Dampak
XI No.Pariwisata
2 : 76 - 87Terhadap Mata PencaharianWayan
Masyarakat
WindiaPesisir Karangasem:pendekatan Pro Poor Tourism ISSN : 1907-3275
I Wayan Suardana,1
Ni Gusti Ayu Susrami Dewi 2
1, 2 Dosen Program Studi Industri Perjalanan Wisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana
suar.dana@yahoo.co.id, susramid@gmail.com
ABSTRAK
Pariwisata adalah salah satu kegiatan pembangunan dengan prospek pertumbuhan yang tinggi. Kemiskinan
di daerah tujuan wisata menjadi perhatian para cendekiawan, komponen pariwisata, dan wisatawan. Upaya yang
dilakukan untuk memberantas kemiskinan, antara lain: untuk melibatkan dan menjadikan masyarakat sebagai
subyek pariwisata yang berpartisipasi langsung dalam mengentaskan kemiskinan. Salah satu kabupaten di Bali yang
mendukung dan mengembangkan pariwisata adalah Kabupaten Karangasem. Lambannya upaya masyarakat dalam
berpartisipasi di sektor pariwisata disebabkan oleh sikap mental masyarakat yang tidak memiliki ide bagaimana
untuk keluar dari siklus kemiskinan, sehingga motivasi untuk bekerja secara produktif masih rendah. Ada pengaruh
positif dari pengembangan pariwisata terhadap perubahan ekonomi masyarakat, terutama mata pencahariannya.
Pariwisata memberikan kesempatan pada perubahan mata pencaharian masyarakat yang semakin luas. Pengembangan
masyarakat yang maju memiliki peran dalam mempengaruhi orang lain untuk mengubah motivasi mental untuk
bekerja lebih baik. Pemanfaatan keterampilan sebagai nelayan diimbangi dengan peningkatan kesempatan bagi
wisata menyelam, yang dapat dimanfaatkan sebagai usaha sampingan untuk menambah peluang penghasilan mereka.
ABSTRACT
Tourism is one of the development activities with high growth prospects. The concern for poverty in tourist
destinations becomes the attention of scholars, tourist components, and tourists. Attempts which were made to
eradicate poverty, among others are : to engage and make the community as tourism subjects who participated
directly in alleviating poverty. One district in Bali that support and develop tourism is Karangasem regency. The slow
pace of the community in participating in tourism, caused by mental attitude of the society who don’t have idea how
to get out of the poverty cycle, so the motivation to work productively still low. There is a positive influence on the
development of tourism on the economic changes of society, especially livelihood. Tourism provides an opportunity
change people’s livelihood that increasingly widespread. The development of the first advanced society has a role
in influencing other people to change mental motivation to work better. Utilization of skills as a fisherman is offset
by enhancement of opportunities for diving tourists, which can be utilized as a sideline to supplement their income
opportunities.
lah Kawasan Tulamben di Kecamatan Kubu dan Abang, Namun pada sisi lain masyarakat menunjukkan adanya
dan Kawasan Candidasa yang berada di Kecamatan resistensi terhadap manipulasi pariwisata karena
Manggis. Kawasan wisata bahari dan fasilitas wisata dianggap neo kolonialisme yang dapat mengekploitasi
yang berkembang melalui suatu proses perencanaan sumber daya manusia dan budaya masyarakat. Secara
yang paradoks, yaitu idealisme perencanaan awal yang khusus penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk
mengandung suatu keinginan untuk melakukan peme- mengetahui: 1) tipologi kemiskinan masyarakat pesisir
rataan pembangunan dan pengurangan kemiskinan di di Kabupaten Karangasem, 2) faktor-faktor yang
Kawasan Timur Pulau Bali, dan realitanya pengembangan menghambat partisipasi masyarakat di sektor pariwisata
pariwisata penuh dengan hegemoni dari berbagai pihak. di Kabupaten Karangasem, dan 3) dampak pariwisata
Perkembangan pariwisata di Kabupaten Karangasem terhadap mata pencaharian masyarakat di Kawasan
mampu memberikan mata pencaharian alternatif untuk Tulamben dan Candidasa. Penelitian ini memiliki
masyarakat pesisir dan hal ini dapat mengimbangi keutamaan pada pendekatan yang digunakan dalam
penurunan pada sektor lainnya khususnya tangkapan menganalisis dampak pariwisata dalam masyarakat
ikan, dan dengan demikian membantu mengurangi pesisir di Bali yaitu pendekatan pro poor tourism dengan
kemiskinan dan memajukan pembangunan negara. metode penelitian gabungan kualitatif dan kuantitatif.
Namun, dari beberapa penulis ada yang skeptis bahwa
pariwisata akan mampu sebagai penyelamat yang layak TINJAUAN PUSTAKA
bagi masyarakat miskin, mengingat pariwisata adalah
sebuah bentuk neo-kolonialisme (Mowforth dan Munt, Penelitian Terdahulu
1998). Hal ini akan terlihat dari beberapa kasus bahwa Penelitian dari Leon (2007: 1-22) menfokuskan
ketika pariwisata mampu memberikan keuntungan penelitiannya pada dampak pariwisata terhadap
ekonomis yang tinggi, justru akan memiliki keterbatasan masyarakat pedesaan khususnya masyarakat pesisir
dalam mengurangi kesenjangan pendapatan. Hal ini dalam upaya pengentasan kemiskinan pada rumah
disebabkan kebocoran luar negeri, kehilangan kontrol tangga. Dengan menggunakan pendekatan pro poor
atas sumber daya lokal, dan fakta bahwa sebagian besar tourism, pariwisata dapat tumbuh dengan baik di
dari orang lokal hanya dapat berpartisipasi di bidang Republik Dominika. Teori yang digunakan yaitu teori
pariwisata melalui upah tenaga kerja yang rendah, usaha pembangunan, masih ada relevansinya dengan penelitian
kecil, yang semuanya memiliki pendapatan rendah, ini karena ideologi pasar yang mendorong perkembangan
sementara kelompok elit lokal dan kepentingan asing pasar pariwisata menyebabkan kemiskinan menjadi
menerima sebagian besar keuntungan ekonomi (Britton, bagian yang harus di tekan. Lebih lanjut Harniati
1982, 1989, 1996; Brohman, 1996). (2007:201-208) melakukan kajian kemiskinan secara
Namun demikian, pro poor tourism saat ini menjadi makro dan ditemukan bahwa kemiskinan di Indononesia
model yang dianggap ideal untuk meningkatkan peran berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial)
pariwisata dalam mengurangi kemiskinan. Menurut berdasarkan agroekosistem. Pada masyarakat dataran
Ashley et al. (2000), pariwisata memiliki beberapa tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai
keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi pro-miskin: (1) kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional.
konsumen datang ke tempat tujuan, sehingga memberikan Akan tetapi secara kuantitatif rumah tangga miskin di
kesempatan untuk menjual barang tambahan dan jasa; lahan kering lebih besar daripada di daerah pesisir.
