1. PENDAHULUAN
Infeksi merupakan suatu peristiwa masuk dan berkembangnya mikroorganisme dalam tubuh yang kemudian akan
menimbulkan reaksi inflamasi (Peterson, 2003)
Infeksi odontogenik dapat melibatkan spasia-spasia daerah kepala dan leher. Keterlibatan spasia ini tergantung
dari gigi penyebabnya. Infeksi dari gigi ini akan menyebar ke spasia-spasia yang berkaitan.
Penyebaran infeksi ini dapat dengan mudah terjadi karena spasia hanya dipisahkan oleh jaringan ikat longgar
satu sama lainnya sehingga pertahanan terhadap infeksi menjadi kurang sempurna.
Penyebaran infeksi di daerah spasia kepala dan leher dapat menjadi berbahaya dan mengakibatkan kematian bila
penanganannya terlambat atau kurang baik.
Gambar 1. Hubungan perlekatan otot mylohyoid dengan akar gigi (Topazian, 2002).
Gambar . lokasi penyebaran eksudat dari infeksi gigi berdasarkan struktur disekitarnya
Infeksi pada gigi molar maksila dapat menyebar kearah bukal, palatal atau posterior tulang alveolar.
Daerah vestibulum bukal merupakan daerah yang sering terkena abses dan sering terjadi penyebaran kearah
spasia bukal. Penyebaran infeksi dari gigi maksila kearah posterior melibatkan spasia masticator dan pharyngeal,
dan dapat terjadi penyebaran ke superior ke spasia infratemporal.
Pada semua infeksi odontogenik, pada umumnya pemeriksaan dilakukan untuk mengetahui apakah ada karies yang
dalam, inflamasi periodontal, atau gigi yang impaksi dan gigi yang fraktur sebagai penyebab. Pemeriksaan yang
hati-hati pada rongga mulut, pemeriksaan radiographi dan pemeriksaan restorasi gigi yang dicurigai dapat
menjadi sumber infeksi, membantu menentukan lokasi infeksi secara tepat. Infeksi wajah dapat disebabkan
oleh erupsinya gigi molar ketiga maksila dengan posisi erupsi yang ekstrim kearah bukal dan posterior dan
menyebabkan erosi mukosa bukal, selulitis, infeksi spasia yang dalam dan trismus yang parah. (Topazian, 2002).
Pada pasien yang sistem imunnya mampu melawan infeksi akan terjadi hal berikut:
1. Hiperemia disebabkan oleh adanya vasodilatasi arteri dan kapiler, dan meningkatkan permeabilitas venules
dengan melambatnya aliran darah pada pembuluh darah vena
2. Keluarnya eksudat yang kaya akan protein plasma, antibodi, bahan gizi, dan keluarnya lekosit ke jaringan
sekitarnya.
3. Pelepasan faktor-faktor permeabilitas, leukotaxin, yang membolehkan migrasi dari polimorfonuklear
leukosit (dan kemudian monosit) ke daerah radang
4. Timbulnya suatu jaringan fibrin dari eksudat, untuk membatasi daerah infeksi.
5. Fagositosis bakteri, organisme lain dan sel-sel mati.
6. Pembuangan sisa-sisa jaringan nekrotis oleh makrofag
Tanda utama radang ada beberapa tingkatan. Tidak adanya tanda ini mengindikasikan fase infeksi akut telah
reda, infeksi telah menyebar ke jaringan yang lebih dalam, terapi obat yang efektif (antibiotik, analgesik), atau
pasien adalah pasien compromise. Tanda-tanda radang itu adalah(Topazian, 2002):
1. Rubor atau kemerahan, terlihat bila infeksi dekat dengan permukaan jaringan pada pasien dengan warna
kulit terang, dan ini terjadi karena adanya vasodilatasi pembuluh darah.
2. Tumor atau pembengkakan, hasil dari akumulasi cairan eksudat atau pus.
3. Kalor atau panas, hasil dari perpindahan aliran darah dari jaringan yang lebih dalam, meningkatnya kuantitas
aliran darah karena vasodilatasi, dan meningkatnya kecepatan metabolisme.
