Anda di halaman 1dari 18

Meet The Expert

Diagnosis Grave Ophthalmopaty

Oleh :

Tamara Triningsih 2040312061


Edwido Leonori Saputra 2040312133
Alysha Andini Hasibuan 2040312134
Zakiya Zar’a 2040312135

Preseptor :

Dr. dr. Adrizal Rahman, Sp. M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah Meet The Expert yang berjudul “Diagnosis Graves
Ophthalmopathy”. Makalah ini disusun untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis
dan pembaca, serta menjadi salah satu ilmiah dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian
Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penulisan makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 16 Desember 2020

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Grave’s ophthalmopathy (GO) adalah manifestasi ekstratiroid dari penyakit Grave’s
hyperthyroidism yang paling sering ditemukan dan dapat menimbulkan kebutaan. Pada
umumnya penyakit GO ini disertai dengan adanya hipertiroidisme, namun pada investigasi
yang lebih lanjut GO juga didapat pada mereka yang eutiroid, hipotiroid, dan kronik
autoimun tiroiditis. Di antara pasien-pasien yang memilik GO ini, 90% menderita
Grave’s hyperthyroidism, 1% hipotiroid primer, 3% menderita tiroiditis Hashimoto, dan 6 %
eutiroid.1 Subekti et. al melaporkan prevalensi GO secara klinis di RSUPN dr. Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2011 adalah 37%. Grave’s ophthalmopathy lebih sering
ditemukan pada mereka yang berusia lebih tua dengan predisposisi lebih tinggi pada
perempuan dibandingkan pada laki-laki, namun tingkat keparahan justru lebih tinggi pada
laki-laki dengan tingkat klasifikasi yang sama. Tingkat keparahan dan risiko oftalmopati
meningkat dengan adanya beberapa faktor risiko seperti pemakaian tembakau, terapi genetik
untuk hipertiroid, jumlah antibodi reseptor TSH, usia lanjut, dan stress. Penderita GO dapat
juga menderita penyakit autoimun lainnya, seperti myastenia gravis, adanya penyakit
autoimun lainnya menunjukkan prognosis GO yang lebih buruk.1,2
Grave’s ophthalmopathy dikaitkan dengan beberapa perubahan histopatologis yang
memicu proses inflamasi yang mengarah ke peningkatan volume otot ekstraokular dan
jaringan ikat orbital serta jaringan adiposa. Patogenesis terkait dengan aktivasi limfosit T
(kebanyakan CD4+) yang menyerang orbit dan melepaskan sitokin, biasanya sebagai respons
terhadap adanya autoantibodi yang bersirkulasi yang mengikat dan merangsang reseptor
hormon tiroid (TSHR). Sitokin ini bekerja dengan cara parakrin dan menginduksi aktivasi
fibroblas karena peningkatan produksi glikosaminoglikan hidrofilik (GAG) di jaringan
orbital. Sekresi GAG yang berlebihan ini bersama dengan infiltrasi limfosit menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik, edema jaringan yang signifikan, dan oftalmopati klinis.3
Manifestasi klinis yang dialami oleh penderita GO sangat khas dan bisa terdapat lebih
dari satu gejala pada saat yang bersamaan. Pada umumnya gejala-gejala tersebut adalah
retraksi palpebra superior (90%), lid lag (50%), proptosis (60%), restriktif miopati (40%),
dan neuropati nervus optikus akibat kompresi (6%). Gejala-gejala tersebut bisa unilateral atau
bilateral. Tanda- tanda awal yang muncul adalah retraksi palpebra superior, lid lag dan yang
paling utama adalah adanya rasa nyeri orbital yang tidak dapat ditentukan lokasi tepatnya,
dan ini terdapat pada 30% pasien. Dari seluruh penderita hanya akan sekitar 5% penderita
yang memiliki seluruh gejala klasik Grave’s ophthalmopathy yaitu retraksi kelopak mata,
eksoftalmus, neropati optikus, keterlibatan otot ekstraokuler, dan hipertiroidisme.1
Kelainan ini tidak hanya menyerang mata, tetapi juga dapat menyerang kulit yang dikenal
sebagai dermopati tiroid, sehingga dapat disimpulkan bahwa kelainan ini merupakan suatu
penyakit sistemik. Gejala-gejala pada mata dapat terjadi bersamaan dengan terjadinya
hipertiroid atau dapat terjadi dalam rentang 18 bulan setelah hipertiroid muncul, namun pada
70% kasus kejadian oftalmopati terjadi bertahun-tahun setelah hipertiroid muncul.1
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium dimana
menunjukkan jumlah anti-tirotropin yang tinggi didalam darah. Selain itu juga bisa dilakukan
pencitraan seperti computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI),
ultrasonography (US), dan color doppler imaging (CDI).2
Terapi untuk pasien GO harus disesuaikan dengan kondisi dan kasus dari setiap pasien,
apakah pasien dalam masa aktif ataupun masa inaktif atau tenang, sehingga terapi yang
diberikan tidak akan selalu sama pada setiap pasien. Keparahan ditentukan oleh derajat defisit
fungsional pada setiap tahap penyakit. European Group of Graves Orbitopathy (EUGOGO)
menyarankan untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan menjadi tiga kategori, berdasarkan
gejala subjektif dan tanda obyektif, yaitu ringan, sedang hingga berat, dan mengancam
penglihatan.3

