk pertumbuhan yang lebih cepat, dan pemanfaatan penghematan pajak.
PT. Matahari merencanakan akan mengakuisisi PT. Bulan. Data kedua perusahaan tersebut
adalah sebagai berikut.
Misalkan PT. Matahari dapat membeli PT. Bulan dengan harga seperti saat ini dengan cara
menukar saham, dan diharapkan tidak terjadi synergy. Bagaimana EPS harga saham, PER,
jumlah lembar saham, laba setelah pajak dan nilai equity setelah merger? Apa kesimpulan yang
dapat kita peroleh?
Analisis dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah efisiensi. Dengan
demikian maka harga saham yang tercantum di bursa meupakan harga yang wajar. Misalkan
jumlah lembar saham PT. Sinar Sebesar 10.000.000 lembar dengan harga saat ini sebesar Rp.
8.000 per lembar. Dengan demikian nilai equity PT. Sinar adalah Rp. 80 milyar. Kita tuliskan
PVs=Rp. 80 milyar.
Apabila PT. Sinar akan dibeli oleh PT. Matahari disebut sebagai acquiring company dan PT.
Sinar disebut sebagai acquired company, dan untuk contoh-contoh selanjutnya kita akan selalu
menggunakan PT. Matahari sebagai acquiring company), maka kemungkinan sekali para
pemegang saham PT. Sinar akan meminta harga yang lebih tinggi dari Rp. 8.000 per lembar.
Mengapa? Karena kalau PT. Matahari juga hanya menawarkan harga Rp. 8.000, maka pemegang
saham PT. Sinar juga dapat menjual saham yang mereka miliki ke bursa (atau pemodal lain) dan
memperoleh harga yang sama. Misalkan PT. Matahari menawarkan harga Rp. 9.000 per lembar.
Dengan demikian maka biaya akuisisi tersebut adalah,
10.000.000 x (Rp. 9.000 – Rp. 8.000) = Rp. 10 milyar.
Karena itu PT. Matahari hanya bersedia membayar PT. Sinar dengan harga Rp. 10 milyar lebih
mahal kalau dengan pembelian tersebut diharapkan PT. Matahari akan dapat memperoleh
manfaat lebih besar dari Rp. 10 milyar. Manfaat ini hanya akan terjadi kalau diharapkan akan
timbul synergy.
Misalkan PT. Matahari adalah perusahaan industri makanan dan minuman, sedangkan PT. Sinar
adalah perusahaan distribusi. Misalkan diharapkan dari akuisisi tersebut PT. Matahari akan dapat
menghemat biaya distribusi sebesar Rp. 1.000 juta pada tahun depan, dan penghematan tersebut
diharapkan akan meningkat sebesar 10% per tahun selamanya (sesuai dengan tingkat inflasi).
Apabila tingkat keuntungan yang dipandang layak adalah 17%, maka manfaat akuisisi tersebut
adalah,
Manfaat = 1.000 juta/(0,17-0,10)
= Rp. 14,3 milyar
Manfaat yang positif menunjukkan adanya manfaat ekonomi bagi peristiwa akuisisi tersebut.
Misalkan jumlah lembar saham PT. Matahari adalah 50 juta lembar @ Rp. 12.000. Dengan
demikian maka PVA = Rp. 600 milyar. Sedangkan gabungan PT. Matahari dan PT. Sinar
setelah memperoleh synergy (PVAS) adalah (Rp. 600 + Rp. 14,3 + Rp.80) = Rp. 694,3 milyar.
Contoh synergy yang diharapkan terjadi dari contoh di atas disebut sebagai operating synergy.
Operating synergy adalah synergy yang dinikmati oleh perusahaan karena kombinasi dari
beberapa operasi sehingga dapat menekan biaya dan/atau menaikkan penghasilan. Operating
synergy muncul dari perusahaan yang melakukan ekspansi pada bisnis yang sama sehingga dapat
menekan biaya rata-rata karena biaya tetap per satuan menurun (memperoleh economies of
scale), atau melakukan diversifikasi ke sektor yang masih berakitan (related diversification).
