Anda di halaman 1dari 76

ii

YURISPRUDENSIA
Volume 21, Nomor 1, Juni 2021
ISSN 1412-5390
Yurisprudensia adalah majalah ilmiah berkala yang memuat artikel hasil
penelitian maupun artikel konseptual di bidang Ilmu Hukum. Jurnal diterbitkan
dua sampai tiga kali setahun.

Dewan Pengarah
Reny R. Masu
Jeffry A. Ch. Likadja
Ketua Penyunting
Kotan Y. Stefanus
Wakil Ketua Penyunting
Saryono Yohanes
Ketua Penyunting Pelaksana/Editor
David Y. Meyners
Wakil Penyunting Pelaksana/Editor
Bill Nope
Gerald Alditya Bunga
Darius Mauritsius
Norani Asnawi
Penyunting Ahli
Yohanes G.T. Helan
Mitra Bestari
Yohanes Usfunan
Abrar Saleng
Jimmy Pello
Tata Usaha
Lusye Kaha
Alamat Redaksi
Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana
Jl. Adisucipto Penfui Kotak Pos 104
Kupang - Nusa Tenggara Timur
Telp (0380)881400
Email: fh_undana@yahoo.com
iii

Daftar Isi
Pengantar Redaksi .......................................................................................... iv

Menelisik Kewenangan Kepala Daerah dalam Mengeluarkan Keputusan


Tata Usaha Negara dan Konsekuensinya........................................................... 1
Kotan Y. Stefanus

Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dan


Dampaknya Terhadap Konsitusi Menurut Sibernatika Talcott Parsons............ 10
Josef Mario Monteiro

Pelanggaran HAM Berat dan Pertanggungjawaban........................................... 23


David Y. Meyners

Formulasi Tindak Pidana Pengguguran Kandungan dalam


Tinjauan Perbandingan Hukum Pidana............................................................. 40
Rosalind Angel Fanggi

Kualitas Pemilihan Umum yang Diselenggarakan


Negara Republik Indonesia................................................................................ 54
Hernimus Ratu Udju dan Norani Asnawi

Biodata Penulis ................................................................................................. 71

Petunjuk Bagi Penulis ....................................................................................... 73


iv

Pengantar Redaksi
Jurnal Yurispridensia kali ini menyuguhkan lima karya terbaru yang membahas
persoalan hukum dan ketatanegaraan. Pada edisi Juni 2021 ini, jurnal Yurisprudensia tetap
konsisten menampilkan hasil penelitian atau kajian konseptual terkait topik hangat seputar
hukum.
Artikel pertama berjudul, “Menelisik Kewenangan Kepala Daerah dalam Mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara dan Konsekuensinya”, oleh Kotan Y. Stefanus. Keputusan
Tata Usaha Negara merupakan salah satu instrumen pemerintahan yang paling banyak
digunakan dalam melakukan pengendalian terhadap masyarakat, terutama dalam rana
otonomi daerah.Pemerintah daerah yang semakin dekat dengan masyarakat justru lebih
sering menggunakannya untuk melayanani masyarakat. Dalam tataran empiris Keputusan
Kepala Daerah, akan mendapat sambutan negatif jika kepentingan masyarakat dirugikan.
Masyarakat dapat menggunakan sarana perlindungan hukum untuk mencari keadilan dan
kepastian hukum. Keputusan Kepala Daerah dapat berkonsekuensi tidak sah dan karenanya
mekanisme pembatalan disiapkan untuk itu. Selain itu, fenomena ini mendapat cibiran
ketidaksiapan dan/atau kecurigaan integritas Kepala Daerah dalam melakukan pelayanan
publik. Kondisi ini merefleksikan penyelenggaraan kekuasaan yang “otoriter” dan interaksi
yang kurang harmonis antara pemerintah, kondisi struktural dan proses pengambilan
keputusannya, berimplikasi pada wajah kebijakan yang kurang responsif.
Kajian kedua berjudul, “Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi
dan Dampaknya Terhadap Konsitusi Menurut Sibernatika Talcott Parsons”, oleh Josef
Mario Monteiro. Penulisnya secara kritis mengupas perubahan Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dari sudut pandang teori Sibernatika, dan dampak
perubahan UU KPK terhadap konstitusi. Melalui studi ini atas revisi substansi Undang-
Undang KPK, maka perubahan tersebut dipengaruhi oleh faktor subsistem politik, yakni
begitu kuatnya kepentingan politik DPR dan pemerintah. Selanjutnya, menurut teori
sibernetikasub sistem politik yang begitu kuat pengaruhnya memengaruhi sub sistem
lainnya yakni sub sistem budaya. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa revisi undang-
undang KPK tidak sepenuhnya ditolak masyarakat. Terdapat sikap dan cara pandang
kalangan tertentu di masyarakat yang menyetujui undang-undang KPK diperbaiki dengan
pola revisi. Terbuka Selanjutnya, ketiga, undang-undang KPK juga sarat dengan tarik
menarik kepentingan eksekutif dan DPR, sehingga membuka peluang bagi individual
interest dalam pemerintahan maupun DPR dengan mengatasnamakan interest of state,
sehingga dapat mengintervensi KPK. Hal ini didasarkan pada tafsiran DPR dan pemerintah
atas putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No.40/PUU-XV/2017, yang menyatakan
bahwa pelaksanaan tugas KPK dapat dikategorikan sebagai bagian dari rumpun eksekutif,
sehingga KPK juga merupakan bagian dari kewenangan hak angket DPR. Putusaninilah
yang kemudian dijadikan argumentasi oleh DPR dan Pemerintah melakukan
perubahanundang-undang KPK.
Tulisan ketiga berjudul, Pelanggaran HAM Berat dan Pertanggungjawaban, oleh
David Y. Meyners. Penulis ini membedah Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM yang berbunyi, “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian
dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil…” (kursif, pen.). Terdapat tiga kata,
yaitu meluas (widespread), sistematis (systematic), dan diketahui (intension), di pasal ini
yang bersifat konotasi sehingga dalam praktek di pengadilan, terjadi beragam interpretasi.
v

Seringkali pembuktian terhadap kejahatan yang dimaksud menjadi sulit, dan bisa jadi
dakwaan menjadi sumir. Akibatnya, menurut Binsar M. Gultom, Dosen Bidang Hukum dan
HAM pada Pascasarjana Universitas Hazairin Bengkulu, berpendapat, “...begitu banyak
kasus pelanggaran HAM berat yang terkesan ditutup-tutupi. Sejauh ini hanya tiga kasus
pelanggaran HAM berat yang pernah diselesaikan oleh pengadilan HAM Indonesia, yakni
kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 ditangani oleh Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’
Jakarta, serta kasus pelanggaran HAM berat Abepura 2000 ditangani di Pengadilan HAM
Makassar. Itu pun semua terdakwa akhirnya ‘bebas’ dari segala tuntutan hukum di tingkat
kasasi dan peninjauan kembali.” Padahal dalam beberapa kesempatan, seringkali presiden
JokoWidodo menyinggung dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.
Bahkan dihubungkan dengan sembilan janji program prioritas jika pasangan Joko Widodo
dan Jusuf Kalla terpilih sebagai presiden yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Butir ke
dua dan ke empat dari Nawacita berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen
dengan membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan
tepercaya....Kami akan menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan
penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Pertanyaan tentang
pelaksanaan Nawacita ke dua dan ke empat itu makin menjadi pertanyaan, setelah
pemerintah selama lebih dari enam bulan (Oktober 2014 - Mei 2015), belum
mengejawantahan dari agenda penegakan HAM yang tertuang dalam Nawacita tersebut.
Artikel ini mendeskripsikan solusi penyelesaian pelanggaran berat HAM masa lalu ditinjau
dari aspek pertanggungjawaban komando, individual, dan negara.
Artikel selanjut oleh Rosalind Angel Fanggi berjudul, “Formulasi Tindak Pidana
Pengguguran Kandungan dalam Tinjauan Perbandingan Hukum Pidana.” Kebijakan
formulasi pengguguran kandungan yang diatur dalam hukum positif, menurut penulisnya,
belum cukup memberikan jaminnan perlindungan bagi kesehatan masyarakat. Kebijakan
formulasi pengguguran kandungan dalam hukum positif yang akan datang dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan pengaturan pengguguran kandungan di beberapa KUHP asing
sebagai bahan untuk melakukan pembaruan hukum dan utamanya mengingat kembali
makna yang terkandung dalam sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan
beradab. Saran yang dapat disampaikan adalah pengguguran kandungan bukanlah langkah
terbaik yang dapat dipilih tetapi dalam kondisi yang membahayakan kesehatan sebaiknya
perlu pengaturan yang memberi rasa perlindungan dan jaminan kesehatan ibu hamil;
hendaknya ada pengaturan peredaran obat/sarana yang digunakan untuk melakukan
pengguguran kandungan; terkait penamaan bab hendaknya dipertimbangkan untuk
dimasukkan dalam bab tentang tindak pidana yang bertentangan dengan moral; perlu
dirumuskan aturan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi dokter dan pasien;
pengaturan kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan hendaknya berdasarkan
Pancasila dan tujuan pembangunan nasional.
Tulisan terakhir berjudul, “Kualitas Pemilihan Umum yang Diselenggarakan Negara
Republik Indonesia”, oleh Hernimus Ratu Udju dan Norani Asnawi mengkaji, pemilihan
umum diselenggarakan selama pemerintahan orde baru, tidak demokratis atau pemilihan
umum yang direkayasa, karena penyelenggara pemilihan umum diketuai oleh Menteri
Dalam Negeri yang dalam organisasi politik dia adalah salah satu ketua dewan pimpinan
Golkar. Di daerah penyelenggara pemilihan umum diketuai oleh Kepala Daerah masing
masing, di mana Kepala Daerah menjadi pengurus Golkar di daerahnya, dengan demikian
sesungguhnya Golkar sebagai peserta pemilihan umum juga sebagai penyelenggara
pemilihan umum. Sebaliknya, pemilihan umum yang dilaksanakan pada era reformasi ini
sudah mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Sebagai penyelenggara pemilihan adalah
vi

Komisi Pemilihan Umum yang bersifat Nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur
dalam Pasal 22E ayat (5) Undang Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Selain itu Pemilihan Umum pada era reformasi ini dilaksakan berdasarkan langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Asas jujur dan adil tidak dianut
dalam pemilihan umum selama orde baru.
Sejak edisi Juni 2021 ini, Susunan Dewan Pengarah terdapat pergantian. Dewan
Pengarah yang semula dijabat Yorhan Y. Nome dan Deddy R. Ch. Manafe diganti oleh Reny
R. Masu, dan Jeffry A. Ch. Likadja. Demikian pula, Wakil Ketua Penyunting, dijabat oleh
Bhisa Vitus Wilhelmus, diganti dengan Saryono Yohanes. Kepada Yorhan Y. Nome, Deddy
R. Ch. Manafe, dan Bhisa Vitus Wilhelmus, redaksi Jurnal Yurisprudensia menyampaikan
terima kasih atas pengabdiannya selama ini.
Akhirnya, perkenankan redaksi menyampaikan permohonan maaf atas keterlamabatan
penerbitan jurnal edisi ini, disebabkan alasan teknis. Selamat membaca.
Kupang, Juni 2021
Salam Kampus Merah
Tim Penyunting Pelaksana
Menelisik Kewenangan Kepala Daerah dalam
Mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
dan Konsekuensinya1
KOTAN Y. STEFANUS
ABSTRAK
Keputusan Kepala Daerah akan mendapat sambutan negatif, karena masyarakat merasa
kepentingannya dirugikan. Masyarakat dapat menggunakan sarana perlindungan hukum
untuk mencari keadilan dan kepastian hukum. Keputusan Kepala Daerah dapat
berkonsekuensi tidak sah dan karenanya mekanisme pembatalan disiapkan untuk itu.
Selain itu, fenomena ini mendapat cibiran ketidaksiapan dan/atau kecurigaan integritas
Kepala Daerah dalam melakukan pelayanan publik. Kondisi ini merefleksikan
penyelenggaraan kekuasaan yang “otoriter” dan interaksi yang kurang harmonis antara
pemerintah, kondisi struktural dan proses pengambilan keputusannya, berimplikasi pada
wajah kebijakan yang kurang responsif.
Kata Kunci: Kewenangan, Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Tindakan Hukum,
Perlindungan Hukum.
ABSTRACH
The decision of the Regional Head will receive a negative response, because the
community feels that their interests have been harmed. The community can use legal
protection facilities to seek justice and legal certainty. The decision of the Regional Head
may have illegitimate consequences and therefore a cancellation mechanism is prepared for
it.
In addition, this phenomenon has received scorn for the unpreparedness and/or
suspicion of the integrity of the Regional Head in carrying out public services. This
condition reflects the "authoritarian" administration of power and the less harmonious
interaction between the government, its structural conditions and its decision-making
process, which has implications for the face of a less responsive policy.
Key Word: Authority, Regional Head, Public Service, Legal Action, Legal Protection.
PENDAHULUAN
Keputusan Tata Usaha Negara merupakan salah satu instrument pemerintahan yang
paling banyak digunakan dalam melakukan pengendalian terhadap masyarakat, terutama
dalam rana otonomi daerah.Pemerintah daerah yang semakin dekat dengan masyarakat
justru lebih sering menggunakannya untuk melayanani masyarakat. Penggunaan keputusan
tata usaha Negara sebagai instrument pemerintahan ini tidak mustahil menimbulkan juga
sengketa Tata Usaha Negara akibat masyarakat merasa dirugikan dengan keputusan Tata
Usaha Negara yang dikekeluarkan aparat pemerintah daerah, termasuk yang dikeluarkan
kepala daerah.2

1
Artikel ini diolah kembali dari makalah yang disajikan dalam Kegiatan Rapat Koordinasi
Penanganan Masalah-masalah Hukum Tingkat Provinsi NTT, diselenggarakan Biro Hukum Setda
NTT, di Kupang, 28 - 29 Oktober 2009.
2
Kepala Daerah yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah sebagaimana diatur dalam Undang
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah meliputi Gubernur untuk Pemerintah
Provinsi, Bupati untuk Pemerintah Kabupaten, dan Walikota untuk Pemerintah Kota.
2

Belakangan ini semakin marak gugatan masyarakat (termasuk juga aparatur pemerintah
daerah) terhadap keputusan tata usaha Negara yang dikeluarkan kepala daerah.Kendatipun
dari kaca mata Negara hukum, gugatan masyarakat ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus
diapresiasi sebagai meningkatnya kesadaran hukum masyarakat dalam mencari
perlindungan hukum, namun terkesan kewibawaan kepala daerah sebagai pejabat tata usaha
Negara mengalami kemerosotan dan gunjangan hebat. Selain itu, maraknya gugatan juga
mengindikasikan ketidakprofesionalan dalam membuat keputusan tata usaha Negara dan
sekaligus menandakan tidak efektifnya pelayanan terhadap masyarakat.3 Oleh karenanya,
tulisan ini berusaha mengungkapkan beberapa persyaratan keabsahan keputusan tata usaha
Negara dihubungkan dengan kewenangan kepala daerah, serta menampilkan juga
konsekuensi dikeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak sah.
PEMBAHASAN
1. Kewenangan Kepala Daerah dan Keputusan Tata Usaha Negara
Dari segi formal, negara diartikan Andrew Vincent sebagai sebuah kekuasaan
publik di atas pemerintah dan yang diperintah, dimana kekuasaan publik itu
menyediakan aturan dan menjalankan pemerintahan negara. Lazimnya fungsi negara
dikaitkan dengan intervensinya dalam urusan masyarakat, sesuai tingkat
perkembangannya. 4 Dalam arti umum, intervensi negara di abad-20 didasarkan pada
alasan modernisasi dan efisiensi ekonomi.Dalam era modern ini, peran negara sangat
luas, yakni mulai dari standar pemelihara hukum dan tatanan serta pengumpul pajak,
lalu ditambah dengan dengan “extraction-coercion cycle”, memainkan fungsi
pertahanan, kemudian melindungi tatanan untuk berfungsinya organ ekonomi, dan
akhirnya di belahan dunia maju fungsi rekayasa sosial.5
Dalam perspektif ilmu hukum, fungsi negara yang dilakukan pemerintah diletakkan
dalam format negara hukum yang dianut oleh sesuatu negara.Konsep negara hukum
telah berkembang pesat menjadi begara hukum modern, yang disebut negara hukum
kesejahteraan (social service state, welfare state, welwaarstaat, bestuurzorg,
verzorgingsstaat). Dalam negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah semakin luas
karena pemerintah sebagai peenyelenggara publik servis harus memasuki berbagai
aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas, kompleks, dan rumit, untuk
menjelmakan kesejahteraan rakyat.
Fungsi dan peranan negara yang semakin luas ini, dilukiskan Lawrence M.
Friedman dalam Gunther Teubner 6 bahwa interval dari intervensi negara sangat
besar.Pada satu sisi, negara mengatur gabungan antara badan-badan hukum raksasa, dan
pada sisi lainnya, negara membatasi jumlah orang yang membeli lilin dan permen karet

3
Kita lihat nyaris semua kebijakan tidak lagi beriphak pada rakyat tetapi pemilik modal. Tampak
jelas, di negeri “berbudi pekerti” ini, politik hanya dipahami sebagai perantara (broker) bagi pemilik
modal. Politik bukan untuk mensejahterakan rakyat, bukan membuat bonnum communio melainkan
untuk tunggangan kekuasaan sebagian elit. Akibatnya, politik hanya berorientasi jangka pendek.
Nilai-nilai kemanusiaan dan kerakyatan hilang dari rohnya. Lihat Benny Susetyo, Vox Populi Vox
Dei, Averroes Press, Malang, 2004, hlm. 51.
4
Vincent, Andrew. Theories of State, Basil Blackwell, Ltd., Oxford, 1987, p.219.
Karim, M. Rusli. Seri Kuliah Analisis Teori Negara dan Hukum Tata Negara, Negara: Suatu
Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan Fugsi, Penerbit PT. Tiara Wacana, Yogya, 1997, hlm.
24-25.
6
Teubner, Gunther. Dilemass of Law in The Welfare State, Walter de Gruyter - Berlin - New York,
1986, p. 13.
3

di sudut-sudut jalan. Negara juga menerapkan beberapa peraturan pendek pada sejumlah
kerumunan masyarakat--negara menentukan batas kecepatan pada saluran kontrol
televisi, membuat aturan-aturan tentang siapa yang berhak masuk universitas, dan
menentukan peraturan penjualan aspirin dan obat-obatan lainnya.
B.L.W. Visser sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan7 menjelaskan bahwa tugas
servis publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah, merupakan konsekuensi
pelaksanaan konsepsi negara hukum kesejahteraan.Dalam konsep negara hukum
kesejahteraan, tugas dan wewenang serta tanggung jawab administrasi negara semakin
berkembang, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Tugas-tugas-tugas baru
bertambah dan tugas-tugas lama berkembang pula.
Mengenai fungsi negara yang dijalankan pemerintah, terlepas dari ideologinya,
menyelenggarakan beberapa minimum fungsi yang mutlak perlu, sebagaimana
dikemukakan Miriam Budiardjo, yaitu : 1) melaksanakan penertiban (law and order);
2) mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya; 3) pertahanan; 4)
menegakkan keadilan.8 Sjachran Basah menyebut 3 (tiga) fungsi administrasi negara,
yaitu:9 pertama, membentuk peraturan perundang-undangan dalam arti material pada
satu pihak dan di pihak lain membuat ketetapan (beschikking); kedua, menjalankan
pemerintahan dalam kehidupan negara dalam rangka mencapai tujuannya; ketiga,
menyelenggarakan fungsi peradilan.
Dalam menjalankan servis publik, dibutuhkan lembaga-lembaga atau standar-
standar tertentu untuk menjamin terselenggaranya keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Sebagai negara hukum kesejahteraan, pemerintah memiliki tanggung jawab yang luas
dengan ikut campur tangan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat guna
menjelmakan kesejahteraan rakyat dengan tetap berpegang pada peraturan perundang-
undangan (asas legalitas) dan juga memiliki kewenangan diskresi atau freies ermessen.
Perlunya hukum untuk mengatur tugas pemerintah karena sesuai dengan asas negara
hukum, setiap tindakan berdasarkan hukum. Asas ini mengandung pengertian bahwa
sumber kekuasaan pemerintah tidak lain adalah hukum. Namun karena luas, rumit dan
kompleksnya permasalahan masyarakat, maka tidak semua tindakan yang akan
dilakukan oleh pemerintah tersedia aturannya. Hal ini menimbulkan konsekuensi
khusus, yaitu pemerintah memerlukan kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan
kebijaksanaan sendiri, terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah penting dan
genting, yang timbul dengan sekoyong-koyong, sedangkan aturan penyelesaiannya
belum ada, atau wewenang yang dirumuskan sangat sumir, tidak tegas atau samar-samar
atau dengan kata-kata yang bersifat sangat umum, yang dalam Hukum Administrasi
disebut “discretionary power atau pouvoir discretionaire atau freies ermessen” (Stanley
De Smith and Rodney Brazier,10 H.W.R. Wade.)11 Dalam hal yang demikian, tolok ukur
keabsahan tindakan pemerintah tidak saja pada hukum yang berlaku (asas legalitas),

7
Manan, Bagir. Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1994, hlm.14.
8
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustka Utamaa, Jakarta,
2008, hlm.55-56.
9
Basah, Sjachran. Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 12.
10
Stanley De Smith and Rodney Brazier, Constitutional and Administrative Law, 6th Edition,
Penguin Books, 1986, p. 571.
11
Wade, H.W.R. Administrative Law, 5th Edition, Oxford University Pressm, Oxford, 1982, p. 319.
4

melainkan juga pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (the principles of good
government/algemene beginselen van behorlijk bestuur).
Negara Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum berdasarkan Pacasila dan
UUD 1945, hendak mewujudkan tujuannya sebagaimana tercantum dalam Alinea IV
Pembukaan UUD 1945, antara lain memajukan kesejahteraan umum. Tujuan ini
merupakan ciri negara hukum kesejahteraan (welfare state), yang ditandai dengan
kekhasan mencakupi kesejahteraan fisik - kebendaan dan spiritual - hati nurani.
Konsepsi negara hukum kesejahteraan Indonesia secara berkelanjutan dan
berkesinambungan dituangkan dalam politik hukum, yang mengamanatkan
pembangunan manusia Indonesia sekujurnya dan masyarakat Indonesia seanteronya.
Sesuai pengaturan dalam Pasal 65 ayat (1) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, Kepala daerah mempunyai tugassebagai berikut:
a. memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat;
c. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda
tentang RPJMD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD;
d. menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang Perubahan APBD dan rancagan
Perda tentang Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas
bersama;
e. mewakili Daerahnya di dalam dan di luar pengadilan dan fdapat menunjuk kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. mengusulkan pengangkatan wakil kepala daerah; dan
g. melaksanakan tugas lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, sesuai ketentuan Pasal 65 ayat (2) Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah berwenang sebagai berikut:
a. mengajukan rancangan Perda;
b. menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
c. menetapkan Perkada dan Keputusan Kepala Daerah;
d. mengaambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh
Daerah dan/atau masyarakat;
e. melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehubungan dengan tugas dan wewenang Kepala Daerah tersebut, maka sebagai
administrasi Negara Kepala Daerah dalam konteks Indonesia sebagai Negara Kesejahteraan
(welfare state) memiliki kewajiban untuk menjelmakannya menjadi kenyataan dengan
melakukan tindakan/perbuatan, yang meliputi tindakan materil (feitelijke handelingen) dan
tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan yang tidak
menimbulkan akibat hukum.Bagi hukum administrasi, yang penting adalah tindakan
hukum dan tindakan yang bukan tindakan hukum adalah irrelevant (tidak berarti).12
Tindakan hukum adalah tiap-tiap tindakan/perbuatan dari suatu alat perlengkapan
(bestuurorgaan) yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum di bidang hukum

12
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960, hlm. 63. Lihat juga Indroharto, Perbuatan
Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Tanpa Penerbit, Jakarta, 1992, hlm. 35.
5

administrasi13 Tindakan hukum ini meliputi tindakan hukum privat dan tindakan hukum
publik.Kedua instrument ini juga digunakan kepala daerah dalam menjalankan tugas
dan wewenangnya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kaitannya dengan tindakan hukum publik ini
terdapat empat macam sifat/norma hukum yang dianggap sebagai instrument/tindakan
pemerintah, yaitu:14
1. Norma umum abstrak: tindakan hukum pemerintah yang normanya bersifat
mengatur;
2. Norma individual konkrit; keputusan pemerintah berupa penetapan tertulis mengenai
suatu hak tertentu dan ditujukan kepada orang tertentu;
3. Norma umum konkrit; tindakan hukum pemerintah yang isinya konkrit yang dapat
diterapkan praktis menurut tempat dan waktu dari norma peraturan perundang-
undangan yang bersifat umum;
4. Norma individual abstrak. Syarat-syarat yang bersifat mengatur dan abstrak , yang
menyertai pemberian izin berdasarkan Undang Undang Gangguan.
Dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan (daerah) lazimnya keempat bentuk
norma tersebut mewarnai tindakan hukum publik kepala daerah, khususnya berkaitan
dengan keputusan tata usaha Negara yang ditetapkan kepala daerah sebagai instrument
pengendalian dan pelayanan public demi menjelmakan kesejahteraan rakyat.
2. Syarat Sah Berlakunya Suatu Ketetapan
Kepala Daerah sebagai administrasi Negara dalam melakukan pelayanan public
terhadap masyarakat dengan menggunakan instrument pemerintahan berupa keputusan
tata usaha Negara dituntut untuk memenuhi beberapa syarat tertentu agar keputusannya
dianggap sah dan memiliki kekuatan hokum mengikat. Menurut van der Potdalam M.
Nata Saputra, suatu ketetapan dianggap sah harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:15
a. Ketetapan itu harus dibuat oleh alat perlengkapan yang berwenang
Jika alat perlengkapan yang membuat ketetapan itu nyata-nyata tidak berwenang,
maka ketetapan yang dibuatnya itu adalah batal demi hukum (van rechtswegenietig).
Jadi ketetapan itu dianggap tidak pernah ada dan kebatalan itu berlaku sejak semula
(ex tunc) yakni berlaku surut hingga pada saat ditetapkan ketetapan itu.
Ketidaksewenangan itu ada 4 (empat) macam, yaitu:
1. Ketidaksewenangan ratione materiae, artinya alat perlengkapan Negara itu pada
hakikatnya tidak berwenang (incompetentie ratione materiae).
2. Ketidaksewenangan ratione loci yaitu bahwa alat perlengkapan itu dalam batas
wilayah tertentu tidak berwenang (incompetentie ratione loci).
3. Ketidaksewenangan ratione temporis, yaitu alat perlengkapan itu hanya berwenag
dalam suatu jangka waktu tertentu saja (incompetentie ratione temporis).
4. Ketidaksewenangan kuorum (incompetentie quorum), yaitu pembuatan ketetapan
yang tidak memperhatikan quorum yang diperlukan agar dapat memutuskan.
b. Karena ketetapan adalah suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring), maka dalam
kehendak alat perlengkapan yang membuat ketetapan itu boleh ada cacatnya

13
Purbopranoto, Kuntjoroningrat, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan
Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 42.
14
Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Tanpa
Penerbit, Jakarta, 1992, hlm. 35.
15
Saputra, M. Nata, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988, hlm. 48.
6

(wilsgebreken). Cacat hukum dalam kehendak (wils gebreken) disebabkan karena


kesesatan (dwaling), paksaan (dwang) dan penipuan (bedrog).
c. Ketetapan harus diberi bentuk tertentu; Ketetapan harus diberi bentuk tertentu, yaitu
tertulis dan tidak tertulis.
d. Isi dan tujuan ketetapan itu harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar. Setiap
ketetapan yang dibuat harus didasarkan atas undang undang dan isi dan tujuan harus
sesuai dengan isi dan tujuan undang undang yang menjadi dasar ketetapan itu.
Kranenburg - Vegting sebagaimana dikutip M. Nata Saputra mengemukakan 4
(empat) hal yang menyebabkan isi dan tujuan suatu ketetapan dapat bertentangan
dengan isi dan tujuan suatu Undang Undang, yaitu:16
a. Jika ketetapan yang dibuat mengandung peraturan yang oleh Undang Undang
dilarang. Dalam hal ini yang salah ialah isi ketetapan itu (salah isi).
b. Jika keadaan, dimana suatu ketetapan dibuat, lain dengan keadaan yang ditentukan
oleh undang Undang. Dalam hal ini, yang salah kausanya atau sebabnya (valse-
oorzaak).
c. Jika suatu keadaan, dimana suatu ketetapan dapat dibuat menurut ketentuan Undang
Undang, sebetulnya tidak dapat dijadikan suatu sebab/kausa. Dalam hal yang
sedemikian ini, dibuat suatu ketetapan berdasarkan atas suatu kausa atau sebab yang
tidak dapat dipakai (ongeoorloofde-orzaak = sebab yang tidak halal).
d. Jika suatu ketetapan dibuat atas dasar penyalahgunaan wewenang oleh alat
perlengkapan yang bersangkutan (detournement des pouvoir). Detournement des
pouvoir terjadi jika suatu alat perlengkapan Negara menggunakan wewenang yang
diberikan kepadanya untuk menyelenggarakan suatu kepentingan umum yang
seharusnya diselenggarakan sesuai dengan maksud dan tujuan wewenang itu.
Jika salah satu syarat di atas tidak dipenuhi belum tentu menyebabkan ketetapan
itu menjadi tidak syah. Memang suatu kekurangan syarat-syarat itu dapat
mengakibatkan tidak sahnya suatu ketetapan. Apakah syarat-syarat yang tidak dipenuhi
itu merupakan syarat yang esensial atau bukan, apakah kekurangan itu merupakan
bestaanvoorwarde= syarat untuk adanya atau tidak adanya suatu ketetapan.
3. Keputusan Kepala Daerah dan Konsekuensinya
Keputusan Kepala Daerah sebagai instrument pemerintahan akan membawa
sejumlah konsekuensi, baik positif maupun negatif. Bilamana suatu keputusan Kepala
Daerah memenuhi syarat-syarat sebagai sebagai suatu keputusan tata usaha Negara yang
sah dan baik, maka keputusan tersebut akan diterapkan untuk mengefektifkan pelayanan
publik terhadap masyarakat. Kondisi seperti ini menunjukkan tindakan publik kepala
daerah dilakukan secara professional dan diterima serta dilaksanakan dalam pelayanan
publik.
Di lain pihak, keputusan tata usaha Negara yang ditetapkan kepala daerah
berkonsekuensi negative terhadap masyarakat akan disambut dengan sikap penolakan,
acuh-tak acuh, atau melakukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara maupun
peradilan semu Tata Usaha Negara. Bilamana sikap belakangan ini ditampilkan
masyarakat menunjukkan masyarakat merasa kepentingannya dirugikan dengan
keputusan tata usaha Negara tersebut, sehingga digunakan sarana perlindungan hukum
untuk mencari keadilan dan kepastian hukum.

