Anda di halaman 1dari 26

Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi

dr. Milani Suryakanto

PENDAHULUAN

Chronic progressive external opthtalmoplegia(CPEO) pertama kali dikenalkan


oleh Von Graefe pada tahun 1868.1,2CPEO merupakan kelainan miopati mitokondria
yang paling sering terjadi. CPEO dikarakteristikkan dengan adanya aptosis bilateral dan
adanya paresis otot-otot ekstraokular yang progresif perlahan yang akan mengarah ke
diplopia dan restriksi gerakan mata strabismus dan jarang terjadi diplopia.3,4,5

Prevalensi terjadinya CPEO belum diketahui, karena masih jarangnya terjadi


kasus ini.6 CPEO familial pertama kali dihubungkan dengan terjadinya delesi multipel
pada DNA mitokondria (mtDNA) pada 1989 dan sejak itu CPEO dijadikan gejala khas
dari sindrom delesi mtDNA.7,8 CPEO biasanya terjadi pada onset usia setelah 20
tahun.9,10

Untuk menegakkan diagnosis dari CPEO memerlukan kolaborasi dari klinis dan
pemeriksaan penunjang. CPEO dapat menyebabkan gangguan lain di luar gangguan
kelemahan otot, maka diperlukan pemeriksaan komprehensif yang dilakukan oleh
neurologis, oftalmologis, kardiologis, dan otorinolaringologis. 11Diagnosis CPEO
bersifat tidak spesifik sehingga memerlukan pemeriksaan lainnya yang bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari oftalmoplegia.12

Tidak ada tatalaksana kuratif yang tersedia untuk CPEO, namun tatalaksana
simptomatik perlu dilakukan untuk mengurangi gangguan yang ada (ptosis, penurunan
pendengaran, disfagia, dan kelemahan otot).1,11,13,14

Berikut ini akan dilaporkan laporan kasus CPEO yang menekankan pada
diagnosis dan tatalaksana.

1
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

2
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

3
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

4
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

5
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

6
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

LAPORAN KASUS

Seorang perempuan, 24 tahun, pekerjaan mahasiswa, agama Kristen Protestan,


alamat Toli-toli, dikonsulkan kepoli saraf pada tanggal 17 Juli 2019 dari poli mata,
dengan keluhan utama kedua kelopak mata turun sejak ± 7 tahun sebelum masuk rumah
sakit (smrs).

Pasien mengeluhkan kelopak mata turun sejak ± 7 tahun smrs lalu hanya pada
kelopak mata kiri. ± 4 tahun diikuti dengan turunnya kelopak mata kanan. Kedua
kelopak mata turun dirasakan makin lama semakin menutup sehingga mengganggu
aktivitas pasien. Keluhan ini tidak hilang timbul dan tidak fluktuatif, tidak memberat
dengan aktivitas, dan tidak diperingan dengan istirahat. Pasien cenderung sering
mendongakkan kepala untuk melihat.Lalu keluhan ini diikuti dengan pandangan ganda
sejak ± 4 tahun smrs. Pandangan dirasakan bila pandangan lurus dan pandangan ke atas.
Pandangan ganda ini menghilang bila salah satu mata ditutup. Keluhan nyeri pada mata,
nyeri kepala, gangguan menelan, kesulitan bicara, suara parau, kelemahan anggota
gerak, gangguan pendengaran disangkal. Pasien sudah pernah berobat ke poli mata
RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada tahun 2017 dan didiagnosis dengan kronik bilateral
ptosis.Pasien menjalani operasi reseksi levator palpebra. Kelopak mata kiri pada
Agustus 2017 dan kelopak mata kanan pada Desember 2017. Setelah operasi dirasa
keluhan berkurang.

Riwayat penyakit jantung, hati, ginjal, diabetes melitus, dan trauma disangkal.
Riwayat keluarga dengan penyakit sama seperti pasien disangkal.

Riwayat pasien lahir spontan, cukup bulan, dan langsung menangis.Selama


kehamilan tidak ada penyulit. Riwayat tumbuh kembang sesuai dan imunisasi pasien
lengkap. Riwayat social pasien tidak bekerja dan belum menikah. Pasien adalah anak
kedua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakinya tidak didapatkan riwayat penyakit yang
sama dengan pasien, begitu juga pada jalur keturunan kedua orang tua pasien.

Pemeriksaan fisik keadaan umum berat, status antropometri tinggi badan 145
cm, berat badan 45 kg, tanda vital tekanan darah 110/70, frekuensi nadi 78x/menit
regular isicukup, frekuensi napas 20x/menit, suhu 36,7ºC, saturasi oksigen 99%. Kepala
normosefalus, tidak ditemukan jejas. Tidak ditemukan tanda-tanda anemis pada

