PENDAHULUAN
Untuk menegakkan diagnosis dari CPEO memerlukan kolaborasi dari klinis dan
pemeriksaan penunjang. CPEO dapat menyebabkan gangguan lain di luar gangguan
kelemahan otot, maka diperlukan pemeriksaan komprehensif yang dilakukan oleh
neurologis, oftalmologis, kardiologis, dan otorinolaringologis. 11Diagnosis CPEO
bersifat tidak spesifik sehingga memerlukan pemeriksaan lainnya yang bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari oftalmoplegia.12
Tidak ada tatalaksana kuratif yang tersedia untuk CPEO, namun tatalaksana
simptomatik perlu dilakukan untuk mengurangi gangguan yang ada (ptosis, penurunan
pendengaran, disfagia, dan kelemahan otot).1,11,13,14
Berikut ini akan dilaporkan laporan kasus CPEO yang menekankan pada
diagnosis dan tatalaksana.
1
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
2
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
3
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
4
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
5
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
6
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
LAPORAN KASUS
Pasien mengeluhkan kelopak mata turun sejak ± 7 tahun smrs lalu hanya pada
kelopak mata kiri. ± 4 tahun diikuti dengan turunnya kelopak mata kanan. Kedua
kelopak mata turun dirasakan makin lama semakin menutup sehingga mengganggu
aktivitas pasien. Keluhan ini tidak hilang timbul dan tidak fluktuatif, tidak memberat
dengan aktivitas, dan tidak diperingan dengan istirahat. Pasien cenderung sering
mendongakkan kepala untuk melihat.Lalu keluhan ini diikuti dengan pandangan ganda
sejak ± 4 tahun smrs. Pandangan dirasakan bila pandangan lurus dan pandangan ke atas.
Pandangan ganda ini menghilang bila salah satu mata ditutup. Keluhan nyeri pada mata,
nyeri kepala, gangguan menelan, kesulitan bicara, suara parau, kelemahan anggota
gerak, gangguan pendengaran disangkal. Pasien sudah pernah berobat ke poli mata
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada tahun 2017 dan didiagnosis dengan kronik bilateral
ptosis.Pasien menjalani operasi reseksi levator palpebra. Kelopak mata kiri pada
Agustus 2017 dan kelopak mata kanan pada Desember 2017. Setelah operasi dirasa
keluhan berkurang.
Riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, diabetes melitus, dan trauma disangkal.
Riwayat keluarga dengan penyakit sama seperti pasien disangkal.
Pemeriksaan fisik keadaan umum berat, status antropometri tinggi badan 145
cm, berat badan 45 kg, tanda vital tekanan darah 110/70, frekuensi nadi 78x/menit
regular isicukup, frekuensi napas 20x/menit, suhu 36,7ºC, saturasi oksigen 99%. Kepala
normosefalus, tidak ditemukan jejas. Tidak ditemukan tanda-tanda anemis pada
7
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
konjungtiva maupun ikterik pada sklera. Status lokalis di atas kelopak mata kiri tampak
bekas hecting.
Pada pemeriksaan THT dalam batas normal. Pada gigi geligi tidak didapatkan
adanya karies dentis. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening, trakea terletak di tengah. Pada pemeriksaan dada (jantung dan paru-paru)
dan pemeriksaan abdomen datar dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas
tidak ditemukan edema, akral hangat dengan kesan vaskularisasi baik.
Pemeriksaan fisik neurologis, Glasgow Coma Scale E4M6V5=15, pupil bulat
isokor, dengan diameter 3 milimeter, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung
normal pada kedua mata. Pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal tidak ditemukan
kuduk kaku, laseque>70⁰/>70⁰, kernig>135⁰/>135⁰. Pemeriksaan nervus kranialis
didapatkan adanya paresis nervus III dekstra et sinistra (ODS) (paresis muskulus (mm.)
