Anda di halaman 1dari 75

BOOK REPORT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Logika

Dosen :
Elly Hasan Sadeli, M.Pd.

Oleh :
Nevi Yaumunnah Dhiyani 1701030001
Fauzan Fallah Adi Sembodo 1701030006
Meta Roh Hijah 1701030009
Nelly Zakiah 1701030012
Gayuh Ilham Widadi 1701030013
Aristiya Ningsih 1701030016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN


KEWARGANEGARAAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO
2019

1
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Identitas Buku
1. Judul Buku : Logika Dasar Tradisional, Simbolik dan Induktif.
2. Penulis : R.G Sokadijo
3. Penerbit : Nusa Media
4. Kota Terbit : Jakarta
5. Tahun Terbit : 2017
6. Jumlah : 211 Halaman

3
BAB II
PEMBAHASAN

BAGIAN PERTAMA : PENDAHULUAN

BAB I : LOGIKA
Kata “Logika” sering terdengar dalam percakapan sehari-hari, biasanya
dalam arti “menurut akal”, seperti kalau berkata : “Langkah yang diambilnya
itu logis”, atau : “Menurut logikanya ia harus marah”. Akan tetapi logika
sebagai istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan untuk meneliti
ketetapan penalaran. Maka untuk memahami apakah logika itu, orang harus
mempunyai pengertian yang jelas tentang penalaran. Penalaran adalah suatu
bentuk pemikiran. Adapun bentuk-bentuk pemikiran yang lain, mulai dari yang
paling sederhana ialah: pengertian atau konsep ( conceptus: concept), Proposisi
atau pertanyaan ( Propositio; statement), dan penalarasan ( ratiocinium;
reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak ada penalaran tanpa
proposisi. Maka untuk memahami penlaran, ketiga bentuk pemikiran harus
dipahami bersama-sama.
A. Pengertian
Pengertian adalah sesuatu yang abstrak. Kalau kita hendak menunjuknya,
pengertian itu harus diganti dengan lambang. Lambangnya yang paling
lazim ialah bahasa. Lambang, disini bahasa, memiliki sifat-sifat sendiri
yang lain dari pada sifat-sifat dari apa yang dilambangkan, yaitu
pengerrtian. Harus diperhatikan agar jangan sampai sifat lambang dianggap
sebagi sifat dari apa yang dilambangkan. Kekurangan perhatian dalam hal
ini akan menyesatkan jalan pikiran. Didalam bahsa, pengerrian itu
lambangnya berupa kata. Kata sebagai fungsi dari pengertian disebut term.
Berhubung dengan perbedaan sifat lambang dan yang dilambangkan, yang
terutama harus diperhatikan ialah perbandingan jumlah kata dengan jumlah
pengertian itu adalah sebagai berikut:
Perbandingan jumlah pengertian dengan jumlah kata.

4
Pengertian Kata Nama term contoh
1 1 Tunggal Gunung; manusia ;
keadilan
1 2 dst. Majemuk Kereta Api ;
Lapangan Sepak
Bola

Perbandingan Jumlah term dengan jumlah pengertian


Term Pengertian Nama Term Contoh
1 1 Univok Guru; Sendok
1 2 dst. Ekuivok makan
Bulan (=satelit
bumi) dan bulan
1 Ya 1, ya 2 dst. (=waktu 30 hari )
( Orang ) sehat,
(Obat) sehat,
( Udara) sehat.
Semua term ‘
sehat ’
mempunyai arti
yang sekaligus
sama dan berbeda

B. Proposisi
Bersamaan dengan terjadinya observasi empirik, didalam pikiran tidak
hanya terbentuk akan tetapi juga terjadi perangkaian term-term itu.
pengertian, Tidak ada pengerrtian yang berdiri sendiri dalam pikiran.
Rangkaian pengertian itulah yang disebut proposisi dan pengertian hanya
terdapat dalam proposisi. Dalam proses pembentukan proposisi itu terjadi
dua hal.
Pertama : proses pembentukan proposisi terjadi begitu rupa, sehingga ada
pengertian yang menerangkan tentang pengertian yang lain, atau ada

5
pengertian yang diingkari tentang pengertian yang lain. Dengan
menggunakan contoh tentang anjing diatas, proses perangkaian itu
menghasilkan, misalnya; proposisi sebgai berikut:
“ Anjing Hitam itu menggonggong”
“ Menggonggong” menerangkan tentang “ anjing hitam”. Pengertian yang
menerangkan itu disebut predikat, sedangkan pengertian yang diterangkan
disebut subyek. Kalau predikat itu disingkat mrnjadi P dan subyek S,
sedangkan kata ‘ itu’ atau fungsi menerangkan itu diberi tanda =, maka
pola proposisi itu dapat ditulis : S=P.
Kalau dalam proses perangkaian itu terjadi pengingkaran, maka
proposisi yang terbentuk menjadi: “ anjing hitam itu menggonggong” kalau
fungsi pengingkaran itu diganti dengan tanda ≠, maka pola proposisi
ingkar itu menjadi : S ≠ P
Kedua : dalam proses pembentukan proposisi itu sekaligus terjadi
pengakuan bahwa anjing hitam itu memang menggonggong, atau bahwa
anjing hitam itu memmang tidak menggponggong. Artinya proposisi itu
menyatakan bahwa memang benar anjing hitam itu menggonggong atau
tidak menggonggong, kebalikannya adalah salah. Dari sinilah jelas, bahwa
proposisi itu mengandung sifat benar atau salah. Sebaliknya pengertian
tidak ada hubungannya dengan benar atau salah, pengertian tidak benar
tidak salah.
C. Penalaran
Penalaran itu erat dan dekat sekalai artinya dengan penyimpulan,
argumen, dan bukti.Proses penalaran meliputi aktivitas mencari proposisi-
proposisi untuk disusun menjadi premis, menilai hubungan proposisi-
proposisi didalam premis itu can menentukan konklusinya.
Penyimpulan dalam arti sebenarnya tidak meliputi aktivitas
menemukan proposisi-proposisi yang disusun dalm premis, akan tetapi
hanya menilai hubungan proposisi-proposisi didalam premis dan
menentukan konklusinya.

6
Kalau penalaran itu aktivitas pikiran yang abstrak, maka argumen ialah
lambangnya yang terbentuk bahsa atau bentuk-bentuk lambang lainnya.
Jadi kalau kata itu lambnag pengertian, kalimat itu lambang proposisi,
maka argumen yang berhasil menentukan kebenaran konklusi dari premis.