Related diversification misalnya dilakukan oleh perusahaan garment yang kemudian mendirikan
pabrik tekstil. Perusahaan rokok yang kemudian mempunyai divisi perkebunan tembakau, dan
sebagainya. Apabila upaya untuk memperoleh economies of scale dilakukan dengan integrasi
horizontal, maka related diversification dilakukan dengan integrasi vertikal.
Selain operating synergy, jenis synergy, jenis synegy lain adalah financial synergy. Financial
synergy berasal dari penghematan yang dinikmati perusahaan yang berasal dari sumber
pendanaan (financing). Jenis synergy ini mungkin diperoleh dari conglomerate merger.
Conglomerate merger merupakan penggabungan perusahaan (bisa berasal dari akuisisi) dari
berbagai jenis kegiatan yang secara operasional tidak berkaitan satu sama lain. Sebagai misal,
perusahaan semen membeli jaringan supermarket. Kita tidak berharap bahwa penjualan semen
akan meningkat karena didistribusikan lewat supermarket. Contoh lain, perusahaan rokok
membeli perusahaan garment. Dalam teori keuangan, diversifikasi ke sektor yang tidak
berhubungan (unrelated diversification) disebut sebagai conglomerate merger. Jadi
conglomerate adalah perusahaan yang mempunyai berbagai jenis usaha, dan jenis-jenis usaha
tersebut tidak berkaitan satu sama lain. Contoh yang pernah terjadi adalah PT. Indocement
(industri semen) mengakuisisi Indofood (makanan), Bogasari (tepung terigu), dan wisma
Indocement (property).
Financial synergy mungkin berasal dari dua sumber. Pertama, dengan mempunyai berbagai
divisi, arus kas operasi perusahaan diharapkan akan lebih stabil. Dengan demikian peluang untuk
tidak dapat memenuhi kewajiban financial akan berkurang. Apabila hal ini ditafsirkan oleh
kreditor sebagai penurunan risiko tidak mampu membayar kewajiban financial, maka kreditor
mungkin menetapkan tingkat bunga yang lebih rendah. Cost of debt yang lebih rendah tentu akan
menguntungkan perusahaan. Kedua, apabila hutang yang lebih tinggi. Sejauh pembayaran bunga
masih bersifat tax deductible, penggunaan hutang yang makin banyak akan menghasilkan
penghematan pajak yang makin besar pula.
Misalkan PT. A yang bergerak dalam bidang garment mengakuisisi PT. Q yang berbisnis dalam
bidang obat-obatan (farmasi). Sebagai akibat akuisisi tersebut PT. A sekarang dapat
meningkatkan (menambah) hutangnya sebesar Rp. 20 milyar menjadi Rp. 80 milyar tanpa harus
menanggung tingkat bunga yang lebih tinggi. Apabila tingkat bunga hutang tersebut adalah 16%
per tahun, tarif pajak permanen, maka PV penghematan pajak karena penggunaan tambahan
hutang tersebut adalah,
0,35(20 milyar) = Rp. 7,00 milyar
Ini berarti bahwa PT. A mungkin menawar PT. Q dengan harga lebih tinggi dari harga pasar
yang saat ini terjadi, sejauh tawaran tersebut tidak lebih tinggi dari Rp. 7 milyar. Jadi apabila
harga pasar PT. Q saat ini adalah Rp. 30 milyar, PT. A dapat menawar dengan harga, misalnya,
Rp. 34 milyar. Tawaran PT. A tentu lebih menarik, meskipun para pemegang saham PT. A juga
masih memperoleh manfaat netto sebesar Rp. 3 milyar.
