Anda di halaman 1dari 334

Bab I

Ruang Lingkup dan Peran Manajemen Keuangan

1.1. Ruang Lingkup Manajemen Keuangan

Berkembangnya dunia usaha atau bisnis saat ini, merupakan dampak perubahan
global, yang menyebabkan organisasi yang berjalan saat ini harus memperhatikan
perubahan-perubahan yang berlangsung. Terutama dalam pembangunan Indonesia,
menuju Indonesia yang maju dan sejahtera. Salah satu organisasi yang menjadi sumber
pendorong pembangunan yaitu perusahaan. Perusahaan memiliki beberapa fungsi
operasional yang terdiri dari fungsi pemasaran, pengelolaan sumber daya manusia,
keuangan , dan produksi. Fungsi keuangan merupakan bidang yang sangat luas dan
dinamis. Bidang ini juga merupakan bagian penting dalam kegiatan perusahaan. Sumber
daya yang dimiliki perusahaan untuk dikelola selain sumber daya manusia adalah sumber
pendanaan, yaitu sumber daya yang berupa pendanaan untuk mendukung aktivitas
perusahaan secara langsung akan mempengaruhi kinerja perusahaan. Manajemen
Keuangan merupakan seni dan ilmu dalam mengelola uang. Ilmu keuangan
memperhatikan dua hal pokok yaitu penilaian dan pengambilan keputusan. Ilmu
keuangan dapat dibagi menjadi tiga bagian , pertama keuangan perusahaan atau corporate
finance , investasi atau investment, dan pasar keuangan & perantara atau financial market
and intermediaries.
Pembagian fokus keuangan pada perusahaan yang dikenal dengan Corporate
Finance atau keuangan perusahaan adalah bidang keuangan yang berhubungan dengan
operasi suatu perusahaan, kemudian dalam perkembangan selanjutnya lebih banyak
diistilahkan dengan manajemen keuangan. Manajemen Keuangan dalam perusahaan
dapat diartikan sebagai gabungan seni dan pengetahuan yang dilakukan oleh manajer
keuangan untuk menggunakan dana yang dimiliki oleh perusahaan dan mendapatkan
dana untuk membiayai kegiatan perusahaan. Manajer keuangan dibantu oleh dua staf
yaitu bagian pencatatan atau dikenal dengan controller dan staf lainnya atau treasurer.
Tempat untuk mendapatkan dana disebut dengan pasar keuangan, yang terdiri dari pasar

1
modal dan pasar uang. Pasar keuangan yang mencukupi kegiatan perusahaan pada
dasarnya bisa bersipat sektor formal atau sektor informal.
Pengelolaan keuangan atau Manajemen keuangan berhubungan dengan masalah
perencanaan , analisis dan pengendalian kegiatan keuangan perusahaan. Mereka yang
melakukan aktivitas tersebut diatas dikenal dengan sebutan Manajer Keuangan. Secara
skematis kegiatan manajer keuangan dapat digambarkan sebagai berikut :

1
2
Manajer Keuangan
Aktiva Perusahaan 4b Pasar Keuangan

3 4a

Skema Tugas Manajer Keuangan

Seorang Manajer Keuangan perlu mendapatkan dana dari pasar keuangan atau
financial market (lihat panah 1). Dana yang diperoleh kemudian diinvestasikan pada
berbagai aktiva (aktiva lancar dan aktiva tetap) untuk mendanai kegaiatan perusahaan
(lihat panah 2). Kegiatan perusahaan bertujuan untuk memperoleh hasil atau pendapatan
yang lebih besar dibandingkan dengan biaya (lihat panah 3). Laba yang merupakan
selisih antara pendapatan dengan biaya perlu diputuskan untuk ke pemilik dana (lihat
panah 4a), atau diinvestasikan kembali ke perusahaan (lihat panah 4b).
Dalam skema diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga keputusan yang harus
diputuskan oleh manajer keuangan meliputi :
1. Penggunaan Dana sebagai keputusan investasi
2. Memperoleh dana sebagai keputusan pendanaan atau pembiayaan
3. Pembagian laba atau dikenal sebagai kebijakan dividen.

a. Tujuan Manajemen Keuangan


Manajemen keuangan yang efektif dan efisien mempunyai kontribusi penting
terhadap tercapainya tujuan usaha perusahaan. Tujuan perusahaan itu sendiri beraneka
ragam jenisnya, salah satu diantaranya secara umum yang berhubungan erat dengan
manajemen keuangan adalah mendapatkan keuntungan atau profit yang optimal , dengan
maksud agar kekayaan pemegang saham bisa maksimum.
Manajer keuangan harus memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan keputusan
keuangan perusahaan meliputi masalah investasi, pembiayaan , dan kebijakan dividen.
Berkaitan dengan keputusan keuangan perusahaan, para manajer diharuskan untuk
memiliki tujuan dalam pengelolaan keuangannya. Sesuai dengan tujuan perusahaan ,
maka secara normatif tujuan keputusan keuangan adalah untuk memaksimumkan nilai
perusahaan. Nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli
apabila perusahaan tersebut dijual.
Pendapat lain mengenai Manajemen Keuangan bila dikaitkan pada level makro,
maka disinggung mengenai keuangan sebagai ilmu yang mempelajari institusi keuangan
dan pasar keuangan , serta bagaimana kedua lembaga dioperasikan dengan sistem
keuangan disuatu Negara atau secara global. Sedangkan pada level mikro, keuangan
adalah mempelajari perencanaan keuangan , manajemen asset, dan memperoleh dana
untuk menjalankan operasional perusahaan melalui lembaga keuangan.
Manajemen Keuangan dapat dijelaskan secara ringkas pada keputusan yang
dibuat oleh manajer keuangan yang tercermin pada neraca, dengan penjelasan sebagai
berikut :
a. Keputusanya dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi
b. Keputusan mengalokasikan dana untuk modal kerja
c. Keputusan mengalokasikan dana untuk investasi aktiva tetap atau capital
investment
d. Memutuskan untuk mencari dana atau pembiayaan.
e. Keputusan untuk membagi laba atau profit yang dikenal dengan kebijakan
dividen.
Negara yang memiliki sistem keuangan yang baik bisa menjadi salah satu ciri
bangsa yang maju dan modern. Aspek lainnya adalah dilimilikinya pasar keuangan , yang
merupakan lembaga perantara yang penting membantu dalam kegiatan manajemen
keuangan. Pasar keuangan merupakan lembaga perantara yang memfasilitasi arus dana
antara pemilik dana dengan peminjam. Jadi kegiatan menajamen keuangan meliputi
didalamnya penggunaan dan pencarian sumber keuangan yang efisien dan efektif dalam
menghasilkan produk dan jasa.
Manajemen keuangan memperhatikan terhadap tugas-tugas manajer keuangan
dalam perusahaan. Manajer keuangan beraktivitas menangani kegaitan keuangan
perusahaan baik perusahaan besar atau kecil, atau juga bersifat publik seperti BUMN
(Badan Usaham Milik Negara) atau BUMD (Badan Uasaha Milik Daerah).
Meningkatnya globalisasi telah menambah kompleksitas fungsi atau kegiatan manajemen
keunagan. Perubahan ekonomi dan aturan atau kebijakan juga menambah kompleksitas
fungsi manajemen keuangan.
Karir dibidang manajemen keuangan :
1. Capital Budgeting Analyst
2. Project Finance Manager
3. Cash Manager
4. Bank and Financial Institution
5. Financial Analyst
6. Pension Fund Manager
7. Insurance
8. Real estate
9. Personal Financial Planning
10. Investment

Faktor produksi yang dikenal dalam kegiatan perusahaan salah satunya adalah dana atau
modal , bagian yang mengelola dana atau modal adalah bagian atau departemen
keuangan, yang memiliki hubungan dengan bentuk perusahaan seperti dibahas dibawah
ini :

b. Bentuk Dasar Kegiatan Perusahaan


Kegiatan perusahaan pada bentuk organisasi akan ditentukan oleh jumlah orang yang
terlibat, bentuk hokum, jumlah aset, masalah perpajakan, tangggung jawab terhadap aset,
dan masalah lainnya. Secara pengemlompokkan bentuk kegiatan perusahaan adalah
sebagai berikut ;
a. Perusahaan Perorangan
b. Firma atau CV
c. Perseroan Terbatas (PT).
Adanya bentuk dasar kegiatan perusahaan yang berbada telah membagi beberapa
keuntungan dan kelemahan dalam tugas manajer keuangan. Misalnya pada perusahaan
perorangan karena jumlah pegawai yang sedikit, maka manajer keuangan akan ditangani
langsung oleh pemilik dengan fungsi operasional lainnya seperti fungsi marketing atau
pemasaran.
Bila berkembang dan berubah menjadi CV atau Firma, maka tugas manajer
keuangan akan didelegasikan kepada sekutunya atau partnernya. Demikian juga bila
sudah menjadi perseroan terbatas, maka perusahaan akan mendelegasikan kegiatan
keuangan kepada manajer keuangan yang lebih professional yang akan dibantu oleh
bagian Controller (Akuntansi) dan Treasurer (Bendahara). Selain masalah kegiatan
manajer keuangan yang berbeda-beda pada ketiga bentuk usaha, yang menjadi pembeda
adalah masalah pajak, keuntungan , besarnya utang, umur usaha dan lainnya.

Masalah keuangan berkembang sangat pesat dibanding dengan ekonomi, dan


keuangan sangat berkaitan dengan ekonomi. Manajer keuangan harus memahami
kerangka ekonomi, sehingga cepat bereaksi terhadap perubahan ekonomi keuangan.
Prinsip ekonomi yang digunakan oleh manajer keuangan adalah marginal analysis , yang
menyatakan bahwa keputusan keuangan hanya diimplementasikan pada benefit melebihi
cost. Pada dasarnya manajer keuangan dibantu oleh The firm’s finance (treasurer) atau
bagian keuangan dan accounting functions (controller) atau bagian akunting yang saling
membantu dan kadang-kadang saling overlapping. Pada perusahaan yang skala kecil ,
biasanya manajer keuangan melakukan kegiatan bagian keuangan dan juga bagian
akunting. Perbedaan antara keuangan dan akuntansi sebenarnya hanya pada fokus
terhadap metode pengakuan terhadap penerimaan perusahaan , keuangan fokus pada
metode accrual sedangkan akuntansi lebih fokus pada metode cash.

1.2. PASAR FINANSIAL


Ilmu Ekonomi memperkenalkan tiga pasar yang menunjang perekonomian suatu
negara, yaitu pasar keuangan, pasar barang dan jasa, dan pasar tenaga kerja. Dalam
Manajemen Keuangan sebagai alat untuk mewujudkan tujuan perusahaan memerlukan
lembaga yang memfasilitasi dalam kebutuhan dan pemanfaatan dana, yaitu melalui pasar
keuangan atau financial market. Pada pasar keuangan , perusahaan akan memperoleh, dan
memanfaatkan financial asset atau aset keuangan untuk mewujudkan tujuan keuangan
perusahaan . Pengelompokkan aset finansial, antara lain seperti yang disajikan pada
diagram berikut ini:
Aset Finansial

Investasi Langsung Investasi Tidak Langsung


(misal: reksa dana)

Instrumen Instrumen Instrumen


Pasar-uang pasar-modal turunan

Investasi Penghasilan Investasi modal


sendiri Tetap

1.2.1 Pasar Uang (Money Market )


Pasar uang menjalankan fungsi untuk menjembatani para kas surplus yang minim
atau tidak punya proyek investasi dengan para kas deficit yang memiliki banyak peluang
investasi. Pasar uang juga bisa berperan sebagai sumber pembiayaan untuk mereka yang
kas deficit. Pasar Uang terdiri atas instrument utang jangka pendek yang dijual oleh
pemerintah, institusi keuangan dan perusahaan. Karakteristik penting pasar ini adalah
usainya satu tahun atau kurang. Contoh: Sertifikat Bank Indonesia, Commercial Paper,
JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate), deposito.
 Sertifikat Bank Indonesia (SBI) adalah surat utang Bank Indonesia yang berjangka
kurang dari setahun. SBI digunakan oleh Bank Indonesia sebagai salah satu alat untuk
mengelola tingkat suku bunga. Di Amerika Serikat, instrument serupa SBI adalah
Treasury Bills, surat utang jangka pendek yang diterbitkan pemerintah AS.
 Commercial Paper adalah surat utang jangka pendek yang diterbitkan oleh
perusahaan atau lembaga keuangan. Syarat utang ini biasanya tanpa jaminan sehingga
reputasi penerbitnya harus bagus. BAPEPAM mensyaratkan perusahaan yang
menerbitkan commercial paper untuk dirating oleh lembaga pemeringkat surat
berharga yang ditunjuknya, misalnya PT. PEFINDO.
 JIBOR (Jakarta Interbank Offered Rate) adalah suku bunga pinjaman antar bank-bank
di Jakarta.

1.2.2 Pasar Modal (Capital Market )


Pasar modal merupakan pasar yang memfasilitasi sumber pembiayaan untuk mereka
yang deficit, dan tempat investasi yang utama untuk yang kas surplus. Pasar Modal
(capital market ) terdiri atas instrument dengan usia lebih dari satu tahun hingga tak
terhingga (tanpa waktu jatuh tempo). Terbagi atas (1) sekuritas yang memberikan
penghasilan tetap, misalnya obligasi dengan bunga tetap, serta (2) sekuritas yang
menawarkan partisipasi kepemilikan, misalnya saham biasa. Saham preferen merupakan
instrument yang memiliki sifat gabungan dari kedua jenis tersebut.
a. Instrumen di pasar modal sebagai sumber pembiayaan dan investasi yaitu obligasi
(bond). Obligasi adalah surat tanda utang yang diterbitkan oleh suatu korporasi,
lembaga keuangan atau pemerintah. Pembeli obligasi akan menerima bunga yang
tetap pada waktu yang telah ditentukan (misalnya, setiap 6 bulan) serta uang
sejumlah nilai nominal obligasi pada saat obligasi tersebut jatuh tempo. Perlu
dicatat bahwa pada saat ini telah banyak beredar obligasi dengan berbagai
modifikasi, misalnya obligasi dengan bunga tidak tetap (mengambang), obligasi
tanpa pembayaran bunga (zero-coupon bond), obligasi yang dapat ditarik oleh
penerbitnya sebelum waktu jatuh tempo (callable bond), obligasi yang dapat
dikonversi menjadi saham biasa (convertible bond), obligasi yang dapat ditarik
sebelum jatuh tempo serta dapat dikonversi menjadi saham biasa (callable
convertible bond), dsb.
b. Pemerintah Indonesia saat ini telah menerbitkan obligasi, yang dikenal dengan
sebutan SUN ( Surat Utang Negara) , Di Indonesia, obligasi yang diperdagangkan
adalah obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan, yang umumnya
berusia sekitar lima tahun. Obligasi yang diterbitkan oleh suatu korporasi atau
perusahaan memiliki spesifikasi yang mirip dengan obligasi pemerintah. Beda
utamanya adalah pada tingkat risikonya. Pembeli obligasi menanggung
setidaknya 3 macam risiko, misalnya: (1) risiko bunga dan nilai nominal tidak
membayar (default risk), (2) risiko obligasi sulit dijual kembali (liquidity risk),(3)
risiko harga pasar obligasi turun karena kenaikan suku bunga pasar (interest rate
risk). Untuk membantu calon pembeli obligasi mengukur tingkat risiko kegagalan
(default risk), obligasi perusahaan diperingkat (di-rating) oleh lembaga
pemeringkat yang independen. Di AS, lembaga semacam ini yang terkenal adalah
misalnya, Moody’s serta Standar & Poors (S&P). Di Indonesia hingga 1998 baru
ada satu perusahaan pemeringkat yang direkomendasi oleh BAPEPAM yakni PT.
Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO). Obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan yang kinerja keuangan maupun bukan keuangan yang bagus akan di-
rating tinggi (low default risk). Obligasi semacam ini akan lebih mudah
dipasarkan dengan harga yang tinggi. Pada sisi lain, obligasi yang diterbitkan oleh
perusahaan yang sedang mengalami kesulitan keuangan akan di-rating rendah.
Obligasi semacam ini sering disebut “obligasi sampah” atau junk bond. Obligasi
ini dijual dengan harga rendah karena calon pembelinya akan mensyaratkan suatu
tingkat keuntungan yang tinggi guna mengkompensasi risiko kegagalan yang
tinggi.
c. Saham biasa adalah sekuritas kepemilikan yang paling populer. Saham biasa
mewakili klaim kepemilikan pada penghasilan dan aktiva yang dimiliki
perusahaan. Setelah klaim dari kreditur dibayar (berupa pembayaran bunga),
manajemen perusahaan dapat menggunakan sisa penghasilan (laba bersih) setelah
pajak untuk (1) membayar dividen kepada pemegang saham, dan (2)
menginvestasikan kembali penghasilan tersebut ke dalam perusahaan (menahan
laba). Keunikan saham biasa adalah pemegang saham biasa memiliki kewajiban
yang terbatas. Artinya, jika perusahaan bangkrut, kerugian maksimum yang
ditanggung oleh pemegang saham adalah sebesar investasi pada saham tersebut.
Dengan kata lain, kerugian maksimum adalah nilai saham biasa menjadi nol
karena seluruh aktiva diambil alih oleh pihak lain. Meskipun kewajibannya
terbatas, menginvestasikan uang dengan cara membeli saham biasa dikatakan
relatif berisiko karena sifat penghasilan yang diberikan relatif berfluktuatif
(tergantung “sisa” penghasilan). Pada umumnya perusahaan yang besar memiliki
penghasilan yang lebih stabil daripada perusahaan kecil. Oleh karena itu risiko
pemegang saham perusahaan besar lebih kecil daripada risiko memegang saham
perusahaan kecil.
d. Saham preferen (preferred stock) merupakan “blasteran” antara saham biasa dan
obligasi. Ia memiliki sifat saham, misalnya tidak ada waktu jatuh tempo (namun
ada beberapa saham preferen yang dapat di-call) dan memberikan dividen. Ia juga
memiliki sifat obligasi, yaitu dividen yang diberikan bersifat tetap (merupakan
persentase dari nominalnya). Dividen ini mirip konsep bunga obligasi tetap,
bedanya adalah kegagalan membayar bunga obligasi dapat menyebabkan
kebangkrutan, sedangkan kegagalan membayar dividen saham preferen tidak. Jika
pada suatu tahun tertentu dividen saham preferen tidak terbayar, ia akan
diakumulasikan pada pembayaran dividen tahun mendatang. Pada beberapa kasus,
dividen yang tidak terbayar dapat diganti dengan hak suara dalam RUPS.
e. Jika kita melihat suatu laporan rugi laba (income statement), pemegang obligasi
akan menerima terlebih dahulu hak-nya, setelah itu baru pemegang saham
preferen relatif stabil, namun dividen saham biasa relatif berfluktuasi. Dengan
pertimbangan dua hal tersebut, jika suatu perusahaan menerbitkan sekaligus
ketiga jenis sekuritas tersebut, obligasinya akan memiliki risiko terkecil, saham
preferennya memiliki risiko lebih besar dan saham biasanya memiliki risiko
terbesar.

1.2.3 Sekuritas Turunan (Derivative Securities)


Bila investor yang memiliki kas surplus yang memilih pada investasi langsung maka
selain bisa memilih investasi di instumen yang ada di pasar uang dan pasar modal, bisa
juga pada sekuritas turunan, yaitu sekuritas yang nilainya dikaitkan dengan aktiva atau
sekuritas lainnya (sekuritas utama seperti obligasi dan saham). Sekuritas turunan yang
banyak diperjualbelikan adalah (1) option, (2) futures. Tujuan utama diciptakannya
sekuritas turunan adalah untuk melakukan hedging (pengurangan risiko). Namun pada
perkembangan lebih lanjut, sekuritas ini justru banyak digunakan sebagai alat spekulasi.
a. Option adalah suatu kontrak antara dua pihak, yakni pihak penjual option (option
writer) dan pihak pembeli option (option holder) untuk melakukan transaksi jual
atau beli suatu aktiva tertentu pada harga dan tanggal penyerahan yang telah
disepakati. Ada dua macam kontrak option: (1) call option, dan (2) put option.
Call option memberikan hak kepada pemegangnya membeli suatu aktiva pada
harga dan pada waktu (atau selama suatu periode waktu) yang telah disepakati.
Put option sebaliknya memberikan hak kepada pemegangnya untuk menjual.
Untuk memperoleh hak (opsi) tersebut, pembeli option harus membayar premi
kepada option writer.
b. Sekuritas perusahaan yang memiliki sifat seperti call option adalah warrant.
Warrant adalah suatu sekuritas yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk
membeli saham perusahaan penerbit warrant tersebut pada harga yang telah
disepakati pada waktu atau selama periode waktu yang telah ditentukan.
c. Futures adalah suatu kontrak antara dua pihak untuk melakukan transaksi
(penjualan atau pembelian) terhadap suatu aktiva di masa mendatang dimana
harga telah disepakati hari ini. Misalnya, anda membeli (atau dapat pula menjual,
tergantung kebutuhan anda) US $ 1.000 secara futures dari BI untuk penyerahan 3
bulan mendatang dengan harga Rp 10.000/US $ (futures rate). Tiga bulan
mendatang, berapapun kurs yang belaku, anda harus melaksanakan kewajiban
anda untuk membeli US $ 1.000 pada harga Rp 10.000/US $
d. Perbedaan utama option dengan futures adalah pada option, pemegang option
boleh memilih untuk menggunakan atau tidak menggunakan hak beli/jualnya,
sedangkan pada futures, pembeli futures harus melaksanakan kewajibannya
(obligation)
1.3. SUMBER DANA DAN SISTEM KEUANGAN

Secara umum terdapat tiga bentuk usaha yang biasanya terjadi dalam kegiatan sehari-hari
adalah sebagai berikut :
1) Perusahaan perseorangan (Sole Proprietorship), merupakan bentuk usaha yang paling
terkecil atau bentuk awal dari setiap usaha. Biasanya sumber dana berasal dari pemilik
usaha dan masih terbatas.
2) Persekutuan (Partnership), merupakan bentuk usaha dalam bentuk kerjasama antara
yang berbagai partner , besarnya dana akan bertambah besar .
3) Perseroan Terbatas (Corporation), bila bentuk usaha adalah PT keuntungannya:
(a) Tanggung jawab terhadap hutang perusahaan yang terbatas dari pemegang saham
(pemilik perusahaan) yaitu sebesar modal yang disetor
(b) Usia perusahaan tidak terbatas
(c) Pemindahan kepemilikan yang mudah dengan cara menjual saham di bursa efek
(d) Lebih mudah mengumpulkan dana dalam jumlah besar
(e) Lebih mudah memperoleh manajemen yang profesional

Lembaga dan mekanisme yang memungkinkan terciptanya aliran dana dari pihak yang
memiliki dana berlebih (surplus) kepada pihak yang memerlukan dana dimana proses
pemindahan dana secara cepat dan paling efisien disebut pasar keuangan, pedoman yang
perlu diperhatikan bagi seorang Manajer Keuangan dalam pengelolaan dana yang baik
dalam perusahaan yaitu harus mengelola dana secara konservatif. Di sini dituntut disiplin
dalam penggunaan dana yaitu sumber dana jangka panjang dan setoran modal harus
digunakan untuk penggunaan /investasi dan jangka panjang juga seperti untuk pembelian
tanah, pembuatan bangunan kantor dan pabrik, pembelian mesin produksi, dan untuk
ekspansi usaha.
Sedangkan sumber dana jangka pendek hanya digunakan bagi penggunaan dana dalam
operasional perusahaan yang bersifat jangka pendek pula (untuk modal kerja). Yang
paling fatal dan tidak boleh dilakukan adalah sumber dana jangka pendek seperti:
pinjaman modal kerja dari bank digunakan untuk penggunaan/investasi jangka panjang
karena hal ini akan sangat mengganggu likuiditas perusahaan.

1.4. PASAR MODAL INDONESIA


Pasar modal merupakan kegiatan yang mempertemukan penjual dan pembeli dana
jangka panjang. Dalam pengertian yang lebih luas Pasar Modal adalah keseluruhan
sistem keuangan yang terorganisasi termasuk bank-bank komersial dan semua perantara
dibidang keuangan serta surat-surat berharga jangka panjang. Pasar modal
memungkinkan para pelakunya untuk memperoleh manfaat seperti pendanaan jangka
panjang, secara makro pasar modal juga merupakan sarana pemerataan pendapatan serta
alternative investasi bagi pemodal.

1.4.1 Keuntungan dan Kerugian berinvestasi di Pasar Modal


Memperoleh Dividen yaitu bagian keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada
pemegang saham , memperoleh Capital Gain yaitu keuntungan yang diperoleh dari
hasil jual beli saham, berupa selisih antara nilai jual yang lebih tinggi daripada nilai
beli saham. Nilai atau harga saham meningkat sejalan dengan waktu dan sejalan
dengan perkembangan atau kinerja perusahaan. Saham, dapat dijadikan jaminan
(agunan) ke bank untuk memperoleh kredit, baik agunan pokok atau agunan
tambahan. Memperoleh Capital Loss yaitu kerugian yang diderita dari hasil jual beli
saham, berupa selisih antara nilkai jual yang lebih rendah daripada nilai beli saham .
Menghadapi Opportunity Loss, kerugian karena memilih alternatif berinvestasi di
Pasar Modal bila dibandingkan menanamkan dananya dalam deposito. Kerugian yang
timbul apabila perusahaan dilikuidasi, namun nilai likuidasinya lebih rendah dari
harga beli saham.

Sesuai dengan Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995 Perusahaan Efek terdiri
dari:
a. Penjamin Emisi Efek (Underwriter)
b. Perantara Pedagang Efek (Broker dan Dealer)
c. Manajer Investasi (Fund Manager)

1.4.2 Penjamin Emisi Efek


Penjamin emisi efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk
melakukan penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban
untuk membeli sisa efek yang tidak terjual (Undang Undang No. 8/1995 tentang Pasar
Modal).

Kegiatan Penjamin Emisi Efek, adalah:


- Melakukan penjaminan terhadap efek yang akan diemisikan
- Membantu emiten dalam rangka mempersiapkan pernyataan pendaftaran berikut
dokumen pendukungnya
- Memberikan konsultasi dibidang keuangan seperti jumlah dan jenis efek yang akan
diterbitkan, bursa yang akan dipilih untuk mencatatkan efek, jadwal emisi,
penunjukan lembaga/profesi penunjang lain, metode pendistribusian efek dan
sebagainya
- Melakukan evaluasi terhadap kondisi perusahaan antara lain keuangan, pemasaran
dan produksi berikut prospeknya
- Menentukan harga saham bersama-sama emiten.

Menteri Keuangan

Badan Pengawas Pasar Modal


(BAPEPAM)
13
Self Regulatory Organization (SRO)

Bursa Efek Lembaga Lembaga


BES & BEJ Kliring & Penjaminan Penyimpanan & Penyelesaian
(LKP) – PT.KPEI (LPP) – PT. KSEI

Perusahaan Efek Lembaga Penunjang Profesi penunjang Pemodal Emiten


Penjamin Emisi Efek Biro Administrasi Efek Akuntan Publik Domestik Perusahaan-Publik
Perantara Pedagang Efek Pemeringkat Efek Konsultan Hukum Asing Reksa Dana
Manajer Investasi Bank Kustodian Penilai
Wali Amanat Notaris
Penanggung Profesi lain yang ditetapkan PP

Selanjutnya BEJ yang berdiri sejak 1912, pada tahun 2007, tepatnya 1 Desember 2007
digabung dengan BES , menjadi Bursa Efek Indonesia atau dikenal dengan nama BEI.
Sedangkan Bapepam sejak 2011 dialihkan kegiatan kepada OJK atau Otoritas Jasa
Keuangan Indonesia. Pada kegiatan utama BEI dan OJK hampir melakukan kegiatan
yang sama dengan yang dijelaskan sebelumnya.

Jenis Penjaminan Emisi Efek, adalah:


- Kesanggupan penuh (Full commitment), penjamin emisi efek bertanggung jawab penuh
terhadap penjualan efek dan akan membeli semua efek yang tidak terjual pada waktu
penawaran umum.
- Kesanggupan terbaik (Best effort commitment), penjamin emisi efek akan melakukan
penjualan efek sebaik-baiknya dan akan mengembalikan sisa efek yang tidak terjual habis
pada suatu penawaran umum.

Bentuk Penjamin Emisi Efek, adalah:


- Penjamin pelaksana emisi efek (Managing underwriter)
- Penjamin emisi efek (Underwriter)

1.4.3 Perantara Pedagang Efek

14
Perantara pedagang efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli efek
untuk kepentingan sendiri atau pihak lain (Undang undang No. 8/1995 tentang pasar
modal)

Kegiatan perantara pedagang efek adalah:


- Melaksanakan order jual atau beli untuk para nasabah
- Melakukan order jual atau beli untuk kepentingan dirinya sendiri
- Memberikan rekomendasi atas suatu pembelian atau penjualan efek pada para
nasabah

1.4.4 Manajer Investasi (Fund Manager)


Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio efek untuk
para nasabah atau mengelola portofolio investasi kolektif untuk sekelompok nasabah,
kecuali perusahaan asuransi, dana pensiun dan bank yang dapat melakukan sendiri
kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kegiatan manajer investasi adalah:


- Mengelola portofolio efek untuk para nasabah
- Mengelola portofolio investasi kolektif bagi para nasabah
- Membuat kontrak dengan bank kustodian untuk mendirikan reksa dana
1.4.5 Lembaga Penunjang Pasar Modal
a. Biro Administrasi Efek
Biro Administrasi efek sangat membantu semua pihak yang terlibat langsung maupun
tidak langsung dalam kegiatan Pasar Modal dan Pasar Uang. Sebenarnya fungsi
administrasi efek telah dilakukan oleh masing-masing organisasi atau perusahaan yang
terlibat dalam kegiatan Pasar Modal, tetapi terbatas pada kepentingan perusahaan atau
organisasi yang bersangkutan sesuai dengan fungsi mereka masing-masing dalam
Pasar Modal, tetapi hal ini tidak dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi.
b. Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO)
Lembaga ini memberikan peringkat atas efek yang bersifat hutang (obligasi) yang
diterbitkan berdasarkan kesehatan perusahaan dan kemampuan perusahaan untuk
memenuhi kewajibannya terhadap pemodal. Dengan adanya peringkat ini akan
memberikan informasi dan mempermudah para pemodal untuk meneliti mengenai
kondisi perusahaan yang menerbitkan efek tersebut. Secara internasional suatu efek
menggunakan simbol tertentu yang memberikan gambaran mengenai kualitas efek
tersebut, yaitu:
- AAA = Peringkat tertinggi
- AA = Peringkat tinggi
- A = Menengah, atas, sehat
- BBB = Menengah, kualitas baik, sedikit ketidakpastian
- BB = Cukup, lebih spekulatif
- CCC = Spekulatif, kurang baik
- CC = Spekulatif, peka untuk kemacetan
- C = Sangat spekulatif, hampir macet
- D = Hampir pailit/pailit

d.Bank Kustodian
Peranan kustodian adalah melindungi harta nasabah yang disimpannya, atas nama
nasabah, mengurus hak-hak yang melekat pada harta nasabah tersebut, dan menjalankan
tugas berdasarkan perjanjian yang telah ditandatangani bersama dengan nasabah.

e.Wali Amanat
Wali Amanat mewakili dan melindungi kepentingan para pemegang obligasi sesuai
dengan ketentuan yang tercantum dalam akte perjanjian perwaliamanatan dengan emiten,
menilai dan mengawasi jaminan yang diberikan emiten.

f.Penanggung (Guarantor)
Peranan penanggung diperlukan dalam emisi obligasi. Kehadiran penanggung
mutlak diperlukan apabila perbandingan antara hutang termasuk obligasi yang
diterbitkan dengan total aktiva emiten melebihi 80%. Oleh karena jaminan yang
diberikan oleh penanggung adalah bersifat pribadi, maka bonafiditasnya sangat
diperlukan. Dalam peraturan pasar modal, jaminan garansi hanya dapat diberikan oleh
lembaga keuangan bukan bank dan bank yang telah memperoleh ijin dari Menteri
Keuangan. Sesuai dengan fungsinya, penanggung memberikan jaminan kepada para
pemegang obligasi (kreditur) untuk membayar pokok pinjaman dan bunga obligasi
apabila emiten tidak dapat memenuhi kewajibannya atau cedera janji.

g.Akuntan Publik
Akuntan Publik memeriksa laporan keuangan perusahaan sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan (SAK) yang diterapkan secara konsisten, bersifat independen dan
tidak memihak dalam pelaksanaan pekerjaannya serta memberikan pernyataan pendapat
apakah laporan keuangan tersebut disajikan secara wajar (unqualified opinion)
h.Konsultan Hukum
Konsultan Hukum menyatakan pendapatnya tentang keadaan perusahaan dari segi hukum
seperti keabsahan kekayaan perusahaan, kelengkapan perijinan, kasus-kasus tuntutan
hokum terhadap perusahaan yang mungkin ada dan lain-lain.

i.Penilai (Appraisal)
Penilai melakukan penilaian terhadap kekayaan sebenarnya dari perusahan yang go
public berdasarkan nilai wajar.

j.Notaris
Notaris membantu membuatkan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh perusahaan
seperti akte perusahaan, anggaran dasar, perjanjian penjaminan emisi antara perusahaan
dan penjamin emisi.

k.Pasar Perdana
Penawaran surat berharga oleh penjamin emisi dibantu oleh broker pertama kali dibeli
oleh kumpulan individu dan lembaga investasi.
l.Pasar Sekunder
Transaksi surat berharga yang terjadi di pasar modal yang tidak akan mempengaruhi
posisi keuangan perusahaan Transaksi antar investor Capital Gain (terutama).
Pengaruhnya hanya pada: Komposisi kepemilikan saham perusahaan.

1.4.6. Proses Emisi Saham

Dep
Teknis
BKPM
Dep. - Pernyt. Pendaftaran
- Anggaran Dasar
- Susunan Organisasi BAPEPAM
EMITEN Penjamin Emisi - Izin Usaha Pemeriksaa
- Rancangan Propektus n dan
- Rancangan Perjanjian Evaluasi

LEMBAGA PENUNJANG
Notaris
PASAR PERDANA
- Penyebaran Prospektus
Valuer/Appraisal
- Iklan Ringkasan IZIN EMISI
Akuntan Publik
- Prospektus
Konsultan Huku
- Penawaran Umum
Agen Penjualan
- Penjatahan
- Laporan Pasar Perdana
- Listing
Sesuai dengan perubahan yang ada sejak 2011, Bapepam diganti fungsinya oleh Otoritas
Jasa Keuangan Indonesia (OJK).

a.Tujuan Pasar Modal Indonesia:


1. Mempercepat proses perluasan pengikutsertaan masyarakat dalam pemilikan
saham perusahaan
2. Pemerataan pendapatan masyarakat melalui pemerataan pemilikan saham
3. Menggairahkan partisipasi masyarakat dalam pengerahan dan penghimpunan
dana untuk digunakan secara produktif
b.Undang-undang dan .Peraturan Pelaksanaan Pasar Modal di Indonesia
Pedoman pokok dalam penyelenggaraan pasar modal di Indonesia yaitu Undang-undang
No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal terdiri dari 18 Bab dan 116 pasal yang mulai
berlaku tanggal 2 Januari 1996 yang merupakan pengganti undang-undang yang lama.
Untuk petunjuk pelaksanaannya pemerintah telah mengeluarkan 2 Peraturan Pemerintah,
3 surat Keputusan Menteri Keuangan dan 100 Keputusan Ketua Bapepam.

2 Peraturan Pemerintah dan 3 Keputusan Menteri Keuangan, yaitu:


a. PP No. 45/1995 tentang “Penyelenggaraan kegiatan dibidang pasar modal”
b. PP No. 46/1995 tentang “Tata cara pemeriksaan di bidang pasar modal”
c. SK Menkeu No. 645/KMK 010/1995 “Pencabutan SK No. 1548/KMK 013/1990
tentang pasar modal”
d. SK Menkeu No. 646/KMK 010/1995 tentang “Pemilikan Saham atau Unit
Penyertaan Reksa Dana oleh pemodal asing”
e. SK Menkeu No. 647/KMK 010/1995 tentang “Pemilikan saham perusahaan efek oleh
pemodal asing”

Undang-undang No. 8 tahun 1995 berisi tentang:


- Kewenangan BAPEPAM
- Pemisahan Lembaga Kliring Penyimpanan dan Penyelesaian (LKPP) menjadi
Lembaga Kliring Penimpanan (LKP) dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelasaian
(LPP) dan Reksa Dana terbuka
- Bursa efek, LKP dan LPP sebagai Self Regulatory Organization (SRO)/mempunyai
kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

c.Instrumen di Pasar Modal Indonesia


Instrumen yang ada di Pasar Modal Indonesia yaitu efek yang terdiri dari:
1. Saham
2. Obligasi dan obligasi konversi
3. Bukti right
4. Waran

Menurut Keputusan Presiden Nomor 53 tahun 1990 tanggal 10 Nopember 1990 dan
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/KMK.013/1990 tentang Pasar Modal
tanggal 4 Desember 1990, definisi efek adalah setiap surat pengakuan hutang, surat
berharga komersial, saham obligasi sekuritas kredit, tanda bukti hutang, setiap rights,
warrant, opsi atau setiap turunan/derivatif dari efek, atau setiap instrument yang
ditetapkan oleh BAPEPAM.

Ad. a. Saham
Saham adalah surat berharga yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaaan yang berbentuk
perseroan terbatas atau yang biasa disebut emiten. Saham menyatakan bahwa
pemilik saham tersebut juga pemilik sebagian dari perusahaan itu. Dengan demikian
kalau seorang investor membeli saham, maka dia juga menjadi pemilik/pemegang saham
perusahaan. Saham ada dua macam yaitu saham atas nama dan saham atas tunjuk. Pada
saat ini saham-saham yang diperdagangkan di bursa efek adalah saham atas nama, yaitu
saham yang nama pemilik saham tertera di atas saham tersebut

Ad. b. Obligasi
Obligasi merupa kan suatu surat pengakuan hutang atas pinjaman yang diterima oleh
perusahaan penerbit obligasi dari masyarakat, jangka waktu obligasi telah ditetapkan dan
disertai dengan pemberian imbalan bunga yang jumlah dan saat pembayarannya juga
telah ditetapkan dalam perjanjian. Obligasi ini dapat diterbitkan oleh Negara seperti yang
sekarang kita kenal dengan Surat Utang Negara (SUN), Badan Usaha Milik Negara
(BUMN), misalnya obligasi yang diterbitkan PT. JASA MARGA, dan perusahaan swasta
seperti PT. ASTRA INTERNASIONAL.
Obligasi konversi adalah bukti hutang suatu perusahaan yang mengandung janji
pembayaran bunga dan dapat dituka r dengan saham biasa perusahaan dengan harga
dan jangka waktu yang ditentukan.

Ad. c. Bukti Right


Bukti Right atau yang biasa dikenal dengan Bukti Hak Memesan Terlebih Dahulu adalah
hak yang melekat pada saham yang memungkinkan para pemegang saham untuk
membeli saham baru yang akan diterbitkan oleh perusahaan sebelum saham-saham
tersebut ditawarkan kepada pihak lain. Jika pemegang saham tidak bermaksud untuk
menggunakan haknya (membeli saham), maka bukti right yang dimiliki dapat
diperjualbelikan di bursa.

Ad.d. Waran
Menurut peraturan BAPEPAM, waran adalah efek yang diterbitkan oleh suatu
perusahaan yang memberi hak kepada pemegang efek untuk memesan saham dari
perusahaan tersebut pada harga tertentu untuk enam bulan atau lebih. Waran memiliki
karakteristik opsi yang hampir sama dengan Sertifikat Bukti Right (SBR), dengan
perbedaan utama antara lain pada jangka waktu SBR merupakan instrumen jangka
pendek (umumnya umur SBR kurang dari 6 bulan), sedang waran adalah jangka panjang
(umumnya umur waran antara 6 bulan hingga 5 tahun).

1.5. PERPAJAKAN DI INDONESIA

Salah satu sumber penerimaan negara yang biasanya terlihat pada Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara adalah pajak yang digunakan untuk mendukung
pembangunan nasional dari tahun ke tahun bagi kepentingan bersama. Pajak adalah
iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang dengan tidak
mendapatkan jasa timbale (kontra prestasi) yang berlangsung dapat ditunjukkan dan
digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Ada dua fungsi pajak, yaitu:


1. Fungsi penerimaan (Budgetair), pajak berfungsi sebagai sumber dana yang
diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
2. Fungsi mengatur (Reguler), pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau
melaksanakan kebijakan dibidang sosial ekonomi.

Perpajakan di Indonesia meliputi ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang


berlaku dibidang perpajakan mulai dari ketentuan pajak umum perpajakan, pajak
penghasilan, pajak pertambahan nilai barang jasa, dan pajak penjualan atas barang
mewah, bea materai, dan pajak bumi dan bangunan.

Jenis-jenis pajak di Indonesia, yaitu:


A. Pajak Penghasilan (PPh).
PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh Pasal 24, PPh Pasal 25, PPh Pasal 26
dan PPh Final.
B. Pajak Pertambahan Nilai.
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPn BM) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam negeri, baik
konsumsi barang maupun konsumsi jasa.

Contoh : Pajak Penghasilan Badan


Undang-undang yang digunakan mengenai Ketentuan umum dan Tata Cara
Perpajakan adalah Undang-undang Republik Indonesia nomor 16 tahun 2000 dan untuk
Pajak Penghasilan menggunakan Undang-undang Republik Indonesia nomor 17 tahun
2000 mengenai sistem pemungutan pajak di Indonesia, khususnya Pajak Penghasilan
(PPh), berdasarkan sistem “self assessment”. Dalam sistem tersebut, masyarakat Wajib
Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk menghitung, memperhitungkan,
membayar dan melaporkan pajak yang harus dibayar.
Tarip Pajak yang berlaku mulai 1 Januari 2001 yang ditetapkan atas Penghasilan
Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebagai
berikut:

Laporan Penghasilan kena Pajak Tarip Pajak


- Sampai dengan Rp 50.000.000 10%
- Di atas Rp 50.000.000 s.d. Rp 100.000.000 15%
- Di atas Rp 100.000.000 30%

Contoh: PPh Wajib Pajak Badan,


PT. ABC dalam tahun pajak 2004 menerima atau memperoleh penghasilan
kena pajak Rp 175.000.985,- untuk penetapan tarip, Penghasilan Kena Pajak
dibulatkan menjadi Rp 175.000.000 sehingga Pajak Penghasilan yang terutang adalah
sebagai berikut:

10% x Rp 50.000.000 = Rp 5.000.000


15% x Rp 50.000.000 = Rp 7.500.000
30% x Rp 75.000.000 = Rp 22.500.000 +
Jumlah = Rp 35.000.000
1.6. Latihan

Soal Essay.

1. Jelaskan definisi dari keuangan, major area-nya dan opportunity yang tersedia , dan bentuk
legal dari organisasi bisnis.

2. Jelaskan fungsi manajemen keuangan dan hubungan antara economics dan accounting.

3. Identfikasi aktivitas primer dari seorang manajer keuangan.

4. Jelaskan perbedaan pasar keuangan dan pasar modal.

5. Jelaskan dampak pajak bagi keberlangsungan suatu perusahaan.


Bab II

Time Value of Money

Keterbatasan waktu, merupakan kata yang sering digunakan , sehingga betapa


penting waktu bagi perusahaan atau bagi para manajer keuangan dalam mengelola
sumber daya perusahaan berupa uang. Konsep Time Value of Money sebagai konsep
penting dalam manajemen keuangan. Konsep nilai waktu dari uang merupakan salah satu
konsep yang banyak digunakan dalam pembahasan konsep capital budgeting dan konsep
keuangan lainnya. Konsep time value of money pada prinsipnya nilai uang akan berubah
dikarenakan pengaruh waktu, sehingga seorang investor akan lebih senang menerima
uang Rp 1.000 hari ini daripada sejumlah uang yang sama setahun mendatang. Berarti
Seorang Investor dapat menginvestasikan uang tersebut pada suatu tingkat keuntungan
sehingga setahun mendatang uang Rp 1.000 telah menjadi lebih besar dari Rp 1.000.
Dapat disimpulkan bahwa uang memiliki nilai waktu.
Konsep nilai waktu uang ini sangat penting untuk dipahami oleh seorang manajer
keuangan. Konsep ini merupakan dasar untuk: (1) menghitung harga saham, (2) harga
obligasi, (3) memahami metode Net Present Value, (4) melakukan analisis komparatif
antara beberapa alternatif, (5) perhitungan bunga atau tingkat keuntungan, (6)
perhitungan amortisasi utang dan masih banyak kegunaan lain. Begitu pentingnya
pemahaman terhadap konsep nilai waktu uang ini sehingga banyak ahli menganggap
bahwa konsep present value merupakan dasar (corner stone) ilmu keuangan perusahaan,
lebih ditekankan pada dua hal yaitu : compound value atau nilai majemuk (future value)
dan present value.
2.1. Nilai Majemuk atau Future Value
Future value adalah kas yang akan diterima pada tanggal atau waktu yang akan
datang. Uang yang didepositokan hari ini (present value atau PV) akan berkembang
menjadi sebesar future value karena mengalami proses bunga berbunga (compounding).
Jadi future value adalah nilai di masa mendatang dari uang yang ada sekarang. Future
value dapat dihitung dengan konsep bunga majemuk (bunga berbunga) dengan asumsi
bunga atau tingkat keuntungan yang diperoleh dari suatu investasi tidak diambil
(dikonsumsi) tetapi diinvestasikan kembali.

Rumus untuk menghitung future value adalah:

FVn = PV (1+k)n

dimana:
FVn = Future Value periode ke n
PV = present value
k = suku bunga
n = periode penggandaan/compounding

Untuk memudahkan menghitung future value , maka factor (1+k) n dapat dihitung
menggunakan tabel Future Value Interest Factor atau Tabel FVIF . Nilai (1+k) n
adalah future value Interest factor (FVIF).

Contoh penggunaan tabel FVIF:

FVIF untuk k = 10% dan n=3


Period 1% 2% …. 10%

1
2
.
.
.
5 1,0927

Contoh:
Asep mendepositokan uang sebesar Rp 1 juta ke salah satu bank yang menghasilkan suatu
tingkat bunga 10% per tahun. Tingkat bunga ini tetap selama 3 tahun. Diasumsikan pula Asep
bahwa deposito yang dilakukan dengan roll over. Berapa uang Asep 3 tahun mendatang?

Jawab:
0,1 0,1 0,1

0 1 2 3
1 juta FV-3 = ?

FV-3 = 1.000.000 (1+0,1)3


= 1.092.700
atau gunakan bantuan tabel FVIF
FV-3 = 1.000.000 (FVIF, 10%,3)
= 1.000.000 (1.331)
= 1.331.000
Perlu dicatat bahwa rumus untuk menghitung future value di atas mengasumsikan bahwa
suku bunga tidak berubah selama periode perhitungan.

2.2. Nilai sekarang atau Present Value

Present Value adalah nilai rupiah saat ini , nilai rupiah saat ini lebih tinggi
dibanding rupiah yang akan diterima besok, karena nilai rupiah saat ini bisa
diinvestasikan untuk memperoleh nilai dimasa yang akan datang. Perhitungan dengan
istilah didiskon, dan tingkat diskon sering dikenal dengan istilah discount rate, required
return, dan cost of capital. Present value adalah kebalikan dari future Value. Proses
mencari present value disebut sebagai melakukan proses diskonto (discounting). Present
value dapat diartikan sebagai nilai sekarang dari suatu nilai yang akan diterima atau
dibayar dimasa mendatang.

Discounting adalah proses menghitung nilai sekarang dari sejumlah uang yang akan
diterima/dibayar dimasa mendatang. Rumus menghitung present value:

Pada perhitungan PV, k sering disebut tingkat diskonto.

Nilai adalah Present Value Interest Factor (PVIF) yang nilainya dapat dicari
dengan bantuan table PVIF.

PV = FVn . (PVIF)
Contoh penggunaan tabel PVIF:

PVIF untuk k = 10%, n=3


Period 1% 2% ... 10%
1

3 0,7513

Contoh:
Perusahaan harus membayar pokok pinjaman sebesar Rp 100 juta, pada 3 tahun
mendatang. Berapa present value dari pembayaran tersebut jika diasumsikan
opportunity cost atau tingkat keuntungan pada investasi perusahaan adalah 10% dan
suku bunga ini tetap selama 3 tahun mendatang.
Jawab:
PV = FV-3/(1+k)3
= 100.000.000/(1+0,1)3
= 75.130.000
atau menggunakan bantuan tabel A-1:
PV = FV-3 (PVIF), 10%,3)
= 100.000.000 (0,7513)
= 75.130.000

2.3. Annuitas

Annuitas atau annuity adalah suatu seri penerimaan/pembayaran sejumlah uang


yang tetap untuk suatu periode waktu tertentu.

Jika penerimaan atau pembayaran terjadi pada akhir setiap periode, annuitasnya disebut
annuitas biasa (ordinary of deferred annuity)

PVA FVAn
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
x x x x x
x = penerimaan/pembayaran

Rumus untuk menghitung ordinary annuity adalah:

dimana:
FVAn = Future Value Annuity ordinary
PMT = penerimaan/pembayaran
k = suku bunga
n = periode waktu

disebut Future Value Interest Factor Annuity (FVIFA) yang dapat


dicari

dengan bantuan table FVIFA.

FVAn = PMT (FVIFA) k,n)

Contoh:
Selama 3 tahun berturut-turut sejak tahun ini (t=0) perusahaan menerima pembayaran bunga
sebesar Rp 1 juta. Berapa future value dari rangkaian pembayaran ini jika diasumsikan: (1)
opportunity cost perusahaan 10%, (2) pembayaran bunga dilakukan pada akhir tahun?

0,1 0,1 0,1

0 1 2 3
1 juta 1 juta 1 juta
FVA = ?

Hitung dengan bantuan tabel FVIFA:


FVA-3 = PMT (FVIFA, 10%,3)
= 1.000.000 (3,64)
= 3.640.000
Perhitungan dengan computer (Program Excel)
Jika akhir tahun (ordinary)

= FV (10%,3,1 juta)

Jika awal tahun (due)

= FV (10%,3,1 juta, 1)

Present Value Annuity yang ordinary dapat dihitung dengan rumus:

Nilai disebut present value Interest Factor Annuity (PVIFA) yang

dapat dicari dengan bantuan tabel PVIFA.


PVA = PMT . (PVIFA, k, n)

Contoh:
Melanjutkan soal future value annuity di depan. Dengan data yang sama kecuali
opportunity cost diganti menjadi 15%, hitunglah present value dari sejumlah
penerimaan pembayaran bunga tersebut?
Jawab:
0,15 0,15 0,15
0 1 2 3
PVA 1 juta 1 juta 1 juta

dengan bantuan table PVIFA:


PVA = PMT (PVIFA, 15%,3)
= 1.000.000 (2,2832)
= 2.283.200
Perhitungan dengan komputer (program Excel)
= PV (15%, 3, 1 juta)

Jika penerimaan atau pembayaran terjadi pada awal setiap periode, annuitasnya disebut
annuity due.

PVA (due) FVAn(due)


‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
x x x x x x

Rumus menghitung annuity due:

FVAn(due) = PMT . (FVIFA, k, n)

dan
PVA(due) = PMT . (PVIFA, k, n)

Contoh:
Melanjutkan kedua soal di depan tetapi diasumsikan bahwa penerimaan pembayaran
bunga dilakukan pada awal tahun.

0,1 0,1 0,1


0 1 2 3
1 juta 1 juta 1 juta
FVA = ?

dengan bantuan tabel FVIFA:


FVA-3(due) = 1.000.000 (FVIFA, 10%,3)(1+0,1)
= 1.000.000 (3,64)(1,1)
= 4.005.000

0,15 0,15 0,15


0 1 2 3
I juta 1 juta 1 juta
PVA = ?

dengan bantuan tabel PVIFA:


PVA-3(due) = 1.000.000 (PVIFA, 15%,3)(1+0,15)
= 1.000.000 (2,2831)(1,15)
= 2.625.700

2.4. Perpetuity
Kondisi akan berbeda bila ada pembayaran selama-lamanya atau dikenal dengan
perpetuity, yaitu suatu annuitas yang berlangsung sampai periode waktu tak
terhingga. Dengan demikian pembayaran (PMT) dari suatu perpetuity adalah tak
terhingga jumlahnya.

Rumus menghitung present value suatu perpetuity:

PV (perpetuity) = PMT/k

dimana:
PMT = payment
k = suku bunga atau tingkat diskonto
Perlu dicatat bahwa PMT dan k harus sama periode waktunya. Jika PMT setiap tahunan, k
juga suku bunga per tahun. Jika PMT setiap bulanan, k harus suku bunga per bulan.

Contoh:
Pak Andito menerima royalty buku karangannya sebesar 1 juta per tahun. Diasumsikan
penerimaan ini tetap dan berlangsung terus hingga turun temurun (buku ini laku terus
sepanjang masa). Berapa present value dari royalty buku ini jika opportunity cost pak Andito
10% dan tidak berubah sepanjang masa?

Jawab:
Royalti buku bersifat tak terhingga dan jumlahnya tetap. Ini merupakan ciri-ciri perpetuitas.
PV = PMT/k
= 1.000.000/0,1
= 10.000.000

2.5. Periode Compounding/Discounting Tidak Tahunan

Bunga majemuk atau compounding dan discounting tidak selalu tahunan, tapi bisa
harian, mingguan, bulanan atau tengah tahunan. Semakin singkat periode compounding,
semakin menguntungkan penabung atau investor karena bunga segera diterima dan dapat
diinvestasikan kembali. Dengan demikian, untuk bunga yang sama, misalnya sebesar
10%, tabungan yang menawarkan bunga yang dibayar harian akan lebih menarik
daripada tabungan bunga yang dibayar bulanan. Untuk periode compounding/discounting
yang tidak tahunan perlu suatu modifikasi.

FVn = PV (1+k)n menjadi:

FVn = PV (1 + kNom/m)m.n

dimana:
knom = suku bunga nominal/tahun
m = berapa kali bunga dibayar dalam 1 tahun
n = periode (dalam tahun)
Dengan bantuan tabel, k = kNom/m
n = m.n
Untuk present value:

PV =

Contoh:
Amirudin menabung Rp 1 juta dengan bunga 10% per tahun dan tidak berubah. Bunga tidak
pernah diambil. Berapa future value dari tabungan Amirudin pada akhir tahun ke 2?

Jawab:
0,5 0,5 0,5 0,5
0 1 2

Bunga tabungan 5% per 6 bulan


Periode = 2 tahun (2) = 4 periode enam bulanan
FV = 1.000.000 (FVIFA, 5%, 4)
= 1.000.000 ( 1,2155)
= 1.215.500

Jika sejumlah uang digandakan (compounding) atau di diskonto (discounting) secara terus
menerus (continuously):
m=
PV =
dan
FVn = V.ek.n
dimana:
e = 2,7183
k = suku bunga
n = periode

Effective Annual Rate (EAR)


EAR adalah suku bunga yang menghasilkan nilai yang sama dengan penggandaan
(compounding)secara tahunan atau suku bunga tahunan yang benar-benar dinikmati oleh
investor.

EAR = (1+kNom/m)m-1
dimana:
kNom = suku bunga pertahun
m = berapa kali dalam setahun bunga dibayar

Contoh:
Bunga tabungan 12%, bunga dibayar setiap 3 bulan
Knom = 12%
m = =4
EAR = (1 + 12%/4)4 – 1
= 12,55%
Jadi investor sebenarnya menikmati bunga tahunan 12,55%, bukan 12%.

2.6. Utang yang Teramortisasi (amortized loan)


Utang yang teramortisasi atau amortized loan adalah hutang dibayar kembali
dalam jumlah yang sama secara periodic dari waktu ke waktu. Jumlah setiap
pembayaran, PMT, dicari dengan rumus:

PVA = PMT (PVIFA, k,n)


maka:
PMT =

PVA adalah nilai sekarang dari annuitas

Contoh:
Asep membayar uang Rp 1 juta bila dibayar tunai untuk pembayaran rumah yang akan
dibelinya, bila menggunakan KPR (kredit pemilikan rumah) sebuah bank dan harus
membayar bunga 6% per tahun, dimana bunga dihitung dari saldo utangnya (utang yang
masih tersisa). Asep mengangsur pembayaran bunga serta pokok pinjaman sebesar Rp x
setiap tahun selama 3 tahun. Angsuran pertama dilakukan tahun mendatang. Berapakah x?
Jawab:
PVA = 1.000.000
PMT = VA/PVIFA, 6%,3
= 1.000.000/2,6730
= 374.110
Dengan program Excel , digunakan rumus:
= PMT (6%, 3, 1)
Setiap pembayaran digunakan sebagian untuk membayar bunga dan sebagianlagi untuk
mengembalikan pokok pinjaman. Pemecahan ini dikembangkan dalam suatu jadual
amortisasi hutang (loan amortization schedule).

Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya, kita dapat membuat skedul amortisasi sebagai berikut:

Akhir Tahun Angsuran Bunga Pokok Pinjaman Saldo Hutang


1 374.110 60.000 314.110 685.890
2 374.110 41.154 332.956 352.934
3 374.110 21.176 352.934 0

oo0oo
2.7. Latihan Time Value of Money

Soal Essay
1. Calculate the future value of $4,600 received today if it is deposited at 9 percent for three
years/.

2. Calculate the present value of $89,000 to be received in 15 years, assuming an opportunity


cost of 14 percent.

3. Jeanie has deposited $33,000 today in an account which will earn 10 percent annually. She
plans to leave the funds in this account for seven years earning interest. If the goal of this
deposit is to cover a future obligation of $65,000, what recommendation would you make
to Jeanie?

4. EcoSystems, Inc. is preparing a five-year plan. Today, sales are $1,000,000. If the growth
rate in sales is projected to be 10 percent over the next five years, what will the dollar
amount of sales be in year five?

5. Fred has inherited $6,000 from the death of Barney. He would like to use this money to buy
Wilma a new rockmobile costing $7,000 for their 10th anniversary celebration which will
take place in 2 years from now. Will Fred have enough money to buy the gift if he deposits
his money in an account paying 8 percent compounded semi-annually?

6. Kay and Arthur are newlyweds and have just purchased a condominium for $70,000. Since
the condo is very small, they hope to move into a single-family house in 5 years. How
much will their condo worth in 5 years if inflation is expected to be 8 percent?

7. Calculate the present value of a $10,000 perpetuity at a 6 percent discount rate.

8. Calculate the future value of an annuity of $5,000 each year for eight years, deposited at 6
percent.

9. Calculate the present value of an annuity of $3,900 each year for four years, assuming an
opportunity cost of 10 percent.

10. Linda has decided to set up an account that will pay her granddaughter (Janice) $5,000 a
year indefinitely. How much should Linda deposit in an account paying 8 percent annual
interest?

11. A wealthy industrialist wishes to establish a $2,000,000 trust fund which will provide
income for his grandchild into perpetuity. He stipulates in the trust agreement that the
principal may not be distributed. The grandchild may only receive the interest earned. If the
interest rate earned on the trust is expected to be at least 7 percent in all future periods, how
much income will the grandchild receive each year?
12. Cara establishes a seven-year, 8 percent loan with a bank requiring annual end-of-year
payments of $960.43. Calculate the original principal amount.

13. A lottery administrator has just completed the state’s most recent $50 million lottery.
Receipts from lottery sales were $50 million and the payout will be $5 million at the end of
each year for 10 years. The expenses of running the lottery were $800,000. The state can
earn an annual compound rate of 8 percent on any funds invested.
(a) Calculate the gross profit to the state from this lottery.
(b) Calculate the net profit to the state from this lottery (no taxes).

14. Kimberly has just won a $20 million lottery, which will pay her $1 million at the end of
each year for 20 years. An investor has offered her $10 million for this annuity. She
estimates that she can earn 10 percent interest, compounded annually, on any amounts she
invests. She asks your advice on whether to accept or reject the offer. What will you tell
her? (Ignore Taxes)

15. Mr. Handyman has been awarded a bonus for his outstanding work. His employer offers
him a choice of a lump-sum of $5,000 today, or an annuity of $1,250 a year for the next
five years. Which option should Mr. Handyman choose if his opportunity cost is 9 percent?

16. In their meeting with their advisor, Mr. & Mrs. Smith concluded that they would need
$40,000 per year during their retirement years in order to live comfortably. They will retire
10 years from now and expect a 20-year retirement period. How much should Mr. & Mrs.
Smith deposit now in a bank account paying 9 percent to reach financial happiness during
retirement?

17. Jay is 30 years old and will retire at age 65. He will receive retirement benefits but the
benefits are not going to be enough to make a comfortable retirement life for him. Jay has
estimated that an additional $25,000 a year over his retirement benefits will allow him to
have a satisfactory life. How much should Jay deposit today in an account paying 6 percent
interest to meet his goal? Assume Jay will have 15 years of retirement.

18. You have been given a choice between two retirement policies as described below.
Policy A: You will receive equal annual payments of $10,000 beginning 35 years from now
for 10 years.
Policy B: You will receive one lump-sum of $100,000 in 40 years from now.
Which policy would you choose? Assume rate of interest is 6 percent.
19. Joie is planning to attend college when she graduates from high school 7 years from now.
She anticipates that she will need $10,000 at the beginning of each college year to pay for
tuition and fees, and have some spending money. Joie has made an arrangement with her
father to do the household chores if her dad deposits $3,500 at the end of each year for the
next 7 years in a bank account paying 8 percent interest. Will there be enough money in the
account for Joie to pay for her college expenses? Assume the rate of interest stays at 8
percent during the college years.

20. During her four years at college, Rose received the following amounts of money at the end
of each year from her grandmother. She deposited her money in a saving account paying 6
percent rate of interest. How much money will Rose have on graduation day?

Year
1 100
2 200
3 300
4 400
BAB IX

Risiko dan Pengembalian

9.1 PENDAHULUAN

Manusia pada dasarnya berusaha mendapat kehidupan di masa mendatang yang lebih baik.
Masa yang akan datang sulit diprediksi oleh manusia, investasi adalah kegiatan yang
keberhasilannya ditentukan dimasa yang akan datang, beberapa pendekatan telah dilakukan
untuk bisa memprediksi keberhasilan suatu investasi yang dilakukan oleh investor. Investor
hanya bisa melakukan analisis berdasar data masa lalu dilakukan prediksi dengan beberapa
tingkat ketidakpastian. Melalui analisis risiko dan tingkat pengembalian terhadap individual
asset atau portfolio asset para investor bisa melakukan prediksi terhadap hasil investasi yang
diharapkan.

Berdasarkan konteks bisnis dan keuangan, risiko didefinisikan sebagai kemungkinan terjadinya
perusahaan mengalami kerugian keuangan. Real assetl atau financial asset yang memiliki
kemungkinan kerugian yang besar, berarti memiliki risiko yang besar. Risiko ada juga yang
menghubungkan dengan ketidakpastian atau variability dari suatu tingkat pengembalian pada
suatu asset.

Risiko dapat juga dibagi berdasarkan sumber risiko, seperti risiko spesifik perusahaan dapat
digolongkan kedalam risiko bisnis (business risk) dan risiko keuangan (financial risk). Risiko
spesifik pemegang saham digolongkan kedalam risiko tingkat suku bunga (interest rate risk),
risiko likuiditas (liquidity risk), dan risiko pasar (market risk). Sedangkan sumber risiko yang
berasal risiko pemegang saham dan perusahaan dapat digolongkan menjadi : risiko kejadian
(event risk), risiko nilai tukar (exchange rate risk), risiko daya beli (purchasing power risk),
risiko pajak (tax risk).

Return atau pengembalian merupakan hasil lebih atau kurang dari suatu investasi. Pada dasarnya
besarnya return ditentukan oleh selisih antara nilai asset pada saat diperoleh dengan nilai asset
pada saat dijual dibagi dengan nilai asset pada saat diperoleh. Berdasarkan pengalaman negara
212
maju seperti Amerika Serikat sekitar 1926 – 2003, beberapa hasil telah menunjukkan bahwa
return saham industri kecil besarnya mencapai 17,5%, sedangkan saham industri besar 12,4%.

Kerangka analisis risiko dan pengembalian sangat penting bagi seorang investor yang melakukan
investasi pada kondisi yang tidak pasti (probabilistik). Seperti diketahui, hukum atau konsep
dasar yang berlaku di bidang investasi (termasuk investasi pada aktiva finansial) adalah: semakin
tinggi tingkat pengembalian suatu investasi, semakin besar pula risikonya. Bagi investor awam,
konsep ini mungkijn bukan merupakan hal baru. Masalahnya adalah bagaimana mereka dapat
mengukur risiko suatu investasi atau himpunan investasi (portofolio). Tanpa mengetahui ukuran
risiko tersebut, sulit bagi mereka untuk menentukan tingkat pengembalian yang seharusnya ada
pada suatu investasi atau portofolio (required rate of return on investment or portfolio).

Bab ini akan membahas tentang: (1) ukuran risiko dalam konteks investasi pada aktiva finansial
berupa sekuritas (surat berharga) dan (2) hubungan antara risiko dan tingkat pengembalian pada
equilibrium menurut teori keuangan yang sangat terkenal : Capital Asset Pricing Model
(CAPM).

9.2. DEFINISI DAN UKURAN RISIKO

Terdapat beberapa definisi mengenai risiko , misalnya kata risiko dikaitkan dengan
ketidakpastian atau uncertainty , sehingga ada yang menyatakan bahwa risiko adalah
ketidakpastian yang bisa diukur. Beberapa definisi lainnya seperti menurut The American
Heritage Dictionary, risiko didefinisikan sebagai the possibility of suffering harm or loss. Dalam
konteks investasi, kondisi harm atau loss tersebut dapat berupa kondisi dimana investor
menerima pengembalian yang lebih kecil dari yang disyaratkan/diharapkan. Karena risiko timbul
dari kondisi ketidakpastian, maka untuk mengukur risiko kita harus memahami konsep distribusi
probabilitas.
Preferensi seseorang terhadap risiko dapat terbagi kedalam 3 golongan, yang pertama adalah
golongan risk averse, yaitu seseorang akan meminta tambahan return bila risiko bertambah
tinggi. Golongan kedua adalah kelompok orang yang berpandangan bahwa meningkatnya risiko
tidak harus menambah return yang akan diperoleh, sering disebut sebagai golongan risk
indeferent dan golongan terakhir yaitu golongan risk lover atau golongan yang tidak meminta
tambahan return bila risiko meningkat.

Distribusi probabllitas sering didefinisikan sebagai himpunan hasil-hasil yang mungkin terjadi
dengan probabilitas terjadinya. Untuk lebih mudah memahami konsep distribusi probabilitas ini,
disajikan contoh sebagai berikut:

Kondisi Probabilitas Perkiraan keuntungan Perkiraan Keuntungan


Perekonomian Terjadi Proyek A Proyek B

Resesi berat 0,05 -3% -2%


Resesi ringan 0,20 6% 9%
Normal 0,50 11% 12%
Boom ringan 0,20 14% 15%
Boom kuat 0,05 19% 26%

Dari distribusi probabilitas tingkat pengembalian tersebut dapat kita hitung rata-rata tertimbang
dan deviasi standarnya dengan rumus:

k =k . P
Tingkat pengembalian yang diharapkan =

Deviasi standar tingkat pengembalian yang diharapkan =


σ =(ki– k )². P

dimana:
k̂ = tingkat pengembalian yang diharapkan (expected rate of return)
ki= tingkat pengembalian pada kondisi i
Pi= probabilitas kondisi I terjadi
Maka tingkat pengemblian yang diharapkan (expected rate of return) pada proyek A adalah:

k = k.P

= k1 (P1) + k2 (P2) + k3 (P3) + k4 (P4) + k5 (P5)


= -3% (0,05) + 6% (0,2) + 11% (0,5) + 14% (0,2) + 19% (0,05)
= 10,3%
dan deviasi standar tingkat pengembalian yang diharapkan pada proyek A adalah:
σ = [(-3% – 10,3%)² . 0,05 + (6% - 10,3%)² . 0,2 + (11% - 10,3%)² . 0,5 + (14% - 10,3%)² . 0,2 + (19% -
10,3%)² . 0,05]½
= 4,39%
Deviasi standar adalah ukuran simpangan nilai-nilai dari nilai yang diharapkan. Jika kita
mendefinisikan risiko investasi sebagai “kondisi dimana investor memperoleh pengembalian
yang kurang dari yang diharapkan”, maka risiko dapat diukur dengan menggunakan deviasi
standar. Konsep deviasi standar sebagai ukuran risiko mungkin tidak dapat memuaskan setiap
orang. Bukankah deviasi standar tidak hanya mengukur simpangan atau dispersi ke bawah
(pengembalian yang kurang dari yang diharapkan) tapi juga simpangan ke atas (pengembalian
yang lebih dari yang diharapkan)? Jika dispersi menghasilkan kondisi dimana pengembalian
lebih tinggi dari yang diharapkan, apakah ini bisa disebut risiko? Tentu benar bahwa hanya
probabilitas investor memperoleh pengembalian kurang dari yang diharapkan yang disebut
risiko. Akan tetapi, bila distribusi probabilitas pengembalian terdistribusi secara normal atau
simetris, selama kemungkinan untuk memperoleh pengembalian di atas yang diharapkan kira-
kira sama dengan kemungkinan untuk memperoleh pengembalian di bawah yang diharapkan,
semakin besar ukuran simpangan atau deviasi standar, semakin besar pula risiko.

 Gambar berikut ini menunjukkan distribusi keuntungan dari 2 proyek yang memiliki
expected return yang sama tetapi risiko (deviasi standar ini memiliki risiko yang lebih besar.