rektus medialis, mm. oblikus inferior, mm. rektus inferior), paresis nervus IV ODS
(paresis mm. oblikus superior), dan paresis nervus VI okular ODS (mm. rektus
lateralis). Didapatkan posisi dasar mata kiri eksotropia. Pemeriksaan lapang pandang
dengan metode konfrontasi didapatkan adanya penurunan lapang pandang superior baik
sisi temporal maupun nasal ODS.Pemeriksaan funduskopi ODS pada pasien ini
didapatkan papil bulat, warna jingga, batas tegas, perbandingan arteri dan vena 2:3,
terdapat cupping disk, tidak terdapat eksudat maupun perdarahan. Pada pemeriksaan
kelopak mata didapatkan ukuran fisura palpebra OD 7mm dengan margin reflex
distance (MRD) OD 6mm, sedangkanfisura palpebra OS 4mm dan margin reflex
distance (MRD) OS 6mm. Tidak ditemukan adanya kelainan pada nervus kranialis
lainnya.
8
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
Gambar 1. Gambar ptosis ODS (A), gangguangerak bola mata (B), dan funduskopi ODS (C)
pada pasien.
Pada pemeriksaan status motorik ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal.
Refleks fisiologis bisep, trisep, dan brakio radialis dekstra dan sinistra dalam batas
normal. Refleks patela dan achiles dekstra dan sinistra dalam batas normal. Tidak
ditemukan refleks patologis pada ekstremitas atas dan bawah. Pemeriksaan status
sensorik eksteroseptif didapatkan normoestesia dan proprioseptif tidak terganggu. Pada
pemeriksaan status otonom tidak didapatkan inkontinensia maupun retensi urin dan alvi.
Hasil pemeriksaan wartenberg memberikan gambaran negatif. Hasil pemeriksaan
counting test pasien dapat menyebutkan angka sampai 50 dalam satu kali napas
panjang.
Pemeriksaan laboratorium 11 Juli 2019, didapatkan kadar hemoglobin 12,7
gr/dl, hematokrit 38,1%, leukosit 6.600/mm3, trombosit 349.000/mm3, gula darah puasa
80 mg/dl, SGPT 11 U/L, SGOT 26 mg/dl, ureum 15 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl, natrium
141 mmol/L, kalium 4,55 mmol/L, klorida 100,4 mmol/L.Pemeriksaan laboratorium 19
Agustus 2019 didapatkan hasil fosfor 4,0 mg/dL, magnesium 2,21 mg/dL, CK total 45
U/L, CKMB 24 U/L, TSHS 1,88 µIU/mL, FT4 1,13 ng/dL, FT3 4,26 pmol/L.
9
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
Pemeriksaan laboratorium 17 September 2019 didapatkan hasil ASTO < 200, faktor
rheumatoid <8.
Pemeriksaan rotgen thoraks pada tanggal 12 Juli 2019 dan elektrokardiografi
(EKG) pada tanggal 06 Mei 2019 didapatkan hasil normal sinus rhytm dengan denyut
jantung 62 kali/menit. Pemeriksaan NCS motorik dan sensorik dalam batas normal.
Pemeriksaan RNS pada sampel m. abductor digitiminimi, m. nasalis, dan m. frontalis
dalam batas normal.
Hasil Brain MRI tanpa kontras (pasien alergi zat kontras) pada 9 Agustus 2019
didapatkan adanya atrof imuskulus okuli bilateral dan sinusitis sinistra.
