Abstrak
1. Pendahuluan
ElEecletcrotrnoinciccocoppyyaavvaaililaabbllee aatt::
JBHOST, Vol 02 Edisi 1, 2016: 26-40 ISSN 2527-9092
ElEecletcrotrnoinciccocoppyyaavvaaililaabbllee aatt::
JBHOST, Vol 02 Edisi 1, 2016: 26-40 ISSN 2527-9092
ElEecletcrotrnoinciccocoppyyaavvaaililaabbllee aatt::
JBHOST, Vol 02 Edisi 1, 2016: 26-40 ISSN 2527-9092
hotel, restoran, agen perjalanan, objek wisata seperti pantai, ritel, jalan,
bandara, dan sebagainya. Di sisi lain, suprastruktur seperti organisasi pendukung
pariwisata seperti BTDC (Bali Tourism Development Centre), BTB (Bali
Tourism Board), PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia), dan
Sekolah Tinggi Pariwisata dan Perhotelan didirikan secara profesional.
Saat ini, pertumbuhan pariwisata Bali diindikasikan berada pada
tahap stagnasi, dimana sektor pariwisata telah dikembangkan sedemikian
rupa, namun pertumbuhan kunjungan wisatawan masih stagnan meskipun
sejumlah promosi terus menerus dan intensif dilakukan. Selain itu, terdapat
banyak kesenjangan antar sektor, misalnya: degradasi sumber daya alam,
penggunaan lahan yang berlebihan untuk membangun hotel dan
infrastruktur pariwisata, polusi udara dan air, kesenjangan antara pedesaan
dan perkotaan, dan sebagainya.
Saat ini, perkembangan pariwisata modern di Bali terus menarik semua jenis
wisatawan. Beberapa industri internasional seperti hotel dan resor bertaraf
internasional berdiri di sepanjang pulau ini. Masyarakatnya terus berjuang untuk
memilih antara modernisasi dan pariwisata, dan tradisi mereka yang kaya.
Meskipun telah mengalami beberapa dampak sosial dan lingkungan yang
merugikan sebagai akibat dari perkembangan pariwisata yang pesat,
warisan budaya Bali telah bertahan dalam ujian waktu dan tetap mengalami
sedikit perubahan hingga saat ini.
Tahap stagnasi telah diidentifikasi sejak tahun 2001 hingga saat ini, di
mana jumlah kedatangan internasional stagnan sekitar satu juta pengunjung
per tahun. Perkembangan Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata
meskipun sebagian besar penduduk Bali masih bekerja di sektor pertanian.
Tahap stagnasi ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
terdiri dari masalah urbanisasi, pembangunan yang tidak ramah lingkungan,
ketidakmerataan tata ruang dimana pembangunan pariwisata terfokus di
bagian selatan Bali seperti Sanur, Kuta, dan Nusa Dua tanpa adanya
panduan desain. Sementara itu faktor eksternal yang berkontribusi terhadap
stagnasi adalah masalah terorisme, perang Irak II, bencana SARS di Asia,
destinasi pariwisata baru, dan lain-lain (Pujaastawa, dkk, 2005).
Selain itu, menurut Butler (1980), yang dikutip oleh Gilbert (1990),
tahap stagnasi harus dilihat sebagai sinyal untuk berinovasi dan mencari alternatif
untuk menghindari tahap penurunan dan memperbaiki pertumbuhan
pariwisata. Sektor pariwisata di Bali harus segera berinovasi dan terus
dikembangkan berdasarkan konsep pembangunan pariwisata
berkelanjutan. Menurut Pitana (2005), visi dan perencanaan
pengembangan pariwisata di Bali harus didasarkan pada budaya Bali, karena
Bali merupakan satu-satunya pulau yang didominasi oleh pemeluk agama Hindu
di Indonesia. Selain itu, Bali memiliki sejumlah atraksi wisata buatan
manusia dan atraksi alam seperti danau, gunung, pantai, dan area
pertanian yang harus dikelola secara terus-menerus.
Tujuan pembangunan pariwisata di Bali adalah untuk mewujudkan
keberlanjutan pariwisata berbasis budaya yang dikembangkan sesuai dengan
konsep Tri Hita Karana serta persaingan pasar global dan peningkatan kualitas
hidup masyarakat lokal. Tri Hita Karana adalah filosofi Hindu-Bali yang
terdiri dari tiga elemen utama yaitu hubungan yang harmonis antara
sesama manusia, antara manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan
Tuhan Yang Maha Esa (WTO, 2003). Salah satu visi pariwisata
2. Tinjauan Pustaka
pariwisata dapat dibuat dalam berbagai bentuk seperti fokus pada pertanian
sebagai agrowisata, ekologi sebagai ekowisata, budaya sebagai wisata
budaya, agama sebagai wisata religi, dan sebagainya.