16
Ibid., hlm 54.
7

Dilihat dari aspek hukum administrasi, suatu keputusantata usaha Negara


(termasuk Keputusan Kepala Daerah) dapat berkonsekuensi tidak sah (niet
rechtgelding beschikking) dan karenanya dikenal pembatalan, yaitu:17
1. Batal Demi Hukum (nietig van rechtswege)
Akibat sesuatu perbuatan, utk sebagiannya atau untuk seluruhnya, bagi hukum
dianggap tidak ada tanpa diperlukan suatu putusan hakim atau badan lain yang
berkompeten. Suatu keputusan yang dinyatakan batal demi hukum akan berakibat
keputusan yang dibatalkan itu berlaku surut, terhitung sejak tanggal ditetapkan
keputusan yang dibatalkan itu. Keadaan dikembalikan pada keadaan semula sebelum
dikeluarkan keputusan itu (tidak sah ex-tunc) dan akibat hukum yang telah
ditimbulkan oleh keputusan itu dianggap tidak pernah ada.
2. Batal (nietig), yakni bagi hukum perbuatan yg dilakukan tidak ada sehingga akibat
perbuatan itu dianggap tidak pernah ada.
▪ Batal Mutlak/absoluut nietig, yakni apabila pembatalan terhadap keputusan itu
dapat dituntut oleh setiap orang.
▪ Batal nisbi/relatief nietigheid: yakni apabila pembatalan terhadap keputusan itu
hanya dapat dituntut beberapa orang tertentu saja.
3. Dapat Dibatalkan (vernietigbaar)
Perbuatan hukum yang bersangkutan harus dianggap sah selama belum ada
putusan hakim atau instansi yang berwenang membatalkannya dan pembatalannya
tidak berlaku surut. Dengan demikian menurut hukum, perbuatan dan akibat-akibat
hukum yang ditimbulkan dianggap pernah ada dan sah, sampai dikeluarkan putusan
pembatalan (ex-nunc), kecuali Undang Undang menentukannya lain.
▪ Dapat dibatalkan nisbi/relatief vernietigbaar, yakni pembatalan hanya dapat
dituntut beberapa orang tertentu saja.
▪ Dapat dibatalkan Mutlak/absolute vernietigbaar, yakni pembatalan hanya dapat
dituntut setiap orang.
Selain konsekuensi normatif sebagaimana dipaparkan di atas, suatu keputusan Kepala
Daerah yang berkonsekuensi negatif juga akan mnghembuskan aroma yang kurang sedap di
kalangan masyarakat. Hembusan aroma dimaksud berupa cibiran
ketidakmampuan/ketidaksiapan dan/atau kecurigaan integritas Kepala Daerah dalam
melakukan pelayanan publik. Kecurigaan integritas dimaksud seakan terkemas dalam
wacana akademik yang dirumuskan Dennis F. Thompson dengan label “Etika Politik
Pejabat Negara” 18 sebagaimana terungkap dalam terjemahan judul dan sajian materi
bukunya.
Lebih jauh dapat diuraikan bahwa ketidaksiapan dan kemerosotan integritas pejabat
Negara (Kepala Daerah) dimaksud menggoreskan kesan melankolis Negara, yakni rejim
dan kebijakan. Bentuk rejim merupakan aspek penyelenggaraan kekuasaan tersebut, bisa
demokratis atau otoriter. Sedangkan kebijakan merupakan hasil dari semua interaksi ini,
yakni pemerintah, kondisi structural dan proses pengambilan keputusannya.19

17
Marbun, S.F. Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, hlm. 137.
18
Lihat Thompson, Dennis F., Etika Politik Pejabat Negara, terjemahan Benyamin Molan, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2000. Buku aslinya berjudul “Political Ethics dan Public Office, The
President and Fellows of Harward College, 1993.
19
Lihat Budiman, Arief. Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jaakarta, 1996, hlm. 123.
8

Bertitiktolak dari perspektif yang diungkapkan, bahwa ketidaksiapan dan kemerosotan


integritas pejabat Negara (Kepala Daerah) mengukir sebuah penyelenggaraan kekuasaan
yang “otoriter” dan interaksi yang kurang harmonis antara pemerintah, kondisi structural
dan proses pengambilan keputusannya berimplikasi pada wajah kebijakan yang kurang
responsif.
PENUTUP
Kepala Daerah mengeluarkan keputusan sebagai instrumen pemerintahan akan
membawa sejumlah konsekuensi, baik positif maupun negatif. Bilamana suatu keputusan
tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai sebagai suatu keputusan tata usaha Negara yang
sah dan baik, maka keputusan tersebut diterapkan untuk mengefektifkan pelayanan publik
terhadap masyarakat. Kondisi seperti ini menunjukkan tindakan publik kepala daerah
dilakukan secara professional dan diterima serta dilaksanakan dalam pelayanan publik.
Sebaliknya keputusan yang ditetapkan kepala daerah akan mendapat sambutan negative
dari masyarakat dengan sikap penolakan, acuh-tak acuh, atau melakukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara maupun peradilan semu Tata Usaha Negara. Bilamana sikap
belakangan ini ditampilkan masyarakat menunjukkan masyarakat merasa kepentingannya
dirugikan dengan keputusan tata usaha Negara tersebut, sehingga digunakan sarana
perlindungan hukum untuk mencari keadilan dan kepastian hukum. Dilihat dari aspek
hukum administrasi, suatu Keputusan Kepala Daerah) dapat berkonsekuensi tidak sah (niet
rechtgelding beschikking). Selain itu, fenomena ketidaksiapan dan kemerosotan integritas
pejabat Negara (Kepala Daerah) mengukir sebuah penyelenggaraan kekuasaan yang
“otoriter” dan interaksi yang kurang harmonis antara pemerintah, kondisi structural dan proses
pengambilan keputusannya berimplikasi pada wajah kebijakan yang kurang responsif.

REFERENSI
BUKU
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 2008.
Budiman, Arief, Teori Negara: Negara, Kekuasaan, dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jaakarta, 1996.
Basah, Sjachran, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Alumni, Bandung, 1985.
-------, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung, 1992.
Foukes, David, Administrative Law, 5th, Butterworths, London, 1978.
Hadjon, Philipus M., dkk., Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, 1994.
Indroharto, Perbuatan Pemerintahan Menurut Hukum Publik dan Hukum Perdata, Tanpa
Penerbit, Jakarta, 1992.
Karim, M. Rusli, Seri Kuliah Analisis Teori Negara dan Hukum Tata Negara, Negara:
Suatu Analisis Mengenai Pengertian Asal Usul dan Fugsi, Penerbit PT. Tiara
Wacana, Yogya, 1997.
Kuntjoroningrat Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan
Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1981.
Manan, Bagir, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1994.
Marbun, S.F., Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di
Indonesia,Liberty, Yogyakarta, 1997.
9

Saputra, M. Nata, Hukum Administrasi Negara, Rajawali, Jakarta, 1988.


Susetyo, Benny, Vox Populi Vox Dei, Averroes Press, Malang, 2004.
Teubner, Gunther, Dilemass of Law in The Welfare State, Walter de Gruyter – Berlin – New
York, 1986.
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1960.
Wade, H.W.R. Administrative Law, 5th Edition, Oxford University Pressm, Oxford, 1982.
Smith, Stanley De and Rodney Brazier, Constitutional and Administrative Law, 6th Edition,
Penguin Books, 1986.
Vincent , Andrew, Theories of State, Basil Blackwell, Ltd., Oxford, 1987.
10

Perubahan Undang-Undang Komisi


Pemberantasan Korupsi dan Dampaknya
Terhadap Konsitusi Menurut Sibernatika
Talcott Parsons
JOSEF MARIO MONTEIRO
josefmonteiro@staf.undana.ac.id
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor sub sistem yang memengaruhi
perubahan undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) dari sudut pandang
teori Sibernatika, dan dampak perubahan UU KPK terhadap konstitusi. Penelitian ini adalah
penelitian hukum doktrinal yang bersifat normati yaitu menggunakan peraturan perundang-
undangan. Pendekatannya menggunakan konsep. Data yang digunakan adalah data sekunder
dan analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif. Fakta menunjukan bahwa perubahan UU
KPK dipengaruhi faktor sub sistem politikyakni kepentingan politik yang kuat dari DPR dan
pemerintah. Kemudian faktor sub sistem politik memengaruhi sub sistem budaya, yang
dibuktikan dari adanya dukungan dari kalangan tertentu di masyarakat bagi perbaikan
undang-undang KPK melalui pola revisi. Akan tetapi, sejumlah elemen masyarakat lainnya
menolak revisi tersebut. Argumentasinya, UU KPK direvisi dengan waktu yang singkat dan
minim partisipasi publik. Akibatnya, perubahan UU KPK tidak demokratis karena tidak
memenuhi asas formil dan materiil. Selain itu, secara filosofis tidak memenuhi fungsi utama
suatu undang-undang. Pada akhirnya, berdampak terhadap pelanggaran nilai-nilai konsitusi.
Kata Kunci: Revisi, Politik, Demokratis, Politik.
ABSTRACT
The purpose of this research is to analyze the sub-system factors that influence the
amendment of the Corruption Eradication Commission (KPK Law) law from the perspective
of cybernatics theory, as stated by Talcott Parsons, it also analyzes the impact of changes
to the KPK Law on the constitution. This research is a normative doctrinalresearch that
uses legislation. The approach uses a concept. The data used are secondary data and the
legal analysis was carried out descriptively qualitatively. The facts show that changes to the
KPK Law are influenced by the political sub-system factor, namely the strong political
interests of the DPR and the government. Then the political sub-system factor affects the
cultural sub-system, as evidenced by the support from certain circles in society for the
revision of the KPK law through a revised pattern. However, a number of other elements of
society rejected the revision. The argument is that the KPK Law was revised with a short
period of time and minimal public participation. As a result, changes to the KPK Law are
undemocraticbecause they do not fulfill formal and material principles. In addition,
philosophically it does not fulfillthe main function of a law. In the end, it has an impact on
violating constitutional values.
Key Word: Revision, Corruption, Democratic, Politics
11

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 menegaskan
Indonesia negara hukum.Sebagai konsekuensinya, maka pembentukan hukum harus
berdasarkan pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945, sehingga memiliki justifikasi
pada pengaturan aspek kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan. Selain
itu, hukumharus dibentuk secara demokratisartinya adanya keterbukaan dan partisipasi
dalam proses pembentukan hukum. Selanjutnya hukum yang dibentuk secara demokratis
tertuang dalam peraturan perundang-undangan.Pengertian peraturan perundang-
undangan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan (UU P3), adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh
Lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. Sehubungan
dengan penyelenggaraan negara, makaperaturan perundang-undangan merupakan
penentu sekaligus pembatas kewenangan penyelenggaraan negara.
Undang-undang sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan pada
dasarnya merupakan landasan hukum yang menjadi dasar pelaksanaan dari seluruh
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.20 Legal policy yang dituangkan dalam undang-
undang, menjadi sebuah sarana rekayasa sosial, yang memuat kebijaksanaan yang hendak
dicapai pemerintah, untuk mengarahkan masyarakat menerima nilai-nilai baru. Penetapan
prioritas dalam hubungannya dengan undang-undang dikemukakan oleh Koopmans,
bahwa:21 “…De wet blijft tenslotte, ongeacht onder wiens of wier invloed hij tot stand
komt, het juridische fundament waarop het gevoerde overheidsbeleid rust; dat wil zeggen
de geldigheid van alle handelingen wordt aan de wet afgemeten. De wet is als het ware
in juridische zin de constitutie van het beleid.” (…Undang-undang pada akhirnya, tidak
peduli di bawah pengaruh siapa atau apa undang-undang itu terbentuk, tetap menjadi
landasan hukum tempat kebijaksanaan penguasa yang dilaksanakan bertumpu; hal ini
berarti semua tindakan pelaksanaan diuji keabsahannya terhadap undang-undang.
Undang-undang pada hakikatnya dalam pengertian yuridis merupakan konstitusi dari
kebijaksanaan).
Terkait dengan hal tersebut, undang-undang memiliki posisi sentral dan bahkan dapat
sebagai produk hukum utama dalam sistem hukum nasional.Hal ini dilandasi oleh empat
argumentasi, yakni: pertama, undang-undang merupakan satu dari tiga produk hukum
yang disebutkan dalam UUD NRI Tahun 1945. Produk hukum lain yang disebut adalah
Peraturan Pemerintah (PP) yang dibentuk untuk melaksanakan UU, dan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Kedua, undang-undang berkedudukan
langsung di bawah UUD NRI Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi. UUD NRI Tahun
1945 memberikan delegasi pengaturan lebih lanjut tentang berbagai hal kepada undang-
undang. Ketiga, UU adalah produk hukum yang dibuat secara demokratis sebagai
pelaksanaan prinsip negara hukum yang demokratis. UU dibentuk oleh institusi
demokrasi, yaitu DPR dan Presiden yang dipilih melalui pemilihan umum.Keempat,
substansi UU adalah penafsiran UUD NRI Tahun 1945 yang dilakukan oleh DPR dan
Presiden. Penafsiran ini bersifat aktif, yaitu membentuk norma hukum dalam UU.

20
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Edisi
Ketiga), Airlangga University Press, Surabaya, 2005, hlm. 12
21
Ibid.
12

Penafsiran UUD 1945 dalam bentuk UU lebih dominan jika dibandingkan penafsiran
yang dilakukan oleh pengadilan konstitusi yang pasif negatif.22
Begitu pentingya suatu undang-undang dalam sistem hukum maka dalam proses
pembentukan maupun perubahannya, terdapat berbagai kepentingan yang tarik menarik
dari individu, kelompok atau golonganyang ada di masyarakat, dan pemerintahagar
kepentingannya dapat diakomodir dalam undang-undang. Akibat dari kepentingan yang
beragam tersebut menyebabkan suatu undang-undang yang dibentuk atau diubah dapat
saja menimbulkan persoalan yang melahirkan delegitimasi sosial secara masif di
masyarakat. Realitas ini nampak dalam perubahan Undang-Undang Komisi
Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dibentuk dalam waktu singkat dan minim
partisipasi.Kritikan terhadap perubahan UU KPK seakan angin lalu bagi pemerintah,
sebab pada 17 Oktober 2019, UU KPK yang lama telah digantikan. Padahal UU KPK
yang baru menyisakan berbagai persoalan dari urgensi dilakukannya revisi terhadap UU
KPK, sebab masyarakat ada yang tidak setuju terhadap revisi tersebut. Persoalan lainnya
adalah apakah prosedur pembentukan revisi UU KPK telah sesuai ataukah belum sesuai
dengan prosedur yang sebagaimana diatur dalam 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3), sehinggga dinilai tidak demokratis.
Berdasarkan pada fakta tersebut, maka penulisan artikel ini akan mencoba
menganalisis faktor sub sistem yang memengaruhi proses perubahan UU KPKdari sudut
pandang teori Sibernatika, sebagaimana dikemukakan oleh Talcott Parsons. Selain itu,
menganalisis juga perubahan undang-undang KPK yang tidak demokratis dan filosofis
sehingga berdampak terhadap pelanggaran nilai-nilai konstitusi.
B. Rumusan Masalah
Masalah yang dijadikan fokus pada penelitian adalah:
1. Apa faktor sub sistem yang memengaruhi perubahan UU KPK?
2. Apakah dampak yang ditimbulkan dari perubahan UU KPK terhadap konstitusi?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal yang bersifat normatif, 23 yaitu
menggunakan peraturan perundang-undangan.Adapun pendekatannya menggunakan
konsep sebagai landasan dalam melakukan telaah terhadap masalah penelitian.Data yang
digunakan adalah data sekunder.Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif.
PEMBAHASAN
A. Faktor Sub Sistem Menurut Teori Sibernatika dalam Perubahan UU KPK
Perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) beberapa
waktu lalu telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Alasan DPR dan
pemerintah merevisi undang-undang KPK, yakni: (1) tidak sesuai dengan
perkembangan zaman, dinamika hukum serta serta sistem ketatanegaraan Republik
Indonesia; dan (2) praktik pengakan hukum pidana sering menghadapi permasalahan
baik dari segi aturannya maupun dari segi substansi dan interpreatasinya24. Akan tetapi,

22
Safaat’at, Muhamad Ali, Pembentukan UU yang Demokratis, Harian Umum Kompas 17/10/2020.
23
Maezuki, Peter Mahmud, Pengantar Ilmu Hukum. Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23.
24
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, hlm. 5.
13

sebagian kalangan masyarakat menganggap alasan DPR dan pemerintah merevisi


undang-undang tersebut, justru dipandang melemahkan KPK.
Penilaian masyarakat seperti ini dikemukakan antara lain oleh Febridiansyah, yang
menegaskan KPK sebagai lembaga anti korupsi di Indonesia ternyata tidak berjalan
mulus. Menurut catatan Indonesia Coruruption Watch (ICW) berbagai upaya untuk
melemahkan KPK telah banyak dilakukan.Beberapa diantaranya adalah adanya ide
untuk membubarkan KPK, mempreteli kewenangan KPK dengan melakukan upaya
legislative review terhadap undang-undang KPK, melakukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi, melakukan kriminalisasi dan rekayasa hukum terhadap pimpinan
KPK, pengepungan kantor KPK, penyerobotan kasus yang ditangani KPK, blokade
anggaran pembangunan gedung KPK sampai melakukan intervensi secara langsung saat
pelaksanaan rapat kerja antara DPR dan KPK. Alih-alih menguatkan fungsi KPK tapi
kenyataannya pada tanggal 17 September 2019, DPR dan Pemerintah justru bersepakat
untuk melakukan perubahan atas UU KPK yang justru melemahkan kelembagaan
KPK.25
Sehubungan dengan fakta tersebut, proses perubahan UU KPK pada dasarnya
dipengaruhi oleh faktor sub sistem dalam masyarakat sebagaimana dikemukakan oleh
Talcott Parsons yang dalam teori Sibernetika. Dalam teorinya, Parsons menganggap
bahwa masyarakat merupakan suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian (sub-sub)
yang saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara timbal balik. Parson
berpandangan bahwa masyarakat merupakan suatu sistem secara fungsional yang
terintegrasi dalam bentuk equilibrium. Meski integrasi sosial tidak akan pernah dapat
dicapai secara sempurna, tetapi secara prinsip sistem sosial selalu cenderung bergerak
kepada harmoni yang bersifat dinamis. Secara lebih spesifik teori ini menyebutkan
bahwa di dalam sebuah masyarakat terdapat berbagai macam sub sistem, dimana antara
sub sistem satu dengan sub sistem lainya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu
sama lain. Sub sistem sebagaimana dimaksud meliputi sub sistem antara lain adalah, sub
sistem budaya, sub sistem sosial, sub sistem politik dan sub sistem ekonomi, atau yang
populer dikenal dengan istilah AGIL.26
Sub sistem sebagaimana disebutkan dalam teori ini akan saling berkaitan atau
berhubungan satu sama lain. Hubungan antara sub sistem demikian kemudian oleh
Satjipto Rahardjo disebut sebagai hubungan Sibernetik, dimana hubungan antara
subsistem satu dengan subsistem lainya dapat dilihat ketika sistem-sistem yang memiliki
informasi tinggi tetapi energi rendah (sub sistem budaya dan subsistem sosial) mengatur
sistem-sistem yang memiliki informasi lebih rendah tetapi energi lebih tinggi (subsistem
politik dan subsistem ekonomi) masing-masing dari sub sistem sebagaimana dimaksud
akan saling mempengaruhi berdasarkan fungsi primer dari masing-masing sub sistem
tersebut, seperti sub sistem budaya yang memiliki fungsi primer mempertahankan pola,
subsistem sosial sebagai fungsi integritas, fungsi politik sebagai fungsi pencapaian
tujuan, dan fungsi subsistem ekonomi sebagai fungsi yang adaptif.

25
Yulianto, Politik Hukum Revisi Undang-Undang KPK yang Melemahkan Pemberantasan
Korupsi, Jurnal Cakrawal Hukum, http://jurnal Umner.ac.id/indeks.php/jch, hlm. 114, diakses 16
Januari 2021, jam 11.19 WITENG.
26
Satria, Adhi Putra, Sibernatika Talcott Parsons: Suatu Analisa Pelaksanaan Omnibus Law dalam
Pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di Indonesia, Indonesian State Law Review,
Vol. 2 No. 2, April 2020, http:/journal.unnes.ac.id, hlm. 114, diakses 16 Januari 2021, jam 12.24
WITENG.
14

Pola pengaruh sub sistem sebagaimana dimaksud dapat memengaruhi proses


pembentukan dan perubahan Undang-Undang di Indonesia, seperti dapat dilihat pada
bagan di bawah ini:

Sub sistem Sub sistem Sub sistem Sub sistem


Ekonomi Politik Sosial Budaya

Proses Perubahan dan Pembentukan


Undang-Undang

Pengaruh sub
Pengaruh sub sistembudaya dari
Pengaruh sub Pengaruh sub sistem
sistem sosial dari sisi fungsi
sistem ekonomi politik dari sisi
sisi fungsi primernya sebagai
dari sisi fungsi fungsi primernya
primernya sebagai
primernya sebagai sebagai sub sistem sub sistem yang
sub sistem yang
sub sistem yang yang mengejar mempertahankan
mengintergrasikan
beradaptasi tujuan pola

Setelah memahami pola pengaruh subsistem dalam proses pembentukan dan


perubahan Undang-Undang, maka pertanyaan selanjutnya adalah pengaruh sub sistem
manakah yangsangat dominan dalam mempengaruhi perubahan Undang-Undang KPK?
Jika dilihat dari revisi atas substansi undang-undang KPK, maka perubahan Undang-
Undang KPK dipengaruhi oleh faktor subsistem politik, yakni begitu kuatnya
kepentingan politik DPR dan pemerintah.Selanjutnya, menurut teori sibernetikasub
sistem politik yang begitu kuat pengaruhnya memengaruhi sub sistem lainnya yakni sub
sistem budaya. Hal ini berdasarkan kenyataan, bahwa revisi undang-undang KPK tidak
sepenuhnya ditolak masyarakat. Terdapat sikap dan cara pandangkalangan tertentu di
masyarakat yangmenyetujui undang-undang KPK diperbaiki dengan pola revisi.
Dukungan atas revisi undang-undang KPK antara lain disampaikan oleh Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Kiai Haji Said Aqil Siroj (6/9/2019),
bahwa semua undang-undang kalau sudah terlalu lama harus dievaluasi dan diperbaiki,
karena itu semua teknis kerja KPK harus lebih diatur lagi dalam undang-undang. 27
Kesepakatan untuk mendukung revisi undang-undang KPK juga disampaikan oleh
Generasi Muda Islam yang terdiri atas Jamaah Pengajian Kebangsaan (JPK), Barisan
Pembaharuan (BP), dan Forum Jurnalis Pesantren (FJP), yang mengemukakan perlunya

