Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN

TRAUMA KEPALA

1.1. Konsep Penyakit Trauma


1.1.1 Definisi
         Trauma kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai
atau tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti
terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit
kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik
secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi &
Yuliani, 2011).
Trauma kepala adalah adanya defortasi berupa penyimpangan
bentuk atau penyimpangan garis pada tulang tengkorak, percepatan
dan perlambatan yang merupakan perubahan bentuk dipengaruhi oleh
perubahan peningkatan pada percepatan factor dan penurunan
kecepatan, serta notasi yaitu pergerakan pada kepala dirasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan
(Musliha, 2010).
Trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena
trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis
terjadi karena robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa
karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak
(Batticaca, 2008).
          Berdasarkan defenisi trauma kepala diatas maka penulis dapat
menarik suatu kesimpulan bahwa trauma kepala adalah suatu trauma
yang disebabkan oleh trauma benda tajam maupun benda tumpul yang
menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan jaringan otak yang
disertai atau tanpa pendarahan.

1
2

1.1.2 Etiologi
Menurut Corwin, (2011) penyebab dari trauma kepala adalah
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan trauma olah raga. Trauma
kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau.
Kecelakaan seperti jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau
sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan
ketergantungan, dan dapat terjadi pada anak yang trauma akibat
kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2011).
Menurut Nizami, (2014). Trauma kepala dapat disebabkan karena
beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.
c. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
d. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

1.1.3 Patofisiologi
Menurut Nizami (2014) Patofisiologis dari trauma kepala
traumatik dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan
yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk
sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang
terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita trauma
kepala traumatik berat.
3

1.1.3.1 Proses Primer


Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi.
Trauma primer biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus
(jejas akson difus).Proses ini adalah kerusakan otak tahap awal
yang diakibatkan oleh benturan mekanik pada kepala, derajat
kerusakan tergantung pada kuat dan arah benturan, kondisi
kepala yang bergerak diam, percepatan dan perlambatan gerak
kepala. Proses primer menyebabkan fraktur tengkorak,
perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf
dan kematian langsung pada daerah yang terkena.
1.1.3.2`Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma
menyusul kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab
sistemik dari intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik,
hipoksia dan hipotensi merupakan gangguan yang paling
berarti. Hipotensi menurunnya tekanan perfusi otak sehingga
mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak. Perluasan
kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-
bahan neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses
primer atau sekunder akan menimbulkan gejala-gejala
neurologis yang tergantung lokasi kerusakan.
Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian
belakang lobus frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada
sisi lain. Gejala-gejala kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan
ditemui setelah penderita sadar. Pada kerusakan lobus oksipital
akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit pada sisi yang
berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan timbulnya
seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.
Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita
trauma kepala disebabkan adanya kerusakan di daerah
4

hipotalamus. Kerusakan dibagian depan hipotalamus akan


terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat timbulnya
edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium
dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma
tampaknya disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari
daerah belakang hipotalamus yang berhubungan dengan
hipofisis.
Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan
dikeluarkan melalui urine dalam jumlah berlebihan sehingga
keseimbangannya menjadi negatif. Hiperglikemi dan glikosuria
yang timbul juga disebabkan keadaan perangsangan pusat-
pusat yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat didalam
batang otak.
Batang otak dapat mengalami kerusakan langsung karena
benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi akut pada
sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah
atau karena penekanan oleh herniasi unkus.
Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum
yang terjadi pada lesi tranversal dibawah nukleus nervus
statoakustikus, regiditas deserebrasi pada lesi tranversal
setinggi nukleus rubber, lengan dan tungkai kaku dalam sikap
ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi pada siku  terjadi
bila hubungan batang otak dengan korteks serebri terputus.
Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion
basal. Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-
traktus panjang menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas
dangkal tak teratur yang dijumpai pada kerusakan medula
oblongata akan menimbulkan timbulnya Asidesil. Nafas yang
cepat dan dalam yang terjadi pada gangguan setinggi
diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi respiratorik.
5

Gambar 1.1 fathway trauma kepala

Cidera kepala

Cidera otak primer Cidera otak sekunder Respon biologis

Kerusakan sel otak meningkat

Gangguan autoregulasi Meningkatnya rangsangan simpatis Stress

Aliran drh keotak menurun Tahanan vaskuler sistemik meningkat Katekolamin meningkat
Dan TD meningkat dan sekresi asam lmbung

Gangguan O2 Menurun Tekanan Pemblh drh pulmonal Mual, muntah


Metabolisme menurun

Asam laktat meningkat Tekanan hidrostatik meningkat

Oedema otak Kebocoran cairan kapiler Resti Kekurangan volume cairan

Gangguan perfusi jaringan Oedema paru Cardiak out put Gangguan perfusi jargn
cerebral

Difusi O2 terhambat

Gangguan pola nafas

Hipoksemia, hiperkapnea

1.1.4 Manifestasi Klinis


Menurut Brunner & Suddarth (2002). Manifestasi klinis trauma kepala
secara umum adalah :
a. Penurunan kesadaran
b. Keabnormalan pada sistem pernafasan
c. Penurunan reflek pupil, reflek kornea
d. Penurunan fungsi neurologis secara cepat
e. Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, bradikardi, takikardi,hipotermi, atau hipertermi)
6

f. Pusing, vertigo
g. Mual dan muntah
h. Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik amnesia
i. Kejang
Menurut Huddak, (2006) Klasifikasi cidera kepala berdasarkan nilai
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu :
a. Trauma kepala Ringan (CKR)
- GCS 13-15
- Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b. Trauma Kepala Sedang (CKS)
- GCS 9-12
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang
dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Trauma Kepala Berat (CKB)
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
- Juga meliputi kontusio cerebral, leserasi, atau hematoma
intracranial

1.1.5 Komplikasi
a. Kerusakan saraf cranial
1. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
2. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
trauma (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
7

dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,


dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah trauma yang
mengakibatkan kebutaan, tarjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
3. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
4. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat trauma berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
5. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya
trauma yang berat pada salah satu organtersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
b. Disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk
memahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit
system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan
yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah
komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia
kecuali speech therapy.
c. Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
8

pyramidal  di korteks, subkorteks, atau di batang otak.


Penyebabnya berkaitan dengan trauma kepala adalah perdarahan
otak, empiema subdural, dan herniasi transtentorial.
d. Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita trauma kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
e. Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya
disebabkan oleh trauma pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa
bising pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop,  proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan
penurunanvisus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata.
f. Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah,
analisa gas darah.
b. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi,
perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
9

c. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras


radioaktif.
d. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
e. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent
Tengkorak maupun thorak.
f. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
g. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
h. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi  keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

1.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik trauma kepala yang utama adalah
mencegah terjadinya trauma otak sekunder. Trauma otak sekunder
disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau
oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2010).
Penatalaksanaan umum adalah:
a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
10

b. Therapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi


vasodilatasi.
c. Pemberian analgetika
d. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol
20% atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
e. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
f. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-
muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa
5%, aminofusin, aminofel (18 jam pertama dan terjadinya
kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak
cairan. Dextrosa 5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8
jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8 jam ketiga. Pada hari
selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt
(2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.

Tindakan terhadap peningktatan TIK yaitu:


a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenisasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peningkatan kepala tempat tidur
f. Bedah neuro.

Tindakan pendukung lain yaitu:


a. Dukungan ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
d. Terapi anti konvulsan
e. Klorpromazin untuk menenangkan klien
f. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).
11

1.2 Konsep Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


1.2.1 Definisi
Keperawatan gawat darurat adalah pelayanan profesioanal
keperawatan yang di berikan pada pasien dengan kebutuhan urgen dan
kritis. Namun IGD dan klinik kedaruratan sering di gunakan untuk
masalah yang tidak urgen. Yang kemudian filosopi tentang
keperawatan gawat darurat menjadi luas, kedaruratan yaitu apapun
yang di alami pasien atau keluarga harus di pertimbangkan sebagai
kedaruratan (Margaretha, 2013).
1.2.2 Sistem Pelayanan Gawat Darurat
Pelayanan gawat darurat tidak hanya memberikan pelayanan
untuk mengatasi kondisi kedaruratan yang di alami pasien tetapi juga
memberikan asukan keperawatan untuk mengatasi kecemasan pasien
dan keluarga.
Sistem pelayanan bersifat darurat sehingga perawat dan tenaga
medis lainnya harus memiliki kemampuan, keterampilan, tehnik serta
ilmu pengetahuan yang tinggi dalam memberikan pertolongan
kedaruratan kepada pesien (Margaretha, 2013).
1.2.3 Triage Dalam Keperawatan Gawat Darurat
Yaitu skenario pertolongan yang akan di berikan sesudah fase
keadaan pasien. Pasien-pasien yang terancam hidupnya harus di beri
prioritas utama. Triage dalam keperawatan gawat derurat di gunakan
untuk mengklasifikasian keparahan penyakit atau cidera dan
menetapkan prioritas kebutuhan penggunaan petugas perawatan
kesehatan yang efisien dan sumber-sumbernya.
Standart waktu yang di perlukan untuk melakukan triase adalah
2-5 menit untuk orang dewasa dan 7 menit untuk pasien anak-anak
(Margaretha, 2013).
12

a. Sistem Triase
1. Spot check
Sekitar 25% UGD menggunakan sistem ini, perawat
mengkaji dan mengklasifikasikan pasien dalam waktu 2-3 menit.
Sisten ini memungkinkan identifikasi segera.
2. Komprehensif
Merupakan triase dasar yang standart di gunakan. Dan di
dukung oleh ENA (Emergenci Nurse Association) meliputi: A
(Airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Dissability of
Neurity), E (Ekspose), F (Full-set of Vital sign), Pulse Oximetry.
3. Trise two-tier
Sistem ini memerlukan orang kedua yang bertindak sebagai
penolong kedua yang bertugas, untuk di lakukan pengkajian lebih
rinci.
4. Triase Expanded
Sistem ini dapat di tambahkan ke sistem komprohensif dan
two-tier mencakup protokol penanganan
5. Triase Bedside
Pasien dalam sistem ini tidak di klasifikasikan triasenya,
langsung di tangani oleh perawat yang bertugas, cepat tanpa
perlu menunggu antri.
b. Klasifikasi Triase
1. Merah (Emergent)
Yaitu korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera. Yaitu
kondisi yang mengancam kehidupan dan memerlukan perhatian
segera.
2. Kuning (Urgent)
Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi
perawatan dapat di tunda sementara. Kondisi yang merupakan
masalah medis yang disignifikan dan memerlukan penata
laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini masih
stabil.
13

3. Hijau (Non urgent)


Yaitu kelompok korban yang tidak memerlukan pengobatan atau
pemberian pengobatan dapat di tunda. Penyakit atau cidera minor
4. Hitam (Expectant)
Korban yang meninggal bunia atau yang berpotensi untuk
meninggal dunia
1.2.4 Karakteristik Pelayanan Keperawatan Di Unit Gawat Darurat
a. Kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi: kondisi klien,
jumlah klien dan klg yang datang
b. Kecemasan tinggi atau panik dari klien dan keluarga
c. Keterbatasan sumber daya dan waktu
d. Pengkajian, diagnosis, dan tindakan keperawatan diberikan untuk
seluruh usia, dengan data dasar yang sangat terbatas
e. Jenis tindakan yang diberikan: tindakan yang memerlukan
kecepatan dan ketepatan yang tinggi
f. Adanya saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan
yang bekerja di ruang gawat darurat
1.2.5 Prinsip Umum Asuhan Keperawatan
a. Menerapkan prinsip universal precaution dan asuhan yang aman
untuk klien
b. Cepat dan tepat
c. Tindakan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah fisik dan
psikososial klien.
d. Monitoring kondisi klien
e. Penjelasan dan pendidikan kesehatan
f. Asuhan diberikan menyeluruh (triase, proses resusitasi, stabilisasi,
kematian, dan penanganan bencana)
g. Sistem dokumentasi dapat digunakan secara mudah, cepat dan tepat
h. Aspek etik dan legal keperawatan perlu dijaga

 
14

1.3 Asuhan Keperawatan Pada Pasien Trauma


1.3.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses
keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang
masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap
tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi,
golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada saat pasien masuk rumah
sakit.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
trauma, yang nantinya membantu dalam membuat rencana
tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini didapatkan dari pengalaman pasien
mengalami kondisi yang pernah dialami, imunisasi, kecelakaan
yang pernah dialami dan lain-lain.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit pasien
sekarang ini, seperti diabetes, hipertensi, sistem perkemihan dan
lain-lain yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta
15

respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik


dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
g. Riwayat Spiritual
Kaji ketaatan pasien dalam beribadah, kegiatan ibadah pasien
sebelum sakit.
2. Pengkajian keperawatan meliputi
a. Breathing
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau
Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing
(kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan
produksi sputum pada jalan napas.
b. Blood
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia)
c. Brain
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope,
tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila
perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi
gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori).
16

2. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,


kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
4. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
d. Bladder
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi.
f. Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena
rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan
refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus
otot.

1.3.2 Perumusan Diagnosa Keperawatan


1. Pengertian
Diagnosa keperawatan adalah keputusan klinik tentang respon
individu, keluarga dan masyarakat tentang masalah kesehatan actual
atau potensial, sebagai dasar seleksi intervensi keperawatan untuk
17

mencapai tujuan asuhan keperawatan atau sesuai dengan


kewenangan perawat, semua diagnose keperawatan harus didukung
oleh data (Nursalam, 2001).
2. Tujuan Pencatatan Diagnosa Keperawatan
a.  Menyediakan definisi yang tepat dalam memahami kebutuhan
klien bagi semua anggota tim pelayanan kesehatan.
b. Memungkinkan perawat untuk mengkomunikasikan apa yang
mereka lakukan sendiri, dengan profesi pelayanan kesehatan
yang lain.
c. Membedakan peran perawat dari dokter atau penyelenggara
pelayanan kesehatan lain.
d. Membantu perawat berfokus pada bidang praktik keperawatan.
e. Membantu mengembangkan pengetahuan keperawatan.
3. Tipologi diagnosa keperawatan
Tipologi diagnosa keperawatan menurut Gusti, (2013) meliputi :
a. Diagnosa aktual adalah masalah keperawatan yang sedang
dialami oleh keluarga dan memerlukan bantuan dari perawat
dengan cepat.
b. Diagnosa resiko atau resiko tinggi adalah masalah keperawatan
yang belum terjadi, tetapi tanda untuk menjadi masalah
keperawatan aktual dapat terjadi cepat apabila tidak segera
mendapat bantuan perawat.
c. Diagnosa potensial adalah suatu keadaan sejahtera dari keluarga
ketika keluarga telah mampu memenuhi kebutuhan
kesehatannya dan mempunyai sumber penunjang kesehatan
yang memungkinkan dapat ditingkatkan.
Beberapa diagnosa keperawatan pada pasien dengan Trauma
menurut Doenges, Moorhouse dan Geissler (2000) adalah sebagai
berikut :
1. Ketidakefektipan jalan nafas berhubungan dengan akumulasi skresi
dan sumbatan jalan nafas
18

2. Kerusakan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan adanya


edema serebri atau trauma kepala
3. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
perdarahan
4. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan dan
kekurangan nutrisi

1.3.3 Perencanaan
1. Pengertian
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang
diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Secara tradisional,
rencana keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan
tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi
(Moraira, 2011).
2. Tujuan Perencanaan
a. Tujuan Administratif
1. Untuk mengidentifikasi focus keperawatan kepada klien atau
kelompok
2. Untuk membedakan tanggungjawab perawat dengan profesi
kesehatan lainnya
3. Untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan
evaluasi keperawatan
4. Untuk menyediakan kriteria klasifikasi klien
b. Tujuan Klinik
1. Menyediakan suatu pedoman dalam penulisan
2. Mengkomunikasikan dengan staf perawat apa yang diajarkan,
apa yang diobservasi, dan apa yang dilaksanakan
3. Menyediakan kriteria hasil sebagai pengulangan dan evaluasi
keperawatan
19

4. Rencana tindakan yang spesifik secara langsung bagi


individu, Keluarga, dan tenaga kesehatan lainnya untuk
melaksanakan tindakan.
3. Langkah Membuat Perencanaan Perawatan
Persiapan Perencanaan Perawatan secara umum yang
persiapan untuk melakukan perencanaan perawatan, terutama:
a. Definisikan perencanaan, tujuan maupun batasan perencanaan.
b. Kumpulan informasi dan data yang diperlukan.
c. Identifikasi kebutuhan tenaga kerja, material, spare parts, tools,
special tools.
d. Identifikasi laporan stock.
e. Identifikasi berbagai toleransi yang diperlukan.
4. Contoh Intervensi Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
No Intervensi Dx 1 Rasionalisasi
1. Pantau frekuensi, irama, kedalaman Perubahan yang terjadi dari hasil
pernapasan. pengkajian berguna, menunjukkan
adanya komplikasi pulmonal dan
luasnya bagian otak yang terkena.
2. Catat kompetensi refleks menelan Kemampuan memobilisasi atau
dan kemampuan klien untuk membersihkan sekresi penting untuk
melindungi jalan napas sendiri. pemeliharaan jalan napas.
3. Lakukan sekcion, jangan lebih dari Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
15 detik. Catat karakter, warna dan klien koma atau dalam keadaan
kekeruhan dari sekret. imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan napasnya sendiri.
4. Auskultasi suara napas. Untuk mengidentifikasi adanya
masalah paru seperti obstruksi jalan
napas yang membahayakan
oksigenasi serebral
5. Kolaborasi berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah
arteri dan membantu dalam
pencegahan hipoksia.
Intervensi Dx 2 Rasionalisasi
1. Observasi status neurologis Hasil dari pengkajian dapat diketahui
20

secara dini adanya tanda-tanda PTIK


sehingga dapat menentukan arah
tindakan selanjutnya. Kecenderungan
terjadinya penurunan nilai GCS
menandakan adanya peningkatan
tekanan intracranial dari normal 0-15
mmHg.
2. Monitor TTV (TD, nadi, RR, suhu) dapat mendeteksi secara dini tanda-
minimal setiap jam sampai tanda peningkatan TIK.
keadaan klien stabil.
3. Naikkan kepala dengan sudut 15- Dengan posisi kepala 15–450 dari
450 (tidak hiperekstensi dan badan dan kaki maka akan
fleksi) dan posisi netral. meningkatkan dan melancarkan aliran
balik darah vena kepala sehingga
mengurangi kongesti serebrum,
edema dan mencegah terjadinya
peningkatan TIK. Posisi netral tanpa
hiperekstensi dan fleksi dapat
mencegah penekanan pada saraf
medula spinalis yang menambah
peningkatan TIK.
4. Monitor intake dan out put setiap 8 Untuk mencegah kelebihan cairan
jam sekali yang dapat menambah edema serebri
sehingga terjadi peningkatan TIK.
5. Monitor suhu dan atur suhu Demam menandakan gangguan
lingkungan sesuai indikasi. hipotalamus. Peningkatan kebutuhan
metabolik karena demam dan suhu
lingkungan yang panas akan
meningkatkan TIK.

6. Kolaborasi dengan tim medis dalam manitol atau gliserol merupakan


pemberian obat-obatan anti edema cairan hipertonis yang berguna untuk
seperti manitol, gliserol dan lasix. menarik cairan dari intraseluler (sel)
keekstraseluler (vaskuler). Lasix
21

untuk meningkatkan ekskresi natrium


dan air yang diinginkan, untuk
mengurangi edema otak.
Intervensi Dx 3 Rasionalisasi
1. Awasi TD dan nadi Tanda yang membantu
mengidentifikasi fluktuasi volume
intravaskuler
2. Lihat membran mukosa, kaji turgor Indikator keadekuatan sirkulasi
kulit dan pengisian kapiler perifer dan hidrasi seluler
3. Awasi masukan dan haluran, catat Penurunan haluran urine pekat
warna urine/konsentrasi, berat jenis dengan peningkatan berat jenis
diduga dehidrasi atau kebutuhan
peningkatan cairan
4. Berikan perawatan mulut sering Dehidrasi mengakibatkan bibir dan
dengan perhatian khusus pada mulut kering dan pecah-pecah
perlindungan bibir
5. Pertahankan penghisapan gaster Selang NG biasanya dimasukkan
atau usus pada pra operasi dan dipertahankan
pada fase segera pasca operasi untuk
dekompensasi usus, meningkatkan
istirahat usus, mencegah muntah.
6. Berikan cairan IV dan elektrolit Peritonium bereaksi terhadap
iritasi/infeksi dengan menghasilkan
sejumlah besar cairan yang dapat
menurunkan volume sirkulasi darah,
mengakibatkan hipovolemia,
dehidrasi dan dapat terjadi
ketidakseimbangan elektrolit
Intervensi Dx 4 Rasionalisasi
1. Observasi daerah luka Deteksi dini perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan
tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi
selanjutnya.
2. Lakukan cuci tangan sebelum dan Untuk mencegah infeksi nosokomil.
22

sesudah melakukan tindakan


perawatan secara aseptik dan anti
septik.
3. Anjurkan untuk melakukan nafas Peningkatan mobilisasi dan
dalam pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan resiko terjadinya
pneumonia, etelektasis
4. Monitor suhu tubuh dan penurunan Untuk mendeteksi tanda-tanda sepsis.
kesadaran.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam Antibiotik berguna untuk membunuh
pemberian obat antibiotik atau memberantas bibit penyakit yang
masuk ke dalam tubuh sehingga
infeksi dapat dicegah.
6. Kolaborasi dengan tim analis untuk Kadar leukosit darah dan urine adalah
pemeriksanaan laboratorium (kadar indikator dalam menentukan adanya
leukosit). infeksi.
Sumber : (Nanda NIC. NOC, 2015)

1.3.4 Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat dan klien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan
keperawatan yang berfokus pada klien dan berorientasi pada hasil,
sebagaimana digambarkan dalam perencanaan. Fokus utama dari
komponen implementasi adalah pemberian asuhan keperawatan yang
aman dan individual dengan pendekatan multifokal (Christensen &
Kenney, 2009).

1.3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses yang terencana dan sistematis
dalam mengumpulkan, mengorganisasi, menganalisis, dan
membandingkangkan status kesehatan klien dengan kriteria hasil yang
diinginkan, serta menilai derajat pencapai hasil klien. Evaluasi adalah
suatu aktivitas yang terus menerus (Christensen & Kenney, 2009).
Evaluasi dibagi menjadi 2 komponen, yaitu :
23

1. Formatif
a. Setiap selesai melaksanakan tindakan keperawatan
b. Evaluasi proses
c. Biasanya berupa catatan perkembangan
2. Sumatif
a. Rekapan terakhir secara paripurna
b. Catatan naratif
c. Penderita pulang atau pindah
Metode evaluasi dengan pendekatan SOAP, yaitu :
a. Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
pasien setelah tindakan yang diberikan
b. Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan
dilakukan
c. Analisi adalah membandingkan antara informasi sebjective dan
objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi
d. Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa (Sarjani, 2012).

Anda mungkin juga menyukai