(2) pariwisata merupakan kesempatan penting untuk Selain itu juga ditemukan bahwa tingkat keparahan
diversifikasi ekonomi lokal, dan dapat berkembang di kemiskinan terjadi di agroekosistem hutan dan pesisir.
daerah miskin dan marjinal dengan sedikit ekspor dan Penelitian selanjutnya yang memfokuskan pada masy-
pilihan diversifikasi, terutama daerah-daerah terpencil arakat dan pariwisata dilakukan oleh Madium (2010) me-
yang menarik wisatawan karena tinggi budaya lihat peran masyarakat Nusa Dua dalam pariwisata. Metode
masyarakat dan utentisitas alam, dan nilai lanskap, analisis yang digunakan analisis kualitatif dan pendekatan
dan (3) pariwisata menawarkan kesempatan kerja yang budaya, ditemukan bahwa terjadi hegemoni penguasa
lebih intensif dan berskala kecil dibandingkan dengan terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam pengemban-
non-kegiatan pertanian. Penekanan penelitian ini adalah gan pariwisata di Kawasan Nusa Dua. Pariwisata telah
pada dampak paerkembangan pariwisata terhadap mata mengakibatkan masyarakat lokal termarginalisasi dalam
pencaharian masyarakat pesisir di kawasan wisata. merebut peluang usaha dan dikalahkan oleh pengusaha
Secara umum tujuan penelitian ini adalah menemukan besar. Dengan berbagai keterbatasan kemampuan masya
pemahaman yang berhubungan dengan pembangunan rakat, seperti keterbatasan dalam bidang komunikasi,
pariwisata, mata pencaharian, pariwisata dan pro modal, jaringan, kompetensi, mengakibatkan meraka
poor tourism. Pada satu sisi pariwisata meningatkan tidak mampu untuk bersaing dengan kuatnya tekanan
kesejahteraan masyarakat serta mampu mendekatkan pasar pariwisata. Hal tersebut telah mengakibatkan ke-
gap antara kesenjangan pendapatan miskin dan kaya. gagalan masyarakat lokal dalam berpartisipasi dalam pa-
riwisata sebagai wujud pariwisata berbasis masyarakat tidak ditujukan untuk pengembangan pariwisata. Hal
lokal. Relevansi dari penelitian ini adalah dampak yang ini telah dilakukan tanpa penilaian atau perencanaan
diberikan pada pariwisata terhadap masyarakat memang potensi masalah dari perkembangan pesat tersebut. Hal
secara ekonomi sudah cukup tinggi, tetapi diketahui bah- ini disebabkan oleh kerusakan lingkungan, ketidakpuasan
wa community based tourism tidak mampu menyentuh dari penduduk lokal, perubahan sosial dan ekonomi yang
pada masyarakat miskin. Masyarakat yang mendapatkan cepat dan ketimpangan distribusi ekonomi, dan kelebihan
manfaat adalah masyarakat yang mampu dan memiliki pasokan di sektor menyebabkan jatuhnya investasi dan
kompetensi, sedangkan masyarakat miskin tetap miskin. lapangan kerja. Akibatnya, Mesir mengalami decline
Akhirnya kesenjangan semakin tinggi, yang kaya sema- dalam pariwisata, wisatawan tidak mau lagi berkunjung
kin kaya, dan yang miskin semakin miskin. Hal ini juga ke tempat tersebut dan masyarakat juga telah antipati
ditemukan oleh Semadi (2010: 319-345) pada kajian ma- terhadap wisatawan.
syarakat Kuta ditemukan bahwa kegagalan masyarakat
Kuta yang miskin dalam percaturan pariwisata, karena Konsep
masyarakat memiliki modal ekonomi seperti tanah dan Penelitian ini menggunakan beberapa konsep yang
uang tetapi karena kompetensi dan tekanan pasar pa- mendasari penelitian dampak pariwisata terhadap mata
riwisata, tidak mampu mengelola dan menangkap pelu- pencaharian masyarakat:
ang ekonomi yang ada, sehingga akhirnya mereka jatuh Pro Poor Tourism
miskin. Kasus Nusa Dua dan Kuta menunjukkan kuatnya Data mengenai besaran peran dari pariwisata dalam
pengaruh kapitalisme dalam pariwisata. mengentaskan kemiskinan sampai saat ini masih
Penelitian diatas sangat penting dan menarik dikaji terbatas. Dalam implementasi belum banyak best practice
lebih lanjut, karena terdapat fenomena yang sangat bahwa pariwisata secara faktual mampu menanggulangi
kontradiktif. Pariwisata dengan ego kapitalime telah kemiskinan (Damanik dan Kusworo, 2005: 107).
memberikan dampak makro pada ekonomi, sosial budaya Perdebatan tentang pariwisata sebagai kegiatan yang pro-
dan lingkungan (Mathieson and Wall, 1987: 5-13). Pada poor atau tidak, jawabannya tergantung kepada situasi,
sisi lain ternyata belum menyentuh masyarakat miskin dan harus dikaji kasus demi kasus. Pandangan ini mulai
yang notabena lemah dalam berbagai hal. Fokus mencuat ketika muncul konsep pro poor tourism, dengan
kajian pada masyarakat merupakan pusat kajian dalam pengertian bukan membuat produk baru pariwisata dan
penelitian ini. Masyarakat lokal sebagai pelaku pariwisata bukan pula untuk menjual kemiskinan sebagaimana tour
yang berhadapan dengan wisatawan sebagai pasar wisata mengunjungi kantong-kantong kemiskinan seperti terjadi
menjadi sebuah paradoks. pada kasus tour di Jakarta (Subagja, 2010: 1).