2. Batasan Masalah
Batasan masalah penulisan makalah Meet the Expert ini adalah membahas mengenai
anatomi, fisiologi, definisi, epidemiologi,patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
tatalaksana, komplikasi, dan prognosis Grave’s ophthalmopathy.

3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah Meet the Expert ini adalah untuk meningkatkan pengetahuan
dan pemahaman mengenai Grave’s ophthalmopathy.

4. Metode Penulisan
Metode penulisan makalah Meet the Expert ini disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan
yang merujuk pada berbagai literatur.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Rongga Orbita dan Otot Penggerak Mata
a. Rongga Orbita

Rongga orbita adalah rongga yang berisi bola mata dan terdapat 7 tulang yang
membentuk dinding orbita yaitu : lakrimal, etmoid, sfenoid, frontal, dan dasar orbita yang
terutama terdiri atas tulang maksila, tulang palatinum dan zigomatikus.4

Dinding orbita terdiri atas tulang :

1) Atap/ superior: os.frontal


2) Lateral: os.frontal, os.zigomatik, os.sfenoid
3) Inferor: os.zigomatik, os.maksila, os.palatina
4) Nasal: os.maksila, os.lakrimla, os.etmoid

Foramen optik terletak pada apeks rongga orbita, dilalui oleh saraf optik, arteri, vena, dan
saraf simpatik yang berasal dari pleksus karotid.4

b. Otot Penggerak Mata

Pergerakan kedua bola mata dimungkinkan oleh adanya 6 pasang otot mata luar.
Pergerakan bola mata ke segala arah ini bertujuan untuk memperluas lapang pandangan,
mendapatkan penglihatan foveal dan penglihatan binokular untuk jauh dan dekat. Otot-otot
bola mata ini mengerakan bola mata pada 3 buah sumbu pergerakan, yaitu sumbu antero-
posterior, sumbu vertikal dan sumbu nasotemporal (horizontal).
Fungsi masing-masing otot :

1) Otot rektus medius, kontraksinya akan menghasilkan aduksi atau menggulirnya bola
mata ke arah nasal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
2) Otot rektus lateral, kontraksinya akan menghasilkan abduksi atau menggulirnya bola
mata ke arah temporal dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke VI (saraf abdusen).
3) Otot rektus superior, kontraksinya akan menghasilkan elevasi, aduksi dan intorsi bola
mata dan otot ini dipersarafi oleh saraf ke III (saraf okulomotor).
4) Otot rektus inferior, kontraksinya akan menghasilkan depresi pada abduksi, ekstorsi
dan pada abduksi, dan aduksi 23 derajat pada depresi. Otot ini dipersarafi oleh saraf
ke III.
5) Otot oblik superior, kontraksinya akan menghasilkan depresi intorsi bila berabduksi
39 derajat, depresi saat abduksi 51 derajat, dan bila sedang depresi akan berabduksi.
Otot ini yang dipersarafi saraf ke IV (saraf troklear).
6) Oblik inferior, dengan aksi primernya ekstorsi dalam abduksi sekunder oblik inferior
adalah elevasi dalan aduksi dan abduksi dalam elevasi. M. Oblik inferior dipersarafi
saraf ke III.