7
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

konjungtiva maupun ikterik pada sklera. Status lokalis di atas kelopak mata kiri tampak
bekas hecting.
Pada pemeriksaan THT dalam batas normal. Pada gigi geligi tidak didapatkan
adanya karies dentis. Pada pemeriksaan leher tidak ditemukan pembesaran kelenjar
getah bening, trakea terletak di tengah. Pada pemeriksaan dada (jantung dan paru-paru)
dan pemeriksaan abdomen datar dalam batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas
tidak ditemukan edema, akral hangat dengan kesan vaskularisasi baik.
Pemeriksaan fisik neurologis, Glasgow Coma Scale E4M6V5=15, pupil bulat
isokor, dengan diameter 3 milimeter, refleks cahaya langsung maupun tidak langsung
normal pada kedua mata. Pada pemeriksaan tanda rangsang meningeal tidak ditemukan
kuduk kaku, laseque>70⁰/>70⁰, kernig>135⁰/>135⁰. Pemeriksaan nervus kranialis
didapatkan adanya paresis nervus III dekstra et sinistra (ODS) (paresis muskulus (mm.)
rektus medialis, mm. oblikus inferior, mm. rektus inferior), paresis nervus IV ODS
(paresis mm. oblikus superior), dan paresis nervus VI okular ODS (mm. rektus
lateralis). Didapatkan posisi dasar mata kiri eksotropia. Pemeriksaan lapang pandang
dengan metode konfrontasi didapatkan adanya penurunan lapang pandang superior baik
sisi temporal maupun nasal ODS.Pemeriksaan funduskopi ODS pada pasien ini
didapatkan papil bulat, warna jingga, batas tegas, perbandingan arteri dan vena 2:3,
terdapat cupping disk, tidak terdapat eksudat maupun perdarahan. Pada pemeriksaan
kelopak mata didapatkan ukuran fisura palpebra OD 7mm dengan margin reflex
distance (MRD) OD 6mm, sedangkanfisura palpebra OS 4mm dan margin reflex
distance (MRD) OS 6mm. Tidak ditemukan adanya kelainan pada nervus kranialis
lainnya.

8
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Gambar 1. Gambar ptosis ODS (A), gangguangerak bola mata (B), dan funduskopi ODS (C)
pada pasien.
Pada pemeriksaan status motorik ekstremitas atas dan bawah dalam batas normal.
Refleks fisiologis bisep, trisep, dan brakio radialis dekstra dan sinistra dalam batas
normal. Refleks patela dan achiles dekstra dan sinistra dalam batas normal. Tidak
ditemukan refleks patologis pada ekstremitas atas dan bawah. Pemeriksaan status
sensorik eksteroseptif didapatkan normoestesia dan proprioseptif tidak terganggu. Pada
pemeriksaan status otonom tidak didapatkan inkontinensia maupun retensi urin dan alvi.
Hasil pemeriksaan wartenberg memberikan gambaran negatif. Hasil pemeriksaan
counting test pasien dapat menyebutkan angka sampai 50 dalam satu kali napas
panjang.
Pemeriksaan laboratorium 11 Juli 2019, didapatkan kadar hemoglobin 12,7
gr/dl, hematokrit 38,1%, leukosit 6.600/mm3, trombosit 349.000/mm3, gula darah puasa
80 mg/dl, SGPT 11 U/L, SGOT 26 mg/dl, ureum 15 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl, natrium
141 mmol/L, kalium 4,55 mmol/L, klorida 100,4 mmol/L.Pemeriksaan laboratorium 19
Agustus 2019 didapatkan hasil fosfor 4,0 mg/dL, magnesium 2,21 mg/dL, CK total 45
U/L, CKMB 24 U/L, TSHS 1,88 µIU/mL, FT4 1,13 ng/dL, FT3 4,26 pmol/L.

9
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Pemeriksaan laboratorium 17 September 2019 didapatkan hasil ASTO < 200, faktor
rheumatoid <8.
Pemeriksaan rotgen thoraks pada tanggal 12 Juli 2019 dan elektrokardiografi
(EKG) pada tanggal 06 Mei 2019 didapatkan hasil normal sinus rhytm dengan denyut
jantung 62 kali/menit. Pemeriksaan NCS motorik dan sensorik dalam batas normal.
Pemeriksaan RNS pada sampel m. abductor digitiminimi, m. nasalis, dan m. frontalis
dalam batas normal.
Hasil Brain MRI tanpa kontras (pasien alergi zat kontras) pada 9 Agustus 2019
didapatkan adanya atrof imuskulus okuli bilateral dan sinusitis sinistra.

Gambar 2. Brain MRI 9 Agustus2019 tanpakontras.


Pasien dilakukan pemeriksaan lapang pandang dengan perimerI Goldmann
kinetik dan didapatkan hasil penurunan lapang pandang pada area superior temporal
superior dan nasal superior keduamata.

Gambar 3. Gambaran hasil pemeriksaan Goldmann perimetri.

10
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Pasien didiagnosis klinis dengan ophtalmoplegi ODS, eksotropia OS, gangguan


lapang pandang. Diagnosis topis di mitokondria.Diagnosis etiologigenetik, diagnosis
patologis miopati mitokondria.Dengan diagnosis tambahan gangguan refraksi ODS.
Penatalaksanaannya adalah edukasi pasien mengenai penyakit dan edukasi
kemungkinan prognosis.
Prognosis pada pasien ini untuk quo ad vitambonam, quo ad sanationam dubia
ad malam, dan quo ad functiona ladalah dubia ad malam.