Penelitian tentang pariwisata di negara-negara Pendekatan pro poor tourism, adalah pendekatan
berkembang telah banyak difokuskan pada dampak pembangunan di bidang pariwisata yang memberikan
ekonomi, lingkungan dan sosial-budaya. Industri ini manfaat pada masyarakat miskin, yaitu manfaat ekonomi,
memiliki dampak yang berpotensi menguntungkan, sosial, lingkungan, dan kultural. Menurut Jamieson W,
tetapi dalam prakteknya ini telah sering sebanding Goodwin H and Edmunds C (2004: 31-32), berbagai
dengan konsekuensi negatif untuk penduduk setempat indikator pengukuran implementasi pro poor tourism,
(Brohman, 1996; Burns, 1999; Iwersen-Sioltsidis dan yang diklasifikasikan pada 3 indikator yaitu ekonomi,
Iwersen, 1996; Lea, 1988; Sinclair, 1998). Menurut kriteria sosial, dan lingkungan.
John Brohman (lihat bagian tentang neoliberalisme 1. Indikator ekonomi terdiri atas: a). Persentase
dan pertumbuhan makro-ekonomi), pariwisata telah (%) penduduk miskin yang bekerja di sektor
memberikan kontribusi untuk pembangunan sarana pariwisata yang pro poor. b). Jumlah dan jenis
pendukung di banyak negara berkembang. pekerjaan yang diciptakan oleh pariwisata, pada
Menurut Cattarinich (2001: 18-76), ‘over-liberalisasi’ kondisi musim ramai (high seasons) atau pada
industri pariwisata telah berdampak negatif terhadap musim sepi (low seasons), Bekerja penuh/tetap
masyarakat. Sebagai contoh, pemerintah Mesir telah atau paruh waktu. c) Diversifikasi pekerjaan,
melakukan privatisasi sebagian besar aset pariwisata d) Jumlah bisnis lokal yang berkaitan dengan
negara itu tahun 1991. Pada tahun 1993, investasi swasta pariwisata yang baru dimulai. e). Jumlah penjualan
di sektor pariwisata Mesir telah mencapai 100 persen untuk produk masyarakat. f). Pola pengeluaran
(Gray, 1998, p103). Tetapi, privatisasi dan liberalisasi orang yang bekerja di bidang pariwisata g).
pariwisata di Mesir telah terjadi tanpa adanya rencana Biaya barang makanan dan konsumen sebelum
menyeluruh yang telah menciptakan masalah. Pada dan sesudah pengembangan pariwisata. h).
tahun 1998 Mesir tidak mempunyai rencana jangka Pemakaian listrik per kapita sebelum dansesudah
panjang untuk pengembangan pariwisata, tidak ada pengembangan pariwisata. i). Penghasilan
rencana strategis untuk menarik wisatawan agar datang distribusi dalam masyarakat sebelum dan sesudah,
ke Mesir. Bahkan, ada beberapa daerah yang saat ini j). Kebocoran dalam hal akomodasi, makanan dan
transportasi. k). Hutang per kapita sebelum dan Berdasarkan kajian Poultney dan Spencenley (2001:
sesudah pengembangan pariwisata l). Harga tanah 8-11) ada enam strategi yang dapat dilakukan, yaitu;
sebelum dan sesudah pengembangan pariwisata. 1. Perluasan kesempatan berusaha bagi penduduk
2. Indikator Sosial terdiri atas a). Modal SDM yaitu miskin.
perbaikan dalam bahasa atau belajar terhadap Perluasan kesempatan berusaha dapat memanfaat-
kinerja tradisional karena pengaruh pariwisata. b). kan bahan lokal untuk sandang dan pangan serta
Persentase tingkat kejahatan (turun atau naik). c). kebutuhan akomodasi untuk pemenuhan kebutuh
Peningkatan akses terhadap infrastruktur publik an wisatawan. Penggunaan bahan lokal menjamin
d). Peningkatan akses terhadap pelayanan sosial/ terbukanya peluang berusaha bagi penduduk mis-
fasilitas e). Peningkatan akses ke pasar oleh orang kin.
miskin f) Peningkatan tanah g). Jumlah orang 2. Perluasan kesempatan kerja bagi penduduk miskin
lokal dengan pelatihan di bidang pariwisata yang Perluasan kesempatan kerja dilakukan dengan
berkaitan h). Tingkat pendidikan penduduk cara optimalisasi rekrutmen tenaga kerja lokal.
3. Indikator Lingkungan, terdiri atas: a). Generasi Hal ini dapat dilakukan dengan menyediakan
sampah dari kegiatan wisata b). Tingkat guide lokal yang lebih memahami budaya lokal
pencemaran air limbah, c). Tingkat polusi udara dibandingkan guide luar. Penggunaan tenaga
dari bus wisata dan kendaraan d). Peningkatan kerja lokal, pemanduan dan pelayanan akomodasi
atau penurunan masalah lalu lintas dari orang lokal merupakan upaya nyata dalam
Pro poor tourism merupakan pendekatan bukan mengentaskan kemiskinan.
produk yang spesifik. Sebenarnya pendekatan ini 3. Pengurangan dampak lingkungan bagi penduduk
sejalan dengan konsep pengembangan pariwisata yang miskin yang lebih rentan Pengembangan akomodasi
sudah dikembangkan di Bali. Dalam perkembangan hotel (bahan baku dan keperluan sehari-hari)
ekowisata, wisata perdesaan, agro wisata dan marine dengan memanfaatkan bahan lokal. Namun
tourism. Ciri-ciri pro poor tourism ini adalah fokusnya pemanfaatan bahan tersebut harus dikendalikan
kepada masyarakat miskin. Potensi pariwisata untuk ikut sedemikian rupa, sehingga tidak defisit bagi
berperan serta dalam pengentasan kemiskinan didasari masyarakat yang sangat bergantung padanya.
oleh kenyataan bahwa: 4. Pengurangan dampak negatif pariwisata terhadap
1. Sebagai industri yang beragam, kemungkinan kondisi sosial budaya bagi penduduk miskin.
partisipasi makin luas, termasuk kenyataan bahwa Pariwisata dapat dengan mudah mengubah
sektor ini juga sangat memungkinkan partisipasi struktur ekonomi masyarakat tetapi, sulit untuk
sektor informal. aspek sosial budaya. Oleh sebab itu perluasan
2. Wisatawan datang ke lokasi, asal ada peluang kesempatan kerja tidak hanya melihat jumlah
untuk keterkaitan ekonomi dengan usaha pekerjaan tetapi kesesuaian dengan situasi riil
kepariwisataan lain, membuka peluang bagi masyarakat miskin.