D. Logika Formal
Kalau orang mengadakan penalaran, maksudnya ialah untuk
menemukan kebenaran, artinya konklusinya harus berupa proposisi yang
benar. Untuk mencapai maksud itu, penalaran bertolak dari pegetahuan
yang sudah dimiliki, artinya bertolak dari apa yang diketahui benar yaitu
Memang benar, atau benar-benar salah. Dalam bentuk penalaran,
pengetahuan yang menjadi dasar konklusi itu ialah premis. Jadui semua
proposisi didalam premis itu harus benar.
Aktivitas penalaran juga meliputi penyusunan proposisi-proposisi
itu menjadi premis yang dijadikan dasar penyimpulan. Kalau susunan
premis tidak tepat, tidak dapat dijadikan pangkal untuk menarik kesimpulan
yang benar, seperrti terbukti dari contoh:
Semua Pegawai negeri adalah penerima gaji ( BENAR)
Semua Pegawai swasta adalah penerima gaji (BENAR )
Jadi : Pegawai negeri adalah pegawai swasta ( SALAH )
Contoh susunan penalaran yang tepat sebagai berikut :
Semua pencuri adalah penjahat. ( BENAR)
Gatotkaca adalah pencuri ( BENAR)
Jadi : gatotkaca adalah penjahat. ( BENAR)
Bahwa susunan diatas tepat, dapat diketahui konklusinya yang benar,
sedang premisnya juga benar. Kalau penalaran yang tepat diatas
dikosongkan dari isi atau maknamnya dengan menghapus pengertian-
pengertian didalamnya dan menggantinya dengan tanda-tanda huruf
terdapatlah pola penyusunan itu sebagai berikut:
Semua a adalah c
b adalah a

7
Jadi : b adalah c
E. Hukum Penyimpulan
Berdasarkan asumsi bahwa bentuk penalaran itu sahih, maka hubungan
kebenaran antara premis dan konklusi itu dapat dirumuskan sebagai
hukum-hukum berikut:
1. Apabila premisnya benar, konklusi penalaran adalah benar
2. Apabila konklusi penalaran salah, maka premisnya juga salah
3. Apabila premisnya salah, konklusi penalaran dapat benar dapat salah
4. Apabila konklusinya benar, premis penalaran dapat benar dapat salah.

BAB II: KESESATAN


A. Pengertian
Kesesatan daklam penalaran itu terjadi karena yang sesat itu,
karena sesuatu hal, kelihatan masuk akal. Kalau orang mengemukakan
sebuah penalaran yang sesat dan ia sendiri tidak melihat kesesatannya,
penalaran itu disebut paralogis. Kalau penalaran yang sesat itu dengan
sengaja digunakan untuk menyesatkan orang lain, maka ini disebut
sofisme.
Penalaran dapat sesat karena bentuknya tidak tepat, tidak sahih.
Kesesatan demikian itu adalah kesesatan formal. Kesesatan formal terjadi
karena pelanggaran terhadap kaidah-kaidah logika. Dalam membahas
kaidah-kaidah logika, juga disinggung tentang pelanggarannya. Latihan-
latihan mengenai kaidah-kaidah ligika tidak hanya mengenai penerapannya
yang tepat akan tetapi juga mengenai kesesatannya.
B. Kesesatan karena Bahasa
Kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-beda,
dan setiap kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan
arti kalimat yang bersangkutan. Maka meskipun kata-nya sama, dalam
kalimat yang berbeda, kata dapat bervariasi artinya.
Berikut beberapa kesesatan dalam bahasa.
1. Kesesatan karena aksen atau tekanan

8
Dalam ucapan tiap-tiap kata kata suku kata yang diberi tekanan.
Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti. Contoh:
Tiap pagi pasukan mengadakan apel
Apel itu buah
Jadi: tiap pagi pasukan mengadakan buah
2. Kesesatan karena term ekuivok
Term ekuivok itu term yang mempunyai lebih dari satu arti. Kalau
dalam satu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah term yang
sama, terjadilah kesesatan penalaran. Contoh :
Sifat abadi adalah sifat ilahi
Adam adalah mahasiswa abadi
Jadi : adam adalah mahasiswa yang bersifat abadi
3. Kesesatan karena arti kisan ( metaphora)
Ada analogi antara arti kiasan dan arti sebenarnya, artinya : ada
persamaan dan ada perbedaannya. Kalau dalam suatu penalara sebuah
arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya atau sebaliknya, terjadilah
kesesatan karena arti rupanya agak luar biasa apabila orang
mencampuradukan arti sebenarnya dan arti kiasan dari suatu kata atau
ungkapan.
4. Kesesatan karena amfiboli ( amphibolia )
Amfiboli terjadi kalau konstruksi sebuah kalimat itu demikian rupa,
sehingga artinya menjadi bercabang. Misalnya :
Mahasiswa yang duduk diatas meja yang paling depan....
Apa yang paling depan, mahasiswanya atau mejanya ?
C. Kesesatan Relevansi
Dibawah ini sejumlah kesesatan relevansi yang banyak terjadi.
Yang lazim digunakan, nama latinnya kita pertahankan.
1. Argumentum ad hominem
Kesesatan ini terjadi kalau kita berusaha agar orang menerima atau
menolak sesuatu usul, tidak berdasarkan alasan penalaran, akan tetapi

9
karena alsan yang berhubungan dengan kepentingan atau keadaan orang
yang mengusulkan atau yang diusuli.
2. Argumentum ad verecundiam atau argumentum auctoritatis
Kesesatan ini juga menerima atau menolak sesuatu tidak berdasarkan
nilai penalarannya, akan tetapi karena orang yang mengemukakannya
adalah orang yan berwibawa, dapat dipercaya, seorang ahli. Secara
logis seharusnya orang tidak menggantungkan diri kepada pendapat
orang lain yang dianggap ahli itu. Keahlian kepandaian, atau kebaikan
justru harus dibuktikan dengan penalarannya yang tepat, tidak
sebaliknya. Pepatah Latin berbunyi: Tantum valet auctoritas, quantum
valet argumentatio; Nilai wibawa itu hanya setinggi nilai
argumentasinya.
3. Argumentum ad baculum
Baculum artinya tongkat. Kesesatan ini timbul kalau penerimaan atau
penolakan suaru penalaran didasarkan atas adanya ancaman hukuman.
Kalau tidak menyetujui, akan dihukum: dipenjarakan, dipukuli,
dipersulit hidupnya. Teror pada hakekatnya adalah paksaan untuk
menerima sesuatu gagasan atau penalaran karena ketakutan
argumentum ad baculum.
4. Argumentum ad misericordiam
Penalaran yang ditujukan untuk menimbulkan belas kasihan agar dapat
di terima disebut argumentum ad misericordiam. Argumen yang
demikian itu biasanya berhubungan dengan usaha agar sesuatu
perbuatan dimaafkan. Sering dalam sebuah pengadilan seorang
terdakwa mengajukan argumen ini untuk menimbulkan belas kasihan
kepada hakim. Misalnya dengan mengingatkan hakim bahwa ia
mempunyai isteri dan anak-anak yang hidupnya tergantung kepadanya,
bahwa isterinya sedang sakit keras, dan sebagainya.
5. Argumentum ad populum
Argumentum ad populum ditujukan kepada 'rakyat', kepada suatu
massa, kepada pendengar orang banyak. Pembuktian sesuatu secara