11
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

PEMBAHASAN

CPEO merupakan miopati mitokondria yang dikarakteristikkan dengan ptosis


bilateral dan adanya keterbatasan gerakan otot-otot ekstraokular yang terjadi secara
progresif.15Namun menurut Lee dan teman-teman CPEO bukan merupakan suatu
diagnosis dan tidak dapat mengindikasikan suatu etiologi yang spesifik. Menurut
mereka CPEO merupakan suatu kelompok kelainan heterogen yang dikarakteristikkan
dengan ptosis dan gangguan gerak bola mata yang progresif bilateral dan umumnya
simetris.12 CPEO pertama kali dikenalkan oleh Von Graefe pada tahun
1868.1,2Prevalensi terjadinya CPEO belum diketahui. 6 Namun CPEO terjadi >50% dari
semua miopati mitokondria.16 CPEO familial pertama kali dihubungkan dengan
terjadinya delesi multipel pada DNA mitokondria (mtDNA) pada 1989 dan sejak itu
CPEO dijadikan gejala khas dari sindrom delesi mtDNA.7,8 CPEO biasanya terjadi pada
onset usiasetelah 20 tahun.9,10 Mutasi gen yang terjadi pada CPEO biasanya adalah
autosomal dominan.

Untuk menegakkan diagnosis dari CPEO memerlukan kolaborasi dari klinis dan
pemeriksaan penunjang. CPEO dapat menyebabkan gangguan lain di luar gangguan
kelemahan otot, maka diperlukan pemeriksaan komprehensif yang dilakukan oleh
neurologis, oftalmologis, kardiologis, dan otorinolaringologis.11 Diagnosis CPEO
bersifat tidak spesifik sehingga memerlukan pemeriksaan lainnya yang bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan penyebab lain dari oftalmoplegia.12

Pada anamnesa gejala klinis yang pertama kali sering ditemukan dan khas pada
CPEO adalah turunnya kelopak mata (ptosis), yang dapat terjadi pada satu atau kedua
kelopak mata.6 Pasien CPEO akan mengeluhkan adanya ptosis bilateral yang sering
dikompensasi dengan cara mengangkat kepala untuk memperjelas lapang pandang
mata.13Keluhan turunnya kelopak mata ini biasanya bersifat perlahan, progresif dan
tidak ada fase remisi maupun eksaserbasi. Ptosis awalnya dapat terjadi unilateral,
namun lama-kelamaan akan menjadi bilateral.11,17Namun pada penelitian Gronlund dan
teman-teman yang dilakukan pada 57 anak-anak yang telah terdiagnosa dengan sindrom
mitokondrial, didapatkan 9 orang terdiagnosis CPEO tanpa adanya ptosis.18,19Sedangkan
dari pengalaman klinis gabungan Walsh dan Hoyt didapatkan 2 orang, kakak beradik,
yang mempunyai klinis oftalmplegia hamper komplit tanpa adanya ptosis. Namun

12
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

kedua orang ini mempunyai ayah yang berfenotip CPEO klasik dan bergejala
oftalmoplegia dan ptosis bilateral.20CPEO tanpa adanya ptosis kemungkinan merupakan
salah satu varian spectrum fenotip CPEO yang atipikal.

Gejala khas lainnya yang akan dikeluhkan pasien berupa kelemahan atau
kelumpuhan otot gerak bola mata (oftalmoplegia) yang umumnya bersifat bilateral.
Keterbatasan gerak bola mata ini akan lebih berat pada gerakan keatas/ elevasi
dibandingkan gerakan ke bawah. Pada CPEO tidak terjadi gangguan pada pupil, nyeri,
bengkak pada sekitar mata, proptosis, retraksi kelopak, dan lid lag (tanda khas
oftalmopati tiroid).Selain itu pada pemeriksaan letak dasar (baseline) posisi mata
pasien, dokumentasi gerakan bola mata perlu dilakukan. pada pemeriksaan yang
dilakukan dengan teliti oleh oftalmoplogis dapat ditemukan adanya gerakan ocular
sakadik lambat pada beberapa kasus CPEO.14Pasien dengan CPEO juga dapat
mengeluhkan adanya kelemahan umum pada otot saat bergerak (miopati). Kelemahan
ini akan lebih dirasakan saa tmelakukan aktivitas. Dapat juga terjadi gangguan menelan
(disfagia).

Gambar 5. Oftalmoplegi pada CPEO21

Spektrum klinis yang sangat luas (heterogenitas) merupakan cirri khas dari
penyakit mitokondria. CPEO dapat terjadi sendiri namun dapat juga merupakan bagian
dari spectrum penyakit sistemik dengan gejala dan tanda yang saling tumpang tindih.
Kelemahan otot merupakan gejala primer dari CPEO, namun kondisi ini dapat diikuti

13
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

dengan gejala dan tanda klinis sistemik tambahan lainnya. Kondisi ini sering disebut
dengan sindrom CPEO plus. Manifestasi ocular seperti retinopati pigmentasi (salt and
pepper like appearance), atrofioptik, dan sangat jarang data terjadi katarak.
Manifestasik jantung berupa gangguan konduksi jantung, aritmia, dan kardiomiopati.
Manifestasi serebri dapat berupa epilepsi, ataksia serebelar, dan demensia. Sistem saraf
tepi juga dapat terganggu menyebabkan timbulnya neuropati sensorik aksonal.
Gangguan pada system endokrin dapat menyebabkan diabetes melitus, hipotiroid, dan
hipoparatiroid. Tuli sensorineural dan gangguan gastrointestinal juga dapat terjadi.
Beberapa contoh sindrom CPEO plus telah ditemukan, contohnya adalah Kearns-Sayre
syndrome (KSS) yang merupakan gangguan fenotip multisistemik berat yang terjadi
sebelum usia 20 tahun. KSS ini dikarakteristikkan dengan CPEO yang disertai dengan
adanya retinopatipigmentasi pada pemeriksaan funduskopi, gangguan konduksi jantung,
dan ataksiaserebellar yang disertai dengan peningkatan peningkatan protein cairan
serebrospinal (LCS)> 100mg/dL.16Jenis sindrom CPEO plus lainnya yang sering terjadi
adalah SANDO (ataksiasensorik, neuropati, disartria, dan oftalmoplegia) dan
mitochondrial neurogastrointestinal encephalomyopathy (MNGIE). MNGIE sangat
jarang terjadi dengan gejala gastrointestinal yang dapat menyebabkan kakeksia.11

