Anda di halaman 1dari 26

MASAIL FIQIYAH KESEHATAN KONTEMPORER

Disusun Oleh:
Anjasya Wihasanu 2104026009
Ayu Tania Hidayati 2104026013
Diennisa Izzati Thahira 2104026024
Irawati 2104026047
Muthiah Rahmatil Haqque 2104026062

Kelompok/kelas: 12/A (Pagi)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF DR. HAMKA

JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berbagai permasalahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat, baik yang


menyangkut masalah ibadah, aqidah, ekonomi, sosial, pangan, kesehatan, dan
sebagainya seringkali meminta jawaban kepastiannya dari sudut hukum. Dalam
keadaan yang dimikian, maka berkembanglah salah satu disiplin ilmu yang
dinamakan ilmu Masail Al-fiqhiyah. Berbagai masalah yang dibicarakan dalam ilmu
ini biasanya amat menarik, unik dan sekaligus problematik. Hal demikian yang
terjadi, karena untuk menjawab berbagai masalah tersebut telah bermunculan
berbagai jawaban yang disebabkan karena latar belakang pendekatan dan sistem
pemecahan yang digunakan berbeda-beda.

Pada masa Nabi Muhammad SAW masih hidup, umat Islam dalam menghadapi
suatu persoalan langsung menanyakan pada Rasulullah dan langsung memberikan
jawaban, sehingga tidak ada masalah yang terlalu rumit untuk tidak dapat
diselesaikan karena segala sesuatu yang datang dari rosullah adalah wahyu yang haqq
dari Allah, sehingga tidak dapat diragukan lagi kebenarannya. Namun, semuanya
berubah setelah Rasulullah meninggal dunia dan mengakibatkan terputusnya wahyu,
sehingga para sahabat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang memerlukan
penjelasan hukumnya. Studi yang menyangkut berbagai masalah Fiqhiyah tersebut
berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat sebagai akibat dari kemajuan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Banyak hal yang dulu tidak ada kini
bermunculan yang selanjutnya menuntut jawaban dari segi hukum.

Karena dimikian dekatnya masalah hukum ini dengan kehidupan umat islam,
menyebabkan bidang kajian masalah ini sudah akrab dengan masyarakat.
Dibandingkan dengan bidang studi lainnya seperti Tafsir, Hadits, Ilmu Kalam, dan
sebagainya. Fiqihlah yang paling banyak dikenal dan amat popular di masyarakat
Indonesia. Ajaran agama Islam sangat sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu
perlu adanya upaya untuk mengaktualisasikan ajaran agama Islam dalam konteks
kekinian dan kemodernan, agar nilai-nilai Islam secara efektif, yang sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan dunia modern. Elastisitas dan fleksibilitas hukum islam
yang sering didengungkan makin dituntut pembuktiannya. Oleh karena itu, kajian
fiqih Islam mengenai berbagai persoalan (masail fiqhiyyah) yang dihadapi oleh
masyarakat modern merupakan kajian yang menarik dan aktual.
Dengan masalah yang sebagaimana dialami oleh masyarakat itulah peran
Masail Fiqhiyah untuk menjawab dari permasalahan tersebut. Maka dari itu perlu
diketahui sebelumnya tentang arti dari Masail Fiqhiyah itu sendiri, ruang lingkup
yang dikaji dan tujuan dari adanya disiplin ilmu Masail Fiqiyah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang KB, Vasektomi dan
Tubektomi?
2. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang Transplantasi?
3. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang Aborsi?
4. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang Bayi Tabung dan Kloning?
5. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang Bahan Obat Dari Organ
Manusia?
6. Bagaimana pandangan dan hukum islam tentang LGBT (Homo seksual dan
Lesbian)?
C. Tujuan

Untuk mengetahui masail fiqiyah kesehatan kontemporer, yaitu pandangan


dan hukum islam tentang KB, vasektomi dan tubektomi, transplantasi, aborsi, bayi
tabung dan cloning, bahan obat dari organ manusia, dan LGBT.

1.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masail Fiqhiyah
Kata Masail Fiqhiyah  (‫)المسا ئل الفقهية‬ secara etimologi berasal dari bahasa
dari bahasa Arab yang merupakan rangkaian dari dua lafazh,
yakni masail dan fiqhiyah. Hubungan dari kedua lafazh ini dalam nahwu disebut
hubungan shifah  dan maushuf, atau na’at dengan man’ut. Lafazh masail (

‫)مسلئل‬ adalah bentuk dari jama’ taksir dari mas’alah (‫)مسئلة‬ yang bermakna masalah


atau problem. Kata dasarnya adalah sa’ala (‫ئل‬LLLLL‫)س‬ dan bermakna
“bertanya”. Masail adalah masalah-masalah baru yang muncul akibat pertanyaan-
pertanyaan untuk dicari jawabannya.
Masail fiqhiyah menurut pengertian bahasa adalah permasalahan-
permasalahan baru yang bertalian dengan masalah-masalah atau jenis-jenis hukum
(fiqh) dan dicari jawabannya. Berdasarkan definisi secara kebahasaan di atas, maka
secara istilah, masail fiqhiyah adalah problem-problem hukum islam baru al-
waqi’iyyah (faktual) dan dipertanyakan oleh umat jawaban hukumnya karena secara
eksplisit permasalah tersebut tidak tertuang di dalam sumber-sumber hukum Islam. Ia
juga berarti persoalan hukum Islam yang selalu dihadapi oleh umat Islam sehingga
mereka beraktivitas dalam sehari-hari selalu bersikap dan berperilaku sesuai dengan
tuntunan Islam.
            Jadi masail fiqhiyah merupakan masalah-masalah baru yang muncul setelah
turunnya Al-quran dan hadits dan setelah wafatnya Rasulullah Saw yang belum ada
ketentuan hukum secara pasti, sehingga dalam mencari jawabannya memerlukan
kesepakatan para ulama dalam menentukan hukum yang diambil dari Al-quran,
hadits, ijma’, qiyas. Masail fiqhiyyah disebut juga masail fiqhiyyah al-
haditsah (persoalan hukum Islam yang baru), atau masail fiqhiyyah al-
ashriyyah (persoalan hukum Islam kontemporer).
B. KB, Vasektomi dan Tubektomi
KB (family planning) atau planned parenthood berarti pasangan suami istri
yang telah mempunyai perencanaan yang kongkret mengenai kapan anak-anaknya
diharapkan lahir agar setiap anaknya lahir disambut gembira dan syukur. Disamping
itu, pasangan suami-istri tersebut juga telah merencanakan berapa anak yang akan
dicita-citakan, yang disesuaikan dengan kemampuannya sendiri dan situasi kondisi
masyarakat serta negaranya. KB atau family planning dapat dipahami menjadi dua
yaitu:

1. KB sebagai suatu program nasional yang dijalankan pemerintah untuk


mengurangi populasi penduduk, karena diasumsikan pertumbuhan populasi
penduduk tidak seimbang dengan ketersediaan barang dan jasa. Dalam
pengertian ini KB pertama diistilahkan dengan tahdid al-nasl (pembatasan
kelahiran).
2. KB dapat dipahami sebagai aktivitas individual untuk mencegah kehamilan
(man’u al-hamli) dengan berbagai cara dan sarana (alat). Misalnya, dengan
kondom, IUD, pil KB, dan sebagainya. KB dalam pengertian ini diberi istilah
tanzhim al-nasl (pengaturan kelahiran).

Petunjuk yang perlu dilaksanakan dalam KB yaitu menjaga kesehatan istri,


mempertimbangkan kepentingan anak, dan memperhitungkan biaya hidup berumah
tangga. Dalam hadis Nabi diriwayatkan:

“Sesungguhnya lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan


berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban atau tanggungan orang
banyak”.

Dalam Alquran dan hadis tidak ada nash yang melarang atau memerintahkan
KB secara eksplisit, karena hukum ber-KB harus dikembalikan kepada kaidah hukum
Islam. Akan tetapi, dalam Alquran ada ayat-ayat yang berindikasi tentang
diperbolehkannya mengikuti program KB, yakni karena hal-hal berikut:

1. mengkhawatirkan keselamatan jiwa atau kesehatan ibu.


2. Mengkhawatirkan keselamatan agama
3. Mengkhawatirkan kesehatan atau pendidikan anak-anak bila jarak kelahiran anak
terlalu dekat.

Bahkan proteksi mudarat (dampak buruk) KB harus didahulukan daripada


mengambil manfaat dari KB itu sendiri. Pencegah kehamilan dan alat kontrasepsi
dapat digunakan jika ada sebab yang dibenarkan dalam syariat, maka dalam
menggunakannya harus diperhatikan beberapa hal berikut:

1. Sebelum menggunakan alat kontrasepsi atau obat anti hamil hendaknya


berkonsultasi dengan seorang dokter muslim yang dipercaya agamanya.
2. Pilihlah alat kontrasepsi yang tidak membahayakan kesehatan, atau minimal yang
lebih ringan efek samping-nya terhadap kesehatan.
3. Usahakanlah memilih alat kontrasepsi yang ketika memakai atau memasangnya
tidak mengharuskan terbukanya aurat besar (kemaluan dan dubur/anus) di
hadapan orang yang tidak berhak melihatnya, karena aurat besar wanita hukum
asalnya hanya boleh dilihat oleh suaminya. Akan tetapi, untuk alasan darurat dan
demi kemaslahatan yang lebih besar maka dapat dilihat oleh petugas kesehatan
yang ditunjuk secara resmi, dan petugasnya sedapat mungkin dari kalangan
perempuan.

Ada beberapa macam cara pencegahan kehamilan yang diperbolehkan oleh


syara’ yaitu menggunakan pil, suntikan, spiral, kondom, diafragma, dan tablet
vaginal. Cara ini diperbolehkan sepanjang tidak membahayakan nyawa sang ibu.
Cara ini dapat dikategorikan kepada azl yang tidak dipermasalahkan zaman Nabi
Saw. melakukan ‘azl, tetapi beliau tidak melarangnya”. Diamnya Nabi dianggap
bahwa ‘azl sebagai prihal yang dibolehkan. Ada juga cara pencegahan kehamilan
yang dilarang yaitu dengan cara merubah atau merusak organ tubuh yang
bersangkutan. Cara-cara yang termasuk kategori ini yaitu vasektomi, tubektomi,
aborsi. Hal ini tidak diperbolehkan, karena menentang tujuan pernikahan untuk
menghasilkan keturunan. Sebab, memperoleh keturunan yang sah pada prinsipnya
merupakan impian bagi setiap pasangan suami-istri. Selain tabiat manusia untuk
memiliki keturuan sebagai generasi penerus, memiliki keturunan juga merupakan
“investasi akhirat” jika dididik dengan baik kemudian menjadi anak yang saleh.
Namun, sebaliknya, jika tidak dididik lalu menjadi jelek prilakunya maka orangtua
juga ikut bertanggungjawab atas kelalaiannya dalam mengarahkan dan mendidik
anaknya. Di tangan orang tualah anak menjadi baik atau tidak. Tentu saja tidak
menafikan faktor lain yang menyebabkan anak menjadi baik atau tida, misalnya
kehendak dan takdir Tuhan. Akan tetapi orangtua mendapatkan amanah untuk
mendidiknya sehingga menjadi generasi yang saleh.