10
logis tidak dipentingkan. Yang diutamakan ialah menggugah perasaan
massa pendengar, membangkitkan semangat atau membakar emosi
pendengar agar menerima suatu konklusi tertentu. Suatu pembaharuan
yang tidak disetujui mungkin disebut petualangan yang tidak
bertanggungjawab', sedang keadaan lama yang hendak dipertahankan
disebut 'suatu pembangunan yang mantap'. Sebaliknya pembaharuan
yang disetujui menjadi kemajuan tehnik yang membuka sejarah baru'
sedang keadaan lama yang tidak disetujui menjadi sesuatu yang sudah
usang dan ketinggalan jaman'. Argumentum ad opulum itu banyak kita
jumpai dalam kampanye politik, pidato-pidato, demonstrasi, dan
propaganda.
6. Kesesatan non causa pro causa
Kesesatan ini terjadi apabila kita menganggap sesuatu sebagai sebab,
padahal sebenarnya bukan sebab, atau bukan sebab yang lengkap.
Anggaplah telah terjadi peristiwa berikut. Adam ditodong dan dalam
pergumulan yang terjadi, Adam kena sabet clurit si penodong dan
Adam meninggal. Orang banyak yang datang menolong semua
mengatakan bahwa Adam meninggal disebabkan oleh sabetan clurit
penodon Akan tetapi visum et repertum dokter menyatakan: Adam
mempunyai penyakit jantung, dan kemungkinan besar ia meninggal
karena serangan jantung.
7. Kesesatan aksidensi
Kesesatan karena aksidensi terjadi kalau kita menerapkan prinsip atau
pernyataan mum kepada peristiwa atau peristiwa-peristiwa tertentu
yang karena keadaannya yang bersifat aksidental menyebabkan
penerapan itu tidak cocok. Sifat atau kond ang aksidental ialah sifat
atau kondisi yang kebetulan, yang tidak harus ada, yang tidak mutlak.
Bahwa Adam mengalami kecelakaan, itu suatu kondisi yang aksidental
bagi Adam; Adam tidak harus mengalami kece lakaan. Kalau seorang
memberi susu uahan, kepada bayinya meskipun bayi itu sakit, dengan
pengertian bahwa usu dan buah-buahan itu baik bagi bayi, maka si ibu

11
tersebut telah melakukan penalaran yang sesat karena aksidensi.
Kondisi aksidental dari bayinya yang sedang sakit mencret
menyebabkan prinsip umum itu dalam hal ini tidak berlaku. Makan
adalah suatu perbuatan yang baik. Akan tetapi kalau kita makan pada
waktu harus berpuasa, maka penalaran kita sesat karena aksidensi
8. Kesesatan karena komposisi dan divisi
Ada predikat-predikat yang hanya mengenai individu-individu suatu
kelompok kolektif. Kalau kita menyimpulkan bahwa predikat itu juga
berlaku untuk kelompok nya, penalaran kita sesat karena komposisi.
Misalnya, dari adanya polisi yang menggunakan senjatanya untuk
menodong, kita predikat yang berlaku untuk suatu kelompok kolektif
dan berdasarkan hal itu predikat itu, maka penalaran itu sesat karena
divisi. Kesesatan komposisi dan divisi itu disimpulkan bahwa setiap
anggota dari kelompok kolektif itu tentu juga menyandang tidak hanya
mengenai kelompok kolektif dengan anggotanya, akan tetapi juga film
itu bagus belum tentu semua pemerannya bermain bagus.mengenai
sebuah kesatuan dengan bagian-bagiannya. Misalnya, kalau sebuah
rumah itu besar, itu tidak berarti bahwa kamar-kamar didalamnya tentu
juga besar. Kalau film itu bagus belum tentu semua pemerannya
bermain bagus.
9. Petitio principii
Dalam usaha untuk membuktikan sesuatu, dapat terjadi bahwa dalam
penalaran yang ita susun, kita menggunakan konklusinya atau apa yang
hendak kita buktikan itu remis. Sudah tentu dengan kata-kata atau
ungkapan yang berbeda dengan bunyi konklusinya.
10. Ignoratio elenchi
Kesesatan ignoratio elenchi terjadi apabila konklusi yang diturunkan
dari premis tidak relevan dengan premis itu. Sebenarnya argumentum
ad hominem, ad verecundiam, a baculum, dan ad populum semuanya
termasuk kesesatan ignoratio elenchi, karena di antara konklusi dan
premisnya tidak ada relevansinya. Akan tetapi yang disebut ignoratio

12
elenchi itu biasanya kesesatan penalaran yang tidak disebabkan karena
bahasa. Kalau misalnya dalam suatu pengadilan seorang pembela
dengan panjang lebar berhasil membuktikan bahwa pembunuhan itu
suatu perbuatan yang sangat keji dan terkutuk, dan kemudian menarik
kesimpulan bahwa terdakwa yang dibelanya tidak mungkin melakukan
perbuatan sejahat itu, maka penalarannya sesat karena ignoratio elenchi.
11. Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks
Sebuah pertanyaan atau perintah, sering kali bukan pertanyaan
tunggal, yang dapat dijawab dengan tepat dengan satu jawaban,
meskipun pertanyaannya berbentuk kalimat tunggal. Rumah itu terdiri
atas bagian-bagian apa? Dapat dijawab: atap dinding, langit-langit, dan
sebagainya; atau ruang makan, ruang tamu, dan sebagainya; dan dapat
diberi jawaban-jawaban lain. Pertanyaan itu sebetulnya terdiri atas
sejumlah pertanyaan. Demikian juga perintah untuk menyebutkan jenis-
jenis kalimat dapat dijawab: kalimat tanya dan kalimat berita, atau
kalimat pasif dan aktif, atau biasa saja kalimat panjang dan kalimat
pendek. Kalau kita bertanya: Jam berapa kamu bangun?, maka
pertanyaan itu tidak kompleks karena terdiri atas lebih dari satu
pertanyaan, akan tetapi karena pertanyaan itu mengandung sebuah
pernyataan di dalamnya, yaitu; bahwa kamu tadinya tidur.
12. Argumentum ad ignorantiam
Argumentum ad ignorantiam adalah penalaran yang menyimpulkan
suatu konklusi atas dasar bahwa negasinya tidak terbukti salah, atau
yang menyimpulkan bahwa sesuatu konklusi itu salah karena negasinya
tidak terbukti benar. Menyimpulkan bahwa tidak ada makhluk 'badan
halus' karena adanya makhluk yang demikian itu tidak dapat kita lihat,
sama saja dengan mengatakan bahwa dikepulauan Paskah tidak ada
piramida karena kita tidak mengetahui adanya piramida di sana. Kedua-
duanya adalah kesesatan argumentum ad ignorantiam. Dalam peristiwa
melemparkan dadu ada ekuiposibilitas mengenai hasil lemparannya. Ini
disimpulkan kalau tidak ada sesuatu yang dapat diketahui yang

13
menyebabkan ekuiposibilitas itu tidak ada, artinya uatu yang membuat
lemparan itu cenderung mencapai hasil tertentu. Inipun suatu ses
argumentum ad ignorantiam.

D. Rasionalitas Kesesatan
Masalah kesesatan seperti dibicarakan disini adalah masalah yang
diwariskan oleh aristoteles dan oleh karenanya hanya mengenai penalaran
deduktif. Perbedaan tafsiran mengenai implikasi dalam penalaran yang
dianggap sesat dapat terjadi karena kesesatan itu biasanya tidak tersusun
sebagai silogisme formal, kebanykan terbentuk entimema. Kesesatan
tertolak dari konklusi yang seharusnya atau yang telah ditarik, dan
dikatakan bahwa untuk mencapai konklusi itu premisnya tidak tepat. Ini
berarti bahwa dalam entimema itu orang harus menemukan atau memilih
sendiri premis yang tidak ditegakan itu. Kalau premis yang satu yang
dipilih, penalarannya sesat, akan tetapi kalau premis lain yang dpilih,
mungkin penalaranya sahih.