Mengingat dapat terjadi keluhan sistemik lainnya seperti kardiomiopati dan


aritmia jantung, penegakkan diagnosis CPEO tepat waktu dan deteksi penyakit sistemik
lainnya penting untuk dilakukan.18Pemeriksaan elektrokardiogram(EKG) dan
ekhokardiografi perlu dilakukan untuk mengidentifikasi adanya defek pada konduksi
jantung atau terjadinya hipertrofi ventrikular.Pemeriksaan kardiologi ini sebaiknya
dilakukan minimal satu kali dalam setahun untuk mendeteksi kelainan jantung yang
terjadi sehingga dapat dilakukan tatalaksana yang tepat.14

Gambar 5. Retinopatipigmentasi pada KSS.22

14
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Selain menggali keluhan-keluhan yang dialami pasien, penting juga untuk


menggali riwayat dalam keluarga.11 Dan sebaiknya dilakukan pemeriksaan juga
terhadap anggota keluarga untuk mencari faktor keturunan.12

Pasien laporan kasus mengeluhkan keluhan turunnya kelopak mata yang terjadi
perlahan-lahan dimulai sejak 7 tahun yang lalu, dimulai dengan mata kiri diikuti dengna
mata kanan. Lalu keluhan diikuti juga dengan gangguan melirik terutama kearah atas.
Pada pasien tidak ditemukan adanya keluhan sistemik lainnya. Dari anamnesis riwayat
tumbuh kembang pasien normal dan riwayat penyakit keluarga disangkal. Hal ini sesuai
dengan gambaran CPEO pada umumnya. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya
kelemahan gerak bola mata keatas, hal ini sesuai dengan teori yang mengatakan
keterbatasan gerak bola mata keatas akan lebih terganggu dibandingkan gerak bola mata
kebawah.

Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat membantu untuk menegakkan


diagnosis CPEO, namun diagnosis CPEO dikonfirmasi dari pemeriksaan histologi dan
analisis biokemikal dari biopsi otot.1,11,23Penegakkan diagnosis definitif CPEO
berdasarkan pemeriksaan genetic untuk mencari adanya delesi gen mtDNA dari biopsy
otot maupun darah.22Pemeriksaan untuk mencari adanya delesi mtDNA ini terkadang
tidak dapat dideteksi dari pemeriksaan darah, karena itu perlu dilakukan biopsy otot,
yang biasanya dilakukan dengan menggunakan jarum Bergstrom 5mm yang telah
dimodifikasi.23Muskulus deltoid maupun vastus lateralis merupakan otot yang mudah
untuk diakses dan merupakan spesimen yang baik. Namun untuk menengakkan
diagnosis CPEO sebaiknya dilakukan biopsi pada muskulus orbukularis okuli pada saat
operasi kelopak mata. Mirip dengan gejala klinis, hasil pemeriksaan biopsy otot untuk
mendukung diagnosis CPEO sering bersifat heterogen.

Pemeriksaan histopatologi jaringan EOM dengan pewarnaan hematoksilin dan


eosin akan menunjukkan gambaran atrofimiosit general, peningkatan nukleasi pada
sentral, dan fibrosis endomisial yang ekstensif. Pada pewarnaan gomoritrikrom
menunjukkan adanya serat kasar merah (ragged-red fibers) dengan akumulasi
subsarkolemal dan defisiensi dari oksidasisitokrom C (COX) pada biopsiotot. Defisiensi
serat COX iniditemukan 4% dari total semua serat otot dengan ragged-red fibers.

15
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Pada pemeriksaan mikroskop electron dapat ditemukan adanya gambaran


mitokondria abnormal dengan ukuran yang membesar dan morfologi irregular seperti
gambaran sidik jari dengan adanya krista yang melebar dengan akumulasi densitas
(inklusiparakristalin). Menurut Lang dan teman-teman pemeriksaaan mikroskop
electron dilakukan untuk membantu konfirmasi diagnosis suatu kecurigaan CPEO.
Derajat variasi perubahan ultrastruktural yang terjadi mengambarkan suatu mutasi
mtDNA yang heteroplastik. Ditemukannya mitokondria bulat dan berukuran besar yang
mengandung kristakonsentrik mengarahkan diagnosis kearah CPEO, namun kadang
Krista ini tidak selalu ditemukan.11,24–26

Gambar .Gambaranhistopatologidenganpewarnaanhemtosiklin dan eosin(A), pewarnaangomoritrikrom


(B), dan mikroskop elektron.1

Penelitian yang dilakukan oleh Greaves dan teman-teman membandingkan


defisiensi serat COX pada EOM dan otot skeletal pada pasien CPEO yang terbukti
mengalami mutasi mtDNA. Dari hasil penelitian mereka didapatkan pasien CPEO
dengan mutasi mtDNA tunggal mempunyai derajat keparahan klinis yang lebih ringan
dibandingkan dengan pasien CPEO dengan mutasi mtDNA berupa delesi dan
mempunyai defisiensi COX pada EOM yang lebih rendah.27

Terkadang pada beberapa pasien dapat ditemukan hanya terdapat perubahan


minor histologi (kurangdari 5% serat yang abnormal. Pada kasus seperti ini sebaiknya
dilakukan pemeriksaaan molecular genetic untuk membantu konfirmasi diagnosis.
Selain itu pemeriksaan genetic molekular juga diperlukan agar pasien dapat
mendapatkan konseling genetik.