10
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
11
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
PEMBAHASAN
Untuk menegakkan diagnosis dari CPEO memerlukan kolaborasi dari klinis dan
pemeriksaan penunjang. CPEO dapat menyebabkan gangguan lain di luar gangguan
kelemahan otot, maka diperlukan pemeriksaan komprehensif yang dilakukan oleh
neurologis, oftalmologis, kardiologis, dan otorinolaringologis.11 Diagnosis CPEO
bersifat tidak spesifik sehingga memerlukan pemeriksaan lainnya yang bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari oftalmoplegia.12
Pada anamnesa gejala klinis yang pertama kali sering ditemukan dan khas pada
CPEO adalah turunnya kelopak mata (ptosis), yang dapat terjadi pada satu atau kedua
kelopak mata.6 Pasien CPEO akan mengeluhkan adanya ptosis bilateral yang sering
dikompensasi dengan cara mengangkat kepala untuk memperjelas lapang pandang
mata.13Keluhan turunnya kelopak mata ini biasanya bersifat perlahan, progresif dan
tidak ada fase remisi maupun eksaserbasi. Ptosis awalnya dapat terjadi unilateral,
namun lama-kelamaan akan menjadi bilateral.11,17Namun pada penelitian Gronlund dan
teman-teman yang dilakukan pada 57 anak-anak yang telah terdiagnosa dengan sindrom
mitokondrial, didapatkan 9 orang terdiagnosis CPEO tanpa adanya ptosis.18,19Sedangkan
dari pengalaman klinis gabungan Walsh dan Hoyt didapatkan 2 orang, kakak beradik,
yang mempunyai klinis oftalmplegia hamper komplit tanpa adanya ptosis. Namun
12
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
kedua orang ini mempunyai ayah yang berfenotip CPEO klasik dan bergejala
oftalmoplegia dan ptosis bilateral.20CPEO tanpa adanya ptosis kemungkinan merupakan
salah satu varian spectrum fenotip CPEO yang atipikal.
Gejala khas lainnya yang akan dikeluhkan pasien berupa kelemahan atau
kelumpuhan otot gerak bola mata (oftalmoplegia) yang umumnya bersifat bilateral.
Keterbatasan gerak bola mata ini akan lebih berat pada gerakan keatas/ elevasi
dibandingkan gerakan ke bawah. Pada CPEO tidak terjadi gangguan pada pupil, nyeri,
bengkak pada sekitar mata, proptosis, retraksi kelopak, dan lid lag (tanda khas
oftalmopati tiroid).Selain itu pada pemeriksaan letak dasar (baseline) posisi mata
pasien, dokumentasi gerakan bola mata perlu dilakukan. pada pemeriksaan yang
dilakukan dengan teliti oleh oftalmoplogis dapat ditemukan adanya gerakan ocular
sakadik lambat pada beberapa kasus CPEO.14Pasien dengan CPEO juga dapat
mengeluhkan adanya kelemahan umum pada otot saat bergerak (miopati). Kelemahan
ini akan lebih dirasakan saa tmelakukan aktivitas. Dapat juga terjadi gangguan menelan
(disfagia).
Spektrum klinis yang sangat luas (heterogenitas) merupakan cirri khas dari
penyakit mitokondria. CPEO dapat terjadi sendiri namun dapat juga merupakan bagian
dari spectrum penyakit sistemik dengan gejala dan tanda yang saling tumpang tindih.
Kelemahan otot merupakan gejala primer dari CPEO, namun kondisi ini dapat diikuti
13
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
dengan gejala dan tanda klinis sistemik tambahan lainnya. Kondisi ini sering disebut
dengan sindrom CPEO plus. Manifestasi ocular seperti retinopati pigmentasi (salt and
pepper like appearance), atrofioptik, dan sangat jarang data terjadi katarak.
Manifestasik jantung berupa gangguan konduksi jantung, aritmia, dan kardiomiopati.
Manifestasi serebri dapat berupa epilepsi, ataksia serebelar, dan demensia. Sistem saraf
tepi juga dapat terganggu menyebabkan timbulnya neuropati sensorik aksonal.
Gangguan pada system endokrin dapat menyebabkan diabetes melitus, hipotiroid, dan
hipoparatiroid. Tuli sensorineural dan gangguan gastrointestinal juga dapat terjadi.