2. Definisi Graves Ophthalmopathy

Grave ophthalmopaty (GO) adalah kumpulan dari tanda dan gejala yang berhubungan
dengan mata dan jaringan sekitar terutama retro-okular dengan gejala menyerupai grave
disease. GO dapat terjadi dengan atau tanpa peningkatan hormon tiroid. GO merupakan
proses autoimun yang mempengaruhi jaringan retro-okular.5 GO dikaitkan dengan beberapa
perubahan histopatologis yang menyebabkan proses inflamasi yang mengarah pada
peningkatan volume otot ekstraokular dan jaringan ikat dan adiposa orbita.6

Klasifikasi :

Didasarkan pada tingkat keparahan yang ditentukan oleh derajat defisit fungsional pada
setiap tahap penyakit. European Group of Graves Orbitopathy (EUGOGO)
mengkalsifikasikan GO menjadi 3 kategori berdasarkan gejala subjektif dan tanda objektif :

1) Ringan : Berdampak kecil pada keseharian, tidak mengindikasikan pengobatan


imunosupresif dan pembedahan. Pasien memiliki satu atau lebih gejala berikut:
lidertraksi minor (<2mm), keterlibatan jaringan lunak ringan, eksoftalmus >3mm di
atas normal, diplopia transien atau tidak
2) Sedang hingga berat : Tidak mengancam penglihatan namun cukup berdampak pada
keseharian, diindikasikan untuk pengobatan imunosupresif (jika aktif) dan
pembedahan (jika tidak aktif). Pasien memiliki satu atau lebih gejala berikut: retaksi
kelopak mata 2 mm, keterlibatan jaringan lunak sedang-berat, eksoftalmus 3 mm
diatas normal, diplopia.
3) Mengancam penglihatan : Pada pasien dengan gangguan saraf optik.6

3. Epidemiologi

Grave ophthalmopaty (GO) seringkali mengenai pasien berusia 30-50 tahun dengan
perempuan lebih berisiko 4 kali lipat dibandingkan laki-laki. Pada laki-laki seringkali
onsetnya terjadi lebih lambat, namun mempunyai gambaran klinis dan prognosis yang lebih
buruk.7 Sebuah penelitian melaporkan bahwa kejadian GO secara klinis adalah 16/100.000
pada wanita dan 2,9/100.000 pada pria. Namun tidak menutup kemungkinan adanya pasien
yang memiliki bukti MRI tanpa disertai gejala klinis grave ophthalmopaty.5

4. Etiologi

Grave ophthalmopaty (GO) merupakan salah satu penyakit autoimun, yang penyebabnya
belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Penyakit ini memiliki predisposisi genetik yang
sangat kuat, 15% penderita memiliki hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit
yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita GO, ditemukan autoantibodi tiroid di dalam
darahnya. Kelenjar tiroid saja tidak menyebabkan GO dan regulasi fungsi tiroid tidak
menghambat kondisi ini. Kelenjar tiroid, otot-otot bola mata dan kulit pretibial adalah target
dari serangan autoimun.7

Grave ophthalmopaty (GO) terjadi pada 25 hingga 50% pasien yang didiagnosisi dengan
grave disease (GD).5 Antibodi penyebab Grave ophthalmopaty (GO) adalah antibodi reseptor
TSH. Terutama reseptor TSH pada asel tiroid, namun reseptor TSH juga ada pada jaringan
ekstra-thyroidal seperti jaringan retro-okular dimana ekspresi reseptor TSH lebih tinggi di
jaringan ini.5

Faktor risiko :

a. Titer yang lebih tinggi dari antibodi reseptor TSH


b. Jenis kelamin, perempuan lebih berisiko
c. Genetik (hubungan tidak langsung)
d. Paparan radio-iodine yang digunakan sebagai pengobatan grave disease
e. Merokok (merorok mempengaruhi imunitas yang dimediasi sel dan humoral serta
penekanan NK-cell.5

5. Patogenesis

Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh reaksi sel-sel inflamasi. hal
ini adalah mekanisme khas pada penyakit autoimun. Endapan dari glikosaminoglikan
(GAGs) seperti asam hialuronat bersamaan dengan edema interstisial dan sebukan sel-sel
inflamasi dipertimbangkan menjadi penyebab berbagai jaringan di orbita dan disfungsi otot
ekstraokuler. Pembengkakan jaringan orbita menghasilkan edema kelopak mata kemosis
proptosis dan penebalan otot ekstraokuler.