masyarakat seperti penjualan cinderamata. 5. Pengembangan kelembagaan yang mendorong
3. Pariwisata berbasis kepada sumberdaya alam dan upaya pengentasan kemiskinan.
budaya yang dalam berbagai kenyataan dimiliki Masyarakat miskin seringkali tidak memiliki insti-
oleh masyarakat miskin meskipun mereka tidak tusi yang kuat untuk melakukan berbagai tinda-
memiliki sumberdaya finansial. kan bersama. Padahal masalah tersebut diperlukan
Ashley and Roe (2002: 61-81) melakukan analisis sebagai upaya sebagai entitas kelembagaan yang
terhadap implementasi dari pro poor tourism terhadap merepresentasi masyarakat miskin.
manfaat pariwisata terhadap masyarakat miskin. 6. Penajaman kebijakan dan perencanaan pariwisata
Berdasarkan pada fakta bahwa di Afrika Selatan banyak yang lebih tepat.
masyarakat yang masih di bawah garis kemiskinan, Kebijakan dan rencana pengembangan pariwisata
walaupun di beberapa wilayah berkembang sentra- perlu dirumuskan secara spesifik dan tegas
sentra kepariwisataan. Dengan melakukan analisis mengakomodasi kepentingan masyarakat miskin.
terhadap kemajuan dari daerah wisata, masalah yang Masyarakat miskin di daerah tujuan wisata perlu
dihadapi, dan faktor-faktor kritis yang mempengaruhi dihargai sebagai pemilik sumber daya yang utama,
diharapkan mampu memberikan implikasi yang lebih sehingga setiap pengembangan harus memberikan
baik pada pengentasan kemiskinan. Dengan mengambil sumbangan yang positif bagi kehidupan mereka.
kasus pada enam daerah pariwisata yang dengan tipologi Implementasi pro-poor tidaklah mudah, tetapi ada
yang berbeda di Afrika Selatan ditemukan bahwa pro potensi nyata untuk memanfaatkan pariwisata lebih efektif
poor sangat efektif untuk mengurangi kemiskinan. Hal untuk pengurangan kemiskinan. Dengan demikian sifat
ini perlu disesuaikan dengan keadaan setempat, target pariwisata berkembang di Afrika Selatan memberikan
pasar dan kepentingan masyarakat. kesempatan yang baik untuk mengambil pro poor
Provinsi Bali (246.598). Kawasan Tulamben memiliki tangga miskin yang memiliki pendidikan di atas SMP.
penduduk 32.679 orang (6.513 KK) dengan komposisi Jenis pekerjaan masyarakat miskin di Kawasan
berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak Tulamben dan Kawasan Candidasa menunjukkan pola
75 persen dari penduduk bekerja sebagai petani, yang hampir sama. Umumnya mereka bekerja sebagai
sisanya mempunyai profesi sebagai buruh tani, nelayan, petani penyakap, buruh, pedagang, dan kerja serabutan.
wiraswasta, dagang, dan bidang jasa. Pendapatan
masyarakat rata-rata mencapai Rp. 1.640.554 sampai Rp. Tabel 2. Jenis Pekerjaan Responden di Kawasan Tulamben dan Kawasan
Candidasa
2.249.145 per tahun. Sebagai pusat pariwisata kawasan
Kawasan Kawasan
ini memiliki jenis pekerjaan cukup banyak dibandingkan Tulamben Candidasa
Total
Pekerjaan
dengan kecamatan-kecamatan lainnya, terutama disektor Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
pariwisata. kawasan Candidasa jumlah penduduknya Nelayan 20 16.7 14 20.6 34 18.1
sebanyak 48.106 orang dengan tingkat pertumbuhan 1,36 Buruh 28 23.3 6 8.8 34 18.1
persen dan lebih bersifat homogen ditinjau dari etnis Pedagang 12 10.0 12 17.6 24 12.8
dan agama. Walaupun daerah ini dilalui oleh lalu lintas Tukang bangunan 8 6.7 10 14.7 18 9.6
antar kota dan provinsi pertumbuhan ekonominya sangat Wirausaha 4 3.3 4 5.9 8 4.3
lambat. Sebagian besar penduduk bekerja di sektor Nelayan dan serabutan 36 30.0 20 29.4 56 29.8
pertanian dan perkebunan terutama pisang dan kelapa, Tidak bekerja 12 10.0 2 2.9 14 7.4
dan sebagian kecil sebagai nelayan. Total 120 100,00 68 100,00 188 100
Sumber: Hasil analisis, 2015
Tipologi Sosial Demografi Responden
Gambaran tentang karakteristik sosial demografi Jenis pekerjaan yang mendominasi masyarakat
responden seperti umur, pendidikan, jenis pekerjaan, di Kawasan Tulamben adalah nelayan dan petani,
pendapatan, dan pengeluaran dipaparkan berikut ini. dan proporsinya lebih banyak dari pada di kawasan
Dari hasil 188 kuisioner yang sudah dilakukan analisis Candidasa. Sebanyak 6,7 persen responden tidak
ada masing-masing kawasan diperoleh sebaran data memiliki pekerjaan dan kondisi itu lebih banyak terjadi
yang cukup baik dari aspek demografis responden. di Kawasan Tulamben. Untuk menopang kondisi ekonomi
Ditinjau dari umur, responden berada pada rentang 20 rumah tangga, sebanyak 31,9 persen responden yang
tahun keatas, Data menunjukkan, usia responden yang bekerja mencari pendapatan tambahan dengan bekerja
tergolong miskin di Kawasan Tulamben dan Candidasa sampingan, namun pekerjaan sampingan yaitu sebagai
cenderung menyebar pada kelompok umur 60 tahun ke buruh pembawa alat selam, pedagang, sopir dan guide
atas atau usia tidak produktif mencapai 38,3 persen. Pada lokal. Secara rinci, datanya disajikan pada Tabel 3.
usia 40-49 tahun sebesar 22,3 persen, usia 50-59 tahun
sebesar 18 persen, sedangkan pada 20-29 tahun dan 30- Tabel 3. Pekerjaan Sampingan Responden di Kawasan Tulamben dan
Candidasa Tahun 2014
39 tahun masing-masing 10,6 persen.
