Anda di halaman 1dari 33

APAKAH PANCASILA MASIH RELEVAN DI ERA GLOBALISASI?

Pancasila Sebagai Ideologi Negara Indonesia

Pancasila disepakati sebagai sumber dari segala sumber hukum. Namun tak sebatas itu, termasuk juga
sebagai nilai budaya yang menjiwai setiap gerak langkah rakyatnya. Hal ini mengartikan bahwa kualitas
akan produk hukum, budaya atau apa pun yang menjadi produk anak bangsa ini, ditentukan oleh
seberapa jauh bangsa Indonesia mampu memaknai atau memahami sumber dasarnya itu sendiri. Akan
tetapi yang menjadi permasalahan saat ini adalah semakin lama pemahaman terhadap nilai – nila
pancasila justru semakin memudar, oleh karena itu sepertinya kita perlu mempelajari kembali akan nilai
yang terkandung didalam pancasila. Pengaruh masuknya budaya asing di tengah kehidupan masyarakat
yang selalu dikuti tanpa adanya penyaringan kaidah merupakan salah satu penyebab semakin
terkikisnya rasa nasionalisme bangsa Indonesia.

Kecenderungan untuk mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya, seperti komunisme,
misalnya, telah terjadi sejak era presiden pertama, Soekarno. Demikian juga pada era sekarang, ada
banyak kalangan yang bersikukuh untuk mengganti ideologi yang telah sesuai dengan kondisi alam dan
budaya Indonesia itu, dengan ideologi baru, termasuk dari kelompok-kelompok garis keras. Pancasila itu
menggambarkan Indonesia, Indonesia yang penuh dengan nuansa plural, yang secara otomatis
menggambarkan bagaiaman multikulturalnya bangsa kita. Ideologi Pancasila hendaknya menjadi satu
panduan dalam berbangsa dan bernegara. Ini karena masyarakat kita saat ini cenderung mengabaikan
ideologi bangsanya sendiri. Lantas, apakah Pancasila masih sesuai dengan semangat kemanusiaan
Indonesia saat ini? Ideologi pada dasarnya adalah suatu kesadaran kemanusiaan yang lahir dan
terbentuk karena diakibatkan adanya gesekan-gesekan kepentingan. Karena itu, ideologi mesti
mencerminkan dan harus relevan dengan kepentingan kelas sosial. Boleh jadi Pancasila relevan dengan
kepentingan masyarakat Indonesia pada saat ideologi itu dibuat oleh para founding father.
Sebenarnya, Pancasila itu masih sangat relevan dengan kepentingan masyarakat Indonesia. Misalnya
yang terkandung dalam butir ketiga yang menyebutkan bahwa bangsa Indonesia harus bersatu karena
masyarakatnya heterogen, multietnik, multikultural, dan sebagainya. Dalam hal ini Pancasila sesuai
dengan kepentingan masyarakat karena ia dijadikan sebagai ideologi kesatuan/penyatuan etnik, budaya
dan lainnya, Indonesia adalah negara kesatuan atau disebut NKRI. Akan tetapi, saat Pancasila
berbenturan dengan arus globalisasi, maka ideologi dirasakan tak cukup lagi dapat mengakomodasi
berbagai kepentingan masyarakat Indonesia. Globalisasi menciptakan babak baru, di mana hubungan
interpersonal kini menjadi lebih individualistik, mementingkan diri sendiri, dan pragmatis. Globalisasi
juga menjadikan hubungan interpersonal kini tak dibatasi lagi dengan letak geografis. Hubungan itu
dapat dilakukan lewat dunia maya, internet, telepon genggam, jaringan TV kabel, dan sebagainya.

Globalisasi tak diciptakan oleh siapa-siapa, tak diciptakan oleh “Timur atau Barat”, melainkan ia
dikehendaki bersama-sama. Jelas semangat keduanya berbeda sekali, oleh karenanya pertanyaan
apakah Pancasila masih relevan dengan kepentingan manusia zaman kita sekarang ini, nampaknya akan
sulit menemukan relevansinya. Kini kita harus berangkat dari pengalaman bangsa “Eropa Timur” yang
dulu berideologi komunis. Komunisme pada masanya menjadi “hantu” yang menyebar di hampir seluruh
belahan Eropa, karena asumsinya ideologi itu relevan dengan kepentingan masyarakat. Sebelumnya
kaum proletar ditindas oleh penguasa ekonomi, kapitalisme menjadi momok, sehingga ideologi
komunisme dijadikan sebagai instrumen perlawanan. Namun kini ideologi itu ditinggalkan pasca
ambruknya pada akhir Abad ke-19. Masyarakat Eropa Timur meninggalkan komunisme karena ideologi
itu sudah benar-benar tak mencerminkan kepentingan masyarakat; para penguasa ekonomi, kaum
kapitalis telah “memenuhi kewajibannya”, dan kaum buruh telah “mendapatkan hak-hak mereka”.

Kata Pancasila terdiri dari dua kata dari bahasa Sansekerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip
atau asas. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia berisi : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2.
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab 3. Persatuan Indonesia 4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan 5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dan globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi,
perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara
menjadi bias. Negara Republik Indonesia memang tergolong masih muda dalam pergaulan dunia sebagai
bangsa yang merdeka. Tetapi, perlu diingat, sejarah dan kebudayaan bangsa Indonesia telah ada jauh
sebelum Indonesia merdeka. Kebesaran dan kegemilangan Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, atau
Mataram, menjadi bukti nyata. Kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan sampai negeri
seberang. Sayangnya, masa emas kerajaan-kerajaan tersebut hilang dan berganti dengan kehidupan
masa kolonialisme dan imperialisme. Selama tiga setengah abad bangsa dan rakyat Indonesia hidup
dalam kegelapan dan penderitaan. Baru pada 17 Agustus 1945, bangsa dan rakyat Indonesia dapat
kembali menegakan kepala melalui proklamasi kemerdekaan. Jadi, Pancasila bukan mendadak terlahir
pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, tetapi melalui proses panjang sejalan dengan
panjangnya perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Pancasila terlahir dalam nuansa perjuangan dengan
melihat pengalaman dan gagasan-gagasan bangsa lain, tetapi tetap berakar pada kepribadian dan
gagasan-gagasan bangsa Indonesia sendiri. Oleh sebab itu, Pancasila bisa diterima sebagai dasar negara
Indonesia merdeka. Sejarah telah mencatat, kendati bangsa Indonesia pernah memiliki tiga kali
pergantian UUD, tetapi rumusan Pancasila tetap berlaku di dalamnya. Kini, yang terpenting adalah
bagaimana rakyat, terutama kalangan elite nasional, melaksanakan Pancasila dalam segala sendi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi menjadikan Pancasila sekadar rangkaian kata-kata
indah tanpa makna.

Memang masuknya pengaruh negatif budaya asing tidak dapat lagi dihindari, karena dalam era
globalisasi tidak ada negara yang bisa menutup diri dari dunia luar. Oleh sebab itu, bangsa Indonesia
harus mempunyai akar-budaya dan mengikat diri dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, serta tradisi
yang tumbuh dalam masyarakat. Di depan Sidang Umum PBB, 30 September 1960, Presiden Soekarno
menegaskan bahwa ideologi Pancasila tidak berdasarkan faham liberalisme ala dunia Barat dan faham
sosialis ala dunia Timur. Juga bukan merupakan hasil kawinan keduanya. Tetapi, ideologi Pancasila lahir
dan digali dari dalam bumi Indonesia sendiri. Secara singkat Pancasila berintikan Ketuhanan Yang Maha
Esa (sila pertama), nasionalisme (sila kedua), internasionalisme (sila ketiga), demokrasi (sila keempat),
dan keadilan sosial (sila kelima). Dalam kehidupan kebersamaan antar bangsa di dunia, dalam era
globalisasi yang harus diperhatikan, pertama, pemantapan jatidiri bangsa. Kedua, pengembangan
prinsip-prinsip yang berbasis pada filosofi kemanusiaan dalam nilai-nilai Pancasila, antara lain:

· Perdamaian bukan perang

· Demokrasi bukan penindasan

· Dialog bukan konfrontasi

· Kerjasama bukan eksploitasi

· Keadilan bukan standar ganda

Tata nilai universal yang dibawa arus globalisasi saat ini sebenarnya tak lebih nilai-nilai Pancasila dalam
artian yang luas. Cakupan dan muatan globalisasi telah ada dalam Pancasila. Karena itu,
mempertentangkan ideologi Pancasila dengan ideologi atau faham lain tak lebih dari sekadar kesia-siaan
belaka. Selain itu, selama masih terjadi pergulatan pada faham dan pandangan hidup, bangsa dan rakyat
Indonesia akan terus berada dalam kekacauan berpikir dan sikap hidup. Menggantikan Pancasila sebagai
dasar negara tidak mungkin karena faham lain tidak akan mendapat dukungan bangsa dan rakyat
Indonesia. Pancasila dapat ditetapkan sebagai dasar negara karena sistem nilainya mengakomodasi
semua pandangan hidup dunia internasional tanpa mengorbankan kepribadian Indonesia.
Sesungguhnya, Pancasila bukan hanya sekadar fondasi nasional negara Indonesia, tetapi berlaku
universal bagi semua komunitas dunia internasional. Kelima sila dalam Pancasila telah memberikan arah
bagi setiap perjalanan bangsa-bangsa di dunia dengan nilai-nilai yang berlaku universal. Tanpa
membedakan ras, warna kulit, atau agama, setiap negara selaku warga dunia dapat menjalankan
Pancasila dengan teramat mudah.

Jika demikian, maka cita-cita dunia mencapai keadaan aman, damai, dan sejahtera, bukan lagi sebagai
sebuah keniscayaan, tetapi sebuah kenyataan. Mengapa? Karena cita-cita Pancasila sangat sesuai
dengan dambaan dan cita-cita masyarakat dunia. Bukankah kondisi dunia yang serba carut-marut
seperti sekarang ini diakibatkan oleh faham-faham di luar Pancasila? Bukankah secara de facto faham
komunisme telah gagal dalam memberikan kedamaian dan kesejahteraan bagi rakyat Uni Soviet?
Bukankah faham liberalisme banyak mendapat tentangan dari negara-negara berkembang? Sebetulnya
Indonesia bisa melepaskan diri dari perangkap hegemonik negara-negara maju. Cina, Korea Selatan,
Brazil, India, dan masih banyak negara lain yang notabene sebelumnya termasuk negara berkembang,
berhasil menunjukkan jalan keluar untuk lepas dari perangkap neoliberalisme. Upaya melepaskan diri
dari jerat neoliberalisme tersebut mampu mereka lakukan dengan mengandalkan kekuatan lokal yang
terus dibangun dan digunakan sebagai senjata dalam menghadapi pasar bebas.

