Anda di halaman 1dari 3

Berbicara Tentang Tragedi Tanjung Priok 1984, Hak Asasi Manusia yang Direnggut

dari Mereka yang Subversif

Menuju pengujung tahun 1984, kawasan Tanjung Priok, Jakarta diwarnai dengan
peristiwa kelam. Peristiwa tersebut terjadi tepatnya pada tanggal 12 September 1984, sebuah
peristiwa dengan rentetan panjang dibelakangnya, yang berawal dari penetapan ideologi
pancasila untuk semua organisasi. Beberapa tokoh intelektual muslim terutama di Jakarta
sering kali menyampaikan ceramah yang bersifat subversif dan mengkritik pemerintah secara
keras. Di tanjung priok, di sebuah Mushola, Aparat Babinsa yang bertindak sewenang-wenang
memasuki masjid tanpa melepas sepatu dan melepas pamflet dengan air comberan hingga
menyulut kemarahan umat muslim. Peristiwa ini mengawali cerita pelanggaran ham berat yang
mencapai titik klimaks saat 1500 umat muslim melakukan aksi demonstransi damai dan
ditembaki oleh aparat bersenjata. Salah satu tokoh masyarakat saat itu, Amir Biki tewas dan
cerita ini merupakan kesaksian dari Abdul Qadir Djaelani, seorang pendakwa islam yang
terdakwa penghasutan untuk melawan pemerintah(’Raditya, 2019)

Kasus ini merupakan salah satu pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa Orde
Baru. Bagi umat islam ini merupakan salah satu tragedi tragis dalam melakukan ibadah. Hak
Asasi Manusia adalah hak yang ada hanya karena menjadi manusia, terlepas dari pengertian
rinci dari Undang-Undang, pengertian ini sudah cukup menurut penulis menggambarkan
tentang HAM yang seharusnya tidak bisa dengan sewenang-wenang dilanggar apalagi oleh
negara yang seharusnya mengemban kewajiban untuk menghormati, melindungi dan
memenuhi HAM. Penulis mencoba menelaah bagaimana peristiwa ini bisa terjadi melalui
kronologi yang telah penulis sematkan. Dalam peristiwa ini, aparat keamanan menganggap
aktivitas yang dilakukan di tempat ibadah adalah sebuah kegiatan yang mampu memicu dan
menghasut umat muslim untuk bersikap radikal dan melakukan pembangkangan terhadap
ideologi pancasila. Hal ini dianggap sebagai suatu kegiatan yang harus ditindak tegas oleh
aparat. Namun, apakah penegakan hukum boleh dilakukan terlalu koersif sehingga berujung
pada pelanggaran HAM?

Pengadilan ad hoc untuk kasus ini telah dilakukan, namun keadilan belum sepenuhnya
ditegakkan. Korban menganggap pengadilan hanya menghukum aktor di lapangan tidak
menyertai dalang atau aktor intelektual yang menggerakkan peristiwa ini(’Swamurti, 2009).
Melalui kesaksian keluarga korban, yang diterbitkan pada suatu media swasta, kejadian ini
memiliki serentetan kejadian tragis lain pada keluarga korban yang permasalahannya menguap
begitu saja(’Banu, 2020).

Tragedi ini merupakan satu diantara banyak tragedi pelanggaran HAM di bulan
September yang menyisakan tanda tanya besar. Mampukah pemangku kepentingan
menjalankan peran negara dalam melindungi, menghormati dan memenuh Hak Asasi Manusia
dengan mengadili pelanggaran di masa lalu sebagai bukti nyata?
Daftar Pustaka
’Banu, S. (2020, October 1). Surat dari Korban Tragedi Tanjung Priok 1984. Whiteboard Journal.
https://www.whiteboardjournal.com/column/surat-dari-korban-tragedi-tanjung-priok-1984/

’Raditya, I. N. (2019, September 12). Sejarah Tragedi Tanjung Priok: Kala Orde Baru Menghabisi
Umat Islam. Tirto.Id. https://tirto.id/cwpi?utm_source=CopyLink&utm_medium=Share

’Swamurti, A. (2009, September 12). Korban Anggap Pengadilan Ad Hoc Tanjung Priok Belum Cukup.
Tempo.Co. https://nasional.tempo.co/read/197668/korban-anggap-pengadilan-ad-hoc-
tanjung-priok-belum-cukup/full&view=ok

Anda mungkin juga menyukai