DNA hasil biopsy otot dapat ditemukan adanya mutasi sebagian besar berupa
delesi tunggal dan sisanya berupa delesi multipel. CPEO delesi tunggal bisanya bersifat

16
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

sporadic sedangkan CPEO dengan delesi multiple bersifat autosomal dominan maupun
autosomal resesif yang sering dikaitkan dengan adanya mutasi gen seperti POLG1,
Twinkle, ANT, dan POLG2. Mutasi gen ini biasanya bersifat heteroplasmik sehingga
spectrum klinis CPEO menjadi luas.11,23 Baku emas untuk mendeteksi adanya delesi
mtDNA adalah analisis menggunakan Southern blot. Namun pemeriksaan dengan
Southern blot tidak dapat menemukan delesi mtDNA level rendah. Pemeriksaan DNA
dengan PCR lebih sensitive dibandingkan Southern blot. Pada pemeriksaan analisis
kuantitatif delesi mtDNA dilakukan dengan menggunakan rasio ND1/D4, dan delesi
akan ditemukan 30% heteroplasmik. Namun perlu diingat bahwa mutasi mtDNA dan
defisiensi COX dapat meningkat secara normal pada proses penuaan manusia, namun
tidak lebih dari 2% heteroplasmik. Bila ditemukan adanya delesi yang multiple
direkomendasikan untuk mencari adanya mutasi gen pada POLG1, TWINKLE, ANTI,
POLG2. Sedangkan pada CPEO yang diturunkan secara pola maternal sebaiknya
dilakukan pemeriksaan sekuens mtDNA. 11,23

Pemeriksaan kadar enzim CoQ dari biopsy otot juga dapat dilakukan pada
pasien dengan CPEO, namun pemeriksaan ini tidak sepenting pemeriksaan histology
dalam menegakkan diagnosis CPEO. Selain itu pemeriksaan enzim merupakan
pemeriksaan yang kompleks dan hanya tersedia pada fasilitas tertentu. Namun
pemeriksaan kadar CoQ ini dapat memberikan gambaran akumulasi lemak pada
proliferasi mitokondria. CPEO dengna defisiensi CoQ ini biasanya akan memberikan
respon yang baik terhadap terapi dengan pemberian CoQ.11

Pemeriksaan tambahan lainnya dapat dilakukan untuk mendukung diagnosis dari


CPEO bila biopsy otot belum dilakukan atau tidak tersedia. Pemeriksaan penunjang
lainnya ini digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis lainnya yang dapat
menyebabkan gejala yang mirip dengan CPEO. Untuk pemeriksaan laboratorium dapat
dilakukan pemeriksaan kadar laktat. Kadar laktat pada pasien dengan CPEO biasanya
dianggap meningkat bermakna bila ditemukan lebih dari 4mmol/L. Terjadinya
peningkatan kadar laktat ini dihubungkan dengan adanya gangguan pada fosforilasi
oksidatif. Sensitivitas pemeriksaan kadar laktat pada pasien sebelum diberi beban kerja
adalah 70%. Sensitivitas meningkat sampai 90% pada pemeriksaan kadar laktat pada
pasien yang telah diberi beban kerja (sepeda) terlebih dahulu. Pada pasien dengan

17
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

sindrom CPEO plus yang mempunyai gejala serebri dapat dilakukan pemeriksaan kadar
laktat pada LCS dan akan ditemukan penurunan rasio laktat darah dan LCS. Selain itu
perlu juga dilakukan pemeriksaan lainnya untuk mencari gangguan multisistemik
lainnya seperti pemeriksaan kadar gula, hormone tiroid, audiogram.11

Pada pemeriksaan elektromiografi konvensional akan biasanya memberikan


gambaran pola miopati. Namun, kadang hasil pemeriksaan EMG single fiber dapat juga
memberikan peningkatan jitter. Karena itu penggunaan EMG single fiber kurang bagus
untuk membedakan CPEO dari miastenia gravis. Selain itu dapat dilakukan
pemeriksaan visual evoked potential (VEP) untuk membantu menentukan letak
anatomis lesi dan menilai sejauh mana terjadi kerusakan retinal.14

Pemeriksaan neuroimajing sering digunakan pada evaluasi awal atau sesudah


diagnosis penyakit mitokondria dilakukan. Atrofi kortikal dan serebelar dapatditemukan
pada kasus-kasus yang dikaitkan dengan sindrom CPEO. Atrofi generalisata pada EOM
merupakangambarankarakteristik CPEO dan biasanyaterjadisimetris pada keduamata.
Hal inimenggambarkanpolaoftalmoplegi yang didapatkan pada observasi klinis.14

Gambar .Atrofi EOM.14

Terdapat penelitian mengenai gambaran imajing pasien CPEO yaitu berupa atrofi otot
ekstraokular (EOM) dan kadang dihubungkan dengan perubahan signal EOM. Namun
penelitian ini masih terbatas karena jumlah sampel penelitian yang minimal yang belum
terbukti secara genetic sehingga memberikan penemuan radiologis yang bervariasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Pitceathly dan teman-teman didapatkan MRI pada
pasien dengan CPEO memberikan gambaran atrofi pada seluruh EOM, lebih sering