Beberapa contoh sindrom CPEO plus telah ditemukan, contohnya adalah Kearns-Sayre
syndrome (KSS) yang merupakan gangguan fenotip multisistemik berat yang terjadi
sebelum usia 20 tahun. KSS ini dikarakteristikkan dengan CPEO yang disertai dengan
adanya retinopatipigmentasi pada pemeriksaan funduskopi, gangguan konduksi jantung,
dan ataksiaserebellar yang disertai dengan peningkatan peningkatan protein cairan
serebrospinal (LCS)> 100mg/dL.16Jenis sindrom CPEO plus lainnya yang sering terjadi
adalah SANDO (ataksiasensorik, neuropati, disartria, dan oftalmoplegia) dan
mitochondrial neurogastrointestinal encephalomyopathy (MNGIE). MNGIE sangat
jarang terjadi dengan gejala gastrointestinal yang dapat menyebabkan kakeksia.11
14
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
Pasien laporan kasus mengeluhkan keluhan turunnya kelopak mata yang terjadi
perlahan-lahan dimulai sejak 7 tahun yang lalu, dimulai dengan mata kiri diikuti dengna
mata kanan. Lalu keluhan diikuti juga dengan gangguan melirik terutama kearah atas.
Pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan sistemik lainnya. Dari anamnesis riwayat
tumbuh kembang pasien normal dan riwayat penyakit keluarga disangkal. Hal ini sesuai
dengan gambaran CPEO pada umumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
kelemahan gerak bola mata keatas, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
keterbatasan gerak bola mata keatas akan lebih terganggu dibandingkan gerak bola mata
kebawah.
15
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
DNA hasil biopsy otot dapat ditemukan adanya mutasi sebagian besar berupa
delesi tunggal dan sisanya berupa delesi multipel. CPEO delesi tunggal bisanya bersifat
16
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
sporadic sedangkan CPEO dengan delesi multiple bersifat autosomal dominan maupun
autosomal resesif yang sering dikaitkan dengan adanya mutasi gen seperti POLG1,
Twinkle, ANT, dan POLG2. Mutasi gen ini biasanya bersifat heteroplasmik sehingga
spectrum klinis CPEO menjadi luas.11,23 Baku emas untuk mendeteksi adanya delesi
mtDNA adalah analisis menggunakan Southern blot. Namun pemeriksaan dengan
Southern blot tidak dapat menemukan delesi mtDNA level rendah. Pemeriksaan DNA
dengan PCR lebih sensitive dibandingkan Southern blot. Pada pemeriksaan analisis
kuantitatif delesi mtDNA dilakukan dengan menggunakan rasio ND1/D4, dan delesi
akan ditemukan 30% heteroplasmik. Namun perlu diingat bahwa mutasi mtDNA dan
defisiensi COX dapat meningkat secara normal pada proses penuaan manusia, namun
tidak lebih dari 2% heteroplasmik. Bila ditemukan adanya delesi yang multiple
direkomendasikan untuk mencari adanya mutasi gen pada POLG1, TWINKLE, ANTI,
POLG2. Sedangkan pada CPEO yang diturunkan secara pola maternal sebaiknya
dilakukan pemeriksaan sekuens mtDNA. 11,23
Pemeriksaan kadar enzim CoQ dari biopsy otot juga dapat dilakukan pada
pasien dengan CPEO, namun pemeriksaan ini tidak sepenting pemeriksaan histology
dalam menegakkan diagnosis CPEO. Selain itu pemeriksaan enzim merupakan
pemeriksaan yang kompleks dan hanya tersedia pada fasilitas tertentu. Namun
pemeriksaan kadar CoQ ini dapat memberikan gambaran akumulasi lemak pada
proliferasi mitokondria. CPEO dengna defisiensi CoQ ini biasanya akan memberikan
respon yang baik terhadap terapi dengan pemberian CoQ.11
17
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
sindrom CPEO plus yang mempunyai gejala serebri dapat dilakukan pemeriksaan kadar
laktat pada LCS dan akan ditemukan penurunan rasio laktat darah dan LCS. Selain itu
perlu juga dilakukan pemeriksaan lainnya untuk mencari gangguan multisistemik
lainnya seperti pemeriksaan kadar gula, hormone tiroid, audiogram.11
Terdapat penelitian mengenai gambaran imajing pasien CPEO yaitu berupa atrofi otot
ekstraokular (EOM) dan kadang dihubungkan dengan perubahan signal EOM. Namun
penelitian ini masih terbatas karena jumlah sampel penelitian yang minimal yang belum