C. Transplantasi

Pencangkokan (transplantasi) ialah pemindahan organ tubuh yang mempunyai


daya hidup yang sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak
berfungsi dengan baik, yang apabila diobati dengan prosedur medis biasa, harapan
penderita untuk bertahan hidupnya tidak ada lagi. Terdapat beberapa tipe donor organ
tubuh, dan masing-masing tipe tersebut mempunyai permasalahan sendiri yaitu:

1. Donor dalam keadaan hidup sehat Tipe ini memerlukan seleksi yang cermat dan
general check up (pemeriksaan kesehatan yang lengkap), baik terhadap donor
maupun terhadap si penerima (resipien), demi menghindari kegagalan
transplantasi yang disebabkan oleh karena penolakan tubuh resipien, dan
sekaligus untuk mencegah resiko bagi donor.
2. Donor dalam keadaan koma atau diduga kuat akan meninggal segera. Untuk tipe
ini, pengambilan organ tubuh donor memerlukan alat kontrol dan penunjang
kehidupan, misalnya dengan bantuan alat pernafasan khusus. Kemudian alat-alat
penunjang kehidupan tersebut dicabut setelah selesai proses pengambilan organ
tubuhnya. Hanya saja, kriteria mati secara medis/klinis dan yuridis perlu
ditentukan dengan tegas dan tuntas. Apakah kriteria mati itu ditandai dengan
berhentinya denyut jantung dan pernafasan ataukah ditandai dengan berhentinya
fungsi otak. Penegasan kriteria mati secara klinis dan yuridis itu sangat penting
bagi dokter sebagai pegangan dalam menjalankan tugasnya, sehingga ia tidak
khawatir dituntut melakukan pembunuhan berencana oleh keluarga yang
bersangkutan sehubungan dengan praktek transplantasi itu.
3. Donor dalam keadaan mati
Tipe ini merupakan tipe yang ideal, sebab secara medis tinggal menunggu
penentuan kapan donor dianggap meninggal secara medis dan yuridis dan harus
diperhatikan pula daya tahan tubuh yang mau diambil untuk transplantasi.
Dilihat dari hubungan genetik antara donor dan resipien, ada 3 macam pencangkokan,
yaitu:
1. Auto transplantasi yaitu transplantasi dimana donor resipiennya satu individu.
Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan
daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi yaitu transplantasi donor dan resipiennya individu yang sama
jenisnya (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia).
3. Hetero transplantasi yaitu donor dan resipiennya dua individu yang berlainan
jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan
resipennya manusia.

Apabila pencangkokan mata (selaput bening mata atu kornea mata), ginjal
atau jantung dari donor dalam keadaan hidup sehat, maka Islam tidak membenarkan
dan haram hukumnya. Apabila pencangkokan mata, ginjal atau jantung dari donor
dalam keadaan koma atau hampir meninggal, maka Islam pun tidak mengizinkan
karena:

1. Hadits Nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Malik dari ‘Amar bin
Yahya, riwayat al-Hakim, al-Baihaqi dan al-Daruqutni dari Abu Sa’id al-Khudri,
dan riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shamit
“Tidak boleh membuat mudarat pada dirinya dan tidak boleh pula membuat
mudarat pada orang lain”. Misalnya orang yang mengambil organ tubuh dari
seorang donor yang belum mati secara klinis dan yuridis untuk transplantasi,
berarti ia membuat mudarat kepada donor yang berakibat mempercepat
kematiannya.
2. Manusia wajib berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya demi
mempertahankan hidupnya, tetapi hidup dan mati itu di tangan Allah. Karena itu,
manusia tidak boleh mencabut nyawanya sendiri (bunuh diri) atau mempercepat
kematian orang lain, sekalipun dilakukan oleh dokter dengan maksud untuk
mengurangi/menghentikan penderitaan pasien.
Apabila pencangkokan mata, ginjal atau jantung dari donor yang telah
meninggal secara yuridis dan klinis, maka Islam mengizinkan dengan syarat:

1. Resipien (penerima sumbangan donor) berada dalam keadaan darurat, yang


mengancam jiwanya, dan ia sudah menempuh pengobatan secara medis dan non-
medis, tetapi tidak berhasil.
2. Penerima donor hendaklah orang yang dapat dipercaya yaitu penerima hendaklah
mendekatkan diri pada Allah karena orang yang berwasiat dengan anggota
tubuhnya berharap agar penerima dapat menyempurnakan ibadah kepada Allah
SWT.
3. Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat
bagi resipien dibandingkan dengan keadaannya sebelum pencangkokan. Perlu
dipahami bahwa sebenarnya merusak jasad mayit merupakan tindakan yang tidak
bisa dibenarkan. Larangan ini semata-mata demi menjaga kemuliaan mayit.

Akan tetapi ketika dalam kondisi darurat karena keperluan yang mendesak,
para ulama berselisih pendapat:

1. Kalangan ulama Malikiyah, berpendapat bahwa dalam kondisi apapun tidak boleh
memakan daging manusia, sekalipun dia khawatir akan mati. Alasannya semata-
mata untuk memuliakannya.
2. Kalangan ulama Syafi’iyah, berpendapat bahwa boleh makan organ mayat
manusia selama tidak ditemukan makanan yang lain. Karena kemuliaan orang
hidup lebih utama dari kemuliaan yang mati.
3. Kalangan ulama Hanabilah, berpendapat bahwa dalam kondisi darurat, boleh
makan mayat manusia yang halal darahnya. Seperti orang murtad, kafir harbi dan
pezina muhshan. Ketika kondisi darurat, mayoritas ulama membolehkan
mengkonsumsi organ mayat manusia. Meskipun pada umumnya mereka
menentukan syarat-syarat yang cukup ketat. Kebolehan ini diberikan semata-mata
untuk memelihara jiwa dan kehormatan manusia (hifzh al-nafs). Agar resipien,
penderita penyakit yang mesti diatasi dengan transplantasi, bisa tetap hidup.
Adapun dalil-dalil syar’i yang dapat dijadikan dasar untuk membolehkan
pencangkokan mata, ginjal atau jantung, antara lain sebagai berikut:

1. Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 32: “Dan barangsiapa yang memelihara


kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia semuanya”. Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai
tindakan kemanusiaan yang dapat menyelamatkan jiwa manusia. Misalnya
seseorang yang menemukan bayi yang tidak berdosa yang dibuang di sampah,
wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya. Demikian pula seorang yang
dengan ikhlas hati mau menyumbangkan organ tubuhnya setelah ia meninggal,
maka Islam membolehkan, bahkan memandangnya sebagai amal perbuatan
kemanusiaan yang tinggi nilainya, karena menolong jiwa sesama manusia atau
membantu berfungsinya kembali organ tubuh sesamanya yang tidak berfungsi.
2. Hadits Nabi: Berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya
Allah tidak meletakkan suatu penyakit, kecuali Dia juga meletakkan obat
penyembuhannya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua. Hadits ini menunjukkan
bahwa umat Islam wajib berobat jika menderita sakit, apa pun macam
penyakitnya, sebab setiap penyakit merupakan berkah kasih sayang Allah, pasti
ada obat penyembuhnya, kecuali sakit tua.
3. Kaidah hukum Islam bahaya itu dilenyapkan/dihilangkan. Seorang yang
menderita sakit jantung atau ginjal yang sudah mencapai stadium yang gawat,
maka ia menghadapi bahaya maut sewaktu-waktu. Maka menurut kaidah hukum
di atas, bahaya maut itu harus ditanggulangi dengan usaha pengobatan. Dan jika
usaha pengobatan secara medis biasa tidak bisa menolong, maka demi
menyelamatkan jiwanya, pencangkokan jantung atau ginjal diperbolehkan karena
keadaan darurat.
4. Menurut hukum wasiat, keluarga orang meninggal wajib melaksanakan wasiat
orang yang meninggal mengenai hartanya dan apa yang bisa bermanfaat, baik
untuk kepentingan si mayat itu sendiri, kepentingan ahli waris dan nonahli waris,
maupun untuk kepentingan agama dan umum. Berhubung di donor organ tubuh
telah membuat wasiat untuk menyumbangkan organ tubuhnya untuk kepentingan
kemanusiaan, maka keluarga/ahli waris wajib membantu pelaksanaan wasiat di
mayat itu. Sebaliknya, apabila seseorang pada waktu hidupnya tidak
mendaftarkan dirinya sebagai donor organ tubuh dan ia tidak pula memberi wasiat
kepada keluarga/ahli warisnya untuk menyumbangkan organ tubuhnya apabila ia
nanti meninggal, maka keluarga/ahli warisnya tidak berhak mengizinkan
pengambilan organ tubuh si mayat untuk pencangkokan atau untuk penelitian
ilmiah dan sebagainya.
D. Aborsi

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa abortus adalah suatu perbuatan
untuk mengakhiri masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan
sebelum janin itu dapat hidup di luar kandungan seorang ibu. Abortus (pengguguran)
ada dua macam, yaitu:

1. Abortus spontan (spontaneous abortus) yiatu abortus yang tidak disengaja.


Abortus spontan bisa terjadi karena penyakit syphilis, kecelakaan, dan
sebagainya.
2. Abortus yang disengaja (abortus provocatus/induced proabortion). Abortus ini
dibagi lagi menjadi 2 macam yaitu:
a. Abortus artificialis therapicus, yakni abortus yang dilakukan oleh dokter atas
dasar indikasi medis. Misalnya jika kehamilan diteruskan bisa mengakibatkan
atau membahayakan jiwa si calon ibu.
b. Abortus provocatus criminalis, ialah abortus yang dilakukan tanpa dasar
indikasi medis. Seperti abortus yang dilakukan untuk meniadakan hasil
hubungan seks di luar perkawinan atau untuk mengakhiri kehamilan yang
tidak dikehendaki.

Pada KUHP pasal 299 (1) dijelaskan “barangsiapa dengan sengaja mengobati
seorang wanita atau menyuruhnya supaya diobati, dengan diberitahukan atau
ditimbulkan harapan bahwa dengan pengobatan itu dapat digugurkan kehamilannya,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak
tiga ribu rupiah”. Pasal 2 “bila yang bersalah buat demikian untuk mencari
keuntungan, atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pekerjaan atau kebiasaan
atau bila dia seorang tabib, bidan atau juru obat, maka pidananya dapat ditambah
sepertiga”. Dalam pasal 3 “jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut dalam
menjalankan pencarian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencarian itu”.

Kemudian pada pasal 346 dijelaskan, “seorang wanita yang sengaja


menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”. Pada pasal 347
menjelaskan pula, “barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun”. Pasal 2, “jika perbuatan itu mengakibatkan matinya
wanita tersebut diancam denga pidana penjara paling lama lima belas tahun”.
Selanjutnya, pada pasal 348 (1), “barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau
mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan”. Pada pasal 349 dijelaskan, “jika
seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan
pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam
mana kejahatan dilakukan”.

Apabila abortus dilakukan sebelum diberi nyawa/ ruh pada janin (embrio), yaitu
sebelum berumur 4 bulan, ada beberapa pendapat yang memperbolehkan yaitu,
Muhammad Ramli dalam Kitab al-Nihayah, dengan alasan belum ada makhluk yang
bernyawa. Adapula ulama yang memandangnya makruh, dengan alasan karena janin
sedang mengalami pertumbuhan. Disamping itu, ada pula ulama yang
mengharamkannya. Dikatakan oleh Imam Ghazali: “Bahwa melakukan pengguguran
kandungan merupakan tindak kejahatan terhadap bayi yang berada dalam
kandungan”.