Berikut adalah proses di tingkat seluler dan biokimia dari patogenesis oftalmopati graves1 :

a. Sirkulasi sel T pada pasien penyakit graves secara langsung melawan self antigen
pada sel-sel folikuler tiroid. Pengenalan antigen ini pada fibroblast tibial dan pretibial.
kemungkinan pengenalan ini juga terjadi di miosit ekstraseluler.
b. Sel T kemudian menginfiltrasi orbita dan kulit pretibial. Interaksi antara sel T CD4
yang teraktifasi dan fibroblast menghasilkan pengeluaran sitokin-sitokin pro inflamasi
ke jaringan sekitarnya.
c. Kemudian sitokin-sitokin pro inflamasi merangsang produksi glikosaminoglikan oleh
fibroblast kemudian merangsang proliferasi fibroblas.
d. Peningkatan volume jaringan ikat dan penurunan pergerakan otot ekstraokuler
dihasilkan dari stimulasi fibroblas. Proses yang sama juga terjadi di kulit pretibial
akibat pengembangan jaringan ikat kulit yang menyebabkan timbulnya dermopati
pretibial dengan karakteristik berupa nodul-nodul atau penebalan kulit.

6. Manifestasi Klinis

Pasien biasa mengeluhkan rasa nyeri dan tidak nyaman pada mata. Nyeri ini dapat terjadi
pada satu atau kedua mata. Rasa nyeri ini dikeluhkan pada sekitar 30% pasien dengan
oftalmopati Grave. Nyeri dapat terjadi karena pembengkakan orbita yang menekan saraf di
sekitar bola mata sehingga menimbulkan sensasi nyeri. Gejala lain yaitu penglihatan kabur
pada 75% pasien, diplopia (penglihatan ganda) pada 17,5 % pasien, lakrimasi dan fotofobia
pada 15-20% pasien.8 Selain itu pasien juga menyampaikan bahwa bola matanya lebih
menonjol keluar dibandingkan sebelumnya mata membelalak dan mata terasa kering.

Keluhan lain yang terjadi pada pasien hipertiroid juga dapat dikeluhkan oleh pasien
seperti jantung berdebar-debar, mudah berkeringat, tidak tahan terhadap panas, kelemahan
otot, gemetar, penurunan berat badan, dan munculnya gondok. Keluhan ekstraokuler ini dapat
menjadi petunjuk bahwa keluhan yang dirasakan pasien di mata adalah akibat proses
sistemik.

a. Proptosis

Proptosis adalah penonjolan bola mata keluar atau dapat disebut eksoftalmus. Proptosis
terjadi pada 90-98% pasien dengan OG. Proptosis pada OG biasanya bilateral namun
mungkin juga asimetris. Proptosis yang dihubungkan dengan penyakit tiroid ditandai dengan
retraksi kelopak mata dimana hal ini dapat menjadi pembeda dengan proptosis yang terjadi
karena penyebab lainnya. Proptosis terjadi karena isi orbita dikelilingi oleh tulang orbita, bila
terjadi penambahan massa orbita maka dekompresi hanya dapat terjadi kearah depan.9

b. Retraksi kelopak mata

Retraksi kelopak mata bagian atas sering merupakan tanda terjadinya OG. Retraksi
kelopak mata terjadi akibat beberapa faktor diantaranya peningkatan stimulasi simpatik dari
otot Mullers, kontraksi otot levator sehingga terjadi pemendekan fungsional otot levator,
bekas luka diantara fasia glandula lakrimalis dan otot levator sehingga memberikan gambaran
khas berupa kilauan temporal (lateral flare) dimana sklera lebih terlihat di sisi temporal.9
c. Lagoftalmus

Lagoftalmus adalah kelainan pada mata berupa kelopak mata tidak dapat menutup dengan
sempurna. Lagoftalmus terjadi karena proptosis dan retraksi kelopak mata. Mata yang tidak
dapat tertutup dengan sempurna dapat mengakibatkan mata bagian depan terpapar oleh udara
sedangkan proses penggantian tears film oleh kelopak mata juga terganggu. Akibatnya
kornea mata menjadi kering dan mudah terjadi infeksi seperti konjungtivitis dan keratitis.10

d. Diplopia

Diplopia adalah penglihatan ganda. Diplopia selalu dimulai dari tatapan lapang pandang
atas karena infiltrasi miopati menyerang otot rektus inferior. Namun akhirnya semua otot
ekstraokuler dapat terserang sehingga diplopia dapat terjadi di lapang pandang manapun. Otot
ekstraokuler dapat membesar secara masif sehingga mempengaruhi pergerakan bola mata
yang juga dapat mengakibatkan diplopia.

e. Neuropati Optik

Prevalensi neuropati optik dengan kehilangan penglihatan pada pasien OG kurang dari
5%. Pembesaran otot ekstraokuler pada apeks orbita selain dapat mempengaruhi pergerakan
bola mata juga dapat menekan saraf mata. Penekanan saraf mata ini dapat mengakibatkan
munculnya tanda berupa gangguan persepsi karena penurunan tajam penglihatan dan jika
dibiarkan dapat mengakibatkan kebutaan.10