BAGIAN KEDUA
LOGIKA TRADISIONAL

BAB III: PENALARAN LANGSUNG


A. Proposisi Kategorik Standar
Istilah penalaran langsung berasal dari Aristoteles untuk menunjuk
penalaran, yang premisnyahanya terdiri dari sebuah proposisi saja.
Konklusinya ditarik langsung dari proposisi yang satu itu dengan
membandingkan subyek dan predikatnya.
Sistem logika yang mengenai penalaran langsung itu didasarkan atas
proposisi kategorik bentuk S=P seperti dijelaskan diatas. Dalam bentuk

14
proposisi kategorik yang demikian itu baik term untuk subyek maupun
untuk predikatnya menunjuk pada suatu sybstantif, dan dalam bahasa
berupa kata benda. Kaitan antara subyek dan predikat berdiri sendiri dan
disebut kopula. Contohnya :” Kerbau ( kata benda) itu ( Kopula) binatang
(kata benda). Bentuk ini adalah bentuk proposisi kategorik yang dipakai
sebagai standar dalam sistem aristoteles. Proposisi-proposisi kategorik yang
berbeda bentuknya, harus dikembalikan kepada bentuk proposisi kategorik
standar ini.
B. Kualitas, Kuantitas, Distribusi
Aristoteles membedakan proposisi karegorik berdasarkan kualitas dan
kuantitasnya. Yang dimaksud dengan kualitas proposisi ialah ada-tidaknya
hubungan diantara subyek dan predikat. Kalau hubungan itu ada, maka
proposisi itu afirmatif: S=P. Kalau hubungan itu tidak ada, maka itulah
proposisi negatif : S ≠ P.
Konsep kuantitas itu merupakan salah satu konsep inti dalam sistem
logika dan digunakan untuk menemukan bermacam-macam syarat
penalaran.
Yang disebut distribusi dari sistem term ialah sebaran atau penggunaan
term yang meliputi semua anggotanya secara individual, satu demi satu,
jadi tidak sebagai kelompok. Term yang berdistribusi itu disebut term
universal. Term yang tidak berdistribuis hanya meliputi sebagian dari
semua anggotanya, yaitu satu atau lebih. Term yang hanya meliputi satu
anggotanya saja atau lebih, akan tetapi tidak semuanya disebut term
partikulir.
C. Lambang Boole dan diagram Venn
George boole, seorang ahli matematika Inggris (1815-1864) menggarap
logika aristoteles sebagai aljabar. Dalam sistemnya setiap kelas
dilambangkan dengan huruf. Misalnya P melambangkan suatu kelas yang
berfungsi sebagai predikat dalam proposisi. Konsep sentral dalam sistem
Boole ialah konsep’ kelas kosong’, artinya suatu kelas yang tidak
mempunyai anggota. Konsep kosong dilambangkan sebagai O. Dua huruf

15
berturut-turut melambangkan suatu kelas itu bersama-sama. SP adalah
kelas yang memiliki ciri kelas S dan kelas P bersama-sama. Ditambah
dengan penggunaan tanda-tanda = dan ≠.
D. Bujur Sangkar Perlawanan ( Opposition)
Dalam penalaran langsung premisnya hanya terdiri atas satu
proposisi, yang langsung digunakan untuk menarik konklusi. Ini berarti
bahwa proposisi yang satu diikuti oleh proposisi yang lain demikian rupa,
sehingga kalau proposisi yang satu benar, yang lain juga benar. Karena
proposisi kategorik yang standar itu hanaya empat bentuknya: A,E,I, dan O,
maka salah satu dari dari keempat bentuk itulah yang menjadi premis dan
salah satu diantaranya pula yang menjadi kinklusinya, dengan catatan
bahwa konklusi dan premisnya tidak boleh identik.
E. Konversi
Cara lain untuk menarik konklusi dari sebuah proposisi ialah dengan
konversi atau pembalikan. Prosedurnya: term predikat dijadikan term
subyek dan term subyek dijadikan term predikat. Prinsip konversi itu
sederhana sekali: kalau A=B, maka B=A. Kalau S=P. Dalam konversi
proposisi yang dikonversikan dan hasil konversinya sama kualitasnya.
F. Obversi
Prosedur obversi ini adalah sebagai berikut :
a). Kualitas proposisi premis diganti, dari proposisi alternatif dijadikan
negatif atau sebaliknya
b). Term predikat digantikan dengan komplemennya. Jadi komplemen dari
kelaa ‘anjing’ ialah ‘non anjing’.
Prinsip yang menjadi dasar penyimpulan obversi ialah A = non non-A,
A itu ekuivalen dengan non non-A. Prinsip ini juga disebut prinsip negasi
ganda (double negation.
Contoh obversi :
Premis : Manusia adalah makhluk berfikir
Konlusi : Manusia bukan non makhluk berfikir

16
Kedua proposisi itu. Premis dan konlusinya adalah ekuivalen.
Dalam prosedur obversi ini kuantitas proposisi premis maupun
konklusinya adalah sama. Proposisi A diobversikan tetap
proposisi A dan seterusnya.
G. Kontraposisi
Kontraposisi adalah suatu bentuk penalaran langsung, yang tersusun
melalui prosedur berikut:
a) Term subyek maupun term predikat diganti dengan komplemen
masing-masing.
b) Proposisi yang sudah berubah term termnya itu kemudian
dikonversikan: term subyek dan term predikat bertukar tempat. Contoh
kontraposisi:
- Semua pejuang kemerdekaan adalah pembela bangsa.
- Jadi, Semua non pembela bangsa adalah non pejuang kemerdekaan.

BAB IV SILOGISME KATEGORIK


A. Silogisme Standar
Silogisme kategorik atau dengan singkat silogisme saja adalah suatu
bentuk formal dari dedukasi yang terdiri atas proposisi proposisi kategorik.
Konklusi harus duturunkan dari proposisi pertama dengan bantuan proposisi
kedua. Proposisi pertama dan kedua itulah yang bersama sama merupakan
premis. Jadi dedukasi yang bersangkutan lengkapnya adalah sebagai berikut :
Semua pahlawan adalah orang berjasa.
Kartini adalah pahlawan.
Jadi, Kartini adalah orang yang berjasa.
Bentuk dedukasi inilah yang disebut silogisme dan silogisme ini dalam
logika tradisional digunakan sebagai bentuk standar dari penalaran deduktif.
Silogisme itu terdiri atas tiga proposisi kategorik, dua proposisi yang pertama
berfungsi sebagai premis, sedang yang ketiga sebagai konklusi. Jumlah
termnya ada tiga : pahlawan, orang berjasa dan Kartini, masing-masing
digunakan dua kali. Proposisi yang mengandung term predikat yaitu orang