Adapun mengenai pengguguran kandungan ini terdapat beberapa tingkatan yiatu:


1. Nutfah yang berada dalam rahim yang telah bercampur dengan indung telur
wanita dan siap untuk hidup, pengguguran terhadapnya dianggap sebagai tindak
kejahatan.
2. Nutfah tersebut telah menjadi segumpal darah lalu menjadi daging, pengguguran
terhadapnya merupakan kejahatan yang lebih besar.
3. Apabila telah ditiupkan ruh dan telah sempurna menjadi bayi, pengguguran
terhadapnya merupakan kejahatan yang nilainya jauh lebih besar.” Mahmud
Syaltut juga mempunyai pendapat yang sama dengan Imam Ghazali,
bahwasannya sejak bertemu sel sperma dengan ovum (sel telur), maka
pengguguran adalah suatu kejahatan dan haram hukumnya, sekalipun si janin
belum diberi nyawa, sebab sudah ada kehidupan pada kandungan yang sedang
mengalami pertumbuhan dan persiapan untuk menjadi manusia yang harus
dihormati dan dilindungi eksistensinya.

Makin jahat dan makin besar dosanya, apabila pengguguran dilakukan setelah
janin bernyawa, apalagi sangat besar dosanya kalau sampai dibunuh atau dibuang
bayi yang baru lahir dari kandungan.

ْ ‫ ِر‬O ‫ ْل ٰطنًا فَاَل ي ُْس‬O ‫ظلُوْ ًما فَقَ ْد َج َع ْلنَا ِل َولِي ِّٖه ُس‬
ٗ‫ ۗ ِل اِنَّه‬O‫ف فِّى ْالقَ ْت‬ ِّ ۗ ‫س الَّتِ ْي َح َّر َم هّٰللا ُ اِاَّل بِ ْال َح‬
ْ ‫ق َو َم ْن قُتِ َل َم‬ َ ‫َواَل تَ ْقتُلُوا النَّ ْف‬
‫َكانَ َم ْنصُوْ رًا‬

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya),


melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan siapa yang dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi
janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah
orang yang mendapatkan pertolongan.” (Q.S. Al-Isra/17: 33).

Apabila pengguguran itu dilakukan karena benar-benar terpaksa demi


melindungi/ menyelamatkan si ibu, maka Islam membolehkan, bahkan
mengharuskan. Islam tidak membenarkan tindakan menyelamatkan janin dengan
mengorbankan si calon ibu, karena eksistensi si ibu lebih diutamakan mengingat si
ibu merupakan tiang/sendi keluarga (rumah tangga) dan dia telah mempunyai
beberapa hak dan kewajiban, baik terhadap Tuhan maupun terhadap sesama makhluk.
Berbeda dengan si janin, ia belum mempuyai hak, seperti waris, dan juga belum
mempunyai kewajiban apapun.
E. Bayi Tabung dan Kloning

Dalam pandangan Islam, bayi tabung (inseminasi buatan) apabila dilakukan


dengan sel sperma dan ovum suami istri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke
dalam rahim wanita lain termasuk istrinya sendiri yang lain (bagi suami yang
berpoligami), maka Islam membenarkan, baik dengan cara mengambil sperma suami,
kemudian disuntikkan ke dalam vagina atau uterus istri maupun dengan cara
pembuahan dilakukan di luar rahim, kemudian buahnya (vertilized ovum) ditanam di
dalam rahim istri, asal keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar
memerlukan cara inseminasi buatan untuk memperoleh anak, karena dengan cara
pembuahan alami, suami istri tidak berhasil memperoleh anak. Hal ini sesuai dengan
kaidah hukum Fiqh Islam: “Hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) diperlakukan
seperti dalam keadaan terpaksa. Padahal keadaan darurat/terpaksa itu membolehkan
melakukan hal-hal yang terlarang”. Sebaliknya, kalau inseminasi buatan itu dilakukan
dengan bantuan, donor sperma dan atau ovum, maka diharamkan, dan hukumnya
sama dengan zina. Dan sebagai akibat hukumnya, anak hasil inseminasi tersebut tidak
sah dan nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yang melahirkannya.

“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di
daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-biak dan Kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan” (QS. Al-Isra’: 70).

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-


baiknya” (QS. at-Tîn [95]: 4).

‫واليَوْ ِم اآْل ِخ ِر أَ ْن يَ ْسقِ َي َما َءهُ زَ رْ َع َغي ِْر ِه‬


ْ ِ ‫ئ ي ُْؤ ِمنُ بِاهَّلل‬
ٍ ‫اَل يَ ِحلُّ اِل ْم ِر‬

“Tidak halal bagi seseorang yang beriman pada Allah dan hari akhir menyiramkan
airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain)”.

Jelaslah, bahwa masalah mengawini wanita hamil karena zina itu merupakan
masalah ijtihadiyah dan di kalangan ulama terdapat tiga pendapat. Menurut Masjfuk
Zuhdi, pendapat yang paling membawa maslahah bagi masyarakat Islam di Indonesia
ialah pendapat Abu Hanifah yang membolehkan seorang pria menikahi wanita hamil
karena zina dengan pria lain yang tidak mau bertanggung jawab, dengan catatan si
suami tidak boleh mensetubuhi si istri sebelum melahirkan berdasarkan beberapa
pertimbangan antara lain:

1. Fatwa hukum Abu Hanifah telah mengandung unsur hukuman yang besifat
edukatif dan kuratif terhadap wanita pelaku zina itu.
2. Untuk menjaga kehormatan anak yang tak berdosa yang lahir dari hubungan yang
tidak sah. Sebab semua anak lahir sebagai anak yang suci, tidak membawa dosa.
3. Untuk menutup aib (cela) pada keluarga wanita itu, sebab kehamilan si wanita
dan kelahiran anaknya tanpa mempunyai suami/bapak yang rsmi adalah sangat
tercela di masyarakat, sedangkan Islam menganjurkan orang mau menutup aib
orang lain.

