Anda di halaman 1dari 13

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Infeksi Virus Dengue


Epidemiologi
Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25 per 100.000
penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna <2%. Umur
terbanyak yang terkena infeksi dengue adalah kelompok umur 4-10 tahun,
walaupun makin banyak kelompok umur lebih tua. Spektrum klinis infeksi
dengue dapat dibagi menjadi (1) gejala klinis paling ringan tanpa gejala
(silent dengue infection), (2) demam dengue (DD), (3) demam berdarah
dengue (DBD) dan (4) demam berdarah dengue disertai syok (sindrom syok
dengue/DSS) (IDAI, 2009).
Etiologi
Infeksi virus dengue merupakan suatu penyakit demam akut yang disebabkan
oleh virus genus Flavivirus, famili Flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4, melalui perantara nyamuk Aedes
aegypti atau Aedes albopictus. Keempat serotipe dengue terdapat di
Indonesia, DEN-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan
dengan kasus berat, diikuti serotipe DEN-2 (IDAI,2009).
Patogenesis
Gigitan nyamuk Aedes menyebabkan infeksi di sel langerhans di epidermis
dan keratinosit. Kemudian menginfeksi sel-sel lainnya seperti monosit, sel
dendritik, makrofrag, sel endotelial dan hepatosit. Monosit dan sel dendritik
yang terinfeksi memproduksi banyak sitokin proinflammatori dan kemokin
yang selanjutnya mengaktivasi sel T yang diperkirakan menyebabkan
disfungsi endotelial. Disfungsi endotelial menyebabkan peningkatkan

14

permeabilitas pembuluh yang kemudian menyebabkan perembesan cairan di


pleura, rongga peritonium, dan syok. Sel endotelial juga dirangsang untuk
menimbulkan respons imun yang mengakibatkan permeabilitas vaskular
meningkat (Malavige & Ogg, 2012). Menurut IDAI (2012), patogenesis DHF
belum jelas namun terdapat hipotesis yang mendukung seperti heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan
bahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue
pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain
dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun (IDAI, 2012). Banyak para ahli
sependapat bahwa infeksi sekunder adalah penyebab beratnya manifestasi
klinis pada penderita DBD (Ginting, 2004).

Gambar 1. Hipotesis infeksi sekunder


Menurut hipotesis infeksi sekunder (gambar 1), sebagai akibat infeksi
sekunder oleh tipe virus dengue yang berbeda, respon antibodi anamnestik
pasien akan terpicu, menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan
menghasilkan titer tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit,
proliferasi limfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus dengue.
Hal

ini

mengakibatkan

terbentuknya

kompleks

virus-antibodi

yang

15

selanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a


menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti dengan peningkatan
kadar hematokrit, penurunan natrium dan terdapatnya cairan dalam rongga
serosa (WHO, 1997).
Infeksi sekuensial dengan serotipe dengue berbeda lebih rentan menjadi
bentuk penyakit lebih berat (demam berdarah dengue/sindrom syok dengue).
Hal ini dijelaskan dengan pembentukan kaskade cross-reactive antibodi
heterolog non-netralisasi yang diperkuat, sitokin (seperti interferon gamma
yang diproduksi o lek sel T spesifik) dan aktivasi komplemen yang
menyebabkan disfungsi endotel, destruksi trombosit, dan koagulopati
konsumtif (Kariyawasam & Senanayake, 2010).
Patofisiologi
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan
membedakan demam dengue dengan demam berdarah dengue ialah
meningginya

permeabilitas

dinding

kapiler

karena

pelepasan

zat

anafilaktoksin, histamin dan serothin serta aktivasi sistim kalikrein yang


berakibat

ekstravasasi

cairan

intravaskular.

Hal

ini

mengakibatkan

berkurangnya volume plasma, terjadinya hipotensi, hemokonsentrasi,


hipeproteinemia, efusi dan syok. Plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari saat permulaan demam dan mencapai puncaknya pada
saat syok (Soedarmo et al., 2012).
3.2 Diagnosis
Anamnesis
-- Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi, selama 2-7 hari
-- Disertai lesu, tidak mau makan, dan muntah
-- Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot, dan nyeri perut
-- Diare kadang-kadang dapat ditemukan
-- Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan mimisan.

16

Pemeriksaan fisik
-- Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial flush, muntah,
nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri tenggorok dengan faring
hiperemis, nyeri di bawah lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut
lebih mencolok pada DD daripada DBD.
-- Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi hati lebih sering ditemukan
pada DBD.
-- Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi peningkatan
permeabilitas

kapiler sehingga menyebabkan perembesan plasma,

hipovolemia dan syok.


-- Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan ke dalam rongga
pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
-- Fase kritis sekitar hari ke-3 hingga ke-5 perjalanan penyakit. Pada saat ini
suhu turun, yang dapat merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan
namun pada DBD berat merupakan tanda awal syok.
-- Perdarahan dapat berupa petekie, purpura, epistaksis, melena, ataupun
hematuria( IDAI, 2009).
Tanda-tanda syok
-- Anak gelisah, sampai terjadi penurunan kesadaran, sianosis
-- Nafas cepat, nadi teraba lembut kadang-kadang tidak teraba
-- Tekanan darah turun, tekanan nadi <10 mmHg
-- Akral dingin, capillary refill menurun
-- Diuresis menurun sampai anuria
Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi komplikasi berupa
asidosis metabolik dan perdarahan hebat.

Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
-- Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit & hitung jenis, hematokrit,
trombosit. Pada apusan darah perifer juga dapat dinilai limfosit plasma
biru, peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD

17

-- Uji serologis, uji hemaglutinasi inhibisi dilakukan saat fase akut dan fase
konvalesens
-- Infeksi primer, serum akut <1:20, serum konvalesens naik 4x atau lebih
namun tidak melebihi 1:1280
-- Infeksi sekunder, serum akut < 1:20, konvalesens 1:2560; atau serum akut
1:20, konvalesens naik 4x atau lebih
-- Persangkaan infeksi sekunder yang baru terjadi (presumptive secondary
infection): serum akut 1:1280, serum konvalesens dapat lebih besar atau
sama
Pemeriksaan radiologis (urutan pemeriksaan sesuai indikasi klinis)
-- Pemeriksaan foto dada, dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis
ragu-ragu, namun perlu diingat bahwa terdapat kelainan radiologis pada
perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman
pemberian cairan.
-- Kelainan radiologi, dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus
kanan, hemitoraks kanan lebih radio opak dibandingkan kiri, kubah
diafragma kanan lebih tinggi dari pada kanan, dan efusi pleura.
-- USG: efusi pleura, ascites, kelainan (penebalan) dinding vesica felea dan
vesica urinaria (IDAI, 2009)
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan laboratorium
(WHO tahun 1997):
Kriteria klinis
-- Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terusmenerus selama 2-7 hari.
-- Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung positif, petekie,
ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, dan/melena.
-- Pembesaran hati.
-- Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi,
hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien tampak gelisah.
Kriteria laboratorium:
-- Trombositopenia (100.000/l atau kurang).
-- Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20% menurut
standar umur dan jenis kelamin.
Dua kriteria klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi,
serta dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi (IDAI, 2009).

18

Berikut ini klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue


(tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi derajat penyakit infeksi virus dengue (WHO,
2011)

3.3 Tatalaksana
Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi 4 bagian, (1) Tersangka DBD, (2)
Demam Dengue (DD) (3) DBD derajat I dan II (4) DBD derajat III dan IV
(DSS). Lihat Bagan 1, 2, 3, dan 4 dalam lampiran (IDAI, 2009).
DBD tanpa syok (derajat I dan II)
Medikamentosa
-- Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan
aspirin.

19

-- Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya


antasid, antiemetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.
-- Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan.
-- Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati.
Suportif
-- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan perdarahan.
-- Kunci keberhasilan terletak pada kemampuan untuk mengatasi masa
peralihan dari fase demam ke fase syok disebut time of fever differvesence
dengan baik.
-- Cairan intravena diperlukan, apabila (1) anak terus-menerus muntah, tidak
mau minum, demam tinggi, dehidrasi yang dapat mempercepat terjadinya
syok, (2) nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala.
DBD disertai syok (Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
-- Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan ringer laktat
10-20 ml/kgbb secara bolus diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok
belum teratasi tetap berikan ringer laktat 20 ml/kgbb ditambah koloid 2030 ml/kgbb/jam, maksimal 1500 ml/hari.
-- Pemberian cairan 10ml/kgbb/jam tetap diberikan 1-4 jam pasca syok.
Volume cairan diturunkan menjadi 7ml/kgbb/jam, selanjutnya 5ml, dan 3
ml apabila tanda vital dan diuresis baik.
-- Jumlah urin 1 ml/kgbb/jam merupakan indikasi bahwa sirkulasi membaik.
-- Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam setelah syok
teratasi.
-- Oksigen 2-4 l/menit pada DBD syok.

20

-- Koreksi asidosis metabolik dan elektrolit pada DBD syok.


Indikasi pemberian darah:
Terdapat perdarahan secara klinis;
-- Setelah pemberian cairan kristaloid dan koloid, syok menetap, hematokrit
turun, diduga telah terjadi perdarahan, berikan darah segar 10 ml/kgbb.
-- Apabila kadar hematokrit tetap > 40 vol%, maka berikan darah dalam
volume kecil.
-- Plasma segar beku dan suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau koagulasi intravaskular desiminata (KID) pada syok berat
yang menimbulkan perdarahan masif.
-- Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID harus selalu disertai
plasma segar (berisi faktor koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.
DBD ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok
telah teratasi, cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3dan jumlah cairan segera dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar
dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.
Indikasi rawat
(lihat bagan 1)
Pemantauan
Pemantauan selama perawatan
Tanda klinis, apakah syok telah teratasi dengan baik, adakah pembesaran hati,
tanda perdarahan saluran cerna, tanda ensefalopati, harus dimonitor dan
dievaluasi untuk menilai hasil pengobatan.

21

Kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit tiap 6 jam, minimal tiap 12


jam.
Balans cairan, catat jumlah cairan yang masuk, diuresis ditampung, dan
jumlah perdarahan.
Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk persiapan transfusi darah
apabila diperlukan.
Faktor risiko terjadinya komplikasi:
-- Ensefalopati dengue, dapat terjadi pada DBD dengan syok atupun tanpa
syok.
-- Kelainan ginjal, akibat syok berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal akut.
-- Edem paru, seringkali terjadi akibat overloading cairan.
Kriteria memulangkan pasien
-- Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
-- Nafsu makan membaik
-- Secara klinis tampak perbaikan
-- Hematokrit stabil
-- Tiga hari setelah syok teratasi
-- Jumlah trombosit > 50.000/ml
-- Tidak dijumpai distres pernapasan.

22

23

24

25

Anda mungkin juga menyukai