7. Diagnosis
a. Pemeriksaan Penunjang
 Tes fungsi tiroid : Seperti pada penyakit hipertiroid didapatkan kadar T4 dan T3
yang meningkat, FT4 meningkat, dan TSH menurun.
 Pemeriksaan visual : Pada pemeriksaan visus bisa didapatkan penurunan visus
sampai pada kebutaan. Sedangkan pada pemeriksaan persepsi warna dapat pula
pasien salah mengenali warna karena terdapat gangguan pada penglihatan warna.
 Ultrasonografi : Pemeriksaan ini dapat mendeteksi perubahan pada otot
ekstraokuler yang terjadi pada kasus derajat 0 dan 1 dan dapat membantu
diagnosis secara cepat. Selain ketebalan otot, erosi dinding temporal orbita,
penekanan lemak retroorbita dan inflamasi saraf optik juga dapat terlihat pada
beberapa kasus.
 CT Scan : Dapat terlihat proptosis, otot lebih tebal, saraf optik menebal dan
prolaps anterior dari septum orbita.
 MRI : Beberapa pihak beranggapan MRI sebagai modalitas yang lebih baik untuk
melihat neuropati optik kompresif yang masih ringan.11

8. Tatalaksana

Penatalaksanaan untuk hipertiroidisme yang mutlak dilakukan dengan pengobatan


tirostatika (PTU, tiamazole) untuk menghambat proses organifikasi (sintesis hormon tiroid)
dan sebagai imunosipresif, dan menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer. Serta
pemberian Beta Adrenergik antagonis (Propanolol) untuk mengurangi dampak hormon tiroid
pada jaringan.

Penatalaksanaan oftalmopati terdiri atas pengobatan medis, operasi, dan penyinaran.12,13,14

a. Medikamentosa

Pada keadaan ringan bisa menunggu sampai keadaan eutiroid tercapai, dimana pada
sebagian besar penderita akan mengalami perbaikan, walaupun tidak merupakan perbaikan
total.

1) Stadium awal kelainan retraksi kelopak mata


 Artificial tears
 Kelopak diplester waktu tidur

2) Retraksi kelopak mata disertai mata merah, lakrimasi, fotobia


 Kompres dingin waktu pagi dan tidur dengan bantal tinggi
 Artificial tears
 Kacamata hitam

3) Keluhan memberat, sehingga mata sukar menutup sempurna, pergerakan bola mata
terhambat dan adanya ancaman ulkus kornea dan gangguan visus
 Prednison 40-80 mg/hari atau 1-1,5 mg/kgBB, dosis ini dipertahankan selama 2
hingga 4 minggu sampai respon klinis dirasakan. Dosis kemudian dikurangi sesuai
respon klinis dari fungsi saraf optik.
 Methyl prednisolone 16-24 mg diberikan retrobulbar
b. Radiasi

Seperti kortikosteroid terapi radiasi paling efektif dalam tahun pertama ketika perubahan
fibrotik yang signifikan belum terjadi. Iradiasi retrobulbar (tidak boleh pada penderita
diabetes melitus) sering diakukan pada penderita oftalmopati graves yang aktif dengan
protrusis yang berat. Secara keseluruhan 60% hinggan 70% pasien memiliki respon yang baik
dengan radiasi, walaupun rekuren terjadi lebih dari 25% pasien. Perbaikan diharapkan selama
2 minggu hingga 3 bulan setelah terapi radiasi tetapi dapat berlanjut hingga 1 tahun.

c. Operasi

Beberapa pasien dengan oftalmopati graves memerlukan penanganan bedah, seperti


dekompresi orbital, pembedahan strabismus dan pembedahan kelopak mata. Berbagai
tindakan pencegahan perlu dilakukan agar oftalmopati tidak menjadi lebih berat.

d. Kontrol penyakit tiroid merupakan langkah utama


e. Pasien merokok sebaiknya ditekankan untuk berhenti merokok. Oleh karena merokok
ternyata memperburuk oftalmopati
f. Pasien dengan proptosis sebaiknya diproteksi misalnya dengan kacamata, atau cairan
tetes khusus agar kornea selalu basah (artificial tears).