Probabilitas

B
A
Tingkat keuntungan (k)

 Semakin besar deviasi standar, semakin bervariasi nilai k (tingkat pengembalian) dari nilai yang
diharapkan (k), dengan demikian semakin besar pula risikonya.
 Untuk membandingkan total risiko dua atau lebih proyek, kita tidak menggunakan deviasi standar,
tetapi koefisien variasi atau coefficient of variation (CV)

CV =
dimana:
CV = Coefficient of variation
σ = deviasi standar dari k
k = Nilai harapan atau tingkat pengembalian yang diharapkan
CV mengukur risiko per unit tingkat pengembalian Proyek yang CV-nya lebih besar adalah proyek
yang lebih berisiko. Investor yang bijak akan memilih proyek dengan CV yang lebih rendah.

 Dalam hal menghitung deviasi standar dari probabilitas pengembalian sebenarnya ada 2 cara:
ex-ante dan ex-post. Cara ex-ante artinya kita memprediksi apa yang akan terjadi di masa
mendatang tanpa menggunakan data di masa lalu. Dengan cara ini kita harus menetapkan
probabilitas dari suatu kejadian akan terjadi di masa mendatang. Cara ini telah diterangkan di
depan.

 Cara ex-post adalah menghitung pengembalian yang diharapkan dan deviasi standarnya
dengan menggunakan data historis atau data di masa lalu. Dengan cara ini pengembalian
yang diharapkan dihitung dengan merata-rata tingkat pengembalian selama suatu periode
tertentu di masa lalu, atau dengan rumus:

k
Pengembalian yang diharapkan = Rata-rata pengembalian =
k = n-1

Deviasi standar
σ= (ki– k)²

n-1

 Gambar berikut menunjukkan suatu distribusi probabilitas keuntungan untuk suatu portofolio
yang terdiri dari 100 sekuritas yang dihitung dengan menggunakan data dari Januari 1945 –
Juni 1970. Distribusi probabilitas ini nampak simetris dengan rata-rata sebesar 0,9% per
bulan dan deviasi standar 4,5% per bulan.
Distribution of Monthly return for a 100 security Portfolio,
January 1945-June 1970

Frequency

50 -

40 -

30 -

20 -

10 -

-14 -12 -10 -8 -6 -4 -2 0 2 4 6 8 10 12 14


Range of Montly Returns (%)
Sumber: Modigliani dan Pogue,”An Introduction to Risk and Return”, Financial Analysits Journal, Mei-April 1974

9.3. HUBUNGAN POSITIF ANTARA RISIKO DAN KEUNTUNGAN: STUDI JANGKA


PANJANG

Studi jangka panjang yang dilakukan oleh Roger Ibbotson dan Rex Sinquedield
menunjukkan bahwa investor menerima keuntungan yang lebih tinggi untuk menanggung
risiko yang lebih besar. Mereka menggunakan data dari 1926-1988 seperti tersaji pada tabel
berikut:
Selected Performance Statistics, 1926-88
Annual Number of Number of Highest Lowest Standard
(Geometric Years Years Annual Annual Deviation
Mean Rate Returns are Returns are Return Return of Annual
Series of Return) Positive Negative (and Year) (and Year) Returns Distribution

Common stocks10,0% 44 19 54,0% -43,3% 20,9


(1933) (1931)

Small company 12,3 43 20 142,9 -49,8 35,6


stocks (1933) (1931)

Long-term 5,0 48 15 43,8 -8,1 8,4


corporate bonds (1982) (1969)
US Treasury bills3,5 62 1 14,7 -0,0 3,3
(1981) (1940)

Consumer price 3,1 5,3 10 18,2 -10,34,8


index (1946) (1932)

-50% 0% 50%
Sumber: Burton G. Malkiel, A Random Walk Down Wall Street, Norton & Co
Dari tabel di atas nampak bahwa investasi yang paling berisiko adalah saham perusahaan kecil
(small company stocks), ditunjukkan dengan distribusi probabilitas keuntungan yang paling datar
dan lebar. Kemudian berturut-turut diikuti oleh saham biasa (common stocks), obligasi perusahaan
jangka panjang (longterm corporate bonds) dan obligasi pemerintah AS (Treasury bills). Ternyata
risiko yang tinggi dikompensasi dengan tingkat keuntungan yang tinggi pula. Dapat dilihat pada tabel
bahwa tingkat keuntungan untuk investasi berisiko paling tinggi hingga rendah berturut-turut:
12,3%, 10%, 5% dan 3,5%.

9.4. TEORI PORTOFOLIO MODERN

Teori portofolio modern berangkat dari premis bahwa semua investor adalah enggan
terhadap risiko (risk-averse). Teori ini mengajarkan bagaimana mengkombinasikan saham-
saham ke dalam suatu portofolio (kumpulan asset keuangan) untuk: (1) memperoleh
keuntungan maksimal dengan risiko tertentu, atau (2) memperoleh keuntungan tertentu
dengan risiko minimal.
Teori ini diajukan oleh Harry Markowitz dari University of Chicago pada tahun1950-an.
Markowitz menemukan fenomena sebagai berikut: jika saham-saham berisiko tinggi
disatukan dalam suatu portofolio dengan suatu cara, portofolio tersebut lebih kecil risikonya
dibandingkan dengan risiko saham secara individu.
Perhitungan matematis dari Teori Portofolio Modern ini sangat kompleks. Untungnya, teori
ini mudah dipahami, misalnya melalui ilustrasi sederhana sebagai berikut: andaikan suatu
ekonomi hanya memiliki dua bisnis: pabrik payung dan wisata pantai. Cuaca amat
mempengaruhi keuntungan dari masing-masing usaha tersebut. Tabel berikut menunjukkan
keuntungan hipotesis dari kedua bisnis pada dua musim.

Musim Probabilitas Payung Wisata Pantai

Hujan 50% 50% -25%


Cerah 50% -25% 50%

Andaikan seorang investor memiliki dana 100 juta. Jika investor menginvestasikan seluruh
dananya pada bisnis payung, ia akan untung 50% jika hujan dan rugi 25% jika cuaca cerah.
Karena keuntungannya tidak pasti, ada risiko investasi. Secara rata-rata keuntungan yang
diharapkan adalah (0,5)(50%) + (0,5)(-25%) = 12,5%. Jika investor memilih investasi wisata
pantai, ia rugi 25% jika hujan dan untung 50% jika cuaca cerah. Keuntungan rata-rata atau
yang diharapkan juga sama yaitu 12,5%. Investasi inipun berisiko karena keuntungan tidak
dapat dipastikan. Sekarang kita andaikan investor menanamkan setengah dari dananya pada
bisnis payung dan setengah sisanya pada bisnis wisata pantai. Pada cuaca hujan, investor
untung 50% dari bisnis payung dan rugi 25% pada bisnis wisata pantai. Artinya ia masih
menikmati keuntungan 25% atau 25 juta. Pada cuaca cerah, ia rugi 25% pada bisnis payung
dan untung 50% dari bisnis wisata pantai. Ia memiliki keuntungan bersih 25% atau 25 juta.
Keuntungan rata-rata atau yang diharapkan adalah 25 juta x probabilitas hujan (50%)
ditambah 25 juta x probabilitas cerah (50%) atau sebesar 12,5 juta (12,5%). Perhatikan
bahwa dengan membentuk suatu portofolio, kita akan memperoleh keuntungan 12,5% dan
bebas risiko karena dalam kondisi apapun kita tetap memperoleh 12,,5%.
Ilustrasi di atas memperlihatkan suatu yang ajaib dari diversifikasi. Dimana kunci dari
pengurangan risiko melalui diversifikasi. Pada korelasi antara dua atau lebih investasi yang
membentuk portofolio. Pada ilustrasi di atas, kedua bisnis memiliki korelasi keuntungan
yang negatif sempurna (koefisien korelasi = -1) sehingga dapat dibentuk portofolio yang
bebas risiko. Teori Portofolio Modern mengatakan jika terdapat koefisien korelasi yang lebih
kecil dari +1 antara dua atau lebih bisnis, kita dapat mendiversifikasikan risiko.
Sebelum membicarakan formula risiko suatu portofolio, kita pelajari konsep kovarians
(covariance) dan koefisien korelasi (correlation coefficient). Kovarians adalah suatu ukuran
kekuatan atau derajat hubungan antara dua variabel. Kovarians positif menunjukkan
hubungan positif, sedangkan kovarians negatif menunjukkan hubungan negatif. Kovarians
antara A dan B dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

dimana:
kAi = keuntungan A jika kondisi I terjadi
kA = nilai harapan keuntungan A
kBi = keuntungan B jika kondisi I terjadi
kB = keuntungan rata-rata atau nilai harapan keuntungan B
Pi = probabilitas kondisi I terjadi

Contoh:

Probabilitas Perkiraan Tingkat Keuntungan


terjadinya Proyek A Proyek B
0,1 6% 14%
0.2 8% 12%
0,4 10% 10%
0,2 12% 8%
0,1 14% 6%

kA = 10%
kB = 10%
σA = 2,2%
σB = 2,2%

Cov( ) = (k − k ) (k − k ) P
= (6-10) (14-10) (0,1) + (8-10) (12-10) (0,2)
+ (10-10) (10-10) (0,4) + (12-10) (8-10) (8-10) (0,2)
+ (14-10) (6-10) (0,1)
= -4,8
 Kovarians dapat distandarkan dengan membagi angka kovarians dengan hasil kali standar
deviasi ke dua variabel. Hasil ini disebut koefisien korelasi (coefficient of correlation).
Standardisasi ini memudahkan kita untuk melakukan perbandingan keeratan hubungan antar
beberapa variabel. Koefisien korelasi berkisar antara +1 dan -1. Korelasi +1 menunjukkan
hubungan searah yang kuat sempurna. Korelasi -1 menunjukkan hubungan terbalik yang kuat
sempurna. Korelasi 0 menunjukkan tiada hubungan sama sekali. Jarang sekali kita
menemukan ke tiga kondisi ekstrem tersebut, yang ada adalah koefisien korelasi yang
mendekati +1, -1 atau 0.
 Rumus koefisien korelasi antara variabel A dan B adalah:
()
Koefisien korelasi = r() =.
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya tentang kovarians. Koefisien korelasi dapat dihitung sebagai berikut:
,
r( )=
( , )( )
= -1,0
 Rumus untuk menghitung keuntungan yang diharapkan dan deviasi standar keuntungan suatu
portofolio adalah sebagai berikut:

dan
½

σ= X.σ+ X.X.σ.

dimana:
kP = perkiraan keuntungan portofolio atau expected return on portfolio
Xi = proporsi dana yang diinvestasikan pada aktiva i
kI = expected return saham atau aktiva i
σ = varians saham atau aktiva
σ = kovarians keuntungan aktiva I dan j atau ri.j . σ . σ
Contoh:
Uang 100.000 diinvestasikan pada saham A dan saham B sama rata. Expected return saham A dan B
adalah 20% dan 10%. Maka expected return portofolio ini adalah:
KP = XA . kA + XB . kB
= 0,5 (20%) + 0,5 (10%)
= 15%
Jika diketahui standar deviasi keuntungan saham A dan B adalah 10% dan 5%, serta berapa
korelasinya? Keuntungan antara A dan B adalah 0, maka deviasi standar portofolio adalah:

σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X . σ . σ ]½
= [(0,5)2 . (0,1)2 + (0,5)2 . (0,05)2 + 2(0,5)(0,5)90,5)90,1)(0,05)] ½
= 6,614%
 Dari rumusan di atas nampak bahwa keuntungan suatu portofolio merupakan rata-rata
tertimbang dari keuntungan saham-saham individu dalam portofolio, akan tetapi deviasi
standar portofolio (sepanjang korelasi tidak +1) bukan merupakan rata-rata tertimbang dari
deviasi standar keuntungan masing-masing saham individu. Deviasi standar suatu portofolio
tergantung pada faktor (1) korelasi antara keuntungan saham-saham dalam portofolio, (2)
deviasi standar masing-masing saham dalam portofolio, dan (3) proporsi masing-masing
saham dalam portofolio.
 Deviasi standar portofolio jika korelasi = +1:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(1) σ . σ ]½
= [(X . σ + X . σ )2]½
=X .σ +X.σ
Jika korelasi = +1, diversifikasi tidak efektif karena risiko portofolio merupakan rata-rata tertimbang
dari deviasi masing-masing saham, atau sama dengan tingkat keuntungan portofolio yang juga
merupakan rata-rata tertimbang dari tingkat keuntungan masing-masing saham.
 Deviasi standar portofolio jika korelasi = 0:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(0) σ . σ ]½
= [ X . σ + X . σ ]½
 Deviasi standar portofolio jika korelasi = -1:
σ = [X . σ + X . σ + 2. X . X .(-1) σ . σ ]½
= [X . σ + X . σ − 2. X . X σ ]½
 Perhatikan bahwa jika korelasi = -1, kita dapat membentuk portofolio bebas risiko meskipun
portofolio ini terdiri dari saham-saham yang berisiko, jika:
X . σ + X . σ = 2. X . X . σ . σ
 Perhitungan deviasi standar portofolio tersebut di atas semakin kompleks jika jumlah
sekuritas yang ada dalam portofolio meningkat. Untuk memudahkan perhitungan kita dapat
menggunakan program bantu komputer untuk keuangan. Jika terpaksa harus menghitung
secara manual, kita dapat menggunakan bantuan grafik sebagai berikut:
Saham A Saham B Saham C Saham N
Saham A X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
Saham B X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
Saham C X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ
. . . . .
. . . . .
. . . . .
. . . . .
Saham N X .X .σ .σ X .X .σ .σ X .X .σ .σ .... X .X .σ .σ

Keterangan:
XA = proporsi saham A dalam portofolio
σA = deviasi standar keuntungan saham A
σA,B = kovarians keuntungan saham A dan keuntungan saham B
σA. σA = varians keuntungan saham A

Penjumlahan dari seluruh sel merupakan varians portofolio (σ 2). Misalnya, untuk portofolio yang
terdiri atas 2 saham:
Saham A Saham B
Saham A X.X.σ.σ X.X.σ,
Saham B X.X.σ, X.X.σ.σ

σ = X . σ + X . σ + 2.XA.XB .σA,B
½
σP = X . σ + X . σ + 2. X . X . σ .

 Risiko portofolio dapat pula dihitung dengan rumus:

σ =(k – k )². P

dimana:
σP = deviasi standar portofolio
kpi = keuntungan portofolio jika kondisi i terjadi
kp = nilai harapan keuntungan portofolio
Pi = probabilitas kondisi i terjadi

9.5. RISIKO SISTEMATIS DAN TIDAK SISTEMATIS

Teori Portofolio merubah cara investor dalam menilai risiko suatu saham. Jika semua
investor melakukan diversifikasi seperti diajarkan oleh Harry Markowitz, maka ada sebagian
risiko yang hilang akibat diversifikasi. Menurut teori Capital Asset Pricing Model atau
CAPM, risiko ini disebut sebagai risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) yaitu
risiko yang dapat dihilangkan melalui diversifikasi. Risiko ini merupakan probabilitas
keuntungan berada di bawah keuntungan yang diharapkan disebabkan oleh faktor-faktor
yang hanya ada pada suatu perusahaan. Misalnya, pemogokan buruh, perubahan manajemen,
inovasi, kebakaran, dsb. Risiko sistematis (systematic risk) adalah risiko yang tidak dapat
dihilangkan melalui diversifikasi. Risiko ini sering disebut risiko pasar (market risk) atau
risiko sistematis karena disebabkan faktor yang menimpa seluruh ekonomi atau pasar. Risiko
sistematis ini merupakan probabilitas bahwa keuntungan perusahaan berada di bawah
keuntungan yang diharapkan karena adanya faktor-faktor yang membawa dampak bagi
seluruh perusahaan yang berada dalam suatu perekonomian. Misalnya peraturan pemerintah,
kenaikan pajak, resesi, devaluasi, dan sebagainya.
Penjumlahan unsystematic risk dan systematic risk merupakan total risk. Risiko total atau
total risk adalah risiko suatu aset yang disimpan secara terisolir atau risiko dari suatu aset
tunggal. Maka jelas bahwa risiko total adalah deviasi standar keuntungan suatu investasi.
Hubungan antara risiko total dengan risiko sistematis dan tidak sistematis digambarkan
sebagai berikut:

Risiko Portofolio
(GP)

Risiko Total Risiko tidak sistematis

Risiko
Risiko sistematis
Jumlah saham dalam portofolio
0 10 20
 Jika investor melakukan diversifikasi secara internasional, risiko sistematis dapat diperkecil.
Investor dikatakan melakukan diversifikasi internasional apabila portofolio terdiri atas
sekuritas perusahaan di lebih dari satu negara. Diversifikasi internasional lebih baik daripada
diversifikasi domestik (dalam satu negara). Portofolio yang terdiri dari saham-saham dari
berbagai negara memiliki risiko yang lebih kecil dibandingkan portofolio yang terdiri dari
saham-saham satu negara tertentu. Gambar berikut memperlihatkan keuntungan melakukan
diversifikasi secara internasional.
Risk (%)

100 –
-
80 -
-
60 -
-
40 - US. Stocks portofolio

20 - International Stocks portofolio


-
. . . . .
1 10 20 30 40 50
Number of stocks
Sumber: Solnik, The International Pricing of Risk, Journal of Finance, Mei 1974

 Risiko sistematis diukur dengan koefisien beta yaitu koefisien yang menunjukkan kepekaan
keuntungan suatu saham terhadap perubahan keuntungan saham-saham secara rata-rata di
pasar (indeks pasar). Untuk mencari beta suatu saham secara historis kita dapat membuat
regresi antara keuntungan historis indeks pasar (misalnya IHSG) sebagai variabel bebas.
Koefisien regresi hasil perhitungan kita merupakan beta atau risiko sistematis. Perhatikan
gambar berikut:

Keuntungan saham I (ki)

*
*
* *
*

* beta =

* *

Keuntungan pasar (kn)

 Beta sebesar 1 artinya setiap kenaikan/penurunan keuntungan pasar (kn) sebesar 1% akan
mengakibatkan kenaikan/penurunan keuntungan saham (ki) sebesar 1%. Dengan demikian,
semakin besar beta, semakin peka keuntungan saham terhadap perubahan keuntungan pasar,
dan semakin berisiko pula saham tersebut. Saham dengan beta 1 adalah saham yang memiliki
risiko sama dengan rata-rata saham di pasar modal. Saham dengan beta lebih dari 1 disebut
saham agresif dan saham dengan beta kurang dari 1 disebut saham defensif.
 Beta dapat dihitung dengan cara lain, yaitu menggunakan rumus:

Cov (k , k )r , . σ . σ )σ b === r , .
σσσ
2 25
dimana:
bi = beta untuk saham i
kI = rata-rata keuntungan historis (yang telah terjadi) saham i
kM = rata-rata keuntungan historis portofolio pasar
ri,M = korelasi antara keuntungan saham i dan keuntungan pasar
σi = deviasi standar keuntungan saham i
σM = deviasi standar keuntungan pasar (portofolio pasar)

 Semakin besar beta suatu saham, semakin besar risiko saham tersebut. Mengapa beta yang
digunakan? Perhatikan bahwa:

Total Risk = Market Risk + Diversifiable risk


σ = b .σ +σ

Investor tidak peduli dengan diversifiable risk karena risiko ini dapat dihilangkan dengan
diversifikasi. Investor hanya peduli dengan market risk, yaitu bi . σ .σ adalah varians
portofolio pasar yang besarnya sama untuk semua saham. Maka besar kecilnya nilai bi , σ
suatu saham semata-mata tergantung pada bi.

9.6. HUBUNGAN RISIKO DAN KEUNTUNGAN BERDASARKAN KONSEP CAPM

CAPM yang diajukan oleh William Sharpe (Standford University) dan John Lintner
(Harvard University), merupakan kelanjutan dari teori portofolio modern dari Harry
Markowitz. Teori ini mendefinisikan hubungan antara risiko dengan tingkat keuntungan
aktiva pada equilibrium.
Jika investor mengkombinasikan dua saham ke dalam portofolio dengan proporsi
(timbangan) tertentu, diperoleh tingkat keuntungan dan deviasi standar keuntungan
portofolio. Kombinasi portofolio yang terbentuk sangat banyak, apalagi jika jumlah saham
yang dikombinasikan bertambah. Tingkat keuntungan yang diharapkan atau k̂p dan risiko
(diukur dengan deviasi standar) portofolio dapat digambarkan pada suatu grafik. Dari grafik
ini akan terlihat suatu kurva yang disebut minimum variance set. Minimum variance set
adalah himpunan portofolio yang memberikan deviasi standar terkecil untuk tingkat
keuntungan tertentu. Perhatikan gambar berikut ini:
226
kp
.C....
....
.... .
... . . .
B*....
.... .
... . . .
.....
......
A
σp

Kurva A-B-C dan titik-titik di dalamnya adalah seluruh kemungkinan portofolio yang
terbentuk. A-B-C disebut minimum variance set (MVS). Portofolio yang berada pada MVS
adalah portofolio yang memberikan varians (atau deviasi standar) minimum untuk rate of
return tertentu. Kurva B-C disebut efficient set. Portofolio pada efficient set adalah
portofolio yang memberikan rate of return tertinggi untuk risiko tertentu. Investor yang bijak
akan memilih portofolio –portofolio yang terletak pada efficient set.
 Jika terdapat suku bunga bebas risiko (krf) di pasar, maka minimum variance set menjadi:

kp N

C
M*
.....
....
B*....
. . . ..
.....
krf ......
......

A
σp

Efficient set tidak lagi A-B-C, tetapi krf-M-N. Portofolio M disebut market portfolio, yaitu
portofolio yang meliputi seluruh saham atau aktiva finansial yang ada di pasar modal.
Portofolio M ini sering diidentikkan dengan indeks pasar (market index).

 Hubungan antara risiko portofolio (σp) dan keuntungan portofolio yang diharapkan k̂p
dengan asumsi semua investor melakukan investasi pada efficient set adalah sebagai berikut:
kp

CAPITAL MARKET LINE

kM M

kM - krf
krf

σ σM σP
M
dimana:
kp = expected rate of return pada portofolio
σp = risiko portofolio
krf = suku bunga bebas risiko
σM = risiko portofolio pasar
kM = expected rate of return pada portofolio pasar.

 Persamaan linier di atas disebut Capital Market Line (CML), yaitu garis linier yang
menerangkan hubungan antara risiko portofolio yang diukur dengan deviasi standar
portofolio (σp) dengan tingkat keuntungan portofolio yang diharapkan (k̂p) untuk setiap
portofolio yang efisien.
Persamaan CML:

(–)
kp = krf + .σ untuk portofolio

atau

(–) untuk saham individu


ki = krf + .σ

 Menurut CAPM, jika risiko diukur dengan beta, hubungan antara risiko yang relevan dari
suatu saham dengan keuntungan yang disyaratkan dinyatakan dengan suatu garis linier yang
disebut Security Market Line (SML). Security Market Line ini diturunkan dari Capital
Market Line sebagai berikut:
kp CAPITAL MARKET LINE kp SECURITY MARKET LINE

ki
km M km M

krf krf km - krf

σM
σP σP
σM bi

Persamaan SML:

ki = krf + (kM - krf) bi

dimana:
ki = tingkat keuntungan yang disyaratkan (required rate of return) pada saham I sebelumnya
kita gunakan ki atau expected return pada saham i. Pada equilibrium, ki = ki
krf = tingkat bunga bebas risiko
kM = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada portofolio pasar (market index).Pada equilibrium,
kM= kM
bi = beta saham i
untuk portofolio:

kp = krf + (kM -krf) bp

Beta untuk portofolio pasar adalah 1. Sedangkan (k M - krf) adalah premi risiko pasar (market
risk premium). Premi risiko pasar ini menunjukkan derajat keengganan para investor
terhadap risiko (risk aversion). Semakin tinggi risk aversion, semakin besar pula (kM - krf).
Apa bedanya expected rate of return dengan required rate of return. Pada equilibrium
(kondisi keseimbangan) keduanya sama, k̂i = ki dan k̂M= kM

 Persamaan Security Market Line ini merupakan inti dari teori CAPM. Jika investor percaya
pada teori ini, ia dapat menggunakannya untuk mengevaluasi rencana investasi pada suatu
saham. Perhatikan ilustrasi berikut: suatu saham menjanjikan keuntungan (expected rate of
return) sebesar 22%. Saham ini memiliki beta 1,5. Diketahui tingkat keuntungan portofolio
pasar (IHSG) 20% dan tingkat keuntungan bebas risiko 10%. Untuk mengambil keputusan
membeli saham ini atau tidak, kita harus menghitung tingkat keuntungan yang kita syaratkan
pada saham tersebut sebagai berikut:
ki = krf + (kM –krf) bi
= 10% + (20% - 10%) 1,5
= 25%
Karena tingkat keuntungan yang kita syaratkan (required rate of return) lebih besar daripada
tingkat keuntungan yang diharapkan (expected rate of return), maka saham tersebut
sebaiknya ditolak.
 CAPM memberikan dua pelajaran penting: (1) untuk mengukur risiko saham atau aktiva
finansial yang dibeli dalam rangka membentuk portofolio, dipergunakan koefisien beta, dan
(2) hubungan antara tingkat keuntungan yang disyaratkan dengan risiko saham (beta) adalah
linear dan positif.

9.7. PERUBAHAN SECURITY MARKET LINE

Dampak inflasi terhadap SML, jika investor memperkirakan bahwa inflasi akan naik, mereka
mengharapkan kenaikan suku bunga bebas risiko serta tingkat keuntungan saham rata-rata
(portofolio pasar) juga sebesar kenaikan inflasi. Oleh sebab itu, krf akan naik, namun, (k̂M -

krf) tetap karena k̂M dan krf naik dengan besaran yang sama. Perhatikan gambar berikut:

ki SML2

SML1

∆ Inflasi

bi

 Dampak perubahan risk aversion atau premi risiko pasar. Jika risk aversion berubah, Slope
SML juga berubah, sedangkan konstanta (krf) tetap. Ingat bahwa risk aversion diukur dengan
(k̂M - krf)

ki SML2

SML1

krf

Risk aversion meningkat bi

 Perubahan beta suatu saham. Beta suatu saham tidaklah tetap, tapi dapat berubah-ubah.
Faktor-faktor yang dapat merubah beta adalah: kompetisi yang meningkat, komposisi aktiva
perusahaan, tingkat hutang perusahaan, dsb. Jika beta berubah, SML tidak akan berubah,
yang berubah adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan.
 Beta suatu portofolio. Beta suatu portofolio dapat dihitung dengan rumus:

b =b . X

dimana:
bp = beta portofolio
bi = beta saham atau aktiva i
Xi = bagian uang yang diinvestasikan pada saham/aktiva i
n = jumlah saham atau aktiva dalam portofolio

Contoh:
Berapa beta portofolio yang terdiri atas 2 saham A dan B dengan proporsi yang sama
(equally weighted portfolio), jika diketahui beta saham A sebesar 2 dan beta saham B adalah
1?
Jawab:
bp = (0,5)(2) + (0,5)(1)
= 1,5
9.8 Latihan Mandiri

1. Data periode pengamatan dan tingkat pengembalian atas saham K


Periode Return
1 16 %
2 18 %
3 20 %
4 17 %
5 21 %
Berapa besar pengembalian dan risiko saham K ?

2. Misalkan sebuah proyek memilki beta 1,5. Pada saat tersebut diketahui bahwa tingkat
pengembalian asset bebas risiko adalah 7% dan rata-rata pengembalian pasar adalah 10%.
Proyek ini diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar 11% setiap tahunnya.
a. Jika tingkat pengembalian pasar meningkat sebesar 10%, bagaimanakah tingkat
pengembalian proyek tersebut? Dan bagaimana jika tingkat pengembalian pasar turun
sebesar 10%?
b. Dengan menggunakan Capital Asset Pricing Model (CAPM), tentukan tingkat
pengembalian dari proyek ini
c. Berdasarkan perhitungan pada bagian b, apakah investasi ini sebaiknya diambil atau
tidak?
d. Jika diasumsikan bahwa investor proyek ini adalah seorang risk-averse, dan tingakat
pengembalian pasar turun menjadi 9%, bagaimanakah dampak atas perubahan ini?
Solusi

1. Expected return – E(Rx)


ER = ( 16% + 18% + 20% + 17% + 21%) / 5
= 18,4 %
Variansi
i2 =[(16% - 18,4%)2 +(18% - 18,4%)2 + (20% - 18,4%)2 +(17% - 18,4%)2 +(21%
- 18,4%)2 ]/ 5
= [ 0.000576 + 0.000016 + 0.000256 +0.000196 + 0.000676 ] / 5
= 0.00172 / 5 = 0.000344
Standar deviasi
I =  0.000344 = 0.0185 atau 1.85 %

2.
a. Jika tingkat pengembalian pasar meningkat sebesar 10%, maka tingkat pengembalian
proyek akan meningkat sebesar 15% (1,5 x 10%), sedangkan jika pengembalian pasar
turun sebesar 10%, maka tingkat pengembalian proyek juga akan turun sebesar 15%
(1,5 x (-10%)).
b. ki = krf + (kM –krf) bi
= 7% + (10%-7%)1,5
= 7% + 4,5% = 11,5%
c. Tidak, sebaiknya investasi tersebut ditolak karena tingkat pengembalian proyek
hanya 11%, lebih kecil dari 11.5%
d. ki = krf + (kM –krf) bi
= 7% +(9%-7%)1,5
= 7% + 3% = 10%
Jika tingkat pengembalian pasar turun menjadi 9%, maka sebaiknya proyek ini
diterima karena tingkat pengembalian proyek adalah 11%, lebih besar dari 10%.
Bab III

Capital Budgeting

Tujuan perusahaan melalui meningkatkan kekayaan pemegang saham, salah satunya


adalah meningkatnya keuntungan yang diperoleh perusahaan. Keuntungan perusahaan bisa
diperoleh dari keberhasilan kegiatan perusahaan yaitu proses capital budgeting. Capital
budgeting merupakan kegiatan penting perusahaan, keberhasilan perusahaan salah satunya
ditentukan oleh keberhasilan perusahaan dalam proses capital budgeting.
Aset yang dimiliki perusahaan dan sangat penting yaitu aset tetap atau aktiva tetap.
Perencanaan dalam perolehan aktiva tetap diproses dalam kegiatan Capital Budgeting . Capital
budgeting atau penganggaran modal adalah suatu proses pengindentifikasian , evaluasi, dan
implementasi peluang investasi perusahaan. Adanya capital budgeting diharapkan akan
manambah competitive advantage (keunggulan daya saing) dan meningkatkan kekayaan
pemegang saham. Capital budgeting berarti keputusan untuk investasi dana awal yang besar dan
disertai penerimaan atau cash inflow pada periode selanjutnya. Betapa pentingnya capital
budgeting sehingga bila perusahaan salah memutuskan dalam hal tersebut akan bisa
menyebabkan kebangkrutan .
Perusahaan melakukan kegiatan operasional untuk keberlangsungan dan pengembangan
membutuhkan keputusan dalam menentukan kelayakan investasi pada aktiva tetap atau barang
modal, proses untuk menentukan kelayakan dengan membuat anggaran terhadap barang modal
dinamakan capital budgeting. Modal atau capital disini merujuk pada aktiva tetap yang
digunakan dalam operasi perusahaan, Anggaran atau budget adalah suatu rencana yang
menjelaskan arus kas keluar dan arus kas masuk yang diproyeksi (diprediksi) selama periode
tertentu di masa mendatang, sedangkan Anggaran modal dapat juga diartikan sebagai suatu
tinjauan umum tentang pengeluaran-pengeluaran yang terencana pada aktiva-aktiva tetap.
Pentingnya penganggaran modal adalah karena beberapa hal seperti , implikasi dari keputusan
tersebut akan berlangsung terus hingga suatu periode yang cukup lama atau memiliki
konsekuensi jangka panjang, kedua yaitu menentukan bentuk-bentuk aktiva yang dimiliki
perusahaan, dan terakhir adalah melibatkan pengeluaran yang besar.

38
Perusahaan dapat mengklasifikasikan sebagai kajian capital budgeting meliputi , 1)
Penggantian (replacement) untuk mempertahankan bisnis yang ada, 2) Penggantian untuk
mengurangi biaya, 3) Pengembangan produk yang ada atau pasar sekarang, 4) Pengembangan
produk baru atau pasar baru, dan 5) Keamanan dan lingkungan.
Proses penganggaran modal memiliki prosedur yang sama seperti proses menilai sekuritas
(misalnya saham dan obligasi). Proses tersebut adalah:
1) Menilai arus kas proyek diperkirakan
2) Menilai risiko dari arus kas proyek melalui WACC perusahaan untuk memperkirakan
tingkat diskonto (discount rate) proyek, yang disebut “biaya modal proyek” atau project
cost of capital
3) Menilai arus kas di diskonto untuk menghitung present value-nya
4) Mendiskon atau mem-present value pemasukan (arus kas masuk atau cash inflows)
dibandingkan dengan present value dari pengeluaran atau biaya (arus kas keluar atau cash
outflows). Jika present value arus kas masuk lebih besar, proyek seharusnya diterima
karena akan meningkatkan nilai perusahaan.

Bila investasi dipandang dari dimensi waktu, disebut sebagai investasi jangka panjang.
Istilah lain yang sering dipergunakan adalah capital investment (investasi modal), dan untuk
singkatnya disebut sebagai “investasi” saja. Meskipun disebut sebagai investasi jangka panjang,
akan terlihat nanti bahwa investasi modal juga akan melibatkan modal kerja (yang disebut
sebagai investasi jangka pendek).

Pengaturan investasi modal yang efektif perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini.
1. Menerima adanya usul-usul investasi
2. Melakukan estimasi arus kas dari usul-usul investasi tersebut
3. Evaluasi arus kas tersebut
4. Melakukan pemilihan proyek-proyek yang sesuai dengan criteria tertentu, dan
5. Melakukan monitoring dan penilaian terus menerus terhadap proyek investasi setelah
investasi dilaksanakan.
Usul-usul investasi tidak mesti dari bagian keuangan. Mungkin saja usul investasi
tersebut berasal dari bagian pemasaran (missal, membuka jaringan distribusi baru), bagian
produksi (mengganti mesin lama dengan mesin baru), dan melibatkan berbagai bagian
(meluncurkan produk baru, mendirikan pabrik baru). Demikian juga estimasi arus kas akan
memerlukan kerja sama antara bagian yang mengusulkan dengan bagian keuangan. Evaluasi arus
kas mungkin lebih banyak dilakukan oleh bagian keuangan, demikian juga pemilihan proyek.
Akhirnya monitoring memerlukan kerja sama dengan seluruh bagian yang terlibat.

Untuk maksud-maksud analisis, suatu proyek (rencana investasi bisa dimasukkan ke


dalam salah satu klasifikasi berikut ini.
1. Melakukan pengenalan terhadap proyek baru atau pembuatan produk baru
2. Melakukan penggantian peralatan atau pabrik
3. Melakukan penelitian dan pengembangan
4. Melakukan eksplorasi

Memperkirakan arus kas proyek merupakan langkah yang paling penting sekaligus paling sulit.
Berikut ini dibahas dalam memperkirakan arus kas atau dikenal dengan menaksir arus kas.

3.1. Menaksir Arus Kas

Penaksiran arus kas bukan hanya menyangkut akurasi taksiran, tetapi juga memahami
arus kas yang relevan. Taksiran menyangkut masa yang akan datang, maka selalu terbuka
peluang untuk melakukan kesalahan. Kesalahan mungkin tidak sengaja dilakukan, tetapi
mungkin juga sengaja dilakukan. Sponsor yang sangat ingin proyek tersebut dilaksanakan, akan
cenderung memberikan taksiran yang terlalu optimis. Karena itu diperlukan evaluasi arus kas
yang dinilai relevan. Bagian keuangan sering bertanggung jawab dalam masalah ini. Untuk
menaksir arus kas yang relevan perlu diperhatikan hal-hal berikut ini.
1. Taksirlah arus kas atas dasar setelah pajak. Perhatikan bahwa yang dinikmati oleh pemilik
perusahaan adalah kas masuk bersih setelah pajak.
2. Taksirlah arus kas atas dasar (incremental atau selisih). Rencana peluncuran produk baru
mungkin akan mengakibatkan pengurangan penjualan produk lama (kanibalisme), lebih-lebih
kalau produk-produk tersebut ternyata mempunyai pasar yang sama. Dengan demikian perlu
diperhatikan pengurangan kas masuk dari produk lama akibat peluncuran produk baru.
3. Taksirlah arus kas yang timbul karena keputusan investasi. Arus kas karena keputusan
pendanaan, seperti membayar bunga pinjaman, mengangsur pokok pinjaman, dan
pembayaran dividen, tidak perlu diperhatikan. Perhatikan yang dianalisis adalah profitabilitas
investasi.
4. Tidak memasukkan sunk costs (biaya yang telah terjadi sehingga tidak akan berubah karena
keputusan yang akan diambil). Apa yang telah terjadi tidak mungkin berubah karena
keputusan yang diambil. Hanya biaya yang berubah karena keputusan yang relevan dalam
analisis.

Seringkali untuk menaksir arus kas dipergunakan taksiran rugi laba sesuai dengan prinsip
akuntansi, dan kemudian merubahnya menjadi taksiran atas dasar arus kas. Tabel dibawah ini
menunjukkan ilustrasi tersebut.

Tabel Taksiran arus kas (dalam juta rupiah)

Menurut Akuntansi Penjelasan Arus kas

Penjualan Rp. 2.000 Kas masuk Rp. 2.000


Biaya-biaya
- Yang sifatnya tunai Rp. 1.000 Kas Keluar Rp. 1.000
- Penyusutan Rp. 500
Laba operasi Rp. 500
Pajak (tariff 30%) Rp. 150 Kas keluar Rp. 150
Laba setelah pajak Rp. 350 Kas masuk bersih Rp. 850

Sesuai dengan prinsip akuntansi, laba bersih dilaporkan sebesar Rp. 350 juta. Sedangkan
menurut arus kas, pada periode tersebut proyek tersebut menghasilkan kas masuk bersih sebesar
Rp. 850 juta. Perhatikan bahwa kas masuk bersih = laba setelah pajak ditambah
penyusutan. Perhatikan pula bahwa dalam taksiran rugi laba sama sekali tidak dimunculkan
transaksi yang menyangkut keputusan pendanaan, yaitu pembayaran bunga (kalau ada). Ini
merupakan cara yang benar.
Misalkan taksiran arus kas pada tabel diatas tersebut merupakan taksiran arus kas dari
proyek peluncuran produk baru. Ternyata peluncuran produk baru tersebut mengakibatkan
penurunan kas masuk bersih dari produk lama sebesar Rp. 150 juta. Dengan demikian arus kas
yang relevan untuk proyek peluncuran produk baru tersebut adalah Rp. 850 juta dikurangi Rp.
150 juta, yaitu sebesar Rp. 700 juta.

Misalkan untuk pengembangan produk baru tersebut telah dikeluarkan biaya riset dan
pengembangan senilai Rp. 10 milyar. Seandainya perusahaan akan memproduksikan produk baru
tersebut, perlakuan terhadap biaya riset dan pengembangan ini harus dimasukkan sebagai
komponen investasi. Bahwa arus kas yang relevan dalam penilaian investasi adalah arus kas
yang terjadi apabila investasi tersebut dilaksanakan dan tidak terjadi apabila tidak dilaksanakan.
Sebagai misal, untuk pembuatan produk tersebut diperlukan mesin tertentu senilai Rp. 30 milyar.
Arus kas untuk membeli mesin ini relevan dalam perhitungan karena arus kas tersebut akan
terjadi kalau memutuskan untuk membuat produk baru tersebut, dan tidak terjadi kalau tidak
membuat produk baru tersebut, dan tidak terjadi kalau tidak membuat produk baru. Sebaliknya
pengeluaran biaya untuk riset telah dilakukan, dan apapun keputusan kita (artinya melaksanakan
atau tidak proyek tersebut tidak akan merubah arus kas ). Karena itu arus kas ini tidak relevan
dalam penilaian investasi. Biaya yang telah dikeluarkan disebut sebagai sunk costs yang
menunjukkan bahwa kita tidak bisa merubahnya apapun keputusanny, karena itu tidak relevan.
Setelah arus kas proyek diperkirakan, langkah berikut adalah dievaluasi dengan
menggunakan suatu metoda untuk menentukan apakah proyek harus diterima atau ditolak. Ada
paling tidak 5 metoda umum digunakan:
a) Payback Period dan Discounted Payback Period
b) Net Present Value (NPV)
c) Internal Rate of Return (IRR)
d) Profitability Index (PI)
e) Modified IRR (MIRR)

3.2. METODA PAYBACK PERIOD DAN DISCOUNTED PAYBACK PERIOD


Payback period adalah periode waktu yang diperlukan untuk mengembalikan investasi pada
proyek.

Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas bersih Arus kas kumulatif
setelah pajak proyek X
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 500.000 (500.000)
2 400.000 (100.000)
3 300.000 200.000
4 100.000 300.000

Investasi sebesar Rp 1 juta dapat dikembalikan pada akhir tahun ke 3. Jika arus kas
diasumsikan terjadi sepanjang tahun secara sama, maka pada tahun ke 3, Rp 100.000 dapat
dikembalikan dalam:
.
. = 1/3 tahun

Maka payback period adalah 2⅓ tahun atau 2 tahun 4 bulan. Jika ada proyek lain yang
memiliki payback period 2 tahun dan kita harus memilih, maka proyek yang memiliki
payback period lebih pendek yang lebih disukai.
Kriteria: Tidak ada batas waktu yang jelas, semuanya tergantung pada pemilik modal.
Namun pada umumnya, payback period yang pendek lebih disukai.
Keuntungan metoda payback period: mudah dihitung dan dimengerti. Selain itu, payback
peiod memberikan informasi mengenai risiko dan likuidaitas proyek. Proyek yang payback
period-nya pendek memiliki risiko yang lebih kecil dan likuiditas yang lebih baik.
Kelemahan metoda payback period: mengabaikan arus kas setelah payback period dan nilai
waktu uang.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek A Arus Kas Proyek B
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 1.000.000 500.000
2 100.000 1.000.000
3 - 2.000.000
4 - 1.000.000
Payback period proyek A = 1 tahun
Payback period proyek B = 1,5 tahun

Menurut metoda payback period, proyek A lebih baik. Tapi sebenarnya proyek B lebih
menguntungkan karena pada tahun ke 3 dan 4, Proyek B masih menghasilkan arus kas
sebesar 3 juta, sementara proyek A sudah berhenti memberikan pemasukan.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek C Arus Kas Proyek D
0 (1.000.000) (1.000.000)
1 - 800.000
2 900.000 100.000
3 100.000 100.000

Ke 2 proyek memiliki payback period yang sama yaitu 3 tahun, tapi proyek D sebenarnya
lebih menarik karena memberikan 800.000,- pada tahun pertama sementara proyek C tidak
memberikan apa-apa. Present value arus kas masuk proyek C.
Kelemahan mengabaikan waktu uang ini dapat diatasi dengan memodifikasi metoda payback
period menjadi metoda discounted payback period. Dengan metoda ini, arus kas di diskonto
(dicari present value-nya) kemudian baru dicari payback period-nya.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Present Value Arus Kas Arus kas kumulatif
Proyek di diskonto pada 10%
0 (1.000.000) (1.000.000) (1.000.000)
1 500.000 455.000 ( 545.000)
2 400.000 331.000 ( 214.000)
3 300.000 225.000 11.000
4 100.000 68.000 79.000

.
Discounted payback period =2+ .
= 2,95 tahun
Meski banyak kelemahannya, metoda payback period masih terus digunakan secara intensif
dalam membuat keputusan penganggaran modal. Tapi metoda ini tidak digunakan sebagai
alat utama, melainkan hanya sebagai indikator dari likuiditas dan risiko proyek.

3.3. METODA NET PRESENT VALUE


Metoda ini menggunakan teknik Discounted Cash Flow (DCF) untuk memperhitungkan nilai
waktu uang dari semua arus kas proyek.
NPV didefinisikan sebagai:
CF
NPV =(1 + k)

dimana:
CFt = cash flow atau arus kas pada waktu t
k = biaya modal proyek (project cost of capital)
t = periode waktu
n = usia proyek
Arus kas dapat berupa pengeluaran (cash outflows) dan penerimaaan (cash inflows). Cash
outflows diberi tanda – (negatif) dan cash inflows diberi tanda + (positif).
Kriteria penerimaan: NPV nol atau positif, yang berarti present value dari arus kas masuk
sama dengan atau lebih besar dari present value dari arus kas keluar. Dengan demikian, jika NPV
proyek negatif, proyek tersebut harus ditolak. Jika 2 proyek bersifat “mutually exclusive”
(artinya hanya 1 yang dipilih) maka proyek yang memiliki NPV positif yang terbesar yang
dipilih.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
Biaya modal proyek adalah 10%
. . . . . .
+
NPV = + + + , ) ( ,)
( , ) ( , ) ( , ) (
= -1.000.000 + 454.550 + 330.580 + 225.390 + 68.300
= 78.820,-
Karena NPV adalah positif, proyek ini dapat diterima.
NPV sebesar nol menunjukkan bahwa arus kas proyek tepat cukup untuk: 1) membayar kembali
modal yang diinvestasikan dan 2) menyediakan tingkat keuntungan yang disyaratkan pada modal
(biaya modal proyek).
Jika NPV adalah positif, arus kas proyek menghasilkan suatu “sisa keuntungan” atau excess
return yang akan dinikmati oleh para pemegang saham (pemilik perusahaan). Jadi jika
perusahaan mengambil proyek dengan NPV positif, nilai perusahaan (harga saham) akan naik
yang berarti kesejahteraan pemegang saham (wealth of stockholders) naik. Jika perusahaan
mengambil proyek dengan NPV = 0, harga saham tidak berubah karena proyek hanya
menghasilkan keuntungan sebesar yang disyaratkan.
Metoda NPV ini dipandang sebagai pengukur profitabilitas suatu proyek yang terbaik karena
metoda ini memfokus pada kontribusi proyek kepada kemakmuran pemegang saham.

3.4. METODA INTERNAL RATE OF RETURN


IRR adalah suatu tingkat diskonto (discount rate) yang menyamakan present value cash inflows
dengan present value cash outflows. Atau suatu tingkat diskonto yang membuat NPV = 0.
IRR juga diartikan sebagai “tingkat keuntungan yang diperkirakan akan dihasilkan oleh proyek”
atau “expected rate of return”
Rumus untuk menghitung IRR adalah:

CF
NPV = (1 + r)
dimana:
r = IRR atau tingkat diskonto yang menyebabkan NPV = 0
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000

. . . .
0 = -1.000.000 + () + () + () + ()
r atau IRR dapat dicari dengan bantuan tabel PVIF, untuk itu kita harus menggunakan teknik coba-
coba atau “trial and error”.
Misalnya, jika r = 14%, NPV = 8083,-
Jika r = 15%, NPV = -8330,-
Artinya r yang membuat NPV = 0 ada diantara 14% sampai dengan 15%. Untuk menemukan IRR,
kita gunakan teknik interpolasi sebagai berikut:
NPV
A
8083 *

B IRR atau E
O * r atau discount rate
14% 15%

-8330 C D

Gunakan prinsip 2 segitiga sebangun sehingga:


AB AC
BE = CD

(8083 − 0)
= (8083 − 8330)
(IRR – 14%)
(15% − 14%)
(IRR – 14%) = ( %)
(
(IRR – 14%) = 0,49% )
IRR = 14,49%
= 14,5%
Untuk memperoleh perhitungan IRR yang lebih cepat dan akurat, kita dapat menggunakan
dengan personal komputer (program EXCEL). Anda dapat menggunakan rumus: = IRR (A i :
Aj), dimana Ai:Aj menunjukkan sel-sel arus kas. Ai:Aj dapat diganti sesuai dengan sel-sel
arus kas suatu proyek.
Contoh EXCEL
A B
1 -1.000.000 = IRR (A1:A5) lalu ENTER
hasilnya adalah IRR
2 500.000
3 400.000
4 300.000
5 100.000

Kriteria penerimaan proyek: Jika IRR lebih besar atau sama dengan project cost of capital
maka poyek sebaiknya diterima. Jika IRR lebih kecil dari project cost of capital, proyek harus
ditolak. Mengapa? IRR dapat dipandang sebagai suatu tingkat keuntungan yang diharapkan dari
proyek (expected rate of return). Sedangkan project cost of capital adalah tingkat keuntungan
yang disyaratkan (required rate of return). Jika IRR lebih besar dari biaya model proyek, proyek
dapat membayar biaya modal proyek dan tetap menghasilkan suatu surplus keuntungan yang
dinikmati oleh pemegang saham. Dengan demikian, mengambil proyek yang IRR-nya (expected
rate of return) lebih besar dari biaya modal proyek (required rate of return) akan meningkatkan
kemakmuran pemegang saham.
Jika IRR sama dengan biaya modal proyek, proyek diperkirakan akan menghasilkan keuntungan
sebesar yang disyaratkan oleh pemilik modal, tidak lebih tidak kurang. Kondisi ini tentunya
masih dapat diterima oleh pemilik modal (baik pemilik modal asing atau kreditur maupun
pemilik modal sendiri).
Jika terdapat 2 proyek yang bersifat mutually exclusive, proyek dengan IRR yang lebih tinggi
yang sebaiknya dipilih, dengan asumsi IRR kedua proyek lebih besar atau sama dengan biaya
modal proyek. Hal ini berlaku pula untuk lebih dari 2 proyek yang mutually exclusive. Pada
kondisi ini, proyek dengan IRR terbesar yang dipilih, dengan asumsi IRR ≥ biaya modal.
Kelemahan metoda IRR: jika proyek memiliki arus kas yang “tidak normal”, ada kemungkinan
IRR tidak dapat digunakan. Yang dimaksud arus kas “yang normal”adalah serangkaian (satu
atau lebih) arus kas keluar diikuti dengan serangkaian arus kas masuk. Pada arus kas yang
“tidak
normal”, arus kas negatif (pengeluaran) muncul selama tahun-tahun setelah proyek berjalan. Jika
arus kas “tidak normal”, dapat timbul masalah “multiple IRR” atau IRR ganda.

Contoh:
Tahun Perkiraan Arus Kas Proyek
0 - 1.600.000
1 +10.000.000
2 - 10.000.000

Terdapat 2 r yang menyebabkan NPV = 0, yaitu r = 25% dan r = 400%. Hubungan ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
NPV(jutaan)
1,5 -

1- NPV = 1,6 juta + ( –


)

0,5 -

0 ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ biaya modal (%)


100 200 300 400 500
-0 ,5 -

- 1 - IRR1 = 25%IRR2 = 40%


-1
,5 -

IRR mana yang digunakan? Jika IRR = 25%, untuk biaya modal, katakanlah 200%, proyek harus
ditolak, padahal NPV-nya positif. Jika IRR = 400% yang dipakai, untuk biaya modal = 10%,
proyek harus diterima, padahal NPV-nya negative.
Kesimpulan: jika terjadi IRR ganda, kita harus menghitung NPV-nya. Lalu buat apa kita
menggunakan IRR? Bukankah lebih baik langsung menggunakan metoda NPV?

3.5. METODA PROFITABILITY INDEX


Profitability Index atau PI adalah rasio antara Present Value penerimaan arus dan Present Value
pengeluaran arus kas. Metoda ini sering pula disebut “Benefit Cost Ratio”.

CIF
(1 + k)
PI = =
COF
(1 + k)

dimana:
CIFt = cash inflows pada periode t
COFt = cash outflows pada periode t
k = biaya modal proyek
t = periode waktu
Contoh:
Tahun Arus kas proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
Biaya modal proyek = 10%
. . . .
(, ) (, )(, ) (, )
PI = ..
(, )
.
PI = ..
= 1,079

Kriteria penerimaan proyek: suatu proyek diterima jika PI proyek adalah sama dengan atau
lebih besar dari 1. Jika PI proyek sama dengan atau lebih besar dari 1, artinya PV penerimaan
sama dengan atau lebih besar dari PV pengeluaran. Sebaliknya, jika PI proyek lebih kecil dari 1,
proyek ditolak. Untuk proyek yang mutually exclusive, proyel dengan PI lebih besar yang
dipilih, dengan catatan PI ≥ 1.

3.6. PERBANDINGAN ANTARA METODA NPV DAN IRR


Secara matematis metoda NPV, IRR dan PI selalu memberikan rekomendasi yang sama untuk
menerima atau menolak proyek-proyek yang independen (bukan mutually exclusive). Dua
proyek disebut independen jika keputusan terima/tolak proyek satu tidak mempengaruhi
keputusan terima/tolak proyek lainnya.
 Jika suatu proyek memiliki NPV = 0, maka IRR = biaya modal dan PI = 1. Oleh karena itu, jika NPV
> 0, IRR > biaya modal dan PI >1.
Contoh:
Tahun Arus kas proyek
“X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000
Biaya modal proyek adalah 10%
NPV proyek = 78.820
IRR proyek = 14,5%
PI proyek = 1,079
Menurut ke 3 metoda tersebut, proyek harus diterima karena NPV positif, IRR lebih besar dari biaya
modal proyek dan PI lebih besar dari 1.
 Namun demikian, metoda NPV, IRR dan PI dapat memberikan ranking yang berbeda satu sama lain
pada proyek-proyek yang mutually exclusive.
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus kas proyek “X” Arus Kas Proyek
0 (1.000.000) (1.000.000)
2 500.000 100.000
3 400.000 300.000
4 300.000 400.000
5 100.000 600.000
Ke 2 proyek bersifat “mutually axclusive”. Pada biaya modal 5%, proyek “X” memiliki NPV sebesar
180.420 sedang proyek “Y” memiliki NPV sebesar 206.500.
IRR proyek “X” = 14,5%
IRR proyek “Y” = 11,8%
Menurut metoda NPV, proyek Y yang harus dipilih. Sedangkan menurut metoda IRR, proyek X yang
dipilih karena memiliki IRR yang lebih besar.
Ada 2 kondisi mendasar yang menimbulkan konflikantara NPV dan IRR yaitu: (1) Jika ukuran
atau skala proyek berbeda, artimnya biaya proyek satu lebih besar dari yang lain, atau (2) jika
timing penerimaan arus kas berbeda. Misalnya yang terjadi pada contoh proyek “X” dan “Y”.
NPV suatu proyek dapat berubah-ubah tergantung besarnya biaya modal proyek yang berfungsi
sebagai discount rate. Untuk melihat hubungan antara biaya modal proyek dengann NPV proyek,
kita dapat menggambar “profil NPV” (Net Present Value profile).
Contoh
Melanjutkan contoh proyek “X” dan “Y” sebelumnya.
Biaya Modal NPV “X” NPV “Y”
0% 300.000 400.000
5% 180.420 206.500
10% 78.820 49.180
15% (8330) (80.140)
IRR Proyek “X” = 14,%5
IRR Proyek “Y” = 11,8%
Per definisi, jika biaya modal proyek = IRR, maka NPV = 0
NPV(Rp)

400.000 -
NPV profil proyek Y

300.000 -

Crossover rate = 7,2%


200.000 -

100.000 - NPV profil proyek X

, , , Biaya modal (%)


51015 IRR x = 14,5%
Cara mencari Crossover rate: IRRy = 11,8%
Tahu Perkiraan Arus kas proyek “X” Perkiraan Arus kas proyek “Y” Selisih
n
0 (1.000.000) (1.000.000) 0
1 500.000 100.000 400.000
2 400.000 300.000 100.000
3 300.000 400.000 -100.000
4 100.000 600.000 -500.000

Kemudian kita mencari IRR untuk Arus kas selisih


. . . .
0=0+ () + () + () + ()
r atau IRR adalah 7,2%
Dari profil NPV ke 2 proyek dapat disimpulkan bahwa jika biaya modal lebih kecil dari 7,2%, NPV
proyek “Y” lebih besar. Tapi jika biaya modal lebih besar dari 7,2%, NPV proyek “X” lebih besar. Jika
biaya modal sama dengan crossover rate, NPV ke 2 proyek sama besar.
 Kondisi-kondisi apa yang menyebabkan konflik antara NPV dengan IRR? Ada 2 kondisi: (1) skala
proyek (besarnya modal investasi) yang berbeda, dan (2) timing penerimaan arus kas yang berbeda.
Contoh 1:
Skala proyek berbeda, timing penerimaan arus kas sama:
Tahun Perkiraan Arus kas proyek K Perkiraan Arus kas proyek L
0 -20 -6
1 6 2
2 6 2
3 6 2
4 6 2
5 6 2

Dengan asumsi biaya modal =


10% NPV “K” = 2,74 IRR “K” =
15,2% VPV “L” = 1,58 IRR “L” =
19,9%
Terjadi konflik karena NPV “K” > NPV “L”,
IRR “K”, IRR”L”.

Contoh 2:
Timing penerimaan arus kas berbeda, skala proyek sama.
Tahun Perkiraan Arus kas proyek K Perkiraan Arus kas proyek L
0 -10 -10
1 0 4
2 2 4
3 3 3
4 5 3
5 9 2

Dengan asumsi biaya modal = 10%,


NPV “M” = 2,91 IRR”M” = 17,35
NPV”N” = 2,49 IRR”N” = 20,5%
Terjadi konflik karena NPV “M” > NPV”N”
IRR”M” < IRR”N”
Apa yang menyebabkan konflik antara NPV dan IRR? Metoda NPV secara implisit
mengasumsikan bahwa arus kas proyek diinvestasikan kembali (reinvest) pada tingkat bunga
(reinvestment rate) sebesar biaya modal proyek. Sedangkan IRR secara implisit mengasumsikan
bahwa arus kas proyek diinvestasikan kembali pada tingkat bunga sebesar IRR proyek. Secara
matematis hal tersebut ditunjukkan dengan fakta bahwa NPV menggunakan discount rate sebesar
biaya modal proyek dan IRR menggunakan discount rate sebesar IRR proyek.
NPV atau IRR yang digunakan? Jika terjadi konflik antara NPV dan IRR dalam memilih proyek
mutually exclusive, metoda NPV yang digunakan. Mengapa? Opportunity cost (biaya
kesempatan) dari arus kas suatu proyek adalah biaya modal Opportunity cost (biaya kesempatan)
dari arus kas suatu proyek adalah biaya modal proyek tersebut. Jika kita menanamkan uang pada
suatu proyek, maka kita kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari proyek lain.
Ada unsur biaya kesempatan atau opportunity cost. Oleh karena itu, arus kas penerimaan dari
suatu proyek harus didiskonto dengan opportunity cost. Opportunity cost adalah sebesar tingkat
keuntungan yang disyaratkan investor pada proyek (required rate of return) atau sebesar biaya
modal proyek (project cost of capital). Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa
asumsi tentang tingkat penggandaan atau investasi kembali arus kas proyek yang benar adalah
sebesar biaya modal seperti yang digunakan dalam perhitungan NPV. Selain alasan tersebut,
kelemahan-kelemahan metoda IRR seperti yang telah dibahas sebelumnya juga merupakan
alasan mengapa NPV lebih baik.
Walaupun NPV lebih baik, survey di AS menunjukkan bahwa banyak eksekutif bisnis lebih suka
menggunakan IRR (perbandingannyaadalah 3:1 untuk IRR)dari pada menggunakan NPV.
Nampaknya mereka cenderung menyukai suatu angka dalam presentase daripada angka absolute.
Kenyataan ini mendorongilmuwan dalam dalam bidang keuangan untuk mengembangkan suatu
metoda IRRyang lebih baik, yaitu metoda modified IRR (MIRR).

3.7. METODA MODIFIED INTERNAL RATE OF RETURN


MIRR adalah suatu tingkat diskonto yang menyebabkan present value biaya (pengeluaran) =
present value nilai terminal, dimana nilai terminal adalah future value dari arus kas masuk (cash
inflows) yang digandakan dengan biaya modal, maka:

CIF . (1 + k)
PV biaya = =
( ) (1 + MIRR)

52
dimana:
CIFt = cash inflows pada periode t
MIRR = modified IRR
n = usia proyek
Nilai terminal = FV dari CIF yang digandakan dengan suku bungasebesar biaya modal
k = biaya modal proyek
Contoh:
Tahun Perkiraan Arus kas proyek “X”
0 (1.000.000)
1 500.000
2 400.000
3 300.000
4 100.000

Biaya modal proyek = 10%

CIF . (1 + k)
PV biaya = =
( )
(1 + MIRR)
. ( , ) . ( , ) . ( , ) .
1.000.000 =
( )
Nilai MIRR yaitu sebesar 12,1% dapat dicari dengan cara:
1.000.000 = ,
( )
(1+MIRR)4 = 1,5795
log (1+MIRR)4 = log 1,5795
4 log (1+MIRR) = 0,1985
log (1+MIRR) = 0,0496
1+ MIRR = antilog (0,0496)
1+ MIRR = 1,12098
MIRR = 0,121
= 12,1%
Perhitungan MIRR dengan program EXCEL:

Rumus: = MIRR (Ai, Aj, B%, B%)

Ai : Aj menunjukkan sel-sel arus kas proyek, B% menunjukkan biaya modal proyek (tingkat diskonto)

MIRR memiliki kelebihan disbanding IRR karena MIRR mengasumsikan arus kas dari proyek
diinvestasikan kembali (digandakan) dengan menggunakan biaya modal. Selain itu MIRR juga
dapat menghindari masalah “multiple IRR” yang terjadi pada metoda IRR.

53
Jika 2 proyek yang mutually exclusive memiliki skala yang sama dan usia yang sama, NPV dan
MIRR akan memberikan keputusan yang sama. Tapi jika ke 2 proyek tersebut berbeda skala atau
ukurannya (biayanya), dapat terjadi konflik antara NPV dan MIRR. Dalam hal ini, NPV tetap
lebih baik.

3.8. PERBANDINGAN METODA NPV DAN PI


Untuk menilai proyek yang independent, ke 2 metoda akan memberikan keputusan yang sama.
Tapi untuk menilai 2 proyek yang mutually exclusive, dapat timbul konflik ranking antara NPV
dan PI.

Contoh:
Tahun Arus kas proyek “P” Arus Kas Proyek “R”
0 (5.000.000) (100.000)
1 600.000 130.000
Biaya modal untuk ke 2 proyek adalah sama yaitu 10%
..
NPV “R” = -5.000.000 + (,)
= 454,545
.
NPV “P” = -1.000.000 + (,)
= 18,182
..
( , )
PI “P” = ..
.
(,)
PI “R” = .

= 1,18

Menurut NPV, proyek “P” harus dipilih. Tapi menurut PI, proyek “R” yang harus dipilih. Mana
yang benar? Kalau kita ingin memaksimumkan nilai perusahaan, maka proyek “P” yang harus
dipilih karena akan memberikan tambahan nilai sebesar 454,545 dibanding dengan hanya 18,182
jika proyek “R” yang dipilih. Kelemahan PI adalah ukurannya dalam proporsi, bukan angka
absolut.

3.9. PERUBAHAN BIAYA MODAL DAN NPV


Selama ini kita selalu mengasumsikan bahwa biaya modal konstan dari waktu ke waktu.
Seandainya perusahaan mengantisipasi bahwa biaya modal tidak konstan, perhitungan NPV
harus memasukkan fenomena ini.
Contoh:
Tahun Arus kas proyek
0 (10.000.000)
1 4.100.000
2 4.100.000
3 4.100.000
Jika biaya modal tetap 10% sepanjang usia proyek:
. . . . . .
NPV = -10.000.000 + (, ) + (, ) + (, )
= 196.000
Seandainya biaya modal tidak tetap, tapi diperkirakan 10% pada tahun 1, 12% pada tahun ke 2, dan
14% pada tahun ke 3, maka:
. . . . . .
NPV = -10.000.000 + (, )
+
( , )( , )( , )
= -26.000
+
( , )( , )

Jika kita menggunakan metoda IRR, akan timbul masalah karena biaya modal tidak tetap. IRR harus
dibandingkan dengan apa? Hal ini memperkuat alasan kita untuk menggunakan metoda NPV.

3.10. Metode-metode lain

Tidak semua analisis investasi menggunakan metode NPV untuk menentukan menguntungkan
tidaknya suatu usulan investasi. Berikut ini berbagai metode yang sering dipergunakan untuk
menilai profitabilitas usulan investasi.

a. Average rate of return


Metode ini menggunakan angka keuntungan menurut akuntansi, dan dibandingkan dengan rata-
rata nilai investasi. Dengan menggunakan contoh yang sama (yaitu usaha divisi taksi),
perhitungannya adalah sebagai berikut. Nilai investasi akhir pada setiap tahunnya berkurang
sebesar penyusutan. Sedangkan nilai rata-rata investasi merupakan penjumlahan investasi awal
plus akhir dibagi dua. Perhitungan rata-rata rate of return memerlukan sedikit penjelasan.
Perhatikan bahwa angka tersebut tidak sama dengan (299,64%)/4 = 74,91 %.
Tabel Perhitungan average rate of return investasi taksi
Tahun Investasi awal Investasi akhir Rata-rata Laba setelah Rate of Return
Investasi Pajak
1 Rp. 1.500 Rp. 1.175 Rp. 1.337,5 Rp. 303,75 37,66%
2 Rp. 1.175 Rp. 850 Rp. 1.012,5 Rp. 503,75 49,75%
3 Rp. 850 Rp. 525 Rp. 687,5 Rp. 503,75 73,27%
4 Rp. 525 Rp. 200 Rp. 362,5 Rp. 503,75 138,96%
Jumlah Rp. 3.400,0 Rp. 2.015
Rata-rata Rp. 850,0 Rp. 503,75 59,26%

Perhitungan rata-rata of return ditempuh dengan cara membagi rata-rata laba setelah pajak dengan
rata-rata investasi. Dengan kata lain,

Average rate of return = x 100%

Average rate of return = (503,75/850) x 100%


= 59,26%

Mengapa angka yang dihasilkan berbeda? Hal tersebut disebabkan karena pengaruh magnitude
dari pembagi yang berbeda. Disamping kelemahan dalam bentuk hasil perhitungan yang bisa
berbeda kalau digunakan angka rata-rata dan dihitung setiap tahun, kelemahan mendasar dari
teknik ini adalah (1) bagaimana menentukan tingkat keuntungan (rate of return) yang dianggap
layak, (2) konsep ini menggunakan konsep laba akuntansi, dan bukan arus kas, dan (3)
mengabaikan nilai waktu uang.

Metode ini mengatakan bahwa semakin tinggi average rate of return, semakin menarik usulan
investasi tersebut. Tetapi berapa batas untuk dikatakan menarik? Secara konsepsional belum ada
cara untuk menentukannya. Berlainan dengan penentuan tingkat bunga yang layak dalam
perhitungan NPV, terdapat model yang secara konsepsional dapat dipergunakan untuk
menentukan batal cutoff) nilai tersebut.

Kelemahan metode average rate of return juga Nampak dalam masalah pemilihan usulan
iunvestasi. Misalkan terdapat usulan investasi lain (kita sebut saja usulan investasi B) yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut.

Tabel Perhitungan average rate of return investasi taksi


Tahun Investasi awal Investasi akhir Rata-rata Laba setelah Rate of Return
Investasi
1 Rp. 1.500 Rp. 1.175 Rp. 1.337,5 Rp. 303,75
2 Rp. 1.175 Rp. 850 Rp. 1.012,5 Rp. 503,75
3 Rp. 850 Rp. 525 Rp. 687,5 Rp. 503,75
4 Rp. 525 Rp. 200 Rp. 362,5 Rp. 703,75
Jumlah Rp. 3.400,5 Rp. 2.015
Rata-rata Rp. 850,0 Rp. 503,75 59,26%

Baik investasi divisi taksi maupun investasi B, diharapkan average rate of return yang sama,
yaitu 59,26%. Meskipun demikian kita melihat bahwa investasi usaha taksi diharapkan
memberikan keuntungan yang lebih besar pada tahun 1 (yaitu Rp. 503,75 dibandingkan dengan
hanya Rp. 303,75), dan lebih kecil pada tahun ke 4, meskipun jumlahnya sama. Kalau kita
memperhatikan nilai waktu uang, maka usulan investasi divisi taksi akan lebih menarik dari
usulan investasi B.

b. Metode mana yang lebih baik?

Dua metode yang pertama, yaitu average rate return dan payback period, mempunyai
kelemahan yang sama, yaitu mengabaikan nilai waktu uang. Padahal, kita mengetahui bahwa
uang mempunyai nilai waktu. Dua metode yang terakhir, yaitu IRR dan PI, mempunyai
persamaan yaitu memperhatikan nilai waktu uang dan menggunakan dasar arus kas. Meskipun
demikian kita akan melihat adanya beberapa kelemahan metode-metode tersebut.

c. Kelemahan metode IRR


Kelemahan pertama adalah bahwa i yang dihitung akan merupakan angka yang sama untuk
setiap tahun usia ekonomis. Perhatikan bahwa i = 16,62% berarti bahwa IRR1 = IRR2 =
IRR3 = IRR4 = 16,62%. Metode IRR tidak memungkinkan menghitung IRR yang (mungkin)
berbeda setiap tahunnya. Padahal secara teoretis dimungkinkan terjadi tingkat bunga yang
berbeda setiap tahun.
Sebagai missal, bisa saja ditaksir bahwa r1 = 16%, r2 = 15%, r3 = 17%, dan r4 = 13%.
Dengan menggunakan r yang berbeda setiap tahunnya, NPV tetap bisa dihitung, tetapi IRR
tidak mungkin dihitung.

Kelemahan yang kedua adalah bisa diperoleh i yang lebih dari satu angka (multiple IRR).
Perhatikan contoh berikut ini.
Tahun 0 1 2
Arus kas -Rp. 1,6 juta +Rp. 10,0 juta -Rp. 10,00 juta

Perhatikan bahwa terjadi dua kali pergantian tanda arus kasnya. Persoalan tersebut bisa
dirumuskan sebagai berikut.

1,6 = -
() ()

Kalau kita hitung, kita akan memperoleh dua nilai I yang membuat sisi kiri persamaan sama
dengan nilai sisi kanan persamaan. Nilai-nilai I adalah :
I1 = 4,00 (artinya 400%), dan
I2 = 0,25 (artinya 25%).