Lebih lanjut, Wall dan Mathieson (1989) yang dikutip oleh Tjokrowinoto
(2002), mengidentifikasi tiga elemen sistem pariwisata, yaitu: (1) elemen dinamis
yang melibatkan
perjalanan ke destinasi yang dipilih; (2) elemen statis yang melibatkan masa
tinggal di destinasi; dan (3) elemen konsekuensial yang dihasilkan dari dua
elemen sebelumnya yang berkaitan dengan efek pada subsistem ekonomi,
fisik, dan sosial. Beberapa variabel eksternal seperti peningkatan pendapatan,
peningkatan mobilitas, peningkatan tingkat pendidikan, dan keinginan untuk
melepaskan diri dari tekanan kehidupan perkotaan sehari-hari
menghasilkan permintaan yang efektif terhadap pariwisata yang mendorong
munculnya berbagai bentuk pariwisata seperti pariwisata rekreasi, pariwisata
budaya, pariwisata kesehatan, pariwisata konferensi, pariwisata sejarah,
pariwisata lingkungan, dan sebagainya.
Reynolds (2005) menyebutkan bahwa wisata agro adalah bisnis yang dilakukan
oleh petani yang melakukan operasi pertanian untuk kesenangan dan
pendidikan pengunjung. Dalam arti yang lebih luas, wisata agro menyajikan
potensi untuk menghasilkan pendapatan pertanian dan meningkatkan
profitabilitas. Selain itu, pengunjung wisata agro berhubungan langsung
dengan petani dan mendukung peningkatan produk pertanian secara tidak
langsung.
Lebih lanjut, menurut WTO (2003), wisata agro merupakan bagian dari
wisata pedesaan dan berhubungan dengan pariwisata di pertanian. Hal ini
memberikan pilihan kepada petani untuk memperluas kegiatan mereka dan
menerima lebih banyak pendapatan. Wisata agro adalah bagian kecil dari
pariwisata pedesaan dan praktik pertanian di seluruh dunia, tidak termasuk di
beberapa negara Eropa seperti Austria, Prancis, Italia dan Swiss, jumlah
pertanian yang menawarkan beberapa bentuk pariwisata sangat besar. Di
beberapa daerah dan negara, wisata agro merupakan bagian besar dari
wisata pedesaan secara keseluruhan.
Studi ini mengacu pada definisi agrowisata dari WTO sebagai pariwisata
minat khusus yang dikembangkan sebagai bentuk pengembangan pariwisata
alternatif di Bali.
Filosofi wisata agro terinspirasi untuk meningkatkan pendapatan petani dan
kualitas hidup masyarakat pedesaan yang kemudian diharapkan dapat
menjadi peluang untuk mengedukasi masyarakat tentang pertanian dan
ekosistem.
Pendapat yang terkait dan serupa dijelaskan oleh Lobo, et al (1999), bahwa
pengembangan agrowisata akan memberikan peluang bagi petani lokal untuk
meningkatkan pendapatan dan memperbaiki kehidupan mereka serta
mempertahankan operasi mereka. Pendapat tersebut dapat dirinci sebagai
berikut: (1) mendidik orang atau masyarakat tentang pertanian dan
memberikan kontribusi pada ekonomi lokal, (2) mengurangi arus urbanisasi
karena masyarakat dapat memperoleh pekerjaan dan penghasilan dari wisata
agro, (3) mempromosikan produk lokal, dan daerah dalam upaya pemasaran
dan menciptakan nilai tambah dan pemasaran langsung dan merangsang
kegiatan ekonomi serta memberikan manfaat bagi masyarakat di mana
wisata agro dikembangkan. Rilla (1999) menjelaskan secara lebih jelas
alasan pengembangan wisata agro sebagai berikut; (1) mendidik dengan
tujuan untuk menjaga hubungan antara masyarakat lokal, sektor-sektor yang
berkepentingan, dan pengunjung. (2) meningkatkan kesehatan dan kesegaran
pengunjung, (3) relaksasi, (4) petualangan, (5) makanan alami atau
makanan organik, (6) pengalaman yang unik, (7) wisata yang murah.
3. Metode Penelitian
antar sektor yang saling terkait. Dalam konteks destinasi pariwisata sebagai
sebuah produk, destinasi pariwisata mengikuti siklus hidup produk. Ia
berinteraksi antara permintaan dan penawaran secara dinamis. Inovasi dan
kreativitas harus dilakukan untuk mempertahankan pengembangan pariwisata di
Bali.
Blimbingsari adalah sebuah desa kecil yang terdiri dari sekitar 200
kepala keluarga, terletak di bagian barat Provinsi Bali, sekitar 120 km dari Ibu
Kota Denpasar. Desa ini terbentuk dan berkembang setelah Belanda
menjajah Indonesia. Desa ini sebagian besar dihuni oleh komunitas Kristen
Protestan. Meskipun menjadi desa Kristen, Blimbingsari tetap eksis dalam
budaya dan tradisi Bali.