9. Pencegahan Oftalmopati Graves

Pencegahan penyakit selalu lebih baik dari pada pengobatannya terutama untuk GO
karena sepertiga dari pasien pada akhir perawatan tidak puas dengan abnormalitas
penampilan fisik dan fungsi residual mereka.15

GO adalah kelainan multifaktorial yang dihasilkan dari interaksi faktor endogen yang
kompleks dan faktor lingkungan.16 Faktor endogen (genetik, usia, jenis kelamin), tidak dapat
dimodifikasi sedangkan faktor lingkungan (merokok, disfungsi tiroid, terapi yodium
radioaktif untuk hipertiroidisme) dapat dimodifikasi/dicegah.17

Belum diketahui secara pasti mengapa hanya 3-5% pasien penyakit graves berkembang
menjadi oftalmopati berat sedangkan setengahnya mengalami penyakit mata ringan dan
sisanya tidak memiliki keterlibatan mata. Hal tersebut mencerminkan bahwa faktor
lingkungan lebih penting dari pada faktor endogen sehingga strategi umum dapat dirancang
berdasarkan keterlibatan faktor lingkungan. Intervensi medis efektif memengaruhi jalannya
OG, dengan meminta pasien untuk tidak merokok, memperbaiki disfungsi tiroid, penggunaan
yodium radioaktif secara hati-hati, dan mengobati OG sedang-berat sedini mungkin.18

a. Pencegahan Primer, Sekunder, dan Tersier

Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah penyakit dengan mengendalikan faktor


risiko; pencegahan sekunder mengacu pada upaya diagnosis dini dan pengobatan penyakit
subklinis, tanpa gejala, untuk mencegah perkembangannya menuju penyakit yang jelas secara
klinis; pencegahan tersier meliputi semua tindakan yang diambil setelah terjadinya penyakit
klinis untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi dan kecacatan. Klasifikasi pencegahan
ke berbagai tingkatan berguna untuk: modifikasi/pengurangan/penghapusan faktor risiko,
menyadari keberadaan penyakit subklinis, dan pengobatan dini pada manifestasi klinis
awal.19

1) Pencegahan Primer pada Oftalmopati Graves

Merokok berhubungan dengan hipertiroidisme graves dan OG. Satu-satunya langkah


pencegahan primer OG ialah menghentikan merokok. Insiden OG menurun 43% untuk
responden yang berasal dari negara Eropa yang konsumsi tembakaunya menurun, sedangkan
pada responden yang berasal dari negara dengan peningkatan konsumsi tembakau insidennya
meningkat 12%.20

Pada studi prospektif, risiko relatif kejadian diplopia adalah 1,8 pada perokok yang
merokok 1-10 rokok/hari. Risiko meningkat progresif menjadi 7,0 pada yang merokok >20
batang rokok/hari, namun menurun hingga 1,9 pada mantan perokok >20 batang
rokok/hari.10 Berhentian merokok dapat mencegah OG meski belum konklusif. Pasien
penyakit graves yang diresepkan statin selama 60 hari dalam setahun memiliki 40%
penurunan risiko kejadian OG dibandingkan kelompok kontrol, termasuk yang pajanan
statin<60 hari (p<0,001).21

Statin memiliki efek anti-inflamasi independen dari efek penurun kolesterolnya, namun
pasien dengan kolesterol merupakan faktor risiko baru kejadian OG. Bagaimana mekanisme
statin dalam menurunkan risiko OG masih belum jelas.23 Para peneliti tetap menyarankan
agar pasien graves dan OG berhenti merokok dengan pertimbangan hubungan klinis yang
konsisten dan dengan manfaat tambahan penghentian merokok.
2) Pencegahan Sekunder pada Oftalmopati Graves

Pasien OG subklinis dapat berkembang menjadi lebih berat karena perjalanan klinis alami
OG yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang dapat dikoreksi.17 Merokok dihubungkan
dengan angka relaps yang tinggi setelah terapi obat antitiroid sehingga penghentian merokok
dapat meningkatkan remisi pada hipertiroidisme graves. Karena hiperfungsi tiroid dan reaksi
autoimun memiliki dampak negatif pada OG, maka penghentian merokok pada pasien yang
diterapi obat antitiroid untuk hipertirodisme juga merupakan pencegahan sekunder OG.20

Terapi yodium radioaktif dapat menyebabkan progresi oftalmopati. Perburukan penyakit


mata sering transien dan lebih sering pada pasien yang merokok, hipertiroidisme berat, titer
TRAb tinggi dan hipotiroidisme pasca terapi yodium radioaktif yang tidak dikoreksi dengan
baik. Jika faktor-faktor risiko terkendali, perburukan OG lebih jarang pada pasien tanpa
tanda-tanda okular sebelum pemberian terapi yodium radioaktif, atau penyakit mata tidak
aktif setelah perawatan glukokortikoid. Terapi yodium radioaktif merupakan pengobatan
yang efektif untuk hipertiroidisme dan dapat digunakan dengan aman pada pasien OG atau
berisiko terjadi OG. Risiko tersebut dapat dicegah dengan glukokortikoid oral jangka pendek
dosis sedang.24