17
berjasa disebut maior. Sedangkan yang mengandung term subyek disebut
minor. Premis maior selalu ditempatkan sebagai proposisi pertama pada
barisan pertama.
B. Prinsip-Prinsip Silogisme
Prinsip-prinsip silogisme jumlahnya hanya ada 2, yaitu:
1. Prinsip persamaan (principium convenientiae;the principle of convenience).
Prinsip ini mengatakan bahwa dua hal adalah sama kalau kedua duanya
sama dengan hal yang ketiga.
S = M = P, jadi S = P.
2. Prinsip perbedaan (principium discrepantiae;the principle of discrepancy).
Prinsip ini mengatakan bahwa dua hal itu berbeda yang satu dengan yang
lain, kalau yang satu sama dengan hal yang ketiga, sedang yang lain tidak
sama.
S = M ≠ P. Jadi : S ≠ P.
Kedua prinsip silogisme itu penerapannya memerlukan dua prinsip
lagi. Kedua prinsip penerapan itu adalah :
1) Prinsip distribusi (dictum de omni). Prinsip ini mengatakan bahwa apa
yang berlaku secara distributif untuk sesuatu kelas, yaitu berlaku untuk
semua dan masing-masing anggotanya, berlaku untuk tiap-tiap
anggotanya masing-masing.
Contoh :
- Semua pahlawan adalah orang berjasa. (Orang berjasa berlaku untuk
semua pahlawan secara distributif)
- Kartini adalah pahlawan. (Kartini adalah anggota kelas pahlawan)
- Jadi, Kartini adalah orang berjasa. (orang berjasa juga berlaku untuk
Kartini)
2) Prinsip distribusi negatif (dictum de nullo). Prinsip ini menyatakan
bahwa apa yang diingkari tentang sesuatu kelas secara distributif, juga
diingkari pada tiap anggotanya masing-masing.
Contoh :

18
- Toyota itu bukan sedan bermesin disel. (Term, sedan bermesin disel
diingkari tentang toyota secara distributif)
- Mobil Adam itu adalah sebuah Toyota. (Mobil Adam adalah anggota
kelas Toyota)
- Jadi, Mobil Adam itu bukan sedan bermesin disel. (Sedan bermesin
disel juga diingkari pada mobil Adam).
Menurut Aristoteles, kebenaran prinsip-prinsip di atas bertumpu
pada prinsip yang lebih dalam lagi, yaitu : Azas-azas penalaran (first
principles;prima principia) yang jumlahnya tiga.
1). Azas identitas, yaitu segala sesuatu yang identik dengan dirinya
sendiri. A = A.
2). Azas kontradiksi, yaitu tidak ada sesuatu yang sekaligus memiliki
dan tidak memiliki sesuatu sifat tertentu. Tidak mungkin A = B dan
sekaligus A ≠ B.
3). Azas tiada jalan tengah, yaitu sesuatu itu pasti memiliki atau tidak
memiliki sifat tertentu. A = B atau A ≠ B, tidak ada kemungkinan lain.
C. Bentuk Silogisme Menyimpang
Dalam logika bentuk-bentuk yang menyimpang itu resminya harus
dikembalikan menjadi bentuk standar. Pertama, penyimpangan dari silogisme
standar dapat terjadi karena orang tidak menggunakan proposisi kategorik
standar.
Contoh :
- Mereka tidak lulus semuanya, karena tidak belajar.
Kamu kan tekun belajar, mengapa kamu mesti takut tidak lulus!
Dalam bentuk standar:
Semua orang yang tidak belajar adalah orang yang tidak lulus.
Kamu bukan orang yang tidak belajar.
Jadi, Kamu bukan orang yang tidak lulus.
Penyimpangan dari bentuk silogisme standar juga dapat terjadi
karena term yang sama dilambnagkan dengan kata-kata yang

19
berbeda sehingga penalarannya kelihatan memiliki lebih dari tiga
term. Misalnya:
Setiap prajurit harus selalu siap bergerak.
Adam itu anggota TNI angkatan darat.
Maka di manapun ia ditempatkan, ia tidak pernah merasa menetap.
Dalam bentuk standar:
Semua prajurit adalah orang yang selalu siap bergerak.
Adam adalah prajurit.
Jadi, (Di manapun ditempatkan) Adam adalah orang yang selalu
siap bergerak.
Penyimpangan dari bentuk silogisme standar juga dapat terjadi
bahwa ungkapan yang sama menunjuk dua term yang berbeda. Ini
terjadi apabila digunakan term ekuivok. Kalau sebuah penalaran
menggunakan term ekuivok, maka jumlah termnya sebenarnya lebih
dari tiga. Hal tersebut merupakan kesesatan karena dalam penalaran
hanya digunakan tiga term. Misalnya:
- Semua warganegara harus membayar pajak. (adalah pembayar
pajak)
- Gelandangan itu warganegara.
- Jadi, Gelandangan itu harus membayar pajak.

D. Hukum Silogisme
Hukum silogisme itu sebagian mengenai unsur term dan sebagian lagi
mengenai unsur proposisi dalam silogisme.
1. Hukum Silogisme mengenai term.
Silogisme itu mempunyai tiga term yaitu S, M, dan P. Maka hukum
silogisme yang pertama dapat dirumuskan:
a. Jumlah term dalam silogisme tidak boleh lebih dari tiga: S-M-P.
Hukum ini adalah rumusan operasional dari prinsip persamaan. M
adalah term pembanding. Hasil dari perbandingan itu ialah S = P atau S
≠ P.

20
b. Term tengah “M” tidak boleh terdapat dalam konklusi.
Hubungan antara term S dan term P dalam konklusi dikrtahui
berdasarkan term M yang terdapat dua kali dalam premis. Kalau kedua
term M itu dua kali tidak berdistribusi, tidak dapat diketahui apakah
kedua term itu meliputi anggota yang sama.
c. Term tengah “M” setidak-tidaknya harus berdistribusi satu klai.
Tidak mungkin konklusi mengatakan sesuatu yang secara implisit
belum terdapat dalam premis. Kesesatan berfikir seperti itu akan terjadi
apabila term S dan/atau P di dalam konklusi lebih luas dibanding term S
dan/atau P dalam premis, artinya di dalam konklusi term S dan/atau P
meliputi anggota yang tidak ditunjuk oleh term S/atau P dalam premis.
d. Term S dan P dalam konklusi tidak boleh lebih luas daripada dalam
premis.
Kesesatan yang melanggar hukum ini bnayak terjadi dan telah
mendapat nama latin Latius hos.
2. Hukum Silogisme mengenai proposisi
Hukum pertama mengenai proposisi dalam silogisme adalah
rumus operasional dari prinsip persamaan. Prinsip ini terdiri atas tuga
anggota berupa tiga proposisi, Dua proposisi afirmatif sebagai premis,
yaitu S = M dan M = P, dan yang ketiga sebagai konklusinya, yaitu S =
P yang juga sebuah proposisi alternatif. Maka hukumnya dapat
dirumuskan demikian:
a. Apabila proposisi di dalam premis afirmatif, maka konklusinya
harus afirmatif.
Menurut prinsip perbedaan, tidak mungkin proposisi-proposisi
dalam premis itu semuanya negatif, salah satu pasti harus afirmatif.
Kalau keduanya negatif, tidak ada term yang berfungsi sebagai term
tengah yang menghubungkan term S dengan P.
b. Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya negatif.
Kecuali dalam premis itu harus yang satu afirmatif dan yang
lain negatif, maka konklusinya pasti negatif. Proposisi afirmatif