4. Dolor atau rasa sakit, hasil dari tekanan pada ujung syaraf sensoris dari jaringan distention karena edema
atau penyebaran infeksi. Aksi dari faktor substansi yang teraktifasi seperti kinin, histamin, metabolit, atau
bradikinin pada ujung syaraf yang juga berperan pada rasa sakit, seperti hilangnya tonicity pada jaringan
yang terkena trauma.
5. Functiolaesa atau hilangnya fungsi, seperti kesulitan mengunyah, menelan dan kesulitan bernafas. Hilangnya
fungsi organ yang mengalami radang disebabkan faktor mekanis dan hambatan refleks pergerakan otot
karena rasa sakit.
Infeksi yang tetap terlokalisir di apek akar dapat membentuk infeksi periapikal kronis. Dapat terjadi
dekstruksi tulang berupa daerah radiolusen yang berbatas jelas yang dapat dilihat pada gambaran radiographi.
Bila infeksi meluas melewati apek akar gigi, infeksi ini dapat berlanjut lebih dalam ke ruang medula tulang ,
berkembang dan meluas menjadi osteomelitis. Dan proses ini akan membentuk saluran fistula melalui tulang
alveolar dan akan keluar ke jaringan lunak sekitarnya. Peristiwa ini sering dihubungkan dengan pembengkakan
pada jaringan lunak secara tiba-tiba dan berkurangnya tekanan didalam tulang yang akan menyebabkan
berkurangnya rasa sakit. Fistula dapat penetrasi ke arah mukosa atau kulit dan akan membentuk drain alami
untuk abses. Infeksi dapat terlokalisir membentuk abses atau menyebar melalui jaringan lunak menjadi selulitis
atau abses. Abses adalah rongga yang berdinding tebal yang berisi pus, yang mana selulitis bersifat difus,
submukosa eritematus atau infeksi subkutan. Stafilokokus sering dihubungkan dengan adanya pembentukan
abses, yang mana stafilokokus ini memproduksi koagulase yaitu suatu enzim yang dapat menyebabkan endapan
fibrin pada darah citrated atau oxalated. Streptokokus lebih sering dihubungkan dengan selulitis karena
streptokokus memproduksi enzim seperti streptokinase (fibrinolysin), hyaluronidase, dan streptodornase.
Enzim ini akan memecahkan fibrin dan subtansi dasar jaringan ikat dan melisiskan debris selular yang
memudahkan penyebaran invasi bakteri secara cepat. Abses yang suplai darahnya sedikit atau tidak ada suplai
darah mempunyai respon yang buruk atau lambat pada terapi antibiotik, yang mana selulitis biasanya mempunyai
respon yang baik tanpa drainase bedah(Topazian, 2002).
4. DIAGNOSA
PRINSIP-PRINSIP PEMERIKSAAN
Pasien infeksi mempunyai tanda dan gejala yang berkisar dari yang ringan sampai yang sangat serius. Penilaian
awal yang cepat tentang status pasien harus dibuat untuk menentukan adanya suatu penyakit akut yang
memerlukan penanganan segera. Pasien yang memperlihatkan tanda toksisitas, perubahan pada sistem syaraf
pusat, atau adanya bahaya jalan nafas harus dipertimbangkan untuk segera dilakukan rawat inap dengan
intervensi bedah dan pengobatan yang adekuat, termasuk intubasi dan trakheostomi. Toksisitas ditandai dengan
adanya wajah yang pucat, tachypnea, tachycardia , demam, kelihatan sakit dan lemah, menggigil, lesu, dan
diaphoresis. Perubahan pada sistem syaraf pusat bila ada infeksi yaitu berkurangnya tingkat kesadaran, adanya
iritasi meningeal( seperti sakit kepala yang berat, kaku leher, muntah), oedem pada kelopak mata, dan adanya
kelainan pada mata. Indikasi dari kemungkinan adanya infeksi fatal adalah melemahnya sistem pernafasan, sukar
menelan, berkurangnya penglihatan, pergerakan mata, atau keduanya, berubahnya kualitas suara, kelesuan, dan
menurunnya tingkat kesadaran.
Prinsip dasar evaluasi pasien adalah observasi yang maksimal untuk mendapatkan hasil diagnosa yang akurat dan
perawatan yang sesuai. Diagnosa yang tidak akurat dan komplikasi perawatan yang tidak sesuai akan
mengakibatkan kegagalan untuk mengidentifikasi dengan baik masalah utama yang menyebabkan pasien
memerlukan perawatan.
Evaluasi pasien berdasarkan pada riwayat pasien secara teliti, pemerksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
radiographi, dan hasil interpretasi penyakit. Pada pasien infeksi adanya kemungkinan patogen dan faktor tuan
rumah harus dipertimbangkan dari awal evaluasi(Topazian, 2002, Peterson, 2003).
RIWAYAT PENYAKIT
Berbagai aspek riwayat penyakit dapat memberikan informasi tentang sifat dan lokasi penyakit dan
kemungkinan pengaruh faktor host pada proses penyakit. Dengan riwayat penyakit yang lengkap kita juga dapat
memperoleh informasi tentang asal, perluasan, lokasi, dan beratnya penyakit.
Klinisi harus memperoleh informasi berikut: riwayat penyakit saat ini bagaimana asal mulanya, riwayat sakit gigi
atau sakit kepala, sifat, lokasi, durasi rasa sakit dan rasa dingin, perawatan sebelumnya dan efeknya, termasuk
trauma pada jaringan lunak dan keras pada daerah itu. Yang juga penting diperhatikan adalah riwayat infeksi
yang rekuren atau infeksi berulang, riwayat rawat inap dengan penyakit infeksi, atau suatu infeksi tanpa respon
yang sesuai, yang diduga adanya kelainan atau gangguan pada host. Harus dicatat adanya fistula, kesukaran
membuka mulut, kesukaran menelan, saliva yang meningkat, perubahan fonasi, kesukaran bernafas, atau nafas
yang bau.
PEMERIKSAAN FISIK
Temperatur tubuh pasien, denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah adalah penilaian yang penting dan vital
pada pasien, yang berfungsi sebagai indikator kemajuan atau kemunduran proses penyakit.
Pemeriksaan yang menyeluruh pada pasien meliputi inspeksi, palpasi dan perkusi. Kulit wajah, kepala, dan leher
harus diperiksa secara hati-hati untuk mengetahui adanya pembengkakan, luka-luka, dan regio yang lunak,
terutama regio maksila dan sinus frontal. Sering terjadi pembengkakan, fluktuasi, eritema, fiksasi kulit atau
mukosa ke tulang dibawahnya, terbentuknya fistula, dan krepitus subkutan. Setiap pembengkakan harus dinilai
secara hati-hati, dan membuat perkiraan besarnya dalam sentimeter, perluasan dan hubungan ke struktur
anatomis sekitarnya. Palpasi dilakukan untuk mengetahui dan menilai ukuran, sifat, suhu lokal, menentukan
fluktuasi dan krepitus, dan menilai pembesaran pada tulang dan kelenjar ludah yang terlibat.
Penilaian dari kelenjar limfe regional meliputi palpasi, sifat kelenjar apakah lunak atau kenyal, warna dan suhu
kelenjar, permukaannya dan apakah kelenjar terfiksasi ke jaringan dibawahnya atau tidak. Kelompok kelenjar
limfe yang terlibat sering membantu menentukan struktur jaringan yang terkena infeksi.
Pada pemeriksaan intra oral, dilihat apakah ada trismus dan dicatat tingkat derajatnya, dengan pengukuran
interincisal pada saat membuka mulut. Gigi geligi juga harus diperhatikan. Klinisi perlu memeriksa jumlah gigi,
adanya karies atau restorasi yang besar, pembengkakan yang terlokalisir dan fistula, perubahan warna gigi,
adanya mobiliti pada gigi, dan daerah yang tidak bergigi. Duktus kelenjar parotis dan submandibular harus
diperiksa, apakah cairan kelenjar berbentuk saliva atau pus. Juga diperiksa apakah ada pembengkakan, drainase
pus pada palatum lunak, fossa tonsilar, dan orofaring.
Juga perlu dilakukan pemeriksaan umum pada rongga dada dan ekstrimitas, untuk melihat dan memastikan
apakah ada penyebaran infeksi. Misalnya bila ada bunyi murmur jantung yang mana pada pemeriksaan riwayat
sebelumnya tidak ada, dapat diduga adanya septikemi atau endokarditis yang memerlukan pemeriksaan kultur
darah.
Diagnosa banding dari infeksi odontogenik meliputi kelainan patologis pada jaringan lunak dan jaringan keras
seperti kelainan kongenital, radang, atau kista developmental, tumor jinak atau ganas, infeksi atau tumor
kelenjar ludah, trauma yang tidak terdiagnosa, dan kelainan metabolisme. Gambaran radiologi yang adekuat dari
gigi, tulang, dan jaringan lunak penting bagi diagnosa dan terapi(Topazian, 2002).
5. TERAPI
6. menghasilkan eksudat dan dapat sebagai pintu masuk invasi bakteri secara sekunder
7. Bersihkan daerah luka setiap hari sesuai prinsip aseptik
Gambar : Anestesi pada jaringan sehat daerah subkutan/mukosa yang akan di insisi saja.
Penggunaan antibiotik yang adekuat sangat diperlukan pada pasien abses atau selulitis terutama pada pasien-
pasien imunocompromise, walaupun hanya infeksi dentoalveolar yang mana ditakutkan penyebaran infeksi ke
spasia yang lebih dalam.
Pilihan antibiotik yang rasional dapat dilakukan berdasarkan pendekatan empiris dari pengalaman dan data ilmiah
bakteri penyebab infeksi oral .Idealnya pilihan antibiotik untuk terapi infeksi odontogenik harus berdasarkan
hasil pemeriksaan kultur dan sensitivitas di laboratorium.
Infeksi pada umumnya disebabkan gabungan dari bakteri aerob dan anaerob(65% to 70%) atau hanya bakteri
anaerob (25% to 30%), dan 5%nya bakteri aerob. Lebih dari 90% infeksi mengandung bakteri anaerob. Yang
paling sering didapat adalah streptokokus aerob (α-, β-, γ-), streptokokus anaerob (Peptostreptococcus),
Bacteroides ( Porphyromonas, Prevotella), Fusobacterium , dan Eikenella. Bakteri pada kulit seperti
Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis sering terdapat dalam infeksi wajah nonodontogenik
pada anak-anak.
Penisilin adalah antibiotik pilihan empiris untuk infeksi dentoalveolar, walaupun saat ini ada bakteri yang
resisten terhadap penisilin karena penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Metronidazole adalah antibiotik
untuk bakteri anaerob dan merupakan pilihan antibiotik selain penisilin. Klindamisin juga pilihan yang baik untuk
bakteri anaerob dan aerob tapi harus dipertimbangkan segi biaya dan efek samping potensialnya. Jika suatu
antibiotik β-lactam seperti penisilin telah digunakan selama 2 sampai 3 hari tanpa terjadi pengurangan infeksi
odontogenik maka penggunaan antibiotik non β-lactam lain atau antibiotik β-lactamase-stabile seperti
klindamisin harus dipertimbangkan.
Erythromycin kurang baik diserap dan kurang efektif pada infeksi odontogenik dibandingkan penisilin atau
klindamisin. tetapi golongan macrolides seperti azithromycin lebih efektif dari erythromycin. Amoxicillin-
clavulanic acid suatu inhibitor yang kuat dari β-lactamases merupakan antibiotik yang efektif pada infeksi yang
berat tetapi kegunaan dan harganya menghalangi penggunaannya pada infeksi odontogenik rutin. Generasi
pertama dan kedua cephalosporins juga bermanfaat untuk infeksi odontogenik. Tetracycline tidak
direkomendasikan untuk terapi infeksi anaerob yang berat, tetapi analog tetracycline yaitu minocycline dan
doxycycline dapat bermanfaat pada infeksi dentoalveolar yang low-grade. (Topazian, 2002, Peterson, 2003).