27
https://iNews.id, diakses 18 Januari 2021, jam 16.12 WITENG
15

revisi undang-undang KPK agar fungsi KPK dapat berjalan optimal dan maksimal.
Disebutkan juga bahwa perlu adanya lembaga Pengawas KPK untuk penguatan
kelembagaan dan tugas pokok fungsi KPK.28
Begitu kuatnya pengaruh sub sistem politik dalam revisi undang-undang KPK,
nampak antara lain:
1. Penempatan KPK sebagai Bagian dari Eksekutif
Penempatan KPK pada rumpun kekuasaaneksekutif, akan menyulitkan
pelaksanaan kewenangan penindakan dan pencegahan. Pegawai KPKakan sulit
untuk bersikap kritis dan bertindak independen dalam hal tugasnya apalagi bila
harusberhadapan dengan pemerintahan yang berjalan. Kelembagaan KPK akan
sangat mudah dimanfaatkan memberangus oposisi dengan melakukan penindakan-
penindakan yang terlihat tebang pilih dan bersifat politis. KPK tidak akan lagi
punyakeberanian untuk menindak penyelenggara negarayang berasal dari partai
penguasa dan atau darilingkar kekuasaan. Hal tersebut menjadikan kedudukan KPK
tak ubahnya seperti 2 (dua) lembaganegara lainnya (Kepolisian dan Kejaksaan)
yang selama ini dianggap biasa-biasa saja dalam halikhwal penanganan kasus-kasus
korupsi. Presiden dan DPR sepertinya mengabaikan kenyataan bahwa dalam setiap
pelaksanaan tugasnya, KPK akan selalu bersentuhan dan bergesekan dengan
penyelenggaranegara dalam ranah kekuasaan eksekutif, legislatif atau pun
yudikatif.29
2. Pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN)
Salah satu ciri dari konsep lembaga negarayang independen adalah kemandirian
dalampengelolaan sumber daya manusia yang dimilikinya dan ini sepertinya yang
tidak ingin dihadirkan oleh pengambil kebijakan politik saat ini. Selama ini
pengelolaan kepegawaian KPK dikelola secara profesional dan mandiri dengan
ukuran kinerja yang jelas. Revisi undang-undang KPK mengakibatkan status
kepegawaian KPK tunduk pada Undang-Undang Aparatur Sipil Negara dan setiap
kebijakan mutasi dan rotasi jabatan harus berkiblat ke Kementerian Aparatur Sipil
Negara.Status ASN yang melekat pada pegawai KPKakan menghilangkan
independensi KPK, karena bukan tidak mungkin pada suatu waktu pegawai KPK
akan ditarik dan dimutasi sesuai dengan keinginan pemerintah yang berkuasa.
Pelaku korupsi dari lingkar kekuasaan akan sangat mudah mengintervensi pegawai
KPK dengan dalih mutasi danrotasi.30
3. Ketentuan yang Hilang Dari Keistimewaan Penyelidikan KPK
Undang-Undang KPK hasil revisi tidak lagi menempatkan pimpinan KPK
sebagai penyidik dan penuntut umum. Berlakunya revisi ini menempatkan pimpinan
KPK hanya sebagai figure administratif. Pimpinan KPK dapat ditafsirkan secara
hukum tidak lagi dapat menandatangani surat perintah penyidikan dan atau surat
rencana penuntutan yang merupakan ranah dari penyidik dan penuntutumum. Lebih
jauh lagi, penyidik dan penuntut umum dapat menolak pimpinan KPK untuk
mengikuti ekspos perkara karena menyangkut kerahasiaan dan kewenangan
pimpinan yang bukan sebagai penyidik atau penuntut umum.31
28
Pernyataan kesepakatan dukungan revisi UU KPK disampaikan oleh Gus Sholeh Marzuki,
(11/9/2019), https://teropongreformasi.com, diakses 18 Januari 2021, jam 19.05 WITENG.
29
Yulianto, op.cit, hlm. 116.
30
Ibid, hlm. 120.
31
Ibid, hlm. 123.
16

Berdasarkan uraian mengenai pengaruh sub sistem politik yang kuat dalam
perubahan pasal-pasal Undang-Undang KPK tersebut,maka tidaklah mengherankan
jangka waktu perubahan undang-undang KPK yang dilakukan DPR dan pemerintah
terkesan begitu cepat. Makna cepat dalam proses perubahan Undang-Undang KPK
apabila dikaitkan dengan teorisibernetika, bermakna sebagai sebuah jalan yang
ditempuh tanpa memakan waktu yang lama guna mencapai sebuah tujuan. Oleh
karena menurut teori sibernetik bahwa yang memiliki fungsi primer pencapaian
tujuan adalah subsistem politik, maka tidaklah mengherankan guna mencapai
tujuan, maka dalam proses revisi undang-undang KPK, DPR dan pemerintah tidak
sepenuhnya menaati asas formal dan materiil.
Terkait dengan itu, Van der Vlies menyebutkan asas formal meliputi 32: “het
beginsel van duidelijke doelstelling, beginsel van het juiste orgaan, het
noodzakellijkheids beginsel van uitvoerbaarheid, het beginsel van consensus”
(tujuan yang jelas, organ atau lembaga yang tepat, perlunya pengaturan, dapat
dilaksanakan, dan konsesus). Kemudian, asas materiil menurutnya meliputi: “het
beginsel van duidelijke terminologie en duidelijk systematiek, het beginsel van de
kenbaarheid, het rechtsgelijkheidsbeginsel, het rechtszek erheidsbeginsel van de
individuele rechtsbedeling” (terminologi dan sistematika yang jelas, dapat dikenali,
perlakuan yang sama dalam hukum, kepastian hukum, dan pelaksanaan hukum
sesuai dengan keadaan individual). Kedua asas tersebut juga diatur dalam ketentuan
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang memberi
penjelasan, bahwa dalam membentuk undang-undang, harus didasarkan pada asas
pembentukan peraturan peruundang-undangan yang baik, yaitu: kejelasan tujuan,
kelembagaan atau organ yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan,
dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, dan
keterbukaan.
Di antara asas yang krusial dan menjadi polemik masyarakat sehubungan
dengan proses revisi undang-undang KPK, yaitu keterbukaan. Masyarakat menilai
dalam proses revisi undang-undang KPK mulai dari tahap perencanaan, persiapan,
penyusunan, dan pembahasan tidak transparan. Dengan demikian, masyarakat tidak
mempunyai kesempatan untuk memberikan masukan dalam revisi undang-undang
KPK. Akibat tidak dilibatkannya partisipasi publik, maka perubahan undang-
undang KPK dinilai tidak memenuhi legitimasi demokratis. Hal ini karena secara
prinsip, suatu undang-undang harus memenuhi legitimasi demokratis, yakni dibuat
dengan tahapan dan mekanisme yang melibatkan rakyat.

32
Van der Vlies dalam Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perunang-Undangan yang
Baik, RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-3, Jakarta, 2011, hlm. 23-24.
17

4. Dampak Perubahan UU KPK Terhadap Konsitusi


Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pada dasarnya sudah masuk dalam
Prolegnas sejak tahun 2011 melalui keputusan DPR RI Nomor 02B/DPR/II/2010-
2011. Kemudian masuk kembali pada Prolegnas Tahun 2015-2019, prioritas tahun
2016 pada urutan 37 dimana draft RUU dan Naskah Akademiknya disiapkan oleh
DPR RI.33Dalam Naskah Akademik RUU KPK menyatakan UU KPK yang lama
tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman, dinamika hukum serta sistem
ketatanegaraan Republik Indonesia, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap
UU KPK.Selain itu, disebutkan juga bahwa praktik pengakan hukum pidana korupsi
sering menghadapi permasalahan baik dari segi aturannya maupun dari segi
substansi dan interpretasinya.34
Mencermati perubahan UU KPK sejak tahap perencanaan telah dikritik
banyak kalangan yang menilai perubahan UU KPK tidak jelas dan tepat. Pada
hakikatnya pembentukan maupun perubahan peraturan perudang-undangan,
menurut Burkhardt Krems sebagaimana dikutip oleh Attamimi, merupakan kegiatan
yang berhubungan dengan isi atau substansi peraturan, metode pembentukan, serta
proses dan prosedur pembentukan peraturan. Setiap bagian kegiatan harus
memenuhi persyaratan-persyaratan tersendiri agar produk hukum dapat berlaku
sebagaimana mestinya, baik secara yuridis, politis maupun sosiologis.35Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menegaskan tahapan
pembentukan undang-undang yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Sehubungan dengan perubahan UU KPK yang tidak mengikuti salah satu
prosedur atau tahapan yaitu perencanaan, karena tidak adanya keterbukaan dan tidak
melibatkan partisipasi masyarakat. Keterbukaan membawa konsekuensi kewajiban
bagi DPR dan pemerintah untuk menyebarluaskan kepada publik proses
pembentukan undang-undang sejak dalam bentuk prolegnas, rancangan UU hingga
UU yang yang telah diundangkan. Tujuan penyebarluasan adalah memberikan
informasi dan memperoleh masukan dari masyarakat dan pemangku kepentingan.
Akibat tidak adanya keterbukaan maka dalam proses perubahan ttidak
melibatkan partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, revisi UU KPK tidak pernah
disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga publik menolak revisi UU KPK.
Keadaan ini diakui oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, yang
mengatakan, “Opini publik sangat beragam dan tidak sedikit pihak yang menentang
revisi, pemerintah dan DPR akan mengundang pihak-pihak yang tidak setuju untuk
sosialisasi. Dalam sosialisasi itu, pemerintah dan DPR akan menjelaskan bahwa

33
Walansari, Eka Martiana, Politik Hukum Perubahan Kedua UU KPK, Rechts Vinding Online,
http://bphn.go id, hlm.2, diakses 16 Januari 2021, jam 10.05 WITENG
34
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2019 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, hlm. 5.
35
Nugroho, Wahyu, Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasarkan Cita
Hukum Pancasila, Jurnal Legislasi Indonesia 10 (3), 2013, http://kemenkumham.go.id, hlm. 209,
diakses 17 Januari 202, jam 11.17 WITENG.
18

revisi UU KPK tidak akan melemahkan KPK, jadi nanti pihak-pihak yang
menyatakan revisi ini sama dengan pelemahan KPK akan diundang, tapi harus
berbasis intelektual, tidak emosional”.36
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka sejak awal perubahan Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, DPR dan pemerintah tidak sosialiasi, lantas
setelah ada penolakan yang kuat dari masyarakat, baru kemudian melibatkan publik.
Karenanya, UU KPK tidak memenuhi legitimasi demokratis.Secara prinsip,
demokrasi tidak selesai pada saat dibentuk lembaga perwakilan hasil pemilu.
Demokrasi modern tidak hanya dimanifestasikan dalam bentuk partisipasi dalam
memilih wakil rakyat, tetapi juga harus ada partisipasi dalam pembentukan
keputusan dan produk hukum.
Selain itu, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK jika dikaitkan
secara filosofis seharusnya memenuhi fungsi suatu undang-undang. Adapun fungsi
undang-undang yang dimaksud (a) sebagai pengatur masyarakat; (b) untuk
membatasi kekuasaan; (c) sebagai a tool of social engineering; dan (d) sebagai
sarana pembaharuan masyarakat. 37 Sebagai pengatur masyarakat, undang-undang
berfungsi sebagai pengatur tarik menarik berbagai kepentingan dari individu,
kelompok, atau golongan yang ada di masyarakat dengan memberikan jaminan
keadilan dan kepastian hukum mengenai legal right, privelege, function, duty,
status, or dispotition dalam berbagai aspek kehidupan. 38 Pandangan dan rasa
keadilan serta kesadaran hukum masyarakat suatu negara tidak mesti seragam, maka
undang-undang harus dapat mengakomodasi segala pandangan dan rasa keadilan
serta kesadaran hukum yang hidup, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat
sehingga kehadiran undang-undang itu dapat diterima oleh seluruh masyarakat.39
Selanjutnya, fungsi undang-undang untuk membatasi kekuasaan dimaksudkan
untuk membagi dan membatasi kekuasaan yang dimiliki oleh organ-organ negara
dengan aturan yang jelas agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan 40 . Tanpa
adanya peraturan yang jelas dengan undang-undang akan membuka peluang
terajdinya penyalahgunaan wewenang dengan menjadikan undang-undang sebagai
alat untuk mempertahankan kekuasaan semata tanpa mengindahkan kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat.41
Kemudian undang-undang sebagai a tool of engineering (alat perubahan
sosial) merupakan salah satu norma hukum yang berfungsi penyelaras dan
penyelesai konflik kepentingan. Pandangan ini disampaikan oleh Roscou Pound,
bahwa hukum adalah instumen untuk mengontrol kepentingan berdasarkan tatanan
sosial (an instrument which controls interest according to the requirements of the
social order).42 Pandangan Roscou Pound ini didasarkan atas kenyataan bahwa di
dalam masyarakat terdapat berbagai fungsi social interest yang berupa tuntutan-

36
Wulansari, Eka Martiana, op., cit., hlm. 4.
37
Saifuddin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, FH UII
Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 47.
38
Ibid hlm. 48.
39
Atok, A. Rosyid Al, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Setara Press,
Malang, 2015, hlm. 5.
40
Saifuddin, op.cit.
41
A. Rosyid, op.cit.
42
Saifuddin, op.cit.
19

tuntutan dan keinginan-keinginan yang terdiri dari: individual interest, public


interest, dan interest of state. Keberadaan undang-undangharus dapat
menyelaraskan dan menyelesaikan berbagai kepentingan tersebut.43
Terkait dengan itu, undang-undang KPK dapat dikatakan secara filosofis tidak
memenuhi fungsi suatu undang-undang, disebabkan antara lain: pertama, UU KPK
tidak mengakomodasi pandangan, dan rasa keadilan masyarakat, sehingga
kehadiran undang-undang tersebut tidak sepenuhnya diterima masyarakat. Kedua,
undang-undang KPK cenderung dijadikan sebagai alat untuk melindungi
kepentingan kekuasaan. Hal ini terkait dengan pengaturan penempatan KPK sebagai
bagian dari kekuasaan eksekutif sehingga tidak independen dan rentan diintervensi.
Ketentuan tersebut bertentangan dengan pendapat dan pertimbangan Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-IX/2011 yang menyatakan bahwa
“KPK adalah lembaga negara independenyang diberi tugas dan wewenang khusus
antaralain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman
untuk melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan serta melakukan
supervise atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukanoleh institusi
negara yang lain.”
Selanjutnya, ketiga, undang-undang KPK juga sarat dengan tarik menarik
kepentingan eksekutif dan DPR, sehingga membuka peluang bagi individual
interest dalam pemerintahan maupun DPR dengan mengatasnamakan interest of
state, sehingga dapat mengintervensi KPK. Hal ini didasarkan pada tafsiran DPR
dan pemerintah atas putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 dan No.40/PUU-XV/2017,
yang menyatakan bahwa pelaksanaan tugas KPK dapat dikategorikan sebagai
bagian dari rumpun eksekutif, sehingga KPK juga merupakan bagian dari
kewenangan hak angket DPR. Putusaninilah yang kemudian dijadikan argumentasi
oleh DPR dan Pemerintah melakukan perubahanundang-undang KPK.
Sebagai norma hukum yang berada di bawah UUD NRI Tahun 1945, maka
apabila pembentukan maupun perubahan suatu undang-undang tidak demokratis,
dan secara filosofis tidak memenuhi fungsi utama suatu undang-undang,
berdampak terhadap konsitusi yakni menimbulkan pelanggaran terhadap nilai-nilai
konstitusi. Menurut Muchamad Ali Safa’at, terdapat empat pelanggaran terhadap
nilai-nilai konsitusi, yaitu: pertama, melanggar prinsip kedaulatan rakyat karena
meniadakan peran pemilik kekuasaan tertinggi dalam pembentukan produk hukum
yang akan menjadi dasar penyelenggaraan negara dan menentukan nasib warga
negara. Kedua, mengingkari kedudukan undang-undang sebagai produk hukum
utama yang dibentuk secara demokratis.Ketiga, mengingkari eksistensi pembentuk
undang-undang sendiri, DPR dan pemerintah, sebagai institusi demokrasi yang
harus selalu mendengar, memerhatikan, serta mempertimbangkan aspirasi rakyat
yang diwakili. Keempat, membiarkan pembentukan undang-undang sebagai arena
pertarungan dan dominasi kekuasaan yang mengorbankan keadilan perlindungan
hak warganegara.44

43
A. Rosyid, op.cit
44
Safa’at, Muhamad Ali, op., cit.
20

PENUTUP
Proses perubahan undang-undang KPKpada dasarnya dipengaruhi oleh faktor sub
sistem dalam masyarakat, dan sub sistem ini akan saling berkaitan atau berhubungan satu
sama lain. Jika dilihat dari revisi atas substansi undang-undang KPK, maka perubahan
Undang-Undang KPK dipengaruhi oleh faktor sub sistem politik, dimana kepentingan
politik DPR dan pemerintah begitu kuat. Sub sistem politik yang begitu kuat pengaruhnya
ini memengaruhi sub sistem lainnya yakni sub sistem budaya. Hal ini berdasarkan
kenyataan, bahwa revisi undang-undang KPK tidak sepenuhnya ditolak masyarakat.
Terdapat sikap dan cara pandang kalangan tertentu di masyarakat yang menyetujui undang-
undang KPK diperbaiki dengan pola revisi.
Pengaruh sub sistem politik menyebabkan perubahan Undang-Undang KPK dilakukan
dengan cepat. Makna cepat dalam proses perubahan Undang-Undang KPK jika dikaitkan
dengan teori sibernetika, bermakna sebagai sebuah jalan yang ditempuh tanpa memakan
waktu yang lama guna mencapai sebuah tujuan. Melalui cara yang cepat itu, maka
perubahan undang-undang KPK tidak menaati asas formal dan materiil sehingga tidak
demokratis. Selain itu, secara filosofis tidak memenuhi fungsi utama suatu undang-undang.
Akhirnya, hal ini berdampak pada pelanggaran terhadap nilai-nilai konstitusi.
Menyikapi persoalan tersebut, maka jalan perbaikan UU KPK dapat ditempuh dengan
beberapa cara, yakni legislative review meski ujungnya adalah perubahan UU dan otomatis
tahapan pembuatan UU harus dijalani, mulai dari perencanaan, dimasukan lagi ke dalam
Program Legislasi Nasional (Prolegnas), penyusunan naskah akademik dan RUU, lalu
pembahasan di DPR. Kesemua tahapan tersebut tentu akan menguras sumber daya. Cara
lainnya, menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), tetapi
akan sulit dilakukan karena ukuran kegentingan memaksa yang menjadi syarat bagi
terbitnya Perppu dapat saja dinilai oleh Presiden tidak terpenuhi. Oleh karenanya jalan
konstitusional yang dapat dilakukan adalah pengujian UU KPK baik dari segi formil maupun
materiil ke Mahkamah Konstitusi.
REFERENSI
BUKU
Atok, Al, A, Rosyid, Konsep Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Setara Press,
Malang, 2015.
Marzuki. Mahmud, Peter, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008.
Rangkuti, Siti Sundari, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional (Edisi
Ketiga), Airlangga University Press, Surabaya, 2005.
Saifuddin, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, FH
UII, Yogyakarta Press, 2009.
Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perunang-Undangan yang Baik,
RajaGrafindo Persada, Cetakan ke-3, Jakarta, 2011.
JURNAL
Nugroho, Wahyu, Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasarkan
Cita Hukum Pancasila, Jurnal Legislasi Indonesia 10 (3), 2013,
http://kemenkumham.go.id.
Satria, Adhi Putra, Sibernatika Talcott Parsons: Suatu Analisa Pelaksanaan Omnibus Law
dalam Pembentukan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja di Indonesia, Indonesian
State Law Review, Vol. 2 No. 2, April 2020, http://journal.unnes.ac.id
21

Wulansari, Eka Martiana, Politik Hukum Perubahan Kedua UU KPK, Rechts Vinding
Online, http://bphn.go id
Yulianto, Politik Hukum Revisi Undang-Undang KPK yang Melemahkan Pemberantasan
Korupsi, Jurnal Cakrawal Hukum, http://jurnal Umner.ac.id/indeks.php/jch.
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4250.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan,Lembaran Negara Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara
5234.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011, Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 6398.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Lembaran
Negara Tahun 2019 Nomor 197, Tambahan Lembaran Negara Nomor 6409.
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
SURAT KABAR DAN MEDIA ONLINE
Harian Umum Kompas 17/10/2020 (cetak)
https://iNews.id.
https://teropongreformasi.com.
22

Pelanggaran HAM Berat dan


Pertanggungjawaban
David Y. Meyners
davidmeyners1960@gmail.com
ABSTRAK
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang
berbunyi, “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil…” (kursif, pen.). Terdapat tiga kata, yaitu meluas (widespread), sistematis
(systematic), dan diketahui (intension), di pasal ini yang bersifat konotasi sehingga dalam
praktek di pengadilan, terjadi beragam interpretasi. Seringkali pembuktian terhadap
kejahatan yang dimaksud menjadi sulit, dan bisa jadi dakwaan menjadi sumir. Akibatnya,
menurut Binsar M. Gultom, Dosen Bidang Hukum dan HAM pada Pascasarjana Universitas
Hazairin Bengkulu, berpendapat, “...begitu banyak kasus pelanggaran HAM berat yang
terkesan ditutup-tutupi. Sejauh ini hanya tiga kasus pelanggaran HAM berat yang pernah
diselesaikan oleh pengadilan HAM Indonesia, yakni kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung
Priok 1984 ditangani oleh Pengadilan HAM ‘Ad Hoc’ Jakarta, serta kasus pelanggaran HAM
berat Abepura 2000 ditangani di Pengadilan HAM Makassar. Itu pun semua terdakwa
akhirnya ‘bebas’ dari segala tuntutan hukum di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.”
Tumpulnya penegakan terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di masa
lalu, selain terdapat multitafsir terhadap berbagai norma tersebut, juga pemerintahan baru
Joko Widodo dan Jusuf Kalla, oleh beberapa pengamat dianggap tidak serius menangani
persoalan tersebut. Padahal dalam beberapa kesempatan, seringkali presiden menyinggung
dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan dihubungkan dengan
sembilan janji program prioritas jika pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai
presiden yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Butir ke dua dan ke empat dari Nawacita
berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola
pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya....Kami akan menolak negara lemah
dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi,
bermartabat, dan terpercaya.” Pertanyaan tentang pelaksanaan Nawacita ke dua dan ke
empat itu makin menjadi pertanyaan, setelah pemerintah selama lebih dari enam bulan
(Oktober 2014 - Mei 2015), belum mengejawantahan dari agenda penegakan HAM yang
tertuang dalam Nawacita tersebut. Artikel ini mendeskripsikan solusi penyelesaian
pelanggaran berat HAM masa lalu ditinjau dari aspek pertanggungjawaban komando,
individual, dan negara.
Kata Kunci: Pelanggaran HAM Berat, Pertanggungjawaban Komando, Individu,
Negara.
ABSTRACT
Article 9 of Lwgislation Number 26 of 2000 on Human Rights Court established that,
"Crimes against humanity as referred in Article 7 letter b is one of acts committed as part
of a broad or systematic attack which one knew that the attack was directed against the
population civil…".There are three important words, namely the widespread, systematic,
and intension, in this article that are connotations so that in practice in the court, there was
a variety of interpretations.Many times the evidentiary of the crime in question becomes
23

difficult, and charges becomes vague.Consequently, M. Binsar Gultom, Lecturer of Legal


Affairs and Human Rights at the University of Hazarin Bengkulu, argues that, "... so many
serious human rights violations were seem covered up.So far, only three cases of serious
violations were ever resolved by the Indonesian human rights court, which is the case of
East Timor in 1999 and 1984 TanjungPriok handled by the 'Ad Hoc' Court of Human Rights
Jakarta, as well as serious human rights violations in Abepura in 2000 dealt in court in
Makassar.the results of the trial is all defendants finally 'free' of all charges on appeal and
judicial review stage.
Inefficacy of enforcement against serious violations of human rights in the past are
caused by, besides there are multiple interpretations of the norms, the new administration
ofJokoWidodo and JusufKalla, by some observers,is considered not serious in handling the
issue.In fact, on several occasions, often the president insisted that the settlement of past
human rights violations will be resolved. In fact, it is also stated in Nawacita of this
government. The second and fourth point of Nawacita stated that, "We will make a
government that is always favor of the people by building clean, effective, democratic, and
honestgovernance .... We will not be a soft state by reforming the system and law
enforcement which corruption-free, dignified, and reliable".Questions about the
implementation second and fourth point of Nawacitabecome a big question after the
government for more than six months (October 2014 - May 2015) are not yet realizing the
agenda of human rights contained in the Nawacita. This article describes the solution of
settlement of serious human rights violations in the past from the aspect of command, the
individual and the stateresponsibility.
Keywords: Serious Violation of Human Rights, Command, the Individual and the State
Responsibility.
PENDAHULUAN
"Can the Jews forget the Holocaust?" (Dapatkah orang-orang Yahudi melupakan
Holocaust?). Pertanyaan ini diajukan oleh Virgil Elizondo di tahun 2004, presiden Pusat
Kebudayaan Meksiko Amerika di San Antonio, Texas. Hal itu mengingatkan kita bahwa
kekejaman pada abad ke-20 lalu dapat memberikan pengaruh yang tak mudah terlupakan
dalam benak banyak orang. Genosida atas orang-orang Armenia (1915-1923) dan
pembunuhan massal atas orang-orang Kamboja (1975-1979) pasti juga termasuk di antara
kekejaman abad ke-20. Apakah hukum sekuler (baca: Hukum Internasional dan/atau hukum
nasional dari masing-masing negara sebagai locus delicti) bisa memaafkan kejahatan yang
tak terperikan, seperti yang dilakukan Hitler, 45 Stalin, Mao Zedong, Charles Taylor, dan

45
Kekejaman Hitler selama Perang Dunia ke-II, oleh majalah bulanan Awake! edisi 22 April
1998:29 menulis, “Gereja Katolik Roma di Prancis telah mengeluarkan Declaration of Repentance
(Pernyataan Pertobatan) resmi, meminta pengampunan dari Allah dan orang Yahudi karena
‘ketidakacuhan’ yang diperlihatkan Gereja Katolik terhadap penganiayaan orang Yahudi di bawah
pemerintah Vichy sewaktu Prancis dalam masa perang. Dari tahun 1940 hingga tahun 1944, lebih
dari 75.000 orang Yahudi ditangkap dan dideportasi dari Prancis ke kamp-kamp kematian Nazi.
Dalam suatu pernyataan yang dibacakan oleh Uskup Agung Olivier de Berranger, gereja mengakui
bahwa ia telah membiarkan kepentingannya sendiri ‘to obscure the biblical imperative of respect
for every human being created in the image of God’ (mengaburkan desakan Alkitab untuk merespek
setiap manusia yang diciptakan menurut gambar Allah), lapor surat kabar Prancis, Le Monde.
Meskipun sangat banyak pemimpin agama Prancis menyuarakan dukungan untuk orang-orang
Yahudi, mayoritas mendukung pemerintah Vichy dan kebijakan-kebijakannya. Pernyataan tersebut
sebagian berbunyi, ‘The church must recognize that in regard to the persecution of the Jews, and
24

