Anda di halaman 1dari 10

Risiko Koagulopati pada

Pasien Covid 19
Jovita Dwipuspaningrum (188114102)
Vianadia Alifani (188114105)
Cicilia Erfany Lambe’ (188114108)
Gabriel A. S. N. (188114115)
Melania Oktafera (188114118)
Veronika Cindy DP (188114120)
Angel Y Maharani (188114127)
Ridwan A . S Oembu Rey (188114134)
Gede Arya Billy C.R (188114144)
PENDAHULUAN

Coronavirus disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit infeksi akibat severe acute respiratory syndrome
coronavirus-2 (SARS-CoV-2). COVID-19 telah menyebar secara global dan menjadi pandemi baru. Walaupun
manifestasi klinis COVID-19 terutama mengenai sistem respirasi, koagulopati seringkali terjadi pada kasus
berat dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
Awalnya masih sangat jarang disebut bahwa COVID-19 memiliki keterkaitan dengan ketidaknormalan proses
koagulasi darah (kejadian tromboemboli) sampai akhirnya dilaporkan oleh Cui et al dalam hasil studinya
terhadap pasien COVID-19 di Cina. Dinyatakan bahwa 20 dari 81 (25%) pasien mengalami kejadian
tromboemboli vena (venous thromboembolism, VTE), bahkan 8 pasien diantaranya meninggal dunia.
Koagulopati adalah gangguan sistem koagulasi / pembekuan darah yang dapat bermanifestasi sebagai bekuan
darah (trombus) di vena, arteri atau menyeluruh (sistemik).
Gangguan koagulasi pada COVID-19 menyebabkan keadaan protrombotik yang meningkatkan risiko
terjadinya trombosis dan tromboemboli vena maupun arteri.
Patogenesis koagulopati dan trombosis pada COVID-19

Angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) merupakan reseptor utama SARS-CoV-2. ACE2 banyak diekspresikan di
sel epitel alveolus paru paru, terutama sel alveolus tipe II. Selain itu ACE2 juga ditemukan pada jantung, endotel
pembuluh darah, ginjal, dan saluran gastrointestinal sehingga dapat terjadi manifestasi multi organ pada infeksi
COVID-19.12 Genom coronavirus terdiri dari 4 protein utama, yaitu spike (S), nucleocapsid (N), membrane (M),
dan envelope (E). Infeksi terjadi ketika protein S berikatan dengan reseptor ACE2. Agregasi SARS-CoV-2 di paru-
paru menyebabkan gangguan sel epitel dan endotel alveolus, bersama dengan infiltrasi sel-sel inflamasi
menyebabkan munculnya sitokin-sitokin proinflamasi (IL- 1, IL-6, dan TNFα, dan lainnya). Pada pasien COVID-19
berat, respon imun ini dapat berlebihan dan menyebabkan badai sitokin sistemik yang mencetuskan terjadinya
systemic inflammatory response syndrome (SIRS). Respon inflamasi sistemik berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya jejas endotel (endoteliopati) sistemik dan keadaan hiperkoagulasi yang meningkatkan risiko terjadinya
makrotrombosis dan mikrotrombosis sistemik. Manifestasi makrotrombosis dapat berupa tromboemboli vena
(misalnya trombosis vena dalam dan emboli paru) atau tromboemboli arteri (misalnya stroke). Mikrotrombosis
berperan dalam proses terjadinya ARDS dan kegagalan multi organ.

(Willim, et al., 2020).


Patogenesis koagulopati pada COVID-19 (COVID- 19-Associated Coagulopathy / CAC) berbeda dengan
koagulopati pada umumnya, yaitu

● Pembentukan trombus yang terjadi pada pembuluh darah paru (Pulmonary Intravascular Coagulopathy / PIC)
yang dapat disertai sedikit perdarahan, hingga Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) yang klasik
dan bersifat sistemik PIC yang terus-menerus akan merangsang proses inflamasi yang berlebihan sehingga
terjadi hiperinflamasi yang ditandai dengan Cytokine Storm Syndrome (CSS) atau Macrophage Activating
Syndrome (MAS). Sitokin-sitokin (IL-2, IL-6, TNF dan lain-lain) akan merangsang koagulopati dan
trombosis sistemik. Kaskade trombosis ini khas, dan dikenal dengan sebutan immunothrombosis. Koagulasi
dan trombosis ini akan mengakibatkan Multi Organ Disfunction (MOD) dan Multi Organ Failure (MOF).
● Selain PIC, manifestasi trombus di vena dapat berupa Venous Thromboembolism (VTE), baik berupa emboli
paru (Pulmonary Embolism / PE) atau trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis / DVT). Hal ini
dibuktikan dengan data Computed Tomography Pulmonary Angiography (CTPA) yang menemukan PE pada
10 dari 30 pasien (33% CTPA yang dilakukan) dan kejadian VTE pada 33% dari 44 pasien yang menjalani
pemeriksaan imajing dalam 24 jam pertama perawatan. Gambaran yang khas pada kondisi ini adalah sub-
segmental pulmonary embolism.
● Selain trombosis vena, dapat terjadi komplikasi trombosis arteri berupa stroke (2,5%
kasus) atau sindrome koroner akut (Acute Coronary Syndrome / ACS) (1,1% kasus).

Stroke menjadi salah satu komplikasi dari COVID-19 dengan angka kejadian 4,2-
5,9%. Salah satu jenis stroke terkait dengan trombosis akibat koagulopati pada pasien
COVID-19 adalah trombosis sinus vena serebral (Cerebral venous sinus
thrombosis/CVST). Terdapat beberapa laporan kasus mengenai kejadian CVST pada
pasien COVID-19 dengan manifestasi seperti nyeri ke­pala, penurunan kesadaran,
defisit neurologis, dan ke­jang yang dibuktikan dengan CT scan kepala atau CT
Venogram. CVST dapat terjadi pada pasien COVID-19 usia muda (< 50 tahun).

(IDI, 2020).
Parameter gangguan koagulasi yang dapat ditemukan pada COVID-19 meliputi :
● Peningkatan konsentrasi D-dimer
● Pemanjangan prothrombin time (PT) atau activated partial thromboplastin time (aPTT)
● Peningkatan fibrinogen dan trombositopenia.

D-dimer merupakan produk degradasi fibrin yang terbentuk selama proses degradasi bekuan darah oleh
fibrinolisis. Peningkatan D-dimer dalam darah merupakan penanda kecurigaan trombosis. Peningkatan
D-dimer ditemukan pada trombosis vena dalam, emboli paru, trombosis arteri, DIC, kehamilan,
inflamasi, kanker, penyakit liver kronis, trauma, pembedahan, dan vaskulitis.20 Peningkatan D-dimer
sering ditemukan pada pasien COVID-19 berat dan merupakan prediktor terjadinya ARDS, kebutuhan
perawatan di unit perawatan intensif, dan kematian.
(Willim, et al., 2020).
(Kemenkes RI. 2020)
PEMBERIAN ANTIKOAGULAN PROFiLAKSIS PADA
PASIEN COVID-19 YANG DIRAWAT DI RUMAH SAKIT
● Untuk pasien COVID 19 derajad ringan pemberian antikoagulan profilaksis harus didasarkan pada
hasil pemeriksaan D-dimer
● Antikoagulan profilaksis yang dapat disarankan adalah low molecular weight heparin (LMWH)
(lebih direkomendasikan) atau unfractionated heparin (UFH) dengan dosis sebagai berikut :
1. Low molecular weight heparin (LMWH)
➔ Dosis standard LMWH : 40 mg subkutan (SK), 1 x sehari.
➔ Pasien dengan gangguan ginjal atau obesitas : dosis obat disesuaikan dengan fungsi
ginjal (konsul dokter ahli terkait).
➔ Dosis anak : 1 mg/kgbb/12 jam subkutan. Pada anak dengan gangguan fungsi
ginjal/syok (kreatinin klirens < 50ml/min/m2), untuk berkonsultasi dengan nefrologi
anak
1. Unfractionated heparin (UFH) : dosis standard UFH : 5000 unit SUBKUTAN (SC), 2 kali
sehari.

(IDI, 2020).
KESIMPULAN
Gangguan koagulasi pada COVID-19 menyebabkan keadaan protrombotik yang meningkatkan risiko
terjadinya trombosis dan tromboemboli vena maupun arteri. Kejadian tromboemboli, terutama
tromboemboli vena (trombosis vena dalam dan emboli paru) diduga yang berkontribusi terhadap
angka mortalitas yang tinggi pada pasien COVID-19.

Obat-obatan antikoagulan dapat diberikan untuk tujuan profilaksis, intermediate ataupun terapi
definitif jangka panjang. Dari beberapa hasil penelitian telah menunjukkan efektivitas penggunaan
antikoagulan terhadap prognosis awal. Namun demikian untuk membuktikan lebih lanjut efektivitas
terapi antikoagulan kita harus menunggu pembuktian hasil uji klinik fase 3 di berbagai pusat studi.

CREDITS: This presentation template was created by


Slidesgo, including icons by Flaticon, and
infographics & images by Freepik
Daftar Pustaka
Kemenkes RI, 2020. Protokol Tata Laksana COVID-19: Buku Saku ed.2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.

IDI, 2020. Rekomendasi IDI. Pemberian Antikoagulan Profilaksis pada Pasien Covid 19yang Dirawat di Rumah Sakit.

Rusdiana, T., Akbar, R., 2020. Perkembangan Terkini Terapi Antikoagulan pada Pasien COVID-19 dengan Gejala Berat. Jurnal
Sains Farmasi & Klinis, 7 (3), 244-250.

Willim, et al., 2020. Koagulopati pada Coronavirus Disease-2019 (COVID-19): Tinjauan pustaka. Intisari Sains Medis, 11 (3),
749-756.

Anda mungkin juga menyukai