terbukti secara genetic sehingga memberikan penemuan radiologis yang bervariasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Pitceathly dan teman-teman didapatkan MRI pada
pasien dengan CPEO memberikan gambaran atrofi pada seluruh EOM, lebih sering
18
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
didapatkan gambaran hipertintens EOM pada sekuens T1w dan pemanjangan yang
seragam EOM pada sekuens T2 dibandingkan pada pasien kontrol. 28 Pada MRI orbita
dengan resolusi tinggi menunjukkan gambaran abnormal berupa signal hiperintens
dengan bentuk spongiform pada sekuens T1w. Menurut Ortube dan teman-teman signal
abnormal ini tidak ditemukan pada pasien opthalmologi dengan gangguan EOM yang
bebas dari inflamasi orbital, namun dapat terlihat pada penyakit tiroid mata dan fibrosis
kongenital pada otot EOM.29,30
Pemeriksaan penunjang berupa biopsy otot tidak dilakukan pada laporan kasus
ini. Namun beberapa pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien laporan
kasus dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis banding CPEO lainnya, yaitu
pemeriksaan kadar tiroid yang normal, hasil NCS dan RNS yang normal. Selain itu hasil
Brain MRI pada pasien ini ditemukan adanya atrofi muskulus okuli bilateral dan
sinusitis sinistra. Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai gambaran imajing pasien
CPEO.
Tidak ada tatalaksana kuratif yang tersedia untuk CPEO, namun tatalaksana
simptomatik perlu dilakukan untuk mengurangi gangguan yang ada (ptosis, penurunan
pendengaran, disfagia, dan kelemahan otot). Tujuan tatalaksana CPEO adalah
mengelevasi kelopak mata tanpa memperberat keratopati eksposur.1,11,13,14
19
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
pada pasien dengan motilitas yang masih baik dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Sling dapat dikencangkan bila ptosis memberat. Penggunaan alat bantu ini
dipilih bila pasien sudah menjalani operasi pengangkatan kelopak mata namun kelopak
mata masih tertutup.13Selain sling alat bantu lainnya yang dapat digunakan adalah
kacamata kruk kelopak.31Biasanya penggunaan alat bantu sling ini banyak digunakan
pada pasien dengan usia yang lebih muda.
Pada pasien yang lebih tua, kemungkinan kelopak mata pasien sudah tidak
kencang sehingga seperti ada kulit berlebih, sehingga biasanya disarankan untuk
tindakan blepharoplasty sederhana.23Pembedahan ptosis dapat sangat efektif dalam
mengangkat kelopak mata superior pada CPEO, akan sangat memperbaiki lapang
pandang pasien namun juga memberikan efek psikologis yang baik terhadap pasien.
Tindakan pembedahan yang sering dilakukan untuk mengatasi ptosis adalah reseksi
anterior levator palpebra superior memaksimalkan kerja otot-otot gerakan mata ke
atas.13,14Apabila kekuatan otot levator palpebra lemah, pembedahan brow suspension
dapat dilakukan, yaitu dengan menanamkan sling di bawah kulit diantara otot frontalis
dan kelopak mata. Sling ini berfungsi untuk memberikan banntuan kekuatan mekanik
untuk melakukan gerakan mengangkat kelopak mata. Sling yang dapat digunakan dapat
berasal dari fascia lata (paha dalam) pasien maupun sintetik berupa silikon. 14Tindakan
pembedahan dipilih dengan mempertimbangkan keinginan pasien untuk mempunyai
kondisi kelopak mata yang kembali normal dan kekuatan otot oksilofrontalis
20
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
(otorlevator palpebra superior, otot frontalis) yang normal. Pada pasien dengan kekuatan
otot oksilofrontalis yang normal akan dapat melakukan gerakan mengangkatalis yang
normal, dan pada pasien ini tatalaksana konservatif dengan menggunakan alat bantu
silicone frontalis sling merupakan pilihan yang terbaik. Pembedahan reseksi levator
palpebra superior dan orbikularis dapat mengurangi gerakan mengedip kelopak mata
dan posisi kelopak mata tidak dapat menutup sempurna. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi berupa gejala mata kering dan Bell’s phenomenon (lagoftalmusnokturnal).