Omar Al-Bashir? Apakah dengan menampilkan fakta kejahatan masa lalu serta-merta boleh
menghapus hukuman atas pelakunya? Jawaban etis tentu saja tidak! Ini karena kejahatan itu
belum benar-benar berlalu, masih tersangkut di “benang-benang” ingatan korban dan
keluarga mereka.
Pengaruh yang serupa--tak mudah terlupakan atas kekejaman terhadap
perikemanusiaan--yang juga terjadi di Indonesia. Hal ini tercetus dalam perdebatan
pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang pertama digelar, diselenggarakan
Komisi Pemilihan Umum, di Balai Sarbini, Jakarta, Senin, 9 Juni 2014, melalui acara yang
disiarkan langsung oleh banyak stasiun televisi, diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan
Umum.
PEMBAHASAN
A. Tanggung Jawab Komando
Harian Kompas, Selasa, 10 Juni 2014, melaporkan perdebatan itu dengan versi
percakapan sebagai berikut, “Giliran kubu Jokowi-Kalla yang menyampaikan
pertanyaan. Kalla mengkritik visi dan misi yang disampaikan Prabowo-Hatta, yaitu
melindungi rakyat dari berbagai diskriminasi dan menjunjung HAM. ‘Bagaimana Bapak
menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu?’ tanya Kalla. Prabowo pun menjawab,
‘HAM yang paling dasar adalah hak untuk hidup. Tugas mendasar adalah melindungi
segenap tumpah darah Indonesia. Itu tugas utama pemerintah, harus melindungi tumpah
darah dari segala ancaman,’ kata Prabowo. ‘Saya puluhan tahun adalah abdi negara yang
membela HAM, mencegah kelompok radikal yang mengancam keselamatan hidup
orang-orang yang tak bersalah,’ kata Prabowo. Jadi, kata Prabowo, jika kita hadapi
kelompok yang merakit bom, yang mengancam hidup bangsa, mereka ini ancaman.
‘Sebagai prajurit kita laksanakan tugas sebaik-baiknya, yang menilai atasan. Jadi, saya
mengerti arah pertanyaan Bapak. Tidak apa-apa,’ kata Prabowo. Jokowi pun bertanya
lagi, ‘Yang disampaikan Pak Prabowo belum konkret, disampaikan ke depan seperti
apa.’ Kalla juga menambahkan, ‘Bapak katakan semua pelanggar itu pakai bom. Jadi,
tak semua pelanggar itu dengan bom. Jadi, tak semua harus ditangani dengan kekerasan.
Apakah penilaian atasan Bapak tentang penyelesaian masalah itu?’ tanya Kalla. ‘Kalau
Bapak ingin tanya, tanyakan kepada atasan saya,’ jawab Prabowo.” 46
Kalimat diplomatis dari jawaban Calon Presiden Prabowo Subianto: Kalau Bapak
ingin tanya, tanyakan kepada atasan saya, dari perspektif hukum, dapat diklasifikasi ke
dalam beberapa hal. Pertama, sikap pengabaian terhadap semangat penegakkan HAM
dalam pemerintahan baru yang akan dibangun. Tentu setiap pemimpin baru, bila
dihadapkan pada kekejaman semacam itu, akan memiliki reaksi yang tidak sama dengan

especially in regard to manifold anti-Semitic measures decreed by the Vichy authorities,


indifference by far prevailed over indignation. Silence was the rule, and words in favor of the victims
the exception....Today, we confess that this silence was a mistake. We also recognize that the church
in France failed in its mission as the educator of people’s consciences’ (Gereja harus mengakui
bahwa sehubungan dengan penganiayaan orang-orang Yahudi, dan khususnya sehubungan dengan
banyaknya langkah anti-Semit yang ditetapkan oleh kalangan berwenang Vichy, ketidakacuhan jauh
melebihi kegeraman. Membungkam adalah aturannya, dan kata-kata pembelaan terhadap para
korban jarang diperdengarkan....Hari ini, kami mengakui bahwa sikap membungkam ini adalah
kekeliruan. Kami juga mengakui bahwa gereja di Prancis gagal dalam misinya sebagai pendidik hati
nurani rakyat) (www.jw.org/id, diakses, 20 Januari 2015).
46
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007131327, diakses, Selasa, 10 Juni
2014.
25

pemimpin yang terdahulu. Akan tetapi, bagaimana sikap Joko Widodo sebagai pribadi?
Haruskah kekejaman itu terus diingat-ingat? Haruskah dilupakan? Apakah mengingat-
ingat berarti memendam rasa benci yang berurat-berakar terhadap bekas musuh,
menolak untuk mengampuni? Sebaliknya, apakah mengampuni berarti bahwa seseorang
dapat melupakan dalam pengertian menghapus sama sekali kenangan buruk?
Jawaban atas sejumlah pertanyaan ini, tentu tidak terlepas dari pengalaman masa
lalu: para pelaku tidak memiliki perasaan bersalah dan hati nurani mereka tidak merasa
terganggu atas perbuatan yang sangat kejam. Sebagai contoh ialah Adolf Eichmann,
penjahat perang Nazi yang dihukum dan digantung karena peranannya dalam
pembunuhan enam juta orang Yahudi. 47 Apakah ia pernah mempunyai perasaan
bersalah? Psikiater I. S. Kulscar mengajukan pertanyaan itu kepadanya, yang dijawab
oleh Eichmann, “Yes, once or twice, because of skipping school” (Ya, sekali atau dua
kali, karena membolos dari sekolah). Betapa gilanya! Jelas Eichmann telah belajar untuk
mematikan suara hati nuraninya. Pakar psikoanalisa Willard Gaylin mengatakan, “The
failure to feel guilt is the basic flaw in the psychopath or antisocial person” (Kegagalan
untuk merasa bersalah merupakan cacat dasar dalam diri seseorang yang sakit jiwa atau
anti sosial).48
Hati nurani yang telah mati juga secara umum terjadi pada diri penjahat terorisme.
Kompas, 24 dan 25 November 2002, edisi cetak halaman 1 menulis, “Anggota tim
penyidik...sampai geleng-geleng kepala mendengar pengakuan Imam (Imam Samudra
alias Abdul Aziz, pen.)....Dalam pemeriksaan awal, Imam mengatakan sama sekali tidak
menyesal melakukan peledakan bom di Kuta karena para korban memang target
utama....Pernah suatu saat, seorang polisi berkata padanya bahwa peledakan bom di Bali
tersebut tidak hanya menewaskan orang asing, tetapi juga orang Muslim. ‘Insya Allah,
kalau mereka ikhlas, mereka akan masuk surga’, katanya, dengan memperlihatkan
mimik wajah serius begitu mendengar penjelasan polisi.” Dari jawaban Imam Samudra
atas apa dilakukan, jelas ia tidak merasa tersiksa. 49 Padahal peledakan bom pada 12
Oktober 2002 di Bali, di Denpasar, menewaskan lebih dari 202 orang dan ratusan
lainnya luka-luka, sehingga kejahatan ini dinyatakan sebagai perbuatan teror yang keji.
Kedua, sikap “malas tahu" (mungkin disengaja) tentang adanya
pertanggungjawaban hukum yang berbeda-beda menurut bidang masalah. Secara
umum, terdapat tiga jenis tanggung jawab dalam hukum, yaitu tanggung jawab pidana,
tanggung jawab keperdataan, dan tanggung jawab administratif. Sebagai contoh, frasa

47
Adolf Eichmann pada tahun 1960 ditahan di Argentina dan dibawa kembali ke Israel; di sana ia
kemudian dinyatakan bersalah dalam kejahatan Perang Dunia II dan dihukum mati oleh pengadilan
penjahat perang di pengadilan distrik Yerusalem.
48
Majalah Awake!, edisi 1986:13-14, Watch Tower Bible and Tract Society of Pennsylvania
(www.jw.org/id, diakses, 27 Januari 2015).
49
Reaksi berbeda diberikan oleh pelaku lain dalam kasus yang sama. Jawa Pos, 4 September 2003,
edisi cetak hlm. 1 dan 15 melaporkan, “Ali Imron alias Ale...dituntut jaksa penuntut 20 tahun
penjara...disebabkan adanya beberapa unsur yang meringankan bungsu dari trio Tenggulun itu. Di
antaranya...dia juga mengakui kesalahannya, baik dari segi hukum dan maupun agama. Bahkan, dia
juga mengimbau agar keluarga dan murid-muridnya tidak mengikuti perbuatannya, serta seruan
menghentikan tindakan kekerasan dan bersikap jujur....Juga, Ale telah menyatakan permintaan maaf
khusus kepada masyarakat Bali, rakyat Indonesia, serta dunia.”
26

‘atasan saya’ [Prabowo Subianto, pen]50 yang dimaksud dari kutipan di atas, mungkin
saja bertanggungjawab secara administratif terhadap bawahannya (sebagai atasan
langsung), tetapi seorang atasan tidak bisa dibebani untuk ikut bertanggungjawab atas
tindak pidana yang dilakukan bawahannya, kecuali jika kebijakan si atasan itulah yang
memang masuk dalam kualifikasi tindak pidana. Artinya, pertanggungjawaban pidana
adalah tanggung jawab individual. Hal ini berlaku untuk Tindak Pidana Umum maupun
Tindak Pidana Khusus, seperti korupsi.
Pertanggungjawaban demikian ini, dihubungkan dengan pelanggaran HAM Berat,
masih ditambah lagi dengan pertanggungjawaban komando (command responsibility)51
yang dilakukan atasan--sepanjang bawahannya di bawah pengendalian efektif dari sang
atasan. Komandan militer dan/atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukan pasukan
yang berada di bawah komandonya, perbuatan dari komandan militer dan/atau
seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer tersebut harus
memenuhi syarat sebagaimana yang dimaksud Pasal 42 ayat (1) Statuta Roma, yang jika
diurai menjadi sebagai berikut:
(1) Komandan militer dan/atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer tersebut mengetahui dan/atau atas dasar keadaan saati itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukan yang berada di bawah komando dan/atau
kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, sedang melakukan dan/atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM yang berat;

50
Tentang kata-kata Prabowo Subianto, ‘tanyakan kepada atasan saya’, Harian Kompas, Jumat, 20
Juni 2014 menulis, “Mantan Menteri Pertahanan dan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal (Purn)
Wiranto, Kamis (19/6), menegaskan, penculikan aktivis pada 1998 oleh Komando Pasukan Khusus,
yang melibatkan Prabowo Subianto, bukan perintah atasan, melainkan inisiatifnya sendiri.
‘Penculikan dilakukan mulai Desember 1997 sampai Februari 1998 dan Panglima ABRI adalah
Jenderal (alm) Feisal Tanjung. Saat kasus terungkap, sekitar Maret 1998, saya menggantikan posisi
beliau. Kebijakan Panglima TNI saat itu, untuk menghadapi para aktivis dan demonstran
mengedepankan cara-cara persuasif, dialogis, dan komunikatif, serta menghindari tindakan bersifat
kekerasan atau represif. Aksi penculikan itu jelas tidak sesuai dengan kebijakan pimpinan,’ ujar
Wiranto yang kini Ketua Umum DPP Partai Hanura. Wiranto mengatakan tidak tahu-menahu siapa
yang dimaksud atasan oleh Prabowo saat debat calon presiden dan calon wakil presiden beberapa
waktu lalu. Saat menjawab pertanyaan calon wapres Jusuf Kalla soal peristiwa 1998, Prabowo
hanya mempersilakan menanyakan langsung kepada atasannya. ‘Siapa itu, yang pasti bukan saya
ataupun Jenderal Feisal Tanjung yang benar-benar tidak pernah memberikan perintah atau merestui
langkah-langkah kekerasan atau penculikan saat menghadapi masyarakat,’ ucap Wiranto yang
membagikan delapan lembar penjelasan tertulisnya.”
(http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007338866, diakses, Minggu, 22
Juni 2014).
51
Mantan Kepala Kejaksaan Negeri di beberapa daerah di Indonesia, R. Wiyono dalam buku
Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 2013:176, Jakarta: Kencana, mengartikan
pertanggungjawaban komando sebagai, “pertanggungjawaban pidana secara individual yang
dibebankan kepada komandan, karena pasukan yang berada di bawah komandonya melakukan
pelanggaran HAM yang berat sebagai akibat dari tidak dilakukannya pengendalian pasukan dengan
patut.”
27

(2) Pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan oleh pasukan tersebut adalah sebagai
akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut52 oleh komandan
militer dan/atau seseorang yang bertindak secara efektif sebagai komandan militer
yang bersangkutan;
(3) Komandan militer dan/atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer tersebut, tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kekuasaanyas dengan cara: (a) Mencegah dan/atau
menghentikan pelanggaran HAM yang berat tersebut; (b) Menyerahkan pelakunya
kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan.
Terdapat perbedaan antara komandan militer 53 dengan seseorang yang secara
efektif bertindak sebagai komandan militer. Dimaksud dengan komandan militer dalam
Pasal 42 ayat (1) Statuta Roma adalah seseorang yang secara formal, telah ditunjuk
untuk memegang komando atas suatu pasukan. Mengomentari pasal ini, buku Pedoman
Unsur-Unsur Kejahatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Unsur-Unsur
Pertanggungjawaban Komando menulis, “komandan militer adalah seorang anggota
angkatan bersenjata yang ditugaskan memimpin satu atau lebih satuan dalam angkatan
bersenjata.” 54 Atas dasar ini, komandan memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
perintah langsung kepada anak buahnya dan/atau kepada satuan bawahannya dan
mengawasi pelaksanaan dari perintah tersebut.
Pertanggungjawaban komando berdasarkan statuta tersebut, memperlihatkan
beberapa elemen dasar: adanya hubungan antara bawahan dengan atasan; atasan
mengetahui dan/atau beralasan untuk mengetahui, telah terjadi kejahatan dan/atau
kejahatan sedang berlangsung; dan atasan gagal untuk mengambil langkah yang
diperlukan dan beralasan untuk mencegah dan/atau menghentikan tindak pidana
dan/atau berupaya untuk menghukum pelaku. Jadi, setidaknya terdapat tiga alasan
(rationale) yang mendasari pemikiran tentang prinsip pertanggungjawaban komando
bagi para komandan militer, atasan polisi maupun atasan sipil lainnya, yaitu: (1)
komandan dan/atau atasan yang mempunyai kekuasaan memberi perintah dan
bertanggungjawab terhadap perintah yang ia berikan; (2) komandan dan/atau atasan
bertanggungjawab atas kegagalan mengendalikan dan/atau mengontrol anak buahnya;
(3) dan negara bertanggungjawab atas perilaku kekuatan bersenjatanya yang melakukan
pelanggaran HAM berat di dalam maupun di luar wilayahnya yang mengamcam
perdamaian dan keamanan.
Umumnya dalam mata rantai komando terdapat lebih dari satu komandan. Mata
rantai komando terdiri dari komandan regu, komandan peleton, komandan kompi,
komandan batalion, komandan brigade, panglima divisi, dan komandan atas lain.
Berbagai kepustakaan hukum humaniter internasional, instrumen hukum internasional,
peraturan perundang-undangan Indonesia, maupun dalam keputusan kasus-kasus

52
Dimaksud dengan tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut adalah tidak dilakukan
pengendalian pasukan berdasarkan kemampuan dalam batas-batas kewenangan, kekuasaan,
ketersediaan sarana dan kondisi yang memungkinkan (ibid.:179).
53
Komandan militer dalam pengertian ini, tidak harus selalu komandan langsung dari pasukan yang
melakukan pelanggaran HAM yang berat (ibid.,:179).
54
Pedoman Unsur-Unsur Kejahatan Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Unsur-Unsur
Pertanggungjawaban Komando, tanpa tahun, hlm 46, Jakarta: Eksam-The Asia Foundation (dalam
R. Wiyono, ibid.:176, Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia, 2013:178, Jakarta: Kencana).
28

kejahatan perang, tidak ada pembatasan tingkatan tertentu tentang seorang komandan
dapat dipersalahkan. Selama ini, pemahaman dalam lingkungan militer mengenai
adanya pembatasan tanggung jawab seorang komandan, hanya terdapat pada level: ke
atas/ke bawah (two step up/two step down), adalah tidak memiliki dasar hukum sama
sekali.
Perbedaan sehubungan dengan seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer adalah seseorang yang tidak ditunjuk untuk memegang komando,
tetapi pada kenyataannya pasukan tersebut di bawah komandonya. Dalam Pasal 41 ayat
(1) Statuta Roma, seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komandan militer
adalah mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata suatu negara, tetapi karena
kekuasaan dan kewenangan de facto-nya yang begitu besar, ia mampu memerintahkan
dan mengendalikan pasukan angkatan bersenjata. 55 Untuk itu, yang melakukan
pelanggaran HAM yang berat, tidak harus seluruh anggota pasukan, tetapi sudah cukup
jika yang melakukan adalah hanya beberapa anggota pasukan saja.
Tanggung jawab komando ini ada yang bersifat by commission (kesengajaan atau
atas dasar perintah) dan ada yang tersifat by omission (pembiaran). Khusus tanggung
jawab komando ini, tidak diberlakukan terhadap tindak pidana lain, termasuk tindak
pidana korupsi. Tentu semua penegak hukum yang baik, mengetahui asas hukum
universal berbunyi: Acta in uno judicio non probant in alio nisi inter easdem personas
(Things done in one action cannot be taken as evidence in another, unless it be between
the same parties), yang dapat diartikan: sesuatu tindakan yang telah dilakukan, tidak
dapat dijadikan alat bukti untuk tindakan yang lain, kecuali jika pelakunya sama. Jadi,
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 42 ayat (2) dan/atau Pasal 28 ayat (2)
Statuta Roma dapat diketahui, pertanggungjawaban komando juga berlaku untuk
pertanggungjawaban atasan nonmiliter. Konsep pertanggungjawaban komandan/atasan
berlaku bagi seorang atasan dalam pengertian yang luas, termasuk komandan militer,
kepala negara dan pemerintahan, dan menteri dan pimpinan perusahaan. Bentuk
pertanggungjawaban ini tidak terbatas pada tingkat atau jenjang tertentu, komandan atau
pada tingkat tertinggi pun dapat dikenakan pertanggungjawaban ini apabila terbukti
memenuhi unsur-unsurnya.56
Bentuk pertanggungjawaban ini berbeda dengan bentuk pertanggungjawaban
pidana secara individu yang dapat dikenakan kepada komandan dan/atau atasan (bahkan
individu mana pun) apabila ikut merencanakan, menghasut, memerintahkan,
melakukan, membantu dan turut serta melakukan kejahatan. Komandan yang
melakukan salah satu dari beberapa tindakan ini, maka ia telah melakukan tindakan
penyertaan (joint criminal enterprise) dan statusnya disamakan sebagai pelaku.57
B. Pertanggungjawaban Individu
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
menurut Desita Sari 58 (pemantauperadilan.com, 5 Juni 2003) terdapat
pertanggungjawaban individual dalam pelanggaran berat HAM, yaitu: (1) Pelaku
kejahatan tidak dapat berdalih bahwa perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan
negara atau karena perintah negara; (2) Kedudukan resmi pelaku sebagai pejabat yang
bertanggung jawab dlm suatu lembaga pemerintahan bahkan dlm kedudukannya sebagai
55
Ibid., 179.
56
Dalam Wiyono, ibid., 176.
57
Ibid.
58
Dalam pemantauperadilan.com, edisi 5 Juni 2003, diakses, Rabu, 7 Januari 2015.
29

Kepala Negara sekalipun, tdk dpt dijadikan alasan utk membebaskan seseorg dari
tanggung jawab; (3) Perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan
pelaku dr penuntutan & penghukuman.” Ketiga unsur pertanggungjawaban ini,
sesungguhnya langsung berkaitan dengan persoalan kejahatan terhadap kemanusiaan
yang membelit Prabowo Subianto.
Pertanggungjawaban individual ini, sangat berkaitan dengan korban pelanggaran
HAM berat masa lalu, yang mempunyai hak untuk memperoleh reparasi (right to
reparation) sebagai salah satu upaya yang efektif dalam pemulihan hak-hak mereka.
Hukum internasional dan hukum nasional Indonesia telah mengenal bentuk-bentuk hak
untuk reparasi. Misalnya, di dalam Pasal 9 ayat (5) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang
menentukan, “anyone who has been victim of unlawful arrestor detention shall have an
enforceable right to compensation.” Kovenan ini telah diratifikasi dengan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang HAM yang menyatakan, perjanjian
internasional yang diratifikasi Indonesia menjadi bagian dari hukum domestik yang
mengikat. Sekalipun undang-undang tersebut tidak menyebutkan secara khusus tentang
reparasi. Pelaksanaan hak reparasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu harus
dalam pemahaman bahwa (i) hak reparasi korban adalah enforceable right. Artinya,
setiap negara yang mengakui hak-hak ini harus menentukan di dalam norma hukum
nasionalnya untuk menjamin pelaksanaan hak reparasi ini demi kepentingan korban; dan
(ii) hak korban dalam memperoleh reparasi harus dilaksanakan secara full
rehabilitation.
Lebih jauh, Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 merumuskan,
“Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah
salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil…” (kursif, pen.). Terdapat tiga kata, yaitu meluas
(widespread), sistematis (systematic), dan diketahui (intension), di pasal ini yang
bersifat konotasi sehingga dalam praktek di pengadilan, terjadi beragam interpretasi.
Seringkali pembuktian terhadap kejahatan yang dimaksud menjadi sulit, dan bisa jadi
dakwaan menjadi sumir. Terbukti, menurut Binsar M. Gultom, Dosen Bidang Hukum
dan HAM pada Pascasarjana Universitas Hazairin Bengkulu, “...begitu banyak kasus
pelanggaran HAM berat yang terkesan ditutup-tutupi. Sejauh ini hanya tiga kasus
pelanggaran HAM berat yang pernah diselesaikan oleh pengadilan HAM Indonesia,
yakni kasus Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 ditangani oleh Pengadilan HAM
‘Ad Hoc’ Jakarta, serta kasus pelanggaran HAM berat Abepura 2000 ditangani di
Pengadilan HAM Makassar. Itu pun semua terdakwa akhirnya ‘bebas’ dari segala
tuntutan hukum di tingkat kasasi dan peninjauan kembali.”59
Dalam praktik pengadilan terhadap pasal 9 ini--yang sekalipun tidak memberikan
definisi mengenai arti meluas dan sistematis, penafsiran mengacu pada yurisprudensi
keputusan pengadilan internasional di Nuremberg, dan doktrin. Pertama, kata meluas
(widespread), dinterpretasikan sebagai tindakan massive, berulang kali, dan berskala
besar, yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius serta diarahkan terhadap
sejumlah besar korban (multiplicity of victim). Dalam Statuta Roma, unsur meluas juga
dapat ditelusuri melalui unsur tindak pidana (element of crime) yang dilakukan pada

59
http:cetak.kompas.com/read/2012/09/12/02105439/penyelesaian.pelanggaran.hamba.berat,
diakses, 13 September 2012).
30

korban sipil. Artinya, sifat meluas tidak hanya mengacu pada massivitas korban (adanya
korban yang mati) atau luasnya wilayah kejadian, melainkan juga pada intensivitas
bentuk kejahatan yang dilakukan. Dari aspek tata bahasa, istilah ‘meluas’ sebagai
terjemahan dari widespread, menurut Enny Soeprapto, “adalah tidak tepat karena:
‘Meluas’, yang berarti ‘bertambah luas’. Akibatnya makna kata widesspead yang berarti
‘luas’, menjadi rancu. Padahal dalam konteks Pasal 9 tersebut, makna kata widespead,
berarti terjadi di banyak tempat atau di antara banyak orang atau individu. Oleh sebab
itu…padanan kata bahasa Indonesia untuk kata ‘widespread’ seharusnya adalah ‘luas’,
dan bukan meluas.”60
Kedua, kata sistematis (systematic), diartikan sebagai diorganisasikan secara rapi
dan mengikuti pola tertentu yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang
memelibatkan sumberdaya publik atau privat yang substansial, meskipun kebijakan
tersebut bukan merupakan kebijakan negara secara formal. Jadi, kata “sistematis” tidak
dapat disinonimkan dengan kata “sistematik” (bukan ajektiva, melainkan nomina yang
berarti “susunan” atau “aturan”). Sebaliknya kata “systematic” (dalam bahasa Inggris)
adalah ajektiva yang padanannya dalam bahasa Indonesia seharusnya (juga) ajektiva
“sistematis”, bukan ‘sistematik’.
Ketiga, kata diketahui (intension), atau “yang diketahui”, yang oleh beberapa
pakar menyebutkan sebagai ‘dengan pengetahuan’. Alasannya, yaitu mengikuti
terjemahan dari frasa di Pasal 7 Ayat (1) Statuta Roma, “with knowledge of”. Bahkan
dari alur penalaran bahasa terdapat kalimat yang mendahului pada pasal tersebut, yang
berbunyi, ‘yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik(s)
yang…’ Jadi, frasa ‘dengan pengetahuan’ tidak sekadar hanya “mengetahui” atau
“mengenal”, melainkan mengandung gagasan sesuatu yang lebih dalam--suatu proses
yang berkesinabungan, proses yang bahkan bisa mengarah kepada pengenalan yang
akrab dengan ‘serangan yang meluas atau sistematik(s)’ tersebut.
Mengingat tidak ada aturan yang secara eksplisit mengharuskan pengadilan
mengadopsi praktek-praktek hukum internasional, maka tidak dapat dipastikan bahwa
interpretasi demikian juga akan digunakan dalam Pengadilan HAM Ad Hoc di
Indonesia. Akan tetapi, dalam kasus pelanggaran HAM berat, penafsiran substansi
hukum dari hakim terhadap seorang individu tidak dapat bersandar kepada hukum
nasional negaranya, karena pelanggaran HAM berat, bukan saja merupakan masalah
nasional, akan tetapi juga merupakan masalah internasional. Jadi, penafsiran terhadap
pelaku sebagai individu harus mematuhi kewajiban internasional, melebihi kewajiban
terhadap hukum nasionalnya, mengikat hakim secara moral hukum.
Dalam situasi impunitas yang melembaga, penting upaya menggagas sebuah
program reparasi nasional. Selain kewajiban dalam hukum nasional, hukum
internasional jelas-jelas menyatakan: apabila pelanggaran berat telah dilakukan, reparasi
jadi hak korban yang harus dipenuhi. Harian Kompas, Kamis, 2 Oktober 2014, di bawah
judul Pemerintahan Baru, Tuntaskan Pelanggar HAM, menulis, “Pemerintahan Joko
Widodo dan Jusuf Kalla diminta untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran
HAM yang pernah terjadi pada masa lalu. Selain itu, mereka juga diminta menggunakan
hak prerogatifnya untuk mengambil langkah solusi terkait mekanisme pengungkapan
kebenaran terkait peristiwa tersebut. Hal itu disampaikan Kontras dan Koalisi Keadilan

60
Dalam Suparman Marzuki, 2011, Tragedi Politik Hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
hlm. 324.
31

dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Rabu (1/10). Nancy Sunarno dari KKPK
mengatakan, penggunaan hak prerogatif sebagai presiden RI itu terkait dengan
pelaksanaan agenda negara, kemandirian rakyat yang menyejahterakan, dan revolusi
mental.”61
Dalam beberapa kesempatan, seringkali presiden terpilih menyinggung dengan
tegas isu penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Bahkan jika dihubungkan dengan
sembilan janji program prioritas jika pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih
sebagai presiden yang dikenal dengan sebutan Nawacita. Butir ke dua dan ke empat dari
Nawacita berbunyi, “Kami akan membuat pemerintah tidak absen dengan membangun
tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan tepercaya....Kami akan
menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang
bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya.” Pertanyaan tentang pelaksanaan Nawacita
ke dua dan ke empat itu makin menjadi pertanyaan, setelah pemerintah selama lebih dari
enam bulan (Oktober 2014 - Mei 2015), belum mengejawantahan dari agenda
penegakan HAM yang tertuang dalam Nawacita tersebut, terhadap beberapa kasus yang
diselidiki oleh Komnas HAM seperti yang diuraikan pada tabel ini:
Tabel: Beberapa Kasus yang Diselidiki Komnas HAM
No KPP HAM Klasifikasi Kasus Perkembangan
1 KPP HAM Timtim Peristiwa bumi hangus Sudah selesai diperiksa
paska jajak pendapat tahun melalui Pengadilan HAM ad
1999 hoc Jakarta Pusat

2 KP3T Tanjungpriok Peristiwa penembakan Sudah selesai diperiksa


massa Islam di melalui Pengadilan HAM ad
Tanjungpriok tahun 1984 hoc Jakarta Pusat

3 KPP HAM Abepura Peristiwa penembakan Sudah selesai diperiksa


oleh polisi di Abepura, melalui Pengadilan HAM di
Papua, tahun 2000 Makassar
4 KPP HAM Trisakti, Peristiwa penembakan Masih di penyidik Jaksa
Semanggi I dan terhadap demonstrasi Agung
Semanggi II mahasiswa tahun 1998-
1999
5 KPP HAM Peristiwa Peristiwa kerusuhan Masih di penyidik Jaksa
Kerusuhan Mei 1998 menjelang lengsernya Agung
Presiden Soeharto tahun
1997
Sumber: Komnas HAM, November 2014.
Lima sampel contoh kasus oleh Komnas HAM, telah ada sejak pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (tahun 2004 - 2014). Padahal, ia sering
menyatakan pentingnya penghormatan, pemajuan, dan perlindungan HAM dalam
penyelenggaraan negara, termasuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu.