Dengan demikian timbul masalah, yaitu i mana yang akan kita pergunakan. Kalau kita pilih i1,
maka investasi akan dikatakan menguntungkan apabila r < 400% (missal 30%). Sebaliknya kalau
dipergunakan i2, maka investasi dikatakan tidak menguntungksn kalau r = 20%, sehingga kita
menyimpulkan investasi tersebut menguntungkan baik dipergunakan i1 maupun i2. Hal tersebut
terjadi karena NPV investasi tersebut kalau digambarkan akan Nampak sebagaimana pada
Gambar 12.1. Gambar tersebut menunjukkan justru kalau r < 25%, maka NPV investasi tersebut
negative (artinya investasi harus ditolak).
NPV (Rupiah)

2,0.

1,0.

25 100 200 300 400


.
-1,6

Gambar 12.1. IRR ganda

Kelemahan ketiga adalah pada saat perusahaan harus memilih proyek yang bersifat mutually
exculusive (artinya pilihan yang satu meniadakan pilihan lainnya). Untuk itu perhatikan contoh
berikut ini (arus kas dalam rupiah).

Proyek Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 NPV IRR


(r = 18%)

A -1.000 +1.300 +100 + 100 234,37 42%


B -1.000 + 300 +300 + 1.300 260,91 30%

Kalau kita perhatikan NPVnya, maka proyek B seharusnya dipilih karena memberikan NPV
tersbesar. Sedangkan kalau kita menggunakan IRR, kita akan memilih A karena proyek tersebut
memberikan IRR yang lebih tinggi. Pertanyaannya tentu saja adalah, apakah kita seharusnya
memilih A (sesuai dengan criteria NPV) ataukah memilih B (sesuai dengan criteria IRR). Untuk
itu persoalan tersebut bisa dimodifikasikan sebagai berikut.

Proyek Tahun 0 Tahun1 Tahun 2 Tahun 3 NPV IRR


(r = 18%)

A -1.000 +1.300 +100 + 100 234,37 42%


B -1.000 + 300 +300 +1.300 260,91 30%
B minus A 0 -1.000 +200 +1.200 26,54 20%
B minus A artinya adalah bahwa kita menerima B dan menolak A. Kalau kita melakukan hal
tersebut, maka pada tahun 1 kita menerima Rp. 1.000 lebih kecil, tetapi pada tahun ke 2 dan ke 3,
berturut-turut kita akan menerima Rp. 200 dan Rp. 1.200 lebih besar. Tingkat bunga yang
menyamakan pola arus kas incremental (atau selisih) ini adalah 20% (disebut juga incremental
IRRnya 20%). Kalau tingkat bunga yang layak adalah 18%, bukankah pantas kalu kita menerima
B dan menolak A? Kita lihat juga bahwa NPV dari arus kas incremental tersebut adalah + Rp.
26,54.

Berarti dalam situasi mutually exclusive kita mungkin salah memilih proyek kalau kita
menggunakan criteria IRR. Penggunaan IRR akan tepat kalau dipergunakan incremental IRR.

d. Kelemahan metode PI
Metode PI akan selalu memberikan keputusan yang sama dengan NPV kalau dipergunakan untuk
menilai usulan investasi yang sama. Tetapi kalau dipergunakan untuk memilih proyek yang
mutually exclusive, metode PI bisa kontradiktif dengan NPV. Untuk itu perhatikan contoh
berikut ini.

Proyek PV kas keluar PV kas masuk NPV PI


(investasi)

C -Rp. 1.000 +Rp. 1.100 +Rp. 100 1.10


D -Rp. 500 +Rp. 500 +Rp. 60 1.12

Tabel di atas menunjukkan bahwa kalau dipergunakan criteria NPV, maka proyek C dipilih,
tetapi dengan criteria PI, proyek D yang dipilih. Masalah ini memang sering membingungkan
para mahasiswa karena bukankh proyek D memberikan “keuntungan” Rp.60 dari investasi Rp.
500, sedangkan C memang memberikan “keuntungan” Rp. 100 tetapi dari investasi Rp. 1.000?
mengapa harus memilih C?

Sebenarnya “kebingungan” tersebut berasal dari asumsi yang mendasarinya. Kalau perusahaan
bisa memilih antara C dan D, maka tentunya perusahaan memiliki dana minimal Rp. 1.000.
Kalau kurang dari Rp. 1.000, perusahaan tidak akan bisa mengambil proyek C. Dengan
demikian, persoalan bisa dirumuskan sebagai berikut. Seandainya perusahaan memiliki dana
sebesar Rp. 1.000, dan tidak ada proyek-proyek lain selain C dan D, proyek mana yang akan
dipilih? C atau D? Jawabnya jelas C.
e. NPV dan tujuan normative menajemen keuangan

Dengan penjelasan di atas mudah-mudahan para pembaca menjadi yakin bahwa secara teoretis
penggunaan NPV akan memberikan hasil yang terbaik dalam penilaian profitabilitas investasi.
Disamping itu, PNV menunjukkan tambahan kemakmuran riil yang diperoleh oleh pemodal
dengan mengambil suatu proyek. Apabila kita kaitkan dengan tujuan normative manajemen
keuangan, yaitu untuk meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan, maka NPV konsisten
dengan tujuan normative tersebut. Marilah kita perhatikan contoh hipotetis berikut ini.

Misalkan suatu perusahaan memperoleh tawaran untuk mengelola perparkiran disuatu wilayah
selama lima tahun. Hak tersebut harus dibayar kepada pemerintah daerah seharga Rp. 1.200 juta.
Misalkan perusahaan menggunakan 100% modal sendiri. Setelah perusahaan membayar hak
parker tersebut neraca perusahaan, pada harga perolehan akan Nampak sebagai berikut
(anggaplah bahwa perusahaan tidak mempunyai aktiva apapun selain hak parker tersebut).

Tabel Neraca perusahaan setelah membeli hak parker (pada harga perolehan)
Aktiva Pasiva
Hak parkir Rp. 1.200 juta Modal sendiri Rp. 1.200 juta
Total Rp. 1.200 juta Total Rp. 1.200 juta

Setelah perusahaan memperoleh hak parker tersebut, para analis keuangan berpendapat bahwa
perusahaan bisa memperoleh kas masuk bersih per bulan sebesar Rp. 30 juta. Mereka juga
berpendapat bahwa tingkat bunga yang relevan untuk perusahaan tersebut adalah 1% per bulan.
Apabila semua orang sepakat tentang analisis tersebut, maka nilai hak parkir tersebut adalah,

PVHak parker = ∑
(, )

PVHak parkir = Rp. 1.348 juta

Dengan demikian apabila disajikan dalam bentuk neraca, tetapi dicatat pada nilai pasar, maka
neraca perusahaan tersebut adalah sebagai berikut.

Tabel neraca perusahaan (pada nilai pasar)


Aktiva Pasiva
Hak parker Rp. 1.348 juta Modal sendiri Rp. 1.348 juta
Total Rp. 1.348 juta Total Rp. 1.348 juta

Ini berarti bahwa nilai sebesar Rp. 1.200 yang diinvestasikan sekarang naik menjadi Rp. 1.348
juta. Pertambahan nilai sebeswar Rp. 148 juta ini tidak lain merupakan Net Present Value
investasi tersebut. Ini berarti bahwa seandainya perusahaan tersebut saat ini dijual, maka para
pemodal akan menawarkan harga Rp. 1.348 juta. Dengan kata lain, bagi pemilik perusahaan
akan mengalami kenaikan kemakmuran sebesar Rp. 148 juta.

Pada bagian ini akan dibicarakan berbagai variasi dalam capital budgeting. Variasi-variasi yang
akan dibicarakan adalah :
(1) Masalah metode penyusunan yang dipercepat
(2) Masalah keterbatasan dana
(3) Masalah modal kerja dalam capitak bugeting
(4) Masalah pemilihan aktiva
(5) Masalah penggantian aktiva
(6) Pengaruh inflasi pada penilaian investasi modal

Beriktut ini dibicarakan lebih rinci masing-masing variasi.

f. Metode penyusutan yang dipercepat

Apabila perusahaan diizinkan melakukan penyusutan dengan menggunakan metode yang


berbeda-beda, maka penggunaan penyusutan dengan menggunakan metode yang berbeda-beda,
maka penggunaan penysuutan yang dipercepat (acclereted depreciation) akan lebih
menguntungkan1. Misalkan perusahaan akan menggunakan metode penyusutan dauble decline
balance (DDB) untuk penyusutan . Metode penyusutan DDB dirumuskan sebagai 2(1/n). Dalam
hal ini n adalah usia ekonomis. Penyusutan dihitung dari nilai buku aktiva tetap yang disusut.
Dengan demikian apabila usia ekonomis adalah 4 tahun, maka penyusutan per tahun adalah
2(1/4) = 0,50 dari nilai buku. Pada tahun terakhir besarnya penyusutan sama dengan seluruh
nilai buku aktiva tersebut. Dengan demikian maka beban penyusutan setiap tahunnya adalah
(ingat perusahaan mempunyai 50 mobil ) sebagai berikut.

Tabel Besarnya penyusutan setiap tahun, usaha mobil taksi, dengan metode DDB
Tahun Besarnya penyusutan
1 0,50 x Rp. 26 x 50 = Rp. 650,0 juta
2 0,50 x Rp. 13 x 50 = Rp. 325,0 juta
3 0,50 x Rp. 6,5 x 50 = Rp. 16,5 juta
4 Sisanya = Rp. 162,5 juta

Dengan demikian perhitungan rugi laba setiap tahun, mulai dari tahun 1 s/d tahun 4 adalah sebagai
berikut.

Tabel Perhitungan rugi laba dengan menggunakan metode penyusutan DDB


Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4

Penghasilan 750,00 750,00 750,00 750,00


Biaya-biaya
Tunai 150,00 150,00 150,00 150,00
Penyusutan 650,00 325,00 163,50 162,50
Totral 800,00 475,00 312,50 312,50
Laba operasi ( 50,00) 275,00 437,50 437,50
Pajak 17,50 96,25 153,13 153,13
Laba setelah pajak ( 32,59) 175,75 284,37 283,37

Dengan demikian kas masuk bersih setiap tahunnya adalah :


Tahun 1 = -32,50 + 650,00 = Rp. 617,50 juta
Tahun 2 = 178,75 + 325,00 = Rp. 503,75 juta
Tahun 3 = 284,37 + 162,50 = Rp. 446,87 juta
Tahun 4 = 284,37 + 162,50 = Rp. 446,87 juta
Nilai residu = Rp. 200,00 juta

Nilai keseluruhan kas masuk bersih selama empat tahun juga sebesar Rp. 2.215 juta, sama
dengan sewaktu dipergunakan metode penyusutan garis lurus . Meskipun demikian dapat dilihat
bahwa pada tahun awal eprusahaan akan menerima kas masuk yang lebih besar. Dengan
demikian maka PV kas masuknya akan lebih besar, dan NPVnya akan lebih besar pula .
Perhatikan bahwa apabila dipergunakan kinerja akuntansi, maka pada tahun-tahun awal akan
Nampak kinerja keuangannya lebih jelek (karena menanggung beban penyusutan yang lebih
besar). Meskipun demikian penilaian profitabilitas suatu investasi dilakukan untuk sepanjang
usia ekonomi investasi tersebut, dan bukan per tahun. Mereka yang memusatkan perhatian hanya
pada kinerja setiap tahun sering disebut berpandangan pendek atau short-termism. Pemusatan
perhatian pada dampak jangka pendek mungkin mengakibatkan penolakan terhadap rencana-
rencana investasi yang sebenarnya menguntungkan.

Direksi mungkin tidak bersedia mengambil suatu kesempatan investasi yang sebenarnya
diperkirakan menguntungkan (yaitu memberikan NPV positif), hanya karena takut dampaknya
pada kinerja keuangan tahunan. Penurunan kinerja tahunan mungkin dikhawatirkan akan
mengakibatkan direksi dinilai tidak baik, sehingga para direksi menolak proyek-proyek yang
membawa dampak menguntungkan jangka panjang. Masalah ini disebut sebagai agency costs,
yang berarti bahwa manajemen (sebagai agent) mengambil keputusan bukan untuk kepentingan
para pemegang saham, tetapi untuk kepentingan mereka sendiri.

g. Masalah keterbatasan dana

Masalah keterbatasan dana sudah disinggung . Misalkan perusahaan menghadapi beberapa


proyek yang disusun peringkatnya sesuai dengan profitability index (PI) proyek-proyek tersebut.

Proyek 3 1 2 4
PI 1,15 1,13 1,11 1,08
Investasi awal Rp. 200 Rp. 125 Rp. 175 Rp. 150

Apabila dana terbatas hanya sebesar Rp. 300, maka proyek yang sebaiknya diambil adalah
proyek 1 dan 2 bukan proyek 3. Mengapa? Hal ini disebabkan karena meskipun karena meskipun
PI proyek yang tinggi, tetapi dengan mengambil proyek 1 dan 2, perusahaan diharapkan akan
memperoleh NPV yang lebih besar (yaitu Rp. 16,25 + Rp. 19,25 = Rp. 35,5), dibandingkan
dengan kalau mengambil proyek 1 (NPVnya hanya sebesar Rp. 30).
Batasan dana yang tetap untuk suatu periode biasanya jarang terjadi. Hal ini disebabkan karena
dengan berjalannya waktu, proyek yang sedang dilaksanakan mungkin telah menghasilkan kas
masuk bersih, dan arus kas tersebut bisa dipergunakan untuk menambah anggaran yang
ditetapkan.

Masalah yang timbul dalam keadaan keterbatasan dana adalah penentuan opportunity costs.
Opportunity cost menunjukkan biaya yang ditanggung perusahaan karena memilih suatu
alternative. Contoh di atas menunjukkan bahwa perusahaan tidak bisa mengambil proyek 1 dan
4, dan memilih alternative proyek 2 dan 3. Misalkan semua proyek tersebut dihitung dengan
menggunakan r = 18%. Apakah opportunity cost proyek-proyek tersebut sebesar 18%.
Jawabannya jelas tidak. Berapa “kerugian” yang ditanggun perusahaan karena tidak bisa
mengambil proyek 1 dan 4 hanya karena ridak mempunyai dana yang cukup? Jelas lebih dari
18%. Inilah sebenarnya ooprtunity cost karena perusahaan tidak memiliki dana yang cukup.

h. Masalah modal kerja

Setiap investasi modal umumnya akan memerlukan tambahan modal kerja. Tidak mungkin suatu
investasi hanya akan memerlukan pembelian aktiva tetap tanpa harus memiliki aktiva lancar.
Jumlah dana yang diperlukan untuk tetap tanpa harus memiliki aktiva lancar. Jumlah dana yang
diperlukan untuk membiayai aktiva lancar ini (setelah dikurangi dengan pendanaan spontan
kalau ada), merupakan kebutuhan akan modal kerja. Untuk memperjelas pembahasan marilah
kita perhatikan contoh berikut ini.

Misalkan suatu rencana investasi modal diperkirakan memerlukan pembelian aktiva tetap senilai
Rp. 300 juta. Usia ekonomis 3 tahun, dan untuk menyederhanakan, dianggap tidak ada nilai sisa.
Penyusutan dilakukan diperlukan aktiva lancar sebesar Rp. 200 juta. Untuk memudahkan analisis
dianggap tidak ada pendanaan spontan.

Jumlah aktiva lancar sebesar Rp. 200 juta ini dikaitkan dengan estimasi penjualan pada tahun
pertama sebesar Rp. 1.000 juta. Dengan demikian apabila penjualan diperkirakan naik, maka
jumlah aktiva lancar juga akan naik. Sebagai akibatnya, kebutuhan modal kerja akan berubah
dari waktu ke waktu, dan tidak jhanya terbatas pada awal usia proyek (tahun ke 0). Proporsi
aktiva lancar untuk tahun-tahun berikutnya diestimasi meningkat secara proporsional dengan
penjualan. Taksiran rugi laba dank as masuk operasional untuk tahun 1 s/d 3 adalah sebagai
berikut.

Tabel Taksiran rugi laba dank as masuk operasional


Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3

Penjualan Rp. 1.000 Rp. 1.200 Rp. 2.000


Biaya-biaya
Tunai Rp. 700 Rp. 820 Rp. 1.300
Penyusutan Rp. 100 Rp. 100 Rp. 100
Total Rp. 800 Rp. 920 Rp. 1.400
Laba operasi Rp. 200 Rp. 280 Rp. 600
Pajak (35%0 Rp. 70 Rp. 98 Rp. 210
Laba setelah pajak Rp. 130 Rp. 182 Rp. 390
Kas masuk operasional Rp. 230 Rp. 282 Rp. 490

Untuk menaksir arus kas secara keseluruhan, baik kas keluar maupun kas masuk, perlu dipehatikan
penambahan aktiva lancar (atau modal kerja). Selama berjalannya usia investasi, jumlah aktiva lancar
akan meningkat dari tahun ke tahun (karena penjualan diharapkan meningkat). Pada akhir usia proyek,
modal kerja tersebut akan kembali sebagai terminal cash flow. Masalah tersebut bisa disajikan sebagai
berikut.

Tabel Perhitungan arus kas


Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3

Aktiva tetap (nilai buku) Rp. 300 Rp. 200 Rp. 100 0
Aktiva lancar Rp. 200 Rp. 240 Rp. 400 0
Penambahan aktiva lancar Rp. 200 Rp. 40 Rp. 160 (Rp. 400)

Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - - -
Penambahan aktiva lancar -200 - 40 -160 -
Kembalinya modal kerja - - - +400
Arus kas operasional - +230 +282 +490
Total arus kas -500 +190 +122 +890

Apabila tingkat bunga yang dipandang layak (= r) sebesar 18%, maka NPV proyek tersebut adalah,
NPV = -500 + 790
= + 290

i. Pemilihan aktiva

Masalah yang sering dihadapi perusahaan adalah memilih aktiva (mesin misalnya) yang
mempunyai karakteristik yang berbeda, tetap kapasitasnya sama. Sebagai missal, apakah kita
akan menggunakan printer merk A ataukah B. Apakah kita akan memilih mesin ketik merk C
ataukah D. Apabila kapasitas kedua aktiva tersebut sama, maka kita tinggal melakukan analisis
terhadap factor-faktor yang berbeda. Faktor-faktor tersebut biasanya, (1) harga, (2) biaya operasi,
dan (3) usia ekonomis.

Apabila ada dua mesin yang mempunyai kapasitas yang sama, mempunyai harga yang sama,
usia ekonomis yang sama pula, tetapi dengan biaya operasi yang lebih rendah, maka tanpa
melakukan analisis yang terlalu rumit kita dengan mudah memilih mesin yang mempunyai biaya
operasi yang lebih rendah. Pertimbangan kita adalah memilih mesin yang mempunyai present
value kas keluar yang paling kecil. Meskipun demikian pedoman ini perlu berhati-hati dalam
menerapkannya. Marilah kita perhatikan contoh berikut ini.

Ada dua mesin, A dan B, yang mempunyai kapasitas yang sama. Bedanya adalah harga mesin A
lebih mahal, yaitu Rp. 15 juta, sedangkan B hanya Rp. 10 juta. Karena harga yang lebih mahal,
usia ekonomis mesin A sampai 3 tahun, sedangkan mesin B hanya 2 tahun. Biaya operasi mesin
A adalah Rp. 4 juta, sedangkan mesin B Rp. 6 juta. Mesin mana yang seharusnya dipilih kalau r
= 10%?

Kalau kita membandingkan begitu saja antara kedua mesin tersebut, maka kita mungkin akan
melakukan analisis sebagai berikut.

Kas keluar (dalam jutaan Rp.)


Mesin Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 PV pada
r=10%
A 15 4 4 4 24,95
B 10 6 6 - 20,41

Kalau dibandingkan begitu saja antara kedua mesin tersebut, mungkin kesimpulannya salah,
yaitu memilih mesin B karena memberikan NPV kas keluar yang kecil. Mengapa pilihan tersebut
salah? Karena kita menggunakan dasar usia ekonomis yang tidak sama. Dengan membeli mesin
B pada akhir tahun ke 2 (atau awal tahun ke 3) kita harus membeli mesin baru lagi, sedangkan
mesin A belum perlu diganti. Untuk itulah salah satu cara yang bisa dipergunakan adalah
menggunakan basis waktu yang sama, yang disebut sebagai common horizon approach.

Pendekatan ini mengatakan bahwa kalau kita ingin membandingkan dua alternative, gunakan
dasar waktu yang sama. Kalau mesin A mempunyai usia ekonomis 3 tahun, sedangkan B
mempunyai usia ekonomis 2 tahun, maka kita bisa menggunakan common horizon 6 tahun.
Dalam periode tersebut mesin A akan berganti 2 kali, sedangkan B akan berganti 3 kali. Dengan
demikian bisa dilakukan analisis sebagai berikut.

Mesin 0 1 2 3 4 5 6 PV
R=10
%

A 15 4 4 4 + 15 4 4 4 43,69
B 6 6 6 + 10 6 6 + 10 6 6 51,22

Dengan menggunakan basis waktu yang sama, maka pilihan seharusnya adalah pada mesin A.
Sayangnya penggunaan pendekatan ini akan memakan waktu yang cukup lama kalau usia
ekonomis antara dua aktiva yang diperbandingkan ternyata agak “unik”. Ambil missal bahwa
usia ekonomis mesin C adalah 7 tahun, sedangkan mesin D adalah 8 tahun. Berapa common
horizonnya? Kita terpaksa menggunakan basis waktu 56 tahun. Ini berarti mesin C akan berganti
sebanyak 8 kali sedangkan mesin D sebanyak 7 kali.

Untuk mempersingkat perhitungan, digunakan pendekatan yang disebut equivalent annual cost
approach. Pendekatan ini menghitung berapa pengeluaran tahunan yang ekuivalent dengan PV
kas keluar. PV kas keluar mesin A adalah Rp. 24,95 juta, untuk 3 tahun. Berapa kas keluar setiap
tahun (yang jumlahnya sama) yang akan sama nilainya dengan PV kas keluar selama 3 tahun
tersebut? Persoalan tersebut bisa dirumuskan sebagai berikut.

24,95 = + +
(, ) (, ) (, )

Dengan demikian bisa kita dapatkan nilai X = Rp. 10,03 juta.

Dengan cara yang sama kita lakukan untuk mesin B (tetapi ingat usia ekonomisnya hanya 2
tahun), dan kita akan mendapatkan nilai equivalent annual costsnya sebesar Rp. 11,76 juta.
Dengan demikian kita akan memilih mesin A karena memberikan equivalent annual cost yang
terkecil.

j. Penggantian aktiva

Misalkan suatu perusahaan sedang mempertimbangkan untuk mengganti mesin lama dengan
mesin baru yang lebih efisien (ditunjukkan dari biaya operasi yang lebih rendah). Nilai buku
mesin lama sebesar Rp. 80 juta, dan masih dipergunakan empat tahun lagi, tanpa nilai sisa.
Untuk keperluan analisis dan pajak, metode penyusutan garis lurus dipergunakan. Kalau mesin
baru dipergunakan, perusahaan bisa menghemat biaya operasi sebesar Rp. 25 juta per tahun.
Mesin lama kalau dijual saat ini diperkirakan juga akan laku terjual dengan harga Rp. 80 juta.
Anggaplah bahwa usia ekonomis mesin baru juga empat tahun.

Kalau kita ingin menggunakan penaksiran kas secara incremental (selisih atau perbedaan), maka
kita bisa melakukan sebagai berikut.

Kalau mesin lama diganti dengan mesin baru, maka akan terdapat tambahan pengeluaran sebesar
Rp. 120 – Rp. 80 juta = Rp. 40 juta. Taksiran arus kas operasional per tahun adalah sebagai
berikut.

Tambahan keuntungan karena penghematan biaya operasional Rp. 25,0 juta


Tambahan penyusutan : Mesin baru Rp. 30 juta
Mesin lama Rp. 20 juta Rp. 10,0 juta
Tambahan lana sebelum pajak Rp. 15,0 juta
Tambahan pajak (missal 30%) Rp. 4,5 juta
Tambahan laba setelah pajak Rp. 10,5 juta
Tambahan kas masuk operasional = Rp. 10,5 + Rp. 10 = Rp. 20,5 juta

Apabila tingkat bunga yang relevan (r) = 20%, maka perhitungan NPV adalah sebagai berikut,

4
,
NPV = - 40 ∑ (, )
t=1

= -40 + 53,07
= + Rp. 13,07 juta

Karena NPV positif, maka penggantian mesin dinilai menguntungkan.

Apabila usia ekonomis tidak sama analisis incremental dengan cara di atas tidak bisa dilakukan.
Hal tersebut dikarenakan ada perbedaan incremental cash flow pada tahun-tahun pada saat
(umumnya) usia ekonomis mesin lama sudah berakhir, sedangkan mesin baru masih beroperasi.
Untuk itu perhatikan contoh berikut ini.

Suatu perusahaan transportasi sedang mempertimbangkan untuk mengganti bis lama dengan bis
baru. Perusahaan saat ini terkena tariff pajak penghasilan sebesar 35%, dan untuk memudahkan
analisis, penyusutan dilakukan dengan metode garis lurus. Perbandingan antara bis lama dengan
bis baru adalah sebagai berikut.

Bisa lama Bis baru


Harga bis Rp. 50 juta Rp. 80 juta
Usia ekonomis 5 tauh 5 tahun
Nilai residu Rp. 5 juta Rp. 10 juta
Biaya-biaya tunai per tahun Rp. 50 juta Rp. 45 juta
Penghasilan per tahun Rp. 80 juta Rp. 80 juta

Tingkat keuntungan yang dipandang layak adalah 18%. Apakah perusahaan sebaiknya
mengganti bis lama dengan bis baru? Analisis baik dengan menggunakan NPV masing-masing
bis maupun incrementalnya akan Nampak sebagai berikut.

Taksiran operational cash flow setiap tahun


Bis lama Bis baru

Penghasilan Rp. 80,00 juta Rp. 90,00 juta


Biaya-biaya
Penyusutan Rp. 9,00 juta Rp. 10,00 juta
Yang bersifat tunai Rp. 50.00 juta Rp. 45,00 juta
Total Rp. 59,00 juta Rp. 55,00 juta
Laba sebelum pajak Rp. 21,00 juta Rp. 35,00 juta
Pajak penghasilan Rp. 7,35 juta Rp. 12,25 juta
Laba setelah pajak Rp. 13,65 juta Rp. 22,75 juta
Arus kas masuk bersih Rp. 22,65 juta Rp. 32,75 juta

Dengan demikian maka,

NPVBus lama = -50 +

NPVBus baru = -80 +

Karena NPV bus baru lebih besar, maka penggantian bis lama dapat dibenarkan.

NPV incrementalnya dapat dihitung sebagai berikut. Kalau perusahaan mengganti bis lama dengan bis
baru, perusahaan harus mengeluarkan tambahan investasi senilai Rp. 30 juta. Disamping itu taksiran
tambahan kas masuk bersih setiap tahun dari tahun 1 s/d 5 adalah sebagai berikut.

Incremental per tahun

Tambahan penghasilan Rp. 10,0


Penghematan biaya tunai Rp. 5,o juta
Tambahan penyusutan Rp. 1,0 juta
Penghematan biaya Rp. 4,0 juta
Tambahan laba sebelum pajak Rp. 14.0 juta
Tambahan pajak penghasilan Rp. 4,9 juta
Tambahan laba setelah pajak Rp. 9,1 juta
Tambahan kas masuk bersih Rp. 10,1 juta

Tambahan kas masuk bersih per tahun, dari tahun 1 s/d 5, adalah Rp. 10,1 juta. Disamping itu, pada
tahun ke 5, apabila bis lama diganti dengan bis baru, akan menimbulkan arus kas – Rp. 5,0 juta dari
kehilangan penjualan nili residu bis lama, dan pada tahun ke 7 juga sebesar Rp. 32,75 juta plus Rp. 10
juta nili residu bis baru. Dengan demikian perhitungan NPV incrementalnya adalah sebagai berikut.

, , ,
NPVincr1 = -30 + (, )
- + (, )
+ (, )
+
(, ) (, )

NPVincremental = +30 + 54,9


= + 24,9

Dengan demikian penggantian bis lama dengan bis baru akan memberikan NPV yang positif. Perhatikan
bahwa NPV incremental sama dengan selisih NPV bis baru dengan bis lama.

k. Pengaruh inflasi
Apa dampak inflasi terhadap analisis investasi modal? Inflasi akan mempengaruhi dua factor,
yaitu (1) arus kas, dan (2) tingkat keuntungan yang dipandang layak (r). Semakin besar inflasi
yang diharapkan, semakin tinggi tingkat keuntungan yang disyaratkan. Sedangkan pengaruh
terhadap arus kas terutama akan disebabkan oleh (1) pembebanan pajak yang cenderung dihitung
berdasar atas nilai historis, dan (2) intensitas inflasi terhadap factor-faktor yang mempengaruhi
arus kas.

Misalkan suatu rencana investasi memerlukan dana sebagai berikut.


(1) Untuk aktiva tetap sebesar Rp. 300 juta, usia ekonomis 3 tahun tanpa nilai sisa. Penyusutan
menggunakan metode garis lurus.
(2) Modal kerja, sebesar 20% dari taksiran penjualan tahun yang akan datang.
(3) Penjualan (dalam unit) untuk masing-masing tahun ditaksir sebagai
berikut Tahun 1 100.000 unit
Tahun 2 120.000 unit
Tahun 3 200.000 unit
(4) Harga jual pada tahun 1 diperkirakan sebesar Rp. 10.000. Harga jual ini diperkirakan akan
naik sebesar 10% setiap tahun (mencerminkan adanya inflasi 10%).
(5) Biaya tunai diperkirakan sebesar 70% dari penjualan, ini berarti bahwa biaya-biaya tunai
juga akan naik sebesar 10% per unitnya.
(6) Dengan tingkat inflasi sebesar 10%, tingkat keuntungan yang dipandang layak ditentukan
sebesar 20%.
(7) Tarif pajak penghasilan sebesar 25%

Untuk menghitung NPV proyek tersebut, kita perlu menaksir kas masuk operasional terlebih
dulu.

Tabel Taksiran kas masuk operasional dengan memperhatikan inflasi


Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3

Penjualan (dalam unit) 100.000 120.000 200,000


Harga jual per unit Rp. 10.000 Rp. 11.000 Rp. 12.100
Penghasilan penjualan (juta Rp.) 1.000,00 1.320,00 2.420,00
Biaya-biaya :
Tunai (70%) dari penjualan 700,00 924,00 1.694,00
Penyusutan 100,00 100,00 100,00
Total 800,00 1.024,00 1.796,00
Laba operasi (juta Rp) 200,00 296,00 626,00
Pajak (juta Rp) 70,00 103,60 219,10
Laba setelah pajak (juta Rp) 130,00 192,40 406,90
Kas masuk operasional 230,00 292,40 506,90

Sedangkan taksiran arus kas karena investasi disajikan dalam Tabel 13.6. Tabel

Taksiran arus kas karena investasi, dengan memperhatikan factor inflasi


Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3
Aktiva tetap (nilai buku) Rp. 300 Rp. 200 Rp. 100 0
Aktiva lancar Rp. 200 Rp. 264 Rp. 484 0
Penambahan aktiva lancar Rp. 200 Rp. 64 Rp. 220 (Rp. 484)

Arus kas
Pembelian aktiva tetap -300 - - -
Penambahan aktiva lancar -200 -64 -220 -
Kembalinya modal kerja - - - +484
Arus kas operasional - +230,0 +292,4 +506,9
Total arus kas -500 +166 +72,4 +990,9

Dengan demikian perhitungan NPV investasi tersebut bisa dinyatakan sebagai berikut.

NPV = -500 + 762


= + 262

Dalam keadaan terdapat inflasi (yang mungkin cukup serius), kita perlu menggunakan dasar
penaksiran yang sama. Maksudnya adalah bahwa tingkat inflasi umumnya segera dicerminkan
pada penentuan r. Semakin tinggi expected inflation, semakin tinggi r. kalau kita menggunakan r
yang telah memasukkan factor inflasi, maka dalam menaksir arus kas kita juga harus telah
memasukkan factor inflasi.

Yang sering terjadi adalah bahwa r telah memasukkan factor inflasi sedangkan arus kas tidak
memasukkan factor inflasi. Arus kas mungkin ditaksir pada real values, dan bukan pada nominal
value. Perhatikan contoh berikut ini untuk menggambarkan perbedaan antara real dan nominal
value.
Misalkan tahun depan kita mengharapkan akan menerima Rp. 100 real value. Apabila tingkat
inflasi diperkirakan sebesar 10%, maka nominal valuenya akan Rp. 100(1+0,1) = Rp. 110.
Misalkan real interest rate = 6%. Dengan inflasi sebesar 10%, maka nominal interest rate =
(1+0,06)(1+0,1) = 1,166. Dengan demikian apabila dihitung PV penerimaan tersebut, maka
dengan menggunakan nominal value akan diperoleh,

PV = 110/(1+0,166)
= 94,34

Dengan menggunakan dasar real value, PVnya adalah

PV = 100/(1 + 0,06)
= 94,34

Hasil tersebut akan sama sejauh dipergunakan dasar yang konsisten. Sayangnya dalam
penaksiran arus kas, penggunaan nominal value seperti yang telah kita lakukan di atas, tidak
akan menghasilkan hasil yang sama dengan perhitungan atas dasar real value karena terdapat
distorsi dalam beban penyusutan yang dihitung atas dasar nilai historis (perolehan).

3.11. RISIKO DALAM INVESTASI

Meskipun pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa pemodal seharusnya


menerima suatu proyek yang diharapkan memberikan NPV yang positif, tidak berarti bahwa
pemodal tersebut pasti akan menjadi lebih kaya. Masalahnya adalah karena rencana investasi
yang dianalisis merupakan rencana dimasa yang akan datang. Tidak ada jaminan bahwa arus kas
yang kita harapkan benar-benar akan terealisir sesuai dengan harapan tersebut. Selalu ada unsur
ketidak-pastian, selalu ada risiko yang menyertai suatu investasi. Bahkan dalam teoiri keuangan
disebutkan bahwa seseorang bisa menjadi lebih kaya dibandingkan dengan yang lain adalah
karena ia bersedia menanggung risiko yang lebih besar. Mereka yang bersedia menanggung
risiko yang lebih besar mempunyai peluang yang lebih besar untuk menjadi lebih kaya (dan juga
untuk menjadi lebih miskin). Masalahnya adalah bagaimana kita merumuskan risiko dalam
investasi modal.

Pada garis besarnya ada dua pendekatan untuk memasukkan factor risiko dalam investasi. Yang
pertama adalah mengukur risiko dalam bentuk ketidak-pastian arus kas, dan yang kedua
menggunakan konsep hubungan yang positif antara risiko dengan tingkat keuntungan yang
dipandang layak. Pendekatan yang kedua ini merupakan penerapan Capital Asset Pricing Model
(CAPM) yang telah dibicarakan pada Bab 4, dan akan dibicarakan lebih lanjut pada Bab 15. Bab
ini hanya membicarakan risiko dalam pengertian ketidak-pastian arus kas.

1. Risiko dalam artian ketidak-pastian arus kas

Pendekatan ini menggunakan dasar pemikiran bahwa semakin tidak pasti arus kas suatu
investasi, semakin berisiko investasi tersebut. Dengan demikian analisis akan dipusatkan pada
arus kas. Dengan memperkirakan distribusi arus kas tersebut, bagaimana probabilitas proyek
tersebut akan menghasilkan NPV negative? Bagaimana kita bisa memperkirakan ketidak-pastian
arus kas? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang dicoba
dijawab oleh metode ini.

Ketidak-pastian arus kas.


Apabila kita pasti akan menerima sejumlah uang tertentu di masa yang akan datang, kita akan
mengatakan bahwa penerimaan tersebut mempunyai sifat pasti (certainly). Karena itu investasi
yang mempunyai karakteristik seperti itu dikatakan bersifat bebas risiko. Sayangnya sebagian
besar (kalau tidak seluruhnya) investasi pada aktiva riil (membangun pabrik, meluncurkan
produk baru, membuka usaha dagang baru, dan sebagainya) merupakan investasi yang
mempunyai unsure ketidak-pastian atau mempunyai unsure risiko.
Operating risk dan ketidak-pastian arus kas
Apa yang menyebabkan suatu perusahaan mempunyai ketidak-pastian arus kas yang lebih besar
dari perusahaan lain? Apabila faktor pendanaan kita pegang konstan (artinya perusahaan
menggunakan struktur pendanaan yang sama, atau menggunakan modal sendiri seluruhnya),
perusahaan yang mempunyai operating risk (risiko operasi) yang tinggi berarti bahwa laba
operasi (yang menjadi sumber kas masuk) sangat peka terhadap perubahan penjualan. Dengan
kata lain, perubahan penjualan yang kecil akan mempengaruhi laba operasi cukup besar.
Mengapa bisa demikian?

Penyebabnya adalah factor operating leverage. Operating leverage menunjukkan penggunaan


aktiva yang menimbulkan biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap adalah biaya yang tidak berubah
meskipun aktivitas perusahaan berubah. Lawan dari biaya tetap adalah biaya variabel (variable
cost). Biaya ini ikut berubah kalau aktivitas perusahaan berubah. Untuk memudahkan analisis,
seringkali perubahan biaya variabel ini dianggap proporsional. Contoh biaya tetap misalnya gaji
para pimpinan, beban penyusutan, dan lain-lain. Sedangkan contoh biaya variabel misalnya biaya
bahan baku, biaya bahan penolong, komisi penjualan, dan lain-lain. Pemikiran yang digunakan
adalah bahwa biaya-biaya yang ditanggung oleh perusahaan bisa dibagi menjadi biaya tetap dan
biaya variabel.

2. Risiko Proyek

Apabila dipergunakan ketidak-pastian arus kas sebagai pengukur risiko, maka pemikiran ini
berarti bahwa semakin tidak pasti arus kasnya, atau semakin besar nilai deviasi standar arus kas
tersebut, semakin berisiko proyek tersebut. Masalah yang timbul adalah bahwa proyek investasi
mempunyai jangka waktu cukup lama. Sementara kita menaksir arus kas setiap tahun (termasuk
ketidak-pastiannya), proyek tersebut mungkin diharapkan akan menghasilkan arus kas selama
beberapa tahun. Dengan kata lain, kita perlu menaksir arus kas yang diharapkan (expected cash
flow) dan deviasi standarnya pada tahun 1, tahun 2, sampai dengan tahun ke n. Untuk proyek
secara keseluruhan, penghitungan deviasi standar NPV perlu memperhatikan keterkaitan arus
kas tahun 1 dengan tahun ke 2, tahun ke 2 dengan tahun ke 3, dan tahun ke n-1 dengan tahun ke
n.

Pada ekstremnya, pola arus kas bisa dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu (1) tidak mempunyai
korelasi sama sekali (independen), dan (2) berkorelasi sempurna. Kemungkinan lainnya adalah
bentuk-bentuk antara (berkorelasi moderat).

Masalah lain adalah pemilihan tingkat bunga yang dianggap relevan untuk menaksir NPV proyek
tersebut. Apabila ketidak-pastian arus kas dipergunakan sebagai pengukur risiko, dan karenanya
semakin tidak pasti arus kas, semakin besar risikonya , maka tingkat bunga yang dipergunakan
tentunya tidak bisa mengakomodir factor risiko tersebut. Dengan kata lain kita tidak bisa
menggunakan tingkat bunga yang makin besar apabila kita merasa bahwa ketidak-pastian arus
kas tersebut makin besar pula. Mengapa?

Hal ini disebabkan oleh dua alas an. Pertama, kita belum bisa merumuskan hubungan risiko
dengan tingkat bunga yang dipandang layak. Maksudnya, misalkan koefisien variasi arus kas
adalah sebesar 0,4. Angka ini lebih besar daripada proyek yang mempunyai arus kas 0,3
misalnya. Kalau kita ingin memasukkan factor risiko dalam penentuan tingkat bunga, bagaimana
persamaannya? Sampai saat ini belum bisa dirumuskan persamaan yang berlaku.

Kedua, apabila dipergunakan ketidak-pastian arus kas sebagai indicator risiko dan kemudian arus
kas tersebut di present-value-kan dengan menggunakan tingkat bunga yang telah mengkomodir
unsure risiko, berarti kita melakukan perhitungan ganda (double counting). Kita memperlakukan
risiko tersebut dua kali dalam analisis. Pertama pada penentuan ketidak-pastian arus kas dan
kedua pada penggunaan tingkat bunga.

Mengukur risiko untuk arus kas yang independen


Arus kas yang independen berarti bahwa arus kas pada tahun n + 1 tidak ada kaitannya dengan
arus kas pada tahun n. Artinya, apabila arus kas pada waktu ke n ternyata menurun 10% dari
yang diharapkan, arus kas pada waktu n + 1 tidak mesti akan menurun sebesar 10% juga. Bisa
saja tetap sesuai dengan yang diharapkan, atau kalau menyimpang, tidak mesti sejalan dengan
tahun ke n.

Mengukur risiko untuk arus kas yang tidak independen


Seringkali arus kas pada suatu waktu berkorelasi dengan arus kas pada waktu berikutnya. Dalam
keadaan semacam itu kita perlu memperhatikan koefieisn korelasi antar waktu dari arus kas.
Marilah kita perhatikan contoh berikut ini.

3. Metode Simulasi Monte Carlo

Kesulitan menggunakan cara di atas adalah menaksir conditional probability, lebih-lebih kalau
proyek tersebut mempunyai usia ekonomis yang cukup panjang. Kita akan sampai pada situasi
jumlah seri NPV menjadi sangat banyak. Sebenarnya masalahnya bukanlah sangat banyaknya
seri NPV yang akan muncul, tetapi penaksiran probabilitas kondisional yang sangat banyak.

Metode yang mencoba menyederhanakan simulasi. Simulasi bisa (dan perlu) dilakukan banyak
kali sehingga diperlukan bantuan computer, tetapi penaksiran probabilitas tidak akan serumit
persoalan di atas. Untuk itu marilah kita perhatikan contoh berikut ini.

Misalkan tim analisis proyek yang mempunyai usia ekonomis 3 tahun sampai pada kesimpulan
sebagai berikut.
(1) Taksiran unit yang terjual setiap tahun usia ekonomis 3 tahun adalah sebagai berikut.
Unit yang terjual Probabilitas
80.000 0,30
100.000 0,40
140.000 0,30

(2) Taksiran harga jual per unit setiap tahun adalah sebagai berikut.
Harga jual Probabilitas
Rp. 5.000 0,10
Rp. 8.000 0,70
Rp. 9.000 0,20

(1) Biaya variabel per unit untuk setiap tahun adalah sebagai berikut.
Biaya variabel Probabilitas
Rp. 3.000 0,20
Rp. 5.000 0,60
Rp. 6.000 0,20
(2) Biaya tetap yang bersifat tunai per tahun adalah sebagai berikut.
Biaya tetap Probabilitas
Rp. 80 juta 0,10
Rp. 100 juta 0,80
Rp. 120 juta 0,10

(3) Beban penyusutan per tahun sebesar Rp. 50 juta


(4) Tarif pajak penghasilan 35%
(5) Tingkat keuntungan bebas risiko 10%
(6) Investasi pada awal tahun sebesar Rp. 500 juta
(7) Terminal cash flow pada tahun ke 3 sebesar Rp. 350 juta

Bagaimana melakukan simulasi? Dalam ilustrasi di atas dipergunakan empat variabel yang tidak
pasti sifatnya, yaitu (1) unit yang terjual, (2) harga jual, (3) biaya variabel per unit, dan (4) biaya
tetap per unit. Karena itu simulasi bisa dilakukan misalnya dengan cara sebagai berikut. Kita
taruh empat tumpuk kartu di atas meja, yang masing-masing tumpuk terdiri dari 10 kartu dan kita
beri nomor 1 s/d 10. Tumpukan pertama mewakili unit yang terjual, tumpukan kedua mewakili
harga jual,tumpukan ketiga mewakili biaya variabel, dan tumpukan keempat mewakili biaya
tetap.

Untuk masing-masing tumpuk kartu setiap nomor mewakili nilai tertentu yang bisa kita sajikan
sebagai berikut.

Tumpukan kartu I Tumpukan kartu II


Nomor Variabel yang diwakili Nomor Variabel yang diwakili
01 Unit terjual 80.000 01 Harga jual Rp. 5.000
02 Unit terjual 80.000 02 Harga jual Rp. 8.000
03 Unit terjual 80.000 03 Harga jual Rp. 8.000
04 Unit terjual 100.000 04 Harga jual Rp. 8.000
05 Unit terjual 100.000 05 Harga jual Rp. 8.000
06 Unit terjual 100.000 06 Harga jual Rp. 8.000
07 Unit terjual 100.000 07 Harga jual Rp. 8.000
08 Unit terjual 140.000 08 Harga jual Rp. 8.000
09 Unit terjual 140.000 09 Harga jual Rp. 9.000
10 Unit terjual 140.000 10 Harga jual Rp. 9.000

Tumpukan kartu III Tumpukan kartu IV


Nomor Variabel yang diwakili Nomor Variabel yang diwakili
1 Biaya variabel Rp. 3.000 1 Biaya tetap Rp. 80 juta
2 Biaya variabel Rp. 3.000 2 Biaya tetap Tp. 100 juta
03 Biaya variabel Rp. 5.000 03 Biaya tetap Rp. 100 juta
04 Biaya variabel Rp. 5.000 04 Biaya tetap Rp. 100 juta
05 Biaya variabel Rp. 5.000 05 Biaya tetap Rp. 100 juta
06 Biaya variabel Rp. 5.000 06 Biaya tetap Rp. 100 juta
07 Biaya variabel Rp. 5.000 07 Biaya tetap Rp. 100 juta
08 Biaya variabel Rp. 5.000 08 Biaya tetap Rp. 100 juta
09 Biaya variabel Rp. 6.000 09 Biaya tetap Rp. 100 juta
10 Biaya variabel Rp. 6.000 10 Biaya tetap Rp. 120 juta

Simulasi dilakukan sebagai berikut. Kita ambil satu kartu dari tumpukan kartu I, tumpukan II, II dan IV.
Misalkan dari simulasi pertama terambil oleh kita kartu-kartu sebagai berikut.

Tumupukan I Kartu nomor 05


Tumpukan II Kartu nomor 10
Tumpukan III Kartu nomor 01
Tumpukan IV Kartu nomor 04

Ini berarti bahwa taksiran arus kas operasional setiap tahun adalah sebagai berikut.
Penjualan 100.000 x Rp. 9.000 Rp. 900,00 juta
Biaya-biaya
Variabel 100.000 x Rp. 3.000 = Rp. 300,00 juta
Tetap Rp. 100,00 juta
Penyusutan Rp. 50,00 juta Rp. 450.00 juta
Laba operasi Rp. 450,00 juta
Pajak (35%) Rp. 157,50 juta
Kas masuk operasional = Rp. 292,50 + Rp. 50 = Rp. 342,50 juta

Dengan demikian NPV dari simulasi 1 bisa dihitung sebagai berikut.

,
NPV1 = -500 + ∑ ,) + = +614,7
(, )

Kemudian kita bisa melakukan simulasi ke 2, ke 3, dan seterusnya smpai dengan jumlah yang
kita pandang cukup. Bukan hal yang aneh kalau simulasi dilakukan sampai 100 kali (karena itu
perlu dipergunakan bantuan computer untuk membantu mempercepat perrhitungan). Dengan
demikian akan diperoleh NPV1 s/d NPV100. Setelah kita memperoleh sejumlah besar NPV, maka
kita bisa menyusun disdribusinya. Ini berarti kita menghitung rata-rata NPV (sebagai NPV yang
diharapkan) dan deviasi standar NPV-NPV tersebut.
3.12. Latihan Capital Budgeting
Kasus 1
PT. SSS mempertimbangkan untuk mengganti mesin yang baru dan lebih efisien. Mesin lama
dapat dijual dengan harga 350 juta setelah dipakai selama 3 tahun, didepresiasikan dengan nilai
buku 600 juta selama 8 tahun, metode yang digunakan metode straight line. Mesin baru dibeli
dengan harga 2,4 milyar beserta pemasangannya. Mempunyai umur pemakaian 8 tahun, dan nilai
sisanya 200 juta, metode depresiasi yang digunakan sama dengan mesin lama. Diharapkan mesin
baru dapat menghemat 600 juta pertahun. Pajak yang dikenakan sebesar 30 %.
a. Berapakah incremental cash inflow dan outflownya ?
b. Berapakah NPV jika rate of returnnya 14 % ?
c. Berapakah IRR-nya.

Kasus 2
Berikut ini adalah investasi dengan biaya modal ditentukan 13%, diperoleh data bahwa net
income after tax untuk masing-masing tahun (dalam ribuan rupiah) adalah sebagai berikut :
Investasi awal 80.000.000
Tahun Proyek X (NIAT)
1 1.000.000.
2 1.000.000.
3 5.000.000.
4 10.000.000.
5 15.000.000.
Pajak yang dikenakan adalah 40 %, metode depresiasi yang digunakan adalah straight line
method
a. Hitunglah pay back period untuk investasi proyek X
b. Hitunglah nilai tunai bersih (npv) untuk proyek X
c. Hitunglah IRR untuk proyek
X Kasus 3
Berikut ini adalah dua proyek investasi dengan risiko yang sama dan proyek tersebut bersifat
mutually exclusive. Biaya modal ditentukan 13 % , cash flow untuk masing – masing adalah
sebagai berikut :
Proyek A Proyek B
Investasi awal 80.000.000 50.000.000.
Tahun CF CF
1 15 juta 15 juta
2 20 15
3 25 15
4 30 15
5 35 15

a. Hitunglah Pay back period untuk masing-masing proyek


b. Hitunglah NPV untuk masing – masing proyek
c. Hitunglah IRR untuk masing – masing proyek
d. Proyek mana yang direkomendasi ?
Bab IV

Biaya Modal

Cost of capital atau biaya modal perusahaan merupakan konsep yang sangat penting
untuk diketahui oleh manajer keuangan perusahaan. Keberhasilan perusahaan dalam memperoleh
dana dengan biaya modal yang optimal merupakan usaha yang harus dilakukan oleh manajer
keuangan. Biaya modal yang optimal bilamana tercapai biaya modal minimal sehingga bisa
meningkatkan nilai perusahaan , dan tidak menyebabkan perusahaan terancam financial distress.
Biaya modal saling berhubungan dengan keputusan investasi jangka panjang dan akan
sangat menentukan dalam peningkatan kekayaan pemegang saham. Biaya modal bukan sekedar
angka tetapi sangat berarti bagi tanda-tanda penurunan atau kenaikan dari harga saham. Secara
formal bahwa biaya modal adalah tingkat pengembalian yang diinginkan dari suatu proyek,
dimana akan mempertahankan tingkat kekayaan yang dimiliki oleh pemegang saham.
Pada neraca yang dimiliki oleh perusahaan , biaya modal akan tercermin pada sisi kanan
atau sisi passiva . Pada kelompok ini yaitu utang jangka panjang, saham preferens, dan saham
biasa, akan menentukan besarnya proporsi dan berpengaruh terhadap besar kecilnya biaya modal
rata-rata tertimbang. Selain besarnya proporsi besar kecilnya biaya modal juga ditentukan pula
oleh besar dan kecilnya biaya modal masing – masing komponen yaitu utang jangka panjang,
saham preferens dan saham biasa.
Pada saat menentukan biaya modal, maka asumsi digunakan sebagai dasar perhitungan,
yaitu mengenai risiko bisnis, risiko keuangan, dan ketentuan setelah dipotong pajak. Risiko
bisnis adalah risiko bahwa perusahaan tidak mampu membiayai biaya operasional, diasumsikan
bahwa risiko bisnis pada perhitungan biaya modal diasumsikan tidak berubah. Ini berarti
diterimanya suatu proyek tertentu tidak mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk memenuhi
biaya operasionalnya. Demikian pula risiko keuangan yaitu risiko perusahaan untuk memenuhi
kewajiban keuangan seperti bunga, dan diasumsikan tidak berubah, sehingga proyek dibiayai
oleh perusahaan dianggap tidak berubah.
Modal adalah dana yang digunakan untuk membiayai pengadaan aktiva dan operasi
perusahaan. Modal terdiri dari item-item yang ada di sisi kanan suatu neraca, yaitu hutang,
83
saham biasa, saham preferen dan laba ditahan. Perhitungan biaya penggunaan modal sangatlah
penting berdasarkan 3 alasan: 1) maksimisasi nilai perusahaan mengharuskan biaya-biaya
(termasuk biaya modal) diminimumkan, 2) keputusan penganggaran modal (capital budgeting)
memerlukan suatu estimasi tentang biaya modal, dan 3) keputusan-keputusan lain seperti leasing,
modal kerja juga memerlukan estimasi biaya modal.
Biaya modal yang tepat untuk semua keputusan adalah rata-rata tertimbang dari seluruh
komponen modal (Weighted Cost of Capital atau WACC) . Tidak semua komponen modal
diperhitungkan dalam menentukan WACC. Hutang dagang (Accounts Payable) tidak
diperhitungkan dalam penentuan WACC karena 1) tidak terlalu dapat dikontrol oleh manajemen,
2) diperlakukan sebagai arus kas modal kerja bersih dalam proses penganggaran modal. Hutang
wesel (notes payable) atau hutang jangka pendek yang berbunga (short-term interest-bea0ring
debt) dimasukkan dalam perhitungan WACC hanya jika hutang tersebut merupakan bagian dari
pembelanjaan tetap perusahaan, bukan merupakan pembelanjaan sementara.
Pada umumnya hutang jangka panjang dari modal sendiri merupakan unsur untuk
mmenghitung WACC. Dengan demikian kita harus menghitung 1) biaya hutang (cost of debt), 2)
biaya laba ditahan (cost of retained earning), 3) biaya saham biasa baru (cost of new common
stock) dan 4) biaya saham preferen (cost of preferred stock). Biaya modal harus dihitung
berdasarkan suatu basis setelah pajak (after tax basis), karena aruskas setelah pajak adalah yang
paling relevan untuk keputusan investasi.

Keputusan pendanaan perusahaan menyangkut keputusan tetang bentuk dan komposisi


pendanaan yang akan dipergunakan oleh perusahaan. Secara rinci pertanyaan-pertanyaan yang
perlu dijawab dalam masalah keputusan pendanaan adalah:
(1) Berapa banyak utang dan modal sendiri yang akan dipergunakan. Keputusan ini akan
menentukan rasio utang dengan modal sendiri. Beberapa jenis perusahaan berani
menggunakan rasio utang yang cukup tinggi, sedangkan lainnya cenderung konservatif.
(2) Bagaimana tipe utang dan modal sendiri yang akan dipergunakan. Apakah utang akan ditarik
dalam bentuk utang jangka panjang? Jangka pendek? Utang yang dapat dikonversikan
menjadi modal sendiri? Apakah modal sendiri akan diperoleh dari menahan laba? Ataukah
lebih baik menerbitkan saham baru?
(3) Kapan akan menghimpun dana dalam bentuk utang atau modal sendiri. Pada saat pasar
modal sedang membaik (istilahnya bullish), apakah sebaiknya menerbitkan obligasi ataukah
saham? Bagaimana kalau keadaan pasar modal sedang lesu (bearish)?
Dua pertanyaan pertama menyangkut keputusan pendanaan, sedangkan pertanyaan ketiga
menyangkut penentuan waktu (timing) kapan memperoleh hutang atau modal sendiri.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya akan dibicarakan pada bagian ini. Pembicaraan
kita pada dasarnya nanti akan mengarah bahwa jenis dana yang akan ditarik oleh perusahaan
akan membuat perusahaan menanggung biaya sesuai dengan karakteristik dana tersebut (risiko,
jangka waktu, dan marketability).

Sewaktu kita membicarakan keputusan investasi, kesimpulan yang kita peroleh adalah
bahwa keputusan investasi yang memberikan NPV positif akan meningkatkan nilai perusahaan
(atau kemakmuran pemilik perusahaan. Dengan demikian, maka tujuan yang sama, - yaitu
memperoleh NPV yang positif -, juga bisa dipergunakan dalam mengambil keputusan pendanaan
(financing decisions).

Perbedaannya adalah bahwa relative jauh lebih sulit untuk memperoleh NPV positif dari
keputusan pendanaan dibandingkan dengan keputusan investasi. Hal ini disebabkan karena
keputusan investasi – yang dilakukan pada sector riil – dilakukan pada pasar yang tidak
sempurna, informasi tidak lengkap dan/atau sangat mahal, kadang-kadang juga dijumpai adanya
hambatan untuk masuk (barrier to entry) untuk sector tersebut, sehingga terbuka peluang untuk
memperoleh NPV yang positif. Dalam bahasa ekonomi, tercipta peluang untuk memperoleh
economic profit (yaitu keuntungan di atas keuntungan yang wajar, sesuai dengan biaya
modalnya). Keputusan pendanaan, sebaliknya, dilakukan dalam pasar modal yang umumnya
sangat kompetitif, informasi terbuka luas bagi semua pemodal, dan pemodal individual tidak bisa
mempengaruhi harga. Pasar yang seperti ini disebut sebagai pasar modal yang efisien. Dalam
keadaan seperti ini, transaksi jual beli sekuritas akan cenderung menghasilkan NPV tidak positif
(Brealey and Myers, 1991).

Meskipun demikian perlu diingat bahwa transaksi yang menghasilkan NPV=0 bukanlah
transaksi yang tidak menghasilkan laba menurut pengertian akuntansi. Mungkin sekali dalam
transaksi tersebut dipeoleh capital gains yang positif (artinya sewaktu dijual harga saham
tersebut sudah lebih tinggi dari harga belinya) Hanya saja, tingkat keuntungan yang diperoleh
tidaklah melebihi tingkat keuntungan yang diisyaratkan apabila telah diperhatikan factor risiko.
Misal bahwa tahun lalu kita membeli saham dengan harga Rp. 10.000. Saat ini saham tersebut
tidk membagi dividen). Dengan demikian maka tingkat keuntungan yang kita peroleh adalah
18%. Angka ini lebih tinggi dari suku bunga deposito yang hanya 14%. Tetapi kita perlu
mengingat bahwa sewaktu kita membeli saham, kita memutuskan untuk menanggung risiko yang
lebih besar. Karena itu mungkin tingkat keuntungan 18% hanyalah sesuai dengan risiko yang
kita tanggung (misalnya kita taksir dengan CAPM).

Apakah perusahaan dapat memperoleh pendanaan yang memberikan NPV positif?


Mungkin saja, sejauh pendanaan tersebut ternyata disubsidi. Jenis pendanaan ini kadang-kadang
diberikan oleh pemerintah untuk mendorong sector atau usaha tertentu. Sebagai missal,
pemerintah mungkin memberikan tingkat bunga hanya sebesar 11% per tahun kepada suatu
industry tertentu. Apabila tingkat bunga pinjaman yang umum berlaku adalah 18% per tahun,
kredit yang diterima perusahaan sebesar Rp. 1.000 juta dengan jangka waktu 3 tahun dan
pengembalian menggunakan system anuitas, maka perhitungan NPV pinjaman tersebut dapat
dilakukan sebagai berikut.

Besarnya pembayaran setiap tahun, mulai akhir tahun ke 1 dihitung dengan cara sebagai berikut.

1.000 = + +
(, ) (, ) (, )

X = Rp. 409 juta

Apabila peusahaan hanya membayar Rp. 409 juta per tahun selama 3 tahun, maka PV
pembayaran tersebut apabila dipergunakan r = 18% adalah,

PV = ∑
(, )

PV = Rp. 889 juta


Dengan demikian NPV pendanaan tersebut adalah,

Rp. 1.000 juta - Rp. 889 juta = Rp 111 juta

Dengan kata lain, perusahaan yang memperoleh kredit dengan suku bunga murah tersebut
menerima subsidi dari pemerintah senilai Rp. 111 juta. Tentu saja tidak perlu heran kalau ada
yang dapat memperoleh kredit dengan suku bunga murah, tentunya akan menerima manfaat.
Cara di atas menunjukkan cara menghitung nilai manfaat tersebut.

4.1. BIAYA UTANG (COST OF DEBT)

Jika perusahaan menggunakan obligasi sebagai sarana untuk memperoleh dana dari utang
jangka panjang, maka biaya utang adalah sama dengan Kd atau Yield To Maturity (YTM) yaitu
tingkat keuntungan yang dinikmati oleh pemegang/pembeli obligasi.
Contoh:
Perusahaan menerbitkan obligasi yang membayar bunga 10%, nilai nominal 1.000, jatuh
tempo dalam waktu 5 tahun. Obligasi tersebut terjual dengan harga 1.000.
Biaya hutang dapat dicari dengan cara:
1 M
Harga obligasi = +
(1 + Kd) (1 + Kd)

= 1 (PVIFA, Kd, n) + M (PVIF, Kd, n)


1000,- = 100 (PVIFA, Kd, 5) + 1000 (PVIF, Kd, 5)

Dengan menggunakan bantuan tabel PVIFA dan PVIF, kita dapat menemukan Kd sebesar
10%. Untuk lebih jelas, silahkan melihat kembali bab penilaian obligasi.

Biaya utang (Kd) ini merupakan biaya utang sebelum pajak (pre-tax cost). Dalam
menghitung WACC, yang relevan adalah biaya hutang setelah pajak (after-tax cost of debt)

Biaya utang sesudah pajak = biaya utang sebelum pajak (1- tingkat pajak)

Contoh:
Kd = 10%
Pajak= 15%
Biaya utang setelah pajak = 10% (1-15%) = 8,5%

Hal ini didasari pada kenyataan bahwa hutang menimbulkan biaya bunga yang akan
menurunkan penghasilan yang dikenai pajak. Dengan demikian penggunaan hutang dapat
mengurangi pajak yang harus dibayar. Ini adalah salah satu keuntungan menggunakan hutang
dibanding menggunakan modal sendiri. Penggunaan hutang disebut bersifat tax-deductible.
Contoh:
Perusahaan menggunakan modal 100 juta, seluruhnya modal sendiri.
Penjualan 200 juta
Harga pokok penjualan 100
juta
Laba kotor 100 juta
Biaya administrasi, overhead, lain-lain 20
juta
Laba bersih sebelum bunga dan pajak 80 juta
Biaya bunga 0
Laba bersih sebelum pajak 80 juta
Pajak 15% (15% x 80 juta) 12 juta
Laba bersih sesudah pajak 68 juta

Modal perusahaan 100 juta, dimana 50% adalah hutang dengan bunga 10%, sisanya modal
sendiri.
Penjualan 200 juta
HPP 100 juta
Laba kotor 100 juta
Biaya administrasi, overhead, lain-lain 20 juta
Laba bersih sebelum bunga dan pajak 80 juta
Biaya bunga (50 juta x 10%) 5 juta
Laba bersih sebelum pajak 75 juta
Pajak 15% (15% x 75 juta) 11,25 juta
Laba bersih sesudah pajak 63,75 juta
Dengan menggunakan hutang kita dapat menghemat pembayaran pajak sebesar 12 juta – 11,25
juta = 750.000,-. Penghematan pajak ini akan mengurangi biaya bunga.
Biaya bunga 5 juta
Penghematan pajak 0,75 juta
Biaya bunga yang sebenarnya 4,25 juta
Atau:
Biaya hutang sebelum pajak 5 juta
Penghematan pajak 0,75 juta
Biaya hutang sesudah pajak 4,25 juta
Jika dinyatakan dalam presentase, biaya hutang sesudah pajak adalah 4,25 juta/50 juta = 8,5%
atau sama dengan Kd (1-T) = 10% (1-15%) = 8,5%

Biaya utang menunjukkan berapa biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan karena
perusahaan menggunakan dana yang berasal dari pinjaman. Untuk menaksir berapa besarnya
biaya utang tersebut, maka konsep present value diterapkan. Sebagai misal, suatu perusahaan
akan menerbitkan obligasi dengan jangka waktu 10 tahun, membayarkan bunga sebesar 14% per
tahun. Nilai nomisal obligasi tersebut adalah Rp. 1.000.000. Sewaktu ditawarkan ke masyarakat,
obligasi tersebut hanya laku terjual dengan harga Rp. 980.000.

Dalam persoalan tersebut kita bisa menghitung biaya hutang (diberi notasi kd) sebagai berikut.

. ..
980.000 = [∑ ] + ()
( )

Dengan melakukan trial and error bisa dihitung bahwa kd sekitar 14,40%.

Faktor pajak perlu diperhatikan dalam menaksir biaya hutang. Karena umumnya
pembayaran bunga bersifat tax deductible, dan penaksiran arus kas untuk penilaian profitabilitas
investasi didasarkan atas dasar setelah pajak, maka biaya hutang perlu disesuaikan dengan pajak.
Rumus yang dipergunakan adalah,
kod = kd(1-
t) Dalam hal ini,
kod = Biaya hutang setelah pajak
t = Tarif pajak penghasilan

Untuk contoh di atas, apabila tariff pajak adalah 35%, maka biaya hutang setelah pajak adalah,
kod = 14,4%(1-0,35)
= 9,36%

Angka inilah nanti yang akan dipergunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata
tertimbang, apabila ada pajak dan pembayaran bunga bersifat tax deductible.

Selain factor pajak, factor biaya floatiation mungkin perlu juga dipertimbangkan. Apabila
dlam penerbitan obligasi tersebut dikeluarkan biaya floatation (emisi) sebesar Rp. 20.000 per
lembar obligasi, maka dari Rp. 980.000 yang dibayar permodal, hanya Rp. 960.000 yang
diterima oleh perusahaan. Dalam hal tersebut biaya utang (sebelum pajak) adalah,

. ..
960.000 = [∑ ]+ ()
( )

Kita akan memperoleh kd yang sedikit lebih besar dari 14,4% (sewaktu tidak ada floatation cost).
4.2. BIAYA SAHAM PREFEREN
Selain utang jangka panjang , sumber pembiayan perusahaan dapat berasal dari saham
preferen. Biaya saham preferen adalah sama dengan tingkat keuntungan yang dinikmati
pembeli saham preferen atau Kp. Saham preferen adalah saham yang memberikan jaminan
kepada pemiliknya untuk menerima dividen dalam jumlah tertentu berapapun laba (rugi)
perusahaan. Karena saham preferen merupakan salah satu bentuk modal sendiri, maka
perusahaan tidak berkewajiban melunasi saham tersebut.

Kp =

dimana:
Kp = biaya saham preferen
Dp = dividen saham preferen tahunan
Pn = harga saham preferen bersih yang diterima perusahaan penerbit (setelah dikurangi
biaya
peluncuran saham atau flotation cost)

Contoh:
Perusahaan menjual saham preferen yang memberikan dividen 10,- per tahun. Harga saham
adalah 100,- dengan flotation cost 2,5,- per lembar saham.

Kp =

= = 10,26%
,

4.3. BIAYA LABA DITAHAN


Sumber pembiayaan yang berasal dari pemilik harus bisa dihitung sebagai biaya
oportunitas dari digunakannya dana dari pemilik perusahaan. Biaya modal sendiri
menunjukkan tingkat keuntungan yang diinginkan oleh pemilik modal sendiri sewaktu
mereka bersedia menyerahkan dana tersebut ke perusahaan. Apabila perusahaan tersebut
telah menjual sahamnya di bursa, maka penaksiran biaya modal sendiri bisa dilakukan.
Apabila tidak estimasi yang dilakukan hanya mendasarkan diri atas referensi usaha yang
sejenis.
Suatu perusahaan dapat memperoleh modal sendiri melalui 2 cara: 1) menahan sebagian
laba, dan 2) menerbitkan saham biasa baru. Biaya laba ditahan adalah sama dengan K s atau
tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham biasa perusahaan yang
bersangkutan. Dasar biaya modal sendiri adalah prinsip “opportunity cost”. Jika laba tidak
ditahan, laba tersebut akan dibagikan dalam bentuk dividen. Investor yang menerima dividen
dapat menggunakannya untuk membeli obligasi, saham perusahaan lain, ditabung di bank
atau diinvestasikan pada proyek-proyek. Jika laba tersebut ditahan berarti pemegang saham
menginvestasikan kembali laba yang menjadi haknya ke perusahaan (plow back fund). Oleh
sebab itu pemegang saham mensyaratkan bahwa perusahaan harus dapat memberikan
keuntungan paling tidak sebesar keuntungan yang dapat diperoleh pemegang saham pada
alternatif investasi yang memiliki risiko yang sama dengan risiko perusahaan.
Ada 3 cara untuk menaksir Ks, yaitu 1) CAPM, 2) Discounted Cash Flow (DCF) model, dan
3) pendekatan Bond-Yield-Plus-Risk Premium.
(1) Pendekatan CAPM (Capital Asset Pricing Model)
Ks = bunga bebas risiko + premi risiko

dimana: Ks = krf + (kM – krf)

Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham perusahaan


i krf = bunga bebas risiko
kM = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada portfolio pasar/indeks
pasar bi = beta saham perusahaan i

(2) Pendekatan Discounted Cash Flow (DCF) model.