18
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

didapatkan gambaran hipertintens EOM pada sekuens T1w dan pemanjangan yang
seragam EOM pada sekuens T2 dibandingkan pada pasien kontrol. 28 Pada MRI orbita
dengan resolusi tinggi menunjukkan gambaran abnormal berupa signal hiperintens
dengan bentuk spongiform pada sekuens T1w. Menurut Ortube dan teman-teman signal
abnormal ini tidak ditemukan pada pasien opthalmologi dengan gangguan EOM yang
bebas dari inflamasi orbital, namun dapat terlihat pada penyakit tiroid mata dan fibrosis
kongenital pada otot EOM.29,30

Pada pemeriksaan imajing yang baru yaitu magnetic resonance spectroscopy


(MR-Spec) akan menunjukkan peningkatan kadar laktat otak dimana hal ini
dihubungkan dengan adanya gangguan pada metabolisme oksidatif.22

Pemeriksaan penunjang berupa biopsy otot tidak dilakukan pada laporan kasus
ini. Namun beberapa pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien laporan
kasus dapat membantu untuk menyingkirkan diagnosis banding CPEO lainnya, yaitu
pemeriksaan kadar tiroid yang normal, hasil NCS dan RNS yang normal. Selain itu hasil
Brain MRI pada pasien ini ditemukan adanya atrofi muskulus okuli bilateral dan
sinusitis sinistra. Hal ini sesuai dengan penelitian mengenai gambaran imajing pasien
CPEO.

Tidak ada tatalaksana kuratif yang tersedia untuk CPEO, namun tatalaksana
simptomatik perlu dilakukan untuk mengurangi gangguan yang ada (ptosis, penurunan
pendengaran, disfagia, dan kelemahan otot). Tujuan tatalaksana CPEO adalah
mengelevasi kelopak mata tanpa memperberat keratopati eksposur.1,11,13,14

Untuk mengurangi keluhan subjektif diplopia pasien dapat disarankan untuk


menggunakan kacamata prisma Fresnel, namun lama-kelaman mata akan terfiksasi di
sentral dengan tidak adanya dikonjungsi gerakan bola mata sehingga keluhan diplopia
hilang. Tatalaksana pembedahan strabismus dapat dipertimbangkan pada pasien dengan
keluhan subjektif diplopia dan oftalmo paresis tidak berubah minimal satu
tahun.1,23Pembedahan strabismus ini dilakukan dengan cara memodifikasi pada EOM
dapat dilakukan untuk mengkoreksi gejala strabismus.1,13

Untuk mengurangi keluhan ptosis dapat dilakukan dengan menggunakan alat


bantu maupun tatalaksana pembedahan. Penggunaan alat bantu “silicone frontalis sling”

19
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

pada pasien dengan motilitas yang masih baik dapat memberikan hasil yang
memuaskan. Sling dapat dikencangkan bila ptosis memberat. Penggunaan alat bantu ini
dipilih bila pasien sudah menjalani operasi pengangkatan kelopak mata namun kelopak
mata masih tertutup.13Selain sling alat bantu lainnya yang dapat digunakan adalah
kacamata kruk kelopak.31Biasanya penggunaan alat bantu sling ini banyak digunakan
pada pasien dengan usia yang lebih muda.

Gambar .Kacamatakruk kelopak1

Pada pasien yang lebih tua, kemungkinan kelopak mata pasien sudah tidak
kencang sehingga seperti ada kulit berlebih, sehingga biasanya disarankan untuk
tindakan blepharoplasty sederhana.23Pembedahan ptosis dapat sangat efektif dalam
mengangkat kelopak mata superior pada CPEO, akan sangat memperbaiki lapang
pandang pasien namun juga memberikan efek psikologis yang baik terhadap pasien.
Tindakan pembedahan yang sering dilakukan untuk mengatasi ptosis adalah reseksi
anterior levator palpebra superior memaksimalkan kerja otot-otot gerakan mata ke
atas.13,14Apabila kekuatan otot levator palpebra lemah, pembedahan brow suspension
dapat dilakukan, yaitu dengan menanamkan sling di bawah kulit diantara otot frontalis
dan kelopak mata. Sling ini berfungsi untuk memberikan banntuan kekuatan mekanik
untuk melakukan gerakan mengangkat kelopak mata. Sling yang dapat digunakan dapat
berasal dari fascia lata (paha dalam) pasien maupun sintetik berupa silikon. 14Tindakan
pembedahan dipilih dengan mempertimbangkan keinginan pasien untuk mempunyai
kondisi kelopak mata yang kembali normal dan kekuatan otot oksilofrontalis