61
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009228631, diakses, Kamis, 2
Oktober 2014.
32

Kenyataannya, tidak tampak komitmen yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan


beragam persoalan masa lalu, baik dalam konteks penegakan hukum melalui pengadilan
HAM ad hoc maupun membentuk kebijakan yang dapat menjadi instrumen dan
mekanisme bagi upaya penyelesaian. Sebetulnya, sudah banyak kegiatan yang
dilakukan organisasi korban dan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang konsisten
memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM masa lalu. Akan tetapi, upaya ini
belum mendapatkan respons dari negara. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan
pelanggaran HAM masa lalu ini dibutuhkan kemauan politik hukum dari pemerintahan
Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Tentu dengan satu tekad, yakni untuk membangun masa
depan yang lebih demokratis dan berkeadilan.
C. Tanggung Jawab Negara
Setiap negara diakui memiliki kedaulatan dalam hukum internasional dan hukum
nasional. Di dalamnya terkandung tiga unsur, yaitu pengakuan kedudukan yang setara
antarnegara satu sama lain, pengakuan atas kesatuan teritorial suatu negara, dan larangan
melakukan intervensi. Tiga kata kunci kedaulatan negara itu dalam beberapa konvensi
internasional tidak dianut dan diterapkan secara konsisten, baik dalam doktrin maupun
praktik hukum internasional. Akibatnya, status hukum negara sebagai entitas abstrak
menjadi tidak jelas. Bahkan, dalam banyak kasus telah dicampakkan oleh negara-negara
maju, termasuk Mahkamah Internasional dan Mahkamah Kriminal Internasional.
Jika praktik hukum internasional hanya berlaku dalam beberapa kasus tertentu,
seperti pelanggaran HAM berat atau pelanggaran hukum nasional yang tidak sejalan
dengan hukum internasional dalam hal obyek yang sama, baru-baru ini Sidang Majelis
Umum PBB dengan Resolusi Nomor 56/83 tanggal 12 Desember 2001 telah
memasukkan draf teks tentang Tanggung Jawab Negara terhadap Perbuatan yang
Melawan Hukum (Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts). Konsep
Tanggung Jawab Negara62 dimaksud khusus hanya meliputi keadaan-keadaan umum di
mana negara bertanggung jawab atas perbuatan yang bersifat melawan hukum dan
akibat hukum yang merupakan efek derivatifnya.
Inti dari draf teks tersebut adalah bahwa negara harus bertanggung jawab atas
perbuatan setiap orang yang memangku jabatan publik atau menjalankan fungsi publik,
atau setiap orang bukan pemangku jabatan publik tetapi telah melakukan pelanggaran
atas kewajiban internasional sebagaimana tercantum dalam setiap perjanjian
internasional. Konsep tanggung jawab negara dalam draf teks tersebut sangat luas.
Menjangkau perbuatan aparatur negara, baik tingkat pusat maupun daerah, dan pihak
lainnya yang berkaitan dengan fungsi publik dan melanggar kewajiban internasional

62
Menurut Winahyu Erwiningsih, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
dalam Jurisprudence, Vol. 1, No. 2, September 2004:146-147, berjudul Peranan Hukum Dalam
Pertanggungjawaban Perbuatan Pemerintah (Bestuurshandeling); Suatu kajian dalam Kebijakan
Pembangunan Hukum (dalam http://www.jimly.com, diakses Senin, 4 Mei 2015), menulis, “Istilah
Governmental Liability (Pertanggungjawaban Pemerintah), sering kali ditukar artikan dengan
istilah State Liability (Pertanggungjawaban Negara). Misalnya tulisan J.J. Van Der Gouw, et al
(1997) yang berjudul Government Liability ini Netherlands mengatakan bahwa baik negara,
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dewan air maupun badan-badan lainnya yang memiliki
tugas pemerintahan, digolongkan sebagai badan hukum (legal person) yang dapat dimintai
pertanggungjawabannya baik secara hukum perdata maupun hukum administrasi, apabila
melakukan perbuatan melanggar hukum (unlawful action).”
33

termasuk--tetapi tidak terbatas pada pelanggaran HAM yang berat--perjanjian


internasional dalam semua sektor kehidupan masyarakat internasional.
Kewajiban internasional tersebut tidak mempertimbangkan apakah perbuatan yang
dilakukan dibenarkan menurut hukum nasional, baik perbuatan pada lembaga eksekutif,
legislatif, maupun putusan pengadilan. Substansi draf teks tersebut mengandung
harapan: setiap negara benar-benar dan sungguh melaksanakan prinsip pacta sunt
servanda dalam hubungan internasional dan terkesan ”memaksakan” sanksi
internasional terhadap ”negara pihak” yang tidak melaksanakan kewajiban internasional
yang telah mengikat negara bersangkutan. Dalam konteks ini, draf teks tersebut
berkehendak agar ketentuan Pasal 27 Konvensi Vienna tentang Perjanjian Internasional
(1969) diterapkan secara utuh. Bahwa tidak ada satu pun negara dapat mengelak dari
tanggung jawab internasional dengan alasan bertentangan dengan hukum nasional. 63
Dalam kaitan tanggungjawab negara ini, patut disadari, korban pelanggaran HAM
yang berat masa lalu mempunyai hak untuk memperoleh reparasi (right to reparation)
sebagai salah satu upaya yang efektif dalam pemulihan hak-hak mereka. Hukum
internasional dan hukum nasional Indonesia telah mengenal bentuk-bentuk hak untuk
reparasi. Di dalam Pasal 9 ayat (5) Kovenan Hak Sipil dan Politik yang menentukan,
”anyone who has been victim of unlawful arrestor detention shall have an enforceable
right to compensation.” Kovenan ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2005. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan
perjanjian internasional yang diratifikasi Indonesia menjadi bagian dari tanggungjawab
negara secara domestik (hukum nasional/domestik) yang mengikat. Sekalipun undang-
undang tersebut tidak menyebutkan secara khusus tentang reparasi. 64 Pelaksanaan hak
reparasi korban pelanggaran HAM berat masa lalu harus dalam pemahaman bahwa (i)
hak reparasi korban adalah enforceable right, dalam hal ini setiap negara yang mengakui
hak-hak ini harus menentukan di dalam norma hukum nasionalnya untuk menjamin
pelaksanaan hak reparasi ini demi kepentingan korban; dan (ii) hak korban dalam
memperoleh reparasi harus dilaksanakan secara full rehabilitation.65
Pemulihan atau rehabilitasi ini sangat berkaitan dengan hak-hak dasar korban
melalui kompensasi, menjadi tanggung jawab negara untuk mengurus dan
menyelesaikan. Pemulihan dilakukan melalui kompensasi (ganti rugi). Dalam proses
pemberian kompensasi ini tidak mudah karena keterbatasan keuangan negara, tuntutan

63
Atmasasmita, Romli, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran dalam artikel di Kompas,
Rabu, 5 Desember 2014, berjudul Tanggung Jawab Negara
(http://cetak.kompas.com/read/2012/12/05/02074916/tanggung.jawab.negara, (diakses, Rabu, 5
Desember 2012).
64
Sejarah kuno bangsa Yunani telah mencatat lebih dulu tentang upaya mendukung pemulihan
hubungan antara para korban dengan penyiksa mereka, para pemimpin agama dan politik telah
beberapa kali mengimbau orang-orang untuk melupakan kekejaman yang diderita. Misalnya, ini
terjadi di Athena, Yunani, pada tahun 403 SM. Kota itu baru saja menjadi saksi berakhirnya
kediktatoran yang menindas dari Tiga Puluh Tiran, pemerintahan oligarki yang pernah
menyingkirkan hampir semua musuhnya--bahkan secara fisik. Pemerintah yang baru ingin membina
kembali keharmonisan masyarakat dengan mengeluarkan sebuah amnesti (dari kata Yunani yang
artinya ”terlupakan” atau ”melupakan”) bagi para pendukung tirani terdahulu.
65
Saleh, M. Ridha, Wakil Ketua Komnas HAM Periode 2007-2012 dalam artikel berjudul Jangan
Lapakan Masa Lalu (http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008232867,
diakses, Senin, 11 Agustus 2014).
34

para korban, kesulitan mengidentifikasi korban, dan lain-lain. Kompensasi harus tetap
diusahakan antara lain melalui mekanisme hukum dengan menunjuk Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Tentu bentuk pemulihan hak korban
tidak boleh dinilai dengan tawaran nilai material tertentu yang dianggap sebagai suatu
tindakan yang wajar dan jadi alasan ”pembenaran” terhadap segala tindakan yang
dilakukan para pelanggar HAM tersebut.
Pemahaman dalam pelaksanaan reparasi bagi korban pelanggaran HAM berat di
masa lalu ini bukan merupakan tindakan melupakan dosa masa lalu, tetapi lebih pada
tindakan yang mengetengahkan proses healing bagi korban. 66 Tujuan lainnya adalah
agar pemerintah melakukan peninjauan kembali terhadap semua praktik dan
penyusunan peraturan perundang-undangan untuk mengakomodasi aturan tentang
pemulihan hak korban dalam bentuk putusan yang dapat dilaksanakan. Dalam situasi
impunitas yang melembaga, penting upaya menggagas sebuah program reparasi
nasional. Selain kewajiban dalam hukum nasional, hukum internasional jelas-jelas
menyatakan: apabila pelanggaran berat telah dilakukan, reparasi jadi hak korban yang
harus dipenuhi.67
Mekanisme pemulihan (rehabilitasi) hak-hak perdata korban, jika mengacu pada
negara lain, dapat ditempuh dengan terlebih dulu mengajukan gugatan perdata menuntut
pejabat negara untuk memperoleh ganti rugi, kompensasi dan rehabilitasi.68 Contohnya,
pernah terjadi di Uruguay tahun 1990, karena beberapa anggota keluarga yang dibunuh
dan dihilangkan paksa memperoleh ganti rugi dari negara berdasarkan keputusan
pengadilan perdata. Gugatan perdata secara internasional, dapat diajukan melalui negara
lain, misalnya seperti Alien Tort Claimns Act di Amerika Serikat yang memungkinkan
permohonan untuk ganti rugi, dapat diajukan kepada penmgadilan federal negara
tersebut. Kendati tindakan kejahatan dilakukan di luar negeri, para pelaku tetap bisa
diadili di Amerika Serikat sepanjang tergugat memiliki kontak dengan Amerika Serikat.
Sejumlah gugatan dengan prosedur ini misalnya, gugatan yang diajukan oleh Center for
justice and Accountability di San Fransisco atas nama keluarga Uskup Agung Romero,
yang dibunuh oleh militer di El Salvador pada tahun 1980.69

66
“To forgive but not to forget”, memaafkan tetapi tidak untuk melupakan. Demikian prinsip
rekonsiliasi dari tokoh rekonsiliasi Afrika Selatan, yang memperoleh Hadiah Nobel atas prestasinya
tidak menuntut ke pengadilan mantan lawan-lawan politik.
67
Pada masa transisi Joko Widodo dan Jusuf Kala terpilih di tahun 2004, telah membentuk tim
transisi dan beranggotakan orang-orang yang tidak terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu.
Beberapa pihak berharap agar tim transisi tersebut juga memikirkan dan mengagendakan secara
serius skema penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu karena, dalam beberapa
kesempatan, kerap kali presiden terpilih menyinggung dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu--selain juga sudah diuraikan dalam tulisan ini sehubungan debat calon presiden.
68
Gugatan ini dilakukan, biasanya sebagai jalan terakhir ketika proses penuntutan dan
menghukuman dihalang-halangi.
69
Setelah hampir 25 tahun sejak pembunuhan Romero, sdama sekali belum ada upaya oleh
pemerintahan El Salvador untuk menyelesaikan pembunuhan tokoh HAM ini. Pengadilan Federal
Fresno, California, memutuskan, salah satu orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan
tersebut adalah seorang pensiunan kapten angkatan udara, Alvaro Saravia, yang tinggal di Amerika
Serikat selama hampir 20 tahun. Saravia diperintahkan untuk membayar USD 10 juta sebagai ganti
rugi kepada kelyarga Uskup Agung Romero (Zainal Abidin dalam Kerangka Penyelesaian
Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-negara Lain, Jurnal Diginitas, Vol. VIII, Nomor
1 Tahun 2012, hlm 24, diterbitkan Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia).
35

Bagi para pelaku diberikan pengampunan (amnesti) para pelaku. Sehubungan


dengan itu, saya berpendapat, pengampunan terhadap para pelaku pelanggaran HAM
berat masa lalu menjadi bagian penting dari penyelesaian masalah tersebut. Dalam
perspektif tanggung jawab negara, asumsi utama yang menjadi rujukan adalah negara
mengambil alih semua kesalahan yang pernah dilakukan oleh mereka yang dianggap
sebagai pelaku pelanggaran HAM berat di masa lalu. Dengan dasar perspektif ini, ada
tiga pendekatan (model) pengampunan (amnesti).
Pertama, Kepala Negara sebagai representasi kepercayaan masyarakat memberi
pengampunan secara umum terutama kepada mereka yang didakwa (diduga) telah
melakukan pelanggaran HAM berat masa lalu, terutama yang saat ini telah meninggal
dunia. Kedua, pengampunan berupa amnesti oleh Kepala Negara diberikan kepada
pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu yang telah dinyatakan bersalah oleh proses
peradilan yang jujur dan bertanggung jawab. Ketiga, pengampunan secara sosial-budaya
yang dilakukan anggota dan/atau kelompok masyarakat dengan difasilitasi oleh negara.
Pendekatan ini merupakan rekonsiliasi sosial yang memberi tanda (makna) penghentian
konflik sosial masa lalu.
Pelanggaran HAM berat masa lalu harus dituntaskan penyelesaiannya secara adil
dan bertanggung jawab. Bukan demi melupakan masa lalu, melainkan mengambil
pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu (Presiden SBY menyebutnya A burden of
history) untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadaban bangsa
Indonesia di masa mendatang. Artinya, Setiap bentuk pemulihan hak korban sebaiknya
tak dinilai dengan tawaran nilai material tertentu yang dianggap sebagai suatu tindakan
yang wajar dan jadi alasan ”pembenaran” terhadap segala tindakan yang dilakukan para
pelanggar HAM tersebut. Pemahaman dalam pelaksanaan reparasi bagi korban
pelanggaran HAM berat di masa lalu ini bukan merupakan tindakan melupakan dosa
masa lalu, tetapi lebih pada tindakan yang mengetengahkan proses healing bagi
korban. 70 Tujuan lainnya adalah agar pemerintah melakukan peninjauan kembali
terhadap semua praktik dan penyusunan peraturan perundang-undangan untuk
mengakomodasi aturan tentang pemulihan hak korban dalam bentuk putusan yang dapat
dilaksanakan. Dalam situasi impunitas yang melembaga, penting upaya menggagas
sebuah program reparasi nasional. Selain kewajiban dalam hukum nasional, hukum
internasional jelas-jelas menyatakan: apabila pelanggaran berat telah dilakukan, reparasi
jadi hak korban yang harus dipenuhi.71
PENUTUP
1. Dalam praktik pengadilan terhadap Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
yang merumuskan, “Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan
yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan

70
“To forgive but not to forget”, memaafkan tetapi tidak untuk melupakan, adalah prinsip
rekonsiliasi dari tokoh rekonsiliasi Afrika Selatan, yang memperoleh Hadiah Nobel atas prestasinya
tidak menuntut ke pengadilan mantan lawan-lawan politik.
71
Pada masa transisi Joko Widodo dan Jusuf Kala terpilih di tahun 2004, telah membentuk tim
transisi dan beranggotakan orang-orang yang tidak terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu.
Beberapa pihak berharap agar tim transisi tersebut juga memikirkan dan mengagendakan secara
serius skema penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu karena, dalam beberapa
kesempatan, kerap kali presiden terpilih menyinggung dengan tegas isu penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu--selain juga sudah diuraikan dalam tulisan ini sehubungan debat calon presiden.
36

secara langsung terhadap penduduk sipil…”, yang tidak memberikan definisi mengenai
arti meluas (widespread), sistematis (systematic), dan diketahui (intension). Akibatnya,
pembuktian terhadap kejahatan yang dimaksud menjadi sulit, dan bisa jadi dakwaan
menjadi sumir. Oleh sebab itu, penulis menyarankan, agar penafsiran mengacu pada
yurisprudensi keputusan pengadilan internasional di Nuremberg, dan doktrin. Pertama,
kata meluas (widespread), dinterpretasikan sebagai tindakan massive, berulang kali, dan
berskala besar, yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius serta diarahkan
terhadap sejumlah besar korban (multiplicity of victim). Kedua, kata sistematis
(systematic), diartikan sebagai diorganisasikan secara rapi dan mengikuti pola tertentu
yang terus menerus berdasarkan kebijakan yang memelibatkan sumberdaya publik atau
privat yang substansial, meskipun kebijakan tersebut bukan merupakan kebijakan
negara secara formal. Ketiga, kata diketahui (intension), atau “yang diketahui”, yang
oleh beberapa pakar menyebutkan sebagai ‘dengan pengetahuan’. Alasannya, yaitu
mengikuti terjemahan dari frasa di Pasal 7 Ayat (1) Statuta Roma, “with knowledge of”.
Bahkan dari alur penalaran bahasa terdapat kalimat yang mendahului pada pasal
tersebut, yang berbunyi, ‘yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau
sistematik(s) yang…’ Jadi, frasa ‘dengan pengetahuan’ tidak sekadar hanya
“mengetahui” atau “mengenal”, melainkan mengandung gagasan sesuatu yang lebih
dalam--suatu proses yang berkesinabungan, proses yang bahkan bisa mengarah kepada
pengenalan yang akrab dengan ‘serangan yang meluas atau sistematik(s)’ tersebut;
2. Pemerintahan baru, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, tidak tampak komitmen yang
sungguh-sungguh untuk menyelesaikan beragam persoalan masa lalu, baik dalam
konteks penegakan hukum melalui pengadilan HAM ad hoc maupun membentuk
kebijakan yang dapat menjadi instrumen dan mekanisme bagi upaya penyelesaian. Akan
tetapi, apa pun masalah yang dihadapi, pelanggaran HAM berat masa lalu harus
dituntaskan penyelesaiannya secara adil dan bertanggung jawab. Bukan demi
melupakan masa lalu, melainkan mengambil pelajaran dari pengalaman buruk masa lalu
untuk dijadikan kekuatan menggalang kemajuan dan keadaban bangsa Indonesia di
masa mendatang.
REFERENSI
BUKU
Marzuki, Suparman. 2011. Tragedi Politik Hukum HAM, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wiyono, R. 2013. Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Erwiningsih, Winahyu. Peranan Hukum Dalam Pertanggungjawaban Perbuatan
Pemerintah (Bestuurshandeling); Suatu Kajian Dalam Kebijakan Pembangunan
Hukum (http://www.jimly.com, diakses Senin, 4 Mei 2015).
JURNAL DAN INTERNET
Abidin, Zainal. Kerangka Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Indonesia dan Negara-
negara Lain, Jurnal Diginitas, Vol. VIII, Nomor 1 Tahun 2012, Jakarta: Kementerian
Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Atmasasmita, Romli. Tanggung Jawab Negara, Kompas, Rabu, 5 Desember 2014
(http://cetak.kompas.com/read/2012/12/05/02074916/tanggung.jawab.negara,
diakses, Rabu, 5 Desember 2012).
Saleh, M. Ridha. Jangan Lapakan Masa Lalu
(http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008232867, diakses,
Senin, 11 Agustus 2014).
Jawa Pos, 4 September 2003, edisi cetak, Surabaya.
37

http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007131327, diakses, Selasa,


10 Juni 2014.
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000007338866, diakses, Minggu,
22 Juni 2014.
http://www. jw.org/id, Awake!, edisi 1986, Watch Tower Bible and Tract Society of
Pennsylvania, diakses, 27 Januari 2015.
http://www. jw.org/id, Awake!, edisi 22 April 1998, Watch Tower Bible and Tract Society
of Pennsylvania, diakses, 20 Januari 2015.
http:cetak.kompas.com/read/2012/09/12/02105439/penyelesaian.pelanggaran.hamba.berat,
diakses, 13 September 2012).
http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009228631, diakses, Kamis, 2
Oktober 2014.
http://www.pemantauperadilan.com, edisi 5 Juni 2003, diakses, Rabu, 7 Januari 2015.
38

Formulasi Tindak Pidana Pengguguran


Kandungan dalam Tinjauan Perbandingan
Hukum Pidana
ROSALIND ANGEL FANGGI
ABSTRAK
Kebijakan formulasi pengguguran kandungan yang diatur dalam hukum positif belum
cukup memberikan jaminan perlindungan bagi kesehatan masyarakat. Kebijakan formulasi
pengguguran kandungan dalam hukum positif yang akan datang dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan pengaturan pengguguran kandungan di beberapa KUHP asing sebagai
bahan untuk melakukan pembaruan hukum dan utamanya mengingat kembali makna yang
terkandung dalam sila kedua Pancasila yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Saran yang dapat disampaikan adalah pengguguran kandungan bukanlah langkah
terbaik yang dapat dipilih tetapi dalam kondisi yang membahayakan kesehatan sebaiknya
perlu pengaturan yang memberi rasa perlindungan dan jaminan kesehatan ibu hamil;
hendaknya ada pengaturan peredaran obat/sarana yang digunakan untuk melakukan
pengguguran kandungan; terkait penamaan bab hendaknya dipertimbangkan untuk
dimasukkan dalam bab tentang tindak pidana yang bertentangan dengan moral; perlu
dirumuskan aturan yang dapat memberikan kepastian hukum bagi dokter dan pasien;
pengaturan kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan hendaknya berdasarkan
Pancasila dan tujuan pembangunan nasional.
Kata Kunci: Kebijakan Formulasi, Pengguguran Kandungan, Perbandingan Hukum
Pidana.
ABSTRACT
The formulation of abortion policy set out in the positive law is not enough to guarantee
protection for public health. Criminalization policy of abortion in the positive law at the
future can be done by considering the arrangement of the Criminal Code abortion in some
foreign as an ingredient to make legal reforms and especially considering the meaning of
the precepts contained in the second sila in Pancasila.
Advice can be delivered are abortions is not the best choice, but in conditions harmful
should settings that give protection and health coverage of pregnant women; should have
arrangements to sell the drug/vehicle used to perform abortions; about the naming of the
chapter should considered using the chapter on offenses against the moral; rules should be
formulated to provide legal certainty for doctors and patients: the criminalization policy of
abortion settings should be based on Pancasila and national development goals.
Keyword: The Formulation Policy, Abortion, Comparation Criminal Law.
PENDAHULUAN
Tulisan ini akan menguraikan implementasi nilai-nilai Pancasila dan perbandingan
pengaturan pengguguran kandungan di dua negara lain dalam rangkaian pembaharuan
hukum pidana Indonesia berkaitan dengan kebijakan kriminalisasi pengguguran kandungan
yang diatur dalam hukum positif yang akan datang. Metode memperbandingkan hukum
pidana (KUHP) hal ini menyangkut ukuran nilai tiap negara. Hermann Mannheim 72

72
Hamzah, Andi. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara Edisi Ketiga, 2008, Jakarta:
Sinar Grafika, hlm., 6.
39

mengatakan: penal code is the most faithful mirror of civilization of a nation (KUHP adalah
cermin yang paling terpercaya mengenai peradaban suatu bangsa). Jika diperhatikan jenis-
jenis delik yang ada dalam KUHP berbagai negara tersebut nyata ada delik-delik yang dapat
dipandang netral artinya semua negara memandang perbuatan seperti itu dapat dipidana,
seperti pencurian, pembunuhan, perkosaan, penipuan, penganiayaan, dan seterusnya. Delik-
delik seperti ini terdapat pada semua KUHP tanpa memandang ideologi, budaya, dan agama
yang dianut negara tersebut. Yang agak berbeda ialah sanksi pidana.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya pada dasarnya dalam melakukan
reorientasi dan reevaluasi terhadap pandangan dan nilai-nilai yang melatarbelakanginya
inilah sebenarnya yang justru merupakan hakekat dari usaha pembaruan atau “reformasi”
hukum pidana. Bukanlah pembaruan hukum pidana, apabila orientasi nilai dari konsep
KUHP Baru sama saja dengan WvS. Penulis sependapat dengan ini, sebab apabila orientasi
nilai dari konsep KUHP baru tidak berubah sesuai dengan nilai-nilai atau pun dasar hidup
bernegara maka tidak ada pembaruan hukum pidana yang ada hanya pembaruan kata-kata
yang tertuang dalam pengaturan perundang-undangan tanpa mempertimbangkan hakikat
kristalisasi nilai-nilai bermasyarakat yang ada dalam Pancasila.
Oleh karena itu, perubahan konsep mengenai delik aduan dalam masalah perzinahan
harus dilihat dari sudut ini. Pengguguran kandungan tidaklah dapat dilihat dari matinya janin
semata tetapi merupakan salah satu rangkaian keterkaitan dari beberapa perbuatan. Seperti
yang telah dikemukakan sebelumnya bahwasanya pengguguran kandungan bisa saja
dilakukan untuk menutupi aib/rasa malu dari perzinahan, incest, perkosaan, atau dilakukan
dalam lingkup perkawinan yang sah akibat kegagalan program KB/tidak mau menambah
anak lagi. Menurut penulis, pengguguran kandungan bukanlah langkah terbaik yang dapat
dipilih untuk diambil tetapi dalam kondisi tertentu yang dapat membahayakan kesehatan
fisik dan psikis baik bagi ibu hamil ataupun janin maka perlu ada pengaturan yang dapat
memberi rasa perlindungan dan jaminan kesehatan bagi ibu hamil untuk mendapatkan
konseling atau fasilitas pengguguran kandungan yang aman.
Barda Nawawi Arief 73 mengemukakan terkait masalah perzinahan dan lembaga
perkawinan bukan semata-mata masalah privat dan kebebasan individual dalam pandangan
dan struktur sosial budaya masyarakat Indonesia; tetapi terkait pula nilai-nilai dan
kepentingan masyarakat luas, minimal kepentingan keluarga, kepentingan kaum dan
kepentingan lingkungan. Hubungan perkawinan bukan semata-mata hubungan/perjanjian
antara individu yang bersangkutan, tetapi juga terkait hubungan kekeluargaan dan
kekerabatan kedua belah pihak. Proses perkawinan bukanlah semata-mata proses individual,
tetapi juga proses kekeluargaan dan bahkan lingkungan. Jadi tercemarnya kesucian lembaga
perkawinan dengan adanya perzinahan, juga sebenarnya menyangkut kepentingan umum.
Dengan demikian dilihat dari suatu kebijakan, apakah cukup bijaksana apabila delik
perzinahan semata-mata dijadikan delik aduan. Terlebih apabila sudah ada korban di pihak
wanita, misalnya terjadi kehamilan, sedangkan dari pihak istri si laki-laki yang menghamili
itu tidak melakukan pengaduan. Lebih lanjut Barda Nawawi Arief74 menegaskan:
Dilihat dari sudut politik kriminal, melemahnya katup/kran pengendali ini (yaitu
dijadikan sebagai delik aduan absolut), dapat pula menimbulkan efek berantai timbulnya
delik-delik lain. Dikatakan demikian, karena dilarangnya ‘delik zinah” (dilihat dari
sudut politik kriminal) merupakan satu kesatuan mata rantai untuk mencegah timbulnya