Kawasan Kawasan
Umumnya kondisi kemiskinan berkorelasi positif Jenis Pekerjaan Tulamben Candidasa
Total
dengan tingkat pendidikan yang mampu dicapai. Data Sampingan
Jumlah Persen Jumlah Persen Jumlah Persen
menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil saja (6,4 Buruh pengangkut
12 33.3 2 9.1 7 24.1
persen) yang telah tamat SLTA. Proporsi responden hanya alat selam/porter
tamat Sekolah Dasar (34 persen). Secara keseluruhan, Dagang dan guide 16 44.4 14 63.6 15 51.7
tingkat pendidikan yang mampu dicapai oleh responden Sopir 8 22.2 6 27.3 7 24.1
di Kawasan Candidasa relative lebih tinggi dari pada Total 36 100,00 22 100,00 29 100,00
tingkat pendidikan responden di Kawasan Tulamben. Sumber: Hasil analisis, 2015
Hal ini berarti pendidikan berkorelasi negatif dengan
kemiskinan, dimana semakin banyak masyarakat yang Secara keseluruhan, dominan responden (18 persen)
berpendidikan rendah akan meingkatkan kemiskinan. hanya mampu memperoleh pendapatan per bulan kurang
Hasil studi ini mendukung studi Gustafsson, Bjorn dari Rp. 600.000 baik di Kawasan Tulamben maupun di
and Yue, Ximing (2006), yaitu rumah tangga dengan kawasan Candidasa. Data juga menunjukkan bahwa rata-
banyak anggota rumah tangga serta kepala rumah tangga rata pendapatan di Kota (Kawasan Candidasa) relatif lebih
yang berpendidikan rendah, maka anak-anak tersebut tinggi dari pada Kawasan Tulamben. Hal ini dapat dilihat
menghadapi resiko kemiskinan yang lebih tinggi dari dari proporsi pendapatan pada kelompok Rp. 600.000,-
orang lain. Hal yang sama disampaikan Affandi (2011), ke atas lebih banyak di Kawasan Candidasa dari pada di
bahwa rumah tangga yang memiliki anggota rumah Kawasan Tulamben. Berdasarkan data di atas disimpulkan
tangga lebih dari empat orang dengan tingkat pendidikan bahwa tipologi masyarakat miskin di Kawasan Tulamben
SMP ke bawah memiliki peluang 1,312 kali lebih besar dan Kawasan Candidasa dapat dikelompokkan menjadi
untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah tiga kelompok yaitu: 1) Masyarakat yang tetap dengan
mata pencaharian yang lama, seperti nelayan, buruh hanya berpendidikan sekolah lanjutan pertama
bangunan, buruh galian, petani penggarap. 2). Masyarakat (SLTP) ke bawah dan masih banyak penduduk
dengan bekerja sampingan, seperti nelayan dan pengatar tidak bersekolah, rata-rata beban tanggungan
tamu. 3) Masyarakat yang sudah mengalami perubahan setiap RTM tiga orang lebih, dan banyaknya
mata pencaharian dari yang pokok nelayan menjadi infrastruktur yang rusak.
bekerja di sektor pariwisata seperti tukang kebun atau Perkembangan pariwisata di Tulamben dan Candidasa
penjual cendramata. Penelitian ini mendukung temuan telah memberikan kontribusi pada perubahan mata
Leon (2007; Gibson: 2009) bahwa tipologi masyarakat pencaharian masyarakat yang berdampak terhadap
yang memiliki keterbatasan modal dan sumber daya kondisi ekonomi. Akan tetapi, tidak semuanya
lainnya seperli rendahnya ketrampilan akan mengalami memberikan dampak positif pada partisipasi masyarakat
perlambatan perubahan mata pencaharian, sehingga miskin dalam perkembangan pariwisata. Ada faktor
tidak mampu keluar dari kemiskinan. Penelitian ini juga penghambat yang muncul dari dalam (internal) dan
mendukung Suartha (2013) dengan temuan rendahnya faktor dari luar (ekternal). Tosun (2000) telah membagi
tingkat pendidikan, menyebebkan pendapatan rendah hambatan partisipasi mayarakat kedalam tiga bagian,
akibat akses pada kesempatan kerja rendah. yaitu hambatan operasional, hambatan struktural dan,
hambatan budaya/cultural. Pada penelitian sebelumnya
Faktor-faktor Penghambat Masyarakat dalam Mustapha et al. (2013) telah mengkatagorikan ketiga
Berpartisipasi pada Sektor Pariwisata tipe hambatan masyarakat dalam berpartisipasi adalah
Kecamatan Kubu memiliki jumlah RTM lebih banyak sebagai berikut. Tipe hambatan operational seperti:
(6.211 RTM) dibandingkan dengan Kawasan Candidasa keengganan pemegang saham dalam berbagi kekuasaan,
dengan jumlah RTM paling sedikit hanya (1521 RTM) sentralisasi administrasi publik, dan kurangnya
paling rendah. Konsentrasi kemiskinan di masing-masing informasi. Persepsi masyarakat di kawasan pariwisata
wilayah, untuk Kawasan Tulamben terjadi di Desa Datah, disebabkan oleh keterbatasan dalam mengakses hak-
Labasari dan Purwakerthi. Untuk Kawasan Candidasa hak dasar seperti pangan, pendidikan, kesehatan dan
konsentrasi kemiskinan terjadi di Desa Antiga, Desa pekerjaan. Dalam persepsi masyarakat miskin muncul
Nyuhtebel dan Padangbai. Menurut Suartha (2013), sikap pasrah yang menerima kemiskinan sebagai bentuk
kemiskinan di daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor yang pasrah dan disebabkan karena kebodohan. Pasa
yakni: sisi lain ada harapan hidup dimana mereka tidak mau
1. Faktor alam. Kedua kawasan ini merupakan merelakan anak mereka menjadi seperti dirinya yaitu
kawasan pesisir pantai yang berhadapan langsung ingin lebih maju, lebih pintar dan lebih mampu. Tipe
dengan gunung. Masyarakat hanya dapat hambatan structural yaitu: dominasi elite yang tidak
mengandalkan mata pencaharian sebagai buruh berpihak pada masyarakat kecil, kurangnya sumber
tani dan nelayan. Lahan yang tersedia dominan daya keuangan atau modal, sikap profesional, dan
lahan kering dan lautan. Kondisi ini memang kurangnya hukum yang sesuai sistem yang memberikan
sangat ironi ketika pariwisata bergeliat di Kawasan perlindungan pada masyarakat kurang mampu. Proyek
Tulamben dan Candidasa, tetapi pada sisi lain yang dibuat pemerintah justru menyebabkan peningkatan
banyak sekali masyarakat yang menjual tanah pendapatan pada pemerintah, swasta dan lapisan atas,
dipinggir laut untuk dijadikan hotel atau tempat dan yang lainnya justru mengalami proses kemiskinan.