20
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

(otorlevator palpebra superior, otot frontalis) yang normal. Pada pasien dengan kekuatan
otot oksilofrontalis yang normal akan dapat melakukan gerakan mengangkatalis yang
normal, dan pada pasien ini tatalaksana konservatif dengan menggunakan alat bantu
silicone frontalis sling merupakan pilihan yang terbaik. Pembedahan reseksi levator
palpebra superior dan orbikularis dapat mengurangi gerakan mengedip kelopak mata
dan posisi kelopak mata tidak dapat menutup sempurna. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi berupa gejala mata kering dan Bell’s phenomenon (lagoftalmusnokturnal).
Hal ini akan meningkatkan resiko eksposur pada korna sehingga dapat terjadi ulkus atau
perforasi kornea. Pada pasien yang mengalami komplikasi ini harus dilakukan
pencegahan mata kering. Bila terjadi kegagalan dalam terapi pencegahan mata kering
dan tidak dapat menoleransi turunnya kelopak mata atas, maka operasi pengangkatan
kelopak mata bawah yang tepat dapat memperbaiki keluhan. Selain itu dapat dilakukan
operasi pengangkatan kelopak mata.1,14,23Manajemen mata kering dilakukan secara
konservatif yaitu dengan menjaga kebersihan kelopak mata dan pemberian obat tetes
mata untuk lubrikasi. Obat tetes lubrikasi ini sebaiknya bebas dari bahan pengawet
untuk mengurangi resikotoksisitas pada epitel kornea karena akan digunakan jangka
panjang.14Namun karena sifat progresif dari penyakit CPEO maka keluhan ptosis dan
diplopia dapat terjadi lagi walaupun sudah dilakukan terapi pembedahan sehingga hal
ini perlu dinformasikan kepasien sebelum dilakukan tatalaksana pembedahan.14

Pada pasien CPEO sebaiknya dilakukan pemeriksaan skrining gangguan


jantung, audimetri berkala. Skrining gangguan jantung pada semua pasien dengan early
onset CPEO, dan pada pasien late onset CPEO dapat dilakukan skrining interval 3-5
tahun. Sedangkan pemeriksaan audimetri sebaiknya dilakukan setiap tahun. Selain itu
pada pasien-pasien CPEO dengan keluhan gangguan menelan sebaiknya dilakukan
pemeriksaan fluoroskopi, dan bila dibutuhkan dapat dilakukan pemasangan gastrostomi
atau jejunostomi untuk jalur masuk nutrisi.

Pemberian suplemen nutrisi dengan kofaktor enzimCoQ, asamlipoik alfa,


kreatinin monohidrat, dan vitamin E dikatakan mungkin dapat meningkatkan kapasitas
dan kekuatan mitokondria yang banyak rusak pada delesi mtDNA (yang banyak dialami
pada CPEO).23Namun pemberian suplemen ini tidak terlalu efektif. Pemberian suplemen
CoQ 300-500mg/hari dapat memberikan perbaikan yang bermakna pada pasien CPEO

21
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

yang terbukti mempunyai defisiensi CoQ. Pemberian suplemen CoQ pada pasien
dengan kadarCoQ yang normal dapat diberikan sebagai antioksidan (karena pada defek
dari mtDNA dapat meningkatkan produksi oksigen radikal bebas). Pemberian suplemen
enzim dan vitamin ini tidak memberikan efek samping serius pada pemberian dosis
rendah. Namun pemberian suplemen ini belum terbukti dan masih memerlukan
penelitian terapeutik lebih lanjut.11,12

Beberapa penelitian tentang terapi gen untuk mengatasi kelainan mitokondria


sedang dikembangkan dan masih dalam tahap awal. Salah satu strategi yang
menjanjikan dalam mengurangi rasio mutasi genom mtDNA adalah dengan
menghambat replikasi genom yang mengalami mutasi. Transmisi maternal dari mutasi
tunggal mtDNA dapat dicegah dengan cara transplantasi nukleus. Seletah fertilisasi in
vitro dari oosit yang membawa mtDNA termutasi, pronukleus ditransfer ke oosit donor
normal sehingga embrio tetap memiliki genom orang tuanya namun dengan genom
mitokondrial yang sebagin besar berasal dari donor prempuan, sehingga heteroplasmik
yang terjadi di bawah kadar rendah. Pendekatan terapi klinis ini sukses pada penelitian
terhadap tikus.32

Pasien laporan kasus telah menjalani terapi pembedahan levator palpebra


anterior pada kedua mata, menurut pasien keluhan mata menutup awalnya membaik,
namun setelah 1 tahun mata mulai kembali menutup namun belum separah sebelum
operasi. Pada pasien juga tidak didapatkan adanya gejala komplikasi dari pembedahan
berupa ulkus kornea maupun mata kering. Pada pasien telah dilakukan skrining EKG
didapatkan hasil yang normal. Pada pasien sesusai dengan teori dilakukan edukasi untuk
skrining kesehatan rutin dan menjaga supaya tidak terjadi komplikasi dari CPEO sendiri
maupun tatalaksana pembedahan yang telah dilakukan.

22
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

Daftar Pustaka

1. Bau, V. & Zierz, S. Update on Chronic Progressive External Ophthalmoplegia. Strabismus13,

133–142 (2005).

2. Hsiao, C.-C., Lee, N.-C., Huang, P.-H. & Tsai, T.-H. Histopathological and genetic analysis of

extraocular muscle in chronic progressive external ophthalmoplegia. Journal of the

Formosan Medical Association115, 1012–1014 (2016).

3. Heighton, J. N., Brady, L. I., Newman, M. C. & Tarnopolsky, M. A. Clinical and demographic

features of chronic progressive external ophthalmoplegia in a large adult-onset cohort.

Mitochondrion44, 15–19 (2019).

4. Kasamo, K., Nakamura, M., Daimou, Y. & Sano, A. A PRIMPOL mutation and variants in

multiple genes may contribute to phenotypes in a familial case with chronic progressive

external ophthalmoplegia symptoms. Neuroscience Research S016801021930197X (2019)

doi:10.1016/j.neures.2019.07.006.