Peran Pancasila sangat penting dalam menghadapi arus globalisasi. Karena Pancasila merupakan sebuah
kekuatan ide yang berakar dari bumi Indonesia untuk menghadapi nilai-nilai dari luar, sebagai sistem
syaraf atau filter terhadap berbagai pengaruh luar, nilai-nilai dalam Pancasila dapat membangun sistem
imun dalam masyarakat kita terhadap kekuatan-kekuatan dari luar sekaligus menyeleksi hal-hal baik
untuk diserap, dan sebagai sistem dan pandangan hidup yang merupakan konsensus dasar dari berbagai
komponen bangsa yang plural ini. Lewat Pancasila, moral sosial, toleransi, dan kemanusiaan, bahkan
juga demokrasi bangsa ini dibentuk. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai poros identitas untuk
menghadapi bermacam identitas yang ditawarkan dari luar. Tetapi sangat disayangkan jika wacana
Pancasila belakangan ini mulai berkurang. Mengingat berbagai potensi yang tersimpan di dalamnya,
wacana nasional ini perlu untuk dimunculkan kembali, dibangkitkan kembali dan digali terus nilai-
nilainya agar terus berdialektika dalam jaman yang terus bergulir. Untuk itu Pancasila harus bisa kita
telaah secara analitis. SARAN Perlu ditanamkannya nilai – nilai dalam Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat. Agar kita mampu memfilterisasi arus globalisasi yang ada. Sesuaikah dengan nilai – nilai
Pancasila. Pancasila dapat berperan dalam era globalisasi apabila dari diri masing – masing sudah
tertanam nilai – nilai luhur Pancasila. Tentu akan percuma peran Pancasila dalam era globalisasi ini,
apabila dalam diri sendiri tidak mempunyai kesadaran akan pentingnya nilai – nilai Pancasila dalam
kehidupan.

Jadi, jika ada pertanyaan “Apakah Pancasila masih relevan di era globalisasi?” maka jawabannya ya. Kita
tak mungkin ingin terulang lagi kejadian G30S/PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila menjadi
ideologi Komunisme. Dan juga yang terjadi di Amerika yang menganut paham Liberalisme sehinnga
kurangnya terjamin hak-hak warga negara.
Karena itu, kia harus mempertahankan ideologi Pancasila. Upaya untuk mempertahankan ideologi
Pancasila dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:

1) Menumbuhkan kesadaran untuk melaksanakan nilai-nilai Pancasila

2) Melaksanakn ideologi Pancasila secara konsisten

3) Menempatkan Pancasila sebagai sumber hukum dalam pembuatan peraturan perundangan


nasional

4) Menempatkan Pancasila sebagai moral dan kepribadian bangsa Indonesia

Jalur yang dapat digunakan untuk mempertahankan Pancasila antara lain melalui jalur pendidikan dan
media massa.

http://professorabrar51.blogspot.com/2011/10/apakah-pancasila-masih-relevan-di-era.html

Pancasila di Tengah Peradaban Dunia: Perspektif Multikulturalisme dan Pendidikan


Multikultural

Selasa, 25 Maret 2008

Azyumardi Azra

Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari
2007 dan juga Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI sejak Mei 2007.

Gagasan saya tentang rejuvenasi Pancasila sebagai faktor integratif dan salah satu fundamen wawasan
kebangsaan dan identitas nasional negara-bangsa Indonesia mendapat pengayaan penting dari
berbagai kalangan publik, khususnya melalui Tajuk Rencana Kompas maupun artikel Prof. Musa Asy’arie
(lihat Kompas 9, 11, 12 Juni 2004). Saya sendiri telah meresponi tanggapan publik tersebut dalam
Harian Kompas 17 Juni 2004.
Makalah ini merupakan elaborasi lebih lanjut tentang relevansi Pancasila sebagai dasar wawasan
kebangsaan dan identitas nasional Indonesia di tengah berbagai tantangan yang dihadapi negara-
bangsa Indonesia dan kepemimpinan nasional di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Dan tidak kurang pentingnya, makalah ini juga
melihat Pancasila dalam kaitan dengan tantangan krisis identitas budaya, dan akhirnya mencoba
menawarkan penguatan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika melalui perspektif multikulturalisme dan
pendidikan multikultural.

Rejuvenasi Pancasila
Apakah “ideologi��? semacam Pancasila masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi
yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini,
pertanyaan seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun
pertanyaan itu sering diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi
dan relevansi Pancasila dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam
berbagai segi kehidupan.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak
terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi
baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel
Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang “the end of ideology��?. Tetapi perang dingin yang
terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dengan Blok Timur dengan ideologi
sosialisme-komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetapi relevan dalam kancah politik, ekonomi dan
lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan
runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi
seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan
seperti itu sebagai “the end of history��?, masa “akhir sejarah��? di mana ideologi yang relevan
adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan


membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah
banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi
mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal maupun lokal—tetapi pada pihak lain,
nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethno-
nationalism dan bahkan tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering
disebut sebagai penyebab “Balkanisasi��?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang
majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan
politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common platform dan
identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya.
Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua
perkembangan yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga
mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran
P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang
Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi
adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila
jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platformdalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi
dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika
tidak diantisasipasi bukan tidak bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang
tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian
kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, hemat saya, cukup alarming, lampu kuning bagi
masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Dalam pandangan saya, Pancasila—meski menghadapi
ketiga masalah tadi—tetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh
sebagaicommon platform bagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya,
utamanya birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi
politik yang menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional
pemersatu; corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum
tampil.

Saya percaya tidak ada yang salah dengan Pancasila as such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan
tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-
quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada
tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, hemat saya, Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa
Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa
datang. Sampai saat ini—dan juga di masa depan—saya belum melihat alternatif common
platform ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi juga viable dalam perjalanan
negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan
rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional
sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan
keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based
ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.
Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public discourse,
wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian
kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan
pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap
awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai
secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga
kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran
publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden SBY maupun
Wapres MJK jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan
rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali
membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang—Presiden SBY dan
Wapres MJK dan pejabat-pejabat publik lainnya—memberikan perhatian khusus kepada ideologi
pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa
Indonesia.

Peradaban Indonesia dan Krisis Identitas


Peradaban Indonesia merupakan subyek yang rumit, yang kelihatan masih menjadi perdebatan di
tanahair. Pertanyaan yang sering menjadi titik perdebatan adalah; apakah ada “peradaban
Indonesia��? itu? Kalau ada, bagaimana bentuk dan sosoknya? Bahkan pada tingkat yang lebih
“rendah��? terjadi juga perdebatan mengenai “(ke)budaya(an) Indonesia��? (Indonesian culture)
atau “kebudayaan nasional��?; apakah ada “(ke)budaya(an) Indonesia��?, bagaimana bentuk
“(ke)budaya(an) Indonesia��? itu, dan apa hubungan antara “(ke)budaya(an) Indonesia��?
tersebut dengan “(ke)budaya(an) lokal��?, “(ke)budaya(an) etnis, dan bahkan dengan (ke)budaya(an)
global.

Perdebatan tentang subyek-subyek ini bisa kita ulangi kembali dalam seminar ini untuk mendapatkan
perspektif yang lebih jernih. Terlepas dari itu, terdapat kecenderungan pendapat umum, bahwa
peradaban (civilization) lebih daripada kebudayaan (culture); peradaban mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, sejak dari pandangan hidup, tata nilai, sosial-budaya, politik, kesenian, ilmu
pengetahuan, sains, teknologi, dan banyak lagi, yang bisa kita bahas dan rumuskan secara lebih jelas
dalam konteks Indonesia pada seminar ini. Makalah ini memusatkan perhatian hanya pada salah satu
aspek peradaban tersebut, yakni sosial-budaya, yang pada gilirannya perlu kita akselerasikan menuju
masyarakat multikultural, yang berprinsip pada pandangan dunia multikulturalisme.

Masa sejak jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya—yang kemudian sering disebut sebagai “era
reformasi��? sekarang ini, kebudayaan Indonesia cenderung mengalami disintegrasi. Krisis moneter,
ekonomi dan politik yang bermula sejak akhir 1997, juga mengakibatkan terjadinya krisis sosio-kultural
di dalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun masyarakat (fabric of society) kelihatan tercabik-
cabik akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, semakin sulitnya lapangan kerja dan lain-
lain.

Krisis sosial budaya itu dapat disaksikan muncul dalam berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi
banyak kalangan masyarakat kita, misalnya, disintegrasi sosial-politik yang antara lain juga disebabkan
euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social temper) dalam
menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan melakukan
berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hukum,
etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-penyakit
sosial lainnya; pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumber—atau sedikitnya bernuansa etnis dan
agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan Sulawesi.

Disorientasi, dislokasi atau krisis sosial-budaya umumnya di kalangan masyarakat kita semakin
bertambah dengan kian meningkatnya penetrasi dan ekspansi budaya Barat—khususnya Amerika—
sebagai akibat proses globalisasi yang hampir tidak terbendung. Berbagai ekspresi sosial budaya yang
sebenarnya “alien��? (asing), yang tidak memiliki basis dan preseden kulturalnya dalam masyarakat
kita semakin menyebar pula dalam masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-
kecenderungan “gaya hidup��? baru yang tidak selalu positif dan kondusif bagi kehidupan sosial
budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-Roubaie 2002). Hal ini misalnya, bisa dilihat dari semakin
merebaknya budaya “McDonald��?, makanan instan dan dengan demikian, budaya serba instan;
meluasnya budaya telenovela, yang menyebarkan permisivisme, kekerasan, dan hedonisme;
mewabahnya MTVisasi, “Valentine’s Day��?, dan kini juga “prom’s night��? di kalangan remaja.
Meminjam ungkapan Edward Said, gejala ini tidak lain daripada “cultural imperialism��? baru,
menggantikan imperialisme klasik yang terkandung dalam “Orientalisme��?.

Dari berbagai kecenderungan ini, maka orang bisa menyaksikan kemunculan kultur hybrid di Indonesia
dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybridnampaknya tidak terelakkan, khususnya karena
proses globalisasi yang semakin sulit dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid—apalagi yang
bersumber dari dan didominasi budaya luar, karena dominasi dan hegemoni politik, ekonomi dan
informasi mereka—dapat mengakibatkan krisis budaya nasional dan lokal lebih jauh. Tidak hanya itu,
budaya hybrid dapat mengakibatkan lenyapnya identitas kultural nasional dan lokal; padahal identitas
nasional dan lokal tersebut sangat krusial bagi integrasi sosial, kultural dan politik masyarakat dan
negara-bangsa.

Multi-Kulturalisme: Bhinneka Tunggal Ika


Pluralisme kultural di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura, seperti
dikemukakan Hefner (2001:4) sangat mencolok; terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang
memiliki pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat sepanjang dasawarsa
1930-an dan 1940-an, wilayah ini—khususnya Indonesia—dipandang sebagai “lokus klasik��? bagi
konsep “masyarakat majemuk/plural��? (plural society) yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS
Furnival (1944, 1948).
Menurut Furnivall, “masyarakat plural��? adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-
unsur atau tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan menyatu
dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall ini banyak berkaitan dengan realitas
sosial politik Eropa yang relatif “homogen��?, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama
dan gender. Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall memandang
masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara akan terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan
formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944:468-9).