usaha. Memang tidak dipungkiri juga daerah Tipe hambatan cultural yaitu: terbatasnya kemampuan
Kubu rata-rata adalah aliran lahar Gunung Agung, masyarakat miskin, apatis, dan rendahnya tingkat
sehingga daerah ini, tidak memiliki struktur tanah kesadaran di komunitas lokal. Pada kawasan Tulamben
yang baik untuk bercocok tanam. Tanaman yang dan Candidasa masyarakat masih dalam kategori
dapat hidup hanya pohon rontal dan intaran, konsumtif dalam hal upacara, walaupun harus berhutang.
sedangkan binatang peliharaan masyarakat Hal ini biasanya berhubungan dengan ritual adat atau
dominan kambing dan sapi. kekerabatan seperti hari kelahiran yang dirayakan secara
2. Faktor budaya. Adanya kebiasaan penduduk besar-besaran, upacara perkawinan yang harus “ngejot”
untuk melakukan aktivitas yang tidak produktif ke banyak tetangga, upacara kematian yang harus
seperti berjudi (tajen/sabung ayam) yang memotong babi dan acara minum arak. Hal ini secara
dilaksanakan setiap hari kamis hingga sabtu dari ekonomis dapat menghambat peran dalam pariwisata
siang sampai sore dan hari minggu dari pagi hari, selain kurang mampu dalam mencari peluang untuk
dan minum-minum terutama minum tuak dan bersaing dalam peluang yang tersedia dalam pariwisata.
arak, lebih-lebih jika ada upacara kematian. Hasil penelitian ini mendukung Teori Sen (1998),
3. Rendahnya akses terhadap pembangunan. bahwa kemiskinan terjadi karena adanya kelahiran
Hal ini terutama disebabkan rendahnya kapasitas seseorang dari keluarga miskin dan budaya yang
rumah tangga yaitu rendahnya pendidikan yang tidak memiliki memampuan untuk meningkatkan
Mata Jumlah
Jasa angkut
Guide lokal
alat selam
Jumlah
dan guide
Pencarian (%)
pengatart
banguan
Nelayan
Lainnya
(%)
pencaharian penduduk sebelum dan sesudah adanya
Petani
buruh
guide
amu
Dampak pariwisata terhadap perubahan mata tidak tamat SD, tamatan SD dan SMP/sederajat dan
pencaharian atau pekerjaan masyarakat didorong adanya sisanya adalah lulusan SMA. Nampak perubahan mata
kesempatan berusaha untuk lepas dari keterbelakangan pencarian penduduk yang terbesar adalah penduduk
ekonomi. Ini artinya secara psikologis, masyarakat dengan tingkat pendidikan SMP/sederajat mencapai
dengan kemampuannya ingin lebih kaya, walaupun faktor 65%, kemudian penduduk dengan pendidikan SMA
lain terbatas. Itu berarti dengan adanya perkembangan atau sederajat 25% dan tamat SD hanya 10%. Kondisi
pariwisata di Kawasan Tulamben dan Candidasa ini dominan ditunjukkan di wilayah Tulamben bahwa
memberikan dampak pada perekonomian masyarakat masyarakat hanya untuk melajutkan sekolah pada jenjang
lokal di wilayah tersebut. SMA, sehingga banyak yang putus sekolah, dan memilih
untuk membantu orang tua. Pilihan ini mengakibatkan
2. Pengaruh Perubahan Mata Pencaharian masyarakat memilih untuk mencari pekerjaan di wilayah
terhadap Karakteristik Sosial Mayarakat terdekat dengan bidang yang sesuai seperti cleaning
Pesisir service atau porter.
Perkembangan pariwisata di Kawasan Candidasa Pada golongan umur penduduk yang mengalami
dan Tulamben, secara langsung berpengaruh pada pergeseran pekerjaan di Kawasan Tulamben dan
perubahan mata pencaharian masyarakat. Perubahan Candidasa, adalah pada golongan produktif yaitu 30-
mata pencaharian masyarakat di wilayah penelitian 40 tahun. Kondisi ini menunjukkan adanya masyarakat
menunjukkan dominasi terbesar pada perempuan yang dengan usia yang produktif dan adanya kebutuhan yang
mengalami pergeseran mata pencaharian sedangkan besar di rumah tangga, memaksa mereka untuk berusaha
laki-laki kondisi sebelum dan sesudahnya masih tetap keras keluar dari garis kemiskinan. Usaha ini terlihat
sama, hanya saja ada penambahan atau perubahan yang dari kegigihan masyarakat untuk mencari pekerjaan
sifatnya eksidental yaitu dari nelayan menjadi pengantar dalam berbagai sektor jasa pariwisata, walaupun dengan
tamu pada siang hari. berbagai keterbatasan.
Hasil temuan ini mendukung penilitian Ashley et
Tabel 6. Persentase Perpindahan Mata Pencarian Penduduk Sebelum dan al (2001; Ashley and Goodwin, 2007; Leon, 2007)
Sesudah Pengembangan
pariwisata adalah strategi untuk mengurangi kemiskinan.
Sebelum Sesudah
Peran pariwisata lebih meningkat ketika dikembangkan
Mata Pencarian Mata Pencarian
dalam skala yang kecil dengan peningkatan partisipasi
Jenis
masyarakat. Sementara Speneley dan Seif (2003)
Guide lokal
Jumlah (%)
jumlah (%)
porter dan
Nelayan &
Kelamin
dan guide
pengatart
Pedagang
jasa hotel
massage
Nelayan
nelayan
Petani
buruh
amu
destinasi yang kecil sangat penting dilakukan untuk 2. Meningkatkan kesadaram masyarakat untuk
memberikan keberlanjutan budaya masyarakat lokal merubah pola kerja dengan memanfaatkan waktu
(Scheyvens and Monsen). luang untuk kegiatan yang lebih produktif guna
meningkatkan penghasilan keluarga.
SIMPULAN DAN SARAN 3. Pengembangan pariwisata dalam skala kecil lebih
memberikan peran partisipasi masyarakat lebih
Simpulan besar dibandingkan dengan pola pengembangan
Karakteristik kemiskinan yang terjadi di Kawasan pariwisata skala besar, pro poor tourism lebih
Tulamben dan Candidasa diakibatkan oleh faktor alam tepat diterapkan pada usaha-usaha pemberdayaan
yang tandus, tingkat pendidikan yang rendah, terbatasnya masyarakat di daerah pesisir dengan peningkatan
infrastruktur, dan sikap mental dan budaya yang dimiliki. mata pencaharian masyarakat.