Contoh perhitungan biaya di atas adalah apabila akuisisi dilakukan dengan cara pembayaran
tunai. Akuisisi juga dapat dilakukan dengan cara pertukaran saham. Apabila cara ini yang
ditempuh, maka pemegang saham perusahaan yang diakuisisi akan menjadi pemegang saham
perusahaan yang mengakuisisi. Dalam contoh di atas, saham PT. S diganti dengan saham PT. A.
Dengan demikian apabila setelah akuisisi diperoleh NPV positif, maka NPV tersebut akan ikut
dinikmati oleh bekas pemegang saham PT. S. Sebaliknya apabila setelah akuisisi terjadi kerugian
(NPV negative), pemegang saham PT. S ikut menanggungnya. Berikut ini diberikan contoh
tentang hal tersebut.
Kita gunakan contoh yang sama dengan Sub Bab 24.2. Apabila saham PT. S dihargai Rp. 9.000
sedangkan 10 juta lembar saham tersebut akan diganti dengan saham PT. A, maka PT. A perlu
menggantinya dengan jumlah lembar saham (ingat harga saham PT. A adalah Rp. 12.000 per
lembar),
(10 juta x Rp. 9.000)/Rp. 12.000 = 7.500.000 lembar
Ini berarti bahwa bagi pemegang saham lama, mereka menikmati tambahan kemakmuran
sebesar Rp. 75 per lembar, atau secara keseluruhan,
50 juta x Rp. 75 = Rp. 3,75 milyar
Apabila kita bandingkan dengan cara akuisisi secara tunai, maka Nampak bahwa kalau NPV
akuisisi tersebut positif, dengan cara pertukaran saham akan membuat menfaat yang dinikmati
oleh bekas pemegang saham PT. S lebih besar. Hal yang sebaliknya akan terjadi kalau ternyata
NPV negatif.
Dalam peristiwa akuisisi, pihak yang seringkali tidak setuju adalah manajemen dari perusahaan
yang akan dibeli (acquired company). Mengapa? Karena mereka takut kalau jabatan mereka
akan dicopot. Mungkin jabatan mereka akan diganti dengan orang lain, atau mungkin jabatan-
jabatan tersebut akan dihilangkan. Kalau dua perusahaan dijadikan satu, tidak mungkin jumlah
direksinya akan sama dengan penjumlahan dari dua direksi perusahaan sebelum digabungkan.
Direksi perusahaan yang dibeli mungkin dihilangkan (ini juga dilakukan untuk menghemat
ongkos operasi), atau mereka diturunkan tingkatannya.
Apabila merger dapat dilakukan secara bersahabat (friendly merger), maka hal ini akan
dilakukan dengan cara manajemen kedua belah pihak berunding bersama, dan hasil perundingan
tersebut (menyangkut harga yang wajar, pembayaran akuisisi, dan lain-lain) akan diusulkan ke
pemilik perusahaan. Apabila dirasa bahwa manajemen perusahaan yang akan diakuisisi tidak
akan bekerja sama, maka manajemen perusahaan yang akan mengakuisisi mungkin memilih
hostile takeover. Dengan cara ini manajemen perusahaan yang diakuisisi tidak diajak berunding,
tetapi perusahaan yang akan mengakuisisi langsung menawarkan ke pemegang saham acquired
company persyaratan-persyaratan yang dinilai cukup menarik. Sebagai misal, kalau harga saham
accuirered company saat ini sebesar Rp. 8.000, maka para pemegang saham akan ditawari
dengan harga yang lebih tinggi apabila mereka bersedia menjualnnya ke perusahaan yang akan
mengakuisisi.
Pihak manajemen perusahaan yang akan dibeli mungkin melakukan berbagai taktik untuk
mempertahankan diri (defense tactics) yang intinya bertujuan supaya akuisisi tersebut akan batal.
Taktik-taktik tersebut akan mengarah pada meningkatnya biaya yang harus dibayar (atau
ditanggung) oleh pemegang saham yang membeli. Apabila rencana akuisisi tersebut gagal, maka
direksi perusahaan sasaran masih aman pada kedudukannya. Taktik-taktik mempertahankan diri
diantaranya adalah yang disebut golden parachute. Taktik ini dinyatakan dalam kontrak kerja,
yang menyatakan bahwa apabila manajemen perusahaan akan memperoleh kompensasi yang
sangat besar apabila mereka kehilangan jabatan karena perusahaan diakuisisi. Jumlah komposisi
yang sangat besar tersebut mungkin akan membatalkan rencana akuisisi.
Cara lain adalah dengan menggunakan poison pill. Cara ini ditempuh oleh manajemen PT. B
(yaitu yang akan diakuisisi) dengan menerbitkan obligasi yang disertai warrant yang dapat
ditukar dengan saham perusahaan dengan harga yang sangat rendah. Saat ini harga saham PT. B
adalah Rp. 8.000 per lembar, tetapi warrant tersebut menyatakan bahwa pemilik warrant
tersebut dapat membeli saham perusahaan dengan membayar hanya Rp. 4.000. Karena setelah
PT. B diakuisisi pemegang sahamnya menjadi pemegang saham PT. A yang mengakuisisi, maka
warrant tersebut akan valid untuk saham PT. A. Kalau harga saham PT. A jauh lebih tinggi dari
Rp. 4.000, maka bekas pemegang saham PT. B akan diuntungkan, sebaliknya pemgang saham
PT. A yang lama akan dirugikan. Dengan demikian mungkin saja akhirnya rencana akuisisi akan
batal.
Cara lain adalah manajemen PT. B mencari calon pembeli baru. Apabila mereka berhasil
memperoleh calon pembeli baru yang menyatakan bahwa manajemen PT. B tidak akan dirubah,
maka calon ini tentu lebih disukai oleh manajemen PT. B. Cara ini disebut sebagai white knight.
14.6. LATIHAN MANDIRI
SCTV Indosiar
Earning Available for C/S $250 million $200 million
C/S Outstanding 3.500.000 2.500.000
Market Value $68 $55
1.
= $71.42857
$200,000,000
=
2,500,000
= $80
$65
=
$80
= 0,8125
ℎ = $1,6
Jadi, untuk mengakuisisi Indosiar, SCTV harus membayar 1,6 sahamnya. 1 saham
Indosiar = 1,6 SCTV.
=
= $60 1,6
= $96
d. Market Price Ratio untuk akuisisi tersebut
=
75 1,6
=
65
= 1,8461
= 1,85
MPR setelah akuisisi, harga saham SCTV menjadi 1,85x harga saham Indosiar.
2. a. Mergers adalah kombinasi dari dua atau lebih perusahaan, dimana perusahaan hasil
merger menggunakan identitas salah satu perusahaan, umumnya perusahaan terbesar
Konsolidasi adalah kombinasi dari dua atau lebih perusahaan membentuk perusahaan
baru.
Holding company adalah perusahaan yang memiliki kendali terhadap satu atau lebih
perusahaan.
c.Friendly merger adalah merger yang dilakukan dengan cara yang bersahabat, dimana
syarat-syarat dari merger dapat diterima oleh kedua manajemen perusahaan.
Hostile merger adalah merger secara paksa , perusahaan sasaran (target company)
menentang dilakukannya merger.
rasio hutang PT. Putri menjadi lebih tinggi (buruk) dibanding hutang PT. Limas
Kapan suatu lease termasuk kategori “harus muncul dineraca”? Jika lease tersebut adalah
financial atau capital lease. Ciri-ciri financial lease yaitu :
1. Pada saat kontrak lease berakhir, kepentingan aktiva lease berpindah dari lessor ke
lease
2. Lease dapat membeli aktiva pada harga lebih rendah dari harga pasar ketika kontrak
lease berakhir.
3. Usia kontrak lease ≥ 75% usia ekonomis aktiva yang diperkirakan
4. Present value lease payment ≥ 90% dari nilai awal aktiva
Jika satu atau lebih ciri diatas ada, maka lease tersebut harus muncul di neraca. Jika tidak ada
satupun ciri diatas, lease termasuk “off balance sheet” operating lease tidak muncul di neraca,
namun tetap dilaporkan dalam catatan kaki pada neraca.
Ya Tidak
NPV > 0
Ya Tidak Ya Tidak
Keterangan:
Langkah 1: Menghitung NPV Aktiva
Perlukah aktiva dibeli?, keputusan untuk menerima atau menolak suatu proyek ditentukan
untuk menerima atau menolak suatu proyek ditentukan oleh NPV (Net Present Value) proyek
tersebut. Jika NPV ≥ 0, proyek dapat diterima. NPV dihitung dengan mempresent value-kan
seluruh arus kas masuk kemudian diselisihkan dengan present value arus kas keluar. Pada
perhitungan NPV, kita gunakan biaya modal sebagai tingkat diskonto.
CIF (1 + k)
NPV (A) = – COF
dimana:
CIFt = Cash Inflow pada waktu t yang dihasilkan proyek
k = biaya modal
COF = Initiual Cash Inflow (diasumsikan terjadi sekarang)
n = usia proyek
307
O (I − T) − R (I − T) − T. D V
NAL =(1 + r ) – (1 + r ) + COF
dimana:
Ot = Operating Cash Outflow pada waktu t yang terjadi hanya jika aktiva dibeli (tidak
leasing).
Biasanya terdiri atas biaya perawatan dan asuransi yang pada kontrak lease akan
dibayar oleh lessor.
Rt = Leasing payment tahunan pada waktu t
T = Tingkat pajak pada penghasilan
perusahaan Dt = Biaya depresiasi aktiva pada
waktu t
Vn = Nilai sisa setelah pajak (salvage value after tax) pada waktu n
COF = Harga perolehan aktiva yang tidak dibayar lease jika ia melakukan leasing
Rb = Biaya hutang setelah pajak. rb = kd (1-T)
dimana kd = biaya hutang sebelum pajak.
Catatan:
Pada rumus diatas Vn (salvage value after tax) diskonto menggunakan rb atau after tax cost of
debt karena Vn dianggap cukup pasti. Bila nilai Vn dianggap relatif tidak pasti, sebaiknya
didiskonto menggunakan k (cost of capital) yang lebih besar daripada nilai rb.
Perhatikan bahwa NAL sebenarnya merupakan selisih antara benefit dan cost dari leasing
dibanding alternatif membeli aktiva.
Benefit dari leasing:
- Tidak ada biaya perawatan/operasi (Ot)
- Tidak ada pengeluaran untuk memperoleh aktiva (COF)
- Ada penghematan pajak akibat membayar lease payment (Rt.T)
Cost dari leasing:
- Tidak ada biaya operasi maka tidak ada penghematan pajak (-Ot.T)
- Membayar lease payment (-Rt)
- Tidak ada biaya depresiasi (karena tidak memiliki aktiva) sehingga tidak ada penghematan
pajak
308
(-Dt.T)
309
- Tidak ada nilai sisa aktiva (karena tidak memiliki aktiva) sebesar Vn.
Jika benefit > cost, maka NAL positif sehingga lebih menguntungkan jika leasing dibanding
alternatif membeli dengan menggunakan dana dari hutang.
Catatan:
1. Bila kritis akan maka muncul pertanyaan “Jika aktiva dibeli dengan dana dari hutang
mengapa biaya bunga hutang tidak ditanggung sama sekali dalam analisis beli vs leasing.
Bukankah untuk membeli aktiva kita harus berhutang sehingga menimbulkan biaya bunga?”.
Memang benar alternatif membeli aktiva menimbulkan hutang sebesar harga perolehan
aktiva tersebut. Hutang ini akan menimbulkan biaya bunga serta pembayaran pinjaman.
Sepanjang arus kas dalam perhitungan NAL didiskonto dengan biaya hutang setelah pajak
(after tax cost of debt), memperhitungkan arus kas akibat berhutang (penerimaan pinjaman,
biaya bunga, pembayaran pinjaman) atau tidak akan memberikan hasil yang sama!
Dengan tingkat diskonto = after tax cost of debt = 10% (1-40%) = 6%, maka:
PV arus kas membeli = + = -63,33
(%) (%)
PV arus kas leasing = + = -60,5
(%) (%)
Artinya : PV biaya membeli = 63,33 lebih besar dari PV biaya leasing = 60,5, sehingga lebih
memilih alternatif pinjam dan beli.
Arus kas jika membeli dapat disederhanakan dengan asumsi tidak berhutang (tanpa
memperhitungkan pokok pinjaman dan bunga):
Tahun 0 1 2
harga beli mesin -100
Tax saving dari depresiasi 20 20
Arus kas bersih -100 20 20
Ternyata hasilnya sama dengan jika kita memperhitungkan pokok pinjaman dan bunga!
Mengapa?
Jika kita meminjam, maka arus kas tahun 1 dan 2 adalah -6 (dari biaya bunga kurang
penghematan pajak) dan -106 (dari biaya bunga setelah penghematan pajak plus
pengembalian pokok pinjaman). Jika arus kas ini didiskonto dengan after tax cost of debt =
6%, maka:
+ = -100
(%) (%)
PV arus kas keluar dari meminjam + PV arus kas masuk dari meminjam = -100 + 100 = 0
Kesimpulan:
“Sepanjang tingkat diskonto yang digunakan dalam analisis NAL adalah after tax cost of
debt, memperhitungkan arus kas dari berhutang, yakni:
(1) Penerimaan pinjaman
(2) Biaya bunga
(3) Penghematan pajak dari biaya bunga, dan
(4) Pengembangan pokok pinjaman
akan memberikan hasil NAL yang sama dengan kalau kita TIDAK memperhitungkan arus
kas draft dari berhutang.
2. Mengapa arus kas didiskonto sebesar after tax cost of debt? Karena arus kas seperti lease
payment, depresiasi, harga beli, biaya perawatan, nilai sisa dianggap arus kas yang cukup
pasti, karena tingkat kepastian tinggi maka risiko menjadi rendah, sehingga kita harus
menggunakan tingkat diskonto yang rendah. Jika nilai sisa (residual value) dianggap tidak
pasti, nilai sisa (Vn) harus didiskonto dengann biaya modal (k atau WACC) sebagai tingkat
diskonto.
Contoh:
PT. GELORA, sebuah perusahaan rokok, sedang mempertimbangkan pembelian sebuah
mesin seharga Rp 15 juta. Untuk pembayaran pajak, mesin didepresiasi 5 tahun tanpa nilai
sisa dengan metode garis lurus. Namun diperkirakan akhir tahun ke 5 mesin dapat dijual
dengan harga Rp 2,1 juta. Mesin diperkirakan menghasilkan arus kas sesudah pajak (EAT +
depresiasi) sebesar Rp 4 juta per tahun selama 5 tahun mendatang. Biaya operasi mesin
(dibayar oleh lessor jika kita leasing) diperkirakan Rp 1 juta per tahun selama usia proyek.
Lease payment tahunan ditentukan oleh lessor sebesar Rp 4,2 juta per tahun. Jika meminjam
Rp 15 juta ke Bank Melati, akan dikenai bunga 8%/th.
Pajak penghasilan perusahaan adalah 50%. Biaya modal perusahaan adalah 12%.
Langkah 1: Proyek mesin baru diterima?
NPV = -15(,)
+ (,) + + + +
,
+
(,) (,) (,) (,)
= Rp 15.250,-
Karena proyek NPV > 0, proyek mesin dapat diterima.
rb = 8%(1-50%) = 4%
, , , , , ,
NAL = (,) + (,) + (,) + (,) + (,) + (,) + 15
= Rp 0,34 juta
Keterangan:
Ot(1-T) = 1(1-0,5) = 0,5
Rt(1-T) = 4,2(1-0,5) = 2,1
Dt.T = (15/5) x 0,5 = 1,5
Vn = 2,1 (1-T) = 1,05
Mesin yang nilai bukunya = 0 laku dijual 2,1 juta sehingga dikenai pajak penghasilan 50% x 2,1 juta,
sisanya adalah 1.05 juta.
Kesimpulan:
Karena NPV positif dan NAL positif, proyek mesin dapat diterima mesin diperoleh dengan
cara leasing.
Catatan:
NAL juga dapat dipandang sebagai NPV leasing
dimana:
- PV cost of owning adalah nilai sekarang biaya-biaya serta penghematan pajak yang
timbul jika kita membeli aktiva
- PV cost of leasing adalah nilai sekarang biaya-biaya serta penghematan pajak yang
timbul jika kita leasing.
Cost bof Owning (pinjam dan beli)
-
Tahun 0 1 2 3 n
1. Harga beli +
2. Biaya perawatan + + + +
3. Tax saving dari prawatan - - - -
4. Tax saving dari depresiasi - - - -
5. Nilai sisa -
6. Pajak pada nilai sisa +
Net cash flow (arus kas bersih)
Cost of Leasing
Tahun 0 1 2 3 n
7. Lease payment + + + +
8. Tax saving dari payment - - - 1
Net cash flow (arus kas bersih)
Net cash flow pada cost of owning dan cost of leasing didiskonto dengan tingkat diskonto
sebesar biaya hutang sesudah pajak. Selisihnya merupakan NAL.
Catatan:
Pendekatan ini mengasumsikan nilai sisa didiskonto dengan tingkat diskonto sebesar after
cost of debt.
Contoh:
Melanjutkan proyek pembelian mesin PT. GELORA di depan
Cost of Owning
Tahun 0 1 2 3 4 5
Harga beli 15
Biaya Perawatan (BP) 1 1 1 1 1
Tax saving -0,5 -0,5 -0,5 -0,5 -0,5
Tax saving dari deprisiasi -1,5 -1,5 -1,5 -1,5 -1,5
Nilai sisa -2,1
Pajak pada nilai sisa +2,05
Net Cash flow 15 -1 -1 -1 -1 -2,05
,
PV Cost of Owning = 15 + (,) + (,) + (,) + (,) + (,)
= Rp 9,68 juta
Cost of leasing
Tahun 0 1 2 3 4 5
Lease payment 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2
Tax saving dari payment -2,1 -2,1 -2,1 -2,1 -2,1
Net cash flow 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1
, , , , ,
PV Cost of Leasing = 15 + (,) + (,) + (,) + (,) + (,)
= Rp 9,68 juta
NAL = Rp 9,68 juta – Rp 9,34 juta = Rp 0,34 juta
, , , , ,
0
= 15 + + + + +
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
IRR = 3,23%
(IRR dapat dicari secara mudah menggunakan Finansial Calculator atau program computer
excel).
IRR = 3,23% menunjukkan tingkat biaya setelah pajak leasing (after tax cost rate of lease)
sebesar 2,23%. Angka ini masih lebih kecil disbanding biaya hutang setelah pajak (after tax cost
of debt) sebesar 6%, sehingga lebih baik lease daripada membeli menggunakan hutang.
Contoh:
Proyek dapat didanai dengan 50% hutang, 50% modal sendiri. Biaya hutang (kd) = 10%,
biaya modal sendiri (ks) = 15%, Pajak = 40%
Maka biaya modal proyek = WACC = 0,5 (10%)(1-40%) + 0,5 (15%) = 10,5%
Andaikan NPV yang dihitung dengan menggunakan biaya modal (10,5%) adalah -RP 5 juta
(minus 5 juta). Dengan alternatif leasing diperoleh NAL sebesar RP 6 juta. Maka NPV
proyek ini adalah -Rp 5 juta + Rp 6 juta = Rp 1 juta.