Meski demikian, berbeda dengan “doomed scenario��? Furnivall, masyarakat-masyarakat plural Asia
Tenggara, khususnya Indonesia, pada akhirnya setelah Perang Dunia II dapat menyatu dalam satu
kesatuan unit politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan realitas
pluralitas sosial-budaya yang bukannya tidak sangat divisif, khususnya jika negara-bangsa baru seperti
Indonesia gagal menemukan “common platform��? yang dapat mengintegrasikan berbagai
keragaman itu. Padahal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai negara-negara baru ini
mendorong bangkitnya sentimen etno-relijius yang dapat sangat ekplosif, karena didorong semangat
yang bernyala-nyala untuk mengontrol kekuasaan (Geertz 1973).

Berhadapan dengan tantangan untuk tidak hanya mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga
eksistensi negara-bangsa (nation building) yang mengandung keragaman tersebut, para penguasa
negara-negara baru ini memiliki kecenderungan kuat untuk melaksanakan politik “keseragaman
budaya��? (monokulturalisme). Pengalaman Indonesia sejak masa awal kemerdekaan—khususnya
pada masa Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno—dan masa Orde Baru Presiden Soeharto
memperlihatkan kecenderungan kuat pada politik monokulturalisme.

Secara restrospektif, politik monokulturalisme Orde Baru atas nama stabilitas


untuk developmentalism telah menghancurkan local cultural geniuses, seperti tradisi “pela
gandong��? di Ambon, “republik nagari��? di Sumatera Barat dan lain-lain. Padahal, sistem atau
tradisi sosio-kultural lokal seperti ini merupakan kekayaan kultural yang tidak ternilai bukan hanya bagi
masyarakatnya sendiri, tetapi juga bagi masyarakat-masyarakat lain. Lebih jauh lagi, local geniuses juga
berfungsi sebagai defense mechanism dan sekaligus early warning system yang dapat memelihara
integrasi dan keutuhan sosio-kultural masyarakat bersangkutan. Politik mono-kulturalisme yang telah
menghancurkan local genius ini, pada gilirannya mengakibatkan kerentanan dan disintegrasi sosial-
budaya lokal. Konflik dan kekerasan yang bernuansa etnis dan agama yang khususnya marak di
beberapa daerah sejak 1996 tidak terlepas dari hancurnya local geniuses tersebut.

Tetapi penting dicatat, dari perspektif politik Indonesia, berakhirnya sentralisme kekuasaan Orde Baru
yang memaksakan “monokulturalisme��?, keseragaman, memunculkan reaksi balik, yang bukan
tidak mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan Indonesia yang pada
hakikatnya multikultural. Berbarengan dengan proses otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan
pemerintahan, terjadi pula peningkatan gejala “provinsialisme��? yang hampir tumpang tindih
dengan “etnisitas��?. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali dapat menimbulkan tidak hanya
disintegrasi sosial-kultural lebih lanjut, tetapi juga disintegrasi politik.

Sebagaimana dikemukakan di atas, merupakan kenyataan yang sulit diingkari, bahwa negara-bangsa
Indonesia terdiri dari sejumlah besar kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain, sehingga negara-
bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat “multikultural��?. Tetapi pada
pihak lain, realitas “multikultural��? tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekontruksi kembali “kebudayaan nasional Indonesia��? yang dapat menjadi “integrating
force��? yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

Pandangan dunia “multikultural��? secara substantif sebenarnya tidaklah terlalu baru di Indonesia.
Prinsip Indonesia sebagai negara “bhinneka tunggal ika��? mencerminkan bahwa meskipun
Indonesia adalah multikultural, tetapi tetap terintegrasi dalam keikaan, kesatuan.

Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia yang sehat tidak bisa secara taken for granted atau
trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis, programatis, integrated dan
berkesinambungan, dan bahkan perlu percepatan (akselerasi). Salah satu strategi penting dalam
mengakselerasikannya adalah pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga
pendidikan, baik formal maupun non-formal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas.

Kebutuhan, urgensi, dan akselerasi pendidikan multikultural telah cukup lama dirasakan cukup
mendesak bagi negara-bangsa majemuk lainnya. Di beberapa negara Barat, seperti Kanada, Inggris,
Amerika Serikat dan lain-lain, yang sejak usainya Perang Dunia II semakin “multikultural��? karena
proses migrasi penduduk luar ke negara-negara tersebut (cf Hefner, 2001:2-3), pendidikan multikultural
menemukan momentumnya sejak dasawarsa 1970-an, setelah sebelumnya di AS misalnya
dikembangkan “pendidikan interkultural��?. Berhadapan dengan meningkatnya
“multikulturalisme��? di negara-negara tersebut, maka paradigma, konsep dan praktek pendidikan
“multikultural��? semakin relevan dan timely.

Pada pihak lain, gagasan pendidikan multikultural merupakan sesuatu hal baru di Indonesia. Meski
belakangan ini sudah mulai muncul suara-suara yang mengusulkan pendidikan multikultural tersebut di
tanah air, tidak berkembang wacana publik tentang subyek ini. Pembahasan dan literatur mengenai
subyek ini sangat terbatas. Padahal, realitas kultural dan perkembangan terakhir kondisi sosial, politik,
dan budaya bangsa, khususnya sejak “era reformasi��? yang penuh dengan gejolak sosial-politik dan
konflik dalam berbagai level masyarakat, membuat pendidikan multikultural terasa semakin
dibutuhkan.

Multikulturalisme; Basis Kewargaan


Keragaman, atau kebhinnekaan atau multikulturalisme merupakan salah satu realitas utama yang
dialami masyarakat dan kebudayaan di masa silam, lebih-lebih lagi pada masa kini dan di waktu-waktu
mendatang. Multikulturalisme secara sederhana dapat dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah
negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Sebaliknya, tidak ada satu negarapun yang
mengandung hanya kebudayaan nasional tunggal.

Tetapi, penting dicatat, keragaman itu hendaklah tidak diinterpretasikan secara tunggal. Dan, lebih
jauh, komitmen untuk mengakui keragaman sebagai salah satu ciri dan karakter utama masyarakat-
masyarakat dan negara-bangsa tidaklah berarti ketercerabutan, relativisme kultural, disrupsi sosial atau
konflik berkepanjangan pada setiap komunitas, masyarakat dan kelompok etnis dan rasial. Sebab, pada
saat yang sama sesungguhnya juga terdapat berbagai simbol, nilai, struktur dan lembaga dalam
kehidupan bersama yang mengikat berbagai keragaman tadi.
Semuanya ini, dan lebih khusus lagi, lembaga-lembaga, struktur-struktur, dan bahkan pola tingkah laku
(patterns of behavior) memiliki fokus tertentu terhadap kolaborasi, kerjasama, mediasi dan negosiasi
untuk menyelesaikan berbagai perbedaan. Dengan demikian, mereka potensial untuk menyelesaikan
konflik yang dapat muncul dan berkembang sewaktu-waktu. Semua simbol, nilai, struktur dan lembaga
tersebut juga sangat menekankan kehidupan bersama, saling mendukung dan menghormati satu sama
lain dalam berbagai hak dan kewajiban personal maupun komunal, dan lebih jauh lagi masyarakat
nasional.

Pada tahap ini, komitmen terhadap nilai-nilai tidak dapat dipandang berkaitan hanya dengan
eksklusivisme personal dan sosial, atau dengan superioritas kultural, tetapi lebih jauh lagi dengan
kemanusiaan (humanness). Semua ini juga mencakup komitmen dan kohesi kemanusiaan melalui
toleransi, saling menghormati hak-hak personal dan komunal. Manusia, ketika berhadapan dengan
berbagai simbol, doktrin, prinsip dan pola tingkah laku, sesungguhnya mengungkapkan dan sekaligus
mengidealisasikan komitmen kepada kemanusiaan—baik secara personal maupun komunal—dan
kebudayaan yang dihasilkannya.

Dalam konteks ini, multikulturalisme dapat pula dipahami sebagai “kepercayaan��? kepada
normalitas dan penerimaan keragaman. Pandangan dunia multikulturalisme seperti ini dapat
dipandang sebagai titik tolak dan fondasi bagi kewarganegaraan yang berkeadaban. Di sini,
multikulturalisme dapat dipandang sebagai landasan budaya (cultural basis) bagi kewargaan,
kewarganegaraan, dan pendidikan.

Multikulturalisme sebagai landasan budaya, lebih jauh lagi, terkait erat dengan
pencapaian civility (keadaban) yang sangat esensial bagi demokrasi yang berkeadaban dan keadaban
yang demokratis (democratic civility). Dalam upaya penumbuhan dan pengembangan democratic
civility, maka civil society (CS) dan pendidikan menduduki peran sangat instrumental.

Terdapat persepsi dalam masyarakat untuk secara taken for granted menerima bahwa CS selalu
mendorong keadaban dan demokrasi. Padahal, terdapat kecenderungan, bahwa CS terorganisasi
berdasarkan distingsi sosial, budaya, etnis, dan agama—sehingga cenderung eksklusif dan merasa
paling benar sendiri; akibatnya dapat kontra-produktif tidak hanya terhadap multi-kulturalisme, tetapi
juga bahkan terhadap demokrasi. Karena itu, dalam hal CS seperti ini, perlu pengembangan sikap
inklusif, toleran, dan respek terhadap pluralitas. Pada saat yang sama, juga harus dikembangkan CS
yang mengatasi berbagai garis demarkasi tersebut, menjadi organisasi yang melintasi batas-batas etnis,
agama dan sosial, sehingga pada gilirannya dapat menjadi “social and cultural capital��? yang
esensial bagi pengembangan dan pemberdayaan civilitas dan demokrasi yang berkeadaban (cf. Hefner
2001:9-10).

Dalam konteks pengembangan CS yang benar-benar merupakan “social and cultural capital��? bagi
keadaban dan demokrasi, pendidikan merupakan salah satu—jika tidak satu-satunya—sarana
terpenting. Tidak perlu uraian panjang lebar, “social and cultural capital��? sangat krusial dan
instrumental bagi terwujudnya social and cultural cohesiveness dan, pada gilirannya, integrasi negara-
bangsa. Sebaliknya, negara-bangsa dan masyarakat akan mengalami disintegrasi jika tidak
memilikisocial and cultural capital. Dalam kerangka pengembangan social and cultural capital,
diperlukan tidak hanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang berbagai nilai sosial-
budaya, tetapi juga pengejawantahan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bersama, bermasyarakat,
berbangsa-bernegara. Di sinilah terletak peran instrumental pendidikan.

Untuk penumbuhan dan pengembangan “social and cultural capital��? melalui pendidikan,
pendidikan kewargaan (civic education) menjadi sebuah keharusan. Keadaban dan demokrasi, sekali
lagi, tak bisa dicapai secara trial and error atau diperlakukan secara taken for granted; sebaliknya justru
harus diprogramkan secara konseptual dan komprehensif pada setiap jenjang pendidikan, dan pada
setiap lembaga pendidikan, baik formal, non-formal, maupun informal. Melalui Civic Educationdapat
ditumbuhkan tidak hanya pemahaman lebih benar tentang demokrasi, HAM, pluralitas, dan respek dan
toleransi di antara berbagai komunitas, tetapi juga pengalaman berdemokrasi keadaban (Azra 2002).