21
dipandang sebagaiproposisi yang kuat, sedang proposisi negatif
adalah proposisi yang lemah.
c. Konklusi mengikuti proposisi yang lemah dalam premis.
Kalau di dalam premis ada proposisi partikulir, maka
konklusinya juga harus partikulir sebab penilaian kuat dan lemah itu
juga mengenai kuantitas proposisi. Dalam hal ini proposisi
universal adalah proposisi kuat, sedang proposisi partikulir adalah
proposisi lemah. Bahwa konklusi harus mengikuti bentuk proposisi
partikulir yang terdapat di dalam premis adalah jelas.
d. Proposisi di dalam premis tidak boleh kedua-duanya partikulir,
setidak-tidaknya salah satu harus univeral.
Dua proposisi yang partikulir dalam premis itu kedua-duanya
proposisi afirmatif atau salah satu diantaranya adalah proposisi
negatif.
E. Bentuk, Susunan Dan Modus Silogisme
Secara eksplisit, kita selalu menggunakan bentuk M = P, S = M, jadi S
= P ; tanpa mengingat apakah proposisi maior dan minor itu proposisi A, I, E
tau O. Berbicara tentang susunan silogisme berarti berbicara tentang
kedudukan term M dalam kedua proposisi premis silogisme. Modus silogisme
terbentuk ketika kedua proposisi premis dalam silogisme itu masing-masing
berupa proposisi A, E, I atau O yaitu bentuk proposisi menurut kualitas dan
kuantitasnya. Fungsi proposisi A, I, E dan O sebagai maior dan minor premis
silogisme itulah yang disebut modus silogisme.
F. FUNGSI SILOGISME YANG SAHIH
Sebagai contoh silogisme yang sahih diberikan bentuk susunan I, AII,
artinya : Maior A, minor I dan konklusi I. Bentuk-bentuk silogisme yang sahih
itu diberi nama dengan menggunakan ketiga huruf yang melambnagkan bentuk
proposisi maior, minor dan konklusi tersebut. Yang lebih penting ialah
memperhatikan, bahwa silogisme yang sahih itu menunjukan ciri-ciri tertentu
menurut susunan I, II, III mengenai maior, minor dan konklusinya.
G. Silogisme Dalam Komunikasi Sehari-Hari

22
Dalam komunikasi shari-hari juga banyak terjadi penyimpangan karena
unsur proposisinya hiperlengkap, lebih dari tiga. Silogisme itu disebut sebagai
silogisme tersusun dan dapat berbentuk:
1. Entimema
Banyak silogisme menyimpang karena unsur proposisinya tidak
lengkap atau disebut Entimema. Entimema itu sebagai argumentasi
hanya mempunyai arti kalau proposisi yang tidak dinyatakan secara
eksplisit itu sudah jelas karena memang sudah jelas dengan
sendirinya atau karena merupakan pengetahuan umum atau jelas
dalam konteks komunikasi.
2. Polisilogisme dan Sorites
Bentuk silogisme tersusun yang boleh dibilang standar ialah
polisilogisme. Dalam polisilogisme, silogisme yang pertama
lengkap. Konklusinya kemudian langsung digunakan sebagai
premis silogisme berikutnya begitupun seterusnya. Menurut
bentuknya, sorites itu silogisme yang premisnya lebih dari dua
proposisi. Susunanya ialah ususnan I dan dalam premis yang
berturut-turut itu term predikat dan premis yang sebelumnya
menjadi term subyek dari premis berikutnya.
3. Epikirema
Epikirema yaitu silogisme yang salah satu atau kedua premisnya
disertai dengan sebab, keterangan dan alasan. Contoh :
o Semua arloji baik adalah arloji mahal, karena sukar
pembuatannya.
o Arloji quartz itu arloji baik, karena selalu tepat dan awet.
o Jadi : Arloji quartz itu arloji mahal.

BAGIAN KETIGA : LOGIKA SIMBOLIK

BAB V : LOGIKA PROPOSIONAL


A. Logika Kelas Dan Logika Proposional

23
Sistem logika tradisional dasarnya ialah proposisi kategorik yang
unsur-unsurnya berupa term subyek, term predikat dan kopula, di mana term
subyek dan term predikat itu menunjukan kelas subyek dan kelas predikat.
Kesimpulan ditarik dengan membandingkan keanggotaan kelas subyek dengan
keanggotaan kelas predikat; apakah anggota kelas M termasuk anggota kelas P
dan apakah anggota kelas S termasuk anggota kelas M. Logika yang
didasarkan atas perbandingan kelas itu dalam logika modern disebut Logika
kelas (class logic).
Logika proposional di sini akan dibahas menurut sistemnya dalam
logika simbolik, yang perkembangannya sudah jauh melampaui logika
tradisional. Dalam logika simbolik semua proposisi harus ditulis dengan
lambang karena yang dilambangkan itu makna proposisi, maka bagaimanapu
bunyinya kalimat yang melambnagkan proposisi lambangnya dalam logika
simbolik akan tetap sama asal maknanya tidak berbeda. Maka penting sekali
untuk dapat menulis proposisi dengan lambang-lambangnya yang tepat.
B. TABEL KEBENARAN
1. Negasi
Negasi adalah tabel kebenaran paling sederhana. Dalam negagasi ada
proposisi (p), yang diigkari menjadi ~p.
2. Konyungsi
Konyungsi hanya benar kalau kedua proposisi anggotanya benar,
selain itu mesti salah. Jadi abel kebenaran untuk konyungsi terdiri atas
tiga lajur, dua diantarnya adalah jalur pemandu, yaitu lajur untuk p dan
q. Kedua lajur itu masing-masingharus diisi dengan nilai B dan S begitu
banyak sehingga kemungkinan kombinasi nilai kebenaran antara
proposisi p dan q tercantum di dalamnya. Tabel konyungsi menjadi
seberti berikut:
p q p^q
(1) (2) (3)
B B B
S B S

24
B S S
S S S
Tabel di atas adalah definisi konyungsi menurut fungsi kebenaraan.
3. Disyungsi
Disyungsi adalah benar kalau dan hanya kalau setidka-tidaknya salah
satu dari anggotanya benar. Dengan demikian definisi nya sebagai
berikut:
p q pvq
(1) (2) (3)
B B B
S B B
B S B
S S S
Tabel kebenaran di atas adalah tabel kebenaran untuk disyungsi
inklusif. Mengenai disyungsi eksklusif, disyungsi itu benar hanya kalau
yang benar hanya salah satu saja dari anggotanya. Jadi kalau p benar
dan q benar, maka disyungsinya adalah salh. Jadi untuk disyungsi
eksklusif, baris pertama dari tabel kebenaran di atas harus B-B-S.
4. Implikasi
Tabel kebenaran dari ~(p ^ ~q) dapat disusun dan lajur pemandunya
tetap dua, akan tetapi jumlah lajurnya lima. Berikut tabelnya;
p q ~q p ^ ~q ~(p ^ ~q)
(1) (2) (3) (4) (5)
B B S S B
S B S S B
B S B B S
S S B S B
Pada tabel diatas, aljur tiga diisi nilai B dan S berdasar lajur dua
dengan mengingat ketentuan mengenai negasi. Lajur empat diisi
dengan mengingat ketentuan mengenai konyungsi dan atas dasar lajur
satu dan tiga. Lajur lima diisi berdasarkaan lajur empat dengan
mengingat ketentuan mengenai negasi.