73
Arif, Barda Nawawi, loc. cit., hlm., 285.
74
Ibid., hlm. 288.
40

delik lain, antara lain mencegah maraknya delik-delik yang terkait dengan dunia
pelacuran (sebagai perantara/penghubung, germo/mucikari, perdagangan wanita lihat
pasal 295, 296, 297 KUHP), pembunuhan bayi/orok (Pasal 341 KUHP), bunuh diri
(walaupun menurut Pasal 345 KUHP yang diancam pidana adalah orang yang
membantu bunuh diri), dan aborsi (Pasal 346 KUHP dan seterusnya). Dengan
dijadikannya perzinahan sebagai delik aduan absolut tidak mustahil kran
pengaman/pengendali menjadi lemah atau longgar, dan bisa berakibat membuka
pintu/peluang terjadinya delik-delik lain itu.
Tujuan lain yang patut dipertimbangkan dari dilarangnya perzinahan adalah kesucian
lembaga perkawinan dan pengaruh negatif lainnya dari perzinahan itu sendiri, antara
lain mencegah hidup suburnya pelacuran yang dapat menjadi sumber penyakit kotor dan
penyakit yang membahayakan masyarakat (antara lain penyakit HIV/AIDS). Telah
dikemukakan di atas, apabila perzinahan dijadikan delik aduan, peluang untuk
terjadinya perzinahan lebih besar. Ini berarti memberi peluang lebih besar terjadinya
pelanggaran terhadap kesucian perkawinan dan terjadinya hubungan seksual di luar
hubungan perkawinan. Padahal “nilai kesusilaan/moral nasional” (NKN) yang ingin
ditegakan lewat Undang-undang Perkawinan adalah, bahwa hubungan seksual itu
hendaknya dilakukan lewat lembaga perkawinan. Dengan perkataan lain, NKN tidak
menghendaki adanya hubungan seksual yang liar di luar pernikahan. Pembangunan
moral bangsa/moral nasional yang dituju adalah moral yang bertolak dari moral
keagamaan, bukan yang bertolak dari paham ‘kebebasan moral.”
Lebih lanjut dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief,75 terlalu sederhana untuk melihat
perzinahan atau hubungan seksual suka sama suka, sebagai masalah yang sangat pribadi.
Hubungan seksual atau perzinahannya memang bersifat pribadi, tetapi dampak moral,
dampak psikologis dan dampak sosialnya yang negatif jelas bukan masalah pribadi lagi,
tetapi sudah menyangkut kepentingan umum.
Soge76 menegaskan meskipun aborsi banyak terjadi dalam masyarakat, namun hanya
sedikit kasus aborsi yang diproses di pengadilan. Hal ini menunjukkan kebenaran apa yang
kemukakan oleh Packer (1968) bahwa aborsi dapat dikategorikan sebagai “victimless
crime” (kejahatan tanpa korban) karena tidak ada yang mengadu, sulit dideteksi, tidak
merugikan orang lain, maka sanksi pidananya dapat dilupakan.
Gagasan untuk merevisi UUK dilandasi oleh fakta bahwa UUK telah ketinggalan zaman
karena undang-undang itu dibuat sebelum International Conference on Population and
Development (ICPD) Kairo 1994 dan Fourth World Conference on Women (FWCW)
Beijing tahun 1995. ICPD secara tegas mengakui hak reproduksi perempuan dalam arti
bahwa perempuan mempunyai hak untuk mengontrol dirinya sendiri, sedangkan FWCW
pada prinsipnya menerima konsep-konsep kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual serta
hak-hak reproduksi, namun melangkah lebih jauh lagi dengan mendiskusikan hak-hak
seksual. Bahkan di dalam satu butir Program Aksi FWCW direkomendasikan untuk
dilakukan peninjauan kembali terhadap status hukum aborsi dan penghapusan ancaman
pidana terhadap perempuan yang melakukan aborsi ilegal. Dari uraian di atas dapat
dikatakan bahwa sejak ICPD tahun 1994 di Kairo, muncul paradigm baru dalam penanganan
kependudukan, karena pendekatan terhadap masalah tersebut tidak lagi dilakukan dengn
cara berfikir secara demografis, tetapi dengan konsep yang lebih luas yaitu kesehatan

75
Ibid., hlm. 289
76
Soge, Paulinus, loc. cit., hlm. 3
41

seksual dan reproduksi. Seiring dengan adanya paradigma baru tersebut, aborsi aman dan
legal (safe and legal abortion) muncul ke permukaan sebagai salah satu isu penting karena
merupakan kunci bagi kesehatan reproduksi. Meskipun sikap terhadap aborsi tetap mendua,
konferensi tersebut sangat mendukung kesehatan reproduksi perempuan.77
Paradigma baru tersebut tertuang dalam Program Aksi ICPD yang mendorong
pemerintah dan organisasi-organisasi yang relevan untuk mengkaji dampak dari kesehatan
dari aborsi tidak aman (unsafe abortion) sebagai upaya untuk memberikan perhatian
terhadap kesehatan umum dan mengurangi aborsi melalui perluasan dan perbaikan
pelayanan keluarga berencana. Untuk melaksanakan rekomendasi ini para pembuat
kebijakan membutuhkan informasi mengenai tersedianya pelayanan keluarga berencana
serta kualitasnya, kerugian bagi kesehatan perempuan yang disebabkan oleh aborsi tidak
aman dan alasan-alasan dilakukannya aborsi.
Pengaruh ICPD sudah mulai terasa dalam kehidupan masyarakat Indonesia sehingga
aborsi aman (safe abortion) sudah mulai banyak dibicarakan. Menurut Wahyuni (2000) :78
Kata “aman” memang dapat dipahami lebih dari satu arti. Aman berarti sehat, karena
dilakukan oleh tenaga professional (dokter) bukan dukun. Mengingat sampai sekarang
belum ada perundang-undangan maka aman dapat berarti tidak ada tuntutan hukum,
baik bagi perempuan yang melakukan aborsi maupun tenaga medis yang membantu.
Aman juga berarti tidak perlu sembunyi-sembunyi, karena ada tempat khusus yang
menyediakan layanan aborsi bagi setiap perempuan yang membutuhkan, karena aborsi
merupakan bagian dari hak reproduksi perempuan.
Tidak seperti RUU KUHP yang hanya membolehkan aborsi berdasarkan indikasi medis
untuk menyelamatkan jiwa ibu dalam keadaan darurat karena mengacu pada UUK, maka
UUK ini secara implisit membolehkan praktek aborsi yang aman, sesuai dengan standar
profesi, bermutu, dan bertanggungjawab.
Berikut ini akan dibahas perbandingan pengaturan pengguguran kandungan di beberapa
KUHP asing sebagai bahan pertimbangan yang dapat digunakan untuk melakukan
pembaruan hukum.
PEMBAHASAN
1. KUHP Ethiopia79
KUHP Etiopia mengatur tentang pengguguran kandungan dalam bab tersendiri yaitu
Book V Crimes Against Individuals And The Family Title I Crimes Against Life, Person
And Health Chapter I Crimes Against Life Section.- II Crimes Against Life Unborn;
Abortion. Pada pasal 545 diatur dasar dilakukannya aborsi di mana aborsi dilarang kecuali
ditentukan lain dalam pasal 551, lebih lanjut juga diatur sifat dan besarnya hukuman yang
diberikan untuk aborsi yang disengaja harus ditentukan apakah aborsi dilakukan oleh
wanita hamil itu sendiri atau oleh orang lain, dan dalam kasus yang terakhir tergantung
pada apakah wanita hamil memberikan persetujuannya atau tidak80. Jika pengguguran

77
Ibid., hlm. 5.
78
Soge, Paulinus, loc. cit., hlm. 6.
79 Proclamation No. 414/2004 The Criminal Code Of The Federal Democratic Republic of Ethiopia.
80
Article 545. - Principle.
(1) The intentional termination of a pregnancy, at whatever stage or however effected, is
punishable according to the following provisions, except as otherwise provided under Article
551.
42

kandungan dilakukan atas kehendak perempuan yang bersangkutan maka berlaku pasal
546.
Article 546. - Abortion Procured by the Pregnant Woman.
a) A pregnant woman who intentionally procures her own abortion is punishable with
simple imprisonment.
b) Any other person who procured for her the means of, or aids her in the abortion,
shall be punishable as a principal criminal or an accomplice, with simple
imprisonment.
Unsur-unsur pasal 546 a:
1. Subjek: perempuan hamil;
2. Sengaja melakukan aborsi;
3. Dipidana dengan penjara sederhana.
Unsur-unsur pasal 546b:
a. Subjek: setiap orang
b. Yang membantu perempuan hamil untuk melakukan aborsi
c. Dipidana dengan pidana sebagai pelaku utama atau pembantu dengan penjara
sederhana
Berdasarkan Pasal 106 yang dimaksud dengan simple imprisonment adalah
(1) a sentence applicable to crimes of a not very serious nature committed by persons
who are not a serious danger to society.
Without prejudice to conditional release, simple imprisonment may extend for a
period of from ten days to three years.
However, simple imprisonment may extend up to five years where, owing to the
gravity of the crime, it is prescribed in the Special Part of this Code, or where there
are concurrent crimes punishable with simple imprisonment, or where the criminal
has been punished repeatedly. The Court shall fix the period of simple
imprisonment in its judgment.
(2) The sentence of simple imprisonment shall be served in such prison or in such section
thereof as is appointed for the purpose.
Jika aborsi dilakukan oleh orang lain maka berlaku Pasal 547:
Article 547. - Abortion Procured by Another.
(1) Whoever contrary to the law performs an abortion on another, or assists in the
commission of the crime, is punishable with simple imprisonment.
(2) Rigorous imprisonment shall be from three years to ten years, where the intervention
was effected against the will of the pregnant woman, or where she was
incapable of giving her consent, or where such consent was extorted by threat,
coercion or deceit, or where she was incapable of realizing the significance of her
actions.
(3) A pregnant woman who consents to an act of abortion except as is otherwise
permitted by law, is punishable with simple imprisonment.
Menarik, dalam KUHP Ethiopia juga diatur hal-hal yang menjadi peringan dan
pemberat pidana. Hal-hal yang memperberat pidana diatur dalam Pasal 548:
Article 548. - Aggravated Cases.

(2) The nature and extent of the punishment given for intentional abortion shall be determined
according to whether it is procured by the pregnant woman herself or by another, and in the
latter case according to whether or not the pregnant woman gave her consent.
43

Where abortion is performed apart from the circumstances provided by law


the punishment shall be aggravated as follows:
(1) in cases where the criminal has acted for gain, or made a profession of
abortion (Art. 92), he is punishable with fine in addition to the penalties
prescribed in Article 547 above;
(2) in cases where the crime is committed by a person who has no proper medical
profession, the punishment shall be simple imprisonment for not less than one
year, and fine;
(3) in cases where the crime is committed by a professional, in particular, by a
doctor, pharmacist, midwife, or nurse practising his profession, the Court shall,
in addition to simple imprisonment and fine, order prohibition of practice, either
for a limited period, or, where the crime is repeatedly committed, for life (Art. 123).
Unsur-unsur pemberat pidana berkaitan dengan pengguguran kandungan:
1. pelaku dalam melakukan tindakannya bertujuan mencari keuntungan, atau
menjadikannya sebagai pekerjaan, dihukum denda di samping hukuman yang
ditentukan dalam Pasal 547 di atas;
2. pelaku tidak mempunyai keahlian yang layak di bidang medis dikenai penjara
sederhana untuk tidak kurang dari satu tahun, dan denda;
3. pelaku seorang dokter, apoteker, bidan perawat, atau perawat Pengadilan, di samping
penjara sederhana dan denda, larangan praktek, baik untuk periode terbatas, atau, di
mana kejahatan itu dilakukan berulang kali, seumur hidup (Pasal 123).
Hal-hal yang memperingan pidana diatur dalam Pasal 550:
Article 550. - Extenuating Circumstances.
Subject to the provision of Article 551 below, the Court shall mitigate the
punishment under Article 180, where the pregnancy has been terminated on account of
an extreme poverty.
KUHP Ethiopia memberi batasan tentang kondisi-kondisi yang boleh dilakukan
aborsi sebagaimana yang diatur :
Article 551.-Cases where Terminating Pregnancy is Allowed by Law.
(1) Termination of pregnancy by a recognized medical institution within the period
permitted by the profession is not punishable where:
a) the pregnancy is the result of rape or incest; or
b) the continuance of the pregnancy endangers the life of the mother or the child or
the health of the mother or where the birth of the child is a risk to the life or health
of the mother; or
c) where the child has an incurable and serious deformity; or
d) where the pregnant woman, owing to a physical or mental deficiency she suffers
from or her minority, is physically as well as mentally unfit to bring up the child.
(2) In the case of grave and imminent danger which can be averted only by an immediate
intervention, an act of terminating pregnancy in accordance with the provision of
Article 75 of this Code is not punishable.
Prosedur penghentian kehamilan dan pidana atas pelangaran prosedur penghentian
kehamilan diatur Pasal 552:
Article 552.- Procedure of Terminating Pregnancy and the penalty of Violating
the Procedure.
44

(1) The Ministry of Health shall shortly issue a directive whereby pregnancy may be
terminated under the conditions specified in Article 551 above, in a manner which
does not affect the interest of pregnant women.
(2) In the case of terminating pregnancy in accordance with sub-article (1) (a) of
Article 551 the mere statement by the woman is adequate to prove that her
pregnancy is the result of rape or incest.
(3) Any person who violated the directive mentioned in sub-article (1) above, is
punishable with fine not exceeding one thousand Birr, or simple imprisonment not
exceeding three months.
Terjemahan Pasal 552 tentang Prosedur Mengakhiri Kehamilan dan pidana atas
Pelanggaran Prosedur sebagai berikut:
(1) Departemen Kesehatan segera menerbitkan suatu petunjuk dimana kehamilan dapat
diakhiri pada kondisi yang ditentukan dalam Pasal 551 di atas, dalam cara yang
tidak mempengaruhi kepentingan perempuan hamil.
(2) Dalam hal mengakhiri kehamilan sesuai dengan ayat (1) (a) Pasal 551 pernyataan
hanya oleh wanita tersebut cukup untuk membuktikan bahwa kehamilannya adalah
hasil dari pemerkosaan atau inses.
(3) Setiap orang yang melanggar arahan disebutkan dalam ayat (1) di atas, dihukum
dengan denda yang tidak melebihi seribu Birr, atau penjara sederhana tidak melebihi
tiga bulan.
Hal yang diatur dalam Pasal 552 ini menjadi hal yang menarik sebab walaupun
diatur tentang pengguguran kandungan tetapi diatur pula tentang jaminan kesehatan bagi
perempuan itu sendiri (seperti yang tertuang dalam ayat (1)) jika ketentuan ini dilanggar
maka berlakulah ketentuan yang diatur dalam ayat (3).
2. KUHP Jerman81
KUHP Jerman terbagi menjadi dua bagian yaitu general part dan special part.
Dalam pengaturannya redaksional kata yang dipakai adalah termination of pregnancy
yang berarti penghentian kehamilan atau pengguguran kandungan. Pengguguran
kandungan masuk dalam special part chapter sixteen crimes against life. Hal yang
menarik adalah pengguguran kandungan diatur dalam bagian tersendiri di mana
pengaturan pengguguran kandungan terbagi menjadi beberapa section:
1. Penghentian kehamilan atau Termination of Pregnancy (Section 218);
2. Pembebasan dari Hukuman untuk Penghentian Kehamilan atau Exemption from
Punishment for Termination of Pregnancy (Section 218a);
3. Penghentian Kehamilan Tanpa Keterangan Medis; Keterangan Medis yang Salah atau
Termination of Pregnancy Without a Medical Determination; Incorrect Medical
Determination (Section 218b);
4. Pelanggaran Tugas Medis Selama Penghentian Kehamilan atau Breach of Medical
Duties During a Termination of Pregnancy (Section 218c);
5. Konseling Wanita Hamil dalam Situasi Darurat atau Konflik atau Counseling of
Pregnant Women in an Emergency or Conflict Situation (Section 219);
6. Iklan untuk Penghentian Kehamilan atau Advertising for Termination of Pregnancy
(Section 219a);
7. Peredaran Sarana untuk Penghentian Kehamilan atau Bringing Means for Termination
of Pregnancy into Circulation (Section 219b.

81
German Criminal Code
45

Section 218 Termination of Pregnancy


(1) Whoever terminates a pregnancy shall be punished with imprisonment for not more
than three years or a fine. Acts, the effects of which occur before the conclusion of
the nesting of the fertilized egg in the uterus, shall not qualify as termination of
pregnancy within the meaning of this law.
(2) In especially serious cases the punishment shall be imprisonment from six months
to five years. An especially serious case exists as a rule, if the perpetrator:
a. acts against the will of the pregnant woman; or
b. recklessly causes the danger of death or serious health damage of the pregnant
woman;
c. If the act is committed by the pregnant woman, then the punishment shall be
imprisonment for not more than one year or a fine.
d. An attempt shall be punishable. The pregnant woman shall not be punished for
attempt.
Selanjutnya Pasal 218a82 mengatur hal-hal di mana penghentian kehamilan dapat
dilakukan dan tidak mendapat hukuman jika:
1. Unsur-unsur pelanggaran di bawah Pasal 218 tidak dipenuhi, jika:
a. atas permintaan wanita hamil untuk dilakukannya penghentian kehamilan dan
dengan menunjukkan sertifikat dokter sesuai dengan Pasal 219 ayat (2);
b. wanita hamil tersebut telah melakukan konseling setidaknya tiga hari sebelum
operasi;
c. penghentian kehamilan dilakukan oleh dokter; dan
d. tidak lebih dari dua belas minggu telah berlalu sejak konsepsi.
2. Penghentian kehamilan dilakukan oleh dokter dengan persetujuan dari wanita
hamil tidak akan melanggar hukum, jika, mengingat kondisi kehidupan sekarang
dan masa depan wanita hamil, penghentian kehamilan disarankan untuk
menghindari bahaya bagi hidupnya atau bahaya gangguan keadaan fisik atau

82
Section 218a Exemption from Punishment for Termination of Pregnancy
(1) The elements of the offense under Section 218 have not been fulfilled, if:
a. the pregnant woman requests the termination of pregnancy and demonstrated to the
physician with a certificate pursuant to Section 219 subsection (2), sent.
b. that she had counseling at least three days before the operation;
c. the termination of pregnancy was performed by a physician; and
d. not more than twelve weeks have elapsed since conception.
(2) The termination of pregnancy performed by a physician with the consent of the pregnant woman
shall not be unlawful, if, considering the present and future living conditions of the pregnant
woman, the termination of the pregnancy is advisable to avert a danger to life or the danger of
a grave impairment of the physical or emotional state of health of the pregnant woman and the
danger cannot be averted in another way which is reasonable for her.
(3) The prerequisites of subsection (2) shall also be deemed fulfilled with relation to a termination
of pregnancy performed by a physician with the consent of the pregnant woman, if according to
medical opinion an unlawful act has been committed against the pregnant woman under
Sections 176 to 179 of the Penal Code, strong reasons support the assumption that the
pregnancy is based on the act, and not more than twelve weeks have elapsed since conception.
(4) The pregnant woman shall not be punishable under Section 218a, if the termination of
pregnancy was performed by a physician after counseling (Section 218) and not more than
twenty-two weeks have elapsed since conception. The court may dispense with punishment under
Section 218 if the pregnant woman was in exceptional distress at the time of the operation.
46

emosional kesehatan wanita hamil dan bahaya tidak dapat dihindari dengan
cara lain yang wajar baginya.
3. Prasyarat ayat (2) juga harus dianggap dipenuhi dengan kaitannya dengan
penghentian kehamilan dilakukan oleh dokter dengan persetujuan dari wanita hamil,
jika menurut pendapat medis tindakan yang melanggar hukum telah dilakukan
terhadap wanita hamil di bawah Pasal 176-179 KUHP, alasan yang kuat mendukung
asumsi bahwa kehamilan didasarkan pada tindakan, dan tidak lebih dari dua belas
minggu telah berlalu sejak konsepsi.
4. Wanita hamil tidak akan dihukum berdasarkan Pasal 218a, jika penghentian
kehamilan dilakukan oleh dokter setelah konseling (Pasal 218) dan tidak lebih dari
dua puluh dua minggu telah berlalu sejak konsepsi. Pengadilan dapat
mengeluarkan dengan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 218 jika wanita
hamil tersebut mengalami kesulitan yang luar biasa pada saat operasi.
KUHP Jerman juga memberikan pengaturan berkaitan tentang penghentian
kehamilan tanpa disertai keterangan medis atau keterangan medis yang tidak benar
diatur dalam section 218b:83
(1) Barangsiapa melakukan penghentian kehamilan sebagaimana diatur dalam Pasal
218a ayat (2) atau (3), tanpa ada keterangan tertulis dari seorang dokter, di mana dia
tidak melakukan penghentian kehamilan sendiri sebagaimana diatur dalam Pasal
218a ayat (2) atau (3), dipidana dengan pidana penjara selama tidak lebih dari satu
tahun atau dengan denda jika tindakan tersebut tidak memenuhi rumusan Pasal 218.
Seorang dokter yang melakukan penghentian kehamilan di luar prasyarat Pasal 218a
ayat (2) atau (3), dipidana dengan pidana penjara selama tidak lebih dari dua tahun
atau denda jika tindakan tersebut tidak dihukum berdasarkan Pasal 218. Wanita
hamil tidak akan dihukum berdasarkan ayat 1 atau 2;
(2) Seorang dokter tidak boleh membuat keputusan berdasarkan Pasal 218a ayat (2)
atau (3), jika instansi yang berwenang telah melarangnya melakukan hal itu karena
ia telah mengalami penghakiman terakhir atas perbuatan melanggar hukum dalam
ayat (1), atau seperti yang diatur Pasal 218, 219a atau 219b atau untuk tindakan yang
melanggar hukum lainnya yang dilakukan sehubungan dengan penghentian
83
Section 218b Termination of Pregnancy Without a Medical Determination; Incorrect Medical
Determination
(1) Whoever terminates a pregnancy in cases under Section 218a subsections (2) or (3), without
there having been a written determination of a physician, who did not himself perform the
termination of pregnancy, as to whether the prerequisites of Section 218a subsections (2) or (3),
existed, shall be punished with imprisonment for not more than one year or with a fine if the act
is not punishable under Section 218. Whoever as a physician makes an incorrect determination,
against his better judgment, as to the prerequisites of Section 218a subsections (2) or (3), for
presentation under sentence 1, shall be punished with imprisonment for not more than two years
or a fine if the act is not punishable under Section 218. The pregnant woman shall not be
punishable under sentences 1 or 2.
(2) A physician may not make determinations pursuant to Section 218a subsections (2) or (3), if a
competent agency has prohibited him from doing so because he has undergone a final judgment
of conviction for an unlawful act under subsection (1), or under Sections 218, 219a or 219b or
for another unlawful act which he committed in connection with a termination of pregnancy.
The competent agency may provisionally prohibit a physician from making determinations
under Section 218a subsections (2) and (3), if proceedings in the trial court have been instituted
against him due to suspicion that he committed unlawful acts indicated in sentence 1.
47

kehamilan. Instansi yang berwenang dapat melarang dokter sementara waktu dari
menjalankan pekerjaannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 218a ayat (2) dan
(3), jika proses di pengadilan telah diputuskan terhadap dirinya karena kecurigaan
bahwa ia melakukan tindakan melanggar hukum yang ditunjukkan dalam ayat (1).
Hal yang menarik berkaitan dengan penghentian kehamilan juga berkaitan dengan
pentingnya pasien (wanita hamil) yang akan menghentikan kehamilannya untuk
mendapatkan informasi selengkap-lengkapnya (medical advice)84 seperti efek samping,
risiko, konsekuensi fisik atau psikis yang mungkin terjadi akibat penghentian
kehamilan. Perempuan hamil juga diberi kesempatan untuk menjelaskan alasan-alasan
permintaannya untuk penghentian kehamilan. Ketentuan semacam ini yang patut
sebagai bahan perbandingan dan menjadi bahan pertimbangan dalam pembaruan aturan
tentang pengguguran kandungan di Indonesia.
Selanjutnya berkaitan dengan pengaturan konseling perempuan hamil dalam
situasi darurat atau konflik (Section 219), bunyi lengkapnya sebagai berikut:
(1) The counseling serves to protect unborn life. It should be guided by efforts to
encourage the woman to continue the pregnancy and to open her to the prospects
of a life with the child; it should help her to make a responsible and conscientious
decision. The woman must thereby be aware, that the unborn child has its own
right to life with respect to her at every stage of the pregnancy and that a
termination of pregnancy can therefore only be considered under the legal order in
exceptional situations, when carrying the child to term would give rise to a burden
for the woman which is so serious and extraordinary that it exceeds the reasonable
limits of sacrifice. The counseling should, through advice and assistance,
contribute to overcoming the conflict situation which exists in connection with the
pregnancy and remedying an emergency situation. Further details shall be
regulated by the Act on Pregnancies in Conflict Situations.
(2) The counseling must take place pursuant to the Act on Pregnancies in Conflict
Situations through a recognized Pregnancy Conflict Counseling Agency. After the
conclusion of the counseling on the subject, the counseling agency must issue the
pregnant woman a certificate including the date of the last counseling session and
the name of the pregnant woman in accordance with the Act on Pregnancies in
Conflict Situations. The physician who performs the termination of pregnancy is
excluded from being a counselor.