Pendidikan Multikultural
Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat
tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan��?. Agar definisi ini bermanfaat, perlu
mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan “budaya��? dan “kebudayaan��?. Upaya
perumusan ini jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam
kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.

Menurut Tilaar (2002:495-7), pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan
kesadaran tentang “inter-kulturalisme��? seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan
kesadaran “interkulturalisme��? ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional
menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena
meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-
negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.

Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika
Serikat berkembang konsep pendidikan “interkultural��? dan “interkelompok��? (intercultural
and intergroup education). Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural
education yang bertujuan mengembangkan nilai-nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok
masyarakat berbeda (cf. La Belle 1994:21-27).

Pada tahap pertama, pendidikan interkultural ditujukan untuk mengubah tingkah laku individu agar
tidak meremehkan apalagi melecehkan budaya orang atau kelompok lain, khususnya dari kalangan
minoritas. Selain itu, juga ditujukan untuk tumbuhnya toleransi dalam diri individu terhadap berbagai
perbedaan rasial, etnis, agama, dan lain-lain.

Tetapi, harus diakui, pada prakteknya pendidikan interkultural lebih terpusat pada individu daripada
masyarakat. Lagi pula, konflik dalam skala luas terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada
tingkat masyarakat sehingga dapat benar-benar mengganggu hubungan bersama di antara warga
masyarakat negara-bangsa. Sebab itu pula, pendidikan interkultural dipandang kurang berhasil dalam
mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat; dan kenyataan inilah pada gilirannya mendorong
munculnya gagasan tentang pendidikan multikultural.

Karena itu, seperti dikemukakan Tilaar (2002:498), dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak
lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural dominan atau mainstream.
Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap
budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya dapat membuat orang-orang dari kelompok
minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream.

Pendidikan interkultural seperti ini pada akhirnya memunculkan tidak hanya sikap tidak peduli
(indifference) terhadap nilai-nilai budaya minoritas, tetapi bahkan cenderung melestarikan prasangka-
prasangka sosial dan kultural yang rasis dan diskriminatif. Dan dari kerangka inilah, maka pendidikan
multikultural sebenarnya merupakan sikap “peduli��? dan mau mengerti (difference), atau “politics
of recognition��?, politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas (Cf Taylor et al
1994).

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap “indifference��? dan “non-recognition��? berakar tidak hanya dari
ketimpangan struktural rasial, paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai
ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Paradigma seperti ini pada gilirannya mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang “ethnic
studies��?, untuk kemudian menemukan tempatnya di dalam kurikulum pendidikan sejak dari
tingkat dasar sampai ke tingkat pendidikan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang semua subyek
ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan
disadvantaged.
Istilah “pendidikan multikultural��? (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat
deskriptif dan normatif, yang menggambarkan isyu-isyu dan masalah-masalah pendidikan berkaitan
dengan masyarakat multikultural. Lebih jauh ia juga mencakup pengertian tentang pertimbangan
terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi bagi pendidikan bagi peserta didik di dalam
masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif dan normatif ini, maka kurikulum pendidikan
multikultural mestilah mencakup subyek-subyek seperti; toleransi; tema-tema tentang perbedaan
etno-kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan
pluralitas; kemanusiaan universal, dan subyek-subyek lain yang relevan.

Perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesia—hemat saya—masih memerlukan


pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan
multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam
bentuk matapelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya “terpadu��? atau
terintegrasi (integrated). Terlepas dari berbagai isyu dan masalah ini, yang jelas—menurut saya—
perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan multikultural, yang
diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan “keikaan��? di tengah
“kebhinnekaan��? yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon.

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1659

Relevensi Ideologi Pancasila [ Apakah “ideologi” semacam Pancasila masih relevan dalam masa
globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas pada saat ini apakah pada sekarang ini pancasila
masih kita jadikan sebagai suatu tiang pondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaan
tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru.
Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam
konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada
akhir 1060-an telah berbicara tentang “the end of ideology. Tentang perang dingin yang terus meningkat
antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme-liberalisme melawan Blok Timur dengan ideologi
sosialisme-komunisme, perang ideologi dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain. Menunjukkan
bahwa, Blok Barat lebih mendominasi di sebagian besar negara-negara dunia.

Gelombang demokrasi (democratic wave) [ telah lama gelombang demokrasi muncul dipermukaan yang
berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni
Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti
Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai “the end of history, masa “akhir
sejarah di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan


membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah
banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi
mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal maupun lokal—tetapi pada pihak lain,
nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar, semacam ethno-nationalism dan
bahkan tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai
penyebab Balkanisasi, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis,
sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang melanda indonesia pada tahun 1997, juga membuat Pancasila sebagai
basis ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural
seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya lima faktor yang membuat Pancasila
semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi, mengaa bisa demikian
sobat.berikut factor yang bisa membuat idiologi semakin sulit dan tidak dihargai lagi karna pencemaran
oleh bangsa sendiri berikut faktornya :

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga
mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran
P4.

Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila
sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas
ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama. Pancasila jadinya cenderung tidak lagi
menjadi common platform dalam kehidupan politik.

Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen
kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi, bisa menumbuhkan sentimen kedaerahan yang dapat
tumpang tindih dengan nasionalisme. Dalam proses ini, ada indikasi bahwa Pancasila kian kehilangan
posisi sentralnya.

Keempat, disebabkan euforia kebebasan yang hampir kebablasan; lenyapnya kesabaran sosial (social
temper) dalam menghadapi realitas kehidupan yang semakin sulit sehingga mudah mengamuk dan
melakukan berbagai tindakan kekerasan dan anarki; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap
hukum, etika, moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika dan penyakit-
penyakit sosial lainnya; pecahnya konflik dan kekerasan yang bersumber atau sedikitnya bernuansa etnis
dan agama seperti terjadi di berbagai wilayah tertentu Kalimantan, Maluku dan Sulawesi.

Kelima, fundamentalisme kapitalis global terus menghantui perekonomian masyarakat Indonesia,


pemerintah telah dibuat bertekuk lutut atas sabda kapitalisme ini. Awal dari merasuknya nilai-nilai
kapitalisme global dan berujung pada globalisasi kemiskinan. Dari globalisasi kemiskinan itu akhirnya
banyak golongan yang kemudian membalik fundamentalisme ini menjadi fundamentalis agama yang
diusung bersama nilai-nilai kekerasan, kembali mempersoalkan asas pancasila, syariat, hubungan agama
dan negara yang ideal, dan mungkin piagam Jakarta yang telah selesai masalahnya pada abad IX dulu.
Bukankah itu adalah bentuk-bentuk baru yang banyak mengancam eksistensi pancasila ?

Pelanggaran Terhadap Ideologi Pancasila [ ada banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik bangsa
ini,bangsa ini banyak melanggar apa yang telah menjadi sebuah suatu kebanggaan kita,namun, hal itu di
saat ini telah banyak di langgar, Hari ini kita melihat bagaimana Pancasila usai reformasi seakan telah
dikuliti kesaktiannya. Reformasi yang membawa angin demokrasi yang diharapkan akan membawa
perubahan ke arah yang lebih baik justru memberikan liberalisasi yang tidak terkontrol di semua aspek
kehidupan. Pancasila-pun di kritisi bahkan tak jarang dihinakan, dan banyak masyarakat yang melakukan
pelanggaran terhadap nilai-nilai pancasila. Jangankan masyarakat, para pemimpin negeri ini pun juga
telah melakukan pelanggaran terhadap sila-sila dari Pancasila itu sendiri. Pejuang kita para birokrat
besar yang memimpin bangsa indonesia saja banyak melanggar sila yang ada,dan mereka tanpa merasa
bersalah sedikit pun,ironisnya indonesia.

Pelanggaran idiologi pancasila oleh presiden [ Berikut merupakan para pelanggar idiologi pancasila oleh
para presiden indonesia yang telah melanggar sila-sila yang ada bukan dari pejabat kecil yang melanggar
namun pejabat besar malah melanggar seperti presiden republic indonesia .ini lah nama presiden
pelanggar sila-sila pancasila dari kalangan presidden yaitu :

1. Presiden Soekarno [ presiden pertama ini telah melanggar sila pada pancasila yakni melanggar Sila
1; Ketuhanan Yang Maha Esa, karena membiarkan adanya faham Komunisme yang identik tak
mempercayai adanya Tuhan (atheis). Padahal dialah sang arsitek pancasila.

2. Presiden Soeharto [ presiden ini melanggar Sila 2; Kemanusiaan yang adil dan beradab. Pada masa
pemerintahan Soeharto, terdapat Petrus, atau penembak misterius, yang melenyapkan siapa saja yang
dianggap membahayakan ketertiban masyarakat, juga ada Kopkamtib yang tugasnya kurang lebih sama
dengan Petrus untuk menghilangkan siapa saja yang dianggap dapat membahayakan eksistensi
pemerintahan yang sedang berkuasa.
3. BJ. Habibie, dianggap melanggar Sila 3; Persatuan Indonesia. Karena pada masa inilah Timor Timur
(Timor Leste) yang telah susah payah diperjuangkan masuk kedalam NKRI, lepas dan merdeka melalui
sandiwara referendum. Dimana slogan “NKRI harga mati !!!”

4. Abdurrahman Wakhid atau Gus Dur, melanggar Sila 4; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah,
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan. Gus Dur melecehkan keberadaan Wakil Rakyat
dengan mengatakannya seperti para murid Sekolah Taman Kanak-kanak (TK). DPR hampir di bubarkan.

5. Megawati Soekarnoputri, melanggar Sila 5; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Presiden
ini pada masanya beberapa kali menaikkan harga BBM, cukup meresahkan dan menyengsarakan rakyat,
serta menjual beberapa aset negara ke negara tetangga Singapura. Jika dia mengaku orang nasionalis,
nasionalisme macam mana yang dia pegang?

6. Presiden SBY, melanggar Sila 5; Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. SBY menerapkan
pasar bebas. Sebab sistem ekonomi konsitusi yang dilandasi Pancasila berbeda sama sekali dengan pasar
bebas. Dalam sistem ekonomi konstitusi, tidak semua komoditas bisa dipasarkan dan pelaku ekonomi
bukan hanya korporasi. Sementara dalam sistem pasar bebas, semua komoditas bisa dipasarkan dan
pelaku ekonomi hanya korporasi. Jadi sistem ekonomi SBY berbeda dengan sistem ekonomi Pancasila.