Modal penilaian saham dengan menggunakan DCF model adalah:
Po =
( ) +( ) +... +
( )
Jika dividen bertumbuh secara konstan, kita gunakan Gordon Model:

Po =

maka
K̂ s =+

dimana:
D1 = dividen akhir eriode
Po = harga saham pada awal periode
g = tingkat pertumbuhan dividen
Untuk lebih jelas, silahkan lihat bab penilaian saham (Bab 6)

 Pendekatan Bond-Yield-Plus-Risk Premium


Ks = tingkat keuntungan obligasi perusahaan + premi
Membeli saham biasa pada umumnya lebih berisiko daripada membeli obligasi yang
memberikan penghasilan yang tetap dan relatif pasti. Oleh karena itu investor yang membeli
saham biasa mengharapkan suatu premi risiko diatas tingkat keuntungan obligasi. Premi
risiko ini besarnya tergantung pada kondisi perusahaan dan kondisi perekonomian.
Contoh:
Yield To Maturity obligasi suatu perusahaan adalah 12% sedangkan premi risiko untuk saham
perusahaan tersebut adalah 5%, maka:
Ks = 12% + 5% = 17%

Pendekatan mana yang digunakan? Semuanya dapat digunakan. Jika ke 3 pendekatantersebut


memberikan hasil yang berbeda, kita misalnya dapat merata-rata ke 3 nilai tersebut.
Contoh:

Metode Estimasi
Tinggi Rendah
CAPM 15,2% 14,6%
DCF (constant growth) 15% 14%
DCF (nonconstant growth) 15% 14,4%
Bond yield plus risk premium 15,3% 14,3%
Rata-rata 14,3% 15,1%
Rata-rata keseluruhan 14,7%

4.4. BIAYA SAHAM BIASA BARU


Biaya saham biasa baru atau external equity capital (K e) lebih tinggi dari biaya laba ditahan
(Ks) karena penjualan saham baru memerlukan biaya peluncuran/emisi saham atau flotation
cost. Flotation cost akan mengurangi penerimaan perusahaan dari penjualan saham. Biaya ini
terdiri dari: biaya mencetak saham, komisi untuk pihak penjamin emisi saham, penawaran
saham, dll
 Gordon Model dengan memperhitungkan flotation cost:
Po (1-F) =
maka:
K̂ e = +
( )
dimana:
Ke = biaya saham biasa baru
Po = harga jual saham
F = Flotation cost
D1 = dividen saham pada t=1
g = dividend growth
Contoh:
Saham baru perusahaan terjual dengan harga 32. Flotation cost adalah 15% dari harga jual.
Dividen mendatang (D1) diperkirakan sebesar 2,4 dan dividen diharapkan bertumbuh secara
konstan dengan tingkat pertumbuhan 6,5%.
̂ e =
K +g
( )
,
= + 6,5%
( , )
= 15,3%

Jika menggunakan laba ditahan, biaya laba ditahan adalah:


K̂ e = +g
,
= + 6,5%
= 14%
Dengan demikian jika kita tidak menahan laba dan membiayai kebutuhan modal sendiri
dengan menjual saham baru, kita dikenai modal yang 1,3% lebih tinggin 1,3% ini disebut
flotation cost adjustment.
Flotation cost adjustment = DCF Ke –
Perlu dicatat bahwa untuk menaksir Ke, kita hanya menggunakan 1 metoda yakni discounted
cash flow, sedangkan untuk menaksir Ks kita gunakan 3 metoda. Namun demikian, Ke dapat
ditaksir pula dengan metoda CAPM dan Bond-Yield-Plus-Risk Premium dengan
menggunakan rumus:
Ke = Ks + Flotation cost
Contoh:
Ke = 14,7% + 1,3%
= 16%

4.5. WEIGHTED AVERAGE COST OF CAPITAL


Pembahasan komponen modal secara individu dilanjutkan menghitung biaya modal secara
keseluruhan yaitu menghitung Weighted Average Cost of Capital atau WACC dengan
rumus:

WACC = Ka = wd.Kd (1-T) + wp.kp + Ws (Ks atau Ke)

dimana:
WACC = biaya modal rata-rata tertimbang
wd = persentase hutang dari mmodal
wp = presentase saham preferen dari modal
Ws = persentase saham biasa atau laba ditahan dari
modal Kd = biaya hutang
kp = biaya saham preferen
Ks = biaya laba ditahan
Ke = biaya saham biasa baru
T = pajak (dalam presentase)

Wd, Wp, Ws didasarkan pada sasaran struktur modal (capital structure) perusahaan yang
dihitung dengan nilai pasar (Market value)-nya. Setiap perusahaan harus memiliki suatu
struktur modal yang dapat meminimumkan biaya modal sehingga dapat memaksimumkan
harga saham.

Contoh:
Target struktur modal perusahaan adalah 30% hutang, 10% saham preferen dan 60%
modal sendiri (yang seluruhnya berasal dari laba ditahan). Biaya hutang adalah 12%, biaya
saham preferen 12,6% dan biaya laba ditahan 16,5% pajak diketahui sebesar 40%.
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= 0,3 (12%)(1-40%) + 0,1 (12,6%) + 0,6 (16,5%)
= 13,32%
Misalkan suatu proyek akan didanai dengan komposisi sebagai berikut.

Sumber dana Komposisi


Emisi saham baru 40%
Laba yang ditahan 30%
Hutang 30%

Biaya laba yang ditahan (yaitu modal sendiri) ditaksir sebesar 19,0%, dan emisi saham baru
diperlukan biaya emisi 3%. Biaya saham baru sebesar 15% sebelum pajak. Pajak penghasilan
sebesar 35%.

Untuk menghitung biaya modal rata-rata tertimbang perlu dihitung biaya modal dari masing-
masing sumber pendanaan. Biaya saham baru sebesar (19,0%/0,97) = 19,6%. Biaya hutang
setelah pajak sebesar 15%(1-0,35) = 9,75%. Dengan demikian maka,
Sumber Dana Komposisi Biaya modal Rata-rata
setelah pajak tertimbang
Saham baru 0,40 19,60% 7,84%
Laba yang ditahan 0,30 19,00% 5,70%
Hutang 0,30 9,75% 2,93%
Biaya modal rata-
rata tertimbang (ko) 16,47%

Angka tersebut menunjukkan bahwa apabila proyek tersebut diharapkan akan bisa memberikan
IRR > 16,47% maka proyek tersebut dinilai menguntungkan. Atau, kalau NPV proyek tersebut
dihitung dengan tingkat bunga sebesar 16,47% dan diharapkan memberikan angka yang positif,
maka proyek tersebut dinilai menguntungkan.

4.6. Kesalahan Yang Sering Dibuat dengan Biaya Modal Rata-Rata Tertimbang

Misalkan proyek yang sedang dianalisis diperkirakan memberikan IRR hanya sebesar 15%.
Dengan demikian, apabila digunakan proporsi pendanaan seperti pada table di atas, proyek
tersebut akan dinilai tidak menguntungkan. Apabila Direktur Keuangan sangat ingin
melaksanakan proyek tersebut, maka mungkin ia akan melakukan tindakan “kreatif: sebagai
berikut. “Mengapa” kita tidak mendanai proyek tersebut dengan 70% hutang dan hanya 30%
laba yang ditahan?. Bukankah dengan menempuh cara tersebut biaya modal rata-rata tertimbang
akan sebesar,
ko = 0,70(9,75%) + 0,30(19,00%)
= 12,53%
Dan karena itu proyek tersebut akan dinilai menguntungkan?

Kesalahan cara yang dilakukan di atas adalah bahwa Direktur keuangan menggunakan asumsi
bahwa biaya modal sendiri (=ko) konstan meskipun proyek akan dibiayai dengan proporsi dana
yang lebih banya terdiri dari hutang. Hal ini tentu saja tidak benar, karena ko akan meningkat,
dan mungkin peningkatannya tidak lagi linier, apabila perusahaan menggunakan hutang yang
makin banyak.

Kesalahan lain, adalah kemungkinan digunakannya struktur modal dari perusahaan saat ini.
Padahal yang seharusnya dipergunakan adalah struktur modal yang optimal. Dengan demikian
mungkin saja proporsi pendanaan yang dipergunakan untuk menghitung biaya modal rata-rata
tertimbang berbeda dengan proporsi pendanaan yang akan dipergunakan untuk proyek yang
dianalisis.

Jadi misalkan struktur pendanaan perusahaan saat ini adalah 50% hutang dan 50% modal sendiri.
Ada kencenderungan bahwa analis poroyek akan mengunakan struktur pendanaan ini dalam
menghitung biaya modal rata-rata tertimbang. Apabila struktur pendanaan dari perusahaan saat
ini memang merupakan struktur pendanaan yang optimal, maka pilihan tersebut memang tepat.
Sebaliknya apabila struktur pendanaan yang dinilai optimal adalah 40% hutang dan 60% modal
sendiri, maka struktur yang optimallah yang seharusnya dipergunakan sebagai bobot
penghitungan biaya modal rata-rata tertimbang, bukan struktur pendanaan saat ini dari
perusahaan.

Satu hal juga yang tidak boleh dilupakan adalah biaya modal sendiri proyek tersebut mungkin
saja berbeda dengan biaya modal sendiri dari perusahaan. Hal ini akan terjadi apabila proyek
yang dianalisis merupakan bisnis yang berbeda dengan bisnis yang saat ini dijalankan oleh
perusahaan.

Sebagai missal, proyek yang sedang dilaksanakan adalah meluncurkan produk baru. Apabila
produk tersebut dinilai mempunyai risiko (atau beta dalam konteks CAPM) yang berbeda dengan
bisnis perusahaan saat ini, maka biaya modal sendiri yang relevan untuk proyek tersebut
bukanlah biaya modal sendiri dari perusahaan saat ini. Penggunaan biaya modal sendiri dari
perusahaan saat ini hany tepat apabila risiko proyek tersebut relative sama dengan risiko bisnis
saat ini. Untuk proyek-proyek seperti penggantian mesin, penambahan kapasitas produksi,
penggunaan biaya modal sendiri dari perusahaan saat ini dapat dibenarkan.
Kesalahan lain yang sering dijumpai adalah sewaktu menaksir arus kas operasi pada saat akan
dipergunakan biaya modal rata-rata tertimbang sebagai cut-off rate dalam perhitungan IRR atau
NPV. Kesalahan tersebut terjadi sewaktu dipergunakan cara menaksir arus kas operasi (proceed)
dengan cara,

Proceed = Laba setelah pajak + penyusutan

Cara tersebut hanya benar apabila kita mengasumsikan bahwa proyek akan dibiayai dengan
100% modal sendiri. Dengan kata lain, dalam perhitungan laba setelah pajak, tidak dikurangi
terlebih dulu dengan pembayaran bunga. Apabila kita mengurangi terlebih dulu pembayaran
bunga (karena proyek dibiayai sebgaian dengan hutang) maka akan terjadi perhitungan ganda
kalau dipergunakan rumus proceed .

4.7. SKEDUL MARGINAL COST OF CAPITAL

Marginal Cost of Capital (MCC) adalah biaya memperoleh rupiah tambahan sebagai modal
baru. Pada umumnya, biaya marginal modal akan meningkat sejalan dengan meningkatnya
penggunaan modal.
Contoh:
Suatu perusahaan membutuhkan modal baru sebanyak 500 juta. Struktur modal yang hendak
dicapai adalah 60% modal sendiri dari saham biasa atau laba ditahan (common equity), 30%
hutang, dan 10% saham preferen. Tarif pajak adalah 40%. Biaya hutang sebelum pajak
adalah 14% dan biaya saham preferen 12,6%. Perusahaan berharap dapat menahan laba
sebesar 100 juta. Biaya laba ditahan 16%, biaya saham biasa baru 16,8%. WACC jika
menggunakan laba ditahan adalah:
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= (0,3)(14%)(1-40) + (0,1)(12,6%) + (0,6)(16%)
= 13,38%
WACC jika menggunakan saham biasa baru adalah:
WACC = Wd.Kd (1-T) + Wp.Kp + Ws.Ks
= (0,3)(14%)(1-40) + (0,1)(12,6%) + (0,6)(16,8%)
= 13,86%
 Karena menggunakan saham biasa baru lebih mahal, perusahaan pada umumnya berusaha
menggunakan laba ditahan sebanyak mungkin. Jika kurang, baru digunakan saham biasa
baru. Pada soal diatas perusahaan menargetkan 60% modal sendiri dari saham biasa atau laba
ditahan 60% dari 500 juta adalah 300 juta. Sedangkan laba ditahan hanya 100 juta, sehingga
perusahaan harus menerbitkan saham biasa baru untuk memperoleh 200 juta. Artinya sampai
titik dimana modal sendiri diperoleh dari laba ditahan, WACC perusahaan adalah 13,38%.
Setelah melewati titik tersebut, kebutuhan modal sendiri harus dipenuhi dari penjualan saham
baru sehingga WACC berubah menjadi 13,86%.
Titik dimana MCC naik tersebut disebut “Break point”. Break point dapat dicari dengan
rumus:

Break point =

Break point pada soal sebelumnya adalah:


Jumlah laba ditahan = 100 juta
Proporsi modal sendiri = 60%
Break point = = 166.666.666,7
,

Artinya pada saat dana baru yang diperoleh mencapai angka 166.666.666,7, perusahaan telah
menggunakan 0,6 (166.666.666,7) = 100 juta laba ditahan. Setelah angka ini, perusahaan
harus menerbitkan saham biasa baru.
 Menggambar skedul MCC.
Persoalan sebelumnya dapat digambar dalam suatu skedul Marginal Cost of Capital:
WACC
(%)

WACC = 13,86%
MCC
WACC = 13,38

216.666.666,7
50.000.000
Modal baru
0 Break point
Skedul MCC dengan depresiasi
Selain saham biasa baru dan laba ditahan, perusahaan juga dapat memanfaatkan depresiasi.
Depresiasi adalah suatu “noncash expense” dianggap sebagai biaya tapi kita tidak kehilangan
sepeserpun uang kas kita. Artinya depresiasi dicatat sebagai biaya tetapi uang untuk
“membayar” biaya tersebut tidak dari kas kita, tetap ada dalam kas. Depresiasi biasanya
ditujukan untuk mengganti aktiva yang telah habis usianya. Tapi bagi perusahaan, depresiasi
ini merupakan arus kas yang dapat digunakan untuk investasi pada aktiva tetap perusahaan
(reinvestment atau investasi kembali). Dengan demikian, depresiasi dapat memperpanjang
break point atau menunda kenaikan WACC. Biaya penggunaan dari depresiasi (cost of
depreciation) adalah sebesar WACC sebelum perusahaan menggunakan dana yang berasal
dari emisi saham baru.

Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya, misalnya diketahui bahwa perusahaan memiliki dana dari
depresiasi sebesar 50 juta. Skedul MCC akan menjadi
WACC
(%)

WACC = 13,86%
MCC
WACC = 13,38

216.666.666,7
Modal baru
50.000.000
A B
A adalah titik dimana seluruh dana depresiasi telah dipakai habis
B adalah titik dimana seluruh laba ditahan telah dipakai habis

4.8. INTERAKSI KEPUTUSAN INVESTASI DENGAN KEPUTUSAN PENDANAAN

Apakah suatu investasi yang menguntungkan kalau dibiayai dengan 100 persen modal
sendiri akan selalu menguntungkan kalau dibiayai dengan sebagian hutang? Apakah kalau suatu
investasi yang tidak menguntungkan kalau dibiayai dengan 100 persen modal sendiri juga akan
tidak menguntungkan kalau dibiayai dengan sebagian hutang? Seandainya jawaban atas kedua
pertanyaan tersebut adalah “ya”, maka berarti menguntungkan tidaknya suatu investasi akan
tergantung pada keputusan investasi, bukan pada keputusan pendanaan. Sebaliknya apabila
jawabannya adalah “mungkin saja”, maka berarti menguntungkan tidaknya investasi dapat
dipengaruhi oleh sumber dananya.

Masalah tersebut merupakan masalah yang dibicarakan dalam bab ini. Pemilihan
investasi yang menguntungkan merupakan masalah keputusan investasi, penggunaan sumber
dana yang berbeda-beda merupakan hasil keputusan pendanaan. Karena itu masalah tersebut
disebut sebagai interaksi keputusan investasi dengan keputusan pendanaan.

Paling tidak ada dua cara yang dipergunakan untuk mengkaitkan keputusan investasi
dengan keputusan pendanaan. Metode yang pertama adalah dengan menggunakan biaya modal
rata-rata tertimbang, dan yang kedua dengan menggunakan metode adjusted present value.
Untuk itu marilah kita bicarakan terlebih dulu cara yang pertama, yaitu penggunaan biaya modal
rata-rata tertimbang.

Penggunaan biaya modal rata-rata tertimbang

Cara ini mendasarkan diri pada pemikiran bahwa kalau suatu investasi akan dibiayai dengan
berbagai sumber dana, sedangkan masing-masing sumber dana mempunyai biaya yang berbeda-
beda, maka perlu dihitung rata-rata tertimbang dari biaya-biaya modal tersebut. Biaya modal
rata-rata tertimbang inilah yang kemudian dipergunakan sebagai tingkat keuntungan yang layak
inilah yang kemudian dipergunakan sebagai tingkat keuntungan yang layak dalam perhitungan
NPV (atau sebagai cut-off rate dalam perhitungan IRRI). Apabila dengan menggunakan tingkat
bunga tersebut diperoleh NPV yang positif (atau IRR > biaya modal rata-rata tertimbang) maka
investasi tersebut dinilai menguntungkan, dan sebaliknya. Karena itu, untuk menggunakan
metode ini perlu ditaksir terlebih dulu biaya modal dari masing-masing sumber dana.

oo0oo
4.9. Latihan Biaya Modal

1. A firm has determined its optimal capital structure, which is composed of the following
sources and target market value proportions:

Source of capital Target market proportions

Long-term debt 30%


Preferred stock 5
Common stock equity 65

DEBT: The firm can sell a 20-year, $1,000 par value, 9 percent bond for $980. A
flotation cost of 2 percent of the face value would be required in addition to the
discount of $20.
PREFERRED STOCK: The firm has determined it can issue preferred stock at $65 per
share par value. The stock will pay an $8.00 annual dividend. The cost of issuing
and selling the stock is $3 per share.
COMMON STOCK: The firm's common stock is currently selling for $40 per share.
The dividend expected to be paid at the end of the coming year is $5.07. Its
dividend payments have been growing at a constant rate for the last five years.
Five years ago, the dividend was $3.45. It is expected that to sell, a new common
stock issue must be underpriced at $1 per share and the firm must pay $1 per
share in flotation costs. Additionally, the firm's marginal tax rate is 40 percent.

Calculate the firm's weighted average cost of capital assuming the firm has exhausted all
retained earnings.

2. Promo Pak has compiled the following financial data:

Source of Capital Book Value Market Value Cost

Long-term debt $10,000,000 $ 8,500,000 5.0%


Preferred stock 1,000,000 1,500,000 14.0
Common stock equity 9,000,000 15,000,000 20.0

$20,000,000 $25,000,000

a. Calculate the weighted average cost of capital using book value weights.
b. Calculate the weighted average cost of capital using market value weights.
BAB X PENILAIAN OBLIGASI

10.1 PENDAHULUAN

Pada penilaian obligasi perlu dipahami konsep obligasi, obligasi merupakan salah satu bentuk
financial asset, yang selalu berkaitan dengan interest rate atau required return , sebagai suatu
representasi harga uang. Interest rate bisa sebagai alat regulasi pada obligasi untuk melakukan
pengendalian aliran uang antara supply dengan demand pada dana yang dimiliki. Bank Sentral di
Indonesia dikenal dengan Bank Indonesia biasanya akan melakukan inisiasi terhadap perubahan
interest rate yang merupakan bentuk pengendalian antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
Interest rate bisa menjadi salah satu kompensasi dari perusahaan penerbit obligasi yang
dibayarkan kepada pembeli obligasi. Sehingga biaya yang dikeluarkan peminjam adalah interest
rate, sedangakan dana yang diperoleh dengan menerbitkan saham atau obligasi akan
menimbulkan biaya yang harus dibayar perusahaan dinamakan required return, yang
mencerminkan tingkat return yang diminta oleh pembeli obligasi.

Penilaian adalah proses penentuan harga atau nilai sekuritas . Sekuritas merupakan secarik kertas
yang menunjukkan hak pemilik kertas tersebut untuk memperoleh bagi dari prospek atau
kekayaan perusahaan yang menerbitkan sekuritas tersebut dan berbagai kondisi untuk
melaksanakan hak tersebut. Kalau definisi tersebut terdengar kompleks, marilah kita ambil
contoh sekuritas yang disebut sebagai obligasi (bond). Apabila dibaca di berbagai surat kabar
bisnis (Bisnis Indonesia, Harian Investor), pada halaman tertentu ada daftar harga obligasi yang
dijual belikan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Anda akan melihat harga yang sangat beraneka
ragam, meskipun semuanya mempunyai nilai nominal yang sama , tetapi memiliki harga yang
berbeda.

Secara garis besar, sekuritas dibagi menjadi dua, yaitu yang memberikan penghasilan tetap dan
yang memberikan penghasilan tidak tetap. Meskipun demikian konsep penilainnya sebenarnya

234
sama. Dalam penilaian sekuritas dipergunakan konsep adanya hubungan yang positif antara
risiko dengan tingkat keuntungah diharapkan atau diisyaratkan oleh pemodal (investor). Karena
pemodal bersikap tidak menyukai risiko (risk averse) maka mereka baru bersedia mengambil
suatu kesempatan investasi yang lebih berisiko kalau mereka mengharapkan akan memperoleh
tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Apabila disini dipergunakan istilah tingkat keuntungan,
maka yang dimaksudkan disini keuntungan dalam persentase (atau desimal) dan bukan dalam
rupiah. Hubungan antara risiko dan tingkat keuntungan tersebut digambarkan, menunjukkan
bahwa hubungan tersebut bersifat positif.

Tingkat keuntungan
Yang diharapkan

Tingkat keuntungan
Bebas risiko
Risiko
0

Gambar. Hubungan antara risiko dan tingkat keuntungan

Ada beberpa pertanyaan yang dapat diajukan dengan mengamati gambar tersebut. Pertama, apa
yang dimaksud dengan risiko? Kedua, apakah hubungan tersebut akan linier? Kalau ya,
mengapa? Dan ketiga, apakah pola hubungan tersebut akan konstan? Dengan kata lain, apakah
intercept (potongan dengan sumbu tegak) dan slope (kemiringan) garis tersebut akan tetap?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan diuraikan secara singkat pada penjelasan
tentang Capital Asset Pricing Model (CAPM). Tetapi untuk sementara ini marilah kita bicarakan
terlebih konsep penilaian masing-masing jenis sekuritas, dan kemudian kaitan CAPM dalam
penilaian sekuritas.

10.2. PENILAIAN SEKURITAS BERPENGHASILAN TETAP

Contoh sekuritas tipe ini adalah oblgasi. Obligasi biasanya mempunyai feature sebagai berikut.
Mempunyai nilai nominal, atau disebut juga face value, (missal Rp. 1.000.000). Kapan akan
dilunasi (misal 5 tahun). Mempunyai coupon rate (missal 18% per tahun). Kalau kita
mengabaikan kemungkinan obligasi tersebut tidak bisa dilunasi (default), maka pembeli obligasi
akan memperoleh Rp. 180.000 pada tahun 1 s/d 5, ditambah pelunasan pokok pinjaman sebesar
Rp. 1.000.000 pada tahun ke 5.

Arus kas yang diharapkan akan diperoleh oleh pemodal yang membeli obligasi tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut (semua angka dalam ribuan rupiah).

Tahun 0 Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5

? 180 180 180 180 180


1.000

Nilai pada tahun ke 0 (satu saat ini) merupakan harga yang bersedia dibayar oleh para pemodal.
Untuk itu nilai pasar obligasi (Bo) bisa dihitung sebagai berikut.

Bo=∑ +
( ) ( )

Dalam hal ini F, adalah bunga yang dibayarkan setiap periode (t = 1 ….,n). N adalah nilai
nominal pelunasan, dan r adalah tingkat bunga yang dianggap relevan oleh pemodal.

Sekarang misalkan obligasi tersebut ditawarkan ke pasar modal, dan para pemodal menginginkan
tingkat keuntungan 17%. Berapa harga obligasi tersebut.
Bo = 180/(1 + 0,17) + 180/(1 + 0,17)2 + …. + 1.180/(1 + 0,17)5
= Rp. 1.032.000 (dibulatkan)

Harga yang bersedia dibayar lebih tinggi dari nilai nominal karena coupon rate yang ditawarkan
lebih tinggi dari tingkat keuntungan yang diinginkan pemodal.
Perhatikan bahwa apabila tingkat bunga yang dianggap relevan oleh pemodal meningkat, harga
pasar obligasi akan menurun dan sebaliknya. Dengan demikian apabila diabaikan kemungkinan
default, maka harga obligasi akan tergantung pada (pengharapan akan) tingkat bunga.

10.3 PENILAIAN SEKURITAS TIDAK BERPENGHASILAN TETAP

Saham merupakan sekuritas yang memberikan penghasilan yang tidak tetap bagi pemiliknya.
Pemilik saham akan menerima penghasilan dalam bentuk dividen dan perubahan harga saham.
Kalau harga saham meningkat dari harga beli, maka pemodal dikatakan memperoleh capital
gains apabila sebaliknya disebut sebagai capital loss.

Apabila harga saham saat ini (Po) sebesar Rp. 10.000 kemudian diharapkan memberikan dividen
Rp. 1.000 pada tahun depan, dan tahun depan diperkirakan harganya Rp. 11.000. Dengan
demikian tingkat keuntungan yang diharapkan (r) akan diperoleh,

r = (P1 – Po + D1)/Po
= (11.000 – 10.000 + 1.000)/10.000
= 0,20 ATAU 20%

Persoalan tersebut juga bisa dinyatakan,

Po = P1/(1 + r) + D1/(1 + r)
= 11.000/(1 + 0,20) + 1.000/(1 + 0,20)
= 10.000

Tetapi apa yang menentukan harga pada t = 1? Harga pada t = 1 akan dipengaruhi oleh dividen
t = 2 dan harga pada t = 2. Atau secara formal,

P1 = P2/(1 + r) + D2/(1 + r)

Dengan demikian maka,


Po = P2/(1 + r) + D2/(1 + r) D1/(1 + r)

Dan seterusnya.

Karena seseorang bisa memiliki saham untuk waktu n tahun, maka persamaan umumnya
menjadi,

Po = ∑ +
( ) ( )

Dalam hal ini Po adalah harga saham saat ini. D1 adalah dividen yang diterima oleh pemodal
pada tahun ke t (t = 1, …..,n), Pn adalah harga saham pada tahun ke n, dan r adalah tingkat
keuntungan yang dianggap relevan.

Meskipun seorang pemodal bisa memiliki saham selama n tahun, tetapi sewaktu saham tersebut
dijual, akhirnya periode kepemilikan akan menjadi tidak terhingga. Dengan demikian persamaan
(3.2.) bisa dituliskan menjadi,

Po = ∑
( )

Dalam persamaan tersebut n = ∞ (tidak terhingga).

Secara konsepsional rumus penentuan harga saham tersebut benar, tetapi untuk
operasionalisasinya akan sulit. Bagaimana kita bisa memperkirakan Dt dari tahun ke 1 sampai
dengan tahun tidak terhingga. Semakin jauh dimensi waktu estimasi kita semakin tidak pasti
estimasi tersebut. Karena itulah kemudian dipergunakan berbagai penyederhanaan.

Penyederhanaan yang pertama adalah dengan menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:


(1) Keuntungan tidak berubah setiap tahunnya, dan
(2) Semua keuntungan dibagikan sebagai dividen
Berdasarkan asumsi-asumsi tersebut bisa dirumuskan bahwa harga saham saat ini adalah,

Po = E/r
Atau
P0 = D/r
Asumsi-asumsi tersebut kemudian dirasa tidak realistis. Karena itu kemudian diasumsikan:

(1) Tidak semua laba dibagi, tetapi ada sebagian yang ditahan. Proporsi laba yang ditahan ( = b)
diasumsikan konstan.
(2) Laba yang ditahan dan diinventasikan kembali tersebut bisa menghasilkan tingkat
keuntungan, disebut juga Return on Equity, sebesar R.
(3) Sebagai akibat dari asumsi-asumsi tersebut, maka laba per lembar saham ( = E) dan juga
dividen ( = D) meningkat sebesar bR. Peningkatan ini kita beri notasi g. Dengan kata lain g =
bR.

Dengan menggunakan serangkaian asumsi tersebut maka,

Po = ( + .......... + ( )
+ ) ( )
() ( )

oo
Dengan n = , maka persamaan tersebut merupakan penjumlahan dari suatu deret ukur dengan

kelipatan [(1 + g)/(1 + r)] dan n = OO, sehingga jumlah adalah sama dengan,

Po =

Yang dapat disederhanakan

menjadi, Po = D1/(r-g)

Model tersebut disebut sebagai modal pertumbuhan konstan, karena diasumsikan pertumbuhan
laba (dan juga dividen) meningkat secara konstan. Tentu saja kita bisa menggunakan
pertumbuhan yang tidak konstan, yang menyatakan bahwa g1 > g2. Misalnya selama 3 tahun
pertama pertumbuhan diperkirakan sebesar 20% per tahun (g1), tetapi setelah itu hanya tumbuh
sebesar 10% per tahun (g2).

Persoalan tersebut bisa dirumuskan,


Po = D1/(1 + r) + D1(1 + g1)/(1 + r)2 + D1(1 + g1)2/(1 + r)3 +
D1(1 + g1)2(1 + g2)/(1 + r)4 + ….. + D1(1 + g1)2(1 + g2)oo.3 /(1 + r)oo

Dividen pada tahun ke 4 sampai dengan tahun oo bisa dirumuskan sebagai,

P3 = D4/(r-g2)

Karena itu,

Po = D1/(1 + r) + D1(1 + g1)/(1 + r)2 + D1(1 + g1)2/(1 + r)3 +


= D1(1 + g1)2(1 + g2)/(1 + r)4 + P3/(1 + r)3

Yang berarti juga bisa dituliskan sebagai,

Po = D1/(1 + r) + D1(1 + g1)/(1 + r)2 + D1(1 + g1)2/(1 + r)3 +


D1(1 + g1)2(1 + g2)/(1 + r)4 + [D4/(r-g2) x 1/(1 + r)3]
10.4. LATIHAN MANDIRI

1. PT. Anggrek memiliki obligasi dengan nilai nominal sebesar $ 1.000 nominal dan
memiliki kupon bunga sebesar 8%. Obligasi tersebut memiliki 12 tahun tersisa
hingga tanggal jatuh temponya. Jika bunga dibayarkan setiap tahunnya, berapakah
nilai obligasi ketika required rate of return sebesar (a) 5%, (b) 8%, dan (c) 12% ?

2. PT. Mawar, sebuah perusahaan sepatu membagikan dividen tunai dari tahun 2007
hingga 2012 sebagai berikut :

Year DPS
2012 $ 1.4
2011 1.29
2010 1.20
2009 1.12
2008 1.05
2007 1.00

Hitunglah estimasi pertumbuhan perusahaan !

3. Bapak Budi sedang mempertimbangkan untuk membeli saham PT. Melati, sebuah
perusahaan kosmetik yang sedang berkembang pesat. Berdasarkan laporan
keuangan PT. Melati diperoleh data bahwa dividen yang dibagikan di tahun 2012
sebesar $ 1,5 per saham. Bapak Budi memperkirakan bahwa dividen akan tumbuh
10 % per tahun selama 3 tahun mendatang. Setelahnya dividen akan tumbuh
konstan pada tingkat 5 %. Bapak Budi mensyaratkan tingkat return sebesar 15%
untuk berinvestasi pada saham tersebut. Berapakah nilai intrinsik saham PT.
Melati?
JAWABAN LATIHAN MANDIRI
1. a. required rate of return = 5 %

80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 1265,90
0.05 (1 + 0.05) (1 + 0.05)

b. required rate of return = 8%

80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 1000
0.08 (1 + 0.08) (1 + 0.08)

c. required rate of return = 12%

80 1 1
Bo = 1− + 1000 = 752.23
0.12 (1 + 0.12) (1 + 0.12)

2.

g = 1.069610376 – 1
g = 0.069610376 = 7%

3. Step 1 : menghitung nilai sekarang dari aliran dividen selama 3 tahun


Step 2 : jumlah seluruh nilai sekarang dari dividen selama 3 tahun adalah sebesar $4.12.

Step 3 : nilai dari saham pada akhir initial growth period dapat ditentukan pertama-tama
dengan menghitung besarnya DN+1 = D2016
D2016 = D2015 * (1 + 0.05) = $2.00 * (1.05) = $2.10
Dengan menggunakan D2016 = $2.10, 15% required return, dan 5% dividend growth
rate,nilai saham diakhir 2015 dapat dihitung sebagai berikut

Akhirnya, di Step 3 , nilai $21 diakhir 2015 harus dikonversi menjadi nilai sekarang . dengan
menggunakan 15% required return, kita peroleh

Step 4 : menjumlahkan kedua hasil perhitungan (Step 2) dan ( Step 3)


P2012 = $4.12 + $13.81 = $17.93 per share

Nilai intrinsik saham PT.Melati sebesar $17.93 per lembar saham.


Bab V

Manajemen Modal Kerja

Kegiatan perusahaan dalam mencapai tujuannya harus dikelola dengan baik, pengelolaan
keuangan yang baik, akan memberikan pencapaian kinerja yang maksimal. Upaya untuk
melakukan pengelolaan keuangan yang baik , yaitu dengan pengelolaan aset perusahaan secarta
efisien dan efektif. Penanggung jawab pengelolaan keuangan , atau dalam hal aset perusahaan,
yang meliputi aset tetap atau aktiva tetap dan aktiva lancar adalah manajer keuangan. Aktiva
lancar perusahaan mereupakan aktiva yang harus diperhatikan dengan baik, karena memiliki
perputaran yang lebih cepat dibandingkan dengan aktiva tetap.
Modal kerja didalamnya adalah kas, piutang, dan persedian atau dikenal dengan aktiva
lancar, termasuk didalamnya adalah utang lancar. Sehingga ada istilah yang dikenal dengan
modal kerja bersih yaitu selisih antara aktiva lancar dengan utang lancar. Modal kerja bersih
dapat dikelompokkan kedalam 2 bagian, yaitu modal kerja bersih positif dan modal kerja bersih
negative. Pengelompokkan tersebut berdasarkan risiko dan return yang akan diperoleh bila
perusahaan melakukan strategi dalam manajemen modal kerjanya. Bila aktiva lancar lebih besar
dari pada utang lancar , manajemen modal kerja ini akan mengakibatkan modal kerja bersih
positif dengan hasil return yang rendah dan risiko yang rendah pula. Sebaliknya bila aktiva
lancar lebih rendah dibandingkan dengan utang lancarnya, maka hasil return yang diperoleh
tinggi dan risiko yang ditanggung juga tinggi.
Manajemen dana jangka pendek berarti manajemen terhadap aktiva lancar dan utang
lancar merupakan pekerjaan manajer keuangan sehari-hari yang sangat penting. Tujuan
manajemen dana jangka pendek adalah mengelola masing-masing komponen dalam aktiva lancer
dan utang lancer dengan menyeimbangkan antara profitability dan risiko sehingga berkontribusi
positif pada nilai perusahaan. Fokus dalam manajamen dana jangka pendek adalah memahami
bagaimana siklus dari perubahan kas.
Tujuan manajemen dana jangka pendek adalah meyakinkan bahwa perusahaan dapat
memelihara atau mengendalikan likuiditasnya. Likuiditas di sini diartikan sebagai kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban tunai yang telah jatuh tempo. Dengan
demikian, suatu perusahaan dikatakan likuid jika ia mampu membayar gaji karyawan pada

101
waktunya, tagihan-tagihan dari supplier, tagihan pajak, dsb. Selaim pengertian modal kerja
bersih sering pula disebut sebagai gross working capital atau modal kerja kotor, didefinisikan
sebagai item-item pada aktiva lancar, yakni: kas (cash), surat berharga (security), piutang
(account receivable) dan persediaan (inventory).
Sedangkan modal kerja bersih atau net capital working adalah aktiva lancar setelah
dikurangi dengan utang lancar. Utang lancar sendiri terdiri atas: utang dagang, utang wesel,
utang jangka pendek berasal dari utang jangka panjang, gaji terutang serta pajak terutang.
Sebagai contoh, jika jumlah aktiva lancar adalah 250 juta dan jumlah utang lancar sebesar 150
juta, maka modal kerja bersih berjumlah 250 juta - 150 juta = 100 juta. Konsep modal kerja
bersih akan berkaitan dengan risiko , bila modal kerja bersih negative berarti risiko perusahaan
tinggi dan bisa menyebabkan return yang tinggi, demikian sebaliknya. Biasanya tingkat aktiva
lancar dan kebutuhan pendanaannya berfluktuasi mengikuti fluktuasi siklus bisnis dan trend
musiman. Pada siklus puncak, perusahaan harus menanggung aktiva lancar yang maksimum.
Sebaliknya pada resesi, jumlah aktiva lancar menurun, namun tidak pernah mencapai titik nol.

5.1 PENGELOLAAN KAS


Komponen pertama modal kerja yaitu kas, merupakan bentuk aktiva yang paling likuid,
yang bisa dipergunakan segera untuk memenuhi kewajiban keuangan perusahaan. Sifat
likuidnya tersebut, kas memberikan keuntungan yang paling rendah. Kalau perusahaan
menyimpan kas di bank dalam bentuk rekening giro, maka jasa giro yang diterima oleh
perusahaan persentasenya akan lebih rendah dari pada kalau disimpan dalam bentuk deposito
berjangka (yang tidak setiap saat bisa diuangkan). Karena itu masalah utama bagi pengelolaan
kas adalah menyediakan kas yang memadai, tidak terlalu banyak (agar keuntungan tidak
berkurang terlalu besar) tetapi tidak terlalu sedikit (sehingga akan mengganggu likuiditas
perusahaan).

5. 1.1. Motif Perusahaan Memiliki Kas

Pentingnya kas bagi perusahaan , bisa dilihat alasan atau motif seperti yang disampaikan
pendapat John Maynard Keynes yang menyatakan bahwa ada tiga motif untuk memiliki kas,
yaitu (1) motif transaksi, (2) motive berjaga-jaga, dan (3) motif spekulasi. Motif pertama yaitu
motif transaksi yang berarti perusahaan menyediakan kas untuk membayar berbagai transaksi
bisnisnya. Baik transaksi yang regular maupun yang tidak regular. Motif kedua yaitu motif
berjaga-jaga dimaksudkan untuk mempertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas
yang sifatnya tidak terduga. Seandainya semua pengeluaran dan pemasukan kas bisa diprediksi
dengan sangat akurat, maka saldo kas untuk maksud berjaga-jaga akan sangat rendah. Selain
akurasi prediksi kas, apabila perusahaan mempunyai akses kuat ke sumber dana eksternal, saldo
kas ini juga akan rendah. Motif berjaga-jaga ini nampak dalam kebijakan penentuan saldo kas
minimal dalam penyusunan anggaran kas.
Ketiga adalah motif spekulasi yaitu motif untuk memperoleh keuntungan dari memiliki
atau menginvestasikan kas dalam bentuk investasi yang sangat likuid. Biasanya jenis investasi
yang dipilih adalah investasi pada sekuritas. Apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka
perusahaan akan merubah kas yang dimiliki menjadi saham, dengan harapan harga saham akan
naik apabila tingkat bunga diperkirakan turun, maka perusahaan akan merubah kas yang dimiliki
menjadi saham, dengan harapan harga saham akan naik apabila memang semua pemodal
berpendapat bahwa suku bunga akan (dan mungkin telah) turun.

5.1.2 SIKLUS KONVERSI KAS (CASH CONVERSION CYCLE)


Perusahaan harus memperhatikan kas, dimana kas sangat dibutuhkan sebagai pelumas
operasional perusahaan . Pemahaman terhadap waktu dari mulai kas dibelanjakan berbagai
material atau bahan sampai dengan terkumpul sebagai kas kembali dinamakan sebagai konsep
siklus konversi kas atau cash conversion cycle, sangat penting dalam pembicaraan mengenai
perencanaan keuangan jangka pendek. Cash conversion cycle (CCC) adalah waktu rata-rata
antara pengeluaran kas untuk sumber daya produktif dengan penerimaan kas dari penjualan
produk. Dengan kata lain, cash conversion cycle adalah waktu rata-rata dana perusahaan terikat
pada aktiva lancar. Semakin pendek CCC semakin sedikit modal yang digunakan untuk
mendanai aktiva lancar atau modal kerja.
Untuk menghitung CCC digunakan rumus sebagai berikut:
Cash Conversion Cycle = ICP + RCP

dimana:
ICP = Inventory conversion period
RCP = Receivables collection period
PDP = Payables deferral period
Inventory conversion period adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan untuk mengubah bahan
mentah menjadi produk jadi dan kemudian dijual. Rumus untuk menghitung ICP adalah:

Inventory Conversion Period = =


/

HPP = Harga Pokok Produksi


Receivables collection period adalah waktu rata-rata untuk mengubah piutang menjadi kas.
Rumus untuk menghitung RCP adalah:

Receivables Collection Period = =


/

Payables deferral period adalah waktu rata-rata antara pembelian bahan baku dan tenaga
kerja dengan waktu pembayarannya.
Contoh:
Harga pokok produksi= 500 juta
Persediaan = 100 juta
Piutang = 50 juta
Penjualan = 750 juta
Rata-rata waktu pembayaran bahan baku dan tenaga kerja = 30 hari
ICP = (360 x 100)/500 = 72 hari
RCP = (360 x 50)/750 = 24 hari
PDP = 30 hari
CCC = ICP + RCP - PDP = (72 + 24) - 30 = 66 hari
Dilihat dari sisi lain:
CCC = Penundaan penerimaan – penundaan pembayaran
= Penundaan bersih
CCC = (72 + 24) - 30 = 66 hari
Perhatikan model cash conversion cycle berikut ini:
MODEL CASH CONVERSION CYCLE
(72) (24)
ICP RCP

ICP CCC
(30) (72 + 24 - 30 = 66)

Menerima Membayar tunai Barang jadi Mengumpulkan


bahan pembelian dan dijual piutang

Gambar 20.1

5.1.3. TEKNIK-TEKNIK MANAJEMEN KAS


Diperlukan pengelolaan kas yang baik untuk mendukung operasional perusahaan, untuk itu
manajemen kas sangat penting dalam manajemen modal kerja. Manajemen kas telah berubah
banyak dalam waktu 20 tahun terakhir. Ada 2 hal yang menyebabkannya: (1) suku bunga
yang cenderung naik sehingga opportunity cost memegang uang tunai semakin tinggi,
memaksa manajemen mencari cara yang lebh efisien dalam mengelola kas, (2)
Perkembangan teknologi yang sangat pesat.
Pada umumnya teknik manajemen kas terdiri atas: (1) mensinkronkan arus kas, (2)
Menggunakan float, (3) mempercepat pengumpulan, (4) menentukan dimana dan kapan dana
dibutuhkan, dan memastikan bahwa dana tersebut tersedia pada waktu dan tempat yang tepat,
(5) Mengontrol pembayaran. Mensinkronkan arus kas berarti menyesuaikan timing arus kas
masuk dengan arus kas keluar, maka kita dapat menyediakan anggaran kas yang kecil.
Float didefinisikan sebagai perbedaan antara saldo yang ada pada buku cek perusahaan atau
individu dengan saldo pada catatan bank. Misalnya secara rata-rata suatu perusahaan menulis
cek sejumlah Rp 5 juta per hari, dan diperlukan waktu 6 hari untuk mencairkan cek tersebut.
Hal ini menyebabkan saldo pada buku cek perusahaan lebih rendah Rp 30 juta dibanding
saldo pada catatan bank. Perbedaan ini disebut “disbursement float”. Sebaliknya jika
perusahaan menerima cek rata-rata Rp 5 juta per hari dan dibutuhkan waktu 4 hari untuk
mencairkannya, akan menyebabkan “collection float” sebesar Rp 20 juta. Secara total, “net
float” perusahaan adalah Rp 30 juta positif dari disbursement float dikurangi Rp 29 juta
negatif dari collections float, atau sebesar Rp 10 juta. Jika proses pengumpulan dan pencairan
cek perusahaan lebih efisien daripada perusahaan lain penerima cek-cek perusahaan tersebut,
maka “net float” perusahaan adalah positif. Pada dasarnya “net float” suatu perusahaan
merupakan suatu fungsi dari kemampuan perusahaan mempercepat pencairan pada cek yang
diterima dan memperlambat pencairan pada cek yang dibayarkan.
Mempercepat pengumpulan kas dapat dilakukan dengan bantuan teknik: (1) Lockboxes, dan
(2) Pre-Authorized Debits. Pada sistem “Lockboxes”, pelanggan mengirim cek ke box kantor
pos pada kota tertentu. Bank lokal kemudian mengumpulkan cek tersebut, mendepositokan
dan memulai proses kliring serta memberitahu perusahaan bahwa pembayaran telah diterima.
Waktu yang dibutuhkan lebih sedikit karena bank segera menerima cek dari pelanggan
perusahaan. Pada sistem “Pre-Authorized debit”, dana secara otomatis ditransfer dari
rekening pelanggan ke rekening perusahaan pada hari yang telah ditentukan. Hal ini
diterapkan pada misalnya, pembayaran rekening telepon. Meskipun sejumlah teknik
ditawarkan untuk mengurangi kebutuhan saldo kas, penerapan teknik tersebut tidaklah gratis.
Manajemen dianjurkan untuk mempertimbangkan cost dan benefit dari implementasi teknik
tersebut.
Sebagai contoh, sistem Lockboxes dapat mengurangi investasi pada kas sebesar Rp 1 juta
tanpa menaikkan risiko kehabisan kas. Seandainya perusahaan dapat meminjam dengan suku
bunga 12%, sistem Lockboxes dapat menghemat 12% x Rp 1 juta = Rp 120.000,- per tahun.
Selanjutnya tingal menghitung biaya pemasangan Lockboxes per tahun. Jika cost ternyata
lebih besar dari benefit, sebaiknya sistem tidak dipasang.

5.1.4. MANAJEMEN SURAT BERHARGA

Pada umumnya surat berharga yang likuid (marketable securities) memberikan keuntungan
yang lebih rendah daripada keuntungan dari operasi perusahaan. Namun cukup banyak
perusahaan besar yang menginvestasikan dananya pada surat berharga. Ada 2 alasan dasar
untuk tindakan tersebut: (1) surat berharga digunakan untuk mengganti saldo kas, dan (2)
surat berharga digunakan sebagai investasi jangka pendek (temporary investment).
Beberapa perusahaan lebih suka memegang sebagian surat berharga daripada saldo kas yang
besar. Surat berharga ini segera dijual jika kas dibutuhkan untuk transaksi. Sebagai contoh,
IBM beberapa tahun yang lalu memiliki surat berharga dalam jumlah cukup besar. Hal itu
disebabkan oleh banyaknya kasus di pengadilan mengenai antimonopoli melawan IBM yang
belum diputuskan. Ketika mulai jelas bahwa IBM akan memenangkan sebagian besar kasus
tersebut, kebutuhan uang tunai (untuk ganti rugi) menurun, sebagian besar surat berharga
dijual untuk diinvestasikan pada aktiva lain dan membeli kembali saham perusahaan. Pada
kasus IBM ini jelas bahwa perusahaan harus mencadangkan uang tunai guna membayar ganti
rugi jika kalah dipengadilan. Daripada menyimpan uang tunai, IBM memilih memegang
surat berharga yang likuid (sewaktu-waktu dapat diubah menjadi uang tunai) serta
menghasilkan keuntungan.
Surat berharga digunakan sebagai investasi temporer timbul dari situasi berikut: (1) ketika
perusahaan harus mendanai operasi yang bersifat musiman atau siklus, dan (2) ketika
perusahaan harus memenuhi kewajiban financial yang telah diketahui atau diprediksi
sebelumnya. Opearasi yang bersifat musiman atau siklus biasanya menghasilkan surplus kas
pada suatu periode dan defisit kas pada periode lain. Pada saat surplus, kas diubah menjadi
surat berharga yang akhirnya dijual (dilikuidasi) saat kas defisit.
Dalam memilih surat berharga, harus diperhitungkan faktor risiko dan keuntungan. Risiko
pada surat berharga antara lain: (1) Risiko kegagalan (default risk), yakni bila perusahaan
penerbit surat berharga tidak mampu membayar bunga dan pokok pinjaman, (2) Risiko
peristiwa (evrut risk), yakni jika ada peristiwa yang segera meningkatkan default risk seperti
rekapitalisasi atau Leverage Buy Out (LBO), (3) Risiko suku bunga (interest rate risk), yakni
naik turunnya harga obligasi seiring dengan turun naiknya suku bunga di pasar, (4) Risiko
daya beli (Purchasing power risk), yakni turunnya daya beli uang akibat inflasi, dan (5)
Risiko likuiditas (liquidity risk), yakni kesulitan menjual sekuritas pada harga yang pantas.
Karena tujuan membeli sekuritas disini adalah sebagai cadangan kas (cash reserve),
manajemen kas sebaiknya memilih sekuritas yang risikonya rendah, meskipun sebagai
konsekuensinya tingkat keuntungannya rendah pula.

5.1.5. KEBIJAKAN INVESTASI AKTIVA LANCAR

Keputusan keuangan jangka pendek secara konsep adalah sama dengan keputusan keuangan
jangka panjang, seperti keputusan penganggaran modal dan struktur modal, dalam hal keputusan
dibuat berdasarkan kerangka trade off antara risiko dan keuntungan. Namun demikian, tidak
seperti halnya pada keputusan keuangan jangka panjang, para ahli keuangan belum dapat
menunjukkan secara jelas hubungan antara keputusan keuangan jangka pendek dengan tulisan
memaksimumkan nilai perusahaan. Oleh karena itu belum ada dasar teori yang kuat yang dapat
dipakai sebagai acuan oleh manajer keuangan.
Kebijakan keuangan menyangkut aktiva lancar terdiri atas dua keputusan dasar: (1) tingkat
investasi pada aktiva lancar, dan (2) bagaimana perusahaan mendanai aktiva lancar tersebut.
Ada 3 alternatif kebijakan keuangan perusahaan menyangkut jumlah aktiva lancar yang harus
ada pada perusahaan, yakni (1) kebijakan longgar (relaxed policy), (2) kebijakan ketat (restricted
policy) dan (3) kebijakan moderat (moderate policy). Relaxed policy adalah kebijakan
menetapkan jumlah aktiva lancar pada tingkat tinggi. Restricted policy merupakan kebalikan dari
relaxed policy, menetapkan aktiva lancar pada tingkat rendah. Moderate policy berada diantara
relaxed dan restricted policy. Misalnya pada tingkat penjualan sebesar 1 milyar, relaxed policy
mempunyai target aktiva lancar 300 juta, moderate policy menrgetkan aktiva lancar 230 juta dan
restricted policy mungkin menargetkan aktiva lancar hanya sebesar 160 juta. Perhatikan gambar
berikut:

ALTERNATIF KEBIJAKAN INVESTASI AKTIVA LANCAR

Aktiva lancar Relaxed

30 Moderate

23 Restricted
16

Penjualan
100

Kebijakan Aktiva untuk menunjang penjualan 100


Relaxed 30
Moderate 23
Restricted 16
Gambar alternative kebijakan

Jika dikaitkan dengan cash conversion cycle, relaxed investment policy cenderung
meningkatkan persediaan dan piutang, memperpanjang inventory conversion period dan
receiveables conversion period, yang akhirnya akan memperpanjang cash conversion period.
Sebaliknya restricted investment policy akan memberikan cash conversion cycle yang lebih
pendek.
Pada umumnya, keputusan tentang tingkat investasi pada aktiva lancar meliputi
pertimbangan trade off antara risiko dan keuntungan. Relaxed policy akan meminimumkan
risiko, tetapi tingkat keuntungan juga ikut menurun karena dana yang terikat pada aktiva lancar
cukup tinggi. Restricted policy menawarkan tingkat kauntungan yang tinggi karena jumlah dana
yang terikat pada aktiva lancar sedikit, namun risikonya juga tinggi.

5.1.6. ANGGARAN KAS

Kas merupakan aktiva yang tidak memberikan penghasilan (non earning asset). Kas
dibutuhkan untukk membayar gaji dan bahan baku, membeli aktiva tetap, membayar pajak,
melunasi hutang, membayar dividen, dan lain-lain. Karena kas tidak memberikan
penghasilan atau bunga, tujuan dari manajemen kas adalah: “meminimumkan jumlah kas
yang harus ada pada perusahaan agar aktivitas perusahaan dapat berjalan normal, namun
pada saat yang sama, perusahaan memiliki kas yang cukup untuk (1) mengambil diskon
pembelian, (2) melunasi hutang yang jatuh tempo, dan (3) memenuhi kebutuhan kas yang
tidak terduga.”
Perusahaan memperkirakan kebutuhan akan kas sebagai bagian dari proses penganggaran
atau peramalan secara umum. Pertama, perusahaan meramal kebutuhan akan aktiva tetap dan
persediaan beserta waktu pembayarannya. Informasi ini dikombinasikan dengan proyeksi
tentang penundaan pada pengumpulan piutang, pembayaran pajak, pembayaran dividen dan
bunga, dan lain-lain. Semua informasi ini disimpulkan dalam anggaran kas (cash budget).
Anggaran kas memproyeksi arus kas masuk dan arus kas keluar pada suatu periode tertentu.
Anggaran kas dapat disusun untuk berbagai interval waktuy, tetapi perusahaan pada
umumnya menggunakan anggaran kas bulanan untuk tahun mendatang, anggaran kas
mingguan untuk bulan mendatang, dan anggaran kas harian untuk minggu mendatang.
Anggaran kas bulanan digunakan untuk pengwasan kas.
Suatu anggaran kas umumnya terdiri atas 3 bagian:
1. Pengumpulan dan pembelian yang mencatat pengumpulan kas dari penjualan dan
pembelian bahan baku secara tunai.
2. Penambahan dan pengurangan kas
3. Surplus kas atau kebutuhan hutang, mencatat kebutuhan kumulatif perusahaan akan
hutang dan surplus kas kumulatif.

5.1.7. PENENTUAN SALDO KAS SASARAN


Ada berbagai model yang dapat digunakan untuk menentukan saldo kas yang dikehendaki. Kita
akan membahas 2 model, yakni: (1) Baumol Model, dan (2) Miller-Orr Model.

BAUMOL’S MODEL
- Baumol’s Model dikembangkan William Baumol dari konsep manajemen persediaan, yaitu
konsep EOQ (Economic Order Quantity). Saldo kas optimal dihitung dengan rumus:

( )( )
C* =

Keterangan:
C* = saldo kas optimal
F = Fixed cost untuk sekali menjual sekuritas atau meminjam dana
T = jumlah kas yang dibutuhkan untuk mendanai transaksi sepanjang periode
k = opportunity cost dari memegang uang tunai, yang sama dengan tingkat keuntungann
yang diperoleh jika membeli sekuritas atau biaya meminjam untuk memegang
uang tunai
C = jumlah kas yang diperoleh dari penjualan sekuritas atau meminjam C/2 adalah rata-rata
saldo kas
Contoh:
Perusahaan memperkirakan kebutuhan kas adalah 100 juta per minggu dan arus kas masuk
dari operasi perusahaan adalah 90 juta per minggu. Biaya transaksi (biaya tetap) untuk
menjual sekuritas atau untuk meminjam uang adalah 0,5 juta per transaksi. Opportunity cost
adalah 15% per tahun.
Saldo kas optimal menurut
Baumol: Kebutuhan kas = 100 juta
Penerimaan = 90 juta
Kebutuhan kas = 10 juta/minggu
= 520 juta/tahun
( )( )
C* =

( , )()
= , 5,88 juta
Rata-rata saldo kas perusahaan = C*/2 = 588 juta/2 = 2,94 juta
- Baumol’s Model mengasumsikan bahwa (1)kebutuhan kas perusahaan adalah stabil dan
dapat diperkirakan, dan (2) arus kas masuk dari operasi juga stabil. Asumsi ini
merupakan kelemahan Baumol’s Model karena pada prktiknya kebutuhan kas maupun
penerimaan kas dari operasi berfluktuasi sepanjang tahun (ada unsur musiman)

MILLER-ORR MODEL
- Merton Miller ndan Daniel Orr mengembangkan suatu model penentuan saldo kas sasaran
yang amemperhitungkan unsure ketidakpastian dari arus kas masuk dan keluar. Mereka
mengasumsikan bahwa distribusi arus kas bersih harian mendekati normal. Setiap hari, arus
kas bersih bisa sama dengan atau lebih atau kurang dari expected value pada distribusi
normal. Jasi arus kas harian mengikuti pola acak (random walk).
- Terminologi berikut digunakan pada Miller-Orr Model:
Z = saldo kas sasaran
H = batas atas
L = batas bawah
F = transactions costs (fixed costs)
k = opportunity cost memegang kas (harian)
σ2 = varians arus kas bersih harian
atau batas bawah saldo kas ditentukan oleh manajemen. Saldo kas sasaran, batas atas serta
rata-rata saldo kas dapat dihitung dengan rumus Miller-Orr model sebagai berikut:
/
Z= +

H=3Z–2L

Rata-rata saldo kas =

Konsep Miller-Orr model adalah sebagai berikut (perhatikan gambar ):


Gambar Konsep Miller-Orr Model

H Batas atas

Z Sasaran

L Batas bawah
Hari

Saldo kas dimulai dari Z. Karena arus kas berfluktuasi mengikuti pola acak, saldo kas akan naik
atau turun sampai menyentuh batas atas (H) atau batas bawah (L). Jika menyentuh H, sejumlah
uang tunai yakni H - Z ditransfer keluar dari saldo kas (ditukar menjadi sekuritas yang likuid).
Jika menyentuh L, sejumlah uang tunai , yakni Z - L, ditransfer menjadi saldo kas.
Contoh:
Misalkan F = 200, opportunity cost = k = 15%, dan deviasi standar arus kas bersih harian = 2.000
maka opportunity cost harian adalah:
(1 + k)360 - 1 = 0,15
(1 + k)360 = 1,15
1 + k = (1,15)1/360
1 + k = 1,00039
k = 0,00039
dan varians arus kas bersih harian adalah
σ2 = (2.000)2 = 4.000.000
Jika L ditetapkan sebesar nol,
/
maka: . .σ
Z = +L
/
()( . .)
= (, +0
)
= 11.533,36

H = 3 (Z) - 2 (L)
= 3 (11.533) - 2(0) = 34.599
()
Rata-rata saldo kas =
( .)
= = 15.377

Beberapa catatan mengenai Miller-Orr Model:


(i) Saldo kas sasaran tidak berada tepat di tengah antara batas atas dan batas bawah. Oleh karena
itu, saldo kas akan secara rata-rata, menyentuh batas bawah lebih sering daripada batas atas.
Menempatkan saldo kas sasaran ditengah-tengah akan meminimumkan biaya transaksi (F),
tetapi menempatkan saldo kas sasaran lebih rendah dari titik tengah antara H dan L akan
menurunkan opportunity cost. Miller dan Orr menemukan bahwa jika L = 0, saldo kas
sasaran sebesar H/3 atau Z akan memnimumkan biaya total.
(ii) Saldo kas sasaran (dan otomatis range daerah yang bisa diterima atau daerah antara H dan L)
akan naik jika F dan σ2 semakin besar. F yang semakin membuat lebih mahal untuk
menyentuh batas atas atau batas bawah. σ2 yang semakin besar menyebabkan perusahaan
menyentuh batas lebih sering.
(iii)Saldo kas sasaran turun jika k naik sebab semakin tinggi k, semakin mahal biaya memegang
uang tunai
(iv)Batas bawah tidak harus ditentukan sebesar nol, tapi bisa lebih besar dari nol. Jika
manajemen ingin mengurangi risiko kekurangan kas, batas bawah bisa ditetapkan lebih besar
dari nol.

5.2. PENGELOLAAN PIUTANG


Saat ini penjulan dilakukan secara tunai dan kredit. Rumah, mobil, alat-alat elektronika,
dapat diperoleh secara kredit. Penjualan secara kredit menyebabkan perusahaan akan memiliki
piutang. Banyaknya perusahaan yang menjual barang hasil produksi dan/atau barang dagangan
mereka secara kredit, disebabkan tidak lain adalah karena penjualan secara kredit tersebut
merupakan suatu upaya untuk meningkatkan (atau untuk mencegah penurunan) penjualan.
Penjualan makin perusahaan yang semakin meningkat, diharapkan laba juga akan meningkat.
Sayangnya memiliki piutang juga menimbulkan berbagai biaya bagi perusahaan.
Perusahaan perlu melakukan analisis ekonomi tentang piutang, dimaksudkan dengan
analisis ekonomi adalah analisis yang bertujuan untuk menilai apakah manfaat memiliki piutang
lebih besar ataukah lebih kecil dari biayanya. Apabila diperkirakan bahwa manfaatnya lebih
besar, maka secara ekonomi pemilikan piutang (atau penjualan kredit) tersebut dbenarkan.
Analisis tersebut merupakan salah satu bagian dari pengelolaan piutang. Masalah lain adalah
pengendalian piutang.

Pengendalian piutang, perusahaan perlu menetapkan kebijakan kreditnya. Kebijaksanaan


ini yang kemudian berfungsi sebagai standar kreditnya. Kebijaksanaan ini yang kemudian
berfungsi sebagai standar. Apabila kemudian dalam pelaksanaannya penjualan kredit dan
pengumpulan piutang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan, maka perusahaan perlu
melakukan perbaikan. Kegiatan untuk menjamin agar hasil sesuai dengan rencana, merupakan
esensi dari fungsi pengendalian.
5.2.1. Analisis Ekonomi Terhadap Piutang

Setiap analisis ekonomi menyangkut perbandingan antara manfaat dan pngorbanan. Sejauh
manfaat diharapkan lebih besar dari pengorbanan suatu keputusan dibenarkan secara ekonomi.
Karena itu dalam merencanakan kebijakan keuangan yang mempengaruhi piutang, perlu
diidentifikasi manfaat dan pengorbanan karena keputusan tersebut. Berikut ini diberikan
berbagai contoh untuk mengidentifikasikan manfaat dan perngorbanan tersebut.

Penjualan kredit tanpa diskon. Misalkan suatu perusahaan dagang semula melakukan penjualan
secara tunai. Penjualan yang tercapai setiap tahun rata-rata sebesar Rp. 800 juta. Perusahaan
kemudian merencanakan akan menawarkan syarat penjualan n/60. Ini berarti bahwa pembeli bisa
membayar pembelian mereka pada hari ke 60. Diperkirakan dengan syarat penjualan yang baru
tersebut akan bisa meningkatkan penjualan sampai dengan Rp. 1.050 juta. Profit margin yang
diperoleh sekitar 15%. Apakah perusahaan perlu beralih ke penjualan kredit, kalau biaya dana
sebesar 16%.

Manfaat yang diperoleh karena menjual secara kredit adalah tambahan laba. Sedangkan
pengorbanannya adalah tambahan biaya dana. Tambahan biaya tersebut timbul karena
perusahaan akan memerlukan dana yang lebih banyak apabila menjual secara kredit. Tambahan
dana tersebut diperlukan untuk membiayai piutang (pada waktu perusahaan menjual secara tunai,
tentu saja piutang tidak ada). Perhatikan bahwa biaya dana mungkin bersifat eksplisit (artinya
benar-benar dikeluarkan, seperti kalau kita membayar bunga karena menggunakan hutang),
tetapi mungkin juga bersifat implicit (tidak benar-benar dikeluarkan, tetapi dana tersebut
mempunyai opportunity cost). Opportunity cost menunjukkan manfaat yang hilang karena kita
memilih suatu alternative.

Analisis tersebut menunjukkan bahwa manfaat lebih besar dari pengorbanan, sehingga diperoleh
manfaat bersih yang positif. Ini berarti bahwa rencana untuk menjual secara kredit diharapkan
memberikan hasil yang menguntungkan.
Tabel Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai

Manfaat:
Tambahan keuntungan karena tambahan penjualan,
= (1.050-800) x 15% Rp. 37.50 juta

Pengorbanan:
Perputaran piutang = 360 hari/60hari
= 6 x dalam satu tahun
Rata-rata piutang = Rp. 1.050/6
= Rp. 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang tersebut,
= Rp. 148,75 juta (175 juta x 0.85)

Biaya dana yang harus ditanggung


Karena memiliki tambahan piutang
= Rp. 148,75 juta x 0,16 = Rp. 23,80 juta

Tambahan manfaat bersih Rp. 13.70 juta

Menjual secara kredit dengan diskon. Sering perusahaan mengintrodusir diskon dengan maksud
agar para pembeli mempercepat pembayaran mereka. Dengan demikian bisa ditekan keperluan
dana akan tambahan piutang, meskipun biaya karena diberikannya diskon perlu diperhatikan.
Misalkan perusahaan menawarkan syarat penjualan, 2/20 net 60. Ini berarti bahwa kalau pembeli
melunasi pembeliannya pada hari ke 20, mereka akan memperoleh diskon 2%, tetapi kalau
melunasi pada hari ke 60 harus membayar dengan harga penuh. Diperkirakan 50% akan
memanfaatkan diskon, dan sisanya membayar pada hari ke 60. Apakah perusahaan sebaiknya
mengintrodusir diskon atau menjual kredit tanpa diskon?

Tabel. Analisis penjualan kredit dengan diskon dibandingkan dengan tanpa diskon

Manfaat:
Rata-rata periode pembayaran piutang
= 0,5 (20) + 0,5(60) = 40 hari
Perputaran piutang
= 360/40 =8x
Rata-rata piutang
= 1.050/8 = Rp. 131,25 juta
Rata-rata dana yang diperlukan untuk membiayai piutang
= Rp. 131,25 juta x 85 % = Rp. 111,56 juta

Penurunan biaya dana


= (Rp. 131,25 - Rp. 111,56) x 16 % = Rp. 3,15 juta
Pengorbanan:
Diskon yang diberikan,
= 2% x 50% x Rp. 1.050 = Rp. 10,50 juta

Manfaat bersih (Rp. 7,35 juta)


.

Analisis tersebut menunjukkan bahwa diskon yang diberikan ternyata lebih besar dari pada
penghematan biaya. Dengan demikian maka perusahaan tidak perlu memberikan diskon, karena
dengan syarat penjualan 2/20 net 60 diperkirakan akan memberikan manfaat bersih yang negatif.

Penjualan kredit dengan kemungkinan piutang tidak terkumpul. Contoh-contoh di atas


menggunakan asumsi bahwa semua pembeli akan melunasi pembelian mereka. Padahal kalau
perusahaan menjual secara kredit, selalu terdapat kemungkinan bahwa sebagian piutang tidak
tertagih. Sekarang kita bandingkan seandainya penjualan dilakukan secara kredit tetapi dengan
mempertimbangkan kemungkinan adanya piutang yang tidak tertagih. Misalkan dari penjualan
dengan syarat n/60 tersebut diperkirakan 1% tidak terbayar. Apakah perusahaan sebaiknya
menjual secara kredit ataukah tetap tunai?

Tabel. Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai (memperhatikan kemungkinan piutang tidak
tertagih)

Manfaat:
Tambahan keuntungan karena tambahan penjualan,
= (1.050-800) x 15% = Rp. 37,50 juta

Pengorbanan:
Perputaran piutang = 360 hari/60hari =6x
Rata-rata piutang = Rp. 1.050/6
= Rp. 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang tersebut,
= Rp. 148,75 juta

Biaya dana yang harus ditanggung


Karena memiliki tambahan piutang
= Rp. 148,75 juta x 0,16= Rp. 23,80 juta
Kerugian Karen penjualan tidak terbayar,
= 1% x Rp. 1.050 juta = Rp. 10,50 juta
Total tambahan biaya Rp. 34,30 juta

Tambahan manfaat bersih Rp. 3,20 juta

Analisis tersebut menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan kemungkinan penjualan tidak


terbayar, penjualan kredit diharapkan masih menguntungkan apabila dibandingkan dengan
penjualan secara tunai.

Faktor-faktor lain. Penjualan yang bersifat musiman bisa diberikan potongan khusus pada
waktu penjujalan sedang off, agar bisa meningkatkan penjualan. Perusahaan juga bisa
membentuk bagian penagihan kredit agar jumlah kredit macet berkurang, dan/atau periode
pengumpulan piutang menjadi makin cepat. Apakah cara-cara tersebut bisa dibenarkan secara
ekonomi, analisis yang perlu dilakukan tetap dengan membandingkan antara menfaat dan
pengorbanan.

Misalkan perputaran piutang ternyata mencapai hanya 4x dalam satu tahun, padahal persyaratan
penjualan adalah n/60. Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa sebab.
(1) Pemberian kredit tidak dilakukan secara ketat sesuai dengan standar kredit. Dengan demikian
disamping menentukan syarat penjualan (seperti n/60 ataupun 2/10/net 60) perusahaan perlu
menentukan standar kreditnya. Standar kredit menunjukkan siapa yang diizinkan membeli
secara kredit. Mungkin standar kredit ditentukan sangat ketat (misalnya hanya untuk mereka
yang berpenghasilan tetap dan angsuran kredit mencapai hanya 10% dari total penghasilan)
atau agak longgar. Semakin ketat standar kredit, semakin kecil kemungkinan kredit semakin
tidak tertagih, dan sebaliknya. Hanya saja apabila standar kredit semakin ketat, (calon)
pembeli yang memenuhi persyaratan mungkin tidak banyak sehingga penjualan tidak
setinggi yang diharapkan.
(2) Kegiatan bagian kredit tidak baik. Sering kasus-kasus macetnya piutang menunjukkan bahwa
kemacetan tersebut disebabkan perusahaan tidak menagih piutangnya. Terlambatnya
penagihan dapat disebabkan karena manajemen yang tidak baik (seperti system pencatatan
piutang yang tidak segera menunjukkan mana piutang yang harus ditagih), meskipun dapat
pula karena pembeli yng “nakal”.
Misalkan sekarang sekarang bahwa penjualan kredit setiap tahun mencapai Rp. 12.000 juta,
maka piutang mencapai Rp. 3.000 juta dan bukannya Rp. 2.000 juta sebagaimana standar
penjualan. Apabila profit margin adalah sebesar 10 % maka perusahaan memerlukan tambahan
dana (karena keterlambatan pengumpulan piutang) sebesar,
0,90(Rp.3.000-Rp.2.000) = Rp. 900 juta

Apabila biaya dana adalah sebesar 15%, maka kerugian karena tertundanya pengumpulan
piutang adalah,
0,15(Rp.900 juta) = Rp. 135 juta

Karena itu, apabila perusahaan dapat mempercepat pengumpulan piutang (misalnya dengan
menambah jumlah karyawan bagian penagihan) kembali ke 6x perputaran dalam satu tahun,
tetapi memerlukan biaya kurang dari Rp. 135 juta dalam satu tahun, maka penambahan biaya
tersebut dapat dibenarkan secara ekonomis.