84
Section 218c Breach of Medical Duties During a Termination of Pregnancy
(1) Whoever terminates a pregnancy:
1. without having given the woman an opportunity to explain the reasons for her request for a
termination of pregnancy;
2. without having given the pregnant woman medical advice about the significance of the
intervention, especially about the order of events, aftereffects, risks, possible physical or
psychic consequences;
3. in cases under Section 218a subsections (1) and (3), without having previously convinced
himself on the basis of a medical examination as to the length of the pregnancy; or
4. although he counseled the woman in a case under Section 218a subsection (1), pursuant to
Section 219,
shall be punished with imprisonment for not more than one year or a fine if the act is not
punishable under Section 218.
(2) The pregnant woman shall not be punishable under subsection (1).
48

Melalui proses konseling tersebut ada upaya untuk memberikan perlindungan dan
penyadaran akan hak hidup janin, agar wanita melanjutkan kehamilannya atau
membantu perempuan untuk mempunyai keputusan yang bertanggung jawab dan
kesadaran penuh. Diharapkan dari proses konseling ini dapat memberikan saran atau
kontribusi dalam mengatasi situasi konflik yang ada sehubungan dengan kehamilan dan
menanggulangi situasi darurat. Di mana lebih lanjut hal ini akan diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
KUHP Jerman juga memberikan perhatian tentang pemasangan iklan penghentian
kehamilan atau Advertising for Termination of Pregnancy (Section 219a) dengan bunyi
lengkap sebagai berikut:
(1) Whoever publicly, in a meeting or through dissemination of writings (Section 11
subsection (3)), for material gain or in a grossly objectionable manner, offers,
announces, commends, or makes known explanations of the content of:
a. his own services for performing or promotion of terminations of pregnancy, or
those of another;
b. means, objects or procedures capable of terminating pregnancy, with reference
to this capacity, shall be punished with imprisonment for not more than two years
or a fine.
(2) Subsection (1), number 1 shall not apply when physicians or statutorily recognized
counseling agencies provide information about which physicians, hospitals or
institutions are prepared to perform a termination of pregnancy under the
prerequisites of Section 218a subsections (1) to (3).
(3) Subsection (1), number 2 shall not apply if the act was committed in relation to
physicians or persons who are authorized to trade in the means or objects
mentioned in subsection (1), number 2, or through a publication in professional
medical or pharmaceutical journals.
Pemasangan iklan tentang pengguguran kandungan dilarang jika bertujuan untuk
mencari keuntungan tetapi jika berkaitan dengan penyediaan informasi layanan
pengakhiran kehamilan yang dilakukan oleh dokter, rumah sakit atau lembaga yang siap
untuk melakukan penghentian kehamilan sebagaimana diatur dalam Pasal 218a ayat (1)
sampai (3) maka ketentuan ini tidak berlaku. Begitu pula tidak berlaku jika perbuatan
tersebut dilakukan dalam kaitannya dengan dokter atau orang yang berwenang untuk
perdagangan di sarana atau objek benda atau prosedur yang mampu mengakhiri
kehamilan, dengan mengacu pada kapasitas ini, atau melalui publikasi di profesional
jurnal medis atau farmasi.
KUHP Jerman juga memberikan pengaturan yang berkaitan dengan distribusi
bahan yang digunakan untuk pengguguran kandungan sebagai berikut:
Section 219b
Distribution of substances for the purpose of abortion
(1) Whosoever with intent to encourage unlawful acts under section 218 distributes
means or objects which are capable of terminating a pregnancy shall be liable to
imprisonment of not more than two years or a fine;
(2) The secondary participation by a woman preparing the termination of her own
pregnancy shall not be punishable under subsection (1) above.
(3) Means or objects to which the offence relates may be subject to a deprivation order.
Kebijakan formulasi pengguguran kandungan dalam hukum positif yang akan
datang dapat dilakukan dengan mempertimbangkan pengaturan pengguguran
49

kandungan di beberapa KUHP asing sebagai bahan untuk melakukan pembaruan hukum
dan utamanya mengingat kembali makna yang terkandung dalam sila kedua Pancasila
yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Berkaitan dengan hal itu penulis melakukan
perbandingan hukum beberapa negara yaitu Ethiopia, Jerman. Masing-masing negara
tersebut memberikan pengaturan tentang:
a. Nama dan letak aturan aborsi;
b. Alasan diijinkannya aborsi;
c. Pengaturan prosedur aborsi;
d. Umur kehamilan yang boleh diaborsi;
e. Pengaturan iklan aborsi;
f. Pengaturan tentang obat atau sarana untuk aborsi;
g. Konseling wanita hamil sebelum memutuskan aborsi;
h. Alasan penghapus, peringan, dan pemberat pidana bagi pelaku aborsi.
SIMPULAN
Pengaturan dalam kebijakan forrmulasi yang akan datang hendaklah memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Pengaturan pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam tindak pidana yang
berhubungan dengan moral
b. pengaturan yang berkaitan dengan syarat-syarat diijinkannya pengguguran kandungan
c. perlindungan kepada dokter yang melakukan pengguguran kandungan karena alasan
medis (penghapus pidana).
d. pengaturan yang berkaitan dengan peredaran obat atau sarana yang digunakan untuk
pengguguran kandungan
e. pengaturan yang berkaitan dengan pemberian konseling dan informasi tentang prosedur
penguguran kandungan hendaknya diberikan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan
medis (pengguguran kandungan)
SARAN
1. Hendaknya ada pengaturan tentang peredaran obat atau sarana yang digunakan untuk
melakukan pengguguran kandungan sebab tanpa itu maka sama saja memberikan celah
terjadinya pengguguran kandungan yang dapat saja dilakukan tanpa jaminan keamanan
dan kesehatan dan oleh siapa saja (yang mungkin tidak mempunyai kualifikasi di bidang
kesehatan) di mana hal ini kembali memberikan celah akan terjadinya hal-hal yang tidak
melindungi kesehatan reproduksi ibu;
2. Berkaitan dengan penamaan bab yang mengatur tentang pengguguran kandungan
hendaknya dapat dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam bab tentang tindak pidana
yang bertentangan dengan moral. Dengan penamaan demikian jelas menunjukkan
perhatian bahwasanya pengguguran kandungan semata-mata bukan hanya berkaitan
dengan gugurnya janin semata tetapi ada faktor moral (kemanusiaan yang beradab) yang
dilanggar;
3. Perlu dirumuskan tindak pidana yang dapat memberikan kepastian hukum bagi kedua
belah pihak dalam hal ini dokter dan pasien. Pengaturan kebijakan kriminalisasi
khususnya yang berkaitan dengan pengguguran kandungan hendaknya berdasarkan
Pancasila dan garis kebijakan pembangunan nasionalnya bertujuan membentuk manusia
Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu pendekatan humanistik harus pula diperhatikan. Hal
ini penting tidak hanya karena kejahatan itu, pada hakekatnya merupakan masalah
kemanusiaan, tetapi juga karena pada hakekatnya pidana itu sendiri mengandung unsur
50

penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi
kehidupan manusia.
REFERENSI
Nawawi, Arif Barda. 1994, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana
(Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Kumpulan Pidato
Pengukuhan Guru Besar FH UNDIP, Semarang.
Hamzah, Andi. Perbandingan Hukum Pidana Beberapa Negara Edisi Ketiga, 2008, Jakarta:
Sinar Grafika.
Soge, Paulinus. 2010, Hukum Aborsi Tinjauan Politik Hukum Pidana Terhadap
Perkembangan Hukum Aborsi di Indonesia, Yogyakarta, Penerbit Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
Proclamation No. 414/2004 The Criminal Code Of The Federal Democratic Republic of
Ethiopia .
German Criminal Code.
51

Kualitas Pemilihan Umum yang


Diselenggarakan Negara Republik Indonesia
HERNIMUS RATU UDJU
NORANI ASNAWI
ABSTRAK
Indonesia sebagai Negara menganut prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) sekaligus
prinsip Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wajib melaksanakan pemilihan
umum untuk memilih anggota Badan Perwakilan Rakyat dan pejabat pejabat politik di
eksekutif baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Bagi Negara demokrasi
pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat untuk melaksanakan hak
politiknya. Indonesia sejak menjadai Negara yang merdeka dan berdaulat tanggal 17
Agustus 1945, telah melaksanakan pemilihan umum sebanyak 15 kali termasuk di dalamnya
pemilihan serentak tahun 2019. Namun yang menjadi pertanyaan bagaimana kualitas
pemilihan umum yang diselenggarakan di Indonesia apakah sudah mencerminkan asas
kedaulatan rakyat?
Pemilihan umum diselenggarakan selama pemerintahan orde baru tidak demokratis atau
pemilihan umum yang direkayasa, karena penyelenggara pemilihan umum diketuai oleh
Menteri Dalam Negeri yang dalam organisasi politik dia adalah salah ketua dewan pimpinan
Golkar. Di daerah penyelenggara pemilihan umum diketuai oleh Kepala Daerah masing
masing, dimana Kepala Daerah menjadi pengurus Golkar di daerahnya, dengan demikian
sesungguhnya Golkar sebagai peserta pemilihan umum juga sebagai penyelenggara
pemilihan umum.
Pemilihan umum yang dilaksanakan pada era reformasi ini sudah mencerminkan prinsip
kedaulatan rakyat. Sebagai penyelenggara pemilihan adalah Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat Nasional, tetap dan mandiri sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (5) Undang
Undang Dasar Negara Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu Pemilihan Umum
pada era reformasi ini dilaksakan berdasarkan langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan
adil sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Asas jujur dan adil tidak dianut dalam pemilihan umum selama orde
baru.
Kata Kunci: Indonesia, Pemelihan Umum, dan Kualitas.
ABSTRACT
Indonesia as a country adheres to the principle of people's sovereignty (democracy) as
well as the principle of the rule of law as regulated in Article 1 paragraph (2) and paragraph
(3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. politics in the executive, both at
the national and regional levels. For democratic countries, general elections are a means
of implementing the principle of people's sovereignty to exercise their political rights.
Indonesia since becoming an independent and sovereign country on August 17, 1945, has
held 15 general elections including the simultaneous elections in 2019. But the question is
how the quality of the general elections held in Indonesia reflects the principle of people's
sovereignty?
General elections were held during the undemocratic New Order government or
engineered general elections, because the organizers of the general election were chaired
52

by the Minister of Home Affairs who in the political organization was one of the chairmen
of the Golkar leadership council. In regions, the general election organizers are chaired by
the respective regional heads, where the regional heads are the administrators of Golkar in
their regions, thus actually Golkar as a general election participant is also the organizer of
the general election.
The general elections held in this reform era already reflected the principle of people's
sovereignty. As the organizer of the election is the General Election Commission which is
National, permanent and independent as regulated in Article 22E paragraph (5) of the 1945
Constitution of the Republic of Indonesia. In addition, General Elections in this reform era
are carried out on a direct, general, free, confidential basis. , honest and fair as regulated
in Article 22E paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The
principles of honesty and fairness were not adhered to in the general elections during the
new order.
Key Words: Indonesia, General Election, and Quality.
PENDAHULUAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu Negara di dunia yang menganut
prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sistem ketatanegaraannya.
Prinsip demokrasi ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menentukan: Kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar. Dalam buku buku tentang Hukum
Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, ilmu Politik dan Pemerintahan para ahli
memberikan pendapat bahwa kedaulatan identik dengan demokrasi karena kata demokrasi
dan kata kedaulatan rakyat menempat rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam
suatu Negara.
Dalam tulisan-tulisan para ahli, baik dalam: Skripsi, Tesis dan Disertasi, maupun dalam
buku-buku memberi pengertian terhadap demokrasi di antaranya Munir Fuady
mengemukakan bahwa demokrasi berasal bahasa Yunani yakni dari kata “demos” yang
berarti rakyat dan kata kratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga kata
demoskrasi berarti suatu pemerintahan oleh rakyat. Kata pemerintahan oleh rakyat memiliki
konotasi: 1) Suatu pemerintahan yang dipilih oleh rakyat; 2) Suatu pemerintahan oleh rakyat
biasa (bukan oleh kaum bangsawan); 3) Suatu pemerintahan oleh rakyat kecil dan miskin
(wong cilik).85
Indonesia sebagai Negara yang menganut prinsip demokrasi dalam sistem pemerintahan
dan ketatanegaraannya harus menyelengarakan pemilihan umum secara periodik
berdasarkan asas jujur dan adil dalam semua tahapannya sebagai sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat sekaligus sebagai salah satu kriteria dari Negara demokrsi. Dhorrurudin
Marhad dalam Titik Triwulan Tutik mengemukakan bahwa bagi sejumlah Negara yang
menerapkan atau mengklaim diri sebagai Negara demokrasi, pemilihan umum memang
dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur utama dan pertama dari demokrasi.86
Sebagai Negara hukum yang demokratis, Indonesia sejak menjadi Negara yang merdeka
dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, telah menyelenggarakan pemilihan umum
untuk memilih anggota anggota Badan Perwakilan Rakyat baik nasional maupun daerah
serta memilih Presiden dan wakil Presiden yang berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

85
Fuady, Munir Fuady. Konsep Negara Demokrsi, PT Refika Aditama Bandung, 2010, hlm. 1
86
Tutik, Titik Triwulan. Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD
1945, Cerdas Pustaka Jakarta, 2008, hlm. 379.
53

rahasia, jujur dan adil sebanyak 15 kali, termasuk pemilihan umum serentak tahun 2019,
yaitu Pemilu legisltif Tahun1955, Tahun 1971, Tahun 1977, Tahun 1982, Tahun 1987,
Tahu, 1992, Tahun 1997, Tahun 1999, Tahun 2004, Tahun 2009. Tahun 2014, dan Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004, Tahun 2009 dan Tahun 2014 serta Pemilu
legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara serantak Tahun 2019.
Pertanyaanya adalah berkaitan dengan kualitas pemilihan umum yang dilaksanakan di
Indonesia apakah sudah benar benar mencerminkan prinsip demokrasi atau kedaulatan
rakyat, baik dari segi proses maupun segi hasilnya?
PEMBAHASAN
1. Konsep Pemilihan Umum
a. Hubungan Pemilihan Umum dan Prinsip Demokrasi
Pemilihan umum mempunyai hubungan yang sangat erat/ tidak bisa dipisahkan
dengan prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) di zaman modern ini. Sebab rakyat
sebagai pemegang kekuasaan tertinggi tidak dapat secara langsung menjalankan
kekuasaannya tersebut, baik di bidang legislative maupun di bidang eksekutif. Karena
itu pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang baik dalam
Negara Kesatuan Republic Indonesia. Pelaksanaan dan hasil pemilihan umum adalah
refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi nilai dasar demokrasi. Dalam regulasi
yang mengatur pemilihan umum di Indonesia, misalnya dalam Undang Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dalam Pasal 1 angka 1 ditegaskan
bahwa: Pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil
Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan umum adalah salah satu hak warga Negara yang sangat prinsipil,
karenanya dalam rangka pelaksanaan hak hak asasi warga Negara, maka menjadi
keharusan bagi Negara demokrsi termasuk Indonesia untuk melaksanakan pemilihan
umum yang berkualitas baik segi prosesnya maupun dari segi hasilnya. Pelaksanaan
pemilihan umum penting sebagai implementasi dari prinsip bahwa rakyatlah yang
berdaulat dalam menentukan kebijakan kebijakan publik melalui Badan Perwakilan
Rakyat yang anggota anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat, maupun
dalam menentukan orang orang yang akan menjabat jabatan jabatan politik tertentu
di eksekutif seperti Presiden dan Wakil Persiden serta Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah. 87 M.Rusdi Karim sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik
mengatakan bahwa pemilihan umum merupakan salah satu sarana untuk menegakkan
tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat) yang berfungsi sebagai alat menyehatkan dan
menyempurnakan demokrasi bukan tujuan demokrasi. 88 Parulian Donald dalam
Titik Triwulan Tutik mengemukakan bahwa pemilihan umum bukanlah segala
galanya menyangkut demokrasi, pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan asas
demokrasi dan sendi sendi demokrasi bukan hanya terletak pada pemilihan umum,
tetapi bagaimanapun pemilihan umum memiliki arti yang sangat penting dalam

87
Kusnardi, Moh. dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1981, hlm. 329.
88
Op. cit. hlm. 381.
54

proses dinamika Negara.89 Berdasarkan pendapat para ahli tersebut di atas, pemilihan
umum hanya sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat (asas demokrasi) bukan
tujuan demokrasi.
b. Tujuan Pemilihan Umum
Pelaksanaan pemilihan umum di Negara Negara demokrasi tentunya mempunyai
esensi yang sama meskipun mekanisme pelaksanaannya bervariasi antara Negara
yang satu dengan Negara yang lain. Melalui pemilihan umum rakyat yang memenuhi
syarat tertentu akan menggunakan haknya untuk memilih orang orang tertentu
menjadi anggota Badan Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di Daerah Daerah,
dan memilih pemimpin eksekuti tertentu yang akan menjalankan aspirasi dan
kehendak rakyat.
Secara teroretis tujuan pemilihan umum sebagaimana yang dikemukakan oleh
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim adalah:
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib;
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
3. Dalam rangka melaksanakan hak asasi warga Negara.90
Menurut Parulian Donald sebagaimana dikutip Titik Triwulan Tutik, ada dua
manfaat yang sekaligus sebagai tujuan atau sasaran yang hendak dicapai dengan
pelaksanaan lembaga politik pemilihan umum, yaitu pembentukan atau penumpukan
kekuasaan yang absah (otoritas) dan mencapai keterwakilan politik (political
representativeness).91 Arbi Sanit sebagaimana dikutip Titik Triwulan menyimpulkan
bahawa pemilihan umum pada dasarnya memiliki 4 (empat) fungsi utama yakni:
1. Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah;
2. Pembentukan perwakilan politik rakyat;
3. Sirkulasi elit penguasa; dan
4. Pendidikan politik.92
Pergantian pemerintahan di Negara Negara non demokrasi ditentukan oleh
sekelompok orang atau oleh seseorang saja. Hal ini berbeda dengan pergantian
pemerintahan di Negara Negara demokrasi yang menghargai rakyat sebagai pemilik
kedaulatan, sehingga pergantian pemerintahan dilakukan oleh rakyat yang memenuhi
syarat melalui pemilihan umum yang dilaksanakan secara demokratis bedasarkan
asas jujur dan adil dalam setiap tahapannya.
c. Sistem Pemilihan Umum
Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih orang orang yang duduk
sebagai wakil rakyat di Lembaga Perwakilan Rakyat baik di tingkat nasional maupun
di tingkat daerah dan memilih orang orang untuk menduduki jabatan politik tertentu
di eksekutif baik di pusat maupun di daerah, maka dengan sendirinya terdapat
beberapa sistem pemilihan umum. Menurut para ahli antara lain Moh. Kusnardi dan
Hamaily Ibrahim tedapat 2 (dua) sistem pemilihan umum yang diperaktekan oleh
Negara Negara di dunia yaitu sistem pemilihan mechanis dan sistem pemilihan

89
Ibid. hlm. 382.
90
Op. cit. hlm. 330.
91
Ibid. hlm. 383.
92
Ibid. hlm. 383.
55

organis. Sistem pemilihan mechanis adalah sistem pemilihan yang memandang dan
menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu individu yang otonom dan mereka
bebas menentukan pilihan politiknya. Sedangkan sistem pemilihan organis adalah
sistem pemilihan yang memandang dan menempatkan rakyat sebagai sejumlah
individu yang hidup bersama dalam suatu kolektivitas dimana mereka tidak bebas
menggunan hak politiknya. Hak politik mereka dalam pemilihan umum dilaksanakan
oleh kolektivitas mereka, sehingga rakyat tidak bebas menentukan pilahan
politiknya.93
Negara-negara demokrasi dalam pemilihan umum yang diselenggarakan
menganut sistem pemilihan mekanis. Negara Negara demokrasi dalam pemilihan
umum anggota anggota Badan Perwakilan Rakyat menggunakan sistem pemilihan
mekanis yang dilaksanakan dengan dua cara yaitu sistem distrik (single member
constituencies) dan sistem perwakilan proposional. 94 Dalam sistem perwakilan
distrik, wilayah Negara dibagi menjadi beberapa distrik atau daerah pemilihan yang
jumlahnya sama dengan jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga di
setiap distrik hanya disediakan satu kursi untuk diperebutkan oleh semua partai
politik perseta pemilihan umum. Sedangkan dalam sistem proposional wilayah
Negara juga dibagi dalam beberapa daerah pemilihan, dimana di setiap daerah
pemilihan disediakan sejumlah kursi untuk diperebutkan oleh partai politik peserta
pemilihan umum.95
Indonesia dalam pemilihan anggota DPR dan DPRD menggunakan sistem
perwakilan proposional. Pemilihan anggota DPR dan DPRD dengan system
perwakilan proposional ada yang dilakukan secara tertutup dan ada yang secara
terbuka. Pemlihan anggota DPR dan DPRD selama orde baru dan pemilihan anggota
DPR dan DPRD tahun 1999 menggunakan system perwakilan proposional tertutup
atau sistem daftar tertutup dimana para pemilih hanya memilih lambang partai politik
yang di bawahnya terdapat nama para calon anggota badan legislative dari partai
politik tersebut, sehingga kalau partai politik tersebut mendapat satu atau sejumlah
kursi di daerah pemilihan tersebut, maka calon yang tetapkan sebagai calon terpilih
adalah calon yang namanya terdapat pada nomor urut satu dan seterusnya sesuai
dengan jumlah kursi yang diperoleh partai politik tersebut. Sedangkan sistem
perwakilan proposional dengan system daftar terbuka para pemilih memilih tanda
gambar partai politik dan /atau nama calon yang terdapat di bawah lambang partai
politik tersebut, sehingga penentuan calon terpilih berdasarkan jumlah suara yang
diperoleh calon tersebut, kecuali para pemilih hanya memilih tanda gambar partai
politik tersebut dan tidak ada yang memilih nama calon yang terdapat di bawah tanda
gambar partai politik tersebut dan partai politik tersebut memperoleh kursi, maka
penentuan calon terpilih didasarkan para nomor urut mulai dari nomor urut satu.
d. Asas Pemilihan Umum
Pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat, maka
pemilihan umum harus dilaksanakan berdasarkan asas asas tertentu yang

93
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op. cit. hlm. 335.
94
Ibid.
95
Tutik, Titik Triwulan, op. cit. hlm. 387 - 388.
56

mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat. Pelaksanaan pemlihan di Indonesia selama


orde baru didasarkan pada:96
1. Asal Langsung yaitu rakyat pemilih mempunyai hak sacara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara;
2. Asas umum yaitu semua warga Negara yang memenuhi syarat minimal 17
tahun atau pernah kawin, pada dasarnya berhak mengikuti pemilu, tanpa
diskriminatif, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang undangan
seperti TNI dan POLRI;
3. Asas bebas yaitu setiap warga Negara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan
haknya setiap warga Negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih
sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya;
4. Asas rahasia yaitu dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan.
Pemilihan umum yang diselenggarakan pada reformasi ini, adalah pemilihan
umum yang demokratis sehingga harus benar benar dilaksanakan berdasarkan
asas asas yang mencerminkan prinsip demokrasi (kedaulatan rakyat) dalam setiap
tahapannya. Dalam regulasi yang mengatur pemilihan umum pada era reformasi
ini, selain asas langsung, umum, bebas, dan rahasia, juga digunakan asas jujur dan
adil. Asas jujur yaitu dalam penyelenggara pemilihan umum,
penyelengara/pelaksana ( KPU dan Jajarannya dan Banwaslu dan jajarannya),
pemerintah, dan partai politik peserta pemilihan umum, dan semua pihak yang
terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai peraturan perundang undangan
yang berlaku. Asas adil yaitu dalam penyelenggaraan pemilihan dan perorangan
peserta pemilihan umum, harus mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari
kecurangan pihak manapun.
Berdasarkan ketentuan ketentuan yang mengatur asas asas pemilihan umum,
memberi penegasan bahwa pemilihan umum yang diselenggarakan pada masa
orde baru tidak mencerminkan prinsip kedaulatan rakyat, karena penyelenggara
pemilihan umum adalah Panitia Pemilihan Indosia dan Panitian Pemilihan
Daerah, dimana Panitia Pemilihan Indonesia diketuai oleh Menteri Dalam Negeri,
dan Panitia Pemilihan Daerah diketuai oleh Kepala Daerah. Menteri Dalam
Negeri juga memegang jabatan Pembina politik di Indonesia dan dalam
organisasi social politik Menteri Dalam Negeri adalah pengurus pusat golongan
karya. Kepala Daerah memegang jabatan sebagai pengurus golongan karya di
Daerahnya. Selain itu, asas pemilihan yang digunakan adalah asas langsung,
umum, bebas, dan rahasia, dimana asas asas ini adalah asas bagi warga Negara
Indonesia yang berhak memberikan suaranya dalam pemilihan umum artinya asas
asas ini adalah yang digunakan dalam satu tahap pemilihan umum yaitu tahap
pemungutan suara. Asas jujur dan adil adalah asas yang berlaku bagi semua pihak
yang terlibat dalam pemilihan umum dalam setiap tahapan, namun asas jujur dan
adil ini tidak digunakkan dalam pemilihan umum diera pemerintahan orde baru.