5. Schlapakow, E. et al. Distinct segregation of the pathogenic m.5667G>A mitochondrial

tRNAAsn mutation in extraocular and skeletal muscle in chronic progressive external

ophthalmoplegia. Neuromuscular Disorders29, 358–367 (2019).

6. Progressive external ophthalmoplegia. 7.

7. Fratter, C. et al. The clinical, histochemical, and molecular spectrum of PEO1 (Twinkle)-

linked adPEO. Neurology74, 1619–1626 (2010).

8. Zeviani, M. et al. An autosomal dominant disorder with multiple deletions of

mitochondrial DNA starting at the D-loop region. Nature339, 309–311 (1989).

9. Lang, T. et al. Morphological Findings of Extraocular Myopathy with Chronic Progressive

External Ophthalmoplegia. Ultrastructural Pathology34, 78–81 (2010).

23
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

10. Goodlass, L. Neuromuscular Diseases: A Practical Approach to Diagnosis and Management.

Physiotherapy74, 589 (1988).

11. Vorgerd, M. & Deschauer, M. Treatment and Management of Hereditary Metabolic

Myopathies. in Neuromuscular Disorders: Treatment and Management 409–429 (Elsevier,

2011). doi:10.1016/B978-1-4377-0372-6.00022-0.

12. Lee, A. G. & Brazis, P. W. Chronic progressive external ophthalmoplegia. 5.

13. de Castro, F. A. A., Cruz, A. A. V. & Sobreira, C. F. da R. Brow Motility in Mitochondrial

Myopathy: Ophthalmic Plastic & Reconstructive Surgery26, 416–419 (2010).

14. Yu-Wai-Man, P. Chronic Progressive External Ophthalmoplegia Secondary to Nuclear-

Encoded Mitochondrial Genes. in Mitochondrial Case Studies 159–169 (Elsevier, 2016).

doi:10.1016/B978-0-12-800877-5.00018-8.

15. Kline, L. B., Foroozan, R. & Bajandas, F. J. Neuro-ophthalmology review manual. (SLACK,

2013).

16. Hauser, S. & Josephson, S. Harrison’s Neurology in Clinical Medicine. (McGraw-Hill

Publishing, 2010).

17. Saneto, R. P. Genetics of Mitochondrial Disease. in Advances in Genetics vol. 98 63–116

(Elsevier, 2017).

18. Bucelli, R. C., Lee, M. S. & McClelland, C. M. Chronic Progressive External Ophthalmoplegia

in the Absence of Ptosis: Journal of Neuro-Ophthalmology36, 270–274 (2016).

19. Gronlund, M. A. et al. Ophthalmological findings in children and young adults with

genetically verified mitochondrial disease. British Journal of Ophthalmology94, 121–127

(2010).

20. Walsh and Hoyt’s clinical neuro-ophthalmology: the essentials. (Wolters Kluwer, 2016).

21. Allen, R. C. Genetic diseases affecting the eyelids: what should a clinician know? Current

Opinion in Ophthalmology24, 463–477 (2013).

24
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

22. Moss, H. E. Eyelid and Facial Nerve Disorders. in Liu, Volpe, and Galetta’s Neuro-

Ophthalmology 449–488 (Elsevier, 2019). doi:10.1016/B978-0-323-34044-1.00014-6.

23. Tarnopolsky, M. Chronic Progressive External Ophthalmoplegia (CPEO). in Mitochondrial

Case Studies 49–53 (Elsevier, 2016). doi:10.1016/B978-0-12-800877-5.00006-1.

24. Schwartzkopff, B. et al. Ultrastructural findings in endomyocardial biopsy of patients with

Kearns-Sayre syndrome. Journal of the American College of Cardiology12, 1522–1528

(1988).

25. Reichmann, H. et al. Progression of myopathology in Kearns-Sayre syndrome: a

morphological follow-up study. Acta Neuropathol85, 679–681 (1993).

26. Carta, A. Ultrastructural Analysis of Extraocular Muscle in Chronic Progressive External

Ophthalmoplegia. Arch Ophthalmol118, 1441 (2000).

27. Greaves, L. C. et al. Mitochondrial DNA Defects and Selective Extraocular Muscle

Involvement in CPEO. Invest. Ophthalmol. Vis. Sci.51, 3340 (2010).

28. Pitceathly, R. D. S. et al. Extra-ocular muscle MRI in genetically-defined mitochondrial

disease. Eur Radiol26, 130–137 (2016).

29. Pineles, S. L. et al. External ophthalmoplegia in human immunodeficiency virus-infected

patients receiving antiretroviral therapy. Journal of American Association for Pediatric

Ophthalmology and Strabismus16, 529–533 (2012).

30. Ortube, M. C., Bhola, R. & Demer, J. L. Orbital Magnetic Resonance Imaging of Extraocular

Muscles in Chronic Progressive External Ophthalmoplegia: Specific Diagnostic Findings.

Journal of American Association for Pediatric Ophthalmology and Strabismus10, 414–418

(2006).

31. Bau, V. & Zierz, S. Update on Chronic Progressive External Ophthalmoplegia. Strabismus13,

133–142 (2005).

25
Diagnosis dan Tatalaksana Chronic Progressive External Opthalmoplegi
dr. Milani Suryakanto

32. Gardner, J. L., Craven, L., Turnbull, D. M. & Taylor, R. W. Experimental Strategies Towards

Treating Mitochondrial DNA Disorders. Bioscience Reports27, 139–150 (2007).

26

Anda mungkin juga menyukai