25
Karena ~(p ^ ~q) ≡ (p ⊃ q), maka tabel kebenarannya untuk implikasi
dengan singkat adalh sebagi berikut;
p q p⊃q
(1) (2) (3)
B B B
S B B
B S S
S S B
5. Bi-Implikasi
Jumlah baris dalam tabael kebenaran itu sama dengan jumlah
kemungkinan kombinasi niai kebenaran di antara proposisi-proposisi
dasar yang ber sangkutan. Untuk menghindaari agar janagan sampai
ada kemungkinan kombinasi nilai yang terlupakan, sebaiknya ditempuh
jalan;
a. Lajur pertama diisi dengan ilai B dan S. Ini jumlah baris dari
tabel dengan satu lajur pemandu.
b. Lajur kedua diisi dengan nilai B dan B di belakang nilai B dan
S dari lajur pertama. Kemudian ditambahkan niali S dan S di
lajur keedua, sedang di depannya di lajur pertama ditambahkan
niali B dan S. Inilah jumaha baris dengan nilai-nilai isinya
untuk tabel dengan dua lajaur pemandu.
c. Kalau ada tiga lajur pemandu, dibelakang dua lajur yang sudah
ada ditematkan nilai B empat kali, kemudian epat kali nilai S.
Lajur kedua danpertama diisi ulangan dari isi baris-baris di
atasnya.
d. Kalau ada empat lajur pemandu, dibelakang tiga lajur yang
sudah ada dibuat lajur keempat dengan diisi mula-mula
dengana delapan kali nilai B, kemudian delapan kali nilai S.
Lajur pertama, kedua dan ketiga diisi ulangan dari baris-baris
diatasnya.
e. Dan seterusnya.
C. KEGUNAAN TABEL KEBENARAN

26
Kegunaan tabel kebenaran ialah untuk meneliti apakah berdasarkan
premis-premis dengan nilai kebenaran tertentu, konklusi suatu penalaran itu
benar ataukah salah. Maka dari lajur-lajur pada sebuah tabel kebenaran harus
ditunjuk yang mana premis, yang mana yang konklusi. Pertama yang harus
diperhatikan ialah, bahwa urutan lajur pada tabel kebenaran itu dibuat
meneurut kebutuhan untuk menentukan nilai kebenaran proposisi-proposisi
pada penalaran atau pada proposisi majemuk. Jadi tidak ada kaitan antara
urutan lajur dengan kedudukan proposisi sebagai premis atau konklusi.
D. PENALARAN SEDERHANA
Penalaran sederhanaa atu penalaran elementer mempunyai fungsi
pokok dalam metode deduksi.
1. Konyungsi
Suatu konyungsi hanya enar kalau kedua proposisi yang menjadi
anggotanya p dan q benar. Maka dari kebaran konyungsi p ^ q dapat
langsung disimpulkan kebenaran anggotanya p dan q.
2. Disyungsi
Penalaran disyungtif menyatakan, bahwa salah satu di antara
proposisi-proposisi yang menjadi anggotanya pasti benar. Tidak
dinyatakan apapun tentang proposisi yang lain. Maka kalau salah satu
dari anggota-aggotanya salah, yang lain pasti harus benar.
3. Implikasi
Kalau dalam hal konyungsi benuk penalaran yang paling sederhana iu
ialah simplifikasi, maka dalam hal implikasi, bentuk penalarannya
yang paling sederhana ialah absopsi. Bentuk penalaran ini meskipun
hal sepele, dalam metode deduksi dapat berguna sekali untuk
menjabarkan penalaran yang pajang. Proposisi kondisional
menyatakan bahwa kalau kondisinya terpenuhi, maka yang
dikondisikan tenu ada. Maka jelas dengan sendirinya bahwa kalau
kondisinya terpenuhi, tentu dapat disimpulkan adanya apa yang
dkondisikan.

27
Pada hakekatnya dlema adalah penealaran alternatif : “Kalau
premisnya demikian, konklusinya demkian; sedang kalau premisnya
sepeerti ini, maka koklusinya seperti ini”. Maka untuk menurunkan
konklusi yang benar, dilema harus mencakup semua alternatif yang
mungkin disusun. Alternatif yang tidak terakup akan dapat merupakan
sebuah penalaran lagi yang konklusinya mungkin bertentangan
dengan konklusi yang telah tercapai. Jadi membantah konklusi dilema
yang bersangkutan.
Dilema adalah cara penalaran yang ampuh sekali untk memaksakan
suatu konklusi tertentu. Akan tetapi kecuali semua alteernatif harus
tercakup, juga harus diingat bahwa ada kemungkinan dilema dpat
dilupuhkan dengan restorasi, yaitu dengan cara membaliknya.
Bentuk-bentuk penalaaran sederhana di atas dapa ditambah dengan
yang lain-lain lagi. Tidak semuanya sama pentingnya untuk metode
deduksi, akan tetapi setidak-tidaknya yang terpenting sudah terdapat
di antaranya.

28
E. EKUIVALENSI
Ekuivalaensi di sini ialah ekuivalensi logika. Di antara dua proporsisi
ada ekuivalensi logika kalau kedua-duanya memiliki nilai kebenaran yang
sama: kedua-duannya sama-sama benar atau sama-sama salah. Syaarat
ekuivalensi logika persis sama dengan bi-implikasi. Maka dua proposisi yang
saling beerhubungan dengan perakit bi-implikasi adalah dua proposisi yang
ekuivalen. Bila kebenaran ekuivalensi itu diragukan, selalu dapat digunakan
tabel kebenaran untuk menelitinya.
F. TAUTOLOGI
Salah satu dari ekuivalen di atas ialah eksportasi. Kalau eksportasi
tersebut diteliti dengan tabel kebenaran, tabelnya adalah seperti berikut;
P q r p^q (p ^ q) ⊃ r q⊃r p⊃(q⊃r) (5 ) = (7)
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
B B B B B B B B
S B B S B B B B
B S B S B B B B
S S B S B B B B
B B S B S S S B
S B S S B S B B
B S S S B B B B
S S S S B B B B
Pada tabel di atas tampak, bahwa suatu eksplortasi itu selalu benar, nilai
kebenar annya selalu benar. Proposisi majemuk yang selalu benar tanpa
ada pengaaruh dari kombinasi niai-nilai kebenaraan dari proposisi tunggal yang
menjadi anggotanya, disebut tautologi.
Tautologi itu amat penting untuk logika, sebab semua penalaran yang
sahih tertentu suatu tautologi, dan setiap tauatologi pasti sahih. Justru yanag
disebut penalaaran yang sahih itu ialah penalaran yang kalau premis-
premisnya tersusun menurut pola terteneu, konklusinya tidak boleh tidak pasti
benar. Dan setiap penalaran itu dapat diberi bentuk sebeagaai proposisi
kondisionalm yang antesedennyaa terdiri atas konyungsi dari proposisi-

29
proposisi premisnya, sedang konklusinya menjadi konsensus yang
dihubungkana dengan antarsedennya oleh perakit kondisional atau implikasi.