Perkembangan pariwisata telah memberikan pengaruh 4. Terbatasnya wilayah dan sampel penelitian
pada perubahan mata pencaharian masyarakat yang membawa konsekuensi pada generalisasi hasil
mengarah pada tipologi yang heterogen. Berdasarkan hal penelitian menjadi terbatas, sehingga diperlukan
tersebut dapat dikelompokkan tipologi kemiskinan yang perluasan wilayah penelitian yang komprehensip.
terbentuk yaitu masyarakat dengan matapencaharian
tetap dari sebelum berkembang pariwisata, masyarakat DAFTAR PUSTAKA
memiliki mata pencaharian sampingan yaitu pariwisata
selain mata pencaharian utama, dan masyarakat dengan Ardika, I Wayan. 2006. Pariwisata Kerakyatan Berkelanju-
tan. Makalah dalam Seminar Pariwisata.
mata pencaharian dari sektor pariwisata sebagai mata Ashley, C., and Roe, D. 2002. Making Tourism Work for the
pencaharian utama. Poor: Strategies and Challenges in Southern Africa.
Kecilnya perubahan mata pencaharian masyarakat Development Southerm Africa Vol. 19. No.1. pg 61-82.
Tulamben dan Candidasa dalam usaha mengambil Carfax Publishing, Taylor and Francis Group. Caroline
Ashley. 2002. Methodology for Pro-Poor Tourism Case
peluang sektor pariwisata disebabkan adanya hambatan Studies. Working Paper. Overseas Development Institute.
internal dan ekternal dalam berpartisipasi. Hambatan Ashley, C., and Haysom, G. 2006. “From philanthropy to a
partisipasi mayarakat dapat dikelompokkan kedalam different way of doing business: strategies and challenges
tiga bagian, yaitu hambatan operasional, hambatan in integrating pro poor approaches into tourism business”.
Internasional Journal of Development Southerm Africa
struktural dan, hambatan budaya/cultural. Lambatnya Vol. 23 No.22. pg 265-280. Rotledge, Taylor and Francis
masyarakat dalam berpartisipasi dalam pariwisata karena Group.
sikap mental masyarakat yang kurang termotivasi untuk Ashley. C., and Goodwin. H. 2007. Pro poor tourism’: What,S
keluar dari lingkaran kemiskinan, sehingga motivasi Gone Right And What’s Gone Wrong?” Opinion Papers.
Overseas Development Institute.
untuk bekerja produktif masih rendah. Awirya, Agni Alam. 2009. “Peningkatan Ekonomi Bali Melalui
Terdapat kecenderungan positif perkembangan Pengembangan Pariwisata”. Jurnal Ekonomi dan
pariwisata terhadap perubahan ekonomi masyarakat Pembangunan. Vol. XVII (1), 2009. ISSN 0854-526X.
khususnya mata pencaharian. Perkembangan masyarakat Baskoro. Bra. 2010. Wisata Kota Jalan Jaksa Sebuah Kajian
Sosiologi
yang lebih dulu maju telah memberikan peran dalam Pariwisata. Jakarta: Koekoesan.
mempengaruhi mental masyarakat lain untuk merubah Bali Post. 2008. Potret Kemiskinan di Sudut Kawasan
motivasi kerja yang lebih baik. Pemanfatan keterampilan Lovina. Di akses http://www.balipost.com/
sebagai nelayan diimbangi dengan peluang meningkatnya balipostcetak/2008/1/21.
BPS Provinsi Bali. 2010. “Tingkat Kemiskinan Bali, Maret
jumlah wisatawan untuk diving dapat dimanfatkan 2010”. Berita Resmi
untuk menjadi peluang sampingan utuk menambah Statistik Provinsi Bali No. 29/07/51/Th IV, 1 Juli 2010.
penghasilan. Masyarakat sebagai nelayan juga berperan Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2013. Karanga-
sebagai pengantar tamu pada saat diving atau snorkling. sem Dalam Angka 2013.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karangasem. 2014.
Pro poor tourism pada aktivitas wisata dalam skala kecil Karangasem Dalam Angka 2014.
lebih berkontribusi pada perubahan mata pencaharian Braman, S and Amazonia, F A. 2001. “Practical Strategies for
masyarakat. Pro Poor Tourism Tropic Ecological Adventures-Ecuador”.
Pro Poor Tourism Working Paper No.6, London Overseas
Development Institute.
Saran Damanik, J., Kusworo, H. A., dan Raharja, D.T,. Penanggulan-
Berdasarkan pada berbagai temuan di atas maka gan Kemiskinan Melalui Pariwisata. Jakarta: Pusat Studi
dapat diuraikan beberapa saran yaitu : Pariwisata UGM dan Kementrian Bidang Kesejahteraan
1. Meningkatkan kapasitas rumah tangga miskin, Rakyat Republik Indonesia.
D. Hall and Brown. 2006. Tourism and Welfare: Ethics, Res-
dengan mendorong rumah tangga miskin ponsibility and Sustained Well-being. pp.106-131.
agar menyekolahkan anaknya, bukan malah Gibson, C. 2009. Geographies of Tourism: Critical Research
memanfaatkannya untuk bekerja guna menambah on Capitalsm and Local Livelihoods. Progress in Human
penghasilan. Geography 33 (4) 2009 pp 527-534.
Gossling, Stefan, et all. 2004. “Tourism and Street Children Pujaastawa, Wirawan, Adhika. 2005. Pariwisata Terpadu
in Antananarivo, Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Te
Madagascar”. Journal Tourism and Hospitality Research. ngah. Badung: Universitas Udayana. Raharjana, Destha
London: Aug 2004. Vol.5. Iss. 2;pg 131, 19 pgs. T. 2002. “Pengembangan Pariwisata Berbasis Komunitas
Guo, Lan. 2008. Pro poor Tourism in China:thPreliminary (Studi awal di Kawasan Konservasi Bromo Tengger Se-
Investigation. A Paper prepared for The 19 CEA (UK) meru)”. Jurnal Pariwisata STIEPAR YAPARI-AKTRIPA
Annual Conference China’s Three Decades of Economic Bandung. Vol 3 No. 2. pg.1-10.
Reform (1978-2008). Cambrigde, UK. April 2008. Ramadani, Mutiara. 2012. Perencanaan Pariwisata Pro Ma-
Harun, Rochajat. 2008. Pariwisata dan Pengurangan syarakat Miskin di Kampung Baru Jakarta Barat.