Pelanggaran para Pemimpin Negeri [ pelanggaran terhadap pengamalan Pancasila ini, Ada
kecenderungan untuk tidak menganggap Pancasila sebagai sesuatu hal yang tidak penting untuk
dipahami dan diaplikasikan. Bahkan sangat mungkin terjadi bahwa semuanya itu hanya dipakai sebagai
tirai asap untuk menutup-nutupi kegagalan negara dalam melaksanakan Pancasila itu sendiri. Masih kita
temukan pada sebagian anak bangsa yang mencari jati diri lain, yang konon tidak sesuai dengan nilai
luhur budaya bangsa Indonesia. Orang semakin jarang menyuarakan makna Pancasila dan bahkan
terkesan alergi. Lembaga pendidikan formalpun tidak lagi mengajarkan materi Pancasila sebagai salah
satu bagian pembangunan karakter bangsa dalam kurikulum pendidikan.

Pancasila juga dianggap sudah tidak ampuh lagi sebagai perekat bangsa, karena disana-sini timbul
berbagai konflik, benturan dan disharmoni sosial. Semangat toleransi dalam kehidupan masyarakat
terus mengendor. Hal ini diperparah dengan makin banyak sosok teladan yang buruk, dan minimnya
sosok pemimpin yang memberikan teladan sehingga patut diteladani.
Demokrasi Pancasila ( Pancasila dalam Demokrasi) [ Secara formal Pancasila diakui sebagai dasar
negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat
ini. Pancasila sebagai ideologi Negara belakangan ini menghadapi ancaman yang serius terkait adanya
upaya mengganti ideologi Negara dengan ideologi lain, seperti fenomena munculnya gagasan pendirian
negara Islam dengan memberlakukan Syariat Islam dan bangkitnya kembali ideologi komunis di
Indonesia.

Dalam Masa pemerintahan Orde Lama maupun Orde Baru, terdapat beberapa hal yang “diharamkan”
untuk dikritik, yaitu: Tidak boleh mengkritik Pancasila dan UUD 45, tidak boleh mengkritik kebijaksanaan
pemerintah, tidak boleh mengkritik dwi fungsi ABRI, dan tidak boleh mengungkapkan kesalahan pegawai
pemerintah. Siapa pun yang melanggar rambu-rambu ini, pelakunya akan berhadapan dengan alat
negara dan dituduh melanggar undang-undang anti subversi. Namun sekarang setelah Reformasi yang
membawa arah Demokrasi baru yang menjunjung tinggi HAM, semua orang mempunyai hak untuk
menyampaikan pendapat dan memperjuangkan idenya. Semua orang punya hak untuk mengkritisi atau
dikritisi, bukan hanya rakyat, pejabat negara tetapi Presiden-pun boleh dikritik. Bahkan Ideologi
Pancasila juga dikritik, walaupun ada juga sebagian orang yang mengatakan bahwa kebebasan seperti ini
telah melanggar konstitusi. Konsekuensinya ketika Pancasila masuk dalam arena Demokrasi Liberal. Ia
tak akan luput dari kritik yang akan melemahkan pancasila itu sendiri. Negara menjadi arena
pertarungan terbuka antara ideologi dari berbagai pemikiran. Baik ide yang masih tetap
mempertahankan Ideologi Pancasila, ide mendirikan Negara Islam, ide mendirikan Negara Komunis,
ataupun ide-ide lain yang ada dalam kemajemukan bangsa ini.

Pancasila Adalah Sebuah Fase Ideologi [ sebagian Bangsa Indonesia saat ini berkeyakinan bahwa ideologi
Pancasila adalah final dan telah mendapatkan kesepakatan seluruh pendiri negara. Tetapi, seiring
berjalannya waktu dan seiring perkembangan globalisasi, Pancasila sebagai ideologi negara seolah
terlupakan dan dilupakan. Nilai-nilai Pancasila, cenderung mulai luntur dan tergerus oleh perkembangan
jaman. Sejumlah kalangan bahkan mulai mengkhawatirkan dan prihatin terhadap kecenderungan nilai-
nilai Pancasila yang tidak lagi menjadi pedoman dalam berbagai kebijakan publik untuk meraih cita-cita
bangsa.

Jika kita membaca sejarah bangsa di negeri ini jauh sebelum nama "Indonesia" ada, ketika tanah ini
belum bernama. berawal dari kehidupan animisme dinamisme, hari ini kita akan mengatakan bahwa
ideologi pada waktu itu adalah ideologi anismisme dinamisme. Lalu lambat laun beralih dengan ideologi
yang berorientasi pada ajaran Hindu Budha lalu masa kesultanan Islam dengan ideologi yang berdasar
pada akidah agama Islam. kemudian masa penjajahan dengan ideologi kolonialismenya. dan terakhir
ketika negeri ini sudah bernama Indonesia dengan ideologi Pancasila.
Sebagian besar masyarakat yang hidup dalam setiap fase ideologi selalu menganggap bahwa apa yang ia
yakini adalah yang paling benar, dan berusaha mempertahankannya jangan sampai hilang atau
tergantikan. Namun, benturan ideologi adalah suatu hal yang pasti terjadi, dan
proses metamorfosis ideologi inipun pasti di lewati dengan perang pemikiran bahkan perang fisik.

Jadi, menurunnya pengamalan nilai-nilai Pancasila ini bisa jadi adalah sebuah fase peralihan ideologi.
Bertahan tidaknya Ideologi pancasila di negeri ini tergantung seberapa besar para Pancasilais mampu
mempertahankan ideologinya. Tidak ada yang mampu menjamin bahwa sebuah ideologi akan bertahan
Abadi. Pertarungan Ideologi adalah suatu hal yang pasti, seperti halnya hukum alam "siapa yang kuat
dialah yang menang". : dia yang tinggi : dilah yang berkuasa “.

http://avisbungsu.blogspot.com/2014/04/metamorfosis-idiologi-bangsa-indonesia.html

Rejuvenasi Pancasila, yaitu semangat untuk mengembalikan Pancasila seperti apa yang dicita-citakan
oleh para Founding Fathers, Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai alat politik tetapi Pancasila
ditujukan untuk mencapai masyarakat yang mempunyai budaya harmonis, bermartabat dan
mempunyai visi yang luas.

Apakah "ideologi" semacam "Pancasila" masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang
nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini, pertanyaan
seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun pertanyaan itu sering
diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi dan relevansi Pancasila
dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam berbagai segi kehidupan.

Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak
terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi
baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel
Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang "the end of ideology"?. Tetapi perang dingin yang terus
meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-
komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetap relevan dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan
runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi
seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti
itu sebagai "the end of history"?, masa "akhir sejarah"? di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi
Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan


membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah
banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi
mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal maupun lokal—tetapi pada pihak lain,
nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethno-nationalism dan
bahkan tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai
penyebab "Balkanisasi"?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut
etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan
politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common platform dan identitas
nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat
setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan
yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila
sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga
mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran
P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila
sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas
ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung
tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi
daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi
bukan tidak mungkin bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih
dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian
kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, tentu cukup alarming, lampu kuning bagi masa
depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Pancasila—meski menghadapi ketiga masalah tadi—tetap
merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform
bagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi
kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang
menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu;
corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum tampil.

Sudah tentu tidak ada yang salah dengan Pancasila as such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan
tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-
quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada
tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang
paling feasible dan sebab itu lebih viablebagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat
ini—dan juga di masa depan—belum terlihat alternatif common platform ideologis lain, yang tidak
hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi juga viable dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-
masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, jelas nampak urgensi mendesak rehabilitasi dan
rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional
sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan
keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based
ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.

Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public discourse,
wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian
kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan
baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial
untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus
menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga
kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid,
sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran
publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden maupun Wapres
jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila
dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan Pancasila.
Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang—Presiden, Wapres dan pejabat-pejabat publik
lainnya—memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli
pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Mengembalikan Kemurnian Pancasila

Pancasila telah dinobatkan sebagai dasar negara Indonesia, ideologi pemersatu bangsa yang dijadikan
landasan dalam kehidupan bernegara seperti yang diimpikan para pendiri bangsa (founding fathers)
Indonesia. Namun realitas saat ini sama sekali tidak sesuai dengan harapan mulia itu.

Pancasila seakan sekadar menjadi simbol belaka tanpa pemahaman dari masyarakat. Mereka tidak
menyadari Pancasila sebagai dasar negara mereka. Di saat problem menimpa, justru Pancasila bukan
yang pertama kali dijadikan solusi.

Bukan bermaksud menyepelekan landasan dan ideologi lain, semisal agama. Kita semua tentu sadar
betul bahwa Pancasila sangat memperhatikan urusan agama. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan
permasalahan ketuhanan pada sila pertama. Yang perlu disayangkan adalah nasib Pancasila di tengah
kemajemukan Indonesia sekarang ini akibat gempuran globalisasi yang tiada henti.

Negara kita memiliki beragam suku dan ideologi. Kemajemukan ini disadari betul oleh para pendiri
bangsa kita. Maka pada tanggal 1 Juni 1945, saat persidangan Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno untuk pertama kali memperkenalkan konsep Pancasila. Hal
ini didasari semangat untuk mempersatukan Indonesia yang luas dan majemuk. Setelah melalui
perdebatan di kalangan tokoh pergerakan nasional, akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara. Ia
menjadi pandangan hidup Indonesia yang bersifat universal bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
aspek ketuhanan, kemanusiaan, keindonesiaan, demokrasi dan keadilan yang tertuang dalam kelima
sila.

Sepanjang perjalanannya, Pancasila tidak terlepas dari berbagai penyimpangan politik penguasa. Jika
Presiden Soekarno dengan Dekrit Presidennya menjadikan dirinya sebagai kekuasaan otoriter yang
bertentangan dengan Pancasila, Presiden Soeharto justru telah menjadikannya sebagai alat kekuasaan
politik (political tool) semata. Melakukan penyelewengan tafsir melalui penataran dan pendidikan di
lembaga-lembaga pendidikan, membungkam kedaulatan rakyat atas nama pembangunan nasional.

Saat itu pula, banyak terjadi tindakan-tindakan yang sama sekali berlawanan dengan Pancasila. Korupsi,
kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan hukum adalah secuil dari dosa yang diperbuat penguasa Orde
Baru. Akibat ulah Orde Baru, Pancasila yang seyogianya dapat kembali menjadi perekat komponen
bangsa, telah diidentikkan dengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Seiring dengan lengsernya Orde
Baru, munculah sikap dan pandangan baru di kalangan warga negara Indonesia terhadap dasar negara.
Mereka menilai Pancasila sudah tidak bersahabat dengan rakyat. Sedangkan demokrasi yang
sesungguhnya identik dengan keadilan, persamaan, penghormatan terhadap HAM dan taat hukum.

Sebagai sebuah dasar negara dan pandangan hidup yang telah tercemar, Pancasila memerlukan
revitalisasi makna bagi masa depan Indonesia. Azyumardi Azra menegaskan, harus dilakukan rehabilitasi
dan rejuvenasi Pancasila. Hal ini dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagaipublic
discource (wacana publik). Melalui langkah awal ini sekaligus dapat dilakukan penilaian kembali atas
pemaknaan Pancasila selama ini untuk mendapatkan pemaknaan baru.