Gambar 1
Bangunan Gereja bergaya
Bali Sumber: Observasi
Penelitian
Gambar 2
Kebun Kakao dan Kelapa
Sumber: Observasi Penelitian
Tabel 4.1
Pendapat Responden tentang Faktor Pendorong Motivasi
Kode Indikator Rata-rata Arti
X1.10 Pelatihan fisik 4.3200 Sangat kuat
X1.9 Memperkaya kecerdasan 4.1800 Kuat
X1.1 Istirahat dan relaksasi 4.1500 Kuat
X1.4 Menjauhkan diri dari stres 4.1100 Kuat
X1.11 Mengunjungi keluarga dan teman 4.0800 Kuat
X1.5 Melepaskan diri dari aktivitas sehari-hari 4.0600 Kuat
X1.3 Belajar dan mengalami hal-hal baru 3.9300 Kuat
X1.2 Mengunjungi tempat-tempat baru 3.8100 Kuat
X1.6Bertemu orang dan bersosialisasi 5000Lemah
X1.8Mencoba tantangan/pengalaman dan berpetualang 4700 Lemah
X1.7Meningkatkan kesehatan3. 2100 Lemah
Sumber: Pitana (2005)
Tabel 4.2
Pendapat Responden tentang Faktor Motivasi Penarik
Kode Indikator Rata-rata Arti
X2.15 Keterlibatan Masyarakat Desa 4.3400 Sangat kuat
X2.13 Biro Layanan 4.1000 Kuat
X2.6 Penginapan 4.0600 Kuat
X2.3 Kegiatan Masyarakat Desa 4.0500 Kuat
X2.2 Desa Perkebunan 3.8700 Kuat
X2.1 Keunikan Desa 3.7900 Kuat
X2.14 Layanan Pemandu Wisata Lokal 3.6200 Kuat
X2.7 kuliner 3.5100 Lemah
X2.5 Panorama Desa 3.4600 Lemah
X2.10 Jarak dari Bandara 3.2400 Lemah
Tabel 4.3
Pendapat Responden tentang Faktor Keberlanjutan
Kode Indikator Rata-rata Arti
Y1.1 Kesediaan untuk merekomendasikan teman atau
keluarga4 .1700 Kuat
Y1.2 Keinginan untuk berkunjung kembali 4.0100 Kuat
Y1.4 Dukungan pemerintah 4.0000 Kuat
Y1.3 Mendukung komunitas lokal 3.2300 Lemah
Sumber: Sutjipta (2001)
Gambar 4.1
Model Agrowisata untuk Desa Wisata Blimbingsari
Jalur yang harus dilalui menuju Desa Blimbingsari juga termasuk jalur yang
ramai dan sering terjadi kemacetan.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa desa wisata
Blimbingsari telah dikelola dengan baik yang terlihat dari keterlibatan
masyarakat setempat (komite pariwisata), jasa pemandu (link travel agent).
jasa pemandu lokal (komite pariwisata), dan dukungan pemerintah (pemegang
ijin Bupati).
Solusi agar jarak yang jauh dari ibukota dapat diatasi dengan membuat
paket perjalanan khusus yang memungkinkan wisatawan dapat menginap di
Desa Blimbingsari, dan digabungkan dengan paket ekowisata, khususnya
ekowisata ke Taman Nasional Bali Barat. Akan lebih baik lagi jika paket
wisata tersebut dapat dikemas sebagai paket liburan akhir pekan, sehingga
wisatawan dapat melihat dan terlibat langsung dalam kegiatan gereja di hari
biasa.
REFERENSI
Badan Pariwisata Bali. (2006). Situs web resmi Badan Pariwisata Bali,
Denpasar, Diambil pada tanggal 22 Mei 2007 dari http://www.bali-
tourism- board.com
Cooper, Chris, dkk. (2005). Pariwisata: Prinsip dan Praktik. London: Pearson
Education Limited, Edisi Ketiga.
Gilbert, A.J. (1990). Neraca Sumber Daya Alam dalam pengelolaan lahan
kering. Dalam Dixon, J.A., D.E. James dan P.B. Sherman.
Pengelolaan lahan kering: studi kasus ekonomi.
Jafari, J dan Ritchie, J. (1981). Menuju sebuah kerangka kerja untuk pendidikan
pariwisata.
Annals of Tourism Research.
McIntosh dan Goeldner. (1990). Pariwisata. Prinsip, Praktik, dan Filosofi (edisi
keenam), Grid Publishing, Columbus.
Nugroho, K., dkk. (1997). Peta areal potensial untuk pengembangan pertanian
lahan rawa lebak, rawa pasang surut, dan pantai. Proyek penelitian
sumber daya lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan
Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Bogor.
Reynolds. (2005). Permintaan konsumen untuk. wisata alam pertanian dan pertanian.
Davis, CA: University of California.
Rilla, E. (1999). Menyatukan Kota & Kabupaten. Pesisir dan Lautan California.
Vol. 15, No. 2. 10p.
Tambunan, Tulus. (2006). Tren jangka panjang pertumbuhan industri dan ekonomi
di Indonesia, Pusat Studi Industri dan UKM, Fakultas Ekonomi,
Universitas Trisakti.
Trochim, (2006). Penelitian Sosial, Diambil pada tanggal 7 Mei 2007 dari
http://www.socialresearchmethods.net/
Veal, A.J., (1997). Metode Penelitian untuk Waktu Luang dan Pariwisata: Panduan
Praktis.
London: Pitman.