Kemiskinan. Dalam Kabar Indonesia diakses pada 25- Rogerson, M, Cristian. 2006. “Pro-poor Lokal Economic
Des-2008, 12:27:46 WIB. Development in South Africa: The Role of Pro-Poor
Harrison, D. 2008. “Pro poor Tourism: a Critique. Third World Tourism”. Journal of Lokal Environment. Vol.11, No 1,
Quartery. Vol.29, No.5, 2008. Routledge Taylor and 37-60. Routledge Taylor and Francis Group.
Francis Group. Saptono, Iqbali. 2010. Gelandangan-Pengemis (Gepeng) di
Hermantoro, Henky. Dkk. 2010. Pariwisata Mengikis Kemis- Kecamatan Kubu Kabupaten Karangasem. Makalah
kinan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ke- diakses http/google/pro poor/co
pariwisataan. Scheyvens, R., & Momsen, J. H. 2008. “Tourism and Poverty
Hill, T., Nel, E and Trotter, D. 2006. “Small-scale, Nature- Reduction: Issues for Small Island States”. Tourism
based tourism as a pro-poor development intervention: Geographies. Vol. 10. No 1, 22-41. Routledge Taylor and
Two examples in Kwazulu-Natal, South Africa”. Singapore Francis Group.
Journal of Tropical Geography 27. (2006).pg 163-175. Sen, Amartya. 2000. Development As`Freedon. New York A
The Authors. Division of Random House, Inc.
Jamieson W, Goodwin H and Edmunds C. 2004. Contribution Selinger, E. 2009. “Ethics and Poverty Tours”. Philosophy
Of Tourism To Poverty Alleviation Pro-Poor Tourism And & Public Policy Quarterly. Vol.29 No.1/2 (WINTER/
The Challenge Of Measuring Impacts. Transport Policy SPRING).
and Tourism Section, Transport and Tourism Division UN Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina Son-
ESCAP dakh: Perkembangan Pariwisata Indonesia. Jakarta: Ke-
Leon, Y. M. 2007. “The Impact of Tourism on Rural Livelihoods saint Blanc- anggota IKAPI.
in the Dominican Republic’ Costal Areas”. Journal of Sondakh, Angelina. 2010. Jendela Pariwisata Angelina
Development Studies. Vol.43. No.2, 340-359, ISSN 0022- Sondakh: Masa Depan Pariwisata Indonesia. Jakarta:
0388. February 2007. New York. Rotledge, Taylor and Kesaint Blanc- anggota IKAPI.
Francis. Steven C Dinero. 2004. “The Rumour of Calcuta: Tourism,
Mitchhell, Ross.E. 2003. “Community-based tourism: Charity and the Poverty of Representation”. Journal of
Moving from Rhetoric to Practice” e-Review of Tourism Third Word Studies, Spring 2004; 21, 1 Research Library.
Research (eRTR), Vol 1.No.1 2003. Mitchell, J & Faal, J. pg.268.
2007. “Holiday Package Tourism And The Poor In the Suartha, Nyoman. 2013. “Pengaruh Kapasitas Rumah Tangga,
Gambia”. Development Southern Africa Vol. 24, No.3 Budaya, dan Pemberdayaan Terhadap Sikap Serta Keber-
Sept.2007. ISSN 0376-835X. New York. Rotledge, Taylor dayaan Rumah tangga Miskin di Kabupaten Karangasem”.
and Francis. Disertasi. Denpasar: Program Pasca Sarjana Universitas
Mograbi, J and Rogerson, C. M. 2007. “Maximising the Lokal Udayana.
Pro-Poor Impacts of Dive Tourism: Sodwana Bay, South Suardana, Wayan. 2004. “Strateggi Pengembangan Pesisir
Africa”. Urban Forum (2007) 18:85-104. Publised online Pantai Tulamben Sebagai Kawasan Wisata Alam di Ka-
26 July 2007. Springer Science + Business Media B.V. bupaten Karangasem”. Thesis. Denpasar: Program Pasca
Muhanna, Emaad. 2007. “Tourism Development Strategies Sarjana Universitas Udayana.
and Poverty Elimination. Problem and Perspectives in Subagja. 2010. “DPRD Sesalkan Wisata Kemiskinan di
Managenent”. Sumy: 2007. Vol 5, Iss.1; pg. 37.14 pgs Jakarta”. Diakses dari Detik News. Minggu 24 Januari
Nadjib, M. 2009. “Kebijakan Pengentasan Kemiskinan Nelayan 2010. http//m.detik.com.
Melalui Model Kerjasama Pengelolaan Wilayah Laut”. Sudipa, Nyoman. 2014. “Kemiskinan Dalam Perkembangan
Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol. XVII (1), 2009. Industri Pariwisata di Kelurahan Ubud”. Disertasi. Den-
pg 14-27. ISSN 0854-526X. pasar: Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.
Nawawi, Ismail. 2009. Pembangunan dan Problema Torres, R and Momsen, J. H. 2004. “Challenges and potential
Masyarakat. Surabaya: Putra Media Nusantara. for linking tourism and agriculture to achieve pro-poor
Nevin, Tom. 2007. “What is Pro Poor Tourism?” African tourism objectives”. Progress in Development Studies
Business; Nov 2007; 336; ABI/INFORM Global pg 50. (2004) pp.294-318.
Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Usman, T.S. 2009. “Pemilu 2009: Isu Kemiskinan dan Kesen-
Pariwisata. Jakarta: Kepusakaan Populer Gramedia. jangan Serta Pelemahan Kehidupan Berbangsa-Bernega-
Pitana, I Gde. 2010. “Kemiskinan di Bali Bukan Imbas ra”. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Vol. XVII (1),
Pariwisata”. Bussiness News. http://bataviase.co.id/ 2009. pg 1-13. ISSN 0854-526X.
node/408963. diakses 06 Oktober 2010. Poultney, C. and United Nations World Tourism Organization. 2007. Global
Spenceley, A. 2001. “Practical Strategies for pro poor Forecast and Profiles of Market Segments Vol.7, 2007
tourism, wilderness safaris South Africa: Rocktail Bay and Wrihatnolo, Randy R., dan Dwidjowijoto, R.N. 2007. Manaje-
Ndumu Lodge”. Pro Poor Tourism Working Paper No men Pemberdayaan Sebuah Pengantar Dan Panduan
7, April. For The Centre for Responsible Tourism (CRT), Untuk Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Elex
International Institute for Environment (IIED) and Deve- Media Komputindo Kelompok Gramedia.
lopment and Overseas Development and Overseas Deve-
lopment Institute (ODI).