96
Baca Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985.
57

e. Penyelenggara Pemilihan Umum


Penyelengara pemilihan umum yang selengarakan pada masa orde adalah
Panitia Pemiliha Indonesia dan Panitia Pemilihan Daerah. 97 Panitia Pemilihan
Indonesia diketuai Menteri Dalam Negeri. Dalam system politik Indonesia saat itu,
Menteri Dalam Negeri bertindak sebagai pembina politik tingkat nasional, sedangkan
dalam organisasi social politik, Menteri Dalam Negari adalah ketua pengurus pusat
golongan karya. Panitia Pemilihan Daerah diketuai oleh Kepala Daerah masing
masing. Kepala Daerah dipercayakan sebagai pembina politik di daerahnya,
sedangkan dalam organisasi sosial politik, Kepala Daerah adalah anggota pengurus
inti golonngan karya di daerahnya.
Kedudukan Panitia Pemilihan Indonesia dan Panitia Pemilihan Daerah yang
demikian, menyebabkan pemilihan umum yang diselenggarakan pada masa orde baru
adalah pemilihan yang direkayasa dan tidak demokratis, sehingga dalam setiap kali
pemilihan umum, golongan karya sebagai salah satu peserta pemilihan umum selalu
memperoleh suara mayoritas mutlak. 98 Dengan asas dan penyelenggara pemilihan
umum pada masa orde baru yang penuh rakayasa tersebut, maka Golongan Karya
sebagai peserta pemilihan umum selalu memperoleh suara mayoritas mutlak, maka
dari itu juga Golkar selalu mengusai kursi di DPR dan MPR secara mayoritas mutlak.
Hal ini dapat dilihat dalam table 1 dan table 2 di bawah ini:
Tabel 1
Komposisi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Hasil
Pemilihan Umum Tahun 1971
1. Golongan Karya 236 kursi
2. Partai Nahdlatul Ulama 58 kursi
3. Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) 24 kursi
4. Partai Nasional Indonesia (PNI) 20 kursi
5. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSSI) 10 kursi
6. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) 7 kursi
7. Partai Katholik 3 kursi
8. Persatuan Tarbiah Islamiah (Perti) 2 kursi
9. Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) 0 kursi
10. Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) 0 kursi

Menjelang Pemilihan Umum anggota Legislatif tahun 1977, pemerintah orde baru
melakukan penggabungan (fusi) partai politik. Partai politik yang berasaskan nasionalisme
difusi menjadi satu dengan nama Partai Demokrasi Indonesia. Sedangkan Partai Politik yang
berasaskan islam difusi menjadi satu dengan nama Partai Persatuan Pembangunan. Dengan
penggabungan partai politik tersebut, maka mulai pemilihan umum anggota Legislatif tahun
1977 hanya ada 2 (dua) Partai Politik dan satu Golongan Karya sebagai peserta pemilihan
umum. Perlu diketahui bahwa rezim orde baru tidak memberikan ruang kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik selain yang ditentukan oleh Pemerintah. Dengan format politik
yang demikian, maka Golkar selalu menang mayoritas mutlak selama pemilihan umum pada
masa orde baru. Hal ini dapat dilhat pada table 1 di atas dan table 2 di bawah ini:

97
Baca Undang Undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum yang telah diubah
beberapa kasli dan terakhir dengan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1985.
98
Saragih, Bintan R., Politik Hukum, CV. Utomo Bandung, 2006, hlm. 116.
58

Tabel 2
Komposisi Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia Hasil Pemilihan selama orde baru
Partai Politik dan Pemilu Pemilu Pemilu Pemilu Pemilu
No. golongan Peserta 1977 1982 1987 1992 1997
Pemilu
1 Golkar 232 242 299 282 325
2. PPP 99 94 61 62 89
3. PDI 29 24 40 56 11
Sumber: Kompas.com., diakses Minggu, 13 Desember 2020.
Pemilihan umum yang diselenggarakan di era reformasi yaitu pemilihan tahun 1999,
pemilihan umum tahun 2004, pemilihan umum tahun 2009, pemilihan umum tahun 2014
dan pemilihan umum serentak tahun 2019 diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum
yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dan dibantu oleh Komisi Pemilihan umum Daerah.
Komposisi Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum Daerah dalam
pemilihan tahun 1999 terdiri dari unsure Partai Politik peserta pemilihan umum dan unsure
Pemerintah yang bertanggung jawab kepada Presiden. 99 Sedangkan komposisi Komisi
Pemilihan Umum dan Komisi Pemlihan Umum Daerah dalam pemilihan umum tahun
2004, 2009, 2014 dan 2019 tidak lagi berasal unsure partai politik peserta pemilihan dan dari
unsur Pemerintah, tetapi terdiri dari orang orang warga Negara Indonesia yang benar benar
mandiri dan bebas dari pengaruh Pemerintah, Partai Politik, dan komponen komponen
lainnya maupun masyarakat umum.
Pemilihan umum di era reformasi yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum
yang bersihat nasional, tetap dan mandiri dan Komisi Pemilihan Umum Daerah yang bersifat
tetap dan mandiri pula, menyebabkan hasil pemilihan umumnya, tidak ada partai politik
yang memperoleh suara mayoritas mutlak terus menerus seperti pemilihan umum pada masa
pemerintahan orde baru. Pada pemilihan tahun 1999, PDIP memengkan pemilihan umum
tetapi tidak mayoritas mutlak, demikian pada pemilihan umum legislatif tahun 2014 dan
2019 PDIP memenangkan pemilihan umum juga tidak mayoritis mutlak. Juga pemilihan
umum tahun 2004 Partai Golkar memenangkan pemilihan umum namun tidak mayoritas
mutlak. Pemelihan umum legislative tahun 2009 dimenangkan oleh Partai Demokrat juga
tidak mayoritas mutlak seperti dalam pemilihan umum para era orde baru.
Pemilihan Umum tahun 1999 diikuti oleh 48 (empat puluh delapan) partai politik dan
yang mendapat kursi di Dewan Perwakilan Rakyat hanya 10 (sepuluh) partai politik. Hal ini
dapat dilihat dalam tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3
Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan
Umum Anggota Legislatif Tahun 1999
No Partai Politik Peserta Pemilu Jumlah kursi yg
diperoleh
1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 153 kursi
2. Partai Golongan Karya 120 kursi

99
Baca Pasal 8 ayat (2) Undang Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentan Pemilihan Umum.
59

3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 58 kursi


4. Partai Kebangkitan bangsa (PKB) 51 kursi
5. Partai Amanat Nasional (PAN) 43 kursi
6. Partai Bulan Bintang (PBB) 13 kursi
7. Partai Keadilan 7 kursi
8. Partai Nahdlatul Ummat 5 kursi
9. Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) 5 kursi
10. Partai Keadilan dan Persatuan 4 kurasi
Sumber: Kompas.com diakses Minggu, 13 Desemeber 2020.
Tabel 4
Perolehan Kursi Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
Anggota Legislatif Tahun 2004
NO Partai Politik Peserta Pemilu Jumlah kursi yg diperoleh
1. Partai Golongan Karya 128 kursi
2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 109 kursi
3. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 58 kursi
4. Partai Demokrat 55 kursi
5. Partai Amanat Nasional (PAN) 53 kursi
6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 52 kursi
7. Partai Damai Sejahtera 13 kursi
8. Partai Bulan Bintang (PBB) 11 kursi
9. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan 4 kursi
10. Partai Pelopor 3 kursi
11. Partai Karya Peduli Bangsa 2 kursi
12. Partai Penegak Demokrasi Indonesia 1 kursi
13. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 1 kursi
14. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme 1 kursi
Sumber: Kompas.com. diakses Minggu 13 Desember 2020.
Pada Pemilihan Umum anggota Legislatif tahun 2004 diikuti oleh 24 (dua
puluh empat) Partai Politik, namun hanya 14 (empat belas) partai politik yang
memperoleh kursi, sedangkan 10 (sepuluh) partai olitik tidak mendapatkan kursi
di DPR RI.
Pada pemilihan umum anggota legislatf tahun 2009 diikuti oleh 38 (tiga
puluh delapan) partai politik, namun yang memperoleh kursi di DPR RI hanya 9
(Sembilan) partai politik seperti yang terdapat dalam table 5 di bawah ini:
Tabel 5
Perolehan Kursi Partai Politik Peserta
Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2009
NO Partai Politik Yg Memenuhi Ambang Batas 3,5 % Jumlah Kursi Yg diperoleh
dari suara sah secara nasional
1. Partai Demokra 150 kursi
Partai Golongan Karya 107 kursi
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 95 kursi
4. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 57 kursi
5. Partai Amanat Nasional (PAN) 43 kursi
6. Partai Pertauan Pembangunan (PPP) 37 kursi
7. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 27 kursi
8. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 26 kursi
60

9. Partai Hatinurani Rakyat (Hanura) 18 kursi


Sumber: Kompas.com. diakses Minggu 13 Desember 2020
Dalam undang undang tentang pemilihan umum tahun 2009 ada pengaturan
tentang ambang batas perolehan suara yaitu 3,5 (tiga koma lima) persen dari
jumlah suara sah secara nasional, barulah partai politik tersebut diikutsertakan
dalam penentuan perolehan kursi di DPR RI.
Tabel 6
Perolehan Suara Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014
No. Partai Politik yg memenuhi ambang batas 3,5% Jumlah kursi yg diperoleh
daru suara sah secara nasional
1. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 109 kursi
2. Partai Golongan Karya 91 kursi
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) 73 kursi
Partai Demokrat 61 kursi
5. Partai Amanat Nasional (PAN) 49 kursi
6. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 47 kursi
7. Partai Partai Persatuan Pambangunan (PPP) 39 kursi
8. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) 35 kursi
9. Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 16 kursi

Sumber : Kompas.com. diakses Minggu 13 Desember 2020.


Pemilihan umum tahun 2019 adalah pemilihan serentak yaitu pemilihan
umum untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden dan
anggo DPRD yang dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang bersamaan.
Hasil perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum anggota legislatif
yang memenuhi ambang batas 3,5 (tiga koma lima) persen perolehan suara dari
suara sah DPR RI, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 7
Perolehan Suara dan Kursi Partai Politik Peserta Pemilu Serentak Tahun
2019 di DPR RI
NO Partai Politik Perolehan suara Perolehan Kursi
1. PDIP 27.503.961 (19,33%) 128 kursi
2. Partai Golkar 17.229.789 (12,31%) 85 kursi
3. Gerindra 17.596.839 78 kursi
(12,57%)
4. Nasdem 12.661.792 (9,05%) 59 kursi
5. PKB 13.570.970 (9,69%) 58 kursi
6. Partai demokrat 10.876.057 (7,77%) 54 kursi
7. Partai Keadilan Sejahter 11.493.663 (8,21%) 50 kursi
8. Partai Amanat Nasional 9.572.623 (6,84%) 44 kursi
9. Partai Persatuan Pambangunan 6.323.147 (4,54%) 19 kursi
10. Partai Berkarya 2.902.495 (2,09%) 0 kursi
11. Partai Serikat Indonesia 2.650.361 (1,85%) 0 kursi
12. Partai Hatinurani Rakyat 2.161.507 (1,54%) 0 kursi
13. Partai Bulan Bintang 1.990.848 (0,97%) 0 kursi
14 Perindo 3.738.320 (2,07%) 0 kursi
15. PKPI 312.775 (0,22%) 0 kursi
16. Partai Garuda 702.536 (0,50%) 0 kursi
61

Sumber: Kompas.com., diakses Minggu, 13 Desember 2020.


Dari tabel 1 sampai tabel 7 tersebut di atas, menunjukan kepada kita bahwa
pelaksanaan pemilihan umum anggota badan legislative pada masa orde baru
yang selalu dimenangkan oleh golongan karya dengan suara mayoritas mutlak di
atas 60 persen, itu disebabkan oleh penyelenggara pemilihan umum yaitu Panitia
Pemilihan Indonesaia dan Panitia Pemilihan Daerah. Panitia Pemilihan Indonesia
diketuai Menteri Dalam Negeri yang dalam organisasi social politik dia adalah
ketua pengurus golongan karya di tingkat nasional. Sedangkan Panitia Pemilihan
Daerah di ketuai oleh Kepala Daerah masing masing, di mana dalam organisasi
social politik, Kepala Daerah anggota pengurus golongan karya di daerahnya.
Dengan demikian maka golkar selalu memang dengan suara mayoritas mutlak
baik di DPR RI maupun di DPRD, sebab Golkar selain sebagai peserta pemilihan
umum, juga kadernya sebagai ketua panitia penyelenggara pemilihan umum baik
di pusat maupun di daerah.
Pelaksanaan pemilihan umum pada masa reformasi, pemilihan umum
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum
Daerah yang bersifat independen mandiri. Karena itu anggota Komisi Pemiliham
Umum dan Komisi Pemilihan Umum Daerah adalah warga Negara Indonesia
yang bebas dari pengaruh partai politik yang. Mereka adalah benar benar mandiri
dan Independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Di samping itu ada
Badan Pengawas Pemilu yang juga bersifat mandiri dan independen dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya. Karena itu, maka dalam pemilhan umum di
era reformasi benar benar dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi dengan
menerapkan asas jujur dan adil dalam setiap tahapan pemilihan umum. Dengan
demikian maka dalam pemilihan umum di era reformasi tidak ada partai politik
yang menang terus menerus dengan suara mayoritas mutlak dalam setiap kali
diadakan pemilihan umum seperti pada zaman orde baru, sebab pemilihan umum
di era reformasi diselenggarakan berdasarkan asas jujur dan adil dalam setiap
tahap oleh penyelenggara yang mandiri, independen dan bebas dari pengaruh
pihak lain.
2. Pemelihan Umum Serentak
Politik hukum pemelihan umum Indonesia disesuaikan dengan sistem politik yang
diterapkan oleh rezim yang berkuasa. Pemilihan umum yang diselenggarakan pada era
reformasi, didasarkan pada ketentuan Konstitusi dengan maksud agar pemilihan umum
sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat lebih berkualitas baik prosesnya maupun
hasilnya. Pasal 22E Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan: Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum
yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Berbagai regulasi telah ditetapkan sebagai
dasar operasional pelaksanaan pemilihan umum pada era reformasi ini.
Pemilihan umum pada era reformasi khususnyan pemilihan umum yang
diselenggarakan setelah amandemen UUD 1945 adalah pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.100 Sesuai amanat Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka pemilihan umum yang diselengarakan
tahun 2004, tahun 2009, tahun 2014 dan tahun 2019 adalah pemilihan umum anggota

100
Pasal 22E ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
62

DPR, DPR, Presiden dan Wakil Presiden dan anggota DPRD. Pemilhan umum tahun
2004, tahun 2009, dan tahun 2014 dilaksanakan dua kali dalam tahun yang sama yaitu
pertama, pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD dan DPRD dan kedua
untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sebab politik hukum pemilihan umum
tahun 2004, 2009, dan 2014, pemilihan umum Legislatif dan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden dilakukan secara terpisah namun dalam tahun yang sama.
Pemilihan umum tahun 2019 dilakukan secara serentak yaitu pemilihan umum
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.101
a. Pengertian Pemilihan Umum Serentak
Pertanyaanya apa makna kata “serentak” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
edisi kedua tahun 1995, serentak adalah bersama sama (tentang gerakan dan
waktunya). Dari pengertian ini, maka makna pemilihan serentak adalah pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat , pemilihan umum anggota Dewan
Perwakilan Daerah, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dilaksanakan dalam waktu yang
bersamaan. Djajadi Hanan mengemukakan bahwa: pemilihan umum tahun 2019
termasuk dalam kategori serentak yang dibarengi dengan pemilihan umum anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.102 Lebih
lanjut dia mengatakan bahwa pemilihan umum serentak adalah konstitusional, tetapi
ada beberapa hal yang perlu ditegaskan:
1. Pemaknaan serentak dari sudut pandang ilmu politik dan system pemerintahan
presidensil adalah pelaksanaan pemilihan umum legislative dan eksekutif dalam
waktu yang bersamaan;
2. Muncul pertanyaan apakah menyertakan pemilihan umum anggota Legislatif
Daerah tanpa menyertakan pemilihan eksekutif daerah, menurut beliau itu sah sah
saja dan tidak masalah;
3. Bila hanya menyertakan pemilihan umum serentak nasional ditambah pemilihan
pemilihan umum eksekutif daerah, juga menurutnya sah sah saja.
4. Bila ada pilihan lain yang menyertai pemilahan umum serentak dalam pemaknaan
seperti di atas, pilihan itu tidak melenggar prinsip pemilihan umum serentak.
Dengan kata lain ada banyak pilihan untuk menyelenggarakan pemilihan umum
serentak keseluruhan, asalkan pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan pemilihan
umum legislatif nasional diselenggarakan secara serentak.103
Mahkamah Konstitusi dalam Putusannya Nomor 55/PUU-XVII/2019 perihal
pengujian Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa
original intent perihal pemilihan umum serentak dalam konteks penguatan sistem
pemerintahan presidensil, terdapat sejumlah model keserentakan pemilihan umum

101
Baca Pasal 1 angka 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum.
102
Mkri.id/index.php diakses tanggal 25 November 2020.
103
Ibid.
63

yang tetap dapat dinilai konstitusionalitas berdasarkan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu:
1. Pemilihan serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, Gubernur, dan Bupati/ Walikota;
3. Pemilihan umum serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil
Presiden, anggota DPRD, Gubernur, dan Bupati/Walikota;
4. Pemilihan Umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan
umum serentak local untuk memilih anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD
Kabupaten/Kota, Gubernur dan Bupati/Walikota;
5. Pemilihan umum serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden
dan Wakil Presiden; dan beberapa waktu setelahnya dillaksanakan pemilihan
umum serentak Provinsi untuk memilih anggota DPRD Provinsi dan memilih
Gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan
umum serentak Kabupaten/Kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota
dan memilih Bupati/Walikota;
6. Pilihan pilihan lain sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR, DPD, dan Presiden dan Wakl Presiden.104
Dari pendapat para ahli dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-
XVII/2019 tersebut, maka politik hukum pemilihan umum serentak yang merupakan
kebijakan hukum yang terbuka, sangat tergantung pada kemauan politik Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai lembaga yang berwenang membentuk
undang undang di Negara Republik Indonesia. Model pemilihan umum serentak yang
dipilih dari 6 (enam) model pemilihan umum serentak yang tercantum dalam putusan
Mahakamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 perihal pengujan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menurut Mahkamah
Konstitusi adalah sah dan tidak bertentangana dengan Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonsesia Tahun 1945.
b. Keabsahan Pemilihan Umum Serentak
Pasal 6A ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menentukan : Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat. Kemudian dalam Pasal 22E ayat (2) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan: Pemilihan diselenggarakan
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dari ketentuan-
ketentuan konstitusional ini, pemilihan umum diselenggarakan secara serentak untuk
memilih anggota DPR, anggota DPR, Presiden dan Wakil Presiden, dan anggota
DPRD adalah adalah sah secara hukum.
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam putusannya Nomor 14/PPU-
XI/2013 perihal pengujian Undang Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden pada amar putusannya angka 1,
1.1, menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat
(2) dan Pasal 112 Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden

104
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 hlm. 80 - 81.
64

bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kemudian pada 1.2 dari amar putusan angka 1 menyatakan bahwa Pasal 3 ayat (5),
Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 Undang Undang
Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilhan Presiden dan Wakil
Presiden tidak mempunyai kekuatan mengikat. Di amar putusannya pada angka 2,
menyatakan bahwa amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk
penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya.
Pasal 3 ayat (5) Undang Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden menentukan: Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
Pasal 12nya menentukan:
Ayat (1) Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengumumkan bakal calon
Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden dalam kampanye Pemilu
anggota DPR, DPD dan DPRD;
Ayat (2) Bakal calon Presiden dan/atau bakal calon Wakil Presiden yang diumumkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik sebaimana dimaksud pada
ayat (1) harus sudah mendapat persetujuan tertulis dari bakal calon yang
bersangkutan;
Pasal 14 ayat (2)nya: Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling
llama 7 (tujuh) hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu
anggota DPR;
Pasal 112nya: Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan
paling lama 3 (tiga) bulan setelah pengumuman hasil Pemilu anggota
DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Dari amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU- XI/2013, jelas bahwa
penyelenggaran pemilihan umum serentak tahun 2019 adalah sesuai dengan perintah
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan karenya secara
hukum sah, meskipun dari aspek politik masih dirperdebatkan keabsahannya. Secara
implicit Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 14/PUU-XI/2013 telah
menyatakan bahwa pemilihan umum legislative nasinonal dan pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara terpisah bertentangan dengan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum
serentak yang dilaksanakan tahun 2019 adalah sah dan konstitusional. Dari amar
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 jelas bahwa pelaksanaan
pemilihan umum serentak tidak saja dilaksanakan pada tahun 2019, tetapi pemilihan
umum pemilihan selanjutnya.
c. Dampak Pemilihan Umum Serentak
Setiap kegiatan yang dilakukan pasti mempunyai dampak baik yang bersifat
maupun yang bersifat negatif. Demikian juga pemilihan Umum serentak pasti
mempunyai dampak. Beberapa dampak positif dari pelaksanaan pemilihan umum
serentak adalah:105
1. Pelenggaraan Pemilihan umum serentak dapat mengefisiensi pelaksanaan
pemilihan umum;

105
Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Pajajaran Volume 3 Nomor 1 Tahun 2018.
65

2. Penyelenggaraan pemilihan umum serentak dapat menenkan pengeluaran dana


dalam pemilhan umum;
3. Pelaksanaan pemilihan umum serentak dapat menyerhanakan sistem multi partai
menjadi multi partai sederhana.
Banyak pengamat yang berpendapat bahwa pelaksanaan pemilihan umum
serentak banyak menimbulkan dampak negative bagi berbagai pihak. Direktris
Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Titi Anggraini di media massa
baik media cetak maupun media elektronik mengemukakan bahwa pelaksanaan
pemilihan umum serentak tahun 2019 telah menimbulkan kematian bagi para
penyelenggara pemilihan umum terutama anggota Kelompok Petugas Pemungutan
Suara (KPPS). Mereka harus berkerja menghitung perolehan suara partai politik,
perolehan suara dari calon anggota DPR, calon anggota DPD calon Presiden dan
Wakil Presiden dan Calon anggotan DPRD provinsi dan calon anggota DPRD
Kabupaten/Kota dan mereka harus mengisi semua formulir yang ada, yang jumlahnya
banyak sekali.
PENUTUP
Indonesia adalah Negara yang menganut prinsip demokrasi dalam system pemerintahan
dan ketatanegaraannya. Karenanya Pemilihan umum wajib dilaksanakan sebagai sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Walaupun mempunyai mempunyai dampak negative,
pemilihan umum serentak dilaksankan sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan telah dipertegas oleh Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia dalam putusannya Nomor 14/PUU-XI/2013 peri hal pengujian Undang Undang
Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mahkamah
Konstitusi mengatakan bahwa pemilihan umum serentak tidak saja dilaksanakan pada
pemilihan umum tahun 2019, tetapi juga pada pemilihan umum selanjutnya.
Diharapkan kiranya Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Pemilihan Umum Daerah,
dan Badan Pengawas Pemilihan Umum dalam semua tingkat sebagai penyelenggara
pemilihan umum yang bersifat independen, benar benar melaksanakan tugas dan fungsinya
yang bersifat independen, parsial dan akuntabilitas sehingga menjamin dan meningkatkan
kualitas pemilihan umum sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat.
REFERENSI
BUKU
Saragih, Bintan R., Politik Hukum, CV. Utomo, Bandung, 2010.
Kusnardi, Moh., dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Insonesia, Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1981.
Munir Fuady, Konsep Negara Demokrasi, PT Refika, Bandung, 2010.
Tutik, Titik Triwulan, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, Cerdas Pustaka Jakarta, 2008.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang Undang Republik Indonesia nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilhan Umum;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan Umum;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden;
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
66

DOKUMEN DAN INTERNET


Jurnal Ilmu Pemerintahan Universitas Pajajajaran, volume 3 Nomor 1 Tahun 2018.
Mkri.id./index.php;
Kompas.com.
67

BIO DATA PENULIS


David Y. Meyners
Penulis lahir di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, 4 Maret 1960. Pada tahun 1986,
menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana, Kupang
(Bagian Hukum Tata Negara). Sejak tahun 1988 menjadi dosen tetap Bagian Hukum Tata
Negara Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana. Pada tahun 2002 menyelesaikan
pendidikan S2 di Bidang Ilmu Hukum (Program Studi Hukum Tata Negara) Universitas
Hasanuddin, Makassar. Saat ini mengajar Mata Kuliah Hukum Konstitusi, Teori dan Metode
Perundang-Undangan, dan Hukum Acara Ketatanegaraan. Penulis sementara menyusun
Kamus Bahasa Hukum. Pernah menjadi wartawan di Kupang (tahun 1985-1988/full time;
1988-1998/part time), kini aktif menulis untuk majalah, jurnal ilmiah, dan beberapa surat
kabar harian nasional maupun lokal.
Hernimus Ratu Udju
Penulis lahir di Kupang, tanggal 28 April 1961. Menyelesaikan pendidikan SD di
Kabupaten Sabu Raijua. SMP diselesaikan di Kota Kupang (SMP Negeri 1 Kupang) dan
SMA Negeri 1 Kupang. Pendidikan Strata 1 diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan di Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar. Sekarang dosen tetap Fakultas Hukum Undana dan aktif mengajar
beberapa matakuliah, antara lain: Hukum Tata Negara, Hukum Hak Asasi Manusia, Hukum
dan Sistem Politik, Hukum Kelembagaan Negara, Metode dan Teori Perundang-undangan,
Ilmu Negara dan Pengantar Tata Hukum Indonesia.
Josef Mario Monteiro
Josef Mario Monteiro, S.H., S.I.P., M.H adalah Aparatur Sipil Negara (NIP: 19750520
2006 001), dan Dosen Tetap pada Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Nusa CendanaKupang NTT, dengan kepangkatan Pembina Tingkat 1/golongan ruang IVB
(Lektor Kepala). Penulis memperoleh gelar sarjana Hukum dari Fakultas Hukum
Universitas Nusa Cendana (1999), Magister Hukum pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana (2006), dan Sarjana Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Terbuka (2019).
Produktif dalam menulis buku yang diterbitkan oleh penerbit nasional seperti Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, Deepublish Publishing, Yogyakarta, dan Setara Press, Malang. Selain
itu, aktif menulis artikel ilmiah yang dimuat oleh beberapa jurnal hukum nasional
terakreditasi, yakni Hukum & Pembangunan Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
Jakarta, Prioris Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, Pro Justitia Fakultas Hukum
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Dinamika Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto, Kertha Patrika Fakultas Hukum Universitas Udayana,
Bali, dan Konstitusi kerjasama Mahkamah Konsitusi dan Fakultas Hukum Universitas Nusa
Cendana, Kupang NTT, dan juga opini pada surat kabar daerah, yaitu Pos Kupang, Timor
Express, dan Victory News.
Kotan Y. Stefanus
Penulis: Staf pengajar pada FH dan Pascasarjana UNDANA - Kupang, Staf Pengajar
Luar Biasa pada UNWIRA Kupang, Universitas Flores Ende, Univercidade da Paz Dili
Timor Leste, dll., menyelesaikan S1 pada Fakultas Hukum UNDANA (1986), S2 (1994)
dan S3 (2000) pada Program Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana UNPAD Bandung.
Norani Asnawi
Dosen tetap Bagian Hukum Administrasi Negara Undana. Jabatan Fungsional terakhir,
Asisten Ahli. Penulis lahir di Surabaya, 8 Agustus 1973. Pada tahun 1998 menyelesaikan
S1 di Fakultas Hukum UGM Yogyakarta (Bagian HAN - Lingkungan) dan S2 pada Program
68

Pasca Magister Ilmu Hukum Undana. Saat ini mengajar Mata Kuliah Hukum Administrasi
Negara, Hukum Acara Peratun, dan Hukum Ketenagakerjaan.
Rosalind Angel Fanggi
Penulis lahir di Jember, 12 Desember 1981. Pada Tahun 2003, menyelesaikan
pendidikan S1 di Fakultas Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2012 menyelesaikan
pendidikan S2 di Universitas Diponegoro. Saat ini mengajar di Fakultas Hukum Universitas
Nusa Cendana. Pengalaman penelitian: Analisis Perlunya Rancangan Undang-Undang
tentang Radio dan Televisi Republik Indonesia (2015); Upaya Perlindungan Hukum
Terhadap Pekerja Perkebunan Kopi di Kabupaten Jember (2015); Politik Kriminal Tindak
Pidana Perdagangan Orang dalam Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Jember (2014);
Pandangan Remaja tentang Hukum dan Hak Kesehatan Reproduksi Dikaitkan dengan
Upaya Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya (2013). Karya ilmiah yang
dipublikasikan, antara lain pada Juli Tahun 2019: Politik Kriminal Tindak Pidana
Perdagangan Orang Dalam Putusan Pengadilan Negeri Kupang (Jurnal Ilmu Hukum Sasana
Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Raya).
69

PETUNJUK BAGI PENULIS


1. Naskah belum pernah diterbitkan dalam media cetak lain, diketik huruf Times New
Roman, spasi 1 ukuran kertas pinggir atas bawah 3 cm dan samping kiri 3,5 cm dan
samping kanan 2,5 cm. Menggunakan kertas kuarto dengan maksimal 11 - 20 halaman
dan naskah diserahkan ke Pelaksana Penyunting dalam bentuk flasdisc .
2. Artikel naskah harus ditulis dalam Bahasa Indonesia atau asing yang baik dan benar;
3. Artikel yang dimuat meliputi tulisan tentang hukum, seperti hasil penelitian dan/atau
artikel ilmiah konseptua;
4. Tulisan hasil Skripsi, Tesis, Disertasi disajikan dalam sistematika sebagai berikut:: a.
Judul; b. Nama Penulis; c. Abstrak; d Kata Kunci; e Pendahuluan: berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan dan sasaran penulisan; f. Pembahasan; g. Penutup
berisi simpulan dan saran;
5. Tulisan konseptual disajikan dalam bentuk sistematika sebagai berikut: a. Judul; b.
Nama Penulis; c. Abstrak; d. Kata Kunci; e. Pendahuluan berisi Latar Belakang
Masalah; f. Pembahasan; dan g. Penutup berisi simpulan dan saran;
6. Setiap kutipan harus menyebut kutipan secara lengkap dan ditulis dalam sistem footnote,
dengan berpedoman sebagai berikut:
a. Rahardjo, Satjipto. 1987. Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: Alumni, hlm 25-
30;
b. Marzuki, Suparman. Hukum Modern dan Institusi Sosial. Artikel dalam Jurnal
Hukum, Nomor 7 Tahun 1999, hlm. 35;
c. Rajagukguk, Erman. “Analisis Ekonomi Dalam Hukum Kontrak”. Makalah pada
Pertemuan tentang Analisis Ekonomi Terhadap Hukum Menyongsong Era
Globalisasi, BPHN, Jakarta, hlm. 5.
7. Daftar rujukan disajikan secara alfabetis dan kronologis masing-masing menurut abjad
nama penulis dan tahun terbitan;
8. Melampirkan biodata penulis secukupnya;
9. Untuk risensi buku, susunannya sebagai berikut: a. Topik atau judul yang diresensi
bebas; b. Maksimal telah terbit satu tahun; risensi ditulis dalam bahasa yang
komunikatif; c. Resensi ditulis di atas kertas kuarto dengan maksimal lima halaman
spasi ganda; d. Menyerahkan cover buku yang diresensi; dan e. Melampirkan copy
identitas disertai biodata penulis secukupnya.

Anda mungkin juga menyukai