Disfungsi tiroid berkontribusi terhadap perkembangan dan perburukan OG. Oleh karena
itu diperlukan fungsi tiroid normal sedini mungkin untuk menghambat perburukan OG.
Diagnosis dan tatalaksana hipertiroidisme secara dini efektif sebagai pencegahan sekunder. 25
Selenium membantu memperbaiki gejala mata, memperlambat perburukan OG dan
menurunkan kualitas hidup dibandingkan pentoksifilin atau plasebo setelah 6 bulan terapi.
Oleh karena itu, selenium dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pencegahan sekunder
OG.26

3) Pencegahan Tersier Oftalmopati Graves

Pencegahan tersier dilakukan pada OG yang sudah tampak secara klinis. Pencegahan
tersier terdiri atas langkah-langkah mencegah komplikasi dan meminimalkan cacat. Pada OG
ringan, dapat diberikan air mata buatan untuk melumasi mata, penggunaan bantalan mata
pada malam hari untuk mencegah risiko pajanan keratitis dan prisma untuk mengendalikan
diplopia ringan (belum valid). Pada OG sedang-berat, dapat diberikan terapi glukokortikoid
sistemik dosis tinggi dan atau radioterapi orbita atau operasi (dekompresi orbita) sesuai
indikasi.
Pilihan perawatan bergantung pada keparahan dan aktivitas OG.24,25 Merokok dapat
menurunkan efektivitas glukokortikoid dan iradiasi.24 Oleh karena itu, berhenti merokok
merupakan bentuk pencegahan tersier. Pada OG yang mengancam penglihatan (neuropati
optik distiroid), glukokortikoid dosis tinggi atau pada kasus kegagalan, dekompresi orbital
sangat diperlukan untuk menghindari kehilangan penglihatan. Pada OG inaktif, bedah
rehabilitatif (operasi orbita untuk proptosis residual, operasi otot mata untuk strabismus, dan
operasi kelopak mata untuk retraksi kelopak mata), memiliki indikasi kosmetik dan
fungsional untuk memperbaiki cacat residual.24

10. Prognosis

Prognosis dari graves oftalmopati dipengaruhi oleh beberapa faktor dan usia juga
berperan penting. Anak-anak dan remaja umumnya memiliki penyakit yang ringan tanpa
cacat yang bermakna sampai batas waktu yang lama. Pada orang dewasa manifestasinya
sedang sampai berat dan lebih sering menyebabkan perubahan struktur disebabkan oleh
karena gangguan fungsional dan juga merubah gambaran kosmetik. Diagnosis dini orbitopati
dan laporan pasien dengan resiko berat, progresifitas penyakit diikuti intervensi dini terhadap
perkembangan proses penyakit dan mengontrol perubahan jaringan lunak dapat mengurangi
morbiditas penyakit dan mempengaruhi prognosis dalam jangka waktu lama.12,27
BAB 3
KESIMPULAN
Penyakit Graves menempati posisi penting mengingat jumlahnya sekitar seperempat
dari seluruh kasus tiroid, bahkan merupakan penyebab sebagian besar kasus hipertiroidisme.
Penyakit graves disertai tanda dan gejala mata disebut graves ophthalmopathy (GO) yang
berdampak buruk dan menurunkan kualitas hidup.
Oftalmopati adalah kelainan ekstratiroid pada penyakit graves yang paling sering,
pasien penyakit graves mengalami oftalmopati dalam berbagai bentuk seperti mata pedih,
terasa ada pasir, nyeri retrobulbar, diplopia sampai kehilangan penglihatan, dan penurunan
kualitas hidup.
Modalitas terapi pada GO terbatas dan hasil terapinya belum memuaskan, perlu
ditekankan pentingnya upaya pencegahan GO dan pencegahan progresifitas penyakit untuk
mengurangi morbiditas.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wastitiamurti RA. Patofisiologi, Klasifikasi, dan Tatalaksana pada Grave’s