2.1 Siapa yang diijinkan membeli secara kredit

Sekali perusahaan memutuskan untuk menjual secara kredit, timbul masalah tentang siapa yang
akan diijinkan untuk membeli secara kredit. Perlu ditentukan standard an kemudian dilakukan
evaluasi terhadap pembeli. Standar bisa ditentukanberdasarkan atas evaluasi data historis
terhadap variabel-variabel tertentu, atau karena pertimbangan tertentu. Sebagi missal, karyawan
yang berpenghasilan tetap mungkin diijinkan membeli secara kredit karena ada kerja sama
dengan organisasi tempat karyawan tersebut bekerja (missal akan memotong gaji setiap bulan
sesuai dengan angsuran yang ditetapkan).

Evaluasi juga bisa dilakukan terhadap data historis variabel tertentu. Sebagai missal, data historis
menunjukkan bahwa karyawan yang telah berkeluarga, mempunyai tempat tinggal sendiri, telah
lama memangku suatu jabatan tertentu, lebih tepat memenuhi pembayaran pada waktunya
dibandingkan dengan yang masih single, belum mempunyai tempat tinggal sendiri, baru
memangku jabatan tertentu, dan sebagainya. Karena itu mungkin sekali kalau pembeli adalah
individu, mereka diminta untuk mengisi formulir seperti yang pada table dibawah ini.

Contoh di atas menunjukkan sebagian formulir yang dipergunakan untuk memperoleh informasi
yang akan dipergunakan untuk analisis kredit terhadap pembeli individual. Umumnya dijumpai
hubungan (korelasi) tertentu antara factor-faktor tertentu dengan ketepatan pembeli melunasi
pembelian mereka. Sebagai missal, kalai seseorang telah lama bertempat tinggal di satu alamat
rumah yang ditempati milik sendiri, mempunyai telpon, berkeluarga, dan telah bekerja cukup
lama, seringkali pembeli tersebut memang merupakan pembeli yang baik.

Karena itulah informasi yang dicantumkan dalam formulir, dan bagaimana melakukan analisis
dan penafsirannya, haruslah dirancang dengan seksama. Jangan sampai informasi yang diperoleh
bukan hanya tidak ada manfaatnya bahkan mungkin menyesatkan.
Tabel Contoh informasi yang ingin diperoleh untuk langganan individu

Nama :
Alamat :

Sudah berapa lama anda tinggal di at tsb?


alam
< satu tahun (1)
1-3 tahun (2)
> 3 tahun (3)
Apakah rumah tersebut, Milik sendiri
Kontrak (4)
(5)
Ikut/Milik orang tua (6)

3.Apakah rumah anda memiliki telpon?


Ya Tidak (7) Nomor:
(8)

4.Status perkawinan: Belum menikah


Menikah Bercerai (9)
(10)
(11)

Pekerjaan anda ?

Sudah berala lama anda bekerja di tempat anda saat ini?


< satu tahun (12)
1-3 tahun (13)
>3 tahun (14)

Terima kasih atas kesediaan anda mengisi formulir ini.

, 1993
Tanda tangan:

Nama Terang :

Untuk pembeli yang merupakan perusahaan, informasi yang diperlukan biasanya menyangkut
laporan keuangan (plus informasi dari rekan bisnis dan lain-lain). Sering bisa dibuat suatu model
yang memisahkan (to discriminate) pelanggan yang baik (dalam arti membayar tepat pada
waktunya dan pelanggan yang buruk (tidak membayar). Teknik ini dalam statistic disebut
sebagai discriminant analysis. Misalkan kita memperoleh data dari 15 perusahaan dengan debt to
equity ratio (DER) dan return on equity (ROE) sebagai berikut.

Tabel Rasio-rasio DER dan ROE dari perusahaan yang baik dan yang buruk

Perusahaan DER ROE Status

1 110.00 20.00 Baik


2 80.00 17.00 Baik
3 75.00 19.00 Baik
4 84.00 17.50 Baik
5 93.00 21.00 Baik
6 87.00 15.20 Baik
7 95.00 14.50 Baik
8 67.00 14.00 Baik
9 85.00 13.00 Baik
10 82.00 11.00 Baik
11 169.00 -5.00 Buruk
12 200.00 -15.00 Buruk
13 180.00 0.00 Buruk
14 175.00 -12.00 Buruk
15 195.00 -8.00 Buruk
Apabila data dalam table tersebut digambarkan, maka akan Nampak seperti yang terlihat pada
Gambar tersebut menunjukkan adanya pengelompokkan perusahaan, yaitu yang baik dan yang
buruk. Kalau kita gambarkan garis pemisah maka perusahaan yang ada di atas garis pemisah
merupakan perusahaan yang buruk (yaitu perusahaan dengan tanda 0) sedangkan yang di bawah
merupakan perusahaan yang baik (yaitu perusahan dengan tanda *). Dengan demikian apabila
ada suatu perusahaan yang ingin membeli secara kredit, dan kemudian kita plotkan dalam
gambar tersebut tenyata berada di bawah garis, maka perusahaan tersebut kita nilai baik sehingga
kredit diberikan. Dan Sebaliknya.

Dengan melakukan pengamatan sepintas terhadap gambar tersebut kita dapat menyimpulkan
adanya hubungan antara DER dan ROE dengan baik tidaknya perusahan. Perusahaan yang
mempunyai DER tinggi dan ROE rendah (atau bahkan negative) akan terklasifikasikan sebagai
perusahaan yang tidak baik.
Tentu saja kita dapat menggunakan lebih dari variabel untuk memisahkan perusahaan yang baik
dan yang buruk. Salah satu peneliti yang telah menerpkan analisis diskriminan untuk
memisahkan perusahaan yang bankrupt dan tidak adalah Altman.

DER
200
o
o

o
o o

Keterangan:
* = Baik
o = Buruk

*
*
*
*
* *
* *
*
67 ROE
-15 21

Gambar 8.1. Return on Equity dan DER dari perusahaan yang baik dan tidak

2.2 Analisis terhadap calon pembeli

Sewaktu perusahaan memutuskan untuk memperkenankan sorang (calon) pembeli membeli


secara kredit, perusahaan dihadapkan pada kemungkinan bahwa (calon) pembeli tersebut tidak
membayar pembeliannya. Meskipun jalur hokum terbuka untuk menyelesaikan masalah tersebut,
tetapi kalau nilai pembelian tidak terlalu besar, perusahaan mungkin enggan menempuh jalur
hokum. Dengan demikian masalah yang dihadapi perusahaan adalah secara individual hutang
para pembeli tersebut relative kecil tetapi secara keseluruhan menjadi cukup besar. Sayangnya
perusahaan tidak mungkin menempuh jalur hukum secara kolektif untuk pembeli-pembeli yang
nakal.

Untuk itu dapat dilakukan analisis dengan menggunakan asumsi bahwa seandainya pembeli tidak
melunasi pembelian mereka, jumlah yang dibeli tersebut dianggap hilang sebagai kerugian.
Analisis ini memerlukan penerapan kondep statistic.

Misalkan seorang pembeli akan membeli dengan kredit suatu barang dengan harga Rp. 100.
Harga pokok barang tersebut Rp. 80, dan diperkirakan probalibilitas pembeli tersebut akan
melunasi pembeliannya adalah 0,95. Apakah permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan?

Apabila permohonan tersebut ditolak, maka kerugian perusahaan sama dengan nol. Dengan
demikian permohonan tersebut dapat dikabulkan hanya apabila diharapkan akan memberikan
laba yang lebih besar dari nol (expected profit > 0).

Tabel Analisis expected profit

Expected profit = prob. Akan membayar (harga-biaya) – prob, tidak membayar (biaya)
= 0,95(100-80) – 0,05(80)
= 19 – 4
= 15
Karena expected profit positif, maka permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan

Dengan demikian sejauh probabilitas pembeli akan membayar masih di atas 80%, maka
permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan. Cut-off probabilitas sebesar 80% tersebut diperoleh
dari persamaan berikut ini. Pada saat expected profit sama dengan nol, maka kita berada dalam
posisi indifference. Dengan demikian apabila probabilitas akan membayar diberi notasi p, maka

O = p(100-80) – (1-p)(80)
= 20p – 80 + 80p
P = 0,80

Tentu saja semakin besar p semakin besar dorongan agar permohonan tersebut dikabulkan.
Trade-off antara mengabulkan (memperoleh laba tetapi mungkin juga tidak terbayar) dan
menolak (tidak akan terjadi kerugian karena tidak membayar, tetapi kehilangan penjualan) selalu
muncul dalam analisis.

Dasar pemikiran yang sama dapat diterapkan untuk persoalan berikut ini. Misalkan data historis
menunjukkan bahwa kelompok pembeli yang “baik” mempunyai rata-rata periode pengumpulan
piutang 30 hari. Rata-rata biaya pengumpulan Rp. 100 dan probabilitas piutang tidak terbayar
hanya 0,02 (atau 2%).

Permohonan pembelian kredit dikabulkan kalau biaya penerimaan lebih besar dari biaya
penolakan. Biaya yang diharapkan dari masing-masing alternative dapat dirumuskan sebagai
berikut.

Biaya penerimaan = Prob tidak membayar (biaya variabel per unit) unit yang dibeli +
(Tingkat
keuntungan yang diisyaratkan)(Periode pengumpulan/360)(biaya
variabel per
unit) unit yang dibeli + Biaya pengumpulan

Biaya penolakan = (1 – Prob. Tidak terbayar)(laba marginal per unit) unit yang dibeli

Misalkan biaya variabel (juga disebut sebagai biaya marginal) sebesar Rp. 1.800 per unit, dan
laba marginal (artinya tambahan laba yang diperoleh dari setiap tambahan satu unit penjualan)
Rp. 1.200 dan tingkat keuntungan yang diisyaratkan sebesar 18%. Dengan demikian apabila X
adalah unit yang dibeli, maka untuk kelompok “baik” biaya penerimaan dan penolakan yang
diharapkan adalah,

Biaya penerimaan = 0,02(1.800 X) + 0,18(30/360)1.800 X + 100


= 36X + 27X + 100
= 63X + 100

Biaya penolakan = (1 – 0,02)1.200 X


= 1.176X

Apa arti persamaan-persamaan tersebut. Apabila (calon) pembeli yang dikelompokkan “baik”
bermaksud membeli 3.000 unit, maka

Biaya penerimaan = 63(3.000) + 100


= 189.100

Biaya penolakan = 1.176(3.000)


= 3.528.000
Dengan demikian apabila pembelian tersebut ditolak, maka biaya penolakannya lebih besar
daripada biaya penerimaannya. Karena itu seharusnya permohonan pembelian tersebut
dikabulkan.

5. 3. PENGELOLAAN PERSEDIAAN

Perusahaan memiliki persediaan dengan maksud untuk menjaga kelancaran operasinya. Bagi
perusahaan dagang, persediaan barang dagangan memungkinkan perusahaan memenuhi
permintaan pembeli. Sedangkan bagi perusahaan industry, persediaan bahan baku dan barang
dalam proses bertujuan untuk memperlancar kegiatan produksi, sedangkan persediaan barang
jadi dimaksudkan untuk memenuhi permintaan pasar. Meskipun demikian tidak berarti
perusahaan harus menyediakan persediaan sebanyak-banyaknya untuk meksud-maksud tersebut.

Persediaan yang tinggi memungkinkan perusahaan memenuhi permintaan yang mendadak.


Meskipun demikian persediaan yang tinggi akan menyebabkan perusahaan memerlukan modal
kerja yang makin besar pula. Sebenarnya kunci persoalannya adalah pada kata “mendadak”.
Apabila perusahaan mampu memprediksi dengan tepat kebutuhan akan bahan baku (atau barang
jadi), perusahaan bisa mnenyediakan persediaan tepat pada waktunya sesuai dengan jumlah yang
diperlukan. Pada saat tidak diperlukan jumlah persediaan bisa saja sangat kecil atau bahkan nol.
Teknik ini yang dikenal sebagai just in time atau zero inventory.

Dengan demikian maka masalahnya adalah reliabilitas system informasi dan system pengadaan
bahan (atau system produksi), sehingga mampu menekan jumlah persediaan yang pada waktu
yang tidak diperlukan. Masalah pengelolaan persediaan merupakan contoh lain bahwa keputusan
keuangan mungkin dilakukan bukan oleh “bagian keuangan”. Sistem ini biasanya menjadi
tanggung jawab bagian produksi dan/atau bagian pembelian. Bagi manajemen keuangan kita
perlu memahami dampak penggunaan suatu kebijakan persediaan terhadap aspek keuangan.

3.1. Beberapa system pengawasan persediaan

Jumlah persediaan dikaitkan dengan variabel tertentu. Cara ini merupakan cara yang sangat
sederhana. Misalkan perusahaan menetapkan bahwa persediaan barang jadi rata-rata akan
sebesar satu bulan penjualan. Dengan demikian apabila penjualan meningkat, rata-rata
persediaan juga akan meningkat, demikian pula kalau menurun. Cara lain misalnya mengkaitkan
kapan harus memesan kembali dan jumlah yang dipesan dihubungkan dihubungkan dengan
kebutuhan selama periode tertentu. Misalkan kebijaksanaan perusahaan adalah memesan bahan
baku pada saat jumlah bahan tinggal mencapai dua minggu kebutuhan produksi, dan jumlah yang
dipesan sebesar kebutuhan dua bulan produksi.

Cara-cara yang sederhana tersebut memungkinkan bagian gudang untuk mengajukan


permohonan pembelian bahan baku apabila melihat bahwa persediaan telah mencapai batas yang
telah ditetapkan. Yang lebih sulit adalah untuk persediaan barang jadi. Diperlukan koordinasi
antara bagian pemasaran dengan bagian produksi, terutama untuk perusahaan yang menghasilkan
berbagai jenis produk. Sebab dapat saja terjadi bagian produksi justru memproduksikan jenis
barang yang tidak diminta oleh pasar, sedangkan permintaan produk lain tidak dapat dipenuhi
karena persediannya kosong.

Economic Order Quantity. Salah satu model yang paling sering dibicarakan dalam berbagai buku
teks adalah model economic order quantity (EOQ). Model ini mendasarkan pada pemikiran yang
sama dengan sewaktu kita membicarakan model persediaan pada pengelolaan kas. Pemikirannya
adalah bahwa:
(1) Kalau perusahaan memiliki rata-rata persediaan yang besar, untuk jumlah kebutuhan yang
sama dalam suatu periode, berarti perusahaan tidak perlu melakukan pembelian terlalu
sering. Jadi menghemat biaya pembelian (pemasaran).
(2) Tetapi kalau perusahaan membeli dalam jumlah besar sehingga bisa menghemat biaya
pembelian, perusahaan akan menanggung persediaan dalam jumlah yang besar pula. Berarti
menanggung biaya simpan yang terlelu tinggi.
(3) Karena itu perlu dicari jumlah yang akan membuat biaya persediaan terkecil. Biaya
persediaan adalah biaya simpan plus biaya pembelian (pemasaran).
Misalkan kebutuhan bahan baku dalam satu tahun sebesar D satuan. Pemakaian bahan dilakukan
secara ajeg setiap waktu. Perusahaan tersebut memesan Q satuan setiap kali pesan. Dengan
demikian frekuensi pesanan dalam satu tahun adalah,

Frekuensi pesanan dalam satu tahun = D/Q

Persediaan yang dimiki oleh perusahaan akan berkisar dari O sampai dengan Q satuan. Dengan
demikian rata-rata persediaan buku tersebut adalah,

Rata-rata persediaan = (Q/2) satuan

Kalau biaya simpan per tahun dinyatakan sebagai I, maka biaya simpan per tahun yang akan
ditanggung perusahaan adalah,

Biaya simpan per tahun = (Q/2)i

Apabila setiap kali perusahaan memesan memerlukan biaya sebesar o, maka biaya pemesanan
dalam satu tahun adalah,

Biaya pemesanan dalam satu tahun = (D/Q)o

Dengan demikian total biaya persediaan dalam satu tahun (kita beri notasi Y)

adalah, Y = (Q/2)I + (D/Q)o

Biaya ini yang harus dimimumkan. Untuk itu persamaan diatas tersebut kita derivasikan terhadap
Q, dan kita buat sama dengan nol.

(dY/dQ) = (i/2) - (oD/Q2) = O


(oD/Q2) = (i/2)
iQ2 = 2oD
Q = [(2Od)/I]1/2

Yang juga bisa dinyatakan sebagai,

Q = √

Misalkan bahwa kebutuhan bahan baku dalam satu tahun sebesar 3.600 satuan, dengan harga Rp.
50.000 per satuan. Kebiasaan perusahaan adalah melakukan pembelian setiap bulan sekali. Biaya
simpan (termasuk biaya modal) berkisar 18% per tahun, sedangkan biaya setiap kali memesan
sebesar Rp. 200.000. Berdasarkan kebiasaan tersebut, maka biaya persediaannya adalah sebagai
berikut.

Jumlah yang dipesan setiap bulan = 3.600/12


= 300 satuan
Nilai rata-rata persediaan = (300 x Rp. 50.000)/2
= Rp. 7,50 juta
Biaya simpan dalam satu tahun = Rp. 7,50 juta x 0,18
= Rp. 1,35 juta
Biaya pesan dalam satu tahun = Rp. 200.000 x 12
= Rp. 2,40 juta
Total biaya persediaan = Rp. 1,35 + Rp. 2,40
= Rp. 3,75 juta

Dengan menerapkan model EQO, perusahaan akan dapat menekan biaya persediaannya.
Penerapan rumus EOQ menghasilkan jumlah pembelian sebagai berikut,
Q = [(2 x 3.600 x Rp. 200.000)/(0,18)(Rp. 50.000)]1/2
= 400 satuan
Dengan demikian maka

Biaya pesan = (3.600/400) x Rp. 200.000


= Rp. 1.80 juta
Biaya simpan = [(400 x Rp. 50.000)/2] x 0,18
= Rp. 1,80 juta
Total biaya persediaan = Rp. 1,80 + Rp. 1,80
= Rp. 3,60 juta

Yang berarti perusahaan dapat diperlukan sejak saat bahan dipesan sampai dengan bahan sampai
di perusahaan adalah selama setengah bulan (disebut sebagai lead time), maka perusahaan harus
memesan pada saat bahan baku mencapai D/24. Tingkat persediaan ini disebut sebagai titik
pemesanan kembali (rearder point).

Dalam contoh yang kita pergunakan berarti titik pesan kembalinya

adalah, 3,600/24 = 150 unit

Jadi pada waktu jumlah bahan baku telah mencapai 150 unit, perusahaan akan melakukan
pemesanan kembali.

Untuk berjaga-jaga terhadap ketidak-pastian, baik dalam hal penggunaan maupun dalam hal lead
time, perusahaan mungkin menetapkan perlunya persediaan keamanan (safety stocks). Sebab
mungkin terjadi bahwa selama lead time penggunaan bahan meningkat, atau pengiriman bahan
mengalami keterlamabatan. Misalkan ternyata pengiriman mengalami kelambatan, bukannya
setengah bulan tetapi mencapai satu bulan. Dengan demikian apabila perusahaan tidak memiliki
safety stocks perusahaan akan kehabisan bahan (stockout) sebanyak 150 unit.

Penentuan besarnya persediaan keamanan bisa dilakukan dengan membandingkan biaya


kerugian yang diharapkan kalau perusahaan kehabisan persediaan (expected loss pada saat
perusahaan mengalami stockout) dengan tambahan biaya karena memiliki safety stock yang lebih
besar. Cara ini memerlukan estimasi tentang stockout costs dan probabilitas kehabisan bahan.

Cara yang lain adalah dengan menentukan berapa probabilitas kehabisan bahan yang bisa
diterima oleh perusahaan. Semakin kecil probabilitas ini semakin besar safety stocks ditentukan.
Pengalaman biasanya dipergunakan sebagai dasar penentuan safety stock ini.

Sekarang misalkan perusahaan menentukan safety stocks sebanyak 150 unit. Apa yang terjadi
dengan rata-rata persediaan?

Sebelum perusahaan menentukan safety stocks perkembangan jumlah bahan baku ditunjukkan
pada gambar dibawah ini.

400 . .

150 . Reorder point

..
. . . .
0 Waktu

Gambar Perkembangan persediaan bahan baku sewaktu tidak memiliki safety stock

Pada saat tidak terdapat safety stocks maka jumlah persediaan maksimal adalah 400 unit, dengan
minimal nol unit. Karena itu rata-rata persediaan adalah 200 unit. Selama satu tahun terdapat 9
“segitiga”, karena dilakukan 9x pedmbelian selama satu tahun tersebut. Reorder point dilakukan
pada titik 150 unit.
Pada saat ditentukan persediaan keamanan sebanyak 150 unit, maka perkembangan persediaan
bahan baku akan napak seperti pada Gambar dibawah ini. Perhatikan bahwa dengan adanya
persediaan keamanan sebanyak 150 unit akan membuat persediaan maksimum mencapai 550
unit, dan minimum 150 unit. Dengan demikian rata-rata persediaan adalah 350 unit. Meskipun
demikian frekuensi pembelian selama satu tahun tetap tidak mengalami perusabahan, yaitu 9x.
Hanya saja sekarang reorder point dilakukan pada saat persediaan mencapai 300 unit.

550 . . . . . .

300 . Reorder point

150 . . . . . .

SAFETY STOCKS

Gambar Perkembangan persediaan bahan baku dengan safety stock sebanyak 150 unit

Masalah yang perlu diperhatikan dalam penerapan model tersebut adalah pada asumsi-asumsi
yang mendasarinya. Sebagai missal model tersebut menggunakan asumsi harga bahan baku
konstan. Bisa terjadi pada saat diperkirakan akan terjadi kenaikan harga bahan baku, perusahaan
sengaja membeli dalam jumlah besar. Demikian juga kadang-kadang perusahaan membeli
jumlah besar. Demikian juga kadang-kadang perusahaan melakukan pembelian di atas jumlah
yang paling ekonomis (atau melanggar kebijakan yang biasa dianut) dengan maksud untuk
memperoleh quantity discount.

Untuk ilustrasi, misalkan perusahaan di atas memperoleh tawaran quantity discount sebesar 2%
apabila perusahaan membeli dalam jumlah minimal 1.000 unit setiap kali pembelian. Apabila
perusahaan memanfaatkan discount ini, maka biaya yang dapat dihemat adalah,

2% x 3.600 x Rp. 50.000 = Rp. 5.600.000

Tetapi sebagai akibat biaya persediaan akan naik apabila dibandingkan dengan biaya persediaan
dengan menggunakan EOQ. Biaya persediaan akan sebesar,

Biaya pesan = 3,6 x Rp. 200.000 = Rp. 720.000


Biaya simpan = (1000/2) x 0,18 x Rp. 50.000 = Rp. 4.500.000
Biaya persediaan Rp. 5.220.000

Dengan demikian tambahan biaya masih lebih kecil dibandingkan dengan diskon yang
dinikmati, maka perusahaan sebaiknya memanfaatkan tawaran quantity discount tersebut.
Dengan demikian perusahaan akan membeli dalam jumlah sesuai dengan rumus EOQ.

3.2 Kaitan Pengelolaan Persediaan Dengan Manajemen Keuangan

Apabila perusahaan mengelola persediaan dengan dikaitkan pada factor tertentu (misal produksi
atau penjualan), sangat boleh jadi bahwa jumlah persediaan akan proporsional dengan factor
tersebut. Sebagai missal perusahaan menentukan bahwa persediaan barang jadi sebesar setengah
bulan penjualan. Dengan demikian apabila penjualan dalam satu tahun sebesar Rp. 48.000 juta,
maka persediaan akan sebesar Rp. 48.000/24 = 25%), maka persediaan akan naik menjadi Rp.
60.0 juta/224 = Rp. 2.500 juta (juga naik 25%).

Dalam keadaan semacam ini masuk akal kalau manajer keuangan menggunakan metode sales
percentage untuk merencakan keuangan , atau menggunakan data tahun lalu sebagai dasar
perbandingan rasio perputaran persediaan .

Masalah menjadi lain kalau diterapkan model EOQ. Perhatikan bahwa persamaan tidak
menunjukkan sifat hubungan yang linier. Masalah akan makin kompleks kalau dimasukkan
adanya factor safety stock. Penerapan model ini menyebabkan kita tidak bisa membandingkan
efisiensi pengaturan persediaan (yang diukur dengan perputaran persediaan) dari waktu ke
waktu.

Kalau kita menggunakan contoh di atas, maka seandainya perusahaan menerapkan modal EOQ
tanpa persediaan keamanan, maka perputaran persediaan bahan baku adalah.

Pemakaian bahan/rata-rata persediaan = 180 juta/10 juta


= 18x

Sekarang misalkan pemakaian bahan meningkat 25% menjadi 4.500 unit dalam satu tahun.
Perhitungan EOQ akan berubah menjadi,

Q = [(2 x 4.500 x Rp. 200.000)/(0,18)(Rp. 50.000)]1/2


= 447

Dengan demikian nilai rata-rata persediaan adalah,

(447 x Rp. 50.000)/2 = Rp. 11.175 juta

Yang berarti perputaran persediaan bahan baku menjadi,


(4.500 x Rp. 50.000)/Rp. 11,175 juta = 20,13x

Dengan demikian apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya, perputaran persediaan


Nampak meningkat. Hal ini mungkin ditafsirkan membaiknya manajemen persediaan. Padahal
sebenarnya kebijaksanaan yang diterapkan sama saja. Yaitu menerapkan EOQ.

Phenomena sebaliknya akan muncul apabila pemakaian bahan berkurang. Artinya, perputaran
persediaan bahan baku akan menurun apabila diterapkan model EOQ dan terjadi penurunan
aktivitas perusahaan. Karena itulah penggunaan rasio-rasio keuangan sebagai ukuran kinerja
manajemen perlu berhati-hati, dan pemahaman terhadap kebijaksanaan perusahaan eprlu
dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penafsiran.
Latihan Manajemen Modal Kerja

Soal 1.
Minny Fishing Products is analyzing the performance of its cash management. On the average,
the firm holds inventory 65 days, pays its suppliers in 35 days, and collects its receivables
in 15 days. The firm has a current annual outlay of $1,960,000 on operating cycle
investments. Minny currently pays 10 percent for its negotiated financing. (Assume a 360
day year.)
(a) Calculate the firm’s cash conversion cycle.
(b) Calculate the firm’s operating cycle.
(c) Calculate the daily expenditure and the firm’s annual savings if the operating cycle is
reduced by 15 days.

Soal 2
Table 14.7
Ace Business
Forms
Current Fixed Total
Month Assets Assets Assets
January $125,000 $250,000 $375,000
February 130,000 250,000 380,000
March 135,000 250,000 385,000
April 150,000 250,000 400,000
May 150,000 250,000 400,000
June 125,000 250,000 375,000
July 115,000 250,000 365,000
August 120,000 250,000 370,000
September 115,000 250,000 365,000
October 100,000 250,000 350,000
November 110,000 250,000 360,000
December 115,000 250,000 365,000

Ace Business Forms has compiled several factors relative to its financing mix. The firm
pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term funds. The firm’s monthly
current, fixed and total asset requirements for the previous year are summarized in Table
14.7.
Determine:
(a) the monthly average permanent funds requirement
(b) the monthly average seasonal funds requirement
(c) the annual financing costs (aggressive strategy)
(d) the annual financing costs (conservative strategy)
Soal 3
3. Ligure Jewelers has seasonal financing needs that vary from $250,000 to $2,725,000. The
permanent financing requirement is $4,100,000. Check the appropriate box indicating the better
strategy for each of the following events.

Event Aggressive Conservative


Financing Financing
Strategy Strategy
1. Due to high — —
inflation, short-
term interest rates
are much higher than
long-term rates.
2. Sales revenue is — —
unpredictable.
3. The firm has a — —
large proportion
of its assets in
fixed assets.
4. The average — —
seasonal financing
need is $1,000,000.
5. The average — —
seasonal financing
need is $2,000,000.

Soal 4
Contex, Inc. uses 800 units of a product per year on a continuous basis. The product has carrying
costs of $50 per unit per year and order costs of $300 per order. It takes 30 days to receive
a shipment after an order is placed and the firm requires a safety stock of 5 days usage in
inventory.
(a) Calculate the economic order quantity (EOQ).
(b) Determine the reorder point.
Soal 5
Krug Gold Coin, Inc. is considering shortening its credit period from 30 days to 20 days and
believes, as a result of this change, its average collection period will decrease from 36 days
to 30 days. Bad debt expenses are also expected to decrease from 1.2 percent to 0.8 percent
of sales. The firm is currently selling 300,000 units but believes as a result of the change,
sales will decline to 275,000 units. On 300,000 units, sales revenue is $4,200,000, variable
costs total $3,300,000, and fixed costs are $300,000. The firm has a required return on
similar-risk investments of 15 percent. Evaluate this proposed change and make a
recommendation to the firm.
Bab VIII

Aliran Kas dan Perencanaan Keuangan

Kas disuatu perusahaan merupakan bagian penting dalam pengelolaan keuangan


perusahaan. Kas juga bagian dari modal kerja, yang tidak bisa dipisahkan dengan masalah
perencanaan keuangan. Perencanaan keuangan perusahaan menghasilkan pola aliran kas yang
akan memudahkan dalam implementasi terhadap pengelolaan keuangan perusahaan.
Aliran Kas atau Cash Flow merupakan bagian penting dari kegiatan perusahaan yang
menjadi fokus manajer keuangan. Aliran kas berbeda dengan profit dalam istilah akuntansi.
Pengakuan profit yang dilakukan oleh perusahaan berdasarkan accrual basis, sedangkan pada
aliran kas lebih dititikberatkan pada cash basis. Pada perspektif akuntansi , aliran kas akan
diwujudkan dalam bentuk laporan aliran kas ( statement of cash flow). Depresiasi sangat penting
dalam aliran kas. Selain aliran kas yang lebih penting lagi adalah perencanaan keuangan ,
merupakan salah satu fungsi manajemen adalah fungsi perencanaan. Bagi manajer keuangan
fungsi perencanaan ini berarti bahwa manajer harus melakukan perencanaan keuangan.
Kegiatan perencanaan didahulukan dengan kegiatan melakukan prakiraan (forecasting),
yaitu sales forecasting , tentang apa yang diharapkan akan terjadi dengan penjualan masa yang
datang. Perencanaan keuangan diharapkan untuk memperkirakan bagaimana posisi keuangan
perusahaan di masa yang akan datang ( bisa bulan depan, triwulan depan, tahun depan dan
sebagainya) tentang berapa banyak kelebihan pendanaan, dan termasuk di dalamnya perkiraan
tentang berapa banyak pendanaan ekstern yang harus dicari.
Melakukan analisis terhadap apa yang telah terjadi memang penting, tetapi perencanaan
untuk masa yang akan datang lebih penting lagi. Sebelum melakukan perencanaan keuangan
dilakukan terlebih dahulu analisis arus kas perusahaan.

8.1. Arus Kas dalam Perusahaan

Penyusunan arus sangat penting dalam perusahaan, sebelum menyusun rencana


keuangan, manajer keuangan perlu memahami bagaimana arus kas dalam perusahaan. Bagi
manajer keuangan arus kas yang menjadi perhatian bukan laba (rugi) menurut pengertian
akuntansi. Disebabkan konsep keuangan lebih ditekankan pada cash basis bukan accrual basis.

182
Bila dilihat pada sumber kas, maka bisa disampaikan bahwa kas bisa berasal dari modal
sendiri, utang, penjualan tunai, pembayaran piutang, dan penjulan aktiva tetap. Sedangkan
penggunaan kas bisa digunakan untuk pembayaran bahan baku, gaji, dividen, dan pembelian
aktiva tetap , seperti yang disampaikan oleh Van Horn dalam buku Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan (Dr. Suad Husnan) secara skematis menggambarkan arus kas dalam perusahaan
sebagai berikut.

Barang Dalam
Proses
Persediaan
Barang Jadi Biaya
Tenaga Penyusutan
Kerja

Biaya Adm.
Hutang Gaji Aktiva Tetap Bahan Mentah
dan penju- dan Biaya-biaya
alan lain
Pembayaran Pembelian Penjualan
Penjualan kredit Gaji dan Biaya Aktiva Aktiva Tetap
Tetap

Piutang Hutang
Dagang Dagang

Penjualan Pengumpulan
Tunai

KAS Pembayaran pembelian

Investasi Pembayaran pinjaman

Dividen*
Pinjam

Modal Hutang *Termasuk pembelian kembali


Sendiri Saham
Gambar .1. Arus kas perushaan industri

Arus kas yang ditunjukkan oleh anak panah di atas reservoir KAS merupakan arus kas
yang terjadi karena kegiatan operasi perusahaan. Sedangkan yang dibawah KAS merupakan arus
kas yang terjadi karena keputusan pendanaan yang diambil oleh perusahaan. Secara akuntansi,
pengeluaran atau pemasukan kas tidaklah identik dengan penghasilan dan biaya. Beberapa arus
kas ada yang mempengaruhi rugi laba, beberapa mempengaruhi neraca.

8.2. LAPORAN ARUS KAS (STATEMENT OF CASH FLOWS)


Laporan arus kas adalah laporan keuangan yang memperlihatkan penerimaan kas dan
pengeluaran kas suatu perusahaan selama suatu periode waktu. Laporan arus kas dibutuhkan
untuk melihat bahwa terdapat perbedaan antara arus kas dengan penghasilan pada laporan rugi-
laba. Perbedaan ini terjadi karena: (1) laporan rugi-laba tidak mencatat pengeluaran modal
sebagai biaya pada tahun dimana terjadi pengeluaran, tetapi dibagi-bagi dalam bentuk biaya
depresiasi, dan (2) Laporan rugi-laba menggunakan konsep accrual accounting dimana
pendapatan dan biaya dicatat saat terjadi, bukan saat akan diterima atau dibayar. Dibawah ini
adalah contoh laporan arus kas PT Melati 20x1.

Laporan Arus Kas PT Melati 20x1


(dalam jutaan rupiah)
Kas dari operasi
Pendapatan bersih (Net Income) 320
Biaya tidak tunai
Depresiasi 48
Pajak terhutang 8
Lain-lain, termasuk amortisasi 19
Perubahan pada modal kerja
Penurunan (kenaikan) pada persediaan 116
Penurunan (kenaikan) pada piutang (74)
Penurunan (kenaikan) pada aktiva lancar lainnya (8)
Kenaikan (penurunan) pada utang dagang (31)
Kenaikan (penurunan) pada utang lancar lainnya 28
Kas dari operasi 437

Kas dari (digunakan) investasi


Tambahan pada gedung, tanah, perlengkapan (102)
Tambahan pada aktiva tetap lainnya (8)
Kas dari (digunakan) investasi (110)
Kas dari (digunakan) pendanaan
Tambahan (pengurangan) (152)
Dividend (45)
Lainnya 10
Kas dari (digunakan) pendanaan (187)
Kenaikan bersih pada kas dan sekuritas 140
Kas pada awal tahun 138
Kas pada akhir tahun 278

8.2.1 Arus Sumber dan Penggunaan Dana

Kegiatan perusahaan dalam suatu periode (misal satu tahun) laporan-laporan keuangan yang
disajikan perusahaan menunjukkan adanya penambahan atau pengurangan dana (kas). Contoh
laporan sumber dan penggunaan dana PT. Mawar Tbk, maka dari laporan yang diperbandingkan
dapat dilihat bahwa pada tahun 20x1 terjadi penambahan dana sebesar Rp. 3.000.000.000. Perlu
analisis dari mana saja sumber dan penggunaan dana tersebut.

Sumber dana berasal dari:


1. Penurunanan bersih aktiva, kecuali aktiva tetap dan kas,
2. Penurunan bruto aktiva tetap,
3. Kenaikan bersih kewajiban dan utang
4. Penambahan modal sendiri
5. Dana yang diperoleh dari operasi

Sedangkan penggunaan dana berasal dari:


1. Kenaikan bersih aktiva, kecuali aktiva tetap dan kas,
2. Penambahan bruto aktiva tetap,
3. Penurunan kewajiban dan utang
4. Pengurangan modal sendiri
5. Pembayaran dividen.

Analisis sumber dan penggunaan dana diarahkan pada penerapan matching principle dalam
pendanaan. Prinsip ini mengatakan bahwa penggunaan jangka panjang harus didanai dengan
dana jangka panjang, sedangkan dana jangka pendek hanya untuk keperluan jangka pendek.
Analisis sumber dan penggunaan dana lebih menekankan pada pertimbangan likuiditas.
Pada penerapan analisis sumber dan penggunaan dana untuk PT. Mawar Tbk., maka hasilnya
akan dapat dilihat bahwa sebagian besar dana adalah dari operasi perusahaan (yaitu laba setelah
pajak dan penyusutan). Penggunaan dana sebagian besar adalah untuk membayar dividend an
pengurangan hutang jangka panjang. Karena sumbernya adalah bersifat jangka panjang, maka
penggunaan tersebut (yaitu mengurangi utang jangka panjang dan pembayaran dividen) tidaklah
bertentangan dengan matching principle.

Tabel . Analisis sumber dan penggunaan dana PT. Mawar 20X1 (dalam milyar rupiah)

Sumber dana:
(1) Laba setelah pajak Rp. 166
(2) Penyusutan 50
Dana dari hasil operasi Rp. 216
(3) Berkurangnya persediaan Rp. 5
(4) Bertambahnya hutang pajak Rp. 2
Jumlah sumber dana Rp. 223

Penggunaan dana:
(1) Pembayaran dividen Rp. 87
(2) Penambahan sekuritas 5
(3) Penambahan piutang 6
(4) Pengurangan hutang dagang 2
(5) Pengurangan hutang wesel 20
(6) Pengurangan hutang j. panjang 100
Jumlah penggunaan dana Penambahan dana Rp. 220
Jumlah Rp. 3
Rp. 223

Beberapa analis menyukai melakukan analisis sumber dan penggunaan modal kerja (dalam
artian selisih antara aktiva lancar dengan kewajiban lancar). Selain analisis sumber modal kerja
tersebut, dan penggunaannya. Sumber modal kerja adalah berasal dari operasi perusahaan, dan
digunakan untuk mengurangi utang jngka panjang dan membayar dividen. Maka dapat
disimpulkan bahwa penggunaan dana tersebut tidak menyimpang dari matcing principle.
Penggunaan yang terbesar, yaitu untuk mengurangi utang jangka panjang dan pembayaran
dividen, bisa dipenuhi dengan dana dari hasil operasi. Karena itu diharapkan tidak akan
menimbulkan masalah likuiditas. Analisis yang dilakukan adalah untuk data historis, juga bisa
dilakukan analisis dengan menggunakan data keuangan di masa yang akan datang (laporan
keuangan diproyeksikan atau proforma financial statements). Maka analisisnya adalah sebagai
berikut .

Tabel Analisis sumber dan penggunaan modal kerja PT. Mawar Tbk 20X1
(dalam milyar rupiah)

Sumber modal kerja:


Laba setelah pajak Rp. 166
Penyusutan 50
Modal kerja dari hasil operasi Rp. 216

Penggunaan modal kerja:


Pembayaran dividen Rp. 87
Pengurangan hutang 100
Jumlah penggunaan modal kerja Penambahan modal kerja Rp. 187
Jumlah Rp. 29
Rp. 216

8.3. Perencanaan Keuangan Jangka Panjang

Perencanaan keuangan merupakan kegiatan untuk memperkirakan posisi dan kondisi


keuangan perusahaan di masa yang akan dating (bisa jangka pendek bisa pula jangka panjang).
Untuk menyusun rencana keuangan tersebut dipergunakan serangkaian asumsi (scenario), baik
yang menyangkut hubungan antar varibel-variabel keuangan, maupun keputusan-keputusan
keuangan.
Perusahaan perlu mengetahui bagaimana posisi keuangan perusahaan di masa yang akan
datang, kalau melakukan keputusan strategis tertentu (missal melakukan investasi modal dalam
jumlah yang cukup besar, disertai dengan keputusan pendanaan tertentu). Karena itu kemudian
disusun laporan keungan yang diproyeksikan (atau laporan keuangan proforma), konsisten
dengan keputusan-keputusan keuangan yang diambil. Dengan menggunakan model-model
keuangan tertentu, perusahaan bisa memperkirakan posisi keuangannya apabila suatu keputusan
keuangan diambil. Berikut ini dijelaskan berbagai model peramalan keuangan.

Pro forma laporan keuangan dapat dikembangkan melalui beberapa proses , pertama
menyiapkan laporan keuangan sebelumnya , membuat prediksi penjualan di tahun yang akan
datang. Selanjutnya adalah membuat asumsi untuk melengkapi yang ada. Berikut ini adalah
laporan keuangan sebelumnya adalah sebagai berikut :
Laporan Rugi – Laba PT. Mawar Tbk.
Desember 31, 20X0 (Dalam Jutaan Rupiah)

Pendapatan Penjualan
Produk X (1000 unit x Rp 20 ) Rp 20.000
Produk Y (2000 unit x Rp 40 ) Rp 80.000
Total Pendapatan Penjualan Rp 100.000
Dikurangi : Harga Pokok Produk
Upah Rp 28.500
Bahan Baku A Rp 8.000
Bahan Baku B Rp 5.500
Overhead Rp 38.000
Total Harga Pokok Produk Rp 80.000
Laba Kotor Rp 20.000
Dikurangi : Biaya operasional Rp 10.000
Laba Operasi Rp 10.000
Dikurangi : Biaya bunga Rp 1.000
Laba sebelum pajak Rp 9.000
Dikurangi : Pajak Rp 1.350
Laba setelah pajak Rp 7.650
Dikurangi : Dividen Rp 4.000
Total laba ditahan Rp 3.650

Neraca PT. Mawar Tbk.


Desember 31 , 20X0 (Dalam Jutaan Rupiah)
Aktiva Utang dan Modal Sendiri
Kas Rp 6.000 Utang dagang Rp 7.000
Surat Berharga Rp 4.000 Utang pajak Rp 300
Piutang Rp 13.000 Utang wesel Rp 8.300
Persedian Rp 16.000 Aktiva lancer lainnya Rp 3.400
Total Aktiva lancar Rp 39.000 Total Aktiva lancar Rp 19.000
Aktiva tetap bersih Rp 51.000 Utang jangka panjang Rp 18.000
Total Aktiva Rp 90.000 Saham biasa Rp 30.000
Laba ditahan Rp 23.000
Total utang dan modal sendiri Rp 90.000

Selanjutanya dilakukan langkah penyusunan proforma laporan keuangan dengan dimulai dari
laporan rugi laba melalui metode percentage of sales . Diperlukan data forecast penjualan untuk
mengetahui penjualan yang akan datang, maka dilakukan forecast penjualan untuk tahun 20X1,
yaitu sebagai berikut :

Tahun 20X1 forecast penjulan untuk PT. Mawar Tbk.


Penjualan dalam unit
Produk X 1.500
Produk Y 1.950
Penjualan dalam rupiah
Produk X ( Rp 25/ unit) Rp 37.500
Produk Y (Rp 50/ unit) Rp 97.500
Total Rp 135.000

Diawali dengan membuat forecast penjualan dengan asumsi bahwa pada tahun yang akan dating
terjadi kenaikan harga pada produk X dan produk Y, produk X mengalami kenaikan dari Rp 20
per unit menjadi Rp 25 per unit, sedangkan produk Y dari Rp 40 menjadi Rp 50. Kenaikan yang
dimaksud dalam rangka mengantisipasi kenaikan bahan baku, upah, dan overhead.
Langkah berikutnya adalah menyiapkan pro forma laporan rugi laba, yaitu menyiapkan metode
percent of sales , yaitu diawali dengan dengan melakukan forecast penjualan, kemudian
menentukan harga pokok penjualan , biaya operasional , dan akun lainya berdasarkan persentase
dari proyeksi penjualan. Berikut adalah contoh :
1. Menggunakan data proyeksi penjualan
2. Diasumsikan bahwa semua biaya adalah variable dan akan naik atau turun berdasarkan
proporsi penjualan.
3. Akan terjadi penurunan profit ketika terjadi peningkatan penjualan demikian sebaliknya.

Laporan Rugi – Laba PT. Mawar Tbk.


Desember 31, 20X1 (Dalam Jutaan Rupiah)

Pendapatan Penjualan Rp 135.000


Dikurangi : Harga Pokok Produk (0.8) Rp 108.000
Laba Kotor Rp 27.000
Dikurangi : Biaya operasional Rp 13.500
Laba Operasi Rp 13.500
Dikurangi : Biaya bunga Rp 1.350
Laba sebelum pajak Rp 12.150
Dikurangi : Pajak Rp 1.823
Laba setelah pajak Rp 10.327
Dikurangi : Dividen Rp 4.000
Total laba ditahan Rp 6.327
Jelaslah bahwa terdapat perbedaan dari pengalaman beberapa perusahaan yang
mengalami kenaikan biaya yang tidak sama dengan perubahan tingkat penjualan,
sehingga memungkinkan terjadi perbedaan laba setelah pajak yang berbeda. Cara terbaik
untuk menghasilkan lebih realistisnya pro forma laporan rugi laba adalah dengan
mensegmen biaya-biaya perusahaan kedalam komponen biaya tetap dan variable. Seperti
contoh dibawah ini :

Laporan Rugi – Laba PT. Mawar Tbk.


Desember 31, 20X0 – 20X1 (Dalam Jutaan Rupiah)
20X0 20X1
Pendapatan Penjualan Rp 100.000 Rp 135.000
Dikurangi : Harga Pokok Produk (0.8)
Biaya Tetap Rp 40.000 Rp 40.000
Biaya Variabel (0.4 x sales) Rp 40.000 Rp 54.000
Laba Kotor Rp 20.000 Rp 41.000
Dikurangi : Biaya operasional
Operasional tetap Rp 5.000 Rp 5.000
Operasional variable (0.05 x sales) Rp 5.000 Rp 6.750
Laba Operasi Rp 10.000 Rp 29.250
Dikurangi : Biaya bunga Rp 1.000 Rp 1.000
Laba sebelum pajak Rp 9.000 Rp 28.250
Dikurangi : Pajak (0.15 x laba sbl pajak) Rp 1.350 Rp 4.238
Laba setelah pajak Rp 7.650 Rp 24.012
Pro forma neraca berbeda cara dalam penyusunannya. Pendekatan yang dilakukan untuk
menyusun neraca adalah pendekatan penyesuaian atau Judgmental Approach. Pada contoh
berikut ini , menggunakan metode sederhana dimana nilai pada neraca di estimasi dan pendanaan
eksternal digunakan pada setiap account pada neraca.
Bebarapa estimasi account pada pro forma neraca adalah sebagai berikut :
1. Saldo kas minimum sebesar Rp 6.000,
2. Surat berharga ada pada level Rp 4.000.
3. Piutang sebesar Rp 16.875 sebagai repsresent dari 45 hari rata-rata penjualan atau 45/365
x Rp 135.000
4. Persedian akhir pada level Rp 16.000 atau 25 % sebagai persedian barang mentah Rp
4.000 dan 75 % sebagai persedian barang jadi atau Rp 12.000.
5. Mesin baru berharga Rp 20.000 telah dibeli. Total penyusutan Rp 8.000, sebelumnya
terdapat net fixed asset Rp 51.000, sehingga total net fixed asset Rp 63.000.

Neraca PT. Mawar Tbk.


Desember 31, 20X1 (Dalam Jutaan Rupiah)

Aktiva Utang dan Ekuitas


Kas 6.000 Utang dagang 8.100
Surat Berharga 4.000 Utang pajak 455
Piutang 16.875 Utang wesel 8.300
Persedian 16.000 Utang lainnya 3.400
- Bahan mentah 4.000 Total utang jk pendek 20.255
- Barang jadi 12.000 Utang jk panjang 18.000
Aktiva tetap bersih 63.000 Modal sendiri 38.293
Laba ditahan 29.327
Total Aktiva 105.875 Total utang dan
Modal sendiri 105.875

Beberapa kelemahan dari pendekatan yang dilakukan diatas pada penyusunan pro forma
laporan keuangan yang berkaitan dengan asumsi dibawah ini :
1. Kinerja keuangan perusahaan di masa lalu tidak merupakan replikasi dimasa yang
akan datang
2. Ada paksaan itu menetapkan angka tertentu.
3. Untuk kesempurnaan terhadap proforma laporan keuangan, maka pertama kali yang
harus diperhatikan adalah forecast kondisi ekonomi dan lakukan penyesuaian dengan
fakta atau kejadian yang lainnya.

Cara lain untuk menyusun laporan keuangan proforma adalah dengan menggunakan system
anggaran. Dengan memahami interaksi masing-masing anggaran, bisa disusun neraca dan rugi
laba proforma. Pada sub bab berikut ini diberikan ilustrasi penggunaan anggaran untuk
menyusun laporan keuangan proforma.

8.4. Perencanaan Keuangan Jangka Pendek.

Sebagaimana namanya menunjukkan, perencanaan keuangan jangka pendek umumnya


berdimensi waktu kurang dari satu tahun. Tujuan utamanya seringkali untuk menjaga likuiditas
perusahaan. Alat yang dipergunakan adalah dengan menyusun anggaran kas. Anggaran kas
merupakan taksiran tentang kas masuk dank as keluar pada periode waktu tertentu. Berikut ini
diberikan ilustrasi penyusunan anggaran kas.

Format Umum Anggaran Kas

Jan Feb …. Nov Des

Penerimaan Kas xx xx7 xx xx


Pengeluaran Kas xx1 xx8
Aliran Kas Bersih xx2 xx9
Saldo Awal xx3 xx4
Saldo Akhir xx4 xx11
Minimum Saldo kas xx5 xx5
Pembiayaan xx6
Investasi xx12

Contoh Penerimaan
PT. Gelatik , perusahaan yang bergerak dibidang pakan unggas, membuat anggaran kas
untuk bulan oktober, November, dan desember. Penjualan pada bulan agustus dan
September adalah Rp 100.000.000 dan Rp 200.000.000. Penjualan sebesar Rp
400.000.000, Rp 300.000.000, dan Rp 200.000.000 di forecast untuk bulan oktober,
November, dan desember. Data sebelumnya sekitar 20% perusahaan meneriman
penjualan tunai, 50% akan diterima setelah 1 bulan penjualan, dan 30 % diterima setelah
2 bulan penjualan. Pada bulan desemebr PT. Gelatik akan menerima dividen dari anak
perusahaan sebesar Rp 30.000.000,-.

Skedul penerimaan (dalam jutaan rupiah)

Agust Sept Okt Nov Des

Forecas Penjualan 100 200 400 300 200

Penjualan tunai 20 40 80 60 40
Pengumpulan (1 bulan) 50 100 200 150
Pengumpulan (2 bulan) 30 60 120
Penerimaan lainnya 30

Total penerimaan 210 320 340

Contoh Pengeluaran
PT. Gelatik telah mengumpulkan informasi yang relevan berkaitan dengan skedul
pengeluaran. Pembelian diperkirakan 70% dari penjualan, 10% akan dibayar tunai, 70% akan
dibayar 1 bulan kemudian, dan 20% dibayar 2 bulan kemudian. Perusahaan akan membayar upah
& gaji, pajak, bunga, dividen sebagai berikut :

Skedul pengeluaran (dalam jutaan rupiah)

Agust Sept Okt Nov Des

Pembelian (0.7 x Penjualan) 70 140 280 210 140

Pembelian tunai 7 14 28 21 14
Pembayaran (1 bulan) 49 98 196 147
Pembayaran (2 bulan) 14 28 56
Pembayaran sewa 5 5 5
Upah dan gaji 48 38 28
Pembayaran pajak 25
Pembelian aktiva tetap 130
Pembayaran bunga 10
Pembayaran dividen 20
Pemabayaran pokok pinjaman 20
Total pengeluaran 213 418 305
Informasi Tambahan Untuk Anggaran Kas

Anggaran kas untuk PT. Gelatik dapat dilakukan dengan menggabungkan antara
penerimaan dan pengeluaran. Pada akhir September , saldo kas perusahaan sebesar Rp
50.000.000, note payable = 0, dan marketable securities = 0. Perusahaan juga mengharapkan
saldo minimum Rp 25.000.000. Hasilnya sebagai anggaran kas adalah sebagai berikut :
Format Umum Anggaran Kas

Okto Novem Des

Penerimaan Kas 210 320 340


Pengeluaran Kas 213 418 305
Aliran Kas Bersih -3 - 98 35
Saldo Awal 50 47 -51
Saldo Akhir 47 -51 -16
Minimum Saldo kas 25 25 25
Pembiayaan 76 41
Investasi 22

8.5. Perencanaan Keuangan dan Perencanaan Strategis.

Seringkali dalam melakukan prakiraan dan penyusunan rencana keuangan analisis


tergoda untuk menggunakan model keuangan (financial modeling) yang rumit, tidak sesederhana
model persentase penjualan, ataupun penyusunan anggaran kas. Sebenarnya apapun model
keuangan yang dipergunakan, satu hal yang sering terlupakan adalah tidak diperhatikannya aspek
keuangan dalam model tersebut.

Sebagai contoh dalam penggunaan model persentase penjualan hanya memperkirakan


akan adanya peningkatan penjualan yang menghasilkan profit margin tertentu (yaitu sama
dengan tahun lalu). Akibatnya perusahaan akan memerlukan tambahan dana dari luar perusahaan
untuk mendukung tambahan aktiva lancar dan aktiva tetap. Satu hal yang tidak terjawab dalam
model tersebut adalah apakah penambahan dana tersebut dapat dibenarkan secara ekonomis.
Mengevaluasi apakah penambahan aktiva-aktiva tersebut memang dibenarkan secara ekonomis.
Dengan kata lain, apakah penambahan dana tersebut akan meningkatkan nilai perusahaan?

Model yang dipergunakan ternyata tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Hal itu
tidak mengherankan karena proyeksi keuangan yang dilakukan sebenarnya hanya mendasarkan
diri atas mekanisme akuntansi (apa dampaknya bagi neraca dan rugi laba dimasa yang akan
datang/). Dan tidak menggunakan model untuk memperkirakan nilai perusahaan dimasa yang
akan daaing. Kalau diproyeksikan laba setelah pajak sebesar Rp. X, maka proyeksi nilai
perusahaan akan dilakukan secara tidak langsung, yaitu dengan menggunakan Price Earnings
Ratio. Apabila diperkirakan PER konstan maka nilai pasar modal sendiri akan sebesar PER x
(laba setelah pajak).

Karena itulah perencanaan keuangan (terutama yang berjangka panjang) dilakukan


bersama-sama dengan penyusunan rencana strategis perusahaan. Perencanaan strategis
merupakan upaya yang dilakukan secara sadar untuk mempengaruhi posisi perusahaan dalam
persaingan, baik untuk masa kini dan terutama masa yang akan datang. Sebagai missal,
perusahaan mungkin memilih salah satu dari tiga strategi berikut ini dalam pengembangan
usahanya.

(1) Pertumbuhan agresif, Strategi ini berarti perusahaan akan mencoba merebut pangsa pasar
para pesaing. Sebagai akibatnya perusahaan akan memerlukan dana dari luar perusahaan
dalam julmah yang cukup besar.
(2) Pertumbuhan moderat. Strategi ini berarti bahwa pertumbuhan penjualan disebabkan karena
pertumbuhan permintaan dalam industry yang bersangkutan. Tidak ada upaya untuk merebut
pangsa pasar pesaing. Pertumbuhan diharapkan dapat dibiayai dari hasil operasi perusahaan
(dana itern).
(3) Memperkecil bisnis yang dilakukan. Apabila produk yang dihasilkan diperkirakan sudah
berada dalam tahap akhir kedewasaan, maka perusahaan mungkin memutuskan untuk
bersiap-siap menambah dan/atau beralih ke bisnis yang lain. Dana dari bisnis saat ini akan
diinvestasikan ke bisnis lain.

Dengan demikian pemilihan strategi perusahaan akan membawa dampak pada


pembiayaan yang harus disediakan oleh perusahaan. Masalah pendanaan ekstern dapat dipenuhi
bukan hanya dari hutang tetapi juga menambah modal sendiri. Karena itu alternatif
penghimpunan dana dari pasar modal akan menjadi salah satu altenatif yang dipertimbangkan.
8.6. Latihan Aliran Kas dan Perencanaan Keuangan

Soal Essay
1. Given the financial data for New Electronic World, Inc. (NEW), compute the following
measures of cash flows for the NEW for the year ended December 31, 2005
(a) Operating Cash Flow.
(b) Free Cash Flow.

For the year ended December 31,


2004 2005
Depreciation $ 3,000
EBIT 30,000
Interest Expenses 3,000
Taxes 8,000
Cash $21,000 24,000
Accounts Receivable 39,000 45,000
Inventory 27,000 30,000
Net fixed assets 22,000 24,000
Accounts payable 25,000 30,000
Notes payable 50,000 40,000
Accruals 1,000 2,000
/

2. Identify each expense or revenue as a cash flow from operating activities (O), a cash flow
from investment activities (I), or a cash flow from financing activities (F).
Administrative expenses
Rent payment
Interest on a note payable
Interest on a note receivable
Sale of equipment
Dividend payment
Stock repurchase
Sale of finished goods
Labor expense
Sale of a bond issue
Repayment of a long-term debt
Selling expenses
Depreciation expense
Sale of common stock
Purchase of fixed assets
3. Calculate the change in the key balance sheet accounts between 2002 and 2003 and classify each
as a source (S), a use (U), or neither (N), and indicate which type of cash flow it is: an operating
cash flow (O), and investment cash flow (I) or a financing cash flow (F).

ABC Corp.
Balance Sheet Changes and Classification
of Key Accounts between 2004 and 2005
Account 2004 2005 Change Classification Type
Long-term debts $ 960 $ 800
Accounts receivable 640 500
Common stock 200 200
Cash 640 500
Retained earnings 960 800
Accruals 50 200
Inventory 840 600
Accounts payable 1,150 1,000
Net fixed assets 1,800 2,000
Table 3.5
Magna Fax, Inc.
Income Statement
For the Year Ended December 31, 2005
Sales revenue $150,000
Cost of goods sold 117,500
Gross Profits $32,500
Selling expense 4,500
General and administrative expense 4,000
Depreciation expense 4,000
Operating profits $ 20,000
Interest expense 2,500
Net profit before taxes $ 17,500
Taxes (40%) 7,000
Net profit after taxes $ 10,500
Magna Fax, Inc.
Balance Sheet
For the Years Ended December 31, 2004 and 2005
2004 2005
Assets
Cash $24,000 $21,000
Accounts receivable 45,000 39,000
Inventory 30,000 27,000
Gross fixed assets $42,000 $40,000
Acc. Depreciation 22,000 18,000
Net fixed assets 20,000 22,000
Total assets $119,000 $109,000
Liabilities and Equity
Accounts payable $25,000 $30,000
Notes payable 50,000 40,000
Accruals 1,000 2,000
Long-term debts 10,000 8,000
Common stock at par 1,000 1,000
Paid-in capital in excess of par 4,000 4,000
Retained earnings 28,000 24,000
Total liabilities and equity $119,000 $109,000

4. The credit manager at First National Bank has just received the income statement and balance sheet
for Magna Fax, Inc. for the year ended December 31,2005. (See Table 3.5.) The bank requires the
firm to report its earnings performance and financial position quarterly as a condition of a loan
agreement. The bank’s credit manager must prepare two key financial statements based on the
information sent by Magna Fax, Inc. This will be passed on to the commercial loan officer
assigned to this account, so that he may review the financial condition of the firm.
(a) Prepare a statement of retained earnings for the year ended December 31, 2005.
(b) Prepare a summary of cash inflows and cash outflows for the year ended December 31, 2005.
(c) Prepare a statement of cash flows for the year ended December 31, 2005, organized by
cash flow from operating activities, cash flow from investment activities, and cash flow
from financing activities.
5. Gerry Jacobs, a financial analyst for Best Valu Supermarkets, has prepared the following sales
and cash disbursement estimates for the period August through December of the current year.

Month Sales Cash Disbursements


August $400 $300
September 500 500
October 500 700
November 600 400
December 700 500

90 percent of sales are for cash, the remaining 10 percent are collected one month later. All
disbursements are on a cash basis. The firm wishes to maintain a minimum cash balance of $50.
The beginning cash balance in September is $25. Prepare a cash budget for the months of October,
November, and December, noting any needed financing or excess cash available.

6. Terrel Manufacturing expects stable sales through the summer months of June, July, and August of
$500,000 per month. The firm will make purchases of $350,000 per month during these months.
Wages and salaries are estimated at $60,000 per month plus 7 percent of sales. The firm must make
a principal and interest payment on an outstanding loan in June of $100,000. The firm plans a
purchase of a fixed asset costing $75,000 in July. The second quarter tax payment of $20,000 is
also due in June. All sales are for cash.
(a) Construct a cash budget for June, July, and August, assuming the firm has a beginning
cash balance of $100,000 in June.
(b) The sales projections may not be accurate due to the lack of experience by a newly-hired sales
manager. If the sales manager believes the most optimistic and pessimistic estimates of sales
are $600,000 and $400,000, respectively, what are the monthly net cash flows and required
financing or excess cash balances?
7. In preparation for the quarterly cash budget, the following revenue and cost information have been
compiled. Prepare and evaluate a cash budget for the months of October, November, and
December based on the information shown below.

Month Sales Purchases


August (actual) $3,000,000 $3,500,000
September (actual) $4,500,000 $2,000,000
October (forecast) $1,000,000 $ 500,000
November (forecast) $1,500,000 $ 750,000
December (forecast) $2,000,000 $1,000,000

 The firm collects 60 percent of sales for cash and 40 percent of its sales one month later.
 Interest income of $50,000 on marketable securities will be received in December.
 The firm pays cash for 40 percent of its purchases.
 The firm pays for 60 percent of its purchases the following month.
 Salaries and wages amount to 15 percent of the preceding month’s sales.
 Sales commissions amount to 2 percent of the preceding month’s sales.
 Lease payments of $100,000 must be made each month.
 A principal and interest payment on an outstanding loan is due in December of $150,000.
 The firm pays dividends of $50,000 at the end of the quarter.
 Fixed assets costing $600,000 will be purchased in December.
 Depreciation expense each month of $45,000.
 The firm has a beginning cash balance in October of $100,000 and maintains a minimum
cash balance of $200,000.
8. Harry’s House of Hamburgers (HHH) wants to prepare a cash budget for months of September
through December. Using the following information, prepare the cash budget schedule and
interpret the results.
 Sales were $50,000 in June and $60,000 in July. Sales have been forecasted to be $65,000,
$72,000, $63,000, $59,000, and $56,000 for months of August, September, October,
November, and December, respectively. In the past, 10 percent of sales were on cash basis, and
the collection were 50 percent in the first month, 30 percent in the second month, and 10
percent in the third month following the sales.
 Every four months (three times a year) $500 of dividends from investments are expected.
The first dividend payment was received in January.
 Purchases are 60 percent of sales, 15 percent of which are paid in cash, 65 percent are paid
one month later, and the rest is paid two months after purchase.
 $8,000 dividends are paid twice a year (in March and September).
 The monthly rent is $2,000.
 Taxes are $6,500 payable in December.
 A new hamburger press will be purchased in October for $2,300.
 $1,500 interest will be paid in November.
 $1,000 loan payments are paid every month.
 Wages and salaries are $1,000 plus 5 percent of sales in each month.
 August’s ending cash balance is $3,000.
 HHH would like to maintain a minimum cash balance of $10,000.

9.

Income Statement
Huddleston Manufacturing Company
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $2,800,000
Less: Cost of goods sold 1,820,000
Gross profits $ 980,000
Less: Operating expenses 240,000
Operating Profits $ 740,000
Less: Interest expense 70,000
Net profits before taxes $ 670,000
Less: Taxes (40%) 268,000
Net profits after taxes $ 402,000
Less: Cash Dividends 132,000
To: Retained earnings $ 270,000

Huddleston Manufacturing estimates its sales in 2006 will be $3 million. Interest expense is
expected to remain unchanged at $70,000, and the firm plans to pay cash dividends of $140,000
during 2006. Use the percent-of-sales method to prepare a pro forma income statement for the year
ended December 31, 2006, based on the 2005 income statement shown above.
Table 3.6
Income Statement
Ace Manufacturing, Inc.
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $2,000,000
Less: Cost of goods sold 1,200,000
Gross profit $800,000
Less: Selling expense 200,000
General & administrative expense 60,000
Less: Depreciation 40,000
Operating profit $ 500,000
Less: Interest 80,000
Earnings before taxes $ 420,000
Less: Taxes (40%) 168,000
Net profit after taxes/EACS $ 252,000
Common stock dividends $ 100,000

10. Ace Manufacturing, Inc., is preparing pro forma financial statements for 2006. The firm utilized
the percent-of-sales method to estimate costs for the next year. Sales in 2005 were $2 million and
are expected to increase to $2.4 million in 2006. The firm has a 40 per cent tax rate.
(a) Given the 2005 income statement in Table 3.6, estimate net profit and retained earnings
for 2006.
(b) If $200,000 of the cost of goods sold and $40,000 of selling expense are fixed costs; and
the interest expense and dividends are not expected to change, what is the dollar effect on
net income and retained earnings? What is the significance of this effect?
The income statement and balance sheet for the ZZZ Mattress Co. for the year ended December
31, 2005 follow.

Table 3.7
Income Statement
ZZZ Mattress Company
For the Year Ended December 31, 2005
Sales $300,000
Less: Cost of goods sold 195,000
Gross profit $105,000
Less: Selling expense 40,000
General and administrative expense 11,000
Less: Depreciation 10,000
Operating profit $ 44,000
Less: Interest 12,000
Net profit before taxes $ 32,000
Less: Taxes (40%) 12,800
$ 19,200

Balance Sheet
ZZZ Mattress Company
December 31, 2005
Assets
Cash $1,500
Accounts receivable 60,000
Inventory 95,000
Total current assets $156,500

Net plant and equipment 150,000


Total assets $306,500
Liabilities and Equities

Accounts payable $ 45,500


Notes payable 55,000
Accruals 5,000
Total current liabilities $105,500

Long-term debt $55,000

Stockholders’ equity:
Common stock $71,000
Retained earnings 75,000
Total liabilities and equities $306,500

11. The ZZZ Mattress Co. has been requested by the 1st National Bank, a major creditor, to prepare a
pro forma balance sheet for the year ending, December 31, 2006. Using the percent-of-sales method
and the following financial data, prepare the pro forma income statement and balance sheet and
discuss the resulting external financing required. (See Table 3.7)
 2006 sales are estimated at $330,000.
 Accounts receivable represent 20 percent of sales.
 A minimum cash balance of $1,650 is maintained.
 Inventory represents 32 percent of sales.
 Fixed-asset outlays in 2006 are $20,000. Total depreciation expense for 2006 will be $15,000.
 Accounts payable represents 15 percent of sales.
 Notes payable and accruals will remain the same.
 No long-term debt will be retired in 2004.
 No common stock will be repurchased in 2006.
 The firm will pay dividends equal to 50 percent of its earnings after taxes.
Table 3.8
Income Statement
Wirl Wind Company
Sales revenue $3,028,500
Less: Cost of goods sold
Fixed costs 1,350,000
Variable costs 1,260,600
Gross profits $417,900
Less: Operating expenses
Fixed expenses 4,500
Variable expenses 85,840
Operating profits $327,560
Less: Interest expense 82,150
Net profits before taxes $245,410
Less: Taxes (40%) 98,164
Net profits after taxes $147,246
Less: Dividend 50,000
Increased retained earnings $ 97,246

Balance Sheet
Wirl Wind Company
Assets

Current assets
Cash $625,000
Marketable securities 298,000
Accounts receivable 580,000
Inventories 496,000
Total current assets $1,999,000

Land and building $625,000


Machinery & equip 765,000
Fixtures & Furn 110,000
Total gross fixed assets $1,500,000
Less: Accumulated Depreciation 30,000

Net fixed assets $1,470,000


Total assets $3,469,000

Liabilities and Stockholders’ Equity

Current liabilities
Accounts payable $267,000
Notes payable 135,000
Accruals 288,000

Total current liabilities $690,000


Total Long-term debt 1,200,000
Total liabilities $1,890,000

Stockholders’ equity
Preferred stock 79,000
Common stock 750,000
Paid-in-capital 601,000
Retained earnings 149,000

Total stockholders’ equity $1,579,000

Total liabilities and stockholders equity $3,469,000

12. The Wirl-Wind Company of America is trying to plan for the next year. Using the current
income statement and balance sheet given in Table 3.8, and the additional information provided,
prepare the company’s pro forma statements.
 Sales are projected to increase by 15 percent.
 Total of $75,000 in dividend will be paid.
 A minimum cash balance of $650,000 is desired.
 A new asset for $50,000 will be purchased.
 Depreciation expense for next year is $50,000.
 Marketable securities will remain the same.
 Accounts receivable, inventory, accounts payable, notes payable, and accruals will increase
by 15 percent.
 $30,000 new issue of bond will be sold.
 No new stock will be issued.
Bab VI

Pendanaan Modal Kerja

Bagian penting dalam modal kerja yang diperhatikan oleh manajer keuangan adalah
masalah sumber dana. Sumber dana perusahaan bisa bersifat jangka pendek dan jangka panjang.
Sumber dana yang bersifat jangka pendek menjadi pendanaan modal kerja perusahaan.
Pendanaan modal kerja atau pendanaan jangka pendek meliputi pendanaan yang bersifat
permanen dan pendanaan yang bersifat musiman. Dana permanen merupakan dana terendah
yang disediakan pada periode tertentu untuk total asset perusahaan, sedangkan dana musiman
merupakan selisih antara dana permanen dengan dana teretndah pada pembiayaan secara total
dari asset , dan dalam strategi pendanaan atau pembiayaan dikenal dengan aggressive strategy
dan conservative strategy.

