Anda di halaman 1dari 5

SPATIUM

EDEMA ANGIONEUROTIK

PENDAHULUAN
Edema angioneurotik merupakan pembengkakan yang terbatas dan berulang pada subkutan atau
submukosa yang timbul antara beberapa jam dan paling lama seminggu. Hal ini disebabkan oleh karena defisiensi
atau malfungsi dari C1 INH ( Inhibitor of the complement C1 atau C1 Esterase inhibitor ). Edema angioneurotik
dapat bersifat herediter dan didapat (acquired). (Bouillet, 2003)
Edema angioneurotik pertama kali diperkenalkan oleh Dr. Von Quincke tahun 1982, sehingga pada
awalnya disebut dengan quincke’s disease. Edema angioneurotik dapat mengenai daerah lengan atau tungkai,
wajah, bibir, dasar mulut, lidah, dan yang paling berbahaya bila mengenai daerah telinga, hidung dan tenggorokan
karena dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas. Disamping itu dapat terjadi pada traktus gastrointestinal
yaitu edema pada dinding intestinal sehingga mengakibatkan nyeri perut yang berulang, muntah dan diare.
(Ballas, 2004)
Untuk mendiagnosis suatu kasus edema angioneurotik berdasarkan anamnesa yang teliti, gambaran
klinik serta evaluasi laboratorium. Penyebab dari edema angioneurotik bermacam-macam, serta patofisiologinya
sudah mulai terpapar jelas sehingga memudahkan pemberian terapi serta pencegahan pada pasien. (Neville,
1995, Greenberg, 2003)
Perawatan edema angioneurotik tergantung dari klasifikasi dan penyebabnya. Perawatan edema
angioneurotik yang berat dengan serangan akut yang harus diperhatikan awal adalah keterlibatan saluran nafas
dengan tanda-tanda suara serak, stridor dan sesak nafas, maka persiapan untuk dilakukan orotrakheal intubasi
dan jika edema laringnya sangat berat maka dilakukan krikotiroidotomi atau trakheostomi. Pasien dengan
edema angioneurotik seharusnya cepat dirujuk ke dokter spesialis atau rumah sakit yang menyediakan C1 INH
concentrate agar mendapatkan perawatan yang cepat. Edema engioneurotik yang dicetuskan oleh mediator Ig E,
obat-obatan seperti kortikosteroid, antihistamin dan epineprin dapat meringankan gejala. (Neville, 1995;
Ballas, 2004)

1. DEFINISI, INSIDENSI
Edema angioneurotik atau angioedema atau quincke’s disease adalah pembengkakan edamatous yang
diffuse dari jaringan lunak yang sering terjadi pada jaringan ikat subkutan atau submukosa dan berulang yang
mungkin dapat mempengaruhi traktus gastrointestinal dan traktus respiratorius sehingga membahayakan jiwa
pasien. Disebut dengan edema angioneurotik karena diawali dengan perubahan gangguan dari permeabilitas
vaskular dan lesinya dapat menghasilkan rangsangan syaraf disekitarnya. (Neville, 1995; Bouillet, 2003; Ballas,
2004)
Edema angioneurotik sangat jarang terjadi, di Perancis insidensinya 1 : 150.000 kelahiran dan di Europa
1 : 10.000-50.000. Tidak ada perbedaan predileksi sex dan ras, tetapi pada edema angioneurotik yang
berhubungan dengan ACE inhibitor lebih sering terjadi pada ras Afrika Amerika. Edema engioneurotik
herediter sering terjadi pada dekade pertama dan kedua, sedangkan edema angioneurotik yang didapat
(acquired) paling sering terjadi pada dekade keempat. (Ballas, 2004)

2. KLASIFIKASI &ETIOLOGI (Bouillet, 2003; Ballas, 2004)


2.1. EDEMA ANGIONEUROTIK HEREDITER
Edema angioneurotik herediter diturunkan melalui autosomal dominan, jadi semua yang terkena adalah
individu heterozygotes. Pada 20% penderita tidak ditemukan adanya riwayat keluarga dengan penyakit yang
sama. Timbul pada usia dewasa muda (usia 20-40 tahun) dan terbagi dalam 2 tipe :
 Type 1 : Mencakup hampir semua kasus sekitar 85% yang disebabkan oleh gangguan sintesa dari C1 INH
(Low levels of C1 INH)
 Type 2 : Mencakup 15% kasus yang disebabkan oleh tidak normalnya fungsi dari C1 INH (C1 INH
kosentrasinya normal, tetapi aktivitas fungsional menurun)
2.2. EDEMA ANGIONEUROTIK YANG DIDAPAT (ACQUIRED)
Edema angioneurotik ini timbul pada usia lebih dari 50 tahun dan dapat disebabkan oleh beberapa macam :
 Type 1 : Sebagai akibat dari intake yang berlebihan dari C1 INH sekunder, yang menyebabkan hiperaktivasi
dari jalur mediasi komplemen klasik seperti sirkulasi imun kompleks ( limphoproliferative syndrome,
autoimune disease)
 Type 2 : Konsekuensi dari netralisasi C1 INH oleh antibodi, seperti akibat obat-obatan seperti kontrasepsi
oral (khususnya cyproteronacetate) atau ACE inhibitor
Hal-hal yang dapat mengawali serangan edema angioneurotik : stress mental dan phisik, trauma minor,
prosedur pembedahan, infeksi (virus, bakteri dan parasit), gangguan hormonal seperti menstruasi & kehamilan
serta alergi (inhalant, bites & sting, latex, makanan serta obat-obatan). (Bouillet, 2003)

3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi edema angioneurotik dengan kemajuan ilmu dibidang kedokteran mulai terpapar dengan
jelas sehingga memudahkan pengobatan dan pencegahannya. Sistem komplemen (C) merupakan sistem humoral
yang non spesifik dalam serum disamping antibodi yang bersifat spesifik. Komplemen ini merupakan suatu sistem
enzimatik yang berbentuk sebagai protein dalam serum yang akan mempunyai efek apabila telah mengalami
aktivasi. Berbeda dengan proses efektor antibodi yang tidak memerlukan aktivasi sebelumnya. Ada 9 macam
komplemen (C1 s/d C9) dimana mekanisme aktivasinya melewati 2 lintasan yaitu lintasan klasik dan lintasan
alternatif. Komplemen 1(C1) melewati lintasan klasik (Soebowo, 1993)
C1 INH yang lebih dikenal dengan inhibitor C1 yang mengontrol lintasan klasik komplemen, yaitu fase
yang berhubungan dengan kaskade koagulasi dan fibrinolisis. Hal ini dapat mengakibatkan penghambatan faktor
XII sebanyak 90% dan kalikrein dan plasmin sebanyak 42%. Pada kasus dengan defisit C1 INH pada beberapa
kasus trauma endotelial akan menyebabkan overaktivasi dari fase kontak dari koagulasi dan fibrinolisis serta
jalur klasik komplemen sehingga mengakibatkan pelepasan sejumlah besar bradikinin dan substansi seperti kinin
yang akan menyebabkan terjadinya trigger edema. Selain itu pelepasan bradikinin disebabkan oleh ACE inhibitor
yang menghambat aksi dari enzim kinase II yang merangsang pembentukan angiotensin 2 dari angiotensin 1.
Seperti kita ketahui bahwa angiotensin 2 sangat berpotensi sebagai vaso konstriksi, sehingga memperparah
peningkatan permeabilitas vaskuler. Selain itu adanya defisiensi kongenital C1 inaktivator menyebabkan tidak
terkawalnya aktivasi lintasan klasik sehingga dapat mengakibatkan timbulnya edema angioneurotik herediter.
(Subowo, 1993; Bouilet, 2003; Ballas, 2004)

4. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari edema angioneurotik sangat bervariasi antara satu individu dengan individu
lainnya, meskipun masih dalam garis keturunan keluarga yang sama. Edema angioneurotik herediter memberikan
gejala yang sama dengan edema angioneurotik didapat. Gejala antara individu satu dengan lain sangat berbeda.
Lokasinya dapat mengenai seluruh tubuh, yang paling sering terkena adalah kepala dan wajah, bibir, dasar mulut,
lidah, mukosa traktus respiratorius & traktus gastrointestinal. Gambaran klinis berupa pembengkakan
erythematous yang nyeri, berbatas jelas, tidak gatal, dapat bersifat soliter atau multiple, dengan ukuran
diameter beberapa sentimeter, sering berulang dan timbul pada tempat yang sama. Dapat bertahan selama
beberapa jam dan menghilang selama 48-72 jam, tetapi kadang-kadang tetap bertahan selama 1 minggu.
(Bouillet, 2003; Ballas, 2004)
Gambar 1 : Edema angioneurotik di bibir (Neville, 1995)
Edema angioneurotik yang melibatkan sistem respiratorius dan gastrointestinal sering terjadi pada tipe
yang herediter. Jika melibatkan daerah faring dan laring sangat berbahaya karena dapat menimbulkan obstruksi
jalan nafas, sulit menelan, dan suara serak. Edema angioneurotik yang terjadi di laring berakhir dengan
kematian pada 26% penderita. Pada kasus yang melibatkan gastro intestinal dapat menyebabkan nyeri perut
berulang, muntah, dan diare. Selain itu dapat memberikan retensi urine, efusi pleura disertai batuk dan nyeri
dada. Jika melibatkan sistem syaraf pusat memberikan gejala sakit kepala, hemiparese, dan seizure yang
terjadi akibat edema serebral. (Topazain, 1994; Neville,1995; Ballas, 2004)

Gambar 2 : Edema angioneurotik di lidah (Pinborg, 1994)

5. DIAGNOSIS
Dalam menentukan diagnosa pasti suatu edema angioneurotik selain anamnesa dan gambaran klinis, juga
diperlukan evaluasi laboratorium dari sistem komplemen sebagai dasar dalam mendiagnosa tipe herediter atau
yang didapat. (Bouillet, 2003; Ballas, 2004)
- Edema angioneurotik herediter tipe 1 : Nilai hasil dari C1 INH dan C4 rendah dari normal, dimana C4 belum
bisa dijadikan patokan karena nilai C4 selama serangan dapat berkisar pada normal.
- Edema angioneurotik herditer tipe 2 : dikarakteristik oleh nilai normal dari C1 INH dan nilai C4 rendah
selama serangan. Diperlukan uji fungsional dan kualitatif dari C1 INH untuk menentukan diagnosa pasti.
- Untuk membedakan antara edema angioneurotik herediter dengan didapat, maka nilai C1 diukur. Pada edema
angioneurotik didapat, nilai C1q, C2, dan C4 menurun. Nilai C1q menurun kurang lebih 10% dari nilai normal.
Pada tipe herediter biasanya normal atau sedikit penurunan.
Pemeriksaan darah lengkap, pada hitung sel darah lengkap, seharusnya tidak terdapat kelainan, kecuali
terjadi infeksi. Pemeriksaan elektrolit biasanya berhubungan dengan gejal diare dan muntah. Kegagalan ginjal
bisa saja terjadi oleh karena akibat deplesi cairan intravaskuler. (Ballas, 2004)

6. PENATALAKSANAAN EDEMA ANGIONEUROTIK


Perawatan edema angioneurotik yang berat dengan serangan akut yang harus diperhatikan awal adalah
keterlibatan saluran nafas dengan tanda-tanda suara serak, stridor dan sesak nafas. Hal ini sangat berbahaya
karena dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas. Jika hal ini terjadi maka suatu tindakan orotrakheal intubasi
dilakukan dan bila edema laringnya sangat berat maka dilakukan krikotiroidotomi atau trakheostomi. Pasien
dengan edema angioneurotik seharusnya cepat dirujuk ke dokter spesialis atau rumah sakit yang menyediakan
C1 INH concentrate agar mendapatkan perawatan yang cepat. Perawatan di ICU ( Intensive Care Unit) dengan
pemberian C1 INH concentrate secara injeksi 25U/kg yang akan efektif untuk mengurangi edema pada 30
menit pertama, dengan pemantauan ketat tanda-tanda vital. Setelah itu diberikan obat danazol untuk
meningkatkan C1 INH dengan dosis 3 x 200 mg /hari selama 8 hari. Untuk pasien-pasien yang berulang
mengalami edema angioneurotik seharusnya mempunyai persediaan C1 INH concentrate dirumah, sehingga
sewaktu-waktu dibutuhkan dapat tersedia dengan cepat. Pasien harus mengetahui tentang penyakitnya serta
akibat-akibat yang ditimbulkan termasuk keadaan fatal yang mengancam jiwa. Setiap pasien harus memiliki
kartu identitas terhadap penyakit ini dan selalu dibawa kemana dia pergi. (Bouillet, 2003; Ballas, 2004)
Pada edema angioneurotik herediter yang berulang dan serangan sedang dapat diberikan danazol 50-
600 mg/hari (biasanya 200mg 3 kali sehari) tergantung dari beratnya edema serta respon klinik. Dosis yang
dapat memberikan respon klinik pada setiap pasien harus dicatat untuk persiapan pengobatan jika terjadi
serangan ulang. Kontraindikasi penggunaan obat ini pada pasien hamil dan menyusui, renal & hepar insufisiensi ,
serta seizure disorders. Selain itu dapat diberikan asam traneksamid 3 – 8 gram setiap 4 jam untuk
menghambat fibrinolisis. Beberapa klinisi menganjurkan pemakaian Fresh freeze-dried plasma, tetapi tidak
merekomendasikan hal ini sebagai terapi karena beresiko terhadap penularan infeksi dimana proses ini tidak
hanya mentransmisikan C1-INH tetapi juga berpotensi membahayakan C1 esterase, C1, C2 dan C4. Kosentrasi
dari C1-INH dan obat-obatan inhibitor estrease seperti aprotinin atau asam traneksamat merupakan pilihan
terapi untuk serangan akut. (Bouillet, 2003; Ballas, 2004)
Edema angioneurotik yang dicetuskan oleh suatu alergi atau dimediasi oleh Ig E, obat-obatan seperti
antihistamin, kortikosteroid, epinefrin dapat meringankan gejala. Perawatan edema angioneurotik dengan obat-
obatan ini diawali dengan antihistamin oral. Jika serangannya tidak terkontrol atau sudah melibatkan laringeal
maka epinefrin intra muskular diberikan. Apabila epinefrin intra muskular juga tidak dapat menghentikan
serangan, maka kortikosteroid intra vena dan antihistamin diberikan. Pada kasus edema angioneurotik edema
yang berhubungan dengan ACE inhibitor maka kemungkinan besar tidak memberi respon terhadap obat-obat ini..
Pasien-pasien ini harus diobati sesuai dengan standart pengobatan seperti di atas. (Neville, 1995; Bouillet,
2003)
Edema angioneurotik yang didapat, perawatannya sesuai dengan tipe penyebabnya yaitu : Type 1 : Asam
traneksamid, danazol, perawatan pada penyakit primer yang merupakan penyebab edema angioneurotik. Type 2 :
Asam traneksamid, danazol, kortikosteroid, cyplophospamide, plasma exchanges, terapi pada penyakit primer
(Ballas, 2004)

KESIMPULAN
Edema angioneurotik merupakan pembengkakan yang terbatas dan berulang pada subkutan atau
submukosa yang timbul antara beberapa jam dan paling lama seminggu. Hal ini disebabkan oleh karena tidak
sempurnanya sintesa atau gangguan fungsi dari C1 INH ( Inhibitor of the complement C1 atau C1 Esterase
inhibitor). Edema angioneurotik dapat bersifat herediter atau didapat (acquired).
Patofisiologi dari timbulnya suatu edema angioneurotik dengan kemajuan ilmu dibidang kedokteran
mulai terpapar dengan jelas sehingga memudahkan pengobatan dan pencegahannya.

DAFTAR PUSTAKA
Ballas Z et al, 2004, Angioedema, http://www.emedicine.com/med/topic 135.htm
Bellanti JA, 1993, Imunologi 3 (terjemahan), Gajah Mada University Press, Yogyakarta
Bouillet L, 2003, Angioneurotic edema, http://omni.ac.uk/browse/mesh/ detail/C0002994L0002994.html
Greenberg MS, 2003, Burket’s Oral Medicine, Diagnosis & Treatment, 10th ed, BC Decker Inc, Hamilton,
Ontario
Kwon PH & Laskin D M, 1991, Clinician’s Manual of Oral & Maxillofacial Surgery , Quintessence Publishing,
Chicago
Little JW et al, 2002, Dental Management of the Medically Compromised Patient , 6thed, Mosby Year, USA
Neville, BW et al, 1995, Oral and Maxillofacial Pathology, WB Saunders Co,Philadhelphia; 511-537
Peterson E.J., 1998, Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, Mosby Company, St. Louis
Pindborg JJ, 1994, Atlas Penyakit Mukosa Mulut (terjemahan drg. Kartika Wangsahardja), 4th ed, Binarupa
Aksara, Jakarta, Indonesia
Purwanto & Basoeseno, 1996, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, EGC Jakarta, Hal : 119-198
Sciubba and Regezy, 2002, Oral pathology, 4th ed, WB Saunders Company, Philadelphia
Subowo, 1993, Imunobiologi, Penerbit Angkasa, Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Topazian & Morton, 1994, Oral & Maxillofacial Infection, 3rded, WB Saunders company, 1-62

Anda mungkin juga menyukai