Hal ini akan meningkatkan resiko eksposur pada korna sehingga dapat terjadi ulkus atau
perforasi kornea. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini harus dilakukan
pencegahan mata kering. Bila terjadi kegagalan dalam terapi pencegahan mata kering
dan tidak dapat menoleransi turunnya kelopak mata atas, maka operasi pengangkatan
kelopak mata bawah yang tepat dapat memperbaiki keluhan. Selain itu dapat dilakukan
operasi pengangkatan kelopak mata.1,14,23Manajemen mata kering dilakukan secara
konservatif yaitu dengan menjaga kebersihan kelopak mata dan pemberian obat tetes
mata untuk lubrikasi. Obat tetes lubrikasi ini sebaiknya bebas dari bahan pengawet
untuk mengurangi resikotoksisitas pada epitel kornea karena akan digunakan jangka
panjang.14Namun karena sifat progresif dari penyakit CPEO maka keluhan ptosis dan
diplopia dapat terjadi lagi walaupun sudah dilakukan terapi pembedahan sehingga hal
ini perlu dinformasikan kepasien sebelum dilakukan tatalaksana pembedahan.14
21
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
yang terbukti mempunyai defisiensi CoQ. Pemberian suplemen CoQ pada pasien
dengan kadarCoQ yang normal dapat diberikan sebagai antioksidan (karena pada defek
dari mtDNA dapat meningkatkan produksi oksigen radikal bebas). Pemberian suplemen
enzim dan vitamin ini tidak memberikan efek samping serius pada pemberian dosis
rendah. Namun pemberian suplemen ini belum terbukti dan masih memerlukan
penelitian terapeutik lebih lanjut.11,12
22
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
Daftar Pustaka
133–142 (2005).
2. Hsiao, C.-C., Lee, N.-C., Huang, P.-H. & Tsai, T.-H. Histopathological and genetic analysis of
3. Heighton, J. N., Brady, L. I., Newman, M. C. & Tarnopolsky, M. A. Clinical and demographic
4. Kasamo, K., Nakamura, M., Daimou, Y. & Sano, A. A PRIMPOL mutation and variants in
multiple genes may contribute to phenotypes in a familial case with chronic progressive
doi:10.1016/j.neures.2019.07.006.
7. Fratter, C. et al. The clinical, histochemical, and molecular spectrum of PEO1 (Twinkle)-
23
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
2011). doi:10.1016/B978-1-4377-0372-6.00022-0.
doi:10.1016/B978-0-12-800877-5.00018-8.
15. Kline, L. B., Foroozan, R. & Bajandas, F. J. Neuro-ophthalmology review manual. (SLACK,
2013).
Publishing, 2010).
(Elsevier, 2017).
18. Bucelli, R. C., Lee, M. S. & McClelland, C. M. Chronic Progressive External Ophthalmoplegia
19. Gronlund, M. A. et al. Ophthalmological findings in children and young adults with
(2010).
20. Walsh and Hoyt’s clinical neuro-ophthalmology: the essentials. (Wolters Kluwer, 2016).
21. Allen, R. C. Genetic diseases affecting the eyelids: what should a clinician know? Current
24
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
22. Moss, H. E. Eyelid and Facial Nerve Disorders. in Liu, Volpe, and Galetta’s Neuro-
(1988).
27. Greaves, L. C. et al. Mitochondrial DNA Defects and Selective Extraocular Muscle
30. Ortube, M. C., Bhola, R. & Demer, J. L. Orbital Magnetic Resonance Imaging of Extraocular
(2006).
31. Bau, V. & Zierz, S. Update on Chronic Progressive External Ophthalmoplegia. Strabismus13,
133–142 (2005).
25
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto
32. Gardner, J. L., Craven, L., Turnbull, D. M. & Taylor, R. W. Experimental Strategies Towards
26