6.1. KEBIJAKAN PENDANAAN AKTIVA LANCAR


Pada umumnya bisnis akan mengalami fluktuasi musiman maupun secara siklus. Sebagai
contoh, perusahaan percetakan mengalami masa puncak pada saat menjelang tahun ajaran baru,
bisnis pakaian mengalami mengalami masa puncak menjelang Lebaran dan Natal. Contoh lain,
jika perekonomian memburuk, kebanyakan perusahaan akan mengurangi persediaan
memperketat piutang. Saat perekonomian membaik, kebutuhan akan aktiva lancar tidak pernah
jatuh pada titik nol (kecuali kalau perusahaan nya bangkrut). Kenyataan ini menimbulkan
pemikiran tentang adanya aktiva lancar yang permanen (permanent current assets). Lawan dari
aktiva lancar adalah aktiva lancar musiman atau temporer (seasonal/temporary permanent
assets), yaitu aktiva lancar yang berfluktuasi akibat musim. Misalnya PT. Harum ini terdiri dari
700 juta aktiva tetap dan 200 juta aktiva lancar permanen ditambah aktiva lancar musiman atau
temporer berkisar dari 0 hingga 40 juta.
Bagaimana perusahaan mendapat aktiva lancar permanen dan aktiva lancar temporer inilah
yang membedakan kebijakan pendanaan aktiva lancar. Pada dasarnya ada 3 alternatif kebijakan
pendanaan aktiva lancar; (1) pendekatan penyelarasan usia (maturity matching approach), (2)
pendekatan agresif (aggressive approach), dan (3) pendekatan konservatif (conservative
approach)

138
6.1.1 Maturity matching approach
Adalah kebijakan untuk menyelaraskan usia aktiva dan pasiva perusahaan. Strategi ini
meminimumkan kemungkinan perusahaan tidak dapat melunasi kewajiban-kewajiban
keuangannya. Sebagai contoh, PT. Manis berutang dengan pengembalian setahun untuk
membangun pabrik. Arus kas yang dihasilkan pabrik tersebut mungkin tidak cukup untuk
membayar bunga dan pokok pinjaman pada akhir tahun depan sehingga utang harus
diperbaharui. Misalnya terjadi sesuatu sehingga kreditor tidak ingin memperpanjang utang, PT.
Manis akan mengalami kesulitan likuiditas. Jika pembangunan pabrik didanai dengan utang
jangka panjang, kesulitan tersebut bisa dihindari. Intinya, pabrik dengan usia 30 tahun mestinya
didanai dengan utang yang berusia 30 tahun pula. Persediaan dengan usia 30 hari didanai dengan
pinjaman bank berusia 30 hari, demikian seterusnya. Namun demikian ada 2 kendala dalam
menyelaraskan usia aktiva dengan pasiva: (1) usia aktiva kadang kala tidak menentu, dan (2)
timbul masalah jika menggunakan pendanaan dari modal sendiri karena modal sendiri tidak
memilki waktu jatuh tempo (usia tak terhingga).
Menurut Maturity matching approach, aktiva tetap dan aktiva lancar permanen harus didanai
dengan utang jangka panjang dan modal sendiri ditambah pasiva lancar spontan (spontaneous
current liabilities). Pasiva lancar spontan terdiri atas utang dagang (account payable) dan
accruals (gaji atau upah dan pajak yang belum dibayar) yang tidak membutuhkan biaya bunga.
Sedangkan aktiva lancar temporer yang berfluktuasi didanai dengan utang jangka pendek yang
tidak spontan (short term non spontaneous debt). Perhatikan gambar dibawah ini.

MATURITY MATCHING APPROACH

Gambar 1

6.1.2Aggressive approach
Adalah kebijakan dimana perusahaan mendanai seluruh aktiva tetapnya serta sebagian dari
aktiva lancarnya dengan utang jangka panjang dan modal sendiri di tambah pasiva lancar
spontan. Sebagian dari aktiva lancar permanen serta aktiva lancar temporer didanai dengan utang
jangka pendek tidak spontan. Sebagai contoh, PT. Manis memiliki aktiva tetap sebesar 500 juta
dan aktiva lancar permanen sebesar 200 juta yang didanai dengan utang jangka panjang dan
modal sendiri sebesar hanya 590 juta serta pasiva lancar spontan 60 juta. Kekurangan sebesar 50
juta didanai dengan utang jangka pendek dari huutang wesel (notes payables). Kebijakan ini
disebutagresif karena penggunaan utang kjangka apendek untuk mendanai sebagian aktiva lancar
permanen relative berisiko. Risiko timbul jika suku bunga naik atu masalah-masalah yang
mungkin timbul dalam memperbaharui utang. Risiko ini dikompensasi dengan keuntungan
karena utang jangka pendek biasanya lebih murah dari utang jangka panjang. Semakin agresif
kebijakan ini, semakin besarbagian dari aktiva lancar permanen yang didanai dengan utang
jangka pendek. Jika kebijakan sangat agresif dilakukan, sebagian dari aktiva tetap dibiayai
dengan utang jangka pendek. Perhatikan gambar dibawah ini.

AGGRESIVE APPROACH
Rp

Hutang jangka pendek

Hutang jangka panjang + ekuitas

Aktiva Tetap
t
Gambar 2
6.1.3 Conservative approach
Adalah kebijakan dimana perusahaan menggunakan utang jangka panjang dan modal sendiri
ditambah pasiva lancar spontan untuk mendanai aktiva tetap, aktiva lancar permanen serta
sebagian dari aktiva lancar temporer. Sebagian lain dari aktiva lancar temporer jika diperlukan,
dibiayai dengan menggunakan utang jangka pendek tidak spontan. Saat aktiva lancar temporer
mencapai titik terendah, dana yang menganggur dibelikan sekuritas (surat berharga) yang likuid.
Kebijakan ini relatif aman (ingat bahwa konservatif berarti hati-hati) karena hampir seluruh
aktiva tetap dan lancar didanai dengan utang jangka panjang dan modal sendiri. Namun
demikian, sesuai hukum low risk, low return, kebijakan ini mahal karena pada umumnya utang
jangka panjang lebih mahal dari utang jangka pendek. Perhatikan Gambar dibawah ini.

AGGRESIVE APPROACH
Gambar 3

6.2. KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN PENDANAAN JANGKA PENDEK

Dari pembahasan sebelumnya dapat dilihat bahwa ketiga kebijakan pendanaan aktiva lancar
dibedakan dari tingkat penggunaan utang jangka pendek. Pendekatan agresif menggunakan
banyak utang jangka pendek, sedangkan pendekatan konservatif sedikit menggunakan utang
jangka pendek. Meskipun menggunakan utang jangka pendek lebih berisiko daripada
menggunakan utang jangka panjang, utang jangka pendek dibahas berikut ini.
 Kecepatan. Lebih cepat untuk memperoleh kredit jangka pendek daripada kredit jangka
panjang. Kreditor akan melakukan analisis yang yang lebih mendalam untuk kredit berjangka
panjang karena dana akan terikat dalam waktu yang lama. Jika perusahaan membutuhkan
dana segera, ia lebih suka memilih utang jangka pendek.
 Fleksibilitas. Untuk mendanai aktiva lancar temporer atau musiman, perusahaan cenderung
kurang menyukai utang jangka panjang. Alasannya: (1) flotation cost (biaya untuk
memperoleh utang) untuk utang jangka panjang biasanya lebih besar dari flotation cost untuk
utang jangka pendek, (2) meskipun utang jangka panjang dapat dibayar sebelum waktunya,
untuk melakukan ini diperlukan biaya, (3) utang jangka panjang biasanya disertai dengan
“covenant” atau aturan-aturann dari kreditur yang dapat menghambat efisiensi pengambilan
keputusan manajemen.
 Biaya Utang. Pada umumnya utang jangka panjang lebih mahal biayanya (suku bunganya
lebih tinggi) daripada utang jangka pendek. Hak ini ditunjukkan dengan yield curve1 yang
naik. Utang jangka panjang lebih mahal karena perkiraan bahwa tingkat inflasi di masa
mendatang akan naik serta risiko yang lebih besar untuk masa peminjaman yang lebih
panjang.
 Risiko Utang. Risiko utang jangka pendek lebih besar karena: (1) jika perusahaan
menggunakan utang jangka panjang, biaya bunga relatif stabil untuk waktu yang lama, tapi
jika ia menggunakan utang jangka pendek, suku bunga relatif berfluktuasi, (2) jika
perusahaan menggunakan terlalu banyak utang jangka pendek, ia dapat mengalami kesulitan
likuiditas. Tidak jarang hal ini menyebabkan kebangkrutan perusahaan.

6.3. SUMBER PENDANAAN JANGKA PENDEK


Pernyataan tentang fleksibilitas, biaya dan risiko utang jangka pendek melawan utang jangka
panjang sebagian besar tergantung pada tipe utang jangka pendek yang digunakan. Ada 4 jenis
sumber utang jangka pendek yang utama: (1) accruals, (2) utang dagang, (3) utang bank, dan (4)
commercial paper.
Accruals. Perusahaan biasanya membayar upah atau gaji karyawan secara mingguan atau
bulanan, sehingga pada neracanya memperlihatkan sejumlah gaji terutang (accrued wages).
Demikian pula dengan pajak penghasilan yang dibayar secara periodik juga akan menimbulkan
pajak terutang (accrued taxes). Accruals meningkat secara otomatis atau spontan jika operasi
perusahaan meningkat. Jenis utang ini adalah bebas biaya, artinya tidak ada bunga secara
eksplisit yang dibayarkan. Namun demikian, perusahaan sulit untuk mengontrol tingkat accruals-
nya. Waktu pembayaran upah/gaji ditentukan oleh dorongan ekonomi dan kebiasaan industri,
sedangkan pembayaran pajak ditentukan oleh hukum.
Utang Dagang (trade credit atau account payable). Jika perusahaan membeli barang dari
perusahaan lain, biasanya diberi tenggang waktu pembayaran. Pembelian secara kredit ini dicatat
sebagai utang dagang. Utang dagang ini merupakan bagian yang terbesar dari utang lancar (rata-
rata 40% dari utang lancar pada perusahaan bukan lembaga keuangan di AS). Proporsi utang
dagang ini semakin besar untuk perusahaan kecil: karena perusahaan kecil relatif sulit untuk
memperoleh utang dari lembaga keuangan sehingga terpaksa bergantung pada utang dagang.
Utang dagang semakin besar jika pembelian meningkat atau jika waktu pembayaran
diperpanjang. Misalnya perusahaan melakukan pembelian barang rata-rata 2 juta per hari dengan
kredit 30 hari. Maka secara rata-rata ia berutang 2 juta dikalikan 30 hari atau 60 juta. Jika
pembelian meningkat dua kali, utang dagang meningkat menjadi 120 juta. Jika kredit
diperpanjang menjadi 40 hari, utang dagang meningkat menjadi 2 juta dikalikan 40 atau sebesar
80 juta.
Utang Bank. Utang jangka pendek dari bank biasanya muncul di neraca perusahaan sebagai
utang wesel (notes payable). Utang bank merupakan sumber pendanaan jangka pendek
terpenting kedua setelah utang dagang. Saat kebutuhan dana jangka pendek perusahaan
meningkat, bank merupakan supplier dana yang banyak diandalkan. Jika permintaan kredit
jangka pendek ditolak, sering perusahaan terpaksa kehilangan kesempatan investasi yang
menarik. Kebanyakan kredit dari bank berbentuk kredit jangka pendek (sekitar 2/3 dari kredit
bank jatuh tempo dalam waktu kurang dari 1 tahun). Sisi negatifnya, jika bank menolak
memperpanjang kredit jangka pendek, perusahaan bisa mengalami kesulitan likuiditas.

Commercial Paper adalah surat utang jangka pendek yang diterbitkan suatu perusahaan yang
biasanya dibeli oleh perusahaan lain, lembaga pensiun, lembaga keuangan, perusahaan asuransi,
dll. Surat ini biasanya tanpa jaminan sehingga hanya dapat diterbitkan oleh perusahaan besar,
kuat dan bonafit.

6.4. BIAYA UTANG DAGANG

Perusahaan pada umumnya membeli barang dari supplier secara kredit, kemudian dicatat
sebagai utang dagang (account payable) atau trade credit. Perusahaan menjual secara kredit
biasanya dengan menggunakan terminologi kredit sebagai berikut: dijual pada 2/10, net 30 yang
berarti pembayaran harus dilakukan 30 hari setelah penerimaan barang, jika dalam 10 hari sudah
dibayar, pembeli akan mendapat potongan 2%. Artinya jika pembeli membayar lebih cepat, ia
dapat memanfaatkan discount yang ada. Jika membayar setelah 10 hari, ia tidak memanfaatkan
discount.
Untuk memilih memanfaatkan discount atau tidak, kita harus menghitung biaya untuk
memanfaatkan discount. Biaya ini kemudian dibandingkan dengan biaya pendanaan untuk
memperoleh discount (ingat bahwa memperoleh discount berarti membayar lebih awal, dan ini
harus dibiayai misalnya melalui utang jangka pendek).

[% discount/(100 - % discount)] x [360/(hari kredit - periode discount)]

Contoh:
Suatu perusahaan membeli bahan baku dari supplier rata-rata Rp 120 juta per tahun dengan
terminology 2/10, net 30. Jika perusahaan memanfaatkan discount 2%, maka rata-rata per hari ia
membeli bahan baku sebanyak (120 juta x 0,98)/360 = Rp 326.666,67,-. Pada akhir hari
kesepuluh, utang dagang menjadi 10 x 326.666,67 = Rp 3.266.666,67,-. Pada hari kesebelas,
utang dagang bertambah Rp 326.666,67,- tetapi sebelumnya telah terjadi pelunasan utang dagang
sejumlah yang sama sehingga utang dagang secara rata-rata adalah RP 3.266.666,67,-.
Jika discount tidak dimanfaatkan, perusahaan membayar pada hari ketigapuluh, sehingga utang
dagang rata-rata adalah 30 x Rp 326.666,67,- = Rp 9,8 juta 2. Selisih rata-rata utang dagang
dengan memanfaatkan discount dan tidak adalah Rp 6.533.333,33,-. Dengan kata lain, penyalur
member kredit lebih banyak sebesar Rp 6.533.333,33,- kepada perusahaan. Dengan adanya
penundaan pembayaran ini perusahaan dapat memanfaatkan dana yang ada untuk hal-hal lain
seperti membayar utang, mendanai piutang, dsb. Perusahaan memperoleh tambahan utang
dagang sebesar itu tidak gratis, tetapi dengan pengorbanan tidak memperoleh discount 2% dari
Rp 120 juta = Rp 2,4 juta. Maka biaya kredit dagang atau utang dagang adalah:
2,4 juta / 6.533.333,33 = 36,7%
atau menggunakan rumus di atas:
[2/(100-2)] x [360/(30-10)] = 36,7%
Dengan membayar 30 hari, perusahaan menambah utang dagang sebesar Rp 6.533.333,33,-.
Dana dapat dihemat dan dapat digunakan untuk mendanai piutang perusahaan, investasi,
membayar kembali utang bank, dsb.
Mana yang harus dipilih: memanfaatkan discount atau tidak? Jika perusahaan dapat
memperoleh utang jangka pendek dengan biaya lebih murah dari 36,7% guna mendanai
pembayaran utang dagang lebih awal, seharusnya perusahaan memanfaatkan discount tersebut.
Rumus biaya tidak menggunakan utang di atas mengasumsikan bahwa bunga dibayar setahun
sekali. Yang lebih tepat adalah bunga dibayar setiap 30 - 10 = 20 hari atau 360/20 = 18 kali
setahun. Karena bunga dibayar lebih cepat, bunga tahunannya menjadi lebih besar.

Oleh sebab itu kita harus mencari bunga efektif tahunan atau Effective Annual Rate (EAR)
dengan rumus:

EAR = [ 1 + % discount/(100 - % discount)]m - 1


dimana m = berapa kali dalam setahun bunga dibayar
Contoh perhitungan EAR menggunakan data sebelumnya adalah:
EAR = [ 1 + (0,02/0,98)]18 – 1 = 43,8%/tahun.

Biaya tidak memanfaatkan discount tergantung pada besarnya discount maupun lamanya
waktu pembayaran. Misalnya penjualan 2%, net 60 hari akan memiliki biaya tidak
memanfaatkan discount sebesar: [2/98] x [360/(60 - 10)] = 14,7%
atau
EAR = (1 + (0,02/0,98)]7,2 - 1 = 15,7%
dimana m = 360/50 = 7,2
Perlu dicatat bahwa rumus-rumus di atas mengasumsikan bahwa pembayaran untuk periode
discount maupun periode tanpa discount selalu dilakukan pada hari terakhir pembayaran.
Dengan kata lain, perusahaan tidak terlalu social untuk membayar pada hari kelima jika ia dapat
membayar pada hari kesepuluh.
Beberapa contoh hasil perhitungan biaya utang dagang jika discount tidak dimanfaatkan:
Kredit Perkiraan Biaya Biaya Efektif
1/10, net 20 36% 44%
1/10, net 30 18% 20%
2/10, net 20 73% 107%
3/10, net 45 37% 44%

Nampak bahwa semakin lama waktu pembayaran tanpa memanfaatkan discount, biaya tidak
memanfaatkan discount akan turun. Sebaliknya, semakin besar discount yang diberikan, biaya
tidak memanfaatkan discount semakin besar.

6.5. EFEK UTANG DAGANG PADA LAPORAN KEUANGAN

Untuk menjelaskan permasalahan ini, kita sajikan kembali contoh sebelumnya: sebuah
perusahaan melakukan pembelian bahan baku sejumlah Rp 120 juta setahun dengan terminologi
2/10, net 30. Jika discount dimanfaatkan, rata-rata utang dagang harian adalah (120 juta x
0,98)/360 = Rp 326.666,67,-. Pada hari pertama perusahaan beroperasi, jumlah ini akan muncul
di sisi pasiva neraca sebagai utang dagang (disisi aktiva, persediaan bertambah sejumlah yang
sama). Pada hari kedua, perusahaan membeli bahan baku sejumlah Rp 326.666,67,- lagi,
sedangkan utang dagang hari pertama belum dibayar sehingga jumlah utang dagang menjadi Rp
653.333,34,-. Setelah 10 hari, utang dagang menjadi Rp 3.266.666,67,-. Pada hari ke 11,
perusahaan akan membayar utang dagang hari pertama karena mereka ingin memanfaatkan
discount, namun pada hari itu utang dagang masih bertambah sejumlah yang sama (karena
perusahaan tetap membeli bahan baku). Akibatnya saldo utang dagang perusahaan akan stabil
sebesar Rp 653.333,34,- dengan asumsi perusahaan memanfaatkan discount.
Bagaimana jika perusahaan tidak memanfaatkan discount? Pada situasi ini, pada hari ke 11
tidak ada pelunasan utang dagang sehingga saldo utang dagang bertambah Rp 326.666,67,-
akibat pembelian bahan baku pada hari tersebut. Pada hari ke 30 saldo utang dagang akan
menjadi 30 x Rp 326.666,67,- = Rp 9,8 juta 3. Pada hari ke 31 perusahaan akan melunasi utang
dagang dari pembelian bahan baku hari 1 dan sekaligus membeli bahan baku (menambah utang
dagang) dengan jumlah yang sama.
Akibatnya saldo utang dagang setelah hari ke 30 adalah tetap pada angka Rp 9,8 juta dengan
asumsi perusahaan tidak memanfaatkan discount.
Pengaruh memanfaatkan discount atau tidak pada neraca adalah sebagai berikut: jika
discount diambil, saldo utang dagang sebesar Rp 3.266.666,67,- dan saldo utang wesel sebesar
Rp 9,8 juta - Rp 3.266.666,67,- = Rp 6.533.333,34,- (ini adalah jumlah uang untuk mendanai
pembayaran lebih awal). Jika discount tidak dimanfaatkan, saldo utang dagang adalah Rp 9,8
juta dan saldo utang wesel sebesar 0.
Pengaruh memanfaatkan discount atau tidak pada laporan rugi laba adalah: jika discount
diambil, ada kebutuhan dana untuk membiayai pembayaran awal yang biasanya diperoleh dari
utang wesel.
Artinya perusahaan harus membayar bunga. Namun jika discount tidak diambil, perusahaan
dapat menghemat dana tersebut (tidak perlu membayar bunga) tetapi menanggung biaya tidak
memnfaatkan discount atau discount lost. Untuk memilih memanfaatkan discount atau tidak, kita
tinggal membandingkan biaya bunga dengan discount lost. Jika biaya bunga lebih besar dari
discount lost, sebaiknya tidak memanfaatkan discount, demikian sebaliknya.

6.6. KARAKTERISTIK UTANG BANK

Sebagai sumber dana jangka pendek, utang dari bank menduduki ranking kedua setelah utang
dagang. Utang jangka pendek dari bank biasanya dicatat di neraca bagian pasiva sebagai utang
wesel (notes payable). Beberapa karakteristik utang bank yang perlu dikuasai dibahas berikut ini.
 Jatuh Tempo (maturity)
Meskipun bank juga menyediakan utang jangka panjang, sebagian besar dari kredit yang
diberikan adalah berjangka pendek (jatuh tempo kurang dari setahun).
 Promissory Note
Jika kredit disetujui, perjanjian dilakukan dengan mendatangani promissory note yang
menyatakan: (1) jumlah kredit, (2) persentase suku bunga, (3) skedul pengembalian, (4)
jaminan, dan (5) terminology dan kondisilain yang disepakati oleh kreditur dan debitur.
 Compensating Balances
Kadang kala bank mengharuskan debitur untuk memelihara suatu rata-rata saldo checking
account (demand deposit) sekian persen dari jumlah utang. Saldo ini disebut compensating
balance yang mengakibatkan biaya utang naik. Misalnya, jika perusahaan meminjam Rp 10
juta, ia hanya dapat menggunakan Rp 8 juta saja karena adanya compensating balance 20%
dari total utang. Jika bunga utang adalah 8%, bunga utang yang sebenarnya atau efektif
adalah (8% x 10 juta)/8 juta = 10%.
 Line of Credit
Line of credit adalah suatu persetujuan informal atau formal antara bank dan peminjam
tentang jumlah maksimum utang yang disediakan bank. Misalnya, line of credit sebesar Rp
80 juta berarti peminjam dapat meminjam hingga sejumlah tersebut.
 Revolving Credit Agreement
Revolving credit agreement adalah suatu line of credit yang formal yang sering dimanfaatkan
oleh perusahaan besar. Bank berkewajiban menyediakan kredit hingga jumlahh maksimal
yang dijanjikan. Untuk kewajiban formalnya ini (legal obligation), bank biuasanya
memungut commitment fee sebesar sekian persen dari kredit yang tidak digunakan. Misalnya,
line of credit sebesar Rp 100 juta hanya dimanfaatkan sebesar Rp 60 juta. Maka peminjam
harus membayar fee untuk Rp 40 juta yang tidak digunakan.

6.7. BIAYA UTANG BANK

Biaya utang bank bervariasi tergantung peminjamnya serta besar kecilnya utang. Peminjam
yang berisiko tinggi akan dikenai bunga yang lebih tinggi, sedangkan utang berjumlah kecil akan
menanggung bunga yang lebih tinggi karena adanya fixed cost untuk memperoleh utang dan
membayar jasa. Jika suatu perusahaan tergolong “prime risk” karena kinerjanya yang bagus dan
jumlah pinjaman cukup besar, bank dapat memberikan bunga yang terbaik yang disebut prime
rate. Ada 3 cara menghitung biaya utang bank: (1) regular atau simple interest, (2) discount
interest, dan (3) add-on interest.
 Regular atau Simple Interest
Pada metoda ini, debitur meminjam sejumlah uang dan akan mengembalikannya berikut
bunga pada waktu yang akan dating. Misalnya, pada uutang Rp 10 jutadengan bunga 12%
per tahun, debitur akan membayar kembali Rp 10 juta plusbunga 12% x Rp 10 juta = Rp 1,2
juta setahun kemudian. Rumus menghitung bunga bank dengan pendekatan ini adalah:
- Untuk utang satu atau lebih dari satu tahun
Effective Annual Rate = Bunga/Jumlah

- Untuk utang kurang dari setahun


Effective Annual Rate = [1 + (k/m)]m - 1

Dimana:
k = suku bunga nominal tahunan
m = berapa kali dalam setahun bunga dibayar
Contoh: kredit 3 bulan dengan bunga nominal 12%/th menanggung biaya sebesar :
EAR = [1+(12%/4)]4 - 1 = 12,55%/th
dimana m = 12 bulan/3 bulan = 4 kali
Karena debitur membayar bunga lebih cepat dari 1 tahun, maka bunga yang ditanggung
sebenarnya lebih besar dari 12% (bunga nominal tahunan). Jika utang nya setahun atau lebih
dari setahun, bunga nominal sama dengan bunga efektif.
 Discount Interest
Pada pendekatan ini bank mengambil pembayaran bunga di depan. Misalnya, pada kredit Rp
100 juta dengan bunga 12% per tahun, bank hanya memberikan uang sebesar Rp 100 juta -
(12% x Rp 100 juta) = Rp 88 juta. Maka biaya bunga adalah 12 juta/88 juta = 13,64%.
Rumus untuk menghitung bunga bank dengan pendekatan ini adalah:
- Untuk utang satu atau lebih dari satu tahun

Effective Annual Rate = Bunga/(Jumlah utang - bunga)


atau:
Effective Annual Rate = Persentase bunga/(100% - persentase bunga)
- Untuk utang kurang dari setahun

Effective Annual Rate = [1 + (bunga/(utang - bunga)]m - 1

Sebagai contoh, huutang Rp 100 juta selama 3 bulan dengan bunga nominal 12%/th (atau 3%
per 3 bulan) memiliki bunga efektif:
EAR = [1+(3/(100 - 3)]4 - 1 = 12,96%
 Add-on Interest
Pendekatan ini biasanya digunakan pada kredit mobil atau sepeda motor yang dikenal dengan
istilah dikalangan praktisi bunga flat yang artinya bunga dihitung dari saldo utang awal. Cara
menghitung bunga secara Add-On adalah: bunga nominal per tahun dikalikan jumlah utang.
Bunga ini kemudian ditambahkan pada utang untuk memperoleh total utang. Misalnya kita
membeli mobil seharga Rp 100 juta secara kredit dengan bunga Add-On atau bunga flat
12%/th, pembayaran dilakukan setiap bulan dengan jumlah yang sama selama 12 bulan.
Setiap bulan kita harus membayar (Rp 100 juta + Rp 12 juta)/12 bulan = Rp 9,33 juta. Jelas
kita dirugikan karena harus membayar bunga yang dihitung dari jumlah utang awal, bukan
saldo utang (ingat bahwa jumlah utang kita berkurang dari bulan ke bulan, sehingga bunga
yang dibayar seharusnya berkurang juga). Artinya bunga Add-On ini jika dihitung secara
efektif (yang benar-benar dirasakan peminjam) akan lebih tinggi. Dikalangan praktisi, bunga
efektif sering juga disebut bunga menurun. Bunga menurun akan lebih besar dari bunga flat.
Bagaimana menghitung bunga efektif atau bunga yang sebenarnya ditanggung peminjam
yang dikenai bunga Add-On?
Bunga efektif dari bunga Add-On (pendekatan):

Effective Annual Rate = [Bunga/(jumlah utang diterima/2)]


Contoh:

Add-On = 12%/th, jumlah utang Rp 100 juta, EAR = [12 juta/(100 juta/2)] = 24%

- Secara tepat bunga efektif dari bunga Add-On dapat dicari dengan menguhitung IRR
(internal rate of return)
Contoh: bunga Add-On 12%, pinjaman Rp 100 juta, pembayaran per bulan selama 12 bulan.
Jumlah cicilan: (Rp 100 juta + Rp 12 juta)/12 = Rp 9,33 juta per bulan. Memperoleh Rp 100 juta
hari ini dan harus membayar Rp 9,33 juta selama 12 bulan. Arus kasnya dapat digambarkan sebagai
berikut:
0 1 2 3 12
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
100 9,33 9,33 9,33 9,33

PVA = PMT (PVIFA, k, n)


100 = 9,33 (PIFA, k, 12)
k = 1,788%
IRR dari arus kas ini adalah 1,788%/bulan. 4
EAR per tahun = [1+0,01788]12 - 1 = 23,7%
6.8. Latihan Pendanaan Modal Kerja

Soal ESSAY
1. Ligure Jewelers has seasonal financing needs that vary from $250,000 to $2,725,000.
The permanent financing requirement is $4,100,000. Check the appropriate box
indicating the better strategy for each of the following events.

Aggressive Conservative
Event Financing Strategy Financing Strategy
1. Due to high
inflation, short-
term interest rates
are much higher than
long-term rates.

2. Sales revenue is
unpredictable.
3. The firm has
a large
proportion of its
assets in
fixed assets.

4. The average
seasonal financing
need is $1,000,000.

5. The average
seasonal financing
need is $2,000,000.

FIGURE 1503

Ace Business Forms

Current Fixed Total


Month Assets Assets Assets

January $125,000 $250,000 $375,000


February 130,000 250,000 380,000
March 135,000 250,000 385,000
April 150,000 250,000 400,000
May 150,000 250,000 400,000
June 125,000 250,000 375,000
July 115,000 250,000 365,000
August 120,000 250,000 370,000
September 115,000 250,000 370,000
October 100,000 250,000 350,000
November 110,000 250,000 360,000
December 115,000 250,000 365,000

2. Ace Business Forms has compiled several factors relative to its financing mix. The firm
pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term funds. The firm's
monthly current, fixed and total asset requirements for the previous year are summarized
in Figure 1503.
Determine:
a. the monthly average permanent funds requirement
b. the monthly average seasonal funds requirement
c. the annual financing costs (aggressive strategy)
d. the annual financing costs (conservative strategy)
3. Ace Business Forms pays 8 percent on short-term funds and 10 percent on long-term
funds. Determine its annual financing costs using the trade-off strategy described: Ace
Business Forms has seasonal financing requirements ranging from zero to $50,000 per
month. Based on this range, the firm has decided to finance $25,000 per month of the
seasonal funds with long-term debt and the rest of the seasonal funds with short-term
debt. The permanent funds requirement will be financed with long-term funds. (See
Figure 1503.)

4. Studio One, a dealer in contemporary art, has forecasted its seasonal financing needs for
the next six months as follows:

Month Seasonal requirement

January $1,450,000
February 1,895,000
March 2,000,000
April 1,575,000
May 1,342,000
June 1,562,000

 The firm projects short-term funds will cost 11 percent and long-term funds will
cost 13 percent annually.
 The firm's permanent funds requirement is $500,000.

Calculate financing costs for the first six months using the aggressive and conservative
strategies.
5. Tim's Sons Company is interested in making sure they have enough money to finance
their assets. The company's current assets and fixed assets for the months of January
through December are given in the following table.

Month Current Assets Fixed Assets Total Assets

January $60,000 $70,000 $130,000


February 58,000 70,000 128,000
March 55,000 70,000 125,000
April 47,000 70,000 117,000
May 40,000 70,000 110,000
June 41,000 70,000 111,000
July 40,000 70,000 110,000
August 37,000 70,000 107,000
September 38,000 70,000 108,000
October 33,000 70,000 103,000
November 40,000 70,000 110,000
December 50,000 70,000 120,000
a. Find the average monthly seasonal and permanent funds requirement.
b. What is the total cost of financing under the aggressive and conservative
strategies. Assume short-term funds costs 4.5% and the interest rate for long-term
funds is 12%.
c. Find the net working capital under the aggressive and conservative strategies.

6. ProntoPak Rapid Delivery Service is analyzing the credit terms of each of three
suppliers, A, B, and C.

Supplier Credit Terms

A 1/15 net 40
B 2/10 net 30
C 2/15 net 35

a. Determine the approximate cost of giving up the cash discount.


b. Assuming the firm needs short-term financing, recommend whether or not the
firm should give up the cash discount or borrow from the bank at 10 percent
annual interest. Evaluate each supplier separately.

7. Mime Theatrical Supply is in the process of negotiating a line of credit with two local
banks. The prime rate is currently eight percent. The terms follow:

Bank Loan Terms

1st National 1% above prime rate on a discounted basis and a 20 percent


compensating balance on the face value of the loan.
2nd National 2% above prime rate and a 15 percent compensating balance.

a. Calculate the effective interest rate of both banks.


b. Recommend which bank's line of credit Mime Theatrical Supply should accept.

8. General Aviation has just sold an issue of 30-day commercial paper with a face value of
$5,000,000. The firm has just received $4,958,000. What is the effective annual interest
rate on the commercial paper?

9. A&A Apple Company would like to manufacture and market a new packaging. A&A
has sold an issue of commercial paper for $1,500,000 and maturity of 90 days to finance
the new project. Compute the annual interest rate on the issue of commercial paper if the
value of the commercial paper at maturity is $1,650,000.

10. A&A Company purchased a new machine on October 20th, 1999 for $1,000,000 on
credit. The supplier has offered A&A terms of 2/10, net 45. The current interest rate the
bank is offering is 16 percent.
a. Compute the cost of giving up cash discount.
b. Should the firm take or give up the cash discount?
c. What is the effective rate of interest if the firm decides to take the cash discount
by borrowing money on a discount basis?

11. Giant Feeds, Inc. is considering obtaining funding through advances against receivables.
Total annual credit sales are $600,000, terms are net 30 days, and payment is made on the
average of 30 days. Western National Bank will advance funds under a pledging
arrangement for 13 percent annual interest. On average, 75 percent of credit sales will be
accepted as collateral. Commodity Finance offers factoring on a nonrecourse basis for a
1 percent factoring commission, charging 1.5 percent per month on advances and
requiring a 15 percent factor's reserve. Under this plan, the firm would factor all
accounts and close its credit and collections department, saving $10,000 per year.
a. What is the effective interest rate and the average amount of funds available under
pledging and under factoring?
b. Which plan do you recommend? Why?
Bab VII

Analisis Laporan Keuangan

Pengelolaan perusahaan akan berkaitan dengan kinerja suatu organisasi. Laporan keuangan
bisa menjadi gambaran pengelolaan kinerja keuangan. Apabila laporan keuangan memperoleh
kinerja baik, maka diharapkan kinerja perusahaan melaui nilai perusahaan akan meningkat. Nilai
perusahaan yang meningkat berarti ada peningkatan kekayaan pemegang saham. Hal ini
menunjukkan bahwa tujuan perusahaan tercapai.
Perusahaan harus melaporkan kinerja kepada stakeholder , dan dibuatlah laporan yang
berstandar yaitu laporan keuangan sesuai ketentuan standar akuntansi Indonesia, bagi
perusahaan publik memiliki stakeholders yang bervariasi seperti: pemegang saham, pemegang
obligasi, banker, kreditur, supplier, karyawan dan manajemen. Para stakeholders perlu
mengetahui bagaimana kinerja perusahaan. Untuk itu mereka bergantung pada laporan keuangan
perusahaan yang diumumkan secara periodik untuk menyediakan informasi mendasar tentang
kinerja keuangan perusahaan. Perusahaan pada setiap aktivitas akan mencatatkan dalam suatu
laporan, dan salah satu laporan yang dibuat adalah laporan keuangan. Laporan keuangan dapat
dibagi dua yaitu balance sheet atau neraca dan income statement atau laporan rugi laba. Laporan
keuangan yang dianalisis adalah (1) laporan rugi laba (income statement), dan (2) neraca
(balance sheet).
Mempelajari bagaimana menggunakan informasi pada laporan keuangan untuk menganalisis
kinerja perusahaan dan kondisi keuangan saat ini sangatlah penting. Diharapkan setelah
menganalisis informasi keuangan akan dapat: (1) menghitung dan menginterpretasikan ukuran-
ukuran utang, likuiditas, profitabilitas, manajemen aktiva dan penilaian pasar perusahaan, serta
(2) menggunakan formula Du Pont untuk memahami determinan keuntungan perusahaan pada
aktiva dan modal sendiri.

7.1. NERACA (BALANCE SHEET)


Neraca memperlihatkan gambaran tentang aktiva dan sumber-sumber keuangan untuk
membeli aktiva tersebut pada suatu saat . Nearca terdiri atas 2 sisi: (1) aktiva yang menunjukkan
aktiva yang dimiliki oleh perusahaan, dan (2) pasiva yang menunjukkan dari mana dana untuk
memperoleh aktiva tersebut. Sisi aktiva terdiri atas aktiva lancar (current assets) dan aktiva tetap

155
(fixed assets). Sisi pasiva terdiri atas hutang lancar (current liabilities), hutang jangka panjang
(long-term debt) dan modal sendiri pemegang saham (shareholders equity).
Contoh suatu neraca disajikan dibawah ini.

NERACA PT Melati
31 Desember 2010
(dalam jutaan rupiah)
Aktiva Pasiva
Aktiva lancar Utang lancar
Kas & surat berharga Utang wesel
Piutang Utang dagang
Persediaan Utang lainnya
Aktiva lancar lainnya
Total Kativa lancar Total utang lancar
Utang jangka panjang
Aktiva tetap
Gedung, tanah, perlengkapan Modal sendiri pemegang saham
Kurangi akumulasi depresiasi Saham biasa & modal disetor
Aktiva tetap bersih Laba ditahan
Aktiva lainnya
Total aktiva Total utang & modal sendiri

7.2. NILAI BUKU DAN NILAI PASAR

Laporan akuntansi biasanya mencatat aktiva di neraca berdasarkan harga perolehannya


(historical cost) yang telah disesuaikan dengan depresiasi. Nilai ini disebut nilai buku (book
value). Perbedaan antara nilai buku dan nilai pasar akan menjadi semakin besar pada modal
sendiri pemegang saham. Nilai buku modal sendiri mencatat uang tunai yang disetor oleh
pemegang saham di masa lalu ditambah uang tunai dana laba ditahan. Nilai buku modal sendiri
ini biasanya berbeda dari nilai pasar yang sebesar jumlah lembar saham beredar dikali harga
pasar per lembar saham. Pemegang saham lebih memperhatikan nilai pasar karena mereka dapat
menjual sahamnya pada harga ini.

Sebagai alternatif dari neraca nilai buku, dapat dibuat neraca nilai pasar (market value
balance sheet). Pada neraca ini , semua item pada sisi aktiva maupun pasiva dihitung berdasarkan
harga pasar sekarang. Perbedaan antara nilai pasar aktiva dan nilai pasar utang adalah nilai pasar
modal sendiri. Sedangkan harga saham adalah nilai pasar modal sendiri dibagi dengan jumlah
lembar saham yang beredar.

V=D+E
V = Value of the firm (nilai perusahaan)
D = Debt (utang perusahaan)
E = Equity (modal sendiri)
Jika V - D, kita dapatkan E
Contoh:
Mendirikan perusahaan baru senilai Rp 10 milyar dengan dana Rp 4 milyar berasal dari Utang
dan Rp 6 milyar dari modal sendiri (menjual saham biasa baru). Jumlah lembar saham yang
beredar adalah 1 juta, sehingga nilai buku per lembar saham adalah Rp 6 milyar dibagi 1 juta,
sebesar Rp 6.000,-/lembar saham. Misalkan saham tersebut memilkiki harga pasar Rp 7.500,-
/lembar.

Neraca Nilai Buku


(dalam milyar Rp)
Aktiva Pasiva
Pabrik 10 Utang 4
Modal sendiri 6
10 10
Neraca Nilai Pasar
(dalam milyar Rp)
Aktiva Pasiva
Pabrik 11,5 Utang 4
Modal sendiri 7,5
11,5 11,5

7.3. LAPORAN RUGI-LABA (INCOME STATEMENT)

Laporan keuangan berikutnya yang penting bagi perusahaan , yaitu Laporan Rugi-Laba
adalah laporan keuangan yang memperlihatkan penghasilan,biaya dan pendapatan bersih dari
suatu perusahaan selama suatu periode waktu. Contoh suatu laporan Rugi-Laba:

Laporan Rugi-Laba PT Melati 20x1


(dalam jutaan Rp)
Penjualan 1.000
Harga pokok penjualan 400
Laba kotor 600
Biaya lain-lain 200
Depresiasi 100
Laba bersih sebelum bunga & pajak (EBIT) 300
Biaya bunga 50
Laba bersih sebelum pajak (EBT) 250
Pajak (10%) 25
Laba bersih sesudah pajak (EAT) 225
Alokasi EAT:
- Tambahan laba ditahan 200
- Dividen 25

Laba atau profit menurut akuntansi berbeda dari arus kas (cash flow). Setidaknya ada 3
alasan untuk mendukung pernyataan ini.
- Pertama, akuntansi biasa membagi pembayaran tunai (cash payment) menjadi: (1) current
expenditure, misalnya gaji, dan (2) capital expenditure, misalnya pembelian mesin.
Current expenditure akan mengurangi current profit tetapi capital expenditure dibagi
sepanjang usia aktiva tersebut dalam bentuk depresiasi. Akuntansi tidak mengurangi
penghasilan dengan pengeluaran untuk membeli mesin baru yang terjadi pada tahun tersebut,
meskipun sebenarnya ada arus kas keluar. Sebaliknya akuntan mencatat adanya pengeluaran
sebesar biaya depresiasi dari pembelian mesin tahun lalu yang sebenarnya tidak ada
pengeluaran kas pada tahun ini. Oleh karena itu, dalam menghitung arus kas kita harus
mengembalikan biaya depresiasi (yang bukan cash payment) dan mengurangi laba dengan
pengeluaran pada aktiva baru (yang merupakan cash payment)
- Kedua, pertimbangkan kondisi berikut: pada periode 1 perusahaan memproduksi barang yang
dijual pada periode 2 dan dibayar pada periode 3. Akuntan akan mencatat adanya penjualan
pada periode 2 di laporan rugi-laba dan ada tambahan piutang di neraca. Pada periode
berikut, meskipuntidak ada penjualan, piutang berkurang dan perusahaan menerima uang
tunai. Untuk menghitung arus kas:

Periode 2 3
Penjualan 100 0
- Perubahan piutang 100 (100)
= Penerimaan kas 0 +100

- Ketiga, akuntansi biasanya menyesuaikan periode pengeluaran biaya dengan periode


pendapatan dari penjualan agar dapat dihitung labanya (konsep accrual accounting).
Misalnya, biaya Rp 60,- terjadi pada periode 1 dan baru terjadi penjulan Rp 100,- pada
periode 2. Akuntansi akan mencatat keduanya menjadi satu pada periode 2.
Tentu saja akuntansi tidak bisa mengabaikan pengeluarann pada periode 1. Mereka
mencatatnya sebagai investasi pada persediaan. Pada periode 2, setelah barang terjual,
investasi berkurang. Oleh karena itu, untuk menghitung arus kas:

Periode 1 2
Harga pokok Penjualan 0 60
+ Perubahan pada persediaan 60 (60)
- Arus kas keluar +60 0

7.4. RASIO KEUANGAN (FINANCIAL RATIOS)


Rasio keuangan didisain untuk memperlihatkan hubungan antara item-item pada laporan
keuangan (neraca dan laporan rugi-laba). Ada 5 jenis rasio keuangan:
1. Leverage ratios / Debt ratios, memperlihatkan berapa utang yang digunakan perusahaan.
2. Liquidity ratios, mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
yang jatuh tempo
3. Efficiency atau Turnover atau Asset Management ratios, mengukur seberapa efektif
perusahaan mengelola aktivanya
4. Profitability ratios, mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba
5. Market-Value ratios, memperlihatkan bagaimana perusahaan dinilai oleh investor di pasar
modal

Leverage

1. Debt Ratio =

Mengukur proporsi dana dari utang. Semakin rendah semakin aman.

2. Time Interest Earned Ratio =

Mengukur kemampuan EBIT (Earning Before Interest and Tax) membayar bunga

3. Cash Coverage Ratio =

Mengukur kemampuan EBIT ditambah dana dari depresiasi untuk membayar bunga.

Liquidity

1. Current Ratio =

Mengukur kemampuan aktiva lancar membayar hutang lancar

2. Quick Ratio atau Acid Test Ratio =

Seperti current ratio tetapi persediaan tidak diperhitungkan karena kurang likuid.
3. Cash Ratio =

Kemampuan kas dan surat berharga menutup utang lancar

Efficiency

1. Inventory Turnover Ratio =

Mengukur perputaran

persediaan

2. Days Sales Outstanding (DSO) =

Rata-rata waktu untuk menerima kas dari penjualan

3. Fixed Asset Turnover =

Mengukur efektifitas penggunaan aktiva tetap

4. Total Asset Turnover =

Mengukur efektifitas penggunaan seluruh aktiva

Profitability

1. Return on Assets (ROA) =

2. Return on Equity (ROE) =

3. Net profit margin atau Profit margin on Sales =

4. Basic Earning Power (BEP) =

Market-Value
1. Price-Earnings Ratio (PER) =

2. Dividend Yield =

3. Market to book Ratio =

7.5. COMPARATIVE ANALYSIS DAN TREND ANALYSIS


Melakukan evaluasi kinerja keuangan dengan menganalisis laporan keuangan, outputnya
disebut sebagai rasio keuangan yang dihitung dari laporan keuangan perusahaan pada satu tahun
saja tidak akan memberikan informasi memadai. Untuk memperoleh informasi yang lebih
banyak, kita dapat: (1) membandingkan rasio keuangan perusahaan dengan rasio keuangan
industri (comparative analysis), dan (2) membandingkan rasio keuangan perusahaan dari waktu
ke waktu (trend analysis).
Analysis perbandingan atau melakukan comparative analysis yaitu mencari data laporan
keuangan industry atau menghimpun perusahaan-perusahaan sejenis. Misalnya, PT Anggrek
Semerbak akan membandingkan dirinya dengan kinerja keuangan perusahaan-perusahaan atau
industry bunga hias lainnya di Indonesia. Data industri yang digunakan dalam comparative
analysis adalah rata-rata rasio keuangan dari seluruh perusahaan yang ada pada industri tersebut.
Membandingkan rasio keuangan perusahaan dengan rasio keuangan industri, dapat dilakukan
untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan saat ini. Misalnya rata-rata rasio profitabilitas
ROA industri adalah 30% sedangkan rasio ROA perusahaan adalah 10%. Bisa disimpulkan
bahwa kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba jauh dibawah kompetitor . Comparative
analysis bisa dianalogikan dengan seorang mahasiswa yang membandingkan nilai manajemen
keuangan dengan rata-rata nilai manajemen keuangan mahasiswa seangkatannya. Jika nilainya
adalah 7 sedangkan rata-rata nilai adalah 8,5 maka bisa dikatakan kinerjanya kurang baik. Atau
jika nilainya adalah 9 sedangkan rata-rata nilai adalah 8,5 maka bisa dikatakan kinerjanya cukup
bagus, karena berada diatas rata-rata.
Trend analysis adalah pendekatan yang menggunakan perbandingan rasio keuangan
perusahaan dari waktu ke waktu (misal, dari tahun ke tahun). Jika trend membaik disimpulkan
bahwa kinerja keuangan perusahaan relative baik, demikian sebaliknya. Pendekatan ini lebih
mudah jika dibandingkan dengan comparative analysis karena tidak memerlukan data industry
sebagai benchmark atau pembanding. Misalnya current ratio perusahaan meningkat dari tahun ke
tahun, maka dikatakan bahwa kondisi likuiditas perusahaan relative baik. Pendekatan ini dapat
dianalogikan dengan seorang mahasiswa yang membandingkan Indeks Prestasinya dari semester
ke semester.
Kedua pendekatan tersebut dapat digunakan bersama untuk memperoleh gambaran yang
lebih jelas mengenai kinerja keuangan suatu perusahaan. Gabungan kedua pendekatan ini akan
memberikan:
1. Trend rasio keuangan perusahaan dari waktu ke waktu
2. Trend rasio keuangan industri dari waktu ke waktu
3. Informasi apalah rasio keuangan perusahaan pada waktu tertentu berada di atas, sama dengan
atau di bawah rasio keuangan industri.

ROE

Industri x

`94 `95 `96 `97 `98

Profitabilitas perusahaan “X” semakin berada dibawah profitabilitas industri, namun trend
profitabilitas bagus karena meningkat terus hingga mendekati industri.

ROE

Industri

`94 `95 `96 `97 `98

Profitabilitas perusahaan “Y” semakin menurun walaupun pada tahun 1994-1996 masih
berada diatas industri. Kondisi perusahaan ini kurang baik karena trend negatif serta ROA tahun
1997 sudah berada di bawah industri.

7.6. COMMON SIZE DAN DU PONT ANALYSIS


Pada common size analysis, seluruh item pada laporan rugi-laba dibagi dengan penjualan dan
seluruh item pada neraca di bagi dengan aktiva total. Keuntungan dari common size analysis
adalah kemungkinan untuk membandingkan neraca serta laporan Rugi-Laba dari waktu ke waktu
antara beberapa perusahaan.
Seperti pada analisis rasio keuangan, common size analysis juga harus dibandingkan dengan
rasio industri (comparative analysis) maupun dibandingkan dari waktu ke waktu (trend analysis)
Du Pont analysis memperlihatkan bagaimana hutang, perputaran aktiva dan profit margin
dikombinasikan untuk menentukan Return on Equity (ROE). Du Pont System memecah ROE
dan ROA menjadi berbagai rasio lainnya. Sistem yang dikembangkan oleh Du Pont, perusahaan
bahan kimia, ini sangat bermanfaat memberikan gambaran tentang kondisi keuangan suatu
perusahaan.
Perhatikan gambar “Modified Du Pont Chart” berikut ini.

MODIFIED DU PONT CHART


ROE

ROA Assets/Equity

Profit Margin Total Asset Turnover

Sales Net Income Total Asset Sales

Total Costs Sales Total Assets Total Assets

Keterangan:
- Bagian kiri dari grafik menentukan profit margin pada penjualan. Berbagai biaya didaftar dan
membentuk total cost. Jika penjualan dikurangi toral costs menghasilkan Net Income. Jika
Net Income dibagi sales kita dapatkan profit margin.
- Bagian kanan dari grafik mendaftar berbagai aktiva, yang jika dijumlah akan kita peroleh
aktiva total. Ika penjualan dibagi aktiva total, kita peroleh Total Asset Turnover.
- Bila profit margin dikalikan total asset turnover akan menghasilkan return on asset
(ROA) Persamaan ini disebut Du Pont equation

ROA = (Profit margin) (Total Asset


Bila ROA dikalikan rasio total assets-equity (disebut equity multiplier), akan menghasilkan
return on equity (ROE).

ROE= (ROA) (Equity multiplier)


=

atau
ROE =xx

dimana:
1. Profit margin memperlihatkan pengawasan terhadap biaya
2. Total assets turnover memperlihatkan efektifitas penggunaan aktiva
3. Equity multiplier memperlihatkan efektifitas penggunaan hutang

1. CONTOH SOAL
Perhatikan laporan keuangan PT MURAI BATU sebagai berikut:

Tabel 24.4 Neraca per 31 Desember (dalam jutaan Rp)

Aktiva 1997 1996 Pasiva 1997 1996


Kas 1.000 1.100 Hutang dagang 1.200 600
Sekuritas 0 500 Hutang wesel 2.000 1.200
Piutang 7.000 6.300 Upah terhutang 200 200
Persediaan 6.000 4.300 Pajak terhutang 2.600 2.400
Total Aktiva lancar 14.000 12.200 Total hutang lancar 6.000 4.400

Tanah dan gedung 36.000 29.400 Hutang jangka panjang 16.000 11.600
Kurangi depresiasi 10.000 8.000
Tanah dan gedung bersih 26.000 21.400 Modal sendiri 2.000 2.000
Saham preferen (1 juta lembar,
nilai nominal 2.000)
Saham biasa (50 juta lembar, 1.000 1.000
nilai nominal 20)
Tambahan modal disetor 1.800 1.800
Laba ditahan 13.200 12.800
Total modal sendiri dari saham 16.000 15.600
Biasa
Total modal sendiri 18.000 17.600
Total aktiva 40.000 33.600 Total Pasiva 40.000 33.600

Tabel 24.5 Laporan Rugi-laba (dalam jutaan rupiah)

1997 1996
Penjualan bersih 60.000 57.000
Biaya dan k as:
Tenaga kerja dan bahan baku 50.880 48.260
Depresiasi 2.000 1.800
Penjualan 440 400
Administrasi dan umum 800 700
Pembayaran leasing 360 360
Total biaya 54.680 51.720
Laba bersih sebelum bunga & pajak (EBIT) 5.320 5.280
Kurangi biaya bunga:
Bunga pada hutang wesel 160 40
Bunga pada hutang jangka panjang 1.160 900
Total bunga 1.320 940
Laba bersih sebelum pajak (EBT) 4.000 4.340
Pajak (40%) 1.600 1.740
Penghasilan bersih sebelum dividend saham preferen 2.400 2.600
Dividen saham preferen 200 200
Penghasilan bersih tersedia untuk pemegang saham biasa 2.200 2.400
Pembagian penghasilan bersih
Dividen saham biasa 1.800 1.600
Tambahan laba ditahan 400 800

Tabel 24.6 Perubahan pada Neraca (dalam jutaan rupiah)

Neraca Perubahan
31/12/97 31/12/96 Sumber Penggunaan
Kas 1.000 1.100 100
Sekuritas 0 500 500
Piutang 7.000 6.300 700
Persediaan 6.000 4.300 1.700
Tanah & Gedung 36.000 29.400 6.600
Depresiasi 10.000 8.000 2.000
Hutang dagang 1.200 600 600
Hutang wesel 2.000 1.200 800
Upah terhutang 200 200
Pajak terhutang 2.600 2.400 200
Hutang jangka panjang 16.000 11.600 4.400
Saham preferen 2.000 2.000
Saham biasa 1.000 1.000
Tambahan modal disetor 1.800 1.800
Laba ditahan 13.200 12.800 400
9.000 9.000
Tabel 24.7 Laporan Arus Kas (dalam jutaan rupiah)

Arus kas dari operasi


Penghasilan bersih 2.400
Tambahan (sumber kas):
Depresiasi 2.000
Kenaikan pada hutang dagang 600
Kenaikan pajak terhutang 200
Pengurangan (penggunaan kas)
Kenaikan pada piutang (700)
Kenaikan pada persediaan (1.700)
Arus kas bersih dari operasi 2.800
Arus kas dari kegiatan investasi

(a) Leverage ratios:


(1) Debt ratio =
. = 55%
1997 : .
. = 47,6%
1996 : .

(2) Time Interest Earned Ratio =


.
1997 :
=4x
.
1996 : .
. = 5,6 x
(3) Cash Coverage Ratio =
.
. = 5,5 x
1997 :
.
. .
1996 : = 7,5 x
.

(b) Liquidity ratios:


(1) Current ratio =
.
1997 : = 2,3 x
.
.
1996 : = 2,7 x
.

(2) Quick Ratio =


= 1,3 x
.– .
1997 : .
1996 : . –.
= 1,8 x
.
(3) Cash ratio =

.
1997 : . = 16,7%
.
1996 : . = 25%

(c) Efficiency Ratios:


(1) Inventory Turnover Ratio =

1997 : .
= 10 x
.
1996 : .
= 13,3 x
.
(2) Days Sales Outstanding (DSO) = x 360

1997 : .
= 42 hari
./
.
1996 : ./ 39,8 hari
(3) Fixed Asset
Turnover =
.
1997 :
. = 2,3 x
.
1996 : = 2,7 x
.

(4) Total Asset Turnover =


.
1997 :
. = 1,5 x
.
1996 :
. = 1,7 x

(d) Profitability ratios:


)
(1) Return on Assets (ROA) = ∗
*) Eat: Laba bersih sesudah pajak, dan setelah dividen saham preferen dibayarkan.
.
1997 : = 5,5%
.
.
1996 : = 7,1%
.
(2) Return on Equity (ROE) = ∗)

*) Modal sendiri dari saham biasa


1997 : .
= 13,8%
.
1996 : .
= 15,4%
.
(3) Net Profit Margin = ∗)

1997 : .
= 3,7”%
.
1996 : .
= 4,2%
.
(4) Basic Earning Power (BEP) =

1997 : .
= 13,3%
.
1996 : .
= 15,7%
.

(e) Market – value ratios:


(1) Price – Earning Ratio (PER) =
Misalnya harga saham perusahaan pada 31/12/1996 dan 31/12/1997 adalah masing-
masing Rp 580,-/lembar dan Rp 570,-/lembar.
Earning per share (EPS) =

1997 : ...
= Rp 44,-/lembar
..
1996 : ...
.. = Rp 48,-/lembar

Price Earning Ratio (PER) =

1997 : = 12,9 x

1996 : = 12,1 x
()
(2) Dividend Yield =
...
DPS 1997 = .. = Rp 36,-/lembar
...
DPS 1996 = .. = Rp 32,-/lembar
Dividend Yield 1997 = = 6,3%
Dividend Yield 1996 = = 5,5%

(3) Market to Book Ratio =

Nilai buku per saham =

Nilai buku per saham 1997 = . ..


= Rp 320,-/lembar
..
...
Nilai buku per saham 1996 = = Rp 312,-/lembar
..
Market to Book Ratio 1997 = = 1,8 x

Market Book to Ratio 1996 = = 1,9 x

(f) Rangkuman dari analisis terhadap rasio keuangan disajikan pada tabel berikut:
Tabel 24.8 PT MURAI BATU: Rangkuman Rasio Keuangan

Rasio 1996 1997 Rata-rata Komentar


Industri 1997
I. Leverage
1. Debt ratio 47,6% 5,5% 42% Sangat trend tinggi (buruk) jelek
2. Time Interest Earned, Ratio 5,6 x 4x 6,3 x Sangat rendah (buruk) trend jelek
3. Cash Coverage Ratio 7,5 x 5,5 x 8,1 x Sangat rendah (buruk) trend jelek
II. Liquidity
4. Current Ratio 2,8 x 2,3 x 2,6 x Sedikit rendah (buruk) trend jelek
5. Quick Ratio 1,8 x 1,3 x 1,1 x Cukup tinggi (baik), tapi trend jelek
6. Cash Ratio 25% 16,7% 15% Cukup besar (baik), tapi ternd jelek
III.Efficiency
7. Inventory Turnover Ratio 13,3 x 10 x 9x Cukup tinggi (baik), tapi trend jelek
8. Days Sales Outstanding 39,8 hari 42 hari 36 hari Cukup lama (buruk), trend jelek
9. Fixed Asset Turnover 2,7 x 2,3 x 3x Rendah (buruk), trend jelek
10. Total Asset Turnover 1,7 x 1,5 x 1,9 x Rendah (buruk), trend jelek
IV.Profitability
11. Return On assets (ROS) 7,1% 5,5% 10% Sangat rendah (buruk), trend jelek
12. Return On Equity (ROE) 15,4% 13,8% 16,1% Rendah (buruk), trend jelek
13. Net Profit Margin 4,2% 3,7% 5% Rendah (buruk), trend jelek
14. Basic Earning Power 15,7% 13,3% 17,5% Sangat rendah (buruk), trend jelek
V. Market Value
15. Price Earning Ratio (PER) 12,1 x 13 x 13,5 x Sedikit rendah, trend naik
16. Dividend Yield 5,5% 6,3% 7% Sedikit rendah, trend naik
17. Market to Book Ratio 1,9 x 1,8 x 2,2 x Rendah, trend turun

(g) Du Pont Analysis (Tahun 1997)


ROA = (Profit Margin) (Total Assets Turnover)
= x
= (3,7%) (1,5) = 5,5%
ROE = (ROA)(Equity Multiplier)
=
= (5,5%) (40.000/16000)
= 13,8%
ROE = (Profit Margin) (Total Assets Turnover) (Equity Multiplier)
=

=
= (3,7%) (1,5) (2,5) = 13,8%
Jika dibandingkan dengan ROE rata-rata industri: ROE (industri) = (5,1%) (1,8) (1,67)
= 15,3% nampak bahwa:
- Profit margin di bawah rata-rata industri, artinya pengawasan terhadap biaya kurang
baik
- Total Asset Turnover dibawah rata-rata industri, artinya pemanfaatan aktiva
perusahaan belum maksimal
- Equitty Multiplier lebih tinggi dari rata-rata industri, artinya dapat memanfaatkan
hutang. Tingkat hutang lebih tinggi dari industri sehingga perusahaan menanggung
lebih banyak risiko.

(h) Common Size Analysis


Tabel 24.9 Neraca PT. MURAI BATU (persentase dari Penjualan)

Aktiva 1996 1997 Rata-rata Industri 1997


Kas 3% 2% 2%
Sekuritas 1 0 1
Piutang 19 18 13
Persediaqan 13 15 20
Total Aktiva lancar 36% 35% 36%
Tanah & Gedung 88 90 85
Kurangi Depresiasi 24 25 21
Tanah & Gedung bersih 64% 65% 64%
Total aktiva 100% 100% 100%
Pasiva
Hutang dagang 2% 3% 4%
Hutang wesel 4 5 3
Upah terhutang 1 0 0
Pajak terhutang 7 6 7
Total hutang lancar 13% 15% 14%
Hutang jangka panjang 35% 40% 26%
Modal sendiri dari saham preferen 6% 5% 0
Modal sendiri dari saham biasa 46% 40% 60%
Total modal sendiri 52% 45% 60%
Total pasiva 100% 100% 100%

Tabel 24.10 Laporan Rugi-Laba PT MURAI BATU (persentase dari Penjualan)


1996 1997 Rata-rata bindustri 1997
Penjualan bersih 100% 100% 100%
Biaya & Kas
Tenaga kerja dan bahan baku 85% 85% 83%
Depresiasi 3 3 2
Penjualan 1 1 2
Administrasi & umum 1 1 1
Pembayaran Leasing 1 1 1
Total biaya 91% 91% 89%
Laba bersih sebelum bunga dan pajak (EBIT) 9% 9% 11%
Pembayarn bunga:
Bunga pada hutang wesel 0 0 0
Bunga pada hutang jangka panjang 1 2 1
Total biaya bunga 1% 2% 1%
Laba bersih sebelum pajak (EBT) 8% 7% 10%
Pajak (40%) 3 3 5
Laba bersih sesudah pajak 5% 4% 5%

7.7. MASALAH-MASALAH PADA ANALISIS LAPORAN KEUANGAN


- Data Pembanding
Rasio-rasio keuangan pada suatu perusahaan yang beroperasi di banyak bidang atau industri
yang berbeda sulit dicarikan data perbandingan . Pada umumnya data atau pembanding
adalah berupa angka rata-rata rasio keuangan. Kondisi rata-rata bukanlah tujuan suatu
perusahaan, oleh karena itu data pembanding yang baik bisa jadi adalah rasio keuangan
perusahaan-perusahaan papan atas pada industri tersebut.
- Efek inflasi
Inflasi mempengaruhi biaya depresiasi, biaya persediaan dan pada gilirannya akan
mempengaruhi item pada neraca maupun laba bersih. Karena alasan ini, perbandingan rasio
keuangan dari waktu ke waktu (trend) maupun perbandingan data industri yang tidak sama
waktunya dapat saja menyesatkan.
- Manajemen perusahaan dapat saja dengan sengaja memanipulasi kondisi keuangannya
menjelang penyusunan neraca. Tindakan ini disebut Window Dressing. Sebagai contoh pada
29 Desember 1996 manajemen meminjam dalam bentuk hutang 2 tahun, hasilnya dipegang
dalam bentuk kas (tunai). Tanggal 4 Januari 1997, hutang dilunasi. Tindakan ini
menyebabkan current ratio tahun 1996 nampak bagus, meskipun hanya sementara.
- Perbedaan kebijakan operasi seperti keputusan untuk menyewa (leasing) daripada membeli
aktiva, bisa jadi membawa dampak pada rasio keuangan. Informasi tentang perjanjian
leasing, rencana dana pensiun, akuisisi, kebijakan akuntansi, dll dapat dibaca pada catatan
yang menyertai laporan keuangan dan sebaiknya diperhitungkan dalam analisis.
- Sebagian perusahaan mungkin memiliki sebagian rasio yang “kurang baik” dan sebagian lagi
baik. Hal ini membuat sulit untuk menyatakan bagaimana kondisi perusahaan pada
umumnya, baik atau buruk?
7.8. Latihan Analisis Laporan Keuangan

Soal Essay
1. Ag Silver Mining, Inc. has $500,000 of earnings before interest and taxes at the year end. Interest
expenses for the year were $10,000. The firm expects to distribute $100,000 in dividends. Calculate
the earnings after taxes for the firm assuming a 40 percent tax on ordinary income.
2. At the end of 2005, the Long Life Light Bulb Company announced it had produced a gross profit of
$1 million. The company has also established that over the course of this year it has incurred
$345,000 in operating expenses and $125,000 in interest expenses. The company is subject to a 30
percent tax rate and has declared $57,000 total preferred stock dividends.
(a) How much is the earnings available for common stockholders?
(b) Compute the increased retained earnings for 2005 if the company were to declare a $4.25
common stock dividend. The company has 15,000 shares of common stock outstanding.

3. Reliable Auto Parts has 5,000 shares of common stock outstanding. The company also has
the following amounts in revenue and expense accounts.

Sales revenue $ 85,000


General and administrative expense 7,500
Interest expense 3,500
Depreciation expense 5,000
Preferred stock dividends 500
Selling expense 4,000
Cost of goods sold 50,000

Calculate
(a) gross profits.
(b) operating profits.
(c) net profits before taxes.
(d) net profits after taxes (assume a 40 percent tax rate).
(e) cash flow from operations.
(f) earnings available to common stockholders.
(g) earnings per share.
4. Colonial Furniture’s net profits before taxes for 2002 totaled $354,000. The company’s total
retained earnings were $338,000 for 2004 year end and $389,000 for 2005 year end. Colonial is
subject to a 26 percent tax rate. How large was the cash dividend declared by Colonial Furniture
in 2005?

5. On December 31, 2004, the Bradshaw Corporation had $485,000 as an ending balance for its
retained earnings account. During 2005, the corporation declared a $3.50/share dividend to its
stockholders. The Bradshaw Corporation has 35,000 shares of common stock outstanding.
When the books were closed for 2005 year end, the corporation had a final retained earnings
balance of
$565,000. What was the net profit earned by Bradshaw Corporation during 2005?
6. The Sunshine Company had a retained earnings balance of $850,000 at the beginning of 2005. By
the end of 2005, the company’s retained earnings balance was $950,000. During 2005, the company
earned $245,000 as net profits after paying its taxes. The company was then able to pay its
preferred stockholders $45,000. Compute the common stock dividend per share in 2005 assuming
10,000 shares of common stock outstanding.

7. Discuss the limitations of ratio analysis and the cautions which must be taken when reviewing
a cross-sectional and time-series analysis.
8.

Key Financial Data


Dreamscape, Inc. Industry Average
Ratio For the Year Ended For the Year Ended
(% of Sales) December 31, 2004 December 31, 2005
Cost of goods sold 74.5% 70.0%
Gross profits 25.5 30.0
Selling expense 8.0 7.0
Gen. & admin. expense 5.1 4.9
Depreciation expense 2.4 2.0
Total operating expense 15.5 13.9
Operating profits 10.0 16.1
Interest expense 1.4 1.0
Net profits before taxes 8.6 15.1
Taxes 2.4 6.0
Net profits after taxes 5.2 9.1

Income Statement, Dreamscape, Inc.


For the Year Ended December 31, 2005
Sales revenue $1,000,000
Less: Cost of goods sold 750,000
Gross profits $ 250,000
Less: Operating expenses
Selling Expense $70,000
Gen. & admin. Expense 48,000
Depreciation expense 20,000
Total operating expense $ 138,000
Operating profits $ 112,000
Less: Interest expense $ 20,000
Net profits before taxes $ 92,000
Less: Taxes $ 36,800
Net profits after taxes $ 55,200

Prepare a common-size income statement for Dreamscape, Inc. for the year ended December 31,
2005. Evaluate the company’s performance against industry average ratios and against last year’s
results.
9. In an effort to analyze Clockwork Company finances, Jim realized that he was missing the
company’s net profits after taxes for the current year. Find the company’s net profits after
taxes using the following information.
Return on total assets  2%
Total Asset Turnover  0.5
Cost of Goods Sold  $105,000
Gross Profit Margin  0.30

10. Construct the DuPont system of analysis using the following financial data for Key Wahl
Industries and determine which areas of the firm need further analysis.

Key Financial Data


Key Wahl Industries:
Sales $4,500,000
Net profits after taxes 337,500
Total assets 6,750,000
Total liabilities 3,375,000
Industry Averages:
Total asset turnover 0.71
Debt ratio 33.00%
Financial leverage multiplier 1.50
Return on total assets 6.75%
Return on equity 10.00%
Net profit margin 9.50%

11. Given the following balance sheet, income statement, historical ratios and industry averages,
calculate the Pulp, Paper, and Paperboard, Inc. financial ratios for the most recent year. Analyze its
overall financial situation for the most recent year. Analyze its overall financial situation from
both a cross-sectional and time-series viewpoint. Break your analysis into an evaluation of the
firm’s liquidity, activity, debt, and profitability.