Sudah semestinya Pancasila ditempatkan secara terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan
bernegara. Posisinya sebagai panduan nilai dan pedoman bersama (common platform) untuk
mewujudkan kesejahteraan hidup bangsa. (Sumber: M Amsar Roedi FT IAIN Walisongo).***

[Suprapto Estede : Materi ini disiapkan untuk Testimoni tentang Eksistensi dan Rejuvenasi Pancasila di
Era Reformasi pada Acara Final Lomba Cerdas Cermat Wawasan Kebangsaan Tahun 2012,
diselenggarakan oleh Badan Kesbang Linmas Kabupaten Bojonegoro pada Tanggal 11 Juli 2012 di
Pendopo Malowopati Pemkab. Bojonegor

http://supraptoestede.blogspot.com/2013/11/rejuvenasi-pancasila.html
Rejuvenasi Pancasila Sebuah Kebutuhan Bersama

Rate This

I. PENDAHULUAN

Sejarah perkembangan ideologi politik umat manusia, menurut Fukuyama, akan berakhir dengan
kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal. Kapitalisme sebagai ideologi tampak menjadi semakin
meguat dengan adanya blok perdagangan maupun penyatuan negara-negara di kawasan tertentu untuk
kepentingan ekonomi. Sedangkan demokrasi liberal yang kini diterapkan di negara-negara maju, akan
menjadi prototype dari pola-pola pemerintahan di masa mendatang.[1]

Pada era perang dingin dunia terbentuk dua blok dengan idiologi Liberalisme dan Komunisme yang
menurut pemahaman bangsa Indonesia kedua “Isme” tersebut memiliki kecendrungan Power
Politicsuntuk mencapai World Domination. Runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989, menunjukkan
Amerika Serikat sebagai pemenang dalam perang dingin, sehingga peperangan ideologi antara blok
Timur dan Barat telah berakhir dengan kemenangan ideologi Liberalisme. Dunia memasuki era
globalisasi yang menampakkan diri sebagai era dominansi negara industri Barat terhadap negara-negara
berkembang. Dengan mengkapanyekan issu demokratisasi, pelanggaran HAM, perdagangan bebas dan
lingkungan hidup maka negara Barat terus mendesak untuk memaksakan kehendaknya termasuk
ideologi terhadap negara-negara berkembang.

Dilihat dari dua ideologi yang bertentangan tersebut diatas maka Pancasila menjelmakan diri
sebagai Moral persuasive power dengan mengambil sisi yang baik dari kedua “Isme” tersebut
yang adaptabledengan karakteristik bangsa Indonesia yang menghendaki suatu tatanan dunia baru yang
bebas dari penghisapan manusia oleh manusia, dan bangsa oleh bangsa. Kekuatan Pancasila adalah
dibidang falsafah, idiologi moral dan persuasi serta hanya menggunakan kekuatan “force” bila dipaksa
untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Pada era globalisasi saat ini, seakan-akan dunia tanpa ada batasnya, dimana arus informasi dan
telekomunikasi telah canggih sehingga umat manusia pada setiap detik dapat mengetahui semua
kejadian atau peristiwa di seluruh dunia. Sejalan dengan perkembangan globalisasi maka gelombang
demokratisasi seakan-akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam dunia yang tanpa batas.
Namun globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi, dimana sebagian orang memandang
globalisasi merupakan berkah sedangkan sebagian orang mengatakan sebagai bencana. Dilihat dari
aspek ideologi globalisasi mengakibatkan kebangkrutan ideologi universal dan lokal, namun dilain pihak
globalisasi mendorong bangkitnya nasionalisme lokal.[2]

Perkembangan lingkungan strategi global sangat dipengaruhi oleh issu demokratisasi, liberalisasi, HAM,
lingkungan hidup yang telah dijadikan sebagai kriteria dalam hubungan internasional yang
implementasinya sering dimanfaatkan oleh negara maju untuk mendukung kepentingan politiknya. Pada
tataran global pengaruh dari globalisasi telah terjadi pergeseran tata nilai menuju dunia baru yang
transparan, bebas, dinamis dan interdependency dan telah melahirkan sejumlah issu yang
mempengaruhi hampir segenap aspek kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.

Seiring dengan gelombang demokratisasi yang mendunia, begitu juga di Indonesia telah mendorong
terjadinya gerakan reformasi yang merupakan titik tonggak demokrasi di Indonesia, dimana telah
mampu menumbangkan Pemerintahan Orba yang otoriter dan selanjutnya terjadi perombakan besar
terhadap Konstitusi yang lebih banyak memberikan kebebasan terhadap rakyat. Hal yang menjadi
pemicu terjadi gerakan reformasi mulai tahun 1997, adalah terjadinya krisis moneter dan ekonomi,yang
terus berlanjut menjadi krisis politik, moral dan Ideologi. Pancasila sebagai basis ideologi bangsa
Indonesia yang plural seolah-olah semakin kehilangan relevansi dan semakin termarjinalkan dari
kehidupan masyarakat sehari-hari maupun dalam pemerintahan.

Keterkaitan Pancasila dan globalisasi ternyata mengungkap diri dalam dua wujud yang tidak
berpanggahan (inconsistent) antara satu dengan yang lain. Keterkaitan pertama berujud relasi dominasi
negara industri Barat terhadap negara berkembang. Keterkaitan kedua berada dalam tataran konsep,
yaitu Pancasila yang berpaham kebersamaan atau kekeluargaan atau integrasi, berpadanan dengan
struktur dari globalisasi dunia, yaitu saling ketergantungan antarbangsa. Perdefinisi, kondisi
kebersamaan adalah keluaran dari interaksi saling memberi antar bangsa yang berelasi saling
tergantung.[3]

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia menghadapi ancaman ideologi liberalisme lebih unggul dan
terbukti telah mampu membawa negara dan masyarakatnya dalam berbagai kemajuan. Selain itu juga
menghadapi hambatan yang berasal dari dalam negeri yang berupa sinisme dari sebagian rakyat
Indonesia, karena pengalaman masa Orde Baru Pancasila telah didiskreditkan dan dibelokkan oleh
penguasa untuk melestarikan kekuasaan. Pada kenyataannya Pancasila telah cukup teruji dari dari
jaman kemerdekaan sampai sekarang dan paling feasible sehingga akan viable dalam kehidupan saat ini
dan masa depan. Mengesampingkan Pancasila dari kehidupan berbangsa dan bernegara atas dasar
trauma pada pemaknaan Pancasila pada jaman Orba adalah tindakan yang salah besar, karena tidak ada
yang salah dari ideologi Pancasila itu sendiri, yang keliru adalah pemaknaan dan pengamalannya.

Sehubungan dengan suksesi kepemimpinan pada tahun 2004 yang dilakukan dengan pemilihan langsung
oleh rakyat maka kita menaruh harapan lebih pada pemilu Presiden secara langsung, dengan harapan
bahwa pemilu Presiden langsung dapat melahirkan seorang Presiden Indonesia yang mampu
menjadikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia, diantaranya dapat mengembalikan
kebijakan, perilaku kekuasaan negara dan hukum untuk perlindungan dan pemenuhan hak mayoritas
rakyat. Dengan demikian pada kepemimpinan nasional mendatang adalah momentum yang paling tepat
untuk melakukan rejuvenasi dan merehabilitasi Pancasila.

II. DASAR PEMIKIRAN

Ideologi adalah istilah yang sejak lama telah dipakai dan menunjukkan beberapa arti, semula oleh
Destutt de Tracy (1796) istilah ideologi dengan pengertian science of ideas, yaitu suatu program yang
diharapkan dapat membawa perubahan institusional dalam masyarakat Prancis, namun pandangan
tersebut dicemooh oleh Napoleon dan Marx, bahwa ideologi hanya sebagai khayalan belaka yang tidak
mempunyai arti praktis, namun selanjutnya bahwa mereka mengakui bahwa ideologi ternyata
mempunyai arti yang praktis.[4]

Pada perkembangannya ideologi merupakan keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan
persepsi, landasan, serta pedoman tingkah laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh
kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan. Dengan demikian ideologi mengandung
orientasi yang menempatkan seseorang dalam lingkungan ilmiah dan sosial. Dalam orientasi itu manusia
mempunyai pandangan hidup atau wawasan tentang alam, masyarakat, manusia dan segala realitas
yang dijumpai serta dialaminya. Dengan demikian terjadi proses penuangan orientasi dan wawasan ke
dalam bentuk nilai dan asas yang normatif ke dalam bidang-bidang kehidupan dan tingkah laku politis.
Begitu juga halnya dengan Pancasila sebagai ideologi harus mampu memberikan orientasi,
wawasan,asas dan pedoman yang normatif dalam seluruh bidang kehidupan negara.

Kehidupan bermasyarakat itu mempersyaratkan adanya persatuan warganya, dan ideologi yang
menyediakan cara tertentu yang berlaku umum tentang bagaimana individu memandang dirinya,
memandang masyarakat, untuk membantu mempersatukannya. Dengan demikian dalam fungsinya yang
seperti itu, ideologi melakukan fungsi instrumental yang penting bagi tingkah laku politik dalam
menciptakan atau merubah tatanan masyarakat. Jadi ideologi menunjukkan adanya sejumlah fungsi
yang saling berkaitan bagi individu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.[5]

Setiap ideologi terbentuk melalui pengalaman sejarah masyarakat tempat ideologi itu tumbuh.
Demikian juga pengalaman sejarah bangsa Indonesia merupakan akar dan pembenaran dari ideologi
Pancasila. Sifat dinamis dari ideologi ialah kemampuannya untuk menyerap pengalaman-pengalaman
empiris ke dalam sistemnya secara terus menerus berhadapan dengan perubahan dan perkembangan
baru melalui sebuah proses dialektik. Pancasila sebagai sebuah ideologi merupakan hasil dari proses
sejarah kehidupan bangsa Indonesia, yang digali oleh para pendiri bangsa Indonesia.

Ideologi sebagai serangkaian gagasan yang mengarah perbuatan dapat dibagi dalam ideologi murni dan
praktis. Ideologi lahir dari nilai-nilai teoritik yang dipadukan dengan praktik, yang dalam hal ini ideologi
Pancasila lahir dari filsafat Pancasila yang dipadukan dengan pengalaman revolusi kemerdekaan dan
sejarah bangsa sesudahnya. Ideologi murni Pancasila tampak dalam Pembukaan UUD 1945 dan isi pokok
batang tubuh UUD 1945, sedangkan ideologi praktis timbul dari pengalaman sejarah selama ini.[6]

Pancasila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 berkualifikasi sebagai dasar negara, yang
mengandung filsafat politik, yaitu yang terumus sebagai empat pokok pikiran yang terkandung dalam
pembukaan UUD 1945. Pancasila sebagai dasar negara beserta filsafat politiknya, mengikat secara moral
dan sebagai cita hukum mengikat hukum, segenap subyek kehidupan negara. Artinya setiap subyek
kehidupan negara wajib mengamalkan Pancasila dalam menjalankan fungsi parsialnya dari seluruh
usaha perwujudan cita-cita bangsa negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan
makmur.