Kita dapat memaklumi bahwa inseminasi buatan atau bayi tabung dengan donor
sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madharatnya daripada maslahatnya.
Maslahatnya adalah bisa membantu pasangan suami istri yang keduanya atau salah
satunya mandul atau ada hambatan alami pada suami dan/atau istri yang menghalangi
bertemunya sel sperma dengan sel telur. Misalnya karena saluran telurnya (tuba
falopi) terlalu sempit atau ejakulasi (pancaran sperma) terlalu lemah. Sedangkan
madharat inseminasi buatan atau bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain:

1. Percampuran nasab, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin


dan kemurnian nasab.
2. Bertentangan dengan sunnatullah atau hukum alam
3. Inseminasi pada hakikatnya sama dengan prostitusi/zina, karena terjadi
percampuran sperma dengan ovum tanpa perkawinan yang sah.

Mengenai status/anak hasil inseminasi dengan donor sperma dan/atau ovum


menurut hukum Islam adalah tidak sah dan statusnya sama dengan anak hasil
prostitusi. Pemerintah hendaknya melarang berdirinya bank sperma dan bank ovum
untuk pembuatan bayi tabung, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD
1945, juga bertentangan dengan norma agama dan moral, serta merendahkan harkat
manusia sejajar dengan hewan yang diinseminasi tanpa perlu adanya perkawinan.
Pemerintah hendaknya hanya mengizinkan dan melayani permintaan bayi tabung
dengan sel sperma dan ovum suami istri yang bersangkutan tanpa ditransfer ke dalam
rahim wanita lain (ibu titipan), dan pemerintah hendaknya juga melarang keras
dengan sanksi-sanksi hukumannya kepada dokter dan siapa saja yang melakukan
inseminasi buatan pada manusia dengan sperma dan/atau ovum donor.

F. Bahan Obat Dari Organ Manusia

Al-Allamah Ibn Manzhur berkata “al-Juz” berarti sebagian. Bentuk jamaknya


adalah “Ajza”. Dalam al-Mu’am al-Wasith dikatakan, “al-Juz” berarti bagian dari
sesuatu. Ia adalah sebuah bagian yang dijadikan untuk menyusun sesuatu bersama
bagian yang lain. Sedangkan al-Jism menurut Ibn Mansur, adalah kumpulan badan
atau anggota-anggota tubuh pada manusia, unta, hewan-hewan melata, dan jenis-jenis
makhluk lainnya. Jamaknya adalah Ajsam dan Jusum.  Ibn Mansur menambahkan,
adapun al-Basyari dinisbatkan kepada lafal al-Basyar yang berarti manusia. Bentuk
ini lanjutnya lagi, berlaku untuk pola tunggal dan jamak, serta untuk pola mudzakkar
(laki-laki) dan muannats (perempuan). Terkadang dibuat menjadi pola musanna (dua
orang) dan terkadang dijamakkan menjadi Absyar. Kata Juz’ al-Jism al-Basyari
(organ tubuh manusia) sebagaimana yang dikutip oleh Musttafa Yaqub dari Ibn
Manzur, adalah setiap potongan atau bagian yang terpisah dari tubuh manusia atau
jasadnya, baik laki-laki maupun perempuan, muslim atau kafir, dan terpisahnya organ
itu, baik ketika manusia itu masih hidup, maupun sesudah meninggal dunia. Bahkan
sebagian orang berpendapat bahwa beberapa organ tubuh manusia dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan pangan, obat, dan kosmetika serta keperluan
tertentu, seperti adonan roti, dan lain sebagainya.

Plasenta atau ari-ari memiliki fungsi utama untuk mengusahakan janin tumbuh
dengan baik. Hal itu terjadi melalui pemenuhan nutrisi yang berupa asam amino,
vitamin, mineral maupun hasil pemecahan karbohidrat dan lemak yang diasup dari
ibu ke janin. Sebaliknya, zat hasil metabolisme dikeluarkan dari janin ke darah ibu
yang juga melalui plasenta. Plasenta juga berfungsi sebagai alat respirasi yang
memberi zat asam dan mengeluarkan karbondioksida. Selain itu, plasenta merupakan
hormon, khususnya hormon korionik gonadotropin, korionik samato, mammotropin
(plasenta lactogen), estrogen maupun progesteron serta hormon lainnya yang masih
dalam penelitian.

Plasenta yang sering digunakan untuk kosmetika atau produk kesehatan


tersebut dapat berasal dari plasenta hewan (kambing, sapi, dan lain-lain) atau dari
plasenta manusia. Yang paling banyak digunakan justru plasenta manusia yang
banyak terdapat di rumah sakit atau rumah bersalin. Penggunaan organ tubuh
manusia ini bukan hanya terjadi di luar negeri, tapi juga sudah dikembangkan di
tanah air.  Meski kebanyakan bukan untuk produk pangan, akan tetapi penggunaan
organ tubuh atau setidak-tidaknya bagian dari kehidupan manusia ini menimbulkan
pro dan kontra. Selain itu, dari segi peradaban, yang lebih penting bagi umat Islam
adalah halal atau tidaknya penggunaan plasenta atau organ tubuh lain dari manusia. 

Gennady Malakhov, terkenal sebagai penganut terapi urine di Rusia,


mengatakan bahwa kita harus menggunakan sejumlah air seni hampir setiap hari yang
baik untuk pemulihan kesehatan. Dia menawarkan untuk minum air kencing dan
menggunakannya untuk rubdowns dan enemas. Para pengguna terapi ini, mengatakan
bahwa hal ini dapat menjadi obat mujarab dalam perawatan usus, ginjal dan penyakit
hati. Sains modern tidak memiliki fakta untuk membuktikan efek positif dari terapi
urine. Beberapa orang berkata bahwa penyembuhan dapat dicapai sebagai akibat dari
efek placebo. Lain menggambarkan urine terapi sebagai contoh dari terapi hormon.
Satu hal yang dikenal pasti: jika ada infeksi di urine, bisa mendapatkan satu penyakit
lain ketika mereka menggunakan air kencing medis di tujuan. Ada banyak kejadian,
terinfeksi dengan gonococcal conjunctivitis setelah air seni mereka digunakan untuk
mencuci mata mereka. Dahulu kala, orang menggunakan air seni untuk luka bakar.

Adapun dari tinjauan syari’ah para ulama telah bersepakat bahwa muntah, air
kencing dan kotoran manusia adalah najis kecuali jika muntah itu hanya sedikit maka
dimaafkan atau air kencing bayi laki-laki yang hanya meminum air susu sehingga
cara membersihkannya hanya dengan memercikkan air ke atasnya. Dengan demikian
air kencing manusia tidak boleh digunakan untuk pengobatan suatu penyakit baik
dengan cara diminum atau dioleskan kecuali pernyataan dokter muslim yang bisa
dipercaya atau ketika tidak ada lagi obat yang suci yang bisa dipakai untuk mengobati
penyakit tersebut, sebagaimana disebutkan oleh al ‘Izz Abdus Salam. “Diperbolehkan
pengobatan dengan menggunakan sesuatu yang najis apabila tidak ada lagi obat yang
suci untuk mengobatinya. Hal itu dikarenakan kemaslahatan kesehatan dan
keselamatan lebih diutamakan daripada kemaslahatan menjauhi sesuatu yang
diharamkan. Para ulama mengatakan bahwa pengobatan dengan sesuatu yang najis
tidak diperbolehkan kecuali darurat (terpaksa). Adapun ketika dalam keadaan banyak
pilihan, banyak tersedia obat yang halal maka hal itu tidaklah dibolehkan namun MUI
dalam hal ini telah mempertegas akan keharaman menggunkan organ tubuh manusia
sebagai obat-obatan. Dalam fatwa yang diputuskan pada tanggal 30 juli tahun 2000
tersebut mengatakan, bahwa segala macam bentuk obat-obatan yang terbuat dari
organ tubuh manusia hukumnya haram.

G. LGBT (Homo seksual dan Lesbian)

Homoseksual dan Lesbian Homoseksual adalah hubungan seksual antara orang-


orang yang sama kelaminnya, baik sesama pria maupun sesama wanita. Namun
biasanya istilah homosex itu dipakai untuk seks antar-pria; sedangkan lesbian (female
homosex) dipakai untuk seks antar-wanita. Lawan dari homosex adalah heterosex,
artinya hubungan seksual antara orang-orang yang berbeda kelaminnya (seorang pria
dengan seorang wanita).

Homoseksual (liwath) dilakukan dengan cara memasukkan penis (dzakar) ke


dalam anus (dubur); sedangkan lesbian dilakukan dengan cara melakukan masturbasi
satu sama lain atau dengan cara lainnya untuk mendapatkan orgasme atau puncak
kenikmatan (climax of the sex act). Dalam perspektif sejarah, hal ini sudah pernah
terjadi yaitu pada zaman Nabi Luth as., dimana al-Qur’an menceritakan kaum Nabi
Luth as. sebagai kaum yang terkenal memiliki sifat-sifat homoseksual. Mereka tidak
mau mengawini perempuan, kecuali sangat gemar melakukan hubungan seks dengan
sesama laki-laki. Ketika Nabi Luth as. menawarkan beberapa orang perempuan cantik
untuk dikawininya, maka mereka menolaknya dengan mengatakan: “Kami sama
sekali tidak menginginkan perempuan, karena kami sudah memiliki pasangan hidup
yang lebih baik, yaitu laki-laki yang berfungsi sebagai teman hidup yang dapat
membantu kelangsungan hidup kami, ia pun bisa digunakan untuk melampiaskan
nafsu seksual”. Oleh karena itu, ketika Nabi Luth as. didampingi oleh para malaikat
utusan Allah yang bertampan pemuda rupawan, maka ia merasa cemas karena
dikiranya bahwa mereka adalah manusia biasa yang menemuinya.

Terdapat beberapa ayat al-Qur’an yang menerangkan “Mengapa kamu


mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang
dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui
batas” Perbuatan kaum homo, baik seks antar sesama pria (homoseksual) maupun
seks antar sesama wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) yang dapat
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun menurut hukum pidana di
Indonesia (pasal 292 KUHP).

Menurut hukum fiqh jinayah (Hukum Pidana Islam), homoseksual termasuk


dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama, norma susila, dan
bertentangan dengan sunna tullah dan fitrah manusia. Sebab Allah menjadikan
manusia terdiri dari pria dan wanita adalah agar berpasang-pasangan sebagai suami
istri untuk mendapatkan keturunan yang sah dan untuk memperoleh ketenangan dan
kasih sayang. Homoseks ini akan membawa pengaruh yang negatif terhadap
kesehatan jiwa dan akhlak. Pengaruh tersebut antara lain terjadinya kegoncangan
jiwa, depresi mental, pengaruh terhadap akhlak sanga berbahaya karena tidak dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, dan akan menimbulkan suatu
sindrom atau himpunan-himpunan gejala-gejala penyakit mental yang disebut
herastenia.