Ophthalmopathy. FK Ukrida. 2015;13.
2. Subekti I. Oftalmopati Graves : Perbandingan Karakterisitik Klinis, Kadar Hormon,
dan Kadar Antibodi Reseptor TSH. eJKI. 2018;6(1):1–6.
3. San Miguel I, Arenas M, Carmona R, Rutllan J, Medina-Rivero F, Lara P. Review of
the treatment of Graves’ ophthalmopathy: The role of the new radiation techniques.
Saudi J Ophthalmol. 2018;32(2):139–45.
4. Ilyas, Sidarta dan Yulianti, Sri R. Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. Jakarta: FK UI;
2012. p11-13.
5. Tamaryn J. F. Catherine A. Graves orbitopathy. Statpearls; 2010. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK549889/?report=reader#_NBK549889_pu
bdet_. Diakses : Desember 2020
6. Iñigo SM. Meritxell A. Review of the treatment of Graves’ ophthalmopathy:The
role of the new radiation techniques. Saudi Journal of Ophthalmology. 2018; 32.
139–145. Available from :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6010590/pdf/main.pdf. Diakses :
Desember 2020
7. Budiono, Sjamsu. et. all (Editor). Buku ajar ilmu kesehatan mata. Surabaya:
Airlangga University Press; 2013. p193-4.
8. Lubis Rodiah R. Graves Ophtalmopati. 2009: Departemen Ilmu kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara Medan.
9. Vaughan D Asbury T Riordan - Eva P, 1989 General Ophthalmology United
10. Edsel Ing dan Hampton Roy. Thiroid Associated Orbitopathy. Available from:
www.emedicine.medscape.com. Diakses Desember 2020.
11. Tjokroprawiro A setiawan Pb santoso D soegiarto G. Buku Ajar ilmu Penyakit
dalam FK Unair Universitas Airlangga. 2007:
12. Ing E. Graves’ Ophthalmopathy (Thyroid-Associated Orbitopathy). Contemp
Ophthalmol. 2010;9(3):1–7.
13. Lang KG. Ophtalmology: A Pocket Book Atlas. Germany: Theime; 2004.
14. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata, Edisi 3. Jakarta badan Penerbit FKUI.
2010;
15. Bartalena L, Baldeschi L, Boboridis K, Eckstein A, Kahaly GJ, Marcocci C, et al.
The 2016 european thyroid association/european group on graves’ orbitopathy
guidelines for the management of graves’ orbitopathy. Eur Thyroid J. 2016;5(1):9–
26.
16. Bahn RS. Current insights into the pathogenesis of Graves’ ophthalmopathy. Horm
Metab Res. 2015;47(10):773–8.
17. Bartalena L. Prevention of Graves’ ophthalmopathy. Best Pract Res Clin Endocrinol
Metab. 2012;26(3):371–9.
18. Bartalena L, Marcocci C, Pinchera A. Graves’ ophthalmopathy: a preventable
disease? Eur J Endocrinol. 2002;146(4):457–61.
19. Oberman A. Principles of preventive health care. Cecil Textb Med. 1996;
20. Weetman AP, Wiersinga WM. Current management of thyroid-associated
ophthalmopathy in Europe. Results of an international survey. Clin Endocrinol
(Oxf). 1998;49(1):21–8.
21. Pfeilschifter J, Ziegler R. Smoking and endocrine ophthalmopathy: impact of
smoking severity and current vs lifetime cigarette consumption. Clin Endocrinol
(Oxf). 1996;45(4):477–81.
22. Stein JD, Childers D, Gupta S, Talwar N, Nan B, Lee BJ, et al. Risk factors for
developing thyroid-associated ophthalmopathy among individuals with Graves
disease. JAMA Ophthalmol. 2015;133(3):290–6.
23. Sabini E, Mazzi B, Profilo MA, Mautone T, Casini G, Rocchi R, et al. High serum
cholesterol is a novel risk factor for graves’ orbitopathy: results of a cross-sectional
study. Thyroid. 2018;28(3):386–94.
24. Bartalena L, Baldeschi L, Dickinson AJ, Eckstein A, Kendall-Taylor P, Marcocci C,
et al. Consensus statement of the European group on Graves’ orbitopathy
(EUGOGO) on management of Graves’ orbitopathy. Thyroid. 2008;18(3):333–46.
25. Bartalena L, Tanda ML. Graves’ ophthalmopathy. N Engl J Med. 2009;360(10):994–
1001.
26. Marcocci C, Kahaly GJ, Krassas GE, Bartalena L, Prummel M, Stahl M, et al.
Selenium and the course of mild Graves’ orbitopathy. N Engl J Med.
2011;364(20):1920–31.
27. Kanski JJ. Signs in Ophthalmology: Causes and Differential Diagnosis. University of
Wisconsin Press; 2011.

Anda mungkin juga menyukai