Income Statement
Pulp, Paper and Paperboard, Inc.
For the Year Ended December 31, 2005
Sales Revenue $2,080,976
Less: Cost of Goods Sold 1,701,000
Gross Profits $379,976
Less: Operating Expenses 273,846
Operating Profits $106,130
Less: Interest Expense 19,296
Net Profits Before Taxes $86,834
Less: Taxes (40%) 34,810
Net Profits After Taxes $52,024
Balance Sheet
Pulp, Paper and Paperboard, Inc.
December 31, 2005
Assets
Cash $ 95,000
Accounts receivable 237,000
Inventories 243,000
Total current assets $ 575,000
Gross fixed assets 500,000
Less: Accumulated depreciation 75,000
Net fixed assets $ 425,000
Total assets $1,000,000
Liabilities and stockholders’ equity
Current liabilities
Accounts payable $ 89,000
Notes payable 169,000
Accruals 87,000
Total current liabilities $ 345,000
Long-term debt 188,000
Total liabilities $ 533,000
Stockholders’ equity
Common stock 255,000
Retained earnings 212,000
Total stockholders’ equity $ 467,000
Total liabilities and stockholders’ equity $1,000,000

Historical and Industry Average Ratios


Pulp, Paper and Paperboard, Inc.
Industry
Ratio 2003 2004 2005 2005
Current Ratio 1.6 1.7 — 1.6
Quick Ratio 0.9 1.0 — 0.9
Inventory Turnover 8.1 9.3 — 8.4
Average Collection Period 33 days 37 days — 39 days
Total Asset Turnover 2.3 2.2 — 2.2
Debt Ratio 60% 56% — 58%
Times Interest Earned 2.5 3.5 — 2.3
Gross Profit Margin 21% 19.7% — 20.4%
Operating Profit Margin 4.7% 4.8% — 4.7%
Net Profit Margin 1.8% 1.6% — 1.4%
Return on total assets 4.1% 3.5% — 3.08%
Return on Equity 10.3% 7.9% — 7.3%

12. Complete the balance sheet for General Aviation, Inc. based on the following financial data.
Balance Sheet
General Aviation, Inc.
December 31, 2005
Assets
Cash $ 8,005
Marketable securities —
Accounts receivable —
Inventories —
Total current assets —
Gross fixed assets —
Less: Accumulated depreciation $50,000
Net fixed assets —
Total assets —

Liabilities and Stockholders’ Equity


Accounts payable $28,800
Notes payable —
Accruals $18,800
Total current liabilities —
Long-term debts —
Total liabilities —
Stockholders’ equity
Preferred stock 2,451
Common stock at par 30,000
Paid-in capital in excess of par 6,400
Retained earnings 90,800
Total stockholders’ equity —
Total liabilities and stockholders’ equity —
Key Financial Data (2005)
1. Sales totaled $720,000.
2. The gross profit margin was 38.7 percent.
3. Inventory turned 6 times.
4. There are 360 days in a year.
5. The average collection period was 31 days.
6. The current ratio was 2.35.
7. The total asset turnover was 2.81.
8. The debt ratio was 49.4 percent.
9. Total current assets equal $159,565.
BAB XI
Penilaian Saham

11.1. Pendahuluan
Dalam hal melakukan penilaian terhadap sekuritas , sangat penting terutama bagi perusahaan yang sudah
go public. Pada perusahaan yang sahamnya dijual di bursa , harga wajar saham bisa dibandingkan dengan
hasil penilaian. Melakukan penilaian merupakan proses yang tidak mudah, banyak faktor yang harus
dipertimbangkan. Karakteristik saham yang sangat beragam sangat menentukan nilai dari suatu saham,
seperti adanya perbedaan karakteristik antara saham preferen, dengan saham biasa, dalam hal dividen
yang akan diterima oleh pemilik saham, menyebabkan nilai saham preferen berbeda dalam cara menilai
dibanding dengan saham biasa.
Bila harga saham yang di muat pada bursa lebih rendah dari hasil penilaian , maka para investor bisa
melakukan pembelian, demikian sebaliknya. Pada bagian dibawah ini akan dijelaskan bagaimana menilai
saham, baik saham preferen maupun saham biasa.

11.2. PENILAIAN SAHAM PREFEREN

Bentuk saham yang dibahas pertama yaitu saham preferen atau (preferred stock), didefinisikan
sebagai saham yang memberikan sejumlah dividen yang tetap jumlahnya dan telah dinyatakan
sebelumnya. Jadi dividen saham preferen merupakan suatu annuity, karena saham preferen tidak
memiliki tanggal jatuh tempo, maka annuity tersebut memiliki periode sampai tak terhingga (∞) atau
merupakan suatu perpetuity.


‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
P=? D D D D D D D

Nilai atau harga saham preferen merupakan present value dari seluruh dividen yang diterima.

Vps =

243
dimana:
Vps = nilai saham preferen
Dps = dividen saham preferen
Kps = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham preferen

Rumus di atas adalah rumus mencari present value dari perpetuiti.

11.3. PENILAIAN SAHAM BIASA

Bentuk saham yang kedua adalah saham biasa (common stock) berbeda dari saham preferen dalam hal
pembayaran dividen. Pada saham biasa, besarnya dividen tidak pasti dan tidak tetap jumlahnya.
Perusahaan pun tidak wajib memberikan dividen setiap tahun meskipun misalnya pada tahun tersebut
perusahaan memperoleh laba. Karakteristik ini membuat penilaian saham biasa menjadi lebih rumit
dibanding penilaian saham preferen. Seandainya investor yang membeli suatu saham biasa
bermaksud menyimpan saham tersebut sampai waktu tak terhingga (∞), maka harga atau nilai saham
tersebut dapat dihitung sebagai berikut:


‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
P=? D1 D2 D3 D4 D∞

P0 = ( + +…+ )
)( )(


D
P̂ =
(1 + K )

dimana:
P̂o = harga saham yang diharapkan
Dt = dividen periode ke t
Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham
Hasil dari saham biasa atau dividen yang akan diperoleh tidak tetap dan sulit diprediksi. Hal ini
menyebabkan penilaian saham biasa jauh lebih sulit daripada penilaian obligasi atau saham preferen.
Supaya dapat menghitung nilai suatu saham, investor harus memprediksi dividen saham biasa.
Ada 3 pendekatan:
1) zero growth model
2) Constant growth model , dan
3) Non-constant growth (variable growth model)

11.4. DIVIDEN TIDAK TUMBUH (ZERO GROWTH MODEL)

Seorang investor diasumsikan akan menerima dividen saham biasa tidak tumbuh, atau growth (g)
adalah 0, nilai saham dapat dihitung sebagai berikut:

P̂0 = + +…+ ∞
)∞
() () (

D1 = D2 = D3 = … = D∞ = D (karena g = 0)

Maka

P̂0 = + +…+ ∞
() ( )∞
()

Ini adalah sama dengan menghitung nilai saham preferen:

Contoh:
Jika saham perusahaan B diprediksi memberikan dividen sebesar Rp 100 per lembar setahun
mendatang. Calon pembeli saham tersebut mensyaratkan suatu tingkat keuntungan pada saham
sebesar 10% per tahun dan dividen diperkirakan tidak tumbuh (g=0) atau tetap Rp 100,-. Berapa
harga saham yang bersedia dibayar calon pembeli tersebut?. Berapa harga saham tersebut jika
dividen diberikan setiap 3 bulan sebesar Rp 100 dan tidak pernah tumbuh (g=0) sedangkan tingkat
keuntungan yang disyaratkan investor 12% per tahun atau 4% per 3 bulan?
Jawab:
D = 100
Kp = 0,1

P0 =

= 100/0,1 = Rp 1.000

Jika D = , Kp = ,
0,03
maka:
P0 = = = Rp 3.333,33
,

11.5. DIVIDEN TUMBUH SECARA KONSTAN

Asumsi yang digunakan bahwa dividen tidak tumbuh atau konstan adalah tidak realistis. Pada
umumnya dividen tumbuh sesuai dengan tingkat pertumbuhan perusahaan. Misalnya, diasumsikan
dividen tumbuh secara konstan dari tahun ke tahun yang berarti dividen tumbuh dengan suatu tingkat
pertumbuhan yang selalu sama atau konstan. Misalnya jika dividen tumbuh secara konstan 10% per
tahun. Jika dividen tahun ini Rp 100, maka dividen tahun depan adalah 100 (1+0,1) = Rp 110 dan
dividen tahun berikutnya adalah 110 (1+0,1) = Rp 121. Demikian seterusnya.
Asumsi dividen tumbuh secara konstan ini biasanya diterapkan pada perusahaan yang telah mapan
atau memasuki tahap kedewasaan. Untuk perusahaan yang baru biasanya pada awal-awal tahun,
tingkat pertumbuhan dividen tinggi. Setelah beberapa tahun, tingkat pertumbuhan ini menurun dan
cenderung konstan. Seandainya dividen diasumsikan tumbuh secara konstan dari waktu ke waktu,
maka nilai saham dapat dihitung sebagai berikut:

P̂0 =
+ + +... + ∞
)∞
() () ( ) (
= ( ) ( ) ( ) ( ) ∞
()
+ ()
+ )
+... + ( )∞
(


D (1 + g)
=
(1 + K )

Jika g adalah konstan, dan Ks > g, maka persamaan di atas dapat disederhanakan menjadi:
()
P0 = =

dimana:
P̂0 = nilai/harga saham biasa pada t=0
Do = dividen terakhir yang dibagikan (dividen yang telah berlalu, tidak akan kita terima jika kita
membeli saham sekarang/pada t=0)
g = growth atau tingkat pertumbuhan dividen
Ks = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham tersebut.

Model penilaian saham tersebut disebut Gordon Model untuk menghormati penemunya, Myron J.
Gordon.

Contoh:
Dividen saham A diduga akan tumbuh secara konstan dengan tingkat pertumbuhan 10% per tahun.
Dividen terakhir yang dibagikan adalah Rp 1,82. Jika investor mensyaratkan tingkat keuntungan
sebesar 16% pada saham ini, berapa harga saham A?

D0 = Rp 1,82
G = 10%
ks = 16%
()
P̂0 = =

,(, )
= ,,

= Rp 33,33
Jadi nilai saham A adalah Rp 33,33

Perlu diketahui bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dividen (g).
Pertumbuhan dividen terutama disebabkan oleh pertumbuhan pada Earning per share (EPS) atau
penghasilan per lembar saham. Pertumbuhan earning atau penghasilan perusahaan sendiri
dipengaruhi oleh: (1) inflasi, (2) jumlah penghasilan yang diinvestasikan kembali, dan (3) tingkat
keuntungan dari modal sendiri atau Return on Equity (ROE). Tingkat pertumbuhan dividen dapat
diprediksi dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
g = Plowback ratio x ROE
dimana:
g = prediksi tingkat pertumbuhan dividen
Plowback ratio = 1 -0 dividend payout ratio
ROE = Return on Equity
Asumsi model ini adalah dividend payout ratio (presentase penghasilan bersih yang dibagikan dalam
bentuk dividen) konstan.

11.6. DIVIDEN TUMBUH SECARA TIDAK KONSTAN

Pada umumnya dividen saham biasa suatu perusahaan tidak konstan tapi berubah sesuai dengan daur
hidup (life cycle) perusahaan tersebut. Pada periode awal, biasanya dividen perusahaan berubah-ubah.
Tapi begitu memasuki periode kedewasaan, pertumbuhan dividen tersebut cenderung konstan.
Beberapa tahapan dalam menghitung nilai saham biasa jika pertumbuhan dividen tidak konstan:
a) Membuat estimasi pertumbuhan dividen
b) Menghitung present value dividen selama periode dimana dividen tidak tumbuh secara konstan
c) Menghitung nilai saham pada akhir periode pertumbuhan tidak konstan
d) Jumlahkan langkah b dan c untuk mendapatkan P̂0

Contoh:
Dividen saham B diharapkan tumbuh secara konstan sebesar 30% pada 3 tahun pertama. Setelah itu
dividen akan tumbuh 10% setiap tahun untuk selamanya. Dividen terakhir yang dibayarkan adalah Rp
1,82. Berapa harga saham B jika investor mensyaratkan tingkat keuntungan pada saham tersebut
sebesar 16%?
30% 30% 30% 10% 10% 10%
0 1 2 3 4 5 ∞
‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘ ‘
D0 D1 D2 D3 D4 D5
D∞

D0 = 1,82
= D0 (1+0,30)
= 1,82 (1,3) = 2,366
D2 = 1,82 (1+0,3)2 = 3,076
D3 = 1,82 (1+0,3)3 = 3,999
D4 = D3 (1+g)
= 3,999 (1+0,10)
= 4,399
Present value dari dividen 1, 2,dan 3 adalah:

PV (D1, D2, D3) = + +


() () ( )

, , ,
= + +
(, ) (, ) (, )

= 2,040 + 2,286 + 2,562


= 6,89
Berapa present value dari dividen 4 sampai dengan dividen ∞ ? Jawabnya adalah sama dengan P̂3 atau
nilai saham tersebut pada akhir tahun ke 3 (akhir periode pertumbuhan dividen yang konstan).
3 4 5 ∞
‘ ‘ ‘ ‘ ‘
P̂3 D4 D5 D∞
Perhatikan bahwa merupakan present value (pada titk t=3) dari semua dividen dari t = ∞ sampai
dengan t = ∞. Karena dari t = 4 sampai t = ∞, dividen bertumbuh secara konstan, P̂3 dapat dihitung
dengan rumus Gordon Model.

P̂3 =

()
=
,(, )
= ,– ,

= 73,32
0 1 2 3
‘ ‘ ‘ ‘
P̂3 = 73,32
P̂3 = 73,32 adalah nilai pada saat 3 tahun mendatang oleh karena itu kita harus mencari present value
,
dari P̂3 . PV (P̂3) = (, ) = 46,97

Maka saham tersebut pada t = 0 atau P̂3 adalah:


P̂3 = PV (D1) + PV (D2) + PV (D3) + PV (D4) + . . . + PV (D∞)
= PV (D1) + PV (D2) + PV (D3) + PV (P̂3)
= 2,040 + 2,286 + 2,562 + 46,97
= 53,86
11.7. DIVIDEND YIELD DAN CAPITAL GAIN YIELD

Ada yang diharapkan investor dari pembelian saham biasa. Seandainya seorang investor bermaksud
menyimpan saham selamanya, ia mengharapkan dividen saham atau dividend yield. Jika investor
bermaksud menjual saham dikemudian hari, ia mengharapkan dividen saham dan keuntungan akibat
kenaikan harga saham Capital Gain Yield,
Keuntungan dari dividen saham disebut dividend yield dan keuntungan dari kenaikan harga saham
disebut capital gain yield. Dividend yield ditambah capital gain yield adalah tingkat keuntungan
saham atau Ks.

DY =

dimana:
DY = Dividend Yield
D1 = dividen pada periode 1
P0 = harga saham pada awal periode 1

CGY =
dimana:
CGY = Capital Gain Yield
P1 = harga saham pada akhir periode 1
P0 = harga saham pada awal periode 1

Ks = DY + CGY

dimana:
Ks = tingkat keuntungan saham
DY = Dividend Yield
CGY = Capital Gain Yield
Jika diandaikan membeli saham seperti membeli rumah untuk tujuan investasi. Penghasilan dari
investasi rumah berasal dari uang kontrak rumah dan kenaikan harga rumah. Penghasilan dari
mengontrakkan rumah sama dengan dividend yield dan penghasilan dari kenaikan harga rumah sama
dengan capital gain yield.
Berapa tingkat keuntungan untuk saham dengan pertumbuhan dividen yang konstan.

Gordon Model : P̂o =

Maka:

Ks =+ g

dimana:
K̂s = tingkat keuntungan yang diharapkan pada saham (Expected rate of return on stock)

= Dividend Yield yang diharapkan

g = Growth rate yang diharapkan = capital gain yield

Contoh:
Pada 01/01/2012, harga saham C adalah Rp 33,33 (P o). Dividen pada akhir 2012 diharapkan sebesar
Rp 2. Dividen diharapkan tumbuh secara konstan pada 10% per tahun. Berapa tingkat keuntungan
yang diharapkan pada saham C?
Jawab:

K̂s = +g

= 2/33,33 +10%
= 6% + 10%
= 16%
Dividen Yield adalah 6% dan growth rate atau capital gain yield adalah 10%

g = CGY =

Pembuktian:
0 D1 = 2 1 D2 = 2,2 2
Po P1

()
P̂1 = =

(, )
= ,– ,

= 36,67
g = CGY =

,–,
= ,

= 10%
Tingkat keuntungan untuk saham dengan dividen yang tidak tumbuh.

P̂o =

maka:

K̂s =

dimana:
K̂s = tingkat keuntungan yang diharapkan pada saham
D = dividen saham
Po = harga saham dipasar modal saat ini
Contoh:
Saham D dijual seharga Rp 11,38. Berapa tingkat keuntungan yang diharapkan investor jika saham
ini memberikan dividen yang besarnya tetap dari waktu ke waktu sebesar Rp 1,82 setiap tahun?
Jawab:

K̂s =

,
=
,

= 16%

11.8. MENENTUKAN TINGKAT KEUNTUNGAN SAHAM


Tingkat keuntungan yang diinginkan atau disyaratkan calon pembeli saham sangat tergantung pada
tingkat risiko saham tersebut. Semakin tinggi risiko saham, semakin besar tingkat keuntungan yang
disyaratkan. Tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham (required rate of return on stock) atau
Ks dapat dihitung dengan menggunakan persamaan “Security Market Line (SML)” pada Capital Asset
Pricing Model
.
Ki = KRf + (KM - KRf) . bi

dimana:
Ki = tingkat keuntungan yang disyaratkan pada saham i
KRf = suku bunga bebas risiko
KM = tingkat keuntungan portfolio pasar/indeks pasar
bi = beta saham i
Ki atau Ks besarnya sangat ditentukan oleh risiko saham tersebut yang diukur dengan beta saham
tersebut.

oo0oo
11.9. Latihan Mandiri

1. PT AHM baru saja membayarkan dividen kepada pemegang sahamnya sebesar Rp 180/lembar.
Jika tingkat keuntungan yang disyaratkan oleh investor adalah 12%, maka berapakah nilai saham
tersebut dengan asumsi sebagai berikut :
a. Perusahaan tidak mengalami pertumbuhan
b. Perusahaan tumbuh secara konstan sebesar 5%
c. Perusahaan mengalami pertumbuhan sebesar 5% pada 3 tahun pertama, kemudian tumbuh
secara konstan sebesar 4% sampai waktu yang tidak terbatas

2. Saham Adona Corp. dijual di pasar seharga Rp 2600/lembar. Dividen yang dibayarkan Adona
Corp. tahun lalu adalah Rp 195/lembar. Perusahaan ini diharapkan akan tumbuh sebesar 5%.
Berapakan nilai saham Adona Corp, jika return yang disyaratkan investor adalah 12%?

3. Bapak Samuel memilki sejumlah dana yang akan diinvestasikan pada saham PT ABC. Diketahui
bahwa tingkat pengembalian pada pasar modal adalah 11% dan SBI rate pada waktu itu adalah
sebesar 5,75%. Jika beta PT ABC adalah 1,2, maka berapakah tingkat return yang akan
disyaratkan oleh Bapak Samuel pada saham PT ABC tersebut ?
Solusi

1. Do = Rp 180/lembar
Ks = 12%

a. Pertumbuhan 0

Po = = = Rp 1500/lembar
,

b. Pertumbuhan secara konstan , g=5%

D1 = D0 x (1+g) = Rp 180 x (1+ 0,05) = Rp 189/lembar

Po = = = = Rp 2700/lembar
.. .

c. Pertumbuhan bervariasi, N=3, g1 = 5% pada tahun 1 sampai tahun 3 dan g2 = 4% pada tahun
ke 4 hingga seterusnya

D1 = D0 x (1+g1)1 = Rp 180 x (1+0.05)1 = Rp


189/lembar D2 = D0 x (1+g1)2 = Rp 180 x (1+0.05)2 =
Rp 198/lembar D3 = D0 x (1+g1)3 = Rp 180 x (1+0.05)3
= Rp 208/lembar D4 = D3 x (1+g2) = Rp 208 x (1+0.04)
= Rp 216/lembar

()
Po = ∑ () + x
( )

()
=∑ () = + + = Rp 475
(. ) ( .) (. )

= x = Rp 1.922
( ) (. ) ..

Po = Rp 475 + Rp 1.922 = Rp 2.397/lembar


Do x (1  g)
2. Po =
Ks - g

195(1  0,05)
= 0,12  0,05

= Rp 2.925

3. KM = 11%, KRf = 5,75%, bj = 1,2

Ki = KRf + (KM - KRf) . bi

= 0,0575 + (0,11-0,0575)1,2 = 0,1205 = 12,05%


BAB XII KEBIJAKAN DIVIDEN

12.1 PENDAHULUAN

Kebijakan dividen merupakan kebijakan yang penting dalam keuangan perusahaan, dan
tujuan perusahaan didirikan adalah agar perusahaan bisa tumbuh dan bertahan ditengah
persaingan yang ketat, oleh karena itu perusahaan harus bisa mengelola hasil keuntungan
perusahaan, apakah dibagikan dalam bentuk dividen atau ditahan. Dividen merupakan salah
satu produk dari kebijakan dividen, merupakan jasa yang akan diterima oleh pemegang
saham. Pemegang saham berharap memperoleh dividen dari kepersertaan modal yang
ditanamkan pada perusahaan. Sehingga tingginya dividen sangat diharapkan oleh pemegang
saham, tetapi tingginya dividen akan berpengaruh terhadap rendahnya laba ditahan
perusahaan yang akan menyebabkan perusahaan kesulitan melakukan investasi. Dan
investasi bagi perusahaan merupakan hal penting bagi perkembangan perusahaan. Adanya
investasi akan menambah sales atau penjualan dan bisa meningkatkan nilai perusahaan.

12.2 TEORI KEBIJAKAN DIVIDEN

Salah satu kebijakan perusahaan yang penting adalah kebijakan dividen, merupakan
kebijakan yang penting karena akan berpengaruh terhadap kebijakan lainnya, seperti
kebijakan pembiayaan, dan kebijakan investasi. Tujuan perusahaan adalah untuk
memperoleh profit, dalam jangka panjang perusahaan dengan profit tersebut bisa bertahan
atau survive. Oleh karena itu manajemen mempunyai 2 alternatif perlakuan terhadap profit
atau penghasilan bersih sesudah pajak (EAT) perusahaan: 1) dibagi kepada para pemegang
saham perusahaan dalam bentuk dividen, dan 2) diinvestasikan kembali ke perusahaan
sebagai laba ditahan (retained earning). Pada umumnya sebagai EAT (Earning After Tax)
dibagi dalam bentuk dividen dan sebagian lagi diinvestasikan kembali. Artinya, manajemen
harus membuat keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen. Pembuatan
keputusan tentang besarnya EAT yang dibagikan sebagai dividen ini disebut dengan
kebijakan dividen (dividend policy).

Persentase dividen yang dibagi dari EAT disebut Dividend Payout Ratio (DPR)

Persentase laba yang ditahan dari EAT adalah (1-DPR).

Terdapat tiga masalah utama yang dibicarakan dalam bab kebijakan dividen: 1) Tentang
besarnya DPR dari waktu ke waktu, secara rata-rata. 2) Tentang keharusan DPR bertumbuh
secara relatif stabil atau bervariasi menurut arus kas dan kebutuhan dana perusahaan, dan 3)
Tentang besarnya DPR yang harus ditetapkan saat ini.
Masalah lainnya, masalah kebijakan dividen adalah suatu hal yang penting dalam
mempengaruhi nilai perusahaan. Ada berbagai pendapat atau teori tentang kebijakan dividen
antara lain: a) Teori Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miller, b) Teori The Bird in
the Hand, c) Teori Perbedaan Pajak, d) Teori Signaling Hypothesis, dan e) Teori Clientele
Effect.
a) Dividen Tidak Relevan dari Modigliani dan Miler

Layaknya suatu teori, maka dapat dipaparkan pernyataan secara singkat menurut Modigliani
dan Miler (MM), bahwa nilai suatu perusahaan tidak ditentukan oleh besar kecilnya DPR,
tapi ditentukan oleh laba bersih sebelum pajak (EBIT) dan kelas risiko perusahaan. Jadi
menurut MM, dividen adalah tidak relevan.
Maka berdasarkan pernyataan MM tersebut ada beberapa asumsi penting yaitu:
a) Pasar modal sempurna dimana semua investor adalah rasional
b) Tidak ada biaya emisi saham baru jika perusahaan menerbitkan saham baru
c) Tidak ada pajak
d) Kebijakan investasi perusahaan tidak berubah
Pada kenyataannya: 1) pasar modal yang sempurna sulit ditemui, 2) biaya emisi saham baru
pasti ada, 3) pajak pasti ada, 4) kebijakan investasi perusahaan tidak mungkin tidak berubah.
Perbedaan pendapat terjadi dalam menyikapi pernyataan yang dibuat MM, beberapa ahli
menentang pendapat MM tentang dividen adalah tidak relevan dengan menunjukkan bahwa
adanya biaya emisi saham baru akan mempengaruhi nilai perusahaaan. Seperti telah kita
pelajari pada bab biaya modal, modal sendiri dapat berasal dari laba ditahan dan menerbitkan
saham biasa baru. Jika modal sendiri berasal dari laba ditahan, biaya modal sendiri sebesar
KS. Tapi bila berasal dari saham biasa baru, biaya modal sendiri adalah Ke.

KS =+ g

Ke = )+g
(

dimana:
Ks = biaya modal sendiri dari laba ditahan
Ke = biaya modal sendiri dari saham biasa baru
D1 = dividen setahun mendatang
Po = harga saham saat ini
g = pertumbuhan dividen/keuntungan
F = Flotation cost atau biaya emisi saham

Jika D1, Po dan g adalah sama, dapat disimpulkan bahwa Ke lebih besar dari Ks. Artinya
perusahaan lebih suka menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru. Ada
kemungkinan laba ditahan tidak cukup besar sehingga perusahaan harus menerbitkan saham
baru. Semakin besar target laba ditahan, semakin kecil kemungkinan perusahaan menerbitkan
saham baru. Karena biaya modal sendiri ditentukan oleh besar kecilnya laba ditahan dan besar
kecilnya laba ditahan ditentukan oleh DPR maka kebijakan dividen mempengaruhi nilai
perusahaan.
Beberapa ahli lain menyoroti asumsi tidak adanya pajak. Jika ada pajak maka penghasilan
investor dari dividen dan dari capital gains (kenaikan harga saham) akan dikenai pajak.
Seandainya tingkat pajak untuk dividen dan capital gains adalah sama, investor cenderung labih
suka menerima capital gains daripada dividen karena pajak pada capital gains baru dibayar saat
saham dijual dan keuntungan diakui/dinikmati. Dengan kata lain, investor lebih untung karena
dapat menunda pembayaran pajak. Investor lebih suka bila perusahaan menetapkan DPR yang
rendah, menginvestasikan kembali keuntungan dan menaikkan nilai perusahaan atau harga
saham.
b) Teori The Bird in the Hand
Teori yang mendukung bahwa ada hubungan antara kebijakan dividen dengan nilai
perusahaan antara lain yaitu teori Gordon dan Lintner menyatakan bahwa biaya modal
sendiri (Ks) perusahaan akan naik jika DPR rendah, karena investor lebih suka menerima
dividen daripada capital gains. Menurut mereka, investor memandang dividend yield (D1/Po)
lebih pasti daripada capital gains yield (g). Perlu diingat bahwa dilihat dari sisi investor, Ks
adalah tingkat keuntungan yang disyaratkan investor pada saham. Ks adalah keuntungan dari
dividen (dividend yield) ditambah keuntungan dari capital gains (capital gains yield).
KS =+ g

= Dividend yield + Capital gains yield

Modigliani dan Miller menganggap bahwa argument Gordon dan Lintner ini merupakan
suatu kesalahan (MM menggunakan istilah The Bird in the Hand Fallacy). Menurut MM,
pada akhirnya investor akan kembali menginvestasikan dividen yang diterima pada
perusahaan yang sama atau perusahaan yang memiliki risiko yang hampir sama.

c) Teori Perbedaan Pajak


Teori lainnya yang menghubungkan antara kebijakan dividen dihubungkan dengan pajak
yaitu teori yang diajukan oleh Litzenberger dan Ramaswamy. Mereka menyatakan bahwa
karena adanya pajak terhadap keuntungan dividen dan capital gains, para investor lebih
menyukai capital gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Oleh karena itu investor
mensyaratkan suatu tingkat keuntungan yang lebih tinggi pada saham yang memberikan
dividend yield tinggi, capital gains yield rendah daripada saham dengan dividend yield
rendah, capital gains yield tinggi. Jika pajak atas dividen lebih besar dari pajak atas capital
gains, perbedaan ini akan makin terasa.
Jika manajemen percaya bahwa teori Dividen tidak relevan dari MM adalah benar, maka
perusahaan tidak perlu memperdulikan berapa besar dividen yang harus dibagi. Jika mereka
menganut teori “The Bird in the Hand”, mereka harus membagi seluruh EAT dalam bentuk
dividen. Dan bila manajemen cenderung mempercayai teori perbedaan pajak (Tax
Differential Theory), mereka harus menahan seluruh EAT atau DPR = 0%. Jadi ketiga teori
yang telah dibahas mewakili kutub-kutub ekstrim dari teori tentang kebijakan dividen.
Sayangnya tes secara empiris belum memberikan jawaban yang pasti tentang teori mana
yang paling benar.

d) Teori Signaling Hypothesis


Terdapat bukti empiris bahwa jika ada kenaikan dividen, sering diikuti dengan kenaikan
harga saham. Sebaliknya penurunan dividen pada umumnya menyebabkan harga saham
turun. Fenomena ini dapat dianggap sebagai bukti bahwa para investor lebih menyukai
dividen daripada capital gains. Tapi MM berpendapat bahwa suatu kenaikkan dividen yang
diatas biasanya merupakan suatu sinyal kepada para investor bahwa manajemen perusahaan
meramalkan suatu penghasilan yang baik di masa mendatang. Sebaliknya, suatu penurunan
dividen atau kenaikan dividen yang dibawah kenaikan normal (biasanya) diyakini investor
sebagai suatu sinyal bahwa perusahaan menghadapi masa sulit di waktu mendatang.
Seperti teori dividen yang lain, teori Signaling Hypothesis ini juga sulit dibuktikan secara
empiris. Adalah nyata bahwa perubahan dividen mengandung beberapa informasi. Tapi sulit
dikatakan apakah kenaikan dan penurunan harga setelah adanya kenaikan dan penurunan
dividen semata-mata disebabkan oleh efek “sinyal” atau disebabkan karena efek “sinyal” dan
preferensi terhadap dividen.

e) Teori Clintele Effect


Teori lainnya yaitu teori yang menyatakan bahwa kelompok (clientele) pemegang saham
yang berbeda akan memiliki preferensi yang berbeda terhadap kebijakan dividen perusahaan.
Kelompok pemegang saham yang membutuhkan penghasilan pada saat ini lebih menyukai
suatu Dividend Payout Ratio yang tinggi. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang tidak
begitu membutuhkan uang saat ini lebih senang jika perusahaan menahan sebagian besar laba
bersih perusahaan.
Jika ada perbedaan pajak bagi individu (misalnya orang lanjut usia dikenai pajak lebih
ringan) maka kelompok pemegang saham yang dikenai pajak tinggi lebih menyukai capital
gains karena dapat menunda pembayaran pajak. Kelompok ini lebih senang jika perusahaan
membagi dividen yang kecil. Sebaliknya kelompok pemegang saham yang dikenai pajak
relatif rendah cenderung menyukai dividen yang besar.
Bukti empiris menunjukkan bahwa efek dari clientele ini ada. Tapi menurut MM hal ini tidak
menunjukkan bahwa dividen besar lebih baik dari dividen kecil, demikian sebaliknya. Efek
clientele ini hanya mengatakan bahwa bagi sekelompok pemegang saham, kebijakan dividen
tertentu lebih menguntungkan mereka.

f) Pengujian Empiris

Dibawah ini bisa dilakukan sejumlah studi empiris telah dilakukan untuk memecahkan
kontroversi tentang apakah kebijakan dividen mempengaruhi kemakmuran (wealth)
pemegang saham. Berikut ini disajikan beberapa pengujian empiris yang telah dilakukan para
ahli keuangan.
1. Pengujian berdasarkan Pure Discounted Cash Flow

Dividen Yield (D1/Po)

(%) -

15 -

Ks = D1/Po + g (Ks naik jika g membesar)

Ks = D1/Po + g (konstan = 15%)

Ks = D1/Po + g (Ks turun jika g membesar)

2 1 3
Growth rate (g)) (%)
` ` ` `10 `15 `20

Garis 1 menunjukkan bahwa investor berpreferensi “indifferent” terhadap dividend yield dan
growth rate (capital gains). Garis 2 menunjukkan bahwa investor lebih menyukai growth
rate daripada dividend yield karena growth rate 10% dihargai sama dengan dividend yield
15%. Garis 3 menunjukkan bahwa investor lebih menyukai dividend yield daripada growth
rate karena dividend yield 15% dihargai sama dengan growth rate 20%.

Sejumlah perusahaan diambil sebagai sampel dan dianalisis dividend yield dan growth rate-
nya. Posisi setiap perusahaan ditentukan oleh dividend yield dan growth rate-nya. Jika
diperoleh hasil serupa garis 1 (dengan slope -1), hasil ini mendukung teori dividen tidak
relevan dari MM. Jika diperoleh garis dengan slope < -1 (garis 2), hasil ini mendukung teori
perbedaan pajak dari Litzenberger dan Ramaswamy. Jika diperoleh garis dengan slope >-1
(garis 3), hasil ini mendukung teori Gordon dan Litner. Pengujian empiris menunjukkan
bahwa slope garis regresi antara growth rate dan dividend yield adalah mendekati -1 atau
mendukung teori MM.
2. Pengujian berdasarkan CAPM
Pengujian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
Ki = krf + (KM-krf)bi + (Di-DM) i
dimana Di adalah dividend yield untuk saham i, DM adalah dividend yield untuk saham rata-
rata (pasar) dan i adalah koefisien yang menunjukkan dampak (Di-DM) terhadap Ki.
Selanjutnya dilakukan regresi berganda dengan memasukkan data Ki, KM, krf, Di dan DM.
Dari analisis regresi berganda akan diperoleh nilai bi dan i.
Jika nilai i adalah 0 artinya (D1-DM) memilki dampak positif terhadap Ki. Artinya, jika suatu
saham memberikan dividen yang tinggi, investor juga mensyaratkan suatu tingkat
keuntungan yang tinggi. Hasil ini mendukung teori perbedaan pajak dari Litzenberger dan
Ramaswamy. Jika nilai i adalah negatif, (Di-DM) memiliki dampak negatif terhadap Ki.
Artinya, semakin besar dividen saham, semakin kecil tingkat keuntungan yang disyaratkan
investor. Hal ini menunjukkan bahwa investor lebih senang dividend yield atau mendukung
teori Gordon dan Litner.
Penelitian Litzenberger dan Ramaswamy menunjukkan bahwa I adalah positif. Tetapi

beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa I adalah 0.


3. Pengujian Ex-Dividend Day
Jika dividend yield dan capital gains yield adalah “indifferent”, harga saham setelah hari
pembayaran dividen (ex-dividend day) akan berkurang sebesar dividen yang dibayarkan. Jika
investor lebih suka capital gains, harga saham pada ex-dividend day akan turun tetapi tidak
sebesar dividen yang dibayarkan. Ini disebabkan karena investor menghargai 1 rupiah
dividen tidak sebesar 1 rupiah capital gains. Pengujian yang dilakukan Elton dan Gruber
serta beberapa pengujian lain menunjukkan bahwa pada umumnya harga saham turun pada
ex-dividen day tetapi penurunannya tidak sebesar jumlah dividen yang dibayarkan. Hasil ini
mendukung teori “clientele effect” bahwa investor yang dikenai pajak tinggi akan lebih
menyukai capital gains dan teori perbedaan pajak.
4. Bukti empiris menunjukkan bahwa pada umumnya perusahaan di Amerika Serikat
cenderung memberikan dividen yang tetap jumlahnya atau meningkat secara konstan dari
waktu ke waktu. Jarang sekali mereka memotong atau meniadakan pembayaran dividen.
Penemuan ini mendukung teori “signaling hypothesis”.
Dapat disimpulkan bahwa pengujian empiris tentang teori kebijakan dividen memberikan
hasil yang berbeda. Hingga saat ini kontroversi tentang kebijakan dividen tetap berlangsung.

12.3. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN DIVIDEN

Selain teori maka pembahasan mengenai implementasi kebijakan dividen dalam


implementasinya pada suatu perusahaan cenderung memberikan dividen dengan jumlah yang
relatif stabil atau meningkat secara teratur. Kebijakan ini kemungkinan besar disebabkan oleh
asumsi bahwa: 1) investor melihat kenaikan dividen sebagai suatu tanda baik bahwa
perusahaan memiliki prospek cerah, demikian sebaliknya. Hal ini membuat perusahaan lebih
senang mengambil jalan aman yaitu tidak menurunkan pembayaran dividen, dan 2) investor
cenderung lebih menyukai dividen yang tidak berfluktuasi (dividen yang stabil).

Menjaga kestabilan dividen tidak berarti menjaga Dividend Payout Ratio tetap stabil karena
jumlah nominal dividen juga tergantung pada penghasilan bersih perusahaan (EAT). Jika
DPR dijaga kestabilannya, misalnya ditetapkan sebesar 50% dari waktu ke waktu, tetapi EAT
berfluktuasi, maka pembayaran dividen juga akan berfluktuasi.

Rupiah

EPS

DPS

` ` ` ` ` ` ` Waktu
Keterangan: EPS = Earning per share (laba bersih per lembar saham)
DPS = Dividend per share (dividen per lembar saham)
Pada umumnya perusahaan akan menaikkan dividen hingga suatu tingkatan dimana mereka
yakin dapat mempertahankannya di masa mendatang. Artinya jika terjadi kondisi yang
terburuk sekalipun, perusahaan masih dapat mempertahankan pembayaran dividennya.
Pada implementasinya, ada juga perusahaan yang menggunakan model residual dividend
dimana dividen ditentukan dengan cara: (1) mempertimbangkan kesempatan investasi
perusahaan, (2) mempertimbangkan target struktur modal perusahaan untuk menentukan
besarnya modal sendiri yang dibutuhkan untuk investasi, (3) Memanfaatkan laba ditahan
untuk memenuhi kebutuhan akan modal sendiri tersebut semaksimal mungkin, dan (4)
membayar dividen hanya jika ada sisa laba. Dengan demikian, besarnya dividen bersifat
fluktuatif. Model residual dividend ini berkembang karena perusahaan lebih senang
menggunakan laba ditahan daripada menerbitkan saham baru untuk memenuhi kebutuhan
modal sendiri. Alasannya: 1) menerbitkan saham menimbulkan biaya emisi saham
(floatation cost) dan 2) menurut teori signaling hypothesis penerbitan saham baru sering
disalahartikan oleh investor bahwa perusahaan mengalami kesulitan keuangan sehingga
menyebabkan penurunan harga saham.

Rupiah

EPS

DPS

` ` ` ` ` ` ` Waktu

Model residual dividend menyebabkan dividen bervariasi jika kesempatan investasi


perusahaan juga bervariasi (fluktuasi). Jika kita percaya pada teori signaling hypothesis,
maka model ini sebaiknya tidak digunakan secara kaku untuk menetapkan besarnya dividen
secara year to year basis. Model ini lebih banyak digunakan sebagai penuntun untuk
menetapkan sasaran payout ratio jangka panjang yang memungkinkan perusahaan memenuhi
kebutuhan akan modal sendiri dengan laba ditahan .
 Terdapat beberapa faktor lain yang mempengaruhi manajemen dalam menentukan kebijakan
dividen, antara lain:
1. Perjanjian Utang
Pada umumnya perjanjian hutang antara perusahaan dengan kreditor membatasi
pembayaran dividen. Misalnya, dividen hanya dapat diberikan jika kewajiban hutang
telah dipenuhi perusahaan dan atau rasio-rasio keuangan menunjukkan perusahaan dalam
kondisi sehat.
2. Pembatasan dari saham Preferen
Tidak ada pembayaran dividen untuk saham biasa jika dividen saham preferen belum
dibayar.
3. Tersedianya Kas
Dividen berupa uang tunai (cash dividend) hanya dapat dibayar jika tersedia uang tunai
yang cukup. Jika dilikuiditas baik, perusahaan dapat membayar dividen.
4. Pengendalian
Jika manajemen ingin mempertahankan kontrol terhadap perusahaan ia cenderung untuk
segan menjual saham baru sehingga lebih suka menahan laba guna memenuhi kebutuhan
dana/baru. Akibatnya dividen yang dibayar menjadi kecil. Faktor ini menjadi penting
pada perusahaan yang relatif kecil.
5. Kebutuhan Dana untuk Investasi
Perusahaan yang berkembang selalu membutuhkan dana baru untuk diinvestasikan pada
proyek-proyek yang menguntungkan. Sumber dana baru yang merupakan modal sendiri
(equity) dapat berupa penjualan saham baru dan laba ditahan. Manajemen cenderung
memanfaatkan laba ditahan karena penjualan saham baru menimbulkan biaya peluncuran
saham (flotation cost). Oleh karena itu semakin besar kebutuhan dana investasi, semakin
kecil dividend payout ratio.
6. Fluktuasi Laba
Jika laba perusahaan cenderung stabil, perusahaan dapat membagikan dividen yang
relatif besar tanpa takut harus menurunkan dividen jika laba tiba-tiba merosot. Sebaliknya
jika laba perusahaan berfluktuasi, dividen sebaiknya kecil agar kestabilannya terjaga.
Selain itu, perusahaan dengan laba yang berfluktuasi sebaiknya tidak banyak
menggunakan hutang guna mengurangi risiko kebangkrutan. Konsekuensinya: laba
ditahan menjadi besar dan dividen mengecil.

12.4. STOCK REPURCHASE, STOCK DIVIDEND DAN STOCK


SPLIT

a) Stock Repurchase
Sebagai alternatif terhadap pemberian dividen berupa uang tunai (cash dividend), perusahaan
dapat mendistribusikan pendapatan kepada pemegang saham dengan cara membeli kembali
saham perusahaan (repurchasing stock)
Efek dari pembelian kembali saham perusahaan diilustrasikan dalam contoh sebagai berikut:
PT. Mulya memiliki laba bersih setelah pajak untuk tahun 2003 sebesar 100 juta. 50% dari
jumlah ini akan didistribusikan kepada pemegang saham. Jumlah saham beredar adalah
25.000 lembar. PT. Mulya dapat menggunakan 50 juta untuk membeli kembali 2.273 lembar
saham perusahaan melalui tender dengan harga Rp 22.000,-/lembar. Sebagai alternatif,
perusahaan dapat membagikan dividen sebesar Rp 2000,-/lembar. Harga saham saat ini
adalah Rp 20.000/lembar.
Efek dari stock repurchase pada EPS (earning pe share) dan harga saham adalah:

1) EPS sekarang = = 4000,-/lb


.

2) PER (Price Earning Ratio) sekarang = .


= 5 x PER ini dianggap konstan.
.
3) EPS setelah stock repurchase = = 4.400,-/lb
.

4) Harga saham yang diharapkan setelah stock repurchase = PER x EPS = 5 x 4.400 = Rp 22.000,-
5) Capital Gains yang diharapkan = 22.000 - 20.000 = Rp 2.000,-

Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa investor akan menerima hasil yang sama dari
pembayaran dividen tunai maupun pembelian kembali saham yaitu sebesar Rp 2.000,-. Hasil
ini mungkin terjadi karena kita mengasumsikan bahwa: 1) saham sapat dibeli kembali pada
harga Rp 22.000,-, 2) PER tetap. Jika saham dapat dibeli kembali dengan harga kurang dari
Rp 22.000,- ini akan merugikan investor yang menjual kembali sahamnya dan akan
menguntungkan investor atau pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya
(remaining shareholders). Hal yang sebaliknya akan terjadi jika saham dibeli kembali
dengan harga lebih dari Rp 22.000,-. Demikian pula PER dapat berubah setelah stock
repurchase. PER dapat naik atau turun tergantung bagaimana investor di pasar modal
memandang stock repurchase tersebut.

 Harga stock repurchase pada ekuilibrium (harga yang membuat sama pilihan untuk menjual
saham kembali ke perusahaan atau menahannya) dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut:

( )
P* = ( )

dimana:
P* = harga stock repurchase equilibrium
S = jumlah saham beredar sebelum stock repurchase
Po = harga saham saat ini sebelum stock repurchase
n = jumlah lembar saham yang akan dibeli kembali oleh perusahaan

Misalnya, ilustrasi PT. Mulya di depan dapat dihitung harga stock repurchase-nya sebagai berikut:
S = 25.000 lembar
Po = Rp 20.000,-
N = 2.273 lembar
P* = ( . .)
.– .
= Rp 22.000,-

 Keuntungan stock repurchase bagi pemegang saham:


(1) Stock repurchase sering dipandang sebagai tanda positif bagi investor karena pada umumnya
stock repurchase dilakukan jika perusahaan merasa bahwa saham undervalued.
(2) Stock repurchase mengurangi jumlah saham yang beredar di pasar. Setelah stock repurchase ada
kemungkinan harga saham naik.

 Kerugian stock repurchase bagi pemegang saham:


(1) Perusahaan membeli kembali saham dengan harga yang terlalu tinggi sehingga merugikan
pemegang saham yang tidak menjual kembali sahamnya.
(2) Keuntungan stock repurchase dalam bentuk capital gains, padahal sebagian investor menyukai
dividen.
 Keuntungan stock repurchase bagi perusahaan:
(1) Menghindari kenaikkan dividen. Jika dividen naik terlalu tinggi dikhawatirkan dimasa mendatang
perusahaan terpaksa membagi dividen yang lebih kecil (pada masa sulit atau banyak kebutuhan
dana investasi) yang dapat memberi pertanda negatif. Stock repurchase merupakan alternatif yang
baik untuk mendistribusikan penghasilan yang diatas normal (extraordinary earnings) kepada
pemegang saham.
(2) Dapat digunakan sebagai strategi untuk mengacaukan usaha pengambilalihan perusahaan (yang
biasanya dilakukan dengan cara membeli saham sebanyak-banyaknya hingga mencapai jumlah
saham mayoritas), stock repurchase dapat menggagalkan usaha ini.
(3) Mengubah struktur modal perusahaan. Misalnya, perusahaan ingin meningkatkan rasio hutang
dengan cara menggunakan hutang baru untuk membeli kembali saham yang beredar.
(4) Saham yang ditarik kembali dapat dijual kembali ke pasar jika perusahaan membutuhkan
tambahan dana.

 Kerugian stock repurchase bagi perusahaan adalah:


(1) Dapat merusak image perusahaan karena sebagian investor merasa bahwa stock repurchase
merupakan indikator bahwa manajemen perusahaan tidak mempunyai proyek-proyek baru yang
baik. Namun demikian, jika perusahaan benar-benar tidak memiliki kesempatan investasi yang
baik, ia memang sebaiknya mendistribusikan dana kembali kepada pemegang saham. Tidak
banyak bukti empiris yang mendukung alasan ini.
(2) Setelah stock repurchase, pasar mungkin merasa bahwa risiko perusahaan meningkat sehingga
dapat menurunkan harga saham.
 Jika harus memilih antara stock repurchase dan pembayaran dividen tunai, pada pasar yang sempurna
(dimana tidak ada pajak, biaya komisi untuk jual-beli saham dan efek sinyal dari pemberian dividen),
investor akan indifferent terhadap ke 2 pilihan. Pada pasar yang tidak sempurna, investor mungkin
akan memiliki preferensi terhadap salah satu dari ke 2 alternatif tersebut.

 Ada 3 metoda yang dapat digunakan untuk membeli kembali saham:


(1) Saham dapat dibeli pada pasar terbuka (open market). Disini perusahaan membeli sahamnya
sendiri melalui pialang saham. Pendekatan ini dapat menyebabkan kenaikan harga saham yang
dibeli dan ada biaya komisi.
(2) Perusahaan membuat penawaran formal untuk membeli saham perusahaan dalam jumlah tertentu
dan harga yang telah ditetapkan. Pendekatan ini disebut tender offer. Biasanya harga beli
ditetapkan di atas harga pasar guna menarik investor untuk melepas sahamnya.
(3) Perusahaan membeli sejumlah sahamnya kembali dari satu atau beberapa pemegang saham besar
(major stockholder). Pendekatan ini disebut “negotiated basis”.

b) Stock Split dan Stock Dividend

Bagian yang integral dari kebijakan dividen adalah penggunaan “stock dividend” dan “stock split”.
Stock split adalah tindakan perusahaan memecah saham yang beredar menjadi bagian yang lebih
kecil. Misalnya, pada stock split “two for one” selembar saham dengan nominal 1000,- ditukar dengan
2 lembar saham dengan nominal 500,-. Setelah stock split jumlah saham yang beredar bertambah
tetapi modal perusahaan tetap. Stock dividend adalah tindakan perusahaan memberikan saham baru
sebagai pembayaran dividen. Misalnya, “three for one” stock dividend berarti untuk satu lembar
saham akan mendapat 3 lembar saham baru sebagai dividen.

Bagi pemegang saham, stock split tidak membuat mereka bertambah kaya karena kenaikan jumlah
saham diimbangi dengan penurunan nilai nominal atau harga saham. Secara keseluruhan kekayaan
mereka tidak berubah, hanya saja sekarang mereka memegang lebih banyak lembar saham dengan
nominal yang lebih kecil.

Sama seperti stock split, stock dividend juga tidak mengubah kekayaan pemegang saham. Misalkan
PT. Sempurna memiliki 100.000 saham beredar. Penghasilan bersih setelah pajak perusahaan ini
adalah 500.000,-. Dengan demikian EPS adalah 5,-/lembar. Saat ini harga pasar saham adalah 50,-
sehingga PER adalah 10 x. Perusahaan merencanakan memberikan 20% stock dividend atau 20.000
lembar saham, sehingga setiap pemilik 10 lembar saham akan memperoleh 2 lembar saham baru.
Mungkin kita langsung berfikir bahwa kekayaan atau kemakmuran pemegang saham meningkat 2 x
50,- = 100,- karena ia menerima 2 lembar saham baru. Konklusi itu menyesatkan! Ingat bahwa
perusahaan menerbitkan 20.000 lembar saham baru. Karena EAT tidak berubah yaitu sebesar
500.000,-, maka EPS akan turun menjadi : 500.000,-/120.000 = 4,167,-. Jika PER tetap sebesar 10 x
maka harga saham setelah stock dividend akan turun menjadi 10 x 4,167 = 41,67,-. Sebelum stock
dividend, kekayaan investor adalah 10 lb x 50,- = 500,-. Setelah pemberian stock dividend, kekayaan
investor adalah 12 lb x 41,67 = 500,-. Kekayaan investor tidak berubah.

Jika tidak ada keuntungan secara ekonomis, mengapa perusahaan melakukan stock split dan stock
dividend?
(1) Stock split dilakukan untuk menjaga agar harga saham tetap berada pada “optimal price range”
atau harga pasar yang optimal untuk menjaga agar saham tetap diperjualbelikan banyak orang.
Harga saham yang terlalu tinggi akan menyulitkan investor kecil untuk membeli saham tersebut,
sehingga menurunkan demand untuk saham tersebut dipasar sekunder.
(2) Stock dividend digunakan pada saat perusahaan ingin menghemat kas untuk dapat mengambil
proyek-proyek yang menguntungkan. Masalahnya adalah jika perusahaan tidak membagi dividen
tunai, investor bisa “salah tangkap” dan menduga perusahaan dalam kesulitan keuangan.
Akibatnya harga saham bisa turun. Untuk menghindari efek negatif ini, perusahaan dapat
memberikan stock dividend sebagai pengganti cash dividend. Lain halnya jika perusahaan tidak
dapat memberikan cash dividend karena kesulitan keuangan. Pada kondisi ini perusahaan bisa
saja memberikan stock dividend. Akan tetapi investor yang kritis akan menyadari kondisi yang
sebenarnya dan harga saham akan jatuh.

 Meskipun stock split dan stock dividend tidak berbeda secara pertimbangan ekonomis, perlakuan
akuntansi untuk keduanya berbeda. Untuk stock dividend, perusahaan harus melakukan kapitalisasi
nilai pasar dari stock dividend dengan cara mentransfer sejumlah rupiah dari stock dividend ke
rekening modal (modal saham dan agio saham). Misalnya PT. Bahagia memiliki neraca (bagian
modal sendiri) sebagai berikut:

Modal saham (1 juta lembar beredar, nominal 2,-) = 2 juta


Agio saham 8 juta
Laba ditahan 15 juta
Total modal sendiri 25 juta

Perusahaan bermaksud memberikan 15% stock dividend. Harga pasar saham adalah 14,-. 15% stock
dividend akan meningkatkan jumlah saham beredar sebanyak 15% x 1 juta = 150.000 lembar.
Perusahaan harus mentransfer 150.000 x 14 = 2,1 juta dari rekening laba ditahan ke rekening modal
saham (saham 150.000 x 2,- = 300.000,-) dan rekening agio saham (sebesar 2,1 juta - 300.000,- =
1.800.000,-). Neraca PT. Bahagia setelah terjadi stock dividend adalah:

Modal saham (1,15 juta lembar beredar, nominal 2,-) = 2,3 juta
Agio saham (8 juta + 1,8 juta) = 9,8 juta
Laba ditahan (15 juta – 2,1 juta) = 12,9 juta
Total modal sendiri 25 juta
Bagaimana bila PT. Bahagia mengubah rencana dan sebagai ganti stock dividend mereka melakukan
“two for one stock split” (artinya 1 saham berubah menjadi 2 saham). Akibatnya adalah jumlah saham
beredar meningkat menjadi 2 kali lipat dan nilai nominal saham turun menjadi setengahnya.
Neraca PT. Bahagia menjadi

Modal saham ( 2juta lembar beredar, nominal 1,-) = 2 juta


Agio saham = 8 juta
Laba ditahan = 15 juta
Total modal sendiri 25 juta

oo0oo
12.5. LATIHAN MANDIRI

1. Modal sendiri para pemegang saham PT. Angin 31 Desember 2013

Preferred stock NZ$ 400,000


Common stock ( 500,000 shares @ NZ$2 par) NZ$1,000,000
Paid in capital in excess in par NZ$ 600,000
Retained earnings NZ$ 840,000
Total stockholder’s quality NZ$2,840,000

Harga pasar saham perusahaan pada tanggal 31 Desember 2013 adalah NZ$ 6
per lembar saham.

a. Apabila perusahaan membagikan dividen tunai sebesar NZ $ 0.04 per


lembar saham, apa yang akan terjadi pada rekening modal sendiri para
pemegang saham?
b. Apabila perusahaan membagikan dividen saham sebesar 10 %, apa yang
akan terjadi pada rekening modal sendiri para pemegang saham?
c. Bagaimana dengan rekening modal sendiri para pemegang saham apabila
perusahaan memutuskan untuk melakukan 4 for 1 stock split ?

2. PT. Air mempraktikan kebijakan dividen residual yang ketat dan


mempertahankan struktur modal utang 60% dan 40% ekuitas. Laba untuk
tahun ini sebesar $ 5 million. Misalkan pengeluaran investasi yang direncanakan
untuk tahun mendatang sebesar $ 12 million, akankah PT. Air membagikan
dividen? jika iya, seberapa besar?

3. PT. Panda mengikuti kebijakan dividen residual, perusahaan baru saja


mengumumkan perolehan pendapatan sebesar Rp. 10.000.000 dan akan
membayar dividen sebesar 20% per saham. tentukan nilai capital expenditure
perusahaan !
JAWABAN LATIHAN MANDIRI

1.

a. Cash Dividends NZ$0.04


Cash div. NZ$0.04 x 500,000 shares= NZ$ 20,000
New Retained Earnings = NZ$ 840,000- NZ$ 20,000 = NZ$ 820,000
NZ$
Preferred stock
400,000
NZ$
Common stock ( 500,000 shares @ NZ$2 par)
1,000,000
NZ$
Paid in capital in excess in par
600,000
NZ$
Retained earnings
820,000
NZ$
Total stockholder’s quality
2,820,000

b. Stock Dividends 10%


Add. Numb. Common Stock 10% x 500,000 shares= 50,000 shares
New Numb. Common Stock Outstanding= 500,000 + 50,000 = 550,000 shares
New capitalization = NZ$6 x 50,000 shares = NZ$ 300,000
New Retained Earnings = NZ$ 840,000 – NZ$ 300,000 = NZ$ 540,000
Add. PIC in excess in par value = (NZ$6-NZ$2) x 50,000 shares = NZ$ 200,000
Preferred stock NZ$ 400,000
Common stock ( 550,000 shares @ NZ$2 par) NZ$1,100,000
Paid in capital in excess in par NZ$ 800,000
Retained earnings NZ$ 540,000
Total stockholder’s quality NZ$2,840,000

c. Stock Split 4for1:


Numb. Common stock outstanding =1/4 x 500,000 shares = 125,000
shares Par value =4/1 x NZ$2 = NZ$8/ share
Market Price =4/1 x NZ$6 = NZ$24/share
Preferred stock NZ$ 400,000
Common stock ( 125,000 shares @ NZ$8 par) NZ$
1,000,000 Paid in capital in excess in par NZ$ 600,000
Retained earnings NZ$ 840,000
Total stockholder’s quality NZ$ 2,840,000

2. PT. Air memiliki debt-equity ratio sebesar 60%/40%=1.5 x. jika seluruh $ 5m


pendapatan dilreinvestasikan, maka $5m x 1.5= $7.5m pinjaman dibutuhkan untuk
menjaga debt-equity ratio tetap.
Jika pengeluaran investasi direncakan sebesar $12 m , maka jumlah tersebut akan
dibiayai dengan 40% ekuitas . jumlah ekuitas yang dibutuhkan sebesar $12m x 40%=
$4.8m. maka dividen yang dibayarkan sebesar $5m - $4.8m = $0.2m.

3. Dengan residual dividend policy:


Dividends = (Distributable Earnings – Capital Expenditure)
Total dividend sebesar (20% x Rp 10.000.000)= Rp.2.000.000, oleh karena itu maka capital
expenditure sebesar = (Rp. 10.000.000 – Rp. 2.000.000)=Rp. 8.000.000
BAB XIII
Teori Struktur Modal

13.1. Pendahuluan
Sumber modal perusahaan untuk keberlangsungan usaha bisa didapatkan dari modal pemilik atau
sumber lain seperti misalnya utang. Keputusan terhadap proporsi antara besarnya utang yang
digunakan dengan modal sendiri yang ada pada perusahaan sangat penting . Kebijakan dalam
menentukan besaran yang disebutkan di atas dinamakan struktur modal. Kebijakan struktur
modal perusahaan akan berakibat pada kebijakan keuangan lainnya seperti kebijakan investasi.
Pada saat perusahaan diharapkan meningkatkan besarnya investasi karena adanya persaingan
yang semakin tajam, maka untuk mendukung kebijakan tersebut harus menambah modal
pinjaman, yang menyebabkan struktur modal berubah. Pada bagian berikut akan dijelaskan teori-
teori yang berkaitan dengan struktur modal.

13.2. MODEL MODIGLIANI-MILLER (MM) TANPA PAJAK


Model yang dikembangkan untuk menjelaskan teori struktur modal diawali dengan model
yang disampaikan oleh Franco Modigliani dan Merton Miler dan salah satu pertanyaan yang
sering membingungkan manajer keuangan adalah hubungan antara struktur modal dan nilai
perusahaan (harga saham). Besarnya proporsi modal pinjaman dan modal sendiri yang harus
digunakan perlu diuji hubungannya dengan nilai perusahaan , dan pada tahun 1958, MM atau
Franco Modigliani dan Merton Miller mengajukan suatu teori yang ilmiah tentang struktur
modal perusahaan.
 Asumsi-asumsi MM-Tanpa Pajak:
a) Risiko bisnis perusahaan diukur dengan σ EBIT (deviasi standar Earning Before Interest
and Tax).
b) Investor memiliki pengharapan yang sama tentang EBIT perusahaan di masa mendatang.
c) Saham dan obligasi diperjualbelikan di suatu pasar modal yang sempurna.
d) Utang adalah tanpa risiko sehingga suku bunga pada utang adalah suku bunga bebas
risiko.
e) Seluruh aliran kas adalah perpetuitas (sama jumlahnya setiap periode hingga waktu tak
terhingga). Dengan kata lain, pertumbuhan perusahaan adalah nol atau EBIT selalu sama.
f) Tidak ada pajak perusahaan maupun pajak pribadi.
 Dua dalil MM-Tanpa Pajak
a) Dalil I
VL = VU ==

dimana:
VL = nilai perusahaan yang menggunakan utang (Levered Firm)
VU = nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang (Unlevered Firm) atau perusahaan
yang menggunakan 100% modal sendiri
EBIT = Earning Before Interest and Tax
KSU = keuntungan yang disyaratkan pada saham Unlevered Firm
WACC = Weighted Average Cost of Capital
Perlu ditambahkan bahwa:
V=D+S
dimana:
V = Nilai perusahaan
D = Utang (Debt)
S = Modal sendiri (Stock)
Dari dalil 1 ini dapat disimpulkan bahwa menurut model MM, jika tidak ada pajak, nilai
perusahaan tidak tergantung pada leverage (menggunakan utang atau tidak).

b) Dalil II

KSL = KSU + (KSU - Kd) (D/S)

dimana:
KSL = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri atau hanya modal sendiri pada
levered firm
KSU=Biaya modal sendiri pada Unlevered Firm
D/S = Utang dibagi modal sendiri
Kd = Biaya Utang
Dapat disimpulkan:
Jika penggunaan utang bertambah (D bertambah besar), biaya modal sendiri (KSL) juga
bertambah besar. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: jika utang yang digunakan
bertambah, risiko perusahaan juga bertambah sehingga biaya modal sendiri atau
keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri juga bertambah.
Perlu diingat bahwa:
WACC = Wd . Kd . (1-T) + WS .

KS Wd = =

WS = =
asumsi T = 0, maka:

WACC = . Kd + . KSL
dimana:
WACC = Weighted Average Cost of Capital (biaya modal perusahaan)
Kd = Biaya utang
D = Utang
S = Modal sendiri
V = Nilai perusahaan
KSL = Biaya modal sendiri pada Levered Firm

Dari Dalil II ini dapat disimpulkan juga bahwa penggunaan utang tidak akan mengubah WACC.
Biaya utang (Kd) memang lebih kecil dibanding biaya modal sendiri (K SL). Tapi semakin besar
penggunaan utang, semakin besar pula risiko sehingga biaya modal sendiri (K SL) bertambah. Jadi
penggunaan utang tidak akan meningkatkan nilai perusahaan karena keuntungan dari biaya utang
yang lebih kecil (murah) ditutup dengan naiknya biaya modal sendiri.
Contoh:
EBIT = 2,4 juta dan konstan dari waktu ke waktu. Biaya utang (K d) = 8%. Biaya modal sendiri
jika perusahaan tidak menggunakan utang (KSU) = 12%. Jika perusahaan berutang, uang tersebut
digunakan untuk membeli kembali saham, dengan kata lain jika utang bertambah sebesar X,
modal sendiri akan berkurang sebesar X pula sehingga aktiva atau nilai perusahaan tetap.

Jawab:
a) Jika D = 0 dan S = 20 juta
VU = = ,
= 20 juta
,
VU = WACC = 12% (karena tidak ada utang)
b) Jika D = 5
V=D+S
S=V-D
= 20 - 5 = 15 juta
Vh = = ,
= 20 juta
,
atau = VL =
(kita menggunakan VL karena perusahaan sekarang menggunakan utang atau
Levered). KSL = KSU + (KSU – Kd) D/S
= 12% + (12% - 8%) 5/15
= 13,33%

WACC = . Kd + . KSL

= . (8%) + . (13,33%)
= 2% + 10%
= 12%
,
VL = = = 20 juta
,
atau: V = D + S
D = 5 dan
(. )
S=
(. )
S=

, –( , )
maka S =
,
V = 5 + 15 = 20 juta
c) Jika D = 10
S = V - D = 20 - 10 = 10 juta
KSL = KSU + (KSU - Kd)
= 12% + (12% - 8%) .
= 16%
WACC = . Kd + . KSL

= . (8%) + . (16%)
= 12%
YL = ,
, = 20 juta
d) Jika D = 15
S = V - D = 20 - 15 = 5 juta
KSL = KSU + (KSU – Kd) . D/S
= 125 + (12% - 8%) . 15/5
= 24%
WACC = . Kd + . KSL

= . (18%) + . (4%)
= 12%
e) Bagaimana jika perusahaan menggunakan 100% utang (secara teori bisa tapi secara
praktik tidak ada perusahaan yang dibiayai dengan 100% utang). V = 20 maka D = 20
dan S = 0. Pada kondisi ini, karena pemberi utang menanggung seluruh risiko
perusahaan maka Kd = KSU = 12%.
V= = ,
= 20 juta
,
WACC = Kd = 12%
D V S D/V Kd KS WACC
0 20 20 0% 8% 12 % 12%
5 20 15 25% 8% 13,3% 12%
10 20 10 50% 8% 16 % 12%
15 20 5 75% 8% 24 % 12%
20 20 0 100% 12% 12%

Biaya Modal (%)

30 -

20 - KS

WACC

10 - Kd

0 `20 `40 `60 `80 `100 (%)

Nilai Perusahaan

30 -

VU = 20 - VL

-
10
Utang
0 `5 `10 `15 `20

Dari 2 grafik tersebut nampak bahwa 1) Semakin besar persentase utang, KS naik, Kd
tetap dan WACC tetap, dan 2) semakin besar utang, nilai perusahaan (V) tetap.
Catatan: D = 100% adalah sama dengan S = 100% (Kd = KSU untuk D = 100%).

13.3. MODEL MODIGLIANI-MILLER (MM) DENGAN PAJAK


Pada tahun 1963, MM menerbitkan artikel sebagai lanjutan teori MM tahun 1958. Asumsi
yang diubah adalah adanya pajak terhadap penghasilan perusahaan (corporate income taxes).
Dengan adanya pajak ini, MM menyimpulkan bahwa penggunaan utang (leverage) akan
meningkatkan nilai perusahaan karena biaya bunga utang adalah biaya yang mengurangi
pembayaran pajak (a tax – deductible expense).
Contoh:
Laporan R/L laporan R/L
Perusahaan Levered Perusahaan Unlevered
EBIT 1.000 1.000
Bunga yang dibayar kepada kreditor 0 80
EBT 1.000 920
Pajak (34%) 340 312,8
EAT (untuk pemegang saham) 660 607,2
Total pendapatan untuk pemegang 0 + 660 = 660 80 + 607,2 = 687,2
saham dan kreditor
Penghematan pajak (interest tax shield) 0 27,2

 2 dalil MM-Dengan Pajak


a) Dalil I

VL = Vu + T.D

dimana:
VL = Nilai perusahaan yang menggunakan utang (Levered firm)
VU = Nilai perusahaan yang tidak menggunakan utang (Unlevered firm)
T = Pajak (tax rate)
D = Utang (debt)
Nilai perusahaan yang sama sekali tidak menggunakan utang sama dengan nilai modal
sendiri perusahaan tersebut (S).
()
S = VU =

b) Dalil II
KSL = KSU + (KSU - Kd) (1-T) (D/S)
dimana:
KSL = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri pada Levered Firm
KSU = keuntungan yang disyaratkan pada modal sendiri pada Unlevered Firm
Kd = biaya utang
T = pajak
D = utang perusahaan
S = modal sendiri perusahaan
Contoh:
EBIT = 4 juta dan konstan sepanjang waktu
Kd = 8%
KSU = 12%
Pajak = 40%

a) Jika perusahaan tidak menggunakan utang:


D =0
( ) ( ,) ,
VU = =
= 20 juta

b) Jika perusahaan menggunakan 10 juta utang:


D = 10 juta
VL = VU + T.D
= 20 juta + (0,4)(10 juta)
= 24 juta
Biaya modal sendiri (KSL):
KSL = KSU + (KSU - Kd) (1-T)(D/S)
= 12% + (12% - 8%)(1-0,4)(10/14)
= 12% + 1,71% = 13,71%
D = 10 juta dan S dapat dicari dengan cara:
VL = D + S
S = VL – D
= 24 juta – 10 juta = 14 juta
Biaya modal perusahaan (WACC):
WACC = (D/V)(Kd)(1-T) + (S/V)KS
= (10/24)(8%)(1-40%) + (14/24)(13,71%)
= 10%

()
VL = VL =
( ,) ,
= = 24 juta
, ,
Cara lain:
( . )()
S= =
[ ( , )]( ,)
S=
,%
= 14 juta
V=D+S
= 10 juta + 14 juta

c) Jika perusahaan menggunakan 30 juta utang:


D = 30 juta
VL = VU + T.D
= 20 + (0,4)(30)
= 32 juta
KSL = KSU + (KSU - Kd) (1-T) (D/S)
= 12% + (12% - 8%)(1-0,4)(30/2)
= 48%
S =V-D
= 32 - 30 = 2 juta
d) Jika perusahaan menggunakan 33,33 juta utang:
D = 33,33 juta
VL = VU + T.D
= 20 + (0,4)(33,33)
= 33,33 juta

Ternyata D = VL = 33,33 juta, artinya perusahaan menggunakan 100% utang. Oleh


karena itu Kd bukan 8% tapi harus sebesar KSU atau 12% (karena pemberi utang
menanggung seluruh risiko perusahaan atau pemberi utang seolah-olah pemilik
perusahaan yang 100% modal sendiri).

D V S D/V Kd KS WACC
0 20 20 0 % 8% 12 % 12 %
5 22 17 22,73% 8% 12,71% 10,91%
10 24 14 41,67% 8% 13,71% 10 %
15 26 11 57,69% 8% 15,27% 9,23%
20 28 8 71,43% 8% 18 % 8,57%
25 30 5 83,33% 8% 24 % 8 %
30 32 2 93,75% 8% 48 % 7,5 %
33,33 33,33 0 100 % 12% - 12 %

Biaya Modal (%) KS

30 -

20 -

10 -
WACC
Kd (1-T)

0 `20 `40 `60 `80 `100

Nilai Perusahaan (V)

33,33 VL
30 -

T.D
20 - VU

10 -

0 `5 `10 `15 `20 `25 `30 `33,33 D

Pada 2 grafik di atas dapat dilihat bahwa penggunaan utang akan meningkatkan nilai
perusahaan dan menurunkan WACC perusahaan. Modal MM-Dengan pajak ini
menyimpulkan bahwa perusahaan seharusnya menggunakan hampir 100% utang.
13.4. MODEL MILLER
Tahun 1976, Miller menyajikan suatu teori struktur modal yang juga meliputi pajak untuk
penghasilan pribadi. Pajak pribadi ini adalah: 1) pajak penghasilan dari saham (Ts), dan 2)
pajak penghasilan dari obligasi (Td).
 Dalil I dari model Miller adalah:
VL = VU + T . D
dimana
( )( )
T = 1–
( )
sehingga:
VL = VU + (1−Tc)(1−Ts) D
1−Td
dimana:
TC = pajak perusahaan (corporate tax rate)
TS = pajak pribadi pada penghasilan saham (personal tax rate on stock income)
Td = pajak pribadi pada penghasilan obligasi (personal tax rate on bond income)
D = utang perusahaan
Jika tidak ada pajak, maka TC = TS = Td = 0, model Miller akan menjadi MM-Tanpa pajak yaitu VL = VU.
Jika tidak ada pajak pribadi, maka TS = Td = 0, model Miller akan menjadi MM-Dengan pajak yaitu V L =
VU + T . D
Keuntungan dari penggunaan utang pada model Miller tergantung pada T C, TS, Td dan D
Karena pajak pada capital gains suatu saham biasanya dibayar belakangan atau tertunda (pajak dibayar
setelah saham terjual), pada umumnya TS < Td.
Kelemahan utama model Miller dan Modigliani Miller adalah mengabaikan faktor yang disebut sebagai:
1) Financial Distress, 2) Agency costs.