G. METODE DEDUKSI
Semua uraian tentang logika proposisional akhirnya bertujuan untuk
menerangkan bagaimana caranya meneliti suatu penalaran dengan metode
tabel kebenaran. Tabel kebenaran merupakan instrumen pokok untuk meneliti
apakah suatu penalaran itu sahih atau tidak. Metode deduksi merupakan jalan
singkat, yang tidak menjabarakn suatu penalaran sampai kepada tabel
kebenaran, akan tetapi hanya sampai kepada bentuk-bentuk penalaran
sederhana, ekuivalensi dan tautologi, yang sudah jelas-jelas sahih. Jadi, tujan
akhir dari sistem logika proposisionala adalah menerangkan bagaimana
carannya meneliti sahih-tidaknya penalaran dengan menggunakan metode
deduksi.
Metode deduksi itu mengandung kesulitan yang tidak dapat dihindari,
Bagaimana car untuk mengetahui bahwa kita harus menggunakan bentuk
penalran tertentu. Ini harus ditemukan dengan intuisidengan memperhatikan
premis-premis yang ada. Maka adaa kemungkinan bahwa orang yang satu
melihat prosedur deduksi tertentu, sedang orang yang lain melihat prosedur
yang berbeda.

30
Secara sederhana kita dapat berpegang kepada sejumlah prinsp-prinsip
yang siap pakai berupa bentuk-bentuk penalaran sederhana, ekuivalen dan
tautologi. Meskipun jumlahnya agak banyak, di dalaam praktek akan terbukti
prinsip-prinsip yang mana yang banyak diperlukan.
H. PENALARAN TIDAK SAHIH
Metode deduksi seperti di atas hanya dapa digunakan utuk
membuktikan bahwa apenalaran itu sahih. Akan tetapi apabila kita tidak
berhasil menerapkan prosedur deduksi, itu tidak berarti bahwa sesuatu
penalaran itu tidak sahih. Sudah tentu kita dapat menyusun tabel kebenaran
dari penalaran yang bersangutan dan melihat apakah ada konklusi yang salah
sedang premis-premisnya benar, jadi sebuah baris dengan susunan nlai B, B,
S. Ambilah contoh penalaran berikut:
[( p ⊃ q ) ^ ( r ⊃ q )] ⊃ ( p ⊃ r )
p q r p⊃q r⊃q p⊃q (p⊃q)^(r⊃q) ⊃ q ) ^ ( r ⊃ q )] ⊃ ( p ⊃ r )

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)


B B B B B B B B
S B B B B B B B
B S B S S B S B
S S B B S B S B
B B S B B S B S
S B S B B B B B
B S S S B S S B
S S S B B B B B
Dari tabel di atas ternyata bahwa konklusi dari penalaran [( p ⊃ q ) ^ ( r ⊃ q )]
⊃ ( p ⊃ r ) itu biasanya benar, akan tetapi juga dapat salah, yang berarti bahwa
bentuknya tidak sahih.
Berdasarkan definisi penalaaran, dapatlah dipastikan bahwa suatu
penalaran itu tidak sahih kalau konklusinya salah, sedang premis-premisnya
benar.
Proposisi dasar yang terdapat dalam penealaran ini iala p, q, dan r.
Berdasaarkan tabel kebearan untuk implikasi dapat diketaui bahwa p ⊃ q

31
adalah salah, kalau niai p benar dan r salah. Selanjutnya berdasarkan tabel yang
sama kita ketaui, bahwa p ⊃ q itu benar kalu nilai q benar. Demikian juga r ⊃
q adalah benar kalau nilai q benar. Dengan demikian diketemukanlah nilai-nilai
untuk p, q, dan r, yaitu masing-masing B, B, dan S. Nilai-nilai ini sam dengan
yag tercantum pada baris kelima tabel di atas. Dengan demikian tanpa harus
membuat tabel kebenaran yang lengkap kita bisa ketahui, bahwa proposisi-
proposisi dasar itu dapat digunakan untuk menyusun penalaran yang
konklusinya salah, sedang premis-premisnya benar. Dengan demikian
terbuktilah bahwa penalaran diats tidak sahih.
I. KONTRADIKSI
p^ ~p adalah suatu kontradiksi, kalu yang satu benar, yang lain salah
dan sebaliknya. Tidak mngkin kedua-duanya bersama-sama benar atau salah.
Apabila premis-premis suatu penalaran itu di antaranya ada yang mengandung
kontradiksi, maka secar sahihdapat diturunkan konklusi yang benar apa saja.
Jadi premis p dan ~p dapat disimpulkan, misalnya ~p, p, q, r, s dan seterusnya.
Adalah suatu penghinaan terhadaplogika dan akal yang sehat bahwa dari suatu
kontradiksi dapat ditarik konklusi sekehendak orang, yang berati bahwa setiap
proposisi dapat dibenaarkan berdasarkan premis-premis yang kontra diktif.

BAB VI: LOGIKA KUANTIFIKASIONAL


A. FUNGSI PROPORSIONAL DAN INSTANSI
Baik logika tradisional maupun logika proposisional merupakan sistem
untuk menganalisa dan megkonstruksikan penalarana-penalaran yang
berbentuk silogisme aau dapat dikembalikan kepada bentuk silogisme. Akan
tetapi ada penalaran-penalaaran a-siogistik, yaitu yang tidak dapat
dikembalikan kepada bentuk silogisme. Sebaliknya logika kuantifikasional
dapat diterapkan untuk penalaran yang a-silogistik maupun yang silogistik,

32
baik yang erbentuk silogisme kategorik. Kuantifikasi itu didasarkan atas
pengertian fungsi proposisional.
B. KUANTIFIKASI DAN GENERALSASI
Instanasiasi itu selalu berupa proposisi singular. Dari fungsi
proposisional tidak hanya dapat dibentuk proporsisi singular, akan tetapi juga
dapat dibentuk proporsisi partikular dan universal. Maka pembentukan
proposisi partitkular atau universal dari fungsi proporsional itu disebut
generalisasi.
C. MEMBATASI LINGKUP PEMBICARAAN
Untuk mengindari salah tangkap tetang liputan lingkup pembicaraan
itu, maka dalm logika kuantifikasional liputan lingkup itu diambil seluas
mungkin, meliputi apa saja, segala sesuatu. Apa saja atau segala sesuatu iniah
yang dilambangkan dengan huruf x. Karena liputan lingkup itu biasanya sudah
jelas daari konteks, dengan menggunakan lambang x itu dalamlogika
kuntifikasional terjadilah perluasan liputan, yang membuat proposisi menjadi
lebih kompleks. Perluasan itu dinyatakan dengan tegas dengan rumus
‘Ada/Segala sesuatu demikian rupa, sehingga...’.
Jelaslah bahwa dengan adanya penyempitan atau pembataasan liputan
lingkup pembicarn ada dua keuntungan yang dapat diapai:
1. Lambang proposisi menjadi lebih sedrhana.
2. Struktur proposisi menjadi lebih jelas.
Kalau pembatasan itu dilakukan secara tepat, tidak akan menyebabkan makna
proposisi menjadi kurang jelas.
D. KUANTIFIKASI GANDA
Dalam lingkup kuantifikasi tidak terdapat bilangan lagi. Kuantifikasi
yang demikian itu disebut kuantifikasi tunggal. Kuantifikasai yang dalam
lingkupnya terdapat bilