LP Taruma
LP Taruma
TRAUMA KEPALA
1
2
1.1.2 Etiologi
Menurut Corwin, (2011) penyebab dari trauma kepala adalah
kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh dan trauma olah raga. Trauma
kepala terbuka sering disebabkan oleh peluru atau pisau.
Kecelakaan seperti jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau
sepeda, dan mobil. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan
ketergantungan, dan dapat terjadi pada anak yang trauma akibat
kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2011).
Menurut Nizami, (2014). Trauma kepala dapat disebabkan karena
beberapa hal diantaranya adalah :
a. Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :
kecelakaan, dipukul dan terjatuh.
b. Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau
vacum.
c. Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.
d. Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.
1.1.3 Patofisiologi
Menurut Nizami (2014) Patofisiologis dari trauma kepala
traumatik dibagi dalam proses primer dan proses sekunder. Kerusakan
yang terjadi dianggap karena gaya fisika yang berkaitan dengan suatu
trauma yang relative baru terjadi dan bersifat irreversible untuk
sebagian besar daerah otak. Walaupun kontusio dan laserasi yang
terjadi pada permukaan otak, terutama pada kutub temporal dan
permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan tanda-tanda jelas
tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas akson difus pada
substasi alba subkortex adalah penyebab utama kehilangan kesadaran
berkepanjangan, gangguan respon motorik dan pemulihan yang tidak
komplit yang merupakan penanda pasien yang menderita trauma
kepala traumatik berat.
3
Cidera kepala
Aliran drh keotak menurun Tahanan vaskuler sistemik meningkat Katekolamin meningkat
Dan TD meningkat dan sekresi asam lmbung
Gangguan perfusi jaringan Oedema paru Cardiak out put Gangguan perfusi jargn
cerebral
Difusi O2 terhambat
Hipoksemia, hiperkapnea
f. Pusing, vertigo
g. Mual dan muntah
h. Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisik amnesia
i. Kejang
Menurut Huddak, (2006) Klasifikasi cidera kepala berdasarkan nilai
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu :
a. Trauma kepala Ringan (CKR)
- GCS 13-15
- Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit
- Tidak ada fraktur tengkorak
- Tidak ada kontusio celebral, hematoma
b. Trauma Kepala Sedang (CKS)
- GCS 9-12
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang
dari 24 jam
- Dapat mengalami fraktur tengkorak
c. Trauma Kepala Berat (CKB)
- GCS 3-8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam
- Juga meliputi kontusio cerebral, leserasi, atau hematoma
intracranial
1.1.5 Komplikasi
a. Kerusakan saraf cranial
1. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
2. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
trauma (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
7
1.1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medik trauma kepala yang utama adalah
mencegah terjadinya trauma otak sekunder. Trauma otak sekunder
disebabkan oleh faktor sistemik seperti hipotensi atau hipoksia atau
oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2010).
Penatalaksanaan umum adalah:
a. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
b. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
c. Berikan oksigenasi
d. Awasi tekanan darah
e. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
f. Atasi shock
g. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema
serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma.
10
a. Sistem Triase
1. Spot check
Sekitar 25% UGD menggunakan sistem ini, perawat
mengkaji dan mengklasifikasikan pasien dalam waktu 2-3 menit.
Sisten ini memungkinkan identifikasi segera.
2. Komprehensif
Merupakan triase dasar yang standart di gunakan. Dan di
dukung oleh ENA (Emergenci Nurse Association) meliputi: A
(Airway), B (Breathing), C (Circulation), D (Dissability of
Neurity), E (Ekspose), F (Full-set of Vital sign), Pulse Oximetry.
3. Trise two-tier
Sistem ini memerlukan orang kedua yang bertindak sebagai
penolong kedua yang bertugas, untuk di lakukan pengkajian lebih
rinci.
4. Triase Expanded
Sistem ini dapat di tambahkan ke sistem komprohensif dan
two-tier mencakup protokol penanganan
5. Triase Bedside
Pasien dalam sistem ini tidak di klasifikasikan triasenya,
langsung di tangani oleh perawat yang bertugas, cepat tanpa
perlu menunggu antri.
b. Klasifikasi Triase
1. Merah (Emergent)
Yaitu korban-korban yang membutuhkan stabilisasi segera. Yaitu
kondisi yang mengancam kehidupan dan memerlukan perhatian
segera.
2. Kuning (Urgent)
Yaitu korban yang memerlukan pengawasan ketat, tetapi
perawatan dapat di tunda sementara. Kondisi yang merupakan
masalah medis yang disignifikan dan memerlukan penata
laksanaan sesegera mungkin. Tanda-tanda fital klien ini masih
stabil.
13
14
1.3.3 Perencanaan
1. Pengertian
Perencanaan meliputi pengembangan strategi desain untuk
mencegah, mengurangi atau mengoreksi masalah-masalah yang
diidentifikasi pada diagnosa keperawatan. Secara tradisional,
rencana keperawatan diartikan sebagai suatu dokumen tulisan
tangan dalam menyelesaikan masalah, tujuan dan intervensi
(Moraira, 2011).
2. Tujuan Perencanaan
a. Tujuan Administratif
1. Untuk mengidentifikasi focus keperawatan kepada klien atau
kelompok
2. Untuk membedakan tanggungjawab perawat dengan profesi
kesehatan lainnya
3. Untuk menyediakan suatu kriteria guna pengulangan dan
evaluasi keperawatan
4. Untuk menyediakan kriteria klasifikasi klien
b. Tujuan Klinik
1. Menyediakan suatu pedoman dalam penulisan
2. Mengkomunikasikan dengan staf perawat apa yang diajarkan,
apa yang diobservasi, dan apa yang dilaksanakan
3. Menyediakan kriteria hasil sebagai pengulangan dan evaluasi
keperawatan
19
1.3.4 Implementasi
Implementasi adalah pelaksanaan rencana keperawatan oleh
perawat dan klien. Perawat bertanggung jawab terhadap asuhan
keperawatan yang berfokus pada klien dan berorientasi pada hasil,
sebagaimana digambarkan dalam perencanaan. Fokus utama dari
komponen implementasi adalah pemberian asuhan keperawatan yang
aman dan individual dengan pendekatan multifokal (Christensen &
Kenney, 2009).
1.3.5 Evaluasi
Evaluasi adalah suatu proses yang terencana dan sistematis
dalam mengumpulkan, mengorganisasi, menganalisis, dan
membandingkangkan status kesehatan klien dengan kriteria hasil yang
diinginkan, serta menilai derajat pencapai hasil klien. Evaluasi adalah
suatu aktivitas yang terus menerus (Christensen & Kenney, 2009).
Evaluasi dibagi menjadi 2 komponen, yaitu :
23
1. Formatif
a. Setiap selesai melaksanakan tindakan keperawatan
b. Evaluasi proses
c. Biasanya berupa catatan perkembangan
2. Sumatif
a. Rekapan terakhir secara paripurna
b. Catatan naratif
c. Penderita pulang atau pindah
Metode evaluasi dengan pendekatan SOAP, yaitu :
a. Subjective adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
pasien setelah tindakan yang diberikan
b. Objective adalah informasi yang didapat berupa hasil pengamatan,
penilaian, pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan
dilakukan
c. Analisi adalah membandingkan antara informasi sebjective dan
objective dengan tujuan dan kriteria hasil, kemudian diambil
kesimpulan bahwa masalah teratasi
d. Planning adalah rencana keperawatan lanjutan yang akan dilakukan
berdasarkan hasil analisa (Sarjani, 2012).