13.5. FINANCIAL DISTRESS DAN AGENCY COSTS


Financial Distress adalah kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan terancam
bangkrut. Jika perusahaan mengalami kebangkrutan maka akan timbul biaya kebangkrutan
(Bankruptcy Cost) yang disebabkan oleh keterpaksaan menjual aktiva dibawah harga pasar, biaya
likuidasi perusahaan, rusaknya aktiva tetap dimakan waktu sebelum terjual, dsb. Bankruptcy Cost ini
termasuk Direct cost of financial distress.
Selain itu, ancaman akan terjadinya financial distress juga merupakan biaya karena manajemen
cenderung menghabiskan waktu untuk menghindari kebangkrutan daripada membuat keputusan
perusahaan yang baik. Ini termasuk Indirect cost of financial distress.
Pada umumnya, kemungkinan terjadinya financial distress semakin meningkat dengan meningkatnya
penggunaan utang. Logikanya adalah semakin besar penggunaan utang, semakin besar pula beban
biaya bunga, semakin besar probabilita bahwa penurunan penghasilan akan menyebabkan financial
distress.
Agency Cost atau biaya keagenan adalah biaya yang timbul karena perusahaan menggunakan utang
dan melibatkan hubungan antara pemilik perusahaan (pemegang saham) dan kreditur. Biaya keagenan
ini muncul dari problem keagenan (agency problem) seperti diterangkan pada bab 1. Jika perusahaan
menggunakan utang, maka ada kemungkinan manajemen ataupun pemilik perusahaan melakukan
tindakan yang merugikan kreditur. Misalnya, perusahaan melakukan investasi pada proyek-proyek
berisiko tinggi. Ini jelas merugikan kreditur.
Karena kreditur menerima keuntungan yang tetap (bunga utang) berapapun tingkat keuntungan
perusahaan. Ini tidak sesuai dengan konsep “Jika risiko bertambah, keuntungan juga harus
bertambah”. Untuk menghindari kerugian semacam ini, kreditur melindungi diri dengan perjanjian-
perjanjian pada saat penandatanganan pemberian kredit (covenant). Covenant ini mengurangi
kebebasan perusahaan dalam membuat keputusan. Selain itu perusahaan harus dimonitor untuk
menjamin bahwa covenant ditaati. Biaya untuk monitor ini dibebankan pada perusahaan dalam
bentuk bunga utang yang lebih tinggi. Jadi agency costs terdiri dari:
1) Biaya kehilangan kebebasan atau efisien, dan
2) Biaya untuk memonitor perusahaan.

13.6. MODEL TRADE-OFF


Jika kita memasukkan pertimbangan financial distress dan agency cost ke dalam model MM-dengan
pajak, kita akan peroleh model struktur modal berikut ini:

PV biaya PV biaya
VL = VU + T . D . −
yang diharapkankeagenan

Semakin besar penggunaan utang (D), semakin besar keuntungan dari penggunaan utang (leverage
gain atau T.D), tapi PV biaya financial distress dan PV agency cost juga meningkat, bahkan lebih
besar. Kesimpulannya adalah: penggunaan utang akan meningkatkan nilai perusahaan tapi hanya
sampai titik tertentu. Setelah titik tersebut, penggunaan utang justru akan menurunkan nilai
perusahaan karena kenaikan keuntungan dari penggunaan utang tidak sebanding dengan kenaikan
biaya financial distress dan agency problem. Titik balik tersebut disebut struktur modal yang optimal,
menunjukkan jumlah utang perusahaan yang optimal.
Nilai perusahaan (V)
VL = VU +
T.D

Keuntungan pengunaan utang (TD) Nilai perusahaan menurut


“MM dengan Pajak”

Biaya financial distress


dan agency problem

VU VL

Nilai perusahaan yang aktual

Jumlah utang yang optimal


Utang
U W

Pada titik U, biaya financial distress dan agency problem mulai diperhitungkan dan mengurangi
keuntungan penggunaan utang (T.D). Antara titik U dan W, biaya financial distress dan agency
problem semakin besar tapi nilai perusahaan masih naik. Setelah titik W, penggunaan utang tidak
menguntungkan lagi. Semakin besar utang, semakin menurun nilai perusahaan.
Model ini disebut model “Trade-Off” karena struktur modal yang optimal dapat ditemukan dengan
menyeimbangkan keuntungan penggunaan utang (tax shield benefits of leverage) dengan biaya
financial distress dan agency problem.
Model trade-off tidak dapat menentukan secara tepat struktur modal yang optimal karena sulit untuk
menentukan secara tepat PV biaya financial distress dan PV agency costs. Namun demikian model ini
memberikan 3 masukan penting.
a) Perusahaan yang memiliki aktiva yang tinggi variabilitas keuntungannya akan memiliki
probabilita financial distress yang besar. Perusahaan semacam ini harus menggunakan sedikit
utang.
b) Aktiva tetap yang khas (tidak umum), aktiva yang tidak nampak (intangible assets) dan
kesempatan bertumbuh akan kehilangan banyak nilai jika terjadi financial distress. Perusahaan
yang menggunakan aktiva semacam ini seharusnya menggunakan sedikit utang.
c) Perusahaan yang membayar pajak yang tinggi (dikenai tingkat pajak yang besar) sebaiknya lebih
banyak menggunakan utang dibanding perusahaan yang membayar pajak yang rendah (tingkat
pajak rendah).
Meskipun model Trade-off cukup logis secara teori, secara empiris, bukti-bukti yang mendukung
model ini kurang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa masih ada faktor-faktor yang belum mampu
dipertimbangkan dalam model.
Model Trade-off dari Modigliani dan Miller serta Model Miller dapat digambarkan sebagai berikut:

Biaya Modal (%)


KS

WACC
Kd (1-TC)

D/V optimal Rasio Utang-Nilai Perusahaan (D/V)

Nilai Perusahaan (V)

VU VL

0 D/V optimal Utang (D)

Pada grafik di atas, ditunjukkan hubungan antara biaya utang, biaya modal sendiri dan biaya modal
perusahaan (WACC). Baik Ks maupun Kd (1-Ts) naik terus dengan naiknya penggunaan utang, tapi
tingkat kenaikan bertambah pada tingkat penggunaan utang yang tinggi, menunjukkan kenaikan pada
biaya financial distress dan biaya keagenan. Kurva WACC mula-mula turun (karena kemungkinan
penggunaan utang masih besar, PV biaya financial distress dan PV biaya keagenan masih kecil)
hingga D/V optimal, setelah itu naik (karena biaya PV financial distress dan PV biaya keagenan
semakin besar). Pada grafik bawah ditunjukkan bahwa pada saat WACC minimum, nilai perusahaan
mencapai titik maksimum.
Karena sulit menentukan D optimal secara akurat (karena sulit mengkuantitatifkan kerugian dan
keuntungan dari penggunaan utang), umumnya struktur modal perusahaan berkisar di sekitar D
optimal.
Nilai Perusahaan (V)

VU VL

0 D optimal Utang (D)

13.7. TEORI INFORMASI TIDAK SIMETRIS (ASYMETRIC INFORMATION


THEORY)
Awal dekade 1960-an, Gordon Donaldson dari Harvard University mengajukan teori tentang
informasi yang tidak simetris. Asymmetric information adalah kondisi dimana suatu pihak memiliki
informasi yang lebih banyak dari pihak lain. Karena asymmetric information, manajemen perusahaan
tahu lebih banyak tentang perusahaan dibanding investor di pasar modal. Jika manajemen perusahaan
ingin memaksimumkan nilai untuk pemegang saham saat ini (current stockholder), bukan pemegang
saham baru, maka ada kecenderungan bahwa: 1) jika perusahaan memiliki prospek yang cerah,
manajemen tidak akan menerbitkan saham baru tapi menggunakan laba ditahan (supaya prospek
cerah tersebut dapat dinikmati current stockholder), dan 2) jika prospek kurang baik, manajemen
menerbitkan saham baru untuk memperoleh dana. Ini akan menguntungkan current stockholder
karena tanggung jawab mereka berkurang. Masalahnya adalah para investor tahu kecenderungan ini
sehingga mereka melihat penawaran saham baru sebagai sinyal buruk sehingga harga saham
perusahaan cenderung turun jika saham baru diterbitkan. Ini menyebabkan biaya modal sendiri (costs
of equity) menjadi tinggi, WACC semakin tinggi dan nilai perusahaan cenderung turun. Hal ini
mendorong perusahaan untuk menerbitkan obligasi atau berutang daripada menerbitkan saham baru.
Adanya asymmetric information, Gordon Donaldson menyimpulkan bahwa perusahaan lebih senang
menggunakan dana dengan urutan: 1) Laba ditahan dan dana dari depresiasi, 2) Utang, dan 3)
Penjualan saham baru.

Dengan mengkombinasikan teori Trade-off dan teori Asymmetric Information kita dapat
menyimpulkan perilaku perusahaan sebagai berikut:
a. Penggunaan utang memberikan keuntungan karena adanya pengurangan pembayaran pajak akibat
bunga utang. Oleh karena itu perusahaan sebaiknya menggunakan utang dalam struktur modal
mereka.
b. Namun demkian, financial distress dan agency cost membatasi penggunaan utang. Lewat dari
suatu titik tertentu, biaya tersebut menutup keuntungan penggunaan utang.
c. Karena adanya asymmetric information, perusahaan cenderung memelihara kemungkinan
berutang untuk dapat mengambil keuntungan dari kesempatan investasi yang baik tanpa harus
menerbitkan saham baru pada harga yang sedang turun akibat “bad signaling”.

oo0oo
13.8. Latihan Mandiri

1. Jelaskan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalapenentuan struktur modal! Adakah


struktur modal yang optimal?

2. PT Madamia telah memiliki data terkait dengan beberapa kemungkinan struktur modal,
perikiraan earning per share serta tingkat keuntungan seperti berikut :

Struktur Modal EPS yang Tingkat


(Rasio Utang) diperkirakan Keuntungan
0% Rp 312 13%
10 390 15
20 480 16
30 544 17
40 551 19
50 500 20
60 440 22

a. Hitung nilai saham per lembar dari masing-masing struktur modal tersebut
b. Tentukan struktur modal manakah yang dapat memberikan nilai saham yang
maximum bagi PT Madamia dan berapakah EPS maksimum yang dapat diperoleh
oleh pemegang saham PT Madamia?
c. Struktur modal manakah yang Saudara rekomendasikan?
Solusi

1. Faktor-faktor yang diperhatikan dalam penentuan struktur modal :


a. Stabilitas penjualan. Perusahaan dengan penjualan yang relative stabil dapat dengan aman
mengambil lebih banyak utang dan menanggung beban tetap yang lebih tinggi dibandingkan
perusahaan yang kurang stabil penjualannya
b. Struktur aktiva. Perushaan yang aktivanya cocok sebagai jaminan atas pinjaman cenderung
lebih banyak menggunakan utang
c. Leverage Operasi. Perusahaan dengan leverage operasi yang lebih sedikit memilki
kemampuan yang lebih baik dalam menerapkan leverage keuangan karen aperusahaan
tersebut akan memiliki risiko bisnis yang lebih kecil
d. Tingkat pertumbuhan. Perusahaan yang tumbuh dengan cepat harus lebih mengandalakan diri
pada dana eksternal
e. Profitabilitas. Perusahaan-perusahaan yang memilki tingkat pengembalian atas investasi yang
sangat tinggi menggunakan utang relatif sedikit. Meskipun tidak terdapat pemebenaran
teoritis atas fakta ini, salah satu pembenaran praktis adalah bahwa perusahaan-perusahaan
yang sangat menguntungkan seperti Intel, Coca-cola, Microsoft memang sebenarnya tidak
banyak membutuhkan pendanaan melalui utang. Tingkat pengembalian mereka yang tinggi
memungkinkan mereka melakukan sebagian besar pendanaan secara internal
f. Pajak. Bunga adalah beban yang dapat menjadi pengurang pajak dan pengurang pajak adalah
hal yang sangat berharga bagi perusahaan dengan tarif pajak yang tinggi. Oleh karena itu,
semakin tinggi tarif pajak sebuah perusahaan semakin besar manfaat yang diperoleh dari
utang.
g. Pengendalian. Dampak utang versus saham pada posisi pengendalian manajemen dapat
mempengaruhi struktur modal. Jika manajemen memiliki suara 50% terhadap sahamnya,
tetapi perusahaan berada dalam posisi dimana mereka tidak bisa berutang lagi, maka
manajemen dapat berutang sebagai alternatif untuk pendanaan-pendanaan baru.
h. Sikap manajemen. Sikap manajemen yang cenderung konservatif akan menggunakan lebih
sedikit utang daripada rata-rata perusahaan dalanm industri mereka. Sedangkan manajemen
yang bersikap agresif menggunakan lebih banyak utang dalam pencarian mereka akan laba
yang tinggi.

Ada terdapat struktur modal yang optimal atau paling tidak tertelak dalam suatu rentang
tertentu untuk setiap perusahaan, meskipun masih sulit untuk menentukan secara pasti satu
struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal menurut Brigham dan Houston
adalah kombinasi ekuitas dan utang yang dapat memaksimalkan harga saham
2. a.
Struktur Modal EPS yang Tingkat Nilai Saham
(Rasio Utang) diperkirakan (1) Keuntungan (2) (1) : (2)
0% Rp 312 13% Rp 2.400
10 390 15 2.600
20 480 16 3.000
30 544 17 3.200
40 551 19 2.900
50 500 20 2.500
60 440 22 2.000

b. Struktur modal yang dapat memberikan nilai saham maksimum bagi perusahaan adalah
struktru modal yang terdiri atas 30% utang dengan nilai sahamnya yaitu Rp 3.200/lembar.
Sedangkan struktur modal yang dapat memberikan EPS terbesar bagi perusahaan adalah
dengan rasio utang sebesar 40% yang dapat memberikan EPS sebesar Rp 551

c. Struktur modal yang direkomendasikan adalah struktur modal yang terdiri atas 30% utang,
karena komposisi tersebut dapat memaksimumkan nilai saham (nilai perusahaan). Hal ini
sejalan dengan tujuan manajemen keuangan yaitu untuk memaksimumkan nilai perusahaan
BAB XIV MERGER DAN AKUISISI

14.1. PENDAHULUAN

Setelah perusahaan mengetahui kinerjanya juga permasalahan lainnya, maka kegiatan


selanjutnya adalah pengembangan. Salah satu kegiatan pengembangan perusahaan dalam hal
kegiatan keuangan, dalam hal pengelolaannya diistilahkan dengan merger dan akuisisi. Kegiatan
merger dan akuisisi merupakan kegiatan gabungan dalam hal kegiatan keuangan perusahaan,
seperti financing atau pembiayaan dan juga meliputi kegiatan investasi dan kebijakan dividen.
Semua saling berkaitan dalam memutuskan apakah perusahaan akan melakukan merger dan
akuisisi.
Merger dan akuisisi merupakan alternatif untuk melakukan ekspansi atau perluasan usaha.
Perluasan usaha memang dapat dilakukan dengan ekspansi intern (yaitu menambah kapasitas
pabrik, menambah unit produksi, menambah divisi baru, dan sebagainya), tetapi juga dapat
dilakukan dengan menggabungkan dengan usaha yang telah ada (merger dan consolidation) atau
membeli perusahaan yang telah ada (akuisisi). Beberapa perusahaan memilih untuk mengakuisisi
perusahaan lain dalam mendukung usaha pengembangan .

Beberapa contoh di Bursa Efek Indonesia diantaranya adalah, PT. Mayora Indah Tbk (industri
makanan dan minuman) mengakuisisi 96% saham PT. Torabika Eka Semesta Tbk sebanyak 25,5
juta lembar saham senilai sekitar Rp. 62,5 milyar. PT. Dynaplast (industri plastik) mengakuisisi
51% saham PT. Rexplast (perusahaan botol dan pengepakan plastik) senilai Rp. 7,76 milyar. PT.
Sari Husada Tbk (industri makanan bayi) mengakuisisi 100% saham PT. Sugizindo Tbk
(industry makanan bayi) senilai Rp. 28,3 milyar. Istilah merger sering dipergunakan untuk
menunjukkan penggabungan dua perusahaan atau lebih, dan kemudian tinggal nama salah satu
perusahaan yang bergabung. Sedangkan consolidation menunjukkan penggabungan dari dua
perusahaan atau lebih, dan nama dari perusahaan-perusahaan yang bergabung tersebut hilang,
kemudian muncul nama baru dari perusahaan gabungan. Dalam pembicaraan disini istilah-istilah
tersebut akan sering dipergunakan dengan maksud yang sama (interchangeable).
Pembahasan diarahkan pada bagaimana mengevaluir suatu rencana akuisisi, dan mengapa dalam
implementasinya muncul berbagai resistensi terhadap upaya—upaya akuisisi.

14.2. MOTIF MERGER DAN AKUISISI

Ada alasan mengapa perusahaan bergabung dengan perusahaan lain, atau membeli perusahaan
lain (akuisisi). Alasan yang sering dikemukakan adalah lebih cepat dari pada harus membangun
unit usaha sendiri. Meskipun alasan tersebut benar, faktor yang paling mendasari sebenarnya
adalah motif ekonomi. Dengan kata lain, kalau kita akan membeli perusahaan lain, maka
pembelian tersebut hanya dapat dibenarkan apabila pembelian tersebut menguntungkan kita.
Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, kalau pembelian tersebut akan menguntungkan kita,
apakah tidak akan merugikan pemilik perusahaan yang dijual. Kalau ya, tentunya tidak akan
terjadi transaksi. Dengan kata lain, transaksi tersebut hanya akan terjadi kalau pembelian tersebut
akan menguntungkan kedua belah pihak. Menguntungkan pemilik perusahaan yang dijual, dan
juga pemilik perusahaan yang membeli.

Kondisi saling menguntungkan tersebut akan terjadi kalau dari peristiwa akuisisi atau merger
tersebut diperoleh synergy. Synergy berarti bahwa nilai gabungan dari kedua perusahaan tersebut
lebih besar dari penjumlahan masing-masing nilai perusahaan yang digabungkan. Dalam bahasa
yang lebih mudah, synergy adalah situasi pada saat 2 + 2 = 5. Synergy dapat bersumber dari
berbagai sebab. Misalnya, pemanfaatan manajemen, untuk beroperasi lebih ekonomis (operating
economies of scale), untuk pertumbuhan yang lebih cepat, dan pemanfaatan penghematan pajak.

Disamping alasan-alasan yang diharapkan dapat menimbulkan synergy (dan karenanya


merupakan alasan yang masuk akal), kadang-kadang akuisisi dilakukan dengan alasan yang
meragukan (dubious). Dua alasan dubious yang sering disebut adalah diversifikasi dan jumlah
earnings per share (EPS). Dari konsep CAPM kita mengetahui bahwa diversifikasi tidaklah
menimbulkan manfaat, karena pasar akan menentukan nilai perusahaan berdasarkan atas risiko
yang tidak bisa dihilangkan dengan diversifikasi (risiko sistematis). Sedangkan untuk alasan
EPS, yang penting adalah pertumbuhan EPS bukan jumlah EPS saat ini. Alasan EPS yang
dubious terjadi karena analisis dilakukan atas dasar pertimbangan jumlah EPS saat ini. Untuk itu
perhatikan contoh berikut ini.

PT. Matahari merencanakan akan mengakuisisi PT. Bulan. Data kedua perusahaan tersebut
adalah sebagai berikut.

PT. Matahari PT. Bulan


1. EPS Rp. 2.000 Rp. 2.000
2. Harga per lembar saham Rp. 20.000 Rp. 8.000
3. PER 10x 4x
4 Jumlah lembar saham 10 juta 10 juta
5 Laba setelah pajak Rp. 20 milyar Rp. 20 milyar
6 Nilai pasar equity Rp. 200 milyar Rp. 80 milyar

Misalkan PT. Matahari dapat membeli PT. Bulan dengan harga seperti saat ini dengan cara
menukar saham, dan diharapkan tidak terjadi synergy. Bagaimana EPS harga saham, PER,
jumlah lembar saham, laba setelah pajak dan nilai equity setelah merger? Apa kesimpulan yang
dapat kita peroleh?

Perhitungan akan lebih mudah kalau dimulai dengan menghitung:


(1) Laba setelah pajak = Rp. 20 milyar + Rp. 20 milyar = Rp. 40 milyar
(2) Nilai Pasar equity = Rp. 200 milyar + Rp. 80 milyar = Rp. 280 milyar
(3) Jumlah lembar saham, 10 juta + (Rp. 80 milyar/Rp. 20.000) = 14 juta lembar
(4) Dengan demikian bisa dihitung, EPS, harga saham dan PER. Hasilnya disajikan dalam table
berikut ini.

PT. Matahari PT. Bulan PT. Matahari


(Setelah merger)
1. EPS Rp. 2.000 Rp. 2.000 Rp. 2.857
2. Harga per lembar Rp. 20.000 Rp. 8.000 Rp. 20.000
3. PER 10x 4x 7x
4.Jumlah lembar saham 10 juta 10 juta 14 juta
5. Laba setelah pajak Rp. 20 milyar Rpo. 20 milyar Rp. 40 milyar
6. Nilai pasar equity Rp. 200 Rp. 80 milyar Rp. 280 milyar
milyar
Kita lihat bahwa harga saham PT. Matahari setelah merger tetap Rp. 20.000, tetapi EPS
dilaporkan lebih tinggi. Apabila kita keliru memperhatikan jumlah EPS sebagai ukuran
keberhasilan akuisisi, maka kita akan mengatakan bahwa akuisisi tersebut baik bagi pemegang
saham PT. Matahari. Padahal sebenarnya kemakmuran pemegang saham PT. Matahari tidak
berubah. Hal ini yang disebut sebagai bootstrap effect.

14.3. MENAKSIR BIAYA DAN MANFAAT AKUISISI

Analisis dilakukan dengan menggunakan asumsi bahwa pasar modal adalah efisiensi. Dengan
demikian maka harga saham yang tercantum di bursa meupakan harga yang wajar. Misalkan
jumlah lembar saham PT. Sinar Sebesar 10.000.000 lembar dengan harga saat ini sebesar Rp.
8.000 per lembar. Dengan demikian nilai equity PT. Sinar adalah Rp. 80 milyar. Kita tuliskan
PVs=Rp. 80 milyar.

Apabila PT. Sinar akan dibeli oleh PT. Matahari disebut sebagai acquiring company dan PT.
Sinar disebut sebagai acquired company, dan untuk contoh-contoh selanjutnya kita akan selalu
menggunakan PT. Matahari sebagai acquiring company), maka kemungkinan sekali para
pemegang saham PT. Sinar akan meminta harga yang lebih tinggi dari Rp. 8.000 per lembar.
Mengapa? Karena kalau PT. Matahari juga hanya menawarkan harga Rp. 8.000, maka pemegang
saham PT. Sinar juga dapat menjual saham yang mereka miliki ke bursa (atau pemodal lain) dan
memperoleh harga yang sama. Misalkan PT. Matahari menawarkan harga Rp. 9.000 per lembar.
Dengan demikian maka biaya akuisisi tersebut adalah,
10.000.000 x (Rp. 9.000 – Rp. 8.000) = Rp. 10 milyar.

Karena itu PT. Matahari hanya bersedia membayar PT. Sinar dengan harga Rp. 10 milyar lebih
mahal kalau dengan pembelian tersebut diharapkan PT. Matahari akan dapat memperoleh
manfaat lebih besar dari Rp. 10 milyar. Manfaat ini hanya akan terjadi kalau diharapkan akan
timbul synergy.

Misalkan PT. Matahari adalah perusahaan industri makanan dan minuman, sedangkan PT. Sinar
adalah perusahaan distribusi. Misalkan diharapkan dari akuisisi tersebut PT. Matahari akan dapat
menghemat biaya distribusi sebesar Rp. 1.000 juta pada tahun depan, dan penghematan tersebut
diharapkan akan meningkat sebesar 10% per tahun selamanya (sesuai dengan tingkat inflasi).
Apabila tingkat keuntungan yang dipandang layak adalah 17%, maka manfaat akuisisi tersebut
adalah,
Manfaat = 1.000 juta/(0,17-0,10)
= Rp. 14,3 milyar

Manfaat yang positif menunjukkan adanya manfaat ekonomi bagi peristiwa akuisisi tersebut.

Misalkan jumlah lembar saham PT. Matahari adalah 50 juta lembar @ Rp. 12.000. Dengan
demikian maka PVA = Rp. 600 milyar. Sedangkan gabungan PT. Matahari dan PT. Sinar
setelah memperoleh synergy (PVAS) adalah (Rp. 600 + Rp. 14,3 + Rp.80) = Rp. 694,3 milyar.

Manfaat juga dapat dihitung dengan,

Manfaat = PVAS - (PVA + PVS)


= 694,3 - (600 + 80)
= Rp. 14,30 milyar

Manfaat bersih (atau NPV), adalah


NPV = Rp. 14,3 - Rp. 10,0
= Rp. 4,30 milyar

Contoh synergy yang diharapkan terjadi dari contoh di atas disebut sebagai operating synergy.
Operating synergy adalah synergy yang dinikmati oleh perusahaan karena kombinasi dari
beberapa operasi sehingga dapat menekan biaya dan/atau menaikkan penghasilan. Operating
synergy muncul dari perusahaan yang melakukan ekspansi pada bisnis yang sama sehingga dapat
menekan biaya rata-rata karena biaya tetap per satuan menurun (memperoleh economies of
scale), atau melakukan diversifikasi ke sektor yang masih berakitan (related diversification).
Related diversification misalnya dilakukan oleh perusahaan garment yang kemudian mendirikan
pabrik tekstil. Perusahaan rokok yang kemudian mempunyai divisi perkebunan tembakau, dan
sebagainya. Apabila upaya untuk memperoleh economies of scale dilakukan dengan integrasi
horizontal, maka related diversification dilakukan dengan integrasi vertikal.

Selain operating synergy, jenis synergy, jenis synegy lain adalah financial synergy. Financial
synergy berasal dari penghematan yang dinikmati perusahaan yang berasal dari sumber
pendanaan (financing). Jenis synergy ini mungkin diperoleh dari conglomerate merger.
Conglomerate merger merupakan penggabungan perusahaan (bisa berasal dari akuisisi) dari
berbagai jenis kegiatan yang secara operasional tidak berkaitan satu sama lain. Sebagai misal,
perusahaan semen membeli jaringan supermarket. Kita tidak berharap bahwa penjualan semen
akan meningkat karena didistribusikan lewat supermarket. Contoh lain, perusahaan rokok
membeli perusahaan garment. Dalam teori keuangan, diversifikasi ke sektor yang tidak
berhubungan (unrelated diversification) disebut sebagai conglomerate merger. Jadi
conglomerate adalah perusahaan yang mempunyai berbagai jenis usaha, dan jenis-jenis usaha
tersebut tidak berkaitan satu sama lain. Contoh yang pernah terjadi adalah PT. Indocement
(industri semen) mengakuisisi Indofood (makanan), Bogasari (tepung terigu), dan wisma
Indocement (property).

Financial synergy mungkin berasal dari dua sumber. Pertama, dengan mempunyai berbagai
divisi, arus kas operasi perusahaan diharapkan akan lebih stabil. Dengan demikian peluang untuk
tidak dapat memenuhi kewajiban financial akan berkurang. Apabila hal ini ditafsirkan oleh
kreditor sebagai penurunan risiko tidak mampu membayar kewajiban financial, maka kreditor
mungkin menetapkan tingkat bunga yang lebih rendah. Cost of debt yang lebih rendah tentu akan
menguntungkan perusahaan. Kedua, apabila hutang yang lebih tinggi. Sejauh pembayaran bunga
masih bersifat tax deductible, penggunaan hutang yang makin banyak akan menghasilkan
penghematan pajak yang makin besar pula.

Misalkan PT. A yang bergerak dalam bidang garment mengakuisisi PT. Q yang berbisnis dalam
bidang obat-obatan (farmasi). Sebagai akibat akuisisi tersebut PT. A sekarang dapat
meningkatkan (menambah) hutangnya sebesar Rp. 20 milyar menjadi Rp. 80 milyar tanpa harus
menanggung tingkat bunga yang lebih tinggi. Apabila tingkat bunga hutang tersebut adalah 16%
per tahun, tarif pajak permanen, maka PV penghematan pajak karena penggunaan tambahan
hutang tersebut adalah,
0,35(20 milyar) = Rp. 7,00 milyar

Ini berarti bahwa PT. A mungkin menawar PT. Q dengan harga lebih tinggi dari harga pasar
yang saat ini terjadi, sejauh tawaran tersebut tidak lebih tinggi dari Rp. 7 milyar. Jadi apabila
harga pasar PT. Q saat ini adalah Rp. 30 milyar, PT. A dapat menawar dengan harga, misalnya,
Rp. 34 milyar. Tawaran PT. A tentu lebih menarik, meskipun para pemegang saham PT. A juga
masih memperoleh manfaat netto sebesar Rp. 3 milyar.

14.4. MENAKSIR BIAYA APABILA AKUISISI DILAKUKAN DENGAN


PERTUKARAN SAHAM

Contoh perhitungan biaya di atas adalah apabila akuisisi dilakukan dengan cara pembayaran
tunai. Akuisisi juga dapat dilakukan dengan cara pertukaran saham. Apabila cara ini yang
ditempuh, maka pemegang saham perusahaan yang diakuisisi akan menjadi pemegang saham
perusahaan yang mengakuisisi. Dalam contoh di atas, saham PT. S diganti dengan saham PT. A.
Dengan demikian apabila setelah akuisisi diperoleh NPV positif, maka NPV tersebut akan ikut
dinikmati oleh bekas pemegang saham PT. S. Sebaliknya apabila setelah akuisisi terjadi kerugian
(NPV negative), pemegang saham PT. S ikut menanggungnya. Berikut ini diberikan contoh
tentang hal tersebut.

Kita gunakan contoh yang sama dengan Sub Bab 24.2. Apabila saham PT. S dihargai Rp. 9.000
sedangkan 10 juta lembar saham tersebut akan diganti dengan saham PT. A, maka PT. A perlu
menggantinya dengan jumlah lembar saham (ingat harga saham PT. A adalah Rp. 12.000 per
lembar),
(10 juta x Rp. 9.000)/Rp. 12.000 = 7.500.000 lembar

Jumlah lembar saham yang baru sekarang adalah,


50 juta + 7,5 juta = 57,5 juta lembar
Nilai perusahaan setelah merger (PVAS), adalah Rp. 694,3 milyar. Dengan demikian harga saham
per lembar setelah merger adalah,
Rp. 694,3 milyar/57,5 juta = Rp. 12.075 (dibulatkan)

Ini berarti bahwa bagi pemegang saham lama, mereka menikmati tambahan kemakmuran
sebesar Rp. 75 per lembar, atau secara keseluruhan,
50 juta x Rp. 75 = Rp. 3,75 milyar

Tambahan kemakmuran pemegang saham baru (bekas PT. S) adalah,


(7,5 juta x Rp. 12.075) - Rp. 80 milyar = Rp. 10,55 milyar

Apabila kita bandingkan dengan cara akuisisi secara tunai, maka Nampak bahwa kalau NPV
akuisisi tersebut positif, dengan cara pertukaran saham akan membuat menfaat yang dinikmati
oleh bekas pemegang saham PT. S lebih besar. Hal yang sebaliknya akan terjadi kalau ternyata
NPV negatif.

14.5. FRIENDLY MERGER ATAU HOSTILE TAKEOVER

Dalam peristiwa akuisisi, pihak yang seringkali tidak setuju adalah manajemen dari perusahaan
yang akan dibeli (acquired company). Mengapa? Karena mereka takut kalau jabatan mereka
akan dicopot. Mungkin jabatan mereka akan diganti dengan orang lain, atau mungkin jabatan-
jabatan tersebut akan dihilangkan. Kalau dua perusahaan dijadikan satu, tidak mungkin jumlah
direksinya akan sama dengan penjumlahan dari dua direksi perusahaan sebelum digabungkan.
Direksi perusahaan yang dibeli mungkin dihilangkan (ini juga dilakukan untuk menghemat
ongkos operasi), atau mereka diturunkan tingkatannya.

Apabila merger dapat dilakukan secara bersahabat (friendly merger), maka hal ini akan
dilakukan dengan cara manajemen kedua belah pihak berunding bersama, dan hasil perundingan
tersebut (menyangkut harga yang wajar, pembayaran akuisisi, dan lain-lain) akan diusulkan ke
pemilik perusahaan. Apabila dirasa bahwa manajemen perusahaan yang akan diakuisisi tidak
akan bekerja sama, maka manajemen perusahaan yang akan mengakuisisi mungkin memilih
hostile takeover. Dengan cara ini manajemen perusahaan yang diakuisisi tidak diajak berunding,
tetapi perusahaan yang akan mengakuisisi langsung menawarkan ke pemegang saham acquired
company persyaratan-persyaratan yang dinilai cukup menarik. Sebagai misal, kalau harga saham
accuirered company saat ini sebesar Rp. 8.000, maka para pemegang saham akan ditawari
dengan harga yang lebih tinggi apabila mereka bersedia menjualnnya ke perusahaan yang akan
mengakuisisi.

Pihak manajemen perusahaan yang akan dibeli mungkin melakukan berbagai taktik untuk
mempertahankan diri (defense tactics) yang intinya bertujuan supaya akuisisi tersebut akan batal.
Taktik-taktik tersebut akan mengarah pada meningkatnya biaya yang harus dibayar (atau
ditanggung) oleh pemegang saham yang membeli. Apabila rencana akuisisi tersebut gagal, maka
direksi perusahaan sasaran masih aman pada kedudukannya. Taktik-taktik mempertahankan diri
diantaranya adalah yang disebut golden parachute. Taktik ini dinyatakan dalam kontrak kerja,
yang menyatakan bahwa apabila manajemen perusahaan akan memperoleh kompensasi yang
sangat besar apabila mereka kehilangan jabatan karena perusahaan diakuisisi. Jumlah komposisi
yang sangat besar tersebut mungkin akan membatalkan rencana akuisisi.

Cara lain adalah dengan menggunakan poison pill. Cara ini ditempuh oleh manajemen PT. B
(yaitu yang akan diakuisisi) dengan menerbitkan obligasi yang disertai warrant yang dapat
ditukar dengan saham perusahaan dengan harga yang sangat rendah. Saat ini harga saham PT. B
adalah Rp. 8.000 per lembar, tetapi warrant tersebut menyatakan bahwa pemilik warrant
tersebut dapat membeli saham perusahaan dengan membayar hanya Rp. 4.000. Karena setelah
PT. B diakuisisi pemegang sahamnya menjadi pemegang saham PT. A yang mengakuisisi, maka
warrant tersebut akan valid untuk saham PT. A. Kalau harga saham PT. A jauh lebih tinggi dari
Rp. 4.000, maka bekas pemegang saham PT. B akan diuntungkan, sebaliknya pemgang saham
PT. A yang lama akan dirugikan. Dengan demikian mungkin saja akhirnya rencana akuisisi akan
batal.

Cara lain adalah manajemen PT. B mencari calon pembeli baru. Apabila mereka berhasil
memperoleh calon pembeli baru yang menyatakan bahwa manajemen PT. B tidak akan dirubah,
maka calon ini tentu lebih disukai oleh manajemen PT. B. Cara ini disebut sebagai white knight.
14.6. LATIHAN MANDIRI

1. SCTV sedang mempertimbangkan untuk mengakuisisi Indosiar. Berdasarkan


perhitungan, SCTV memutuskan untuk mengakuisisi Indosiar dengan
menggunakan transaksi stock swap dan menentukan $ 120 per saham yang
diperlukan untuk melakukan akuisisi. Di Bursa Efek Indonesia, saham SCTV dijual
seharga $ 75 dan saham Indosiar dijual seharga $ 65 per saham. Data keuangan
terakhir disajikan sebagai berikut :

SCTV Indosiar
Earning Available for C/S $250 million $200 million
C/S Outstanding 3.500.000 2.500.000
Market Value $68 $55

a. Hitunglah EPS dan PER untuk setiap perusahaan sebelum akuisisi


b. Berapakah ratio of exchange untuk akuisisi ini?
c. Hitunglah EPS setiap perusahaan setelah akuisisi
d. Berapakah market price ratio untuk akuisisi ini?

2. Definisikan dan jelaskan perbedaan diantara kelompok berikut :


a. Mergers, konsolidasi dan holding company
b. Acquiring company dan target company
c. Friendly merger dan hostile merger

3. Definisikan dan jelaskan masing-masing dari tipe merger berikut :


a. Horizontal merger
b. Vertical merger
c. Congeneric merger
d. Conglomerate merger
JAWABAN LATIHAN MANDIRI

1.

a. EPS masing-masing perusahaan sebelum akuisisi


$250,000,000
=
3,500,000

= $71.42857

$200,000,000
=
2,500,000
= $80

PER masing-masing perusahaan sebelum akuisisi


$75
=
$71,43
= 1,0499 = 1,05

$65
=
$80
= 0,8125

b. Ratio of Exchange untuk akuisisi tersebut



ℎ =
ℎ ℎ
$120
ℎ =
$ 75

ℎ = $1,6

Jadi, untuk mengakuisisi Indosiar, SCTV harus membayar 1,6 sahamnya. 1 saham
Indosiar = 1,6 SCTV.

c. EPS setiap perusahaan setelah dilakukan akuisisi


+
=
+( )
$250,000,000 + $200,000,000
=
3,500,000 + (1,6 2,500,000)
= $60

=
= $60 1,6
= $96
d. Market Price Ratio untuk akuisisi tersebut
=
75 1,6
=
65
= 1,8461
= 1,85

MPR setelah akuisisi, harga saham SCTV menjadi 1,85x harga saham Indosiar.

2. a. Mergers adalah kombinasi dari dua atau lebih perusahaan, dimana perusahaan hasil
merger menggunakan identitas salah satu perusahaan, umumnya perusahaan terbesar

Konsolidasi adalah kombinasi dari dua atau lebih perusahaan membentuk perusahaan
baru.

Holding company adalah perusahaan yang memiliki kendali terhadap satu atau lebih
perusahaan.

b. Acquiring company adalah perusahaan yang mengakuisisi perusahaan lain


Target company perusahaan yang akan diakuisisi oleh perusahaan lain.

c.Friendly merger adalah merger yang dilakukan dengan cara yang bersahabat, dimana
syarat-syarat dari merger dapat diterima oleh kedua manajemen perusahaan.

Hostile merger adalah merger secara paksa , perusahaan sasaran (target company)
menentang dilakukannya merger.

3. a. Horizontal Merger , apabila suatu perusahaan menggabungkan diri dengan perusahaan


lain dalam jenis bisnis yang sama.

b.Vertical Merger, apabila suatu perusahaan menggabungkan diri dengan supplier/


customer / distributor nya.

c.Congineric Merger , apabila suatu perusahaan menggabungkan diri dengan perusahaan


baru yang berada di satu industri tetapi dengan lini bisnis yang berbeda.

d. Conglomerate Merger, kombinasi perusahaan yang tidak memiliki hubungan bisnis.


BAB XV
Leasing
15.1. PENDAHULUAN
Leasing adalah proses dimana perusahaan dapat memperoleh atau menggunakan aktiva tetap
dengan cara perusahaan perlu melakukan kontrak secara series atau periodic, dan diperoleh tax
deductible payment. Seperti juga saat ini untuk memperoleh aktiva tetap, ada 2 cara: membeli,
atau leasing. Sebelum 1950-an, leasing identik dengan bisnis real estate. Saat ini berbagai
macam aktiva tetap dapat diperoleh dengan cara leasing. Pada dasarnya leasing dibagi menjadi 2
jenis: yang pertama yaitu operating lease, dan yang kedua adalah financial lease.
Operating lease atau disebut juga service lease, umumnya menyediakan pendanaan sekaligus
perawatan aktiva tetap. Pemilikan aktiva disebut lessor, sedangkan pengguna disebut lessee.
Lessor menyediakan aktiva untuk lease yang membayar lease payment.
Ciri-ciri operating lease:
1. Tidak teramortisasi secara penuh (not fully amortized), artinya total lease payment lebih
kecil dari biaya pengadaan aktiva.
2. Usia kontrak lease lebih pendek dari usia ekonomis aktiva yang diperkirakan
3. Lessor mengharapkan keuntungan dari me-leasing aktivanya beberapa kali.
4. Ada klausul “cancellation” atau dapat dibatalkan. Klausul ini memberi hak kepada lease
untuk membatalkan kontrak lease sebelum jatuh tempo.
Financial lease atau sering disebut capital lease berbeda dari operating lease dalam hal: (1)
tidak menyediakan jasa perawatan, (2) tidak dapat dibatalkan, dan (3) teramortisasi secara penuh
(fully amortized), yang atinya total lease payment sama dengan biaya pengadaan aktiva plus
keuntungan lessor.

15.2. EFEK LEASING PADA LAPORAN KEUANGAN


Pada kondisi tertentu, aktiva maupun utang pada leasing tidak tercatat pada neraca, dengan
demikian leasing merupakan pendanaan yang bersifat off-balance sheet. Misalkan Perusahaan
PT. Putri dan PT. Limas memiliki neraca yang sama sebagai berikut:

Aktiva lancar 100 Hutang 100


Aktiva tetap 100 Modal sendiri 100
200 200
Hutang/Aktiva = 50%
Andaikan kedua perusahaan membeli mesin seharga 200. PT Putri meminjam 200 untuk
membeli mesin tersebut sedangkan PT. Limas me-leasing mesin tersebut. Karena leasing
bersifat off-balance sheet, neraca PT. Limas tidak berubah, sedangkan neraca PT. Putri
menjadi:

Aktiva lancar 100 Hutang 300


Aktiva tetap 300 Modal sendiri 100
400 400
Hutang/Aktiva = 300/400 = 75%

rasio hutang PT. Putri menjadi lebih tinggi (buruk) dibanding hutang PT. Limas
Kapan suatu lease termasuk kategori “harus muncul dineraca”? Jika lease tersebut adalah
financial atau capital lease. Ciri-ciri financial lease yaitu :
1. Pada saat kontrak lease berakhir, kepentingan aktiva lease berpindah dari lessor ke
lease
2. Lease dapat membeli aktiva pada harga lebih rendah dari harga pasar ketika kontrak
lease berakhir.
3. Usia kontrak lease ≥ 75% usia ekonomis aktiva yang diperkirakan
4. Present value lease payment ≥ 90% dari nilai awal aktiva
Jika satu atau lebih ciri diatas ada, maka lease tersebut harus muncul di neraca. Jika tidak ada
satupun ciri diatas, lease termasuk “off balance sheet” operating lease tidak muncul di neraca,
namun tetap dilaporkan dalam catatan kaki pada neraca.

15.3. KEPUTUSAN MEMBELI VS LEASING ANALISIS NPV


Berdasarkan sudut pandang lease, keputusan untuk membeli dengan dana dari hutang atau
leasing suatu aktiva diambil setelah melakukan analisis sebagai berikut:
Hitung NPV Aktiva

Ya Tidak
NPV > 0

Hitung NAL Hitung NAL

NAL > 0? NAL > 0?

Ya Tidak Ya Tidak

Lease Aktiva Buy Aktiva Tolak

NAL + NPV > 0


YaTidak

Lease Aktiva Tolak Aktiva

Keterangan:
Langkah 1: Menghitung NPV Aktiva
Perlukah aktiva dibeli?, keputusan untuk menerima atau menolak suatu proyek ditentukan
untuk menerima atau menolak suatu proyek ditentukan oleh NPV (Net Present Value) proyek
tersebut. Jika NPV ≥ 0, proyek dapat diterima. NPV dihitung dengan mempresent value-kan
seluruh arus kas masuk kemudian diselisihkan dengan present value arus kas keluar. Pada
perhitungan NPV, kita gunakan biaya modal sebagai tingkat diskonto.
CIF (1 + k)
NPV (A) = – COF

dimana:
CIFt = Cash Inflow pada waktu t yang dihasilkan proyek
k = biaya modal
COF = Initiual Cash Inflow (diasumsikan terjadi sekarang)
n = usia proyek

Langkah 2: Menghitung NAL (Net Advantage to Leasing)


NAL adalah penghematan biaya yang timbul karena kita memilih alternatif leasing daripada
membeli aktiva.

307
O (I − T) − R (I − T) − T. D V
NAL =(1 + r ) – (1 + r ) + COF
dimana:
Ot = Operating Cash Outflow pada waktu t yang terjadi hanya jika aktiva dibeli (tidak
leasing).
Biasanya terdiri atas biaya perawatan dan asuransi yang pada kontrak lease akan
dibayar oleh lessor.
Rt = Leasing payment tahunan pada waktu t
T = Tingkat pajak pada penghasilan
perusahaan Dt = Biaya depresiasi aktiva pada
waktu t
Vn = Nilai sisa setelah pajak (salvage value after tax) pada waktu n
COF = Harga perolehan aktiva yang tidak dibayar lease jika ia melakukan leasing
Rb = Biaya hutang setelah pajak. rb = kd (1-T)
dimana kd = biaya hutang sebelum pajak.
Catatan:
Pada rumus diatas Vn (salvage value after tax) diskonto menggunakan rb atau after tax cost of
debt karena Vn dianggap cukup pasti. Bila nilai Vn dianggap relatif tidak pasti, sebaiknya
didiskonto menggunakan k (cost of capital) yang lebih besar daripada nilai rb.
Perhatikan bahwa NAL sebenarnya merupakan selisih antara benefit dan cost dari leasing
dibanding alternatif membeli aktiva.
Benefit dari leasing:
- Tidak ada biaya perawatan/operasi (Ot)
- Tidak ada pengeluaran untuk memperoleh aktiva (COF)
- Ada penghematan pajak akibat membayar lease payment (Rt.T)
Cost dari leasing:
- Tidak ada biaya operasi maka tidak ada penghematan pajak (-Ot.T)
- Membayar lease payment (-Rt)
- Tidak ada biaya depresiasi (karena tidak memiliki aktiva) sehingga tidak ada penghematan
pajak

308
(-Dt.T)

309
- Tidak ada nilai sisa aktiva (karena tidak memiliki aktiva) sebesar Vn.
Jika benefit > cost, maka NAL positif sehingga lebih menguntungkan jika leasing dibanding
alternatif membeli dengan menggunakan dana dari hutang.

Langkah 3: Membuat keputusan


Jelas bahwa jika NPV (A) ≥ 0 serta NAL > 0, aktiva dapat diperoleh melalui leasing jika
NPV (A) ≥ 0, namun NAL < 0, aktiva diperoleh dengan cara membeli. Bagaimana jika NPV (A)
< 0? Jangan buru-buru menolak aktiva tersebut sebab dengan leasing akan timbul NAL. Jika
NPV (A) + NAL ≥ 0, maka aktiva dapat diterima tapi harus diperoleh dengan cara leasing. Jika
NPV (A) + NAL < 0, tidak ada harapan lagi, aktiva atau proyek harus ditolak.

Catatan:
1. Bila kritis akan maka muncul pertanyaan “Jika aktiva dibeli dengan dana dari hutang
mengapa biaya bunga hutang tidak ditanggung sama sekali dalam analisis beli vs leasing.
Bukankah untuk membeli aktiva kita harus berhutang sehingga menimbulkan biaya bunga?”.
Memang benar alternatif membeli aktiva menimbulkan hutang sebesar harga perolehan
aktiva tersebut. Hutang ini akan menimbulkan biaya bunga serta pembayaran pinjaman.
Sepanjang arus kas dalam perhitungan NAL didiskonto dengan biaya hutang setelah pajak
(after tax cost of debt), memperhitungkan arus kas akibat berhutang (penerimaan pinjaman,
biaya bunga, pembayaran pinjaman) atau tidak akan memberikan hasil yang sama!

Perhatikan contoh berikut:


1. Mesin seharga 100 juta berusia ekonomis 2 tahun tanpa nilai sisa. Didepresiasi
dengan metode garis lurus. Pajak sebesar 40%. Jika perusahaan melakukan leasing,
dikenai lease payment 55 juta per tahun. Bank menawari pinjaman dengan bunga
10%/th.
2. Karena arus kas operasi (arus kas masuk) yang dihasilkan mesin adlah sama jika kita
membeli atau leasing, maka kita cukup menganalisis biaya-biaya yang timbul jika
kita membeli vs leasing.
Arus kas jika membeli dengan berhutang
Tahun 0 1 2
Harga beli mesin -100
Pinjaman 100
Biaya bunga -10 -10
Tax saving dari bunga 4 4
Pembayaran pokok pinjaman 100
Tax saving dari depresiasi 20 20
Arus kas bersih 0 14 -86
Arus kas jika leasing
Tahun 0 1 2
Lease payment -55 -55
Tax saving dari lease payment 22 22
Arus kas bersih 0 -33 -33

Dengan tingkat diskonto = after tax cost of debt = 10% (1-40%) = 6%, maka:
PV arus kas membeli = + = -63,33
(%) (%)
PV arus kas leasing = + = -60,5
(%) (%)

Artinya : PV biaya membeli = 63,33 lebih besar dari PV biaya leasing = 60,5, sehingga lebih
memilih alternatif pinjam dan beli.

Arus kas jika membeli dapat disederhanakan dengan asumsi tidak berhutang (tanpa
memperhitungkan pokok pinjaman dan bunga):

Arus kas jika membeli tanpa berhutang

Tahun 0 1 2
harga beli mesin -100
Tax saving dari depresiasi 20 20
Arus kas bersih -100 20 20

PV arus kas bersih = -100 + (%) + (%) = -63,33

Ternyata hasilnya sama dengan jika kita memperhitungkan pokok pinjaman dan bunga!
Mengapa?
Jika kita meminjam, maka arus kas tahun 1 dan 2 adalah -6 (dari biaya bunga kurang
penghematan pajak) dan -106 (dari biaya bunga setelah penghematan pajak plus
pengembalian pokok pinjaman). Jika arus kas ini didiskonto dengan after tax cost of debt =
6%, maka:
+ = -100
(%) (%)

PV arus kas keluar dari meminjam + PV arus kas masuk dari meminjam = -100 + 100 = 0
Kesimpulan:
“Sepanjang tingkat diskonto yang digunakan dalam analisis NAL adalah after tax cost of
debt, memperhitungkan arus kas dari berhutang, yakni:
(1) Penerimaan pinjaman
(2) Biaya bunga
(3) Penghematan pajak dari biaya bunga, dan
(4) Pengembangan pokok pinjaman
akan memberikan hasil NAL yang sama dengan kalau kita TIDAK memperhitungkan arus
kas draft dari berhutang.

2. Mengapa arus kas didiskonto sebesar after tax cost of debt? Karena arus kas seperti lease
payment, depresiasi, harga beli, biaya perawatan, nilai sisa dianggap arus kas yang cukup
pasti, karena tingkat kepastian tinggi maka risiko menjadi rendah, sehingga kita harus
menggunakan tingkat diskonto yang rendah. Jika nilai sisa (residual value) dianggap tidak
pasti, nilai sisa (Vn) harus didiskonto dengann biaya modal (k atau WACC) sebagai tingkat
diskonto.
Contoh:
PT. GELORA, sebuah perusahaan rokok, sedang mempertimbangkan pembelian sebuah
mesin seharga Rp 15 juta. Untuk pembayaran pajak, mesin didepresiasi 5 tahun tanpa nilai
sisa dengan metode garis lurus. Namun diperkirakan akhir tahun ke 5 mesin dapat dijual
dengan harga Rp 2,1 juta. Mesin diperkirakan menghasilkan arus kas sesudah pajak (EAT +
depresiasi) sebesar Rp 4 juta per tahun selama 5 tahun mendatang. Biaya operasi mesin
(dibayar oleh lessor jika kita leasing) diperkirakan Rp 1 juta per tahun selama usia proyek.
Lease payment tahunan ditentukan oleh lessor sebesar Rp 4,2 juta per tahun. Jika meminjam
Rp 15 juta ke Bank Melati, akan dikenai bunga 8%/th.
Pajak penghasilan perusahaan adalah 50%. Biaya modal perusahaan adalah 12%.
Langkah 1: Proyek mesin baru diterima?
NPV = -15(,)
+ (,) + + + +
,
+
(,) (,) (,) (,)
= Rp 15.250,-
Karena proyek NPV > 0, proyek mesin dapat diterima.

Langkah 2: laeasing atau membeli?


Menghitungg NAL (Net Advantage to Leasing)
O (1 − T) − R (1 − T) − D . T (1 + r ) V
NAL = − + COF
(1 + r )

Tahun ke Ot (1-T) -Rt(1-T) -Dt.T Jumlah


1 0,5 -2,1 -1,5 -3,1
2 0,5 -2,1 -1,5 -3,1
3 0,5 -2,1 -1,5 -3,1
4 0,5 -2,1 -1,5 -3,1
5 0,5 -2,1 -1,5 -3,1

rb = 8%(1-50%) = 4%
, , , , , ,
NAL = (,) + (,) + (,) + (,) + (,) + (,) + 15
= Rp 0,34 juta
Keterangan:
Ot(1-T) = 1(1-0,5) = 0,5
Rt(1-T) = 4,2(1-0,5) = 2,1
Dt.T = (15/5) x 0,5 = 1,5
Vn = 2,1 (1-T) = 1,05
Mesin yang nilai bukunya = 0 laku dijual 2,1 juta sehingga dikenai pajak penghasilan 50% x 2,1 juta,
sisanya adalah 1.05 juta.
Kesimpulan:
Karena NPV positif dan NAL positif, proyek mesin dapat diterima mesin diperoleh dengan
cara leasing.
Catatan:
NAL juga dapat dipandang sebagai NPV leasing

NAL = PV Cost of Owning – PV Cost of Leasing

dimana:
- PV cost of owning adalah nilai sekarang biaya-biaya serta penghematan pajak yang
timbul jika kita membeli aktiva
- PV cost of leasing adalah nilai sekarang biaya-biaya serta penghematan pajak yang
timbul jika kita leasing.
Cost bof Owning (pinjam dan beli)
-

Tahun 0 1 2 3 n
1. Harga beli +
2. Biaya perawatan + + + +
3. Tax saving dari prawatan - - - -
4. Tax saving dari depresiasi - - - -
5. Nilai sisa -
6. Pajak pada nilai sisa +
Net cash flow (arus kas bersih)

Cost of Leasing
Tahun 0 1 2 3 n
7. Lease payment + + + +
8. Tax saving dari payment - - - 1
Net cash flow (arus kas bersih)

Net cash flow pada cost of owning dan cost of leasing didiskonto dengan tingkat diskonto
sebesar biaya hutang sesudah pajak. Selisihnya merupakan NAL.
Catatan:
Pendekatan ini mengasumsikan nilai sisa didiskonto dengan tingkat diskonto sebesar after
cost of debt.
Contoh:
Melanjutkan proyek pembelian mesin PT. GELORA di depan
Cost of Owning

Tahun 0 1 2 3 4 5
Harga beli 15
Biaya Perawatan (BP) 1 1 1 1 1
Tax saving -0,5 -0,5 -0,5 -0,5 -0,5
Tax saving dari deprisiasi -1,5 -1,5 -1,5 -1,5 -1,5
Nilai sisa -2,1
Pajak pada nilai sisa +2,05
Net Cash flow 15 -1 -1 -1 -1 -2,05
,
PV Cost of Owning = 15 + (,) + (,) + (,) + (,) + (,)
= Rp 9,68 juta
Cost of leasing
Tahun 0 1 2 3 4 5
Lease payment 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2
Tax saving dari payment -2,1 -2,1 -2,1 -2,1 -2,1
Net cash flow 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1 2,1
, , , , ,
PV Cost of Leasing = 15 + (,) + (,) + (,) + (,) + (,)
= Rp 9,68 juta
NAL = Rp 9,68 juta – Rp 9,34 juta = Rp 0,34 juta

15.4. ANALISIS IRR PADA LEASING


Selain pendekatan NPV atau NAL, keputusan beli vs leasing dapat di analisis menggunakan
pendekatan IRR. IRR pada analisis leasing menunjukkan besarnya biaya leasing setelah pajak
(after tax cost of lease).
Contoh:
Melanjutkan masalah pembelian mesin PT. GELORA didepan.
Analisis IRR
Tahun 0 1 2 3 4 5
1. Menghindari harga beli 15
2. Lease payment (sesudah pajak) -2,1 -2,1 -2,1 -2,1 -2,1
3. Kehilangan tax saving dari depresiasi 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
4. Menghindari biaya perawatan (sesudah pajak) 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
5. Kehilangan nilai sisa (sesudah pajak) -1,05
Arus kas bersih 15 -3,1 -3,1 -3,1 -3,1 -3,1

, , , , ,
0
= 15 + + + + +
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
IRR = 3,23%

(IRR dapat dicari secara mudah menggunakan Finansial Calculator atau program computer
excel).
IRR = 3,23% menunjukkan tingkat biaya setelah pajak leasing (after tax cost rate of lease)
sebesar 2,23%. Angka ini masih lebih kecil disbanding biaya hutang setelah pajak (after tax cost
of debt) sebesar 6%, sehingga lebih baik lease daripada membeli menggunakan hutang.

IRR Lease < After tax cost of debt ==> leasing

15.5. EFEK LEASING PADA PENGANGGARAN MODAL


Pada analisis penganggaran modal, suatu proyek yang NPV-nya negatif harus ditolak.
Namun dengan adanya alternatif leasing (tidak harus membeli aktiva tetap), NPV yang negatif
dapat berubah menjadi positif. Mengapa? Kita telah mempelajari bahwa leasing dapat
memberikan suatu keuntungan nyata dibanding alternatif membeli aktiva tetap. Keuntungan ini
ditunjukkan oleh nilai NAL (Net Advantage to Leasing) yang positif. Dengan adanya alternatif
leasing, NPV proyek harus direvisi dengan ditambahi NAL. Jika setelah direvisi NPV proyek
menjadi ≥ 0, proyek dapat diterima dengan catatan harus me-lease aktiva tetap. Pendekatan ini
mengasumsikan bahwa seluruh proyek bisa didanai dengan menggunakan leasing. Contoh:
proyek membeli mesin cetak foto, membeli mesin cetak, membeli bus, dsb.
 Bila seluruh proyek bisa didanai melalui leasing:

NPV Revisi = NPV menggunakan WACC + NAL

Contoh:
Proyek dapat didanai dengan 50% hutang, 50% modal sendiri. Biaya hutang (kd) = 10%,
biaya modal sendiri (ks) = 15%, Pajak = 40%
Maka biaya modal proyek = WACC = 0,5 (10%)(1-40%) + 0,5 (15%) = 10,5%
Andaikan NPV yang dihitung dengan menggunakan biaya modal (10,5%) adalah -RP 5 juta
(minus 5 juta). Dengan alternatif leasing diperoleh NAL sebesar RP 6 juta. Maka NPV
proyek ini adalah -Rp 5 juta + Rp 6 juta = Rp 1 juta.
Proyek dapat diterima dengan catatan seluruh aktiva tetap didanai melalui leasing.
Kadang kala tidak 100% dana proyek dapat dibiayai melalui leasing. Misalnya proyek
dengan kebutuhan dana 50% hutang dan 50% modal sendiri, hanya porsi hutang yang dapat
digantikan oleh leasing. Pada kondisi ini kita dapat menghitung NPV revisi dengan cara
menghitung NPV dengan menggunakan biya modal sebesar biaya lease setelah pajak (IRR
Lease) sebagai ganti biaya hutang setelah pajak.
 Jika seluruh unsur hutang pada modal proyek bisa digantikan oleh lease:

CIF
NPV Revisi = −COF +(1 + WACC∗)

Keterangan:
COF = cash outflow
CIF = cash inflow
WACC* = biaya modal dengan menggunakan IRR lease
Wd (IRR lease) + Ws.ks
Wd =proporsi modal yang berasal dari hutang
Ws = proporsi modal yang berasal dari modal
sendiri Ks = biaya modal sendiri
Contoh:
Melanjutkan soal sebelumnya
Andaikan IRR lease = 5,5%
WACC* = 0,5 (5,5%) + 0,5 (15%) = 10,25%
Biaya modal turun menjadi 10,25% (dari 10,5%) akibat kita me-lease daripada berhutang.
Dengan WACC baru ini kita dapat menghitung NPV revisi.

15.6. EVALUASI OLEH LESSOR


Leasing perlu dianalisis juga dari pihak lessor. Lessor biasanya perusahaan leasing bank atau
perusahaan (misalnya IBM). Lessor perlu mengetahui tingkat keuntungan modal yang
diinvestasikan pada lease. Analisis oleh lessor meliputi: (1) menentukan arus kas keluar bersih,
(2) menentukan arus kas masuk (lease payment dikurangi pajak penghasilan) dan biaya
perawatan yang ditanggung lessor, (3) Memperkirakan nilai sisa setelah pajak dari aktiva yang di
lease, dan (4) menentukan apakah tingkat keuntungan pada lease lebih besar dari biaya modal
lessor, atau apakah NPV lease positif.
Contoh:
Melanjutkan masalah pembelian mesin di PT. GELORA di depan.
Analisis Lease dari sudut pandang Lessor.
Tahun 0 1 2 3 4 5
1. Harga aktiva -15
2. Biaya perawatan -1 -1 -1 -1 -1
3. Tax saving dari biaya perawatan 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5
4. Tax saving dari depresiasi 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5
5. Lease payment 4,2 4,2 4,2 4,2 4,2
6. Pajak pada lease payment -2,1 -2,1 -2,1 -2,1 -2,1
7. Nilai sisa aktiva 2,1
8. Pajak pada nilai sisa -1,05
9. Arus kas bersih -15 -3,1 -3,1 -3,1 -3,1 -3,1
Perhatikan bahwa arus kas bersih lessor sama persis dengan arus kas bersih Lesse hanya
berlawanan tanda .
Catatan: Untuk nilai sisa aktiva, perhitungan lessor bisa berbeda dari lesse jika lessor mampu
menjual aktiva bekas pada harga lebih tinggi.
NPV lessor tergantung pada tingkat diskonto yang digunakan. Misalkan biaya modal setelah
pajak Lessor adalah 3%, maka:
, , , , ,
NPV = -15 + + + + +
( ) ( ) ( ) ( ) ( )
= Rp 0,1 juta
Artinya pada biaya modal sesudah pajak sebesar 3%, proyek leasing ini menguntungkan bagi
lessor.
Bagaimana jika biaya modal atau tingkat keuntungan yang disyaratkan (sesudah pajak) lessor
adalah 5%?

NPV = -15 + , + , , , ,
( ) + +( +(
( ) ( ) ) )
= Rp 0,76 juta
Proyek ini menjadi tidak menarik bagi lessor karena NPV-nya negatif.
Bagaimana agar lessor bersedia me-lease aktiva? Dengan biaya modal tetap sebesar 5%, lease
payment harus dinaikkan hingga NPV mencapai 0 atau positif.

15.7. MENGAPA PERUSAHAAN MEMILIH LEASING


Beberapa sub bab didepan telah membahas secara kuantitatif mengapa alternatif leasing
dipilih, yaitu jika biaya leasing lebih kecil dari biaya membeli. Pada sub bab ini dijelaskan alas
an-alasan kualitatif mengapa perusahaan memilih alternative leasing.
1. Fleksibilitas.
Sebagian besar armada penerbangan diperoleh dengan cara leasing. Dengan leasing, armada
penerbangan dapat dengan mudah mengubah rute penerbangan (misal dari jarak pendek ke
jarak jauh). Jika mereka membeli pesawat, misalnya untuk jarak pendek, mereka akan
kesulitan menjual pesawat tersebut untuk membeli pesawat yang dapat terbang jarak jauh.
Pada contoh ini leasing menyediakan fleksibilitas operasional.
2. Menghindari aktiva yang cepat ketinggalan jaman.
Aktiva-aktiva berteknologi tinggi biasanya cepat ketinggalan jaman (misalnya, komputer,
handphone). Untuk menghindari risiko aktiva ketinggalan jaman, perusahaan dapat
melakukan leasing, karena dengan leasing perusahaan dapat menggunakan aktiva tersebut
untuk jangka pendek. Apakah lessor pasti rugi? Memang sebagai pemilik aktiva, lessor
menanggung risiko akibat perubahan teknologi yang pesat. Namun, selain menikmati lease
payment yang lumayan, lessor dapat menemukan pihak yang membutuhkan aktiva yang
sedikit ketinggalan jaman tersebut, sehingga dapat menjualnya dengan lebih mahal. Contoh,
komputer dengan processor 386 yang sudah out of date dapat dijual ke persewaaan komputer
untuk mahasiswa yang hanya memerlukan program pengolahan kata yang sederhana.
3. Cocok untuk perusahaan yang permintaan terhadap produk atau jasanya sangat tidak
menentu.
Untuk perusahaan semacam ini, klausul “concellation” pada leasing sangat bermanfaat. Saat
permintaan terhadap produk atau jasa menurun drastic dan perusahaan memutuskan untuk
menghentikan produksi, ia dapat membatalkan leasing aktivanya.
4. Lessor menyediakan jasa perawatan aktiva.
Tidak semua perusahaan mampu merawat aktivanya dengan baik. Misalnya Bank yang
memiliki cukup banyak mobil harus mengeluarkan biaya cukup banyak untuk perawatannya.
Terkadang tidak hanya masalah biaya, tapi juga kerepotan yang timbul dari perawatan aktiva
tersebut.
5. Perbedaan-perbedaan yang membuat leasing menarik bagi lessor dan
lesse. Misalnya, perbedaan situasi pajak yang dihadapi lessor dan lesse.

6. Keuntungan “off balance sheet”.


Telah dibahas didepan bahwa lease bertipe operating lease tidak muncul di neraca. Hal ini
menguntungkan lesse karena rasio hutangnya tidak memburuk. Namun informasi tentang
operating lease tetap muncul sebagai catatan kaki pada neraca sehingga “keuntungan” ini
dapat dipertanyakan jika ternyata pembaca neraca yang cukup kritis.
7. Pendanaan yang lebih longgar.
Berhutang biasanya lebih rumit prosedurnya dan menimbulkan “convenant” (aturan-
aturan)dari kreditor. Oleh karena itu, leasing dianggap alternative pendanaan yang lebih
longgar serta cepat.
8. Kemudahan memperoleh kredit.
Bagi perusahaan dengan rating yang kurang baik, berhutang adalah alternative yang kurang
menguntungkan karena ia akan dikenai bunga yang relative tinggi. Untuk perusahaan
semacam ini, leasing merupakan alternative yang menarik.
9. Penghematan kas.
Leasing menghindarkan perusahaan dari pengeluaran kas yang besar untuk membeli aktiva
tetap (tentunya kita harus mengasumsikan bahwa perusahaan tidak meminjam untuk
membeli aktiva).
10. Biaya leasing.
Alasan terakhir namun biasanya menduduki ranking tertinggi adalah biaya leasing.
Perusahaan tertarik pada leasing karena biaya pendanaan lease (IRRlease) lebih rendah dari
biaya bunga jika berhutang.
15.8. LATIHAN MANDIRI

1. PT. Perkasa melakukan analisis terhadap dua kemungkinan leasing, yang pertama yaitu
operating leasing yaitu terhadap mesin Foto Copy dengan melakukan pembayaran secara
annual senilai $2,000 selama tiga tahun ke depan . Leasing yang kedua menggunakan
financial leasing selama 15 tahun untuk gedung dengan annual payment $150,000. Jika
perusahaan memiliki discount rate sebesar 10 percent, bagaimana sebaiknya perusahaan
menampilkannya pada neraca?

2. PT. Pemuda sedang mempertimbangkan leasing atau purchasing terhadap small aircraft
untuk transport executives antara manufacturing facilities dan main administrative
headquarters. Pajak perusahaan 40 percent tax bracket dan after-tax cost of debt sebesar
7 percent. Adapun estimated after-tax cash flows untuk lease dan purchase alternatives
dapat dilihat dibawah ini:

Cash Flows (after-tax)


End of
Year Lease Purchase
1 –64,329 –68,454
2 –64,329 –59,110
3 –64,329 –63,596
4 –64,329 –66,633
5 64,329 30,056

(a) Berdasar cash outflows diatas pada masing masing alternative, hitunglah present
value of the after-tax cash flows menggunakan after-tax cost of debt pada masing –
masing alternative.
(b) Alternatif mana yang akan direkomendasi? Mengapa ?
JAWABAN LATIHAN MANDIRI

1. Jawaban: Operating leasing merupakan annual lease payment dan term dari leasing
nya dinyatakan sebagai footnote. Sedangkan Financial leasing: Gedung akan dicatat

sebagai dengan nilai $150,000(7.606) $1,140,900. Dan diakui sebagai liability pada
balance sheet.

2. Jawaban

(a)
PV of leasing
CF1–4 ($64,329)  3.387
($217,882)
CF5 64,329  0.713
45,867
($172,015)
PV of purchase
CF1 ($68,454)  0.935 ($64,004)
CF2 ($59,110)  0.873 ($51,603)
CF3 ($63,596)  0.816 ($51,894)
CF4 ($66,633)  0.763 ($50,841)
CF5 $30,056  0.713
$21,430
($196,912)

(b) Perusahaan sebaiknya memilih lease the aircraft.

Anda mungkin juga menyukai