Kelima Sila merupakan kesatuan yang utuh, dimana kelima sila dalam Pancasila itu ibaratnya sebuah
jala, apabila salah satu bagian dari jala itu diangkat, maka terangkatlah semuanya karena jala yang luas
itu sebenarnya adalah satu barang, demikian pula kelima Pancasila. Kelima sila dari Pancasila itu adalah
amat luas dan amat lebar karena meliputi segala apa saja yang ada. Asal ada mesti tercakup dalam
Pancasila, yang tidak dicakup oleh Pancasila pastilah karena tidak ada. Yang ada ini sebenarnya
hanyalah tiga hal saja yaitu Tuhan, manusia dan benda. Jadi Pancasila sangatlah luas, kalau dipikirkan
salah satu silanya harus berarti menyangkut dan meliputi semua silanya, kalau diangan-angankan salah
satu silanya, harus berarti diangan-angankan semua silanya, kalau diamalkan salah satu silanya, harus
berarti diamalkan semua silanya.[7]

Mengamalkan salah satu sila, tetapi lepas dari keempat sila lainnya bukanlah mengamalkan Pancasila
namanya, hal tersebut merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan Pancasila. Mengenai
kesatuan sila-sila Pancasila sebagai kesatuan yang bulat dan utuh ada rumusannya, yang dinamakan
rumus rangkaian kesatuan sila-sila Pancasila. Rumus ini ada dua macam, yaitu hirarkis piramidal dan
saling mengkualifikasi. Hirarkis piramidal dimana sila pertama adalah sebagai basis dari piramida
tersebut sedangkan sila kelima sebagai puncaknya. Dari puncak kebawah semakin luas dan dari bawah
ke puncak semakin sempit, dalam arti semakin khusus. Jadi sila yang di bawahnya itu meliputi dan
menjiwai sila diatasnya, sedangkan sila diatasnya itu diliputi dan dijiwai oleh sila dibawahnya. Sedangkan
rumus saling mengkualifikasi, sebenarnya sama saja dengan rumus hirarkis piramidal, hanya cara
mengatakannya yang berbeda.

III. KONSEP REJUVENASI

Sebagaimana pendapat Prof. Azyumardi Azra, pada dasarnya Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia tidak ada yang salah atau keliru dengan Pancasila itu sendiri, yang keliru justru pemaknaan
dari Pancasila pada masa Orde Baru dimana menetapkan Pancasila sebagai asas tunggal dari semua
Orpol, Ormas dan bentuk organisasi lainnya. Hal ini sengaja dilakukan oleh penguasa Orde Baru sebagai
strategi untuk melanggengkan kekuasaannya dengan membelenggu seluruh rakyat Indonesia dengan
membelokkan ideologi Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Selanjutnya terdapat
tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan termajinalkan dalam kehidupan bangsa Indonesia
yakni : Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan penguasa Orba yang mendominasi pemaknaan
Pancasila untuk mempertahankan kekuasaan, Kedua liberalisasi politik yang dilakukan pada masa
pemerintahan BJ. Habibie dengan penghapusan ketentuan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam
setiap organisasi, Ketiga adalah perubahan pemerintahan dari sentralisasi menuju desentralisasi dan
otonomi daerah, sehingga cukup mendorong sentimen kedaerahan.[8]

Dalam sejarah bangsa Indonesia ideologi Pancasila telah teruji mulai masa kemerdekaan hingga
sekarang dalam menghadapi ancaman, tantangan dan kemajuan jaman, dimana Pancasila mampu
menghadapinya dan sampai saat ini tidak diketemukan lagi ideologi yang tepat bagi bangsa Indonesia
yang heterogen terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa, agama, adat, budaya dan lain-lain. Pancasila
merupakan dasar penting dari cara hidupnya (way of life),common platform, integrating force bangsa
Indonesia sehingga posisi Pancasila sangat krusial bagi kelangsungan hidup bangsa. Namun pada
kenyataannya pada saat ini baik di tingkat birokrasi pemerintah maupun di masyarakat, telah terjadi
kemerosotan dalam pengamalan Pancasila dalam kehidupan bernegara maupun bermasyarakat.

Untuk itu pada kepemimpinan nasional yang baru mendatang hasil pemilu Presiden secara langsung
merupakan momentum yang tepat untuk melakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, sehingga
diperlukan pemimpin nasional yang mau memikirkan ideologi Pancasila demi kemajuan bangsa
Indonesia di masa datang.

Sebelum lebih jauh kita masuk dalam konsep rejuvenasi maka perlu diketahui apa maksud dari
Rejuvenasi Pancasila ? Seperti telah diuraikan diatas bahwa Pancasila pada masa orde baru telah terjadi
kesalahan pemaknaan dari ideologi Pancasila itu sendiri, maka pada era reformasi yang didorong oleh
arus globalisasi dan demokratisasi saat ini maka nilai-nilai yang terkandung di dalam sila-sila Pancasila
perlu adanya peremajaan pemaknaan kembali nilai-nilai tersebut sesuai dengan nilai filosofi yang
terkandung dalam Pancasila tanpa adanya pengaruh kekuasaan dan pembelokan pemaknaan untuk
kepentingan politis para penguasa, sehingga pemaknaan tersebut murni dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila.

Pengaruh dari arus globalisasi dan demokratisasi yang melanda dunia termasuk di Indonesia, yang telah
merubah sistem nilai maupun budaya serta kebiasaan umat manusia yang membawa manusia dalam
dunia yang saat ini nyaris tanpa batas. Dari pengaruh globalisasi dan demokratisasi tersebut seakan-
akan membuat ideologi makin tidak relevan dalam dunia baru yang global, begitu juga halnya di
Indonesia apakah ideologi Pancasila masih relevan pada saat ini ? Untuk menjawab pertanyaan tersebut
maka kita perlu menengok apa sebenarnya ideologi Pancasila tersebut. Pancasila merupakan gagasan
vital yang berasal dari kebudayaan bangsa Indonesia yang terkandung nilai-nilai benar yang diramu dari
sistem nilai bangsa Indonesia sendiri yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa.

Perumusan Pancasila secara formal harfiah yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 pada hakekatnya merupakan suatu sistematisasi pandangan hidup bangsa Indonesia akan
keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa, kepada siapa kita semua bertaqwa, keyakinan bahwa kita
sebagai mahluk ciptaan-Nya dikaruniai harkat dan martabat yang sama, keyakinan bahwa dalam
kehidupan dalam satu kelompok, keyakinan bahwa dalam kehidupan dalam satu keterkaitan kelompok
itu segala sesuatu dipatuhi bersama, demi tercapainya keadilan. Kesatuan dan keutuhan unsur-unsur
pandangan hidup seperti tersebut diatas yang merupakan makna yang terkandung dalam Pancasila.
Oleh para pendiri negara (fouding fathers), Pancasila dimaksudkan sebagai dasar yang kekal dan
abadi,filosofische grondslag bagi kehidupan bangsa Indonesia yang terangkai dalam pokok-pokok pikiran
yang runtut, jelas, dan lengkap.

Pancasila hanya mengatur pokok-pokok pikiran dasar hasil pemikiran dan sekaligus merangkum ciri-ciri
atau kepribadian yang digali dari bangsa Indonesia sendiri dengan perkembangan yang terjadi dalam
pemikiran dan kehidupan umat manusia secara keseluruhan. Dalam menghadapi kemajuan jaman, era
globalisasi dengan demokratisasinya, gerakan reformasi di Indonesia, maupun kemajuan teknologi dan
informasi, maka Pancasila masih tetap relevan sebagai ideologi bangsa Indonesia pada masa kini dan
mendatang.

Kepribadian suatu bangsa sebagaimana juga kepribadian seseorang, tidak mungkin terus saja sama
dengan yang semula tanpa ada perkembangan. Memang dalam perkembangan itu ada yang bersifat asli
atau permanen, unsur yang membuatnya berbeda dari yang lain. Namun disamping yang permanen,
berkembang sifat-sifat hasil adaptasi atau pertumbuhan baru dalam diri sendiri. Kalau suatu bangsa
tidak sanggup untuk memperkuat diri dengan menumbuhkan satu perkembangan dalam
kepribadiannya, maka sangat disangsikan masa depannya dalam kehidupan umat manusia yang penuh
perubahan. Memang merupakan tantangan bagi setiap bangsa untuk dapat menempuh jalan yang
mulus dalam proses perkembangannya. Untuk menghadapi era globalisasi dan demokratisasi serta
segala bentuk tantangan di masa mendatang, maka Pancasila perlu adanya rejuvenasi dan rehabilitas
dalam hal pemaknaan dan pelaksanaan nilai-nilai dalam kehidupan sehari-hari.

Upaya untuk melakukan rejuvenasi maupun rehabilitasi memang merupakan perjuangan yang sangat
berat, karena upaya tersebut harus menghadapi ancaman dari agresifnya ideologi barat yang ingin
menguasai bangsa Indonesia Kaum neo-imperalis barat, dalam hal ini AS telah mengkapanyekan bahwa
ideologi liberalisme lebih unggul dan terbukti telah mampu membawa negara dan masyarakatnya dalam
berbagai kemajuan. Selain itu juga menghadapi hambatan yang berasal dari dalam negeri yang berupa
sinisme dari sebagian rakyat Indonesia, karena pengalaman masa Orde Baru Pancasila telah
didiskreditkan dan dibelokkan oleh penguasa untuk melestarikan kekuasaan.[9]

Mengembangkan ideologi Pancasila berarti memikirkan bagaimana Pancasila dapat menyambut masa
yang akan datang. Hal ini dapat dimulai dengan melenyapkan dari pemikiran kita bahwa Pancasila yang
diasumsikan pada sejarah dan tradisi bangsa Indonesia bersifat kuno, namun kita harus berpandangan
bahwa Pancasila bersifat dinamis sehingga dapat mengikuti kemajuan jaman. Yang kedua adalah bahwa
cara pandang yang mendasari Pancasila yang dirumuskan sebagai asas kekeluargaan diartikan
kekerabatan sehingga sedikit banyak dianggap primodial. Sifat kekeluargaan berarti tidak bersifat
perseorangan atau idividualistik, namun mencakup arti kebersamaan antar umat manusia.[10]

Dewasa ini yang mendesak untuk dilakukan adalah mengadakan penjabaran konsepsional Pancasila ke
dalam bidang-bidang kehidupan, sehingga Pancasila benar-benar nampak dalam sistem
penyelenggaraan dan kebijaksanaan negara. Keterlambatan dan kelambanan dalam menjabarkan
pedoman konsepsional ini, akan menimbulkan kekaburan orientasi dan membuka kesempatan bagi
banyak orang untuk menyalahgunakan Pancasila dan bahkan bernaung di balik Pancasila untuk
membenarkan tingkah lakunya yang tercela. Bagaimana penjabaran konsepsional itu dapat dilakukan
dengan sebaik-baiknya ? Suatu pertanyaan yang fundamental dan perlu dipikirkan sedalam-dalamnya,
secara cermat dan tepat. Pendekatan yang dilakukan bukannya bersifat sektoral namun harus bersifat
komprehensif, sehingga tidak dapat direduksi pada salah satu sektor atau bidang kehidupan, tetapi yang
bersifat integral yaitu mengikutsertakan semua aspek dan bidang kehidupan manusia.