Menurut Muhammad Rashfi dalam kitabnya al-Islam wa al-Thib, sebagaimana


yang dikutip oleh Sayid Sabiq bahwa Islam melarang keras homosex, karena
mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat antara
lain sebagai berikut:
1. Tidak tertarik kepada wanita, tetapi justru tertarik kepada pria sama kelaminnya.
Akibatnya kalau di homo itu kawin, maka istrinya menjadi korban, karena
suaminya bisa tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai suami, dan si istri
hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang serta tidak mendapatkan keturunan.
2. Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesama kelamin, tidak stabil jiwanya,
dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria pasangan si homo.
3. Gangguan saraf otak, yang akibatnya bisa melemahkan daya pikiran dan
semangat atau kemauannya.
4. Penyakit AIDS, yang menyebabkan penderitanya kehilangan atau kekurangan
daya ketahanan tubuhnya.
5. Para ahli hukum fiqh sekalipun telah sepakat mengharamkan homosex, tetapi
mereka berbeda pendapat dalam menetapkan hukumannya. Pendapat pertama,
Imam Syafi’i, pasangan homosex dihukum mati, berdasarkan hadits Nabi
Mengenai perbuatan lesbian atau sahaq, para ahli fiqh juga sepakat
mengharamkannya, berdasarkan hadits Nabi:
“Janganlah pria melihat aurat pria lain dan jangalah wanita melihat aurat wanita
lain dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain di bawah sehelai
selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain di bawah
sehelai selimut/kain.”

Menurut Sayid Sabiq, lesbian ini dihukum ta’zir, suatu hukuman yang macam
dan berat ringannya diserahkan kepada pengadilan. Jadi hukumannya lebih ringan
daripada homoseksual, karena bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan
dengan bahaya homoseksual, karena lesbian itu bersentuhan langsung tanpa
memasukkan alat kelaminnya; seperti halnya seorang pria bersentuhan langsung
(pacaran) dengan wanita bukan istrinya tanpa memasukkan penisnya ke dalam
vagina. Perbuatan semacam ini tetap haram, sekalipun bukan zina, tetapi dapat
dikenakan hukuman ta’zir seperti lesbian di atas.
Dalam uraiannya, Mahjuddin menyimpulkan bahwa ganjaran hukum pelaku dan
orang yang dikumpuli oleh homoseksual dan lesbian, menjadi tiga kalasifikasi
pendapat, yaitu:

1. Memberikan ganjaran hukuman bagi pelaku homoseksual dan lesbian bersama-


sama orang yang dikumpulinya, dengan hukuman rajam bila ia sudah pernah
kawin; dan hukuman dera seratus kali bila ia belum pernah kawin. Atau
memberikan hukuman dengan mengasingkan selama setahun bagi pelaku
homoseksual dan lesbian, bersama dengan orang-orang yang dikumpulinya, baik
ia telah kawin maupun belum kawin. Pendapat ini dianut oleh segolongan ulama
hukum Islam, yang menganggap dirinya mengikuti pendapat Imam Syafi’i.
2. Memberikan ganjaran hukuman bagi pelaku homoseksual dan lesbian bersama
dengan orang-orang yang dikumpulinya, dengan hukuman rajam; meskipun ia
belum pernah kawin. Pendapat ini dianut oleh segolongan ulama hukum Islam
yang menganggap dirinya mengikuti pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad ibn
Hanbal.
3. Memberikan ganjaran hukuman bagi pelaku homoseksual dan lesbian beserta
orang-orang yang dikumpulinya dengan hukuman mati, baik ia sudah pernah
kawin maupun belum.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Isu Fiqh kontemporer yaitu akibat adanya arus modernisasi yang meliputi
hampir sebagian besar Negara-Negara yang dihuni oleh mayoritas umat islam.
Modernisasi tersebut melahirkan berbagai macam bentuk perubahan baik secara
struktural maupun kultural. Al-Qur’an tentunya tidak mengalami perubahan, tetapi
pemahaman dan penerapannya dapat disesuaikan dengan konteks perkembangan
zaman. Karena perubahan sosial merupakan suatu proses kemasyarakatan yang
berjalan secara terus menerus, maka perubahan penerapan dan pemahaman ajaran
islam juga harus bersifat kontinu sepanjang zaman.
Dengan demikian islam akan tetap relevan dan aktual, serta mampu menjawab
tantangan modernitas. Ruang lingkup fiqh kontemporer meliputi aspek hukum
keluarga, aspek ekonomi, aspek pidana, aspek kewanitaan, aspek medis, aspek
teknologi, aspek politik (kenegaraan), dan aspek yang berkaitan dengan pelaksanaan
ibadah.
DAFTAR PUSTAKA
Fanani R. 2017. Wasiat Organ Tubuh Studi Komparatif (Muhammadiyah dan
Nahdatul Ulama). Skripsi. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Yogyakarta.
Hasan, M. Ali. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kamal, Musthafa. 2002. Fiqih Islam. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Kutbuddin Aibak. 2017. Kajian Fiqh Kontemporer Edisi Revisi. Kalimedia. Depok
Sleman Yogyakarta. ISBN: 978-602-6827-21-0
Syaukani, al-. Luthfi. 1998. Politik, HAM dan Isu-isu Fiqih Kontemporer. Bandung:
Pustaka Hidayah.
Umran, Abdurrahman. 1997. Islam dan KB. Jakarta: PT Lentera Basritama.
Zuhdi, Masjfuk.1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: PT Toko Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai