Anda di halaman 1dari 12

TUGAS MATA KULIAH PRAKTIK PROFESIONAL BIDAN

Oleh Kelompok 2:
1. Wachyuningsih
2. Siti Umarni Komariah
3. Yayah Juwariyah
4. Juabaedah
5. Indrawati
6. Ida Ridha Harahap
Beberapa dasar dalam otonomi dan aspek legal yang mendasar dan terkait dengan
pelayanan kebidanan antara lain sebagai berikut:
1. Undang Undang no. 4 tahun 2019 tentang kebidanan
BAB I . Ketentuan Umum
Pasal 1.
Pelayanan kebidanan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang
merupakan bagian integral dari system pelayanan Kesehatan yang diberikan
oleh bidan secara mandiri, kolaborasi dan / atau rujukan
Pasal 46
1) Dalam menyelenggarakan praktik kebidanan, bidan bertugas
memberikan pelayanan yang meliputi:
a. Pelayanan Kesehatan ibu
b. Pelayanan Kesehatan anak
c. Pelayanan Kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana
2) Tugas bidan sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat dilaksanakan
secara bersama atau sendiri

2. Undang Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan


Pasal 68
(1) Pemasangan implan obat dan/atau alat kesehatan ke dalam tubuh
manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan serta dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan
tertentu.
Pasal 71
(1) Kesehatan reproduksi merupakan keadaan sehat secara fisik, mental, dan
sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan
yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi pada laki-laki
dan perempuan.
(2)Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. saat sebelum hamil, hamil, melahirkan, dan sesudah melahirkan;
b. pengaturan kehamilan, alat konstrasepsi, dan kesehatan seksual; dan
c. kesehatan sistem reproduksi.
(3) Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
3. Permenkes RI No. 1464/Menkes/PER/X/2010 tentang izin dan
penyelenggaraan praktik bidan
a. Kewenagan normal
1) Pelayanan Kesehatan ibu
2) Pelayanan Kesehatan anak
3) Pelayanan Kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
b. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintah
c. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter

4. Permenkes No. 28 tahun 2017 tentang ijin penyelenggaraan praktik bidan


BAB III Penyelenggaraan Keprofesian
Pasal 15
(1) Bidan dapat menjalankan Praktik Kebidanan secara mandiri dan/atau
bekerja di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
(2) Praktik Kebidanan secara mandiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa Praktik Mandiri Bidan.
Pasal 18
Dalam penyelenggaraan Praktik Kebidanan, Bidan memiliki kewenangan
untuk memberikan:
a. pelayanan kesehatan ibu;
b. pelayanan kesehatan anak; dan
c. pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana.

Pasal 19
(1) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf
adiberikan pada masa sebelum hamil, masa hamil, masa persalinan, masa
nifas, masa menyusui, dan masa antara dua kehamilan.
(2) Pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
pelayanan:
a. konseling pada masa sebelum hamil;
b. antenatal pada kehamilan normal;
c. persalinan normal;
d. ibu nifas normal;
e. ibu menyusui; dan
f. konseling pada masa antara dua kehamilan.
(3) Dalam memberikan pelayanan kesehatan ibu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Bidan berwenang melakukan:
a. episiotomi;
b. pertolongan persalinan normal;
c. penjahitan luka jalan lahir tingkat I dan II;
d. penanganan kegawat-daruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
e. pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil
f. pemberian vitamin A dosis tinggi pada ibu nifas;
g. fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini dan promosi air susu ibu eksklusif;
h. pemberian uterotonika pada manajemen aktif kala tiga dan postpartum;
i. penyuluhan dan konseling;
j. bimbingan pada kelompok ibu hamil; dan
k. pemberian surat keterangan kehamilan dan kelahiran.
Pasal 20
(1) Pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf
b diberikan pada bayi baru lahir, bayi, anak balita, dan anak prasekolah.
(2) Dalam memberikan pelayanan kesehatan anak sebagaimana dimaksud
pada ayat
(1), Bidan berwenang melakukan:
a. pelayanan neonatal esensial;
b. penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan;
c. pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah; dan
d. konseling dan penyuluhan.
(3) Pelayanan noenatal esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a meliputi inisiasi menyusui dini, pemotongan dan perawatan tali pusat,
pemberian suntikan Vit K1, pemberian imunisasi B0, pemeriksaan fisik bayi
baru lahir, pemantauan tanda bahaya, pemberian tanda identitas diri, dan
merujuk kasus yang tidak dapat ditangani dalam kondisi stabil dan tepat
waktu ke Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang lebih mampu.
(4)Penanganan kegawatdaruratan, dilanjutkan dengan perujukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. penanganan awal asfiksia bayi baru lahir melalui pembersihan jalan nafas,
ventilasi tekanan positif, dan/atau kompresi jantung;
b. penanganan awal hipotermia pada bayi baru lahir
dengan BBLR melalui penggunaan selimut atau fasilitasi dengan cara
menghangatkanmtubuh bayi dengan metode kangguru;
c. penanganan awal infeksi tali pusat dengan mengoleskan alkohol atau
povidon iodine serta menjaga luka tali pusat tetap bersih dan kering; dan
d. membersihkan dan pemberian salep mata pada bayi baru lahir dengan
infeksi gonore (GO).
(5) Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, dan anak prasekolah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan penimbangan
berat badan, pengukuran lingkar kepala, pengukuran tinggi badan, stimulasi
deteksi dini, dan intervensi dini peyimpangan tumbuh kembang balita dengan
menggunakan Kuesioner Pra Skrining Perkembangan (KPSP)
(6) Konseling dan penyuluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d
meliputi pemberian komunikasi, informasi, edukasi (KIE) kepada ibu dan
keluarga tentang perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, tanda bahaya pada
bayi baru lahir, pelayanan
kesehatan, imunisasi, gizi seimbang, PHBS, dan tumbuh kembang.

Pasal 21
Dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 huruf c, Bidan
berwenang memberikan:
a. penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga
berencana dan
b. pelayanan kontrasepsi oral, kondom, dan suntikan.

5. Permenkes No. 35 tahun 2014 tentang pelayanan Kesehatan neonatal


esensial
Pasal 2
Pelayanan Kesehatan Neonatal esensial bertujuan untuk mengetahui sedini
mungkin kelainan pada bayi, terutama dalam 24 jam pertama kehidupan.
Pelayanan Kesehatan Neonatal Esensial sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) merup akan bagian dari pelayanan kesehatan anak yang dilakukan secara
komprehensif dengan pendekatan pemeliharaan peningkatan kesehatan
(promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif),
dan pemulihan penyakit (rehabilitatif) Pelayanan Kesehatan Neonatal
Esensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang kompeten dengan melibatkan keluarga dan masyarakat.
6. Kepemenkes RI No. 369/ Menkes/SK/III/2007

7. Standar Pelayanan Kebidanan tahun 2001

Standar Pelayanan Kebidanan (SPK) adalah rumusan tentang penampilan


atau nilai diinginkan yang mampu dicapai, berkaitan dengan parameter yang
telah ditetapkan yaitu standar pelayanan kebidanan yang menjadi tanggung
jawab profesi bidan dalam sistem pelayanan yang bertujuan untuk
meningkatan kesehatan ibu dan anak dalam rangka mewujudkan kesehatan
keluarga dan masyarakat (Depkes RI, 2001: 53).
Standar Pelayanan Kebidanan meliputi 24 standar , yang dikelompokan
menjadi 5 bagian besar – yaitu :
1. Standar Pelayanan Umum
Standar 1: Persiapan untuk kehidupan keluarga
Standar 2: Pencatatan dan pelaporan

8. 2. Standar Pelayanan Antenatal


Standar 3: Identifikasi ibu hamil
Standar 4: Pemeriksaan dan pemantauan
Standar 5: Palpasi abdominal
Standar 6: Pengelolaan anemia pada ibu hamil
Standar 7: Pengelolaan dini hipertensi pada kehamilan
Standar 8: Persiapan persalinan

9. 3. Standar Pelayanan Persalinan


Standar 9: Asuhan persalinan kala I
Standar 10: Persalinan kala II yang aman
Standar 11: Penatalaksanaan Aktif persalinan kala III
Standar 12: Penanganan kala II dengan gawat janin melalui episiotomi

10. 4. Standar Pelayanan Nifas


Standar 13: Perawatan bayi baru lahir
Standar 14: Penanganan pada 2 jam pertama setelah persalinan
Standar 15: Pelayanan bagi ibu dan bayi pad masa nifas

11. 5. Standar Pelayanan Kegawatdaruratan Obstetri-Neonatal


Standar 16: Penanganan perdarahan dalam kehamilan pada trimester III
Standar 17: Penanganan kegawatan pada eklampsia
Standar 18: Penanganan kegawatan pada partus lama/ macet
Standar 19: Persalinan dengan menggunakan vacum ekstraktor
Standar 20: Penanganan retensio plasenta
Standar 21: Perdarahan perdarahan postpartum primer
Standar 22: Penanganan perdarahan postpartum sekunder
Standar 23: Penanganan sepsis puerperalis
Standar 24: Penanganan asfiksia neonatorum

12. Manfaat Standar Pelayanan Kebidanan


Standar pelayanan kebidanan mempunyai beberapa manfaat sebagai berikut:
1. Standar pelayanan berguna dalam penerapan norma tingkat kinerja yang
diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.
2. Melindungi masyarakat.
3. Sebagai pelaksanaan, pemeliharaan, dan penelitian kualitas pelayanan.
4. Untuk menentukan kompetisi yang diperlukan bidan dalam menjalankan
praktek sehari-hari.
5. Sebagai dasar untuk menilai pelayanan, menyusun rencana pelatihan dan
pengembangan pendidikan (Depkes RI, 2001:2).

13. PP No. 32/ tahun 1996 tentang Kesehatan


Pasal 21
(1) Setiap tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi tenaga kesehatan.
(2) Standar profesi tenaga kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ditetapkan oleh Menteri.

14. UU N0. 22 / 1999 tentang Otoni Daerah

15. UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan


Pasal 40
(1) Perluasan kesempatan kerja di luar hubungan kerja dilakukan melalui
penciptaan kegiatan yang produktif dan berkelanjutan dengan
mendayagunakan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan
teknologi tepat guna.
(2) Penciptaan perluasan kesempatan kerja sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dengan pola pembentukan dan pembinaan tenaga kerja
mandiri, penerapan sistem padat karya,penerapan teknologi tepat guna, dan
pendayagunaan tenaga kerja sukarela atau pola lain yang dapat mendorong
terciptanya perluasan kesempatan kerja
16. UU tentang aborsi, adopsi, bayi tabung dan transplantasi
ABORSI
KUHP Pasal 346
Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya
atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
Pasal 347
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling
lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita
tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 348
(1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan
seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam
dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan
berdasarkan pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah
satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana
yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat
dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pasal 350
Dalam hal pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan
rencana, atau karena salah satu kejahatan berdasarkan Pasal 344, 347 dan
348, dapat dijatuhkan pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1- 5.
UU 36/2009
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
75 ayat (2)
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikecualikan
berdasarkan:
a.    indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.    kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
Perbedaan aborsi dalam hal dokter tidak dapat dituntut dalam tindakan
aborsi
Pasal 194 uu no 36 th 2009
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 75
(1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikecualikan
berdasarkan:
a.    indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
b.    kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis
bagi korban perkosaan.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan
setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri
dengan konseling, pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang
kompeten dan berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan
perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Pasal 80 ayat 1 UU no.23/1992


Barang siapa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu terhadap
ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama
15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 15
(1) Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyclamatkan jiwa ibu
hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan medis tertentu.
(2) Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan :
a.    berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan
tersebut;
b.    oleh tenaga keschatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan
pertimbangan tim ahli;
c.    dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau
keluarganya;
d.   pada sarana kesehatan tertentu.
ADOPSI
Pengangkatan Anak diatur dalam pasal 39 – 41 UUPA
Pasal 39
(1)   Pengangkatan anak hanya dpt dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(2)   Pengangkatan anak sebagaimana diatur dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.
(3) Calon orang tua anak harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat
(4) Pengangkatan anak oleh WMA hanya dapat dilakukan sebagai upaya
terakhir
(5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat
Pasal 40
(1) Orang tua wajib memberitahukan keoada anak angkatnya mengenai asal
usulnya dan orang tua kandungnya
(2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak
yang bersangkutan
Pasal 41
(1)   Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah
(PP No 54 Tahun 2007)
Pihak Yang Dapat Mengajukan Adopsi
1.    Pasangan suami istri
Hal ini diatur dalam SEMA No 6 tahun 1983    tentang pemeriksaan
permohonan pengesahan/ pengangkatan anak.
Selain itu Keputusan Mensos RI No    41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
2.    Orang tua Tunggal
Janda/duda, kecuali janda yang suaminya pada saat   meninggal
meninggalkan wasiat yang isinya tidak  menghendaki pengangkatan anak
WNI yang belum  menikah atau memutuskan tidak menikah
Syarat anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007
Pasal 12 ayat (1)
a.    Belum berusia 18 tahun
b.    Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c.    Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan
anak,dan
d.   Memerlukan perlindungan khusus
Syarat usia anak yang akan diangkat (PP no 54 tahun 2007 ayat (2)
a.    Anak usia < 6tahun, prioritas utama
b.    Anak usia 6 - < 12 tahun , alasan mendesak
c.    Anak usia 12 – 18 tahun memerlukan perlindungan khusus
Pasal 13 PP No 54 tahun 2007
Syarat orang tua angkat
a.    Sehat jasmani dan rohani
b.    Berumur min30 tahun dan maksimal 50 tahun
c.    Beragama sama dengan calon anak angkat
d.   Berkelakuan baik tidak pernah dihukum
e.    Berstatus  menikah paling singkat 5 tahun
f.     Tidak menrupakan pasangan sejenis
g.    Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu anak
h.    Keadaan mampu ekonomi dan sosial
i.      Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis ortu wali anak
j.      Membuat pernyataan tertulis tentang pengangkatan anak
k.    Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l.      Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 bulan sejak ijin
pengasuh diberikan
m.  Memperoleh izin menteri/kepala instansi
BAYI TABUNG
Tinjauan dari Segi Hukum Perdata Terhadap Inseminasi Buatan (Bayi
Tabung)  :
1.      Jika benihnya berasal dari Suami Istri.
-        Jika benihnya berasal dari Suami Istri, dilakukan proses fertilisasi-in-
vitro transfer embrio dan diimplantasikan ke dalam rahim Istri maka anak
tersebut baik secara biologis ataupun yuridis mempunyai satus sebagai anak
sah (keturunan genetik) dari pasangan tersebut. Akibatnya memiliki hubungan
mewaris dan hubungan keperdataan lainnya.
-        Jika ketika embrio diimplantasikan ke dalam rahim ibunya di saat ibunya
telah bercerai dari suaminya maka jika anak itu lahir sebelum 300 hari
perceraian mempunyai status sebagai anak sah dari pasangan tersebut.
Namun jika dilahirkan setelah masa 300 hari, maka anak itu bukan anak sah
bekas suami ibunya dan tidak memiliki hubungan keperdataan apapun
dengan bekas suami ibunya. Dasar hukum pasal 255 KUH Perdata.
-        Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami,
maka secara yuridis status anak itu adalah anak sah dari pasangan
penghamil, bukan pasangan yang mempunyai benih. Dasar hukum pasal 42
UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata. Dalam hal ini Suami dari Istri
penghamil dapat menyangkal anak tersebut sebagai anak sah-nya melalui tes
golongan darah atau dengan jalan tes DNA. (Biasanya dilakukan perjanjian
antara kedua pasangan tersebut dan perjanjian semacam itu dinilai sah
secara perdata barat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1338 KUH Perdata.)
2.      Jika salah satu benihnya berasal dari donor
-          Jika Suami mandul dan Istrinya subur, maka dapat dilakukan fertilisasi-
in-vitro transfer embrio dengan persetujuan pasangan tersebut. Sel telur Istri
akan dibuahi dengan Sperma dari donor di dalam tabung petri dan setelah
terjadi pembuahan diimplantasikan ke dalam rahim Istri. Anak yang dilahirkan
memiliki status anak sah dan memiliki hubungan mewaris dan hubungan
keperdataan lainnya sepanjang si Suami tidak menyangkalnya dengan
melakukan tes golongan darah atau tes DNA. Dasar hukum pasal 250 KUH
Perdata.
-          Jika embrio diimplantasikan ke dalam rahim wanita lain yang bersuami
maka anak yang dilahirkan merupakan anak sah dari pasangan penghamil
tersebut. Dasar hukum pasal 42 UU No. 1/1974 dan pasal 250 KUH Perdata.
3.      Jika semua benihnya dari donor
1.      Jika sel sperma maupun sel telurnya berasal dari orang yang tidak
terikat pada perkawinan, tapi embrio diimplantasikan ke dalam rahim seorang
wanita yang terikat dalam perkawinan maka anak yang lahir mempunyai
status anak sah dari pasangan Suami Istri tersebut karena dilahirkan oleh
seorang perempuan yang terikat dalam perkawinan yang sah.
2.      Jika diimplantasikan ke dalam rahim seorang gadis maka anak tersebut
memiliki status sebagai anak luar kawin karena gadis tersebut tidak terikat
perkawinan secara sah dan pada hakekatnya anak tersebut bukan pula
anaknya secara biologis kecuali sel telur berasal darinya. Jika sel telur
berasal darinya maka anak tersebut sah secara yuridis dan biologis sebagai
anaknya.
TRANSPLANTASI
Pasal 80 ayat (3) uu no 23/1992
Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial
dalam pelaksanaan transplantasi organ tubuh atau jaringan tubuh atau
transfuse darah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Pasal 33 ayat (2)


Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan
kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial.
Pasal 192
Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan
tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 64 ayat (3)
Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikandengan dalih apapun.

17. KUHAP dan KUHP 1981

18. UU yang terkait dengan hak reproduksi dan KB :


a. UU No. 10/1992
Pasal 26
(1) Penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi yang menimbulkan risiko
terhadap kesehatan dilakukan atas persetujuan suami dan istri setelah
mendapatkan informasi dari tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan
kewenangan untuk itu.
(2) Tata cara penggunaan alat, obat, dan cara kontrasepsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut standar profesi kesehatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan alat, obat, dan
cara kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan ayat (2) diatur
dengan peraturan menteri yang bertanggungjawab di bidang kesehatan
b. UU No. 23/ 2003

Anda mungkin juga menyukai