Kemudian penjabaran konsepsional seharusnya dilaksanakan dengan langkah-langkah mampu


menciptakan pemikiran-pemikiran yang konsepsional pula. Pemikiran-pemikiran dan nilai-nilai yang
fundamental yang tepat dan relevan untuk diintegrasikan ke dalam kesatuan ideologis Pancasila,
terutama dalam menghadapi tantangan masa depan. Ideologi Pancasila dijabarkan secara rasional dan
kritis sehingga harus mampu membuka iklim hidup yang bebas dan rasional. Demikian pula ideologi
tidak boleh bersifat mutlak (absolutisme) dan mengakui memiliki kebenaran tidak secara eklusif,
sehingga bisa peka terhadap perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia dan tidak menutup diri
dari nilai dan pemikiran dari luar yang memang diakui menunjukkan arti dan makna positif bagi
pembinaan budaya bangsa.

Hal tersebut menunjukkan bahwa Pancasila bersifat dinamis yakni memiliki kesediaan untuk
mengadakan pembaharuan atau peremajaan yang berguna bagi perkembangan pribadi manusia dan
masyarakat.[11]

Setelah kita megerti kedudukan dan pentingnya ideologi bangsa Indonesia Pancasila dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara maupun keberadaan Pancasila pada saat ini di era globalisasi dan
demokratisasi maka dapat merumuskan konsep untuk melakukan rejuvenasi dan rehabilitasi Pancasila
sebagai berikut :

Menjadikan Pancasila sebagai wacana publik sehingga secara langsung maupun tidak langsung rakyat
Indonesia tidak lagi alergi dengan ideologinya sendiri, sehingga diperoleh pemikiran dan masukan untuk
menghasilkan pemaknaan Pancasila secara murni tanpa adanya motif politik dan kepentingan
lainnya.[12]

Untuk mewujudkan Pancasila sebagai wacana publik diperlukan sosok pemimpin nasional yang menaruh
perhatian khusus terhadap ideologi Pancasila, bermoral, beretika, berjiwa patriot, tegas, demokratis,
sehingga ideologi Pancasila mampu menjadi pemersatu bangsa dan mengantar negara dan bangsa
Indonesia yang maju.

Kepemimpinan nasional tersebut diatas harus di dukung oleh jajaran kabinetnya dan secara hierarkis
kebawah, untuk dapat menaruh perhatian khusus terhadap ideologi Pancasila guna
mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan.

Pemimpin nasional hasil pemilu tahun 2004, perlu mengeluarkan kebijakan khusus untuk menjadikan
nilai-nilai Pancasila menjadi kenyataan dalam kehidupan bangsa Indonesia yang meliputi bidang
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan.[13]
Bidang pendidikan diperlukan perhatian khusus, untuk meningkatkan moral dan akhlak bangsa
Indonesia yang telah mengalami degradasi baik pengaruh dari luar maupun dari dalam negeri efek dari
kebebasan dan informasi dunia.

Pemerintah berani menangkal segala bentuk pengaruh maupun ancaman ideologi asing yang tidak
mencerminkan nilai-nilai Pancasila, karena Indonesia mempunyai ideologi tersendiri dan ideologi asing
tidak tentu relevan terhadap bangsa Indonesia yang mempunyai berbagai keragaman.

IV. IMPLEMENTASI DALAM KEHIDUPAN BERNEGARA DAN BERMASYARAKAT

Setelah perang dingin usai permasalahan yang dihadapi dunia secara umum dan oleh bangsa Indonesia
khususnya justru semakin komplek, walaupun secara perhitungan kasar yang semula terdapat dua kubu
kekuatan yang berpengaruh dan saat ini hanya satu kekuatan tetapi bentuk ancaman terhadap
ketahanan khususnya idiologi yang dianut suatu bangsa tidak kemudian menjadi kecil tetapi justru yang
terjadi adalah sebaliknya karena konsep lama tentang bagaimana menanamkan kepentingan suatu
negara terhadap negara lain telah bermutasi kearah yang sangat rumit dan dapat dilakukan dengan
mengabaikan batas wilayah suatu negara. Suatu negara dapat memaksa negara lain untuk masuk dan
mengiring kedalam pola pikir dan kepentingannya dengan memanfaatkan keunggulan yang dimilikinya
dan sebutan “bangsa” dari sebuah negara tidak lebih hanya sebagai pembeda identitas.

Pada tataran global telah terjadi pergeseran tata nilai menuju dunia baru yang transparan, bebas,
dinamis dan interdependency. Dalam bidang politik telah memicu konflik internal di beberapa negara
yang bernuansa etnik, agama, teritorial, sumber penghidupan dan faktor lainnya yang dapat
mengancam stabilitas nasional dan kawasan. Sedangkan di bidang ekonomi telah melahirkan kondisi
ketergantungan terhadap pasar internasional yang bermuara pada lahirnya ketergantungan strategis
yang mendorong kerawanan terhadap tekanan dari negara lain terutama yang memiliki ekonomi kuat.

Pengaruh dari perkembangan globalisasi membuat iklim politik di Indonesia memanas, mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan lainnya, antara lain munculnya gerakan reformasi yang menuntut adanya
kebebasan, demokratisasi, dan lainnya, sehingga telah menggeser tatanan nilai-nilai politik yang selama
masa Orde Baru sangat dipatuhi dan dijunjung tinggi. Perubahan politik nasional yang sangat mendasar
tersebut telah membuka alam demokrasi di Indonesia, sehingga semua unsur masyarakat menyuarakan
segala aspirasinya. Disisi lain kinerja kelompok masyarakat ataupun komunitas politik masih terkooptasi
oleh kepentingan kelompok (vested interest) cenderung mengkotak-kotakan masyarakat ke dalam
sinopsis SARA, sehingga berpotensi mendorong terjadinya konflik baik vertikal maupun horizontal.

Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa Indonesia, tidak perlu diagung-agungkan sebagai semboyan,
banyak istilah yang dipergunakan untuk memberi fungsi Pancasila seperti Pancasila sebagai dasar
negara, sebagai pandangan hidup, sebagai ideologi, sebagai falsafah dan lain-lain. Istilah-istilah tersebut
justru cenderung menunjukkan kelemahan, karena pemakaian istilah tersebut tanpa mengungkapkan
makna sedikitpun sehingga istilah tersebut lebih memperlihatkan sloganisme. Dengan demikian yang
lebih penting adalah niat dan tekad yang tulus dan kuat untuk mewujudkan nilai-nilai dalam Pancasila
menjadi realitas dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Hal ini harus dimulai dari pemimpin
nasional, dengan menjalankan pemerintahan berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan jangan sekali-kali
memanfaatkan atau membelokkan Pancasila untuk kepentingan politiknya.

Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa harus mampu memberikan orientasi, wawasan, asas, dan
pedoman yang normatif dalam seluruh bidang kehidupan negara. Dalam implementasinya harus
dituangkan dalam bidang sosial, ekonomi, budaya, politik dan hankam sehingga terlihat kemana dalam
sistem penyelenggaraan negara harus diwujudkan. Konsekuaensi sebagai fungsi ideologis maka
Pancasila harus dapat dituangkan ke dalam konsep bentuk negara, sistem pemerintahan, kehidupan
hukum dan perundangan, serta memberikan pedoman dalam kebijaksanaan politik. Sedangkan masalah
yang timbul seperti halnya arus globalisasi, demokratisasi, kemajuan jaman dan kemajuan teknologi
tidak mungkin dihindari begitu saja, tetapi harus dipecahkan dengan tepar dan benar. (Soerjanto)

Implementasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat dapat lebih konkrit
jika diwujudkan dalam agenda dasar atau platform oleh Pemimpin Nasional yang baru terbentuk hasil
pemilu 2004. Agenda dasar tersebut antara lain :

Penyelenggaraan yang benar dan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan penggunaan
kekuasaan.

Menegakkan supremasi hukum dengan konsisten dan konsekuen

Meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa yang selama ini telah terancam dengan adanya berbagai
macam konflik dan otonomi daerah yang diartikan sempit dalam pelaksanaannya sehingga mendorong
munculnya primordialisme.

Merintis reformasi ekonomi dengan mengutamakan pengembangan kegiatan produktif dari bawah, atau
memberdayakan masyarakat bawah dalam pengembangan ekonomi nasional.

Mengembangkan dan memperkuat pranata-pranata demokrasi, untuk menjamin kebebasan masyarakat


dalam berpendapat.

Meratakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam segala aspek ekonomi, pendidikan,
kesehatan dan budaya.

Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai tujuan negara

V. SOSIALISASI REJUVENASI

Melalui jalur yuridis formal atau suprastruktural


Jalur ini dapat berupa suatu perencanaan yang dituangkan dalam Ketetapan MPR yang diikuti dalam
Propenas, APBN, penuangan kebijaksanaan ke dalam perencanaan perundang-undangan, penerapannya
oleh eksekutif, penegakannya oleh yudikatif dan pertanggung jawabannya oleh Mandataris.

Melalui jalur non yuridis atau politis infrastruktur.

Jalur ini pengembangannya melalui berserikat atau berorganisasi, berkumpul atau mengadakan
pertemuan dan mengeluarkan fikiran atau pendapat. (Prof. Padmo)

VI. PENUTUP

Manusia di bumi ditaqdirkan sebagai makhluk sosial, sehingga kehadirannya di dunia ini manusia tidak
pernah dapat hidup seorang diri. Sebagai makluk sosial senantiasa akan selalu berupaya untuk
melakukan kerja sama antar umat manusia lainnya, dalam rangka menjalani kehidupan maupun untuk
mempertahankan serta mengembangkan kehidupan bermayarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat
setiap individu tidak dapat terlepas dari aturan-aturan, norma-norma, dan tradisi yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Hal tersebut dilakukan untuk menjamin keamanan, ketertiban, dan kebersamaan
dalam kehidupan bermasyarakat pada suatu komunitas sosial tersebut.

Sejarah perkembangan manusia menunjukkan bahwa manusia dimanapun hidup mengikuti beberapa
gagasan pasti yang dalam dirinya merupakan dasar penting dari cara hidupnya (way of life), dimana
gagasan tersebut dapat dikatakan vital, karena dengan gagasan tersebut manusia menjalankan dan
mengatur hidupnya. Gagasan yang vital tersebut merupakan nilai-nilai yang benar-benar digali dan
diramu dari sistem nilai atau kebudayaan bangsa Indonesia sendiri yang dinamakan Pancasila, dengan
demikian Pancasila merupakan ideologi yang berasal dari kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.

http://prabugomong.wordpress.com/2013/03/29/rejuvenasi-pancasila-sebuah-kebutuhan-bersama/

Anda mungkin juga menyukai