Proyek dapat diterima dengan catatan seluruh aktiva tetap didanai melalui leasing.
Kadang kala tidak 100% dana proyek dapat dibiayai melalui leasing. Misalnya proyek
dengan kebutuhan dana 50% hutang dan 50% modal sendiri, hanya porsi hutang yang dapat
digantikan oleh leasing. Pada kondisi ini kita dapat menghitung NPV revisi dengan cara
menghitung NPV dengan menggunakan biya modal sebesar biaya lease setelah pajak (IRR
Lease) sebagai ganti biaya hutang setelah pajak.
Jika seluruh unsur hutang pada modal proyek bisa digantikan oleh lease:
CIF
NPV Revisi = −COF +(1 + WACC∗)
Keterangan:
COF = cash outflow
CIF = cash inflow
WACC* = biaya modal dengan menggunakan IRR lease
Wd (IRR lease) + Ws.ks
Wd =proporsi modal yang berasal dari hutang
Ws = proporsi modal yang berasal dari modal
sendiri Ks = biaya modal sendiri
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya
Andaikan IRR lease = 5,5%
WACC* = 0,5 (5,5%) + 0,5 (15%) = 10,25%
Biaya modal turun menjadi 10,25% (dari 10,5%) akibat kita me-lease daripada berhutang.
Dengan WACC baru ini kita dapat menghitung NPV revisi.
NPV = -15 + , + , , , ,
( ) + +( +(
( ) ( ) ) )
= Rp 0,76 juta
Proyek ini menjadi tidak menarik bagi lessor karena NPV-nya negatif.
Bagaimana agar lessor bersedia me-lease aktiva? Dengan biaya modal tetap sebesar 5%, lease
payment harus dinaikkan hingga NPV mencapai 0 atau positif.
1. PT. Perkasa melakukan analisis terhadap dua kemungkinan leasing, yang pertama yaitu
operating leasing yaitu terhadap mesin Foto Copy dengan melakukan pembayaran secara
annual senilai $2,000 selama tiga tahun ke depan . Leasing yang kedua menggunakan
financial leasing selama 15 tahun untuk gedung dengan annual payment $150,000. Jika
perusahaan memiliki discount rate sebesar 10 percent, bagaimana sebaiknya perusahaan
menampilkannya pada neraca?
2. PT. Pemuda sedang mempertimbangkan leasing atau purchasing terhadap small aircraft
untuk transport executives antara manufacturing facilities dan main administrative
headquarters. Pajak perusahaan 40 percent tax bracket dan after-tax cost of debt sebesar
7 percent. Adapun estimated after-tax cash flows untuk lease dan purchase alternatives
dapat dilihat dibawah ini:
(a) Berdasar cash outflows diatas pada masing masing alternative, hitunglah present
value of the after-tax cash flows menggunakan after-tax cost of debt pada masing –
masing alternative.
(b) Alternatif mana yang akan direkomendasi? Mengapa ?
JAWABAN LATIHAN MANDIRI
1. Jawaban: Operating leasing merupakan annual lease payment dan term dari leasing
nya dinyatakan sebagai footnote. Sedangkan Financial leasing: Gedung akan dicatat
sebagai dengan nilai $150,000(7.606) $1,140,900. Dan diakui sebagai liability pada
balance sheet.
2. Jawaban
(a)
PV of leasing
CF1–4 ($64,329) 3.387
($217,882)
CF5 64,329 0.713
45,867
($172,015)
PV of purchase
CF1 ($68,454) 0.935 ($64,004)
CF2 ($59,110) 0.873 ($51,603)
CF3 ($63,596) 0.816 ($51,894)
CF4 ($66,633) 0.763 ($50,841)
CF5 $30,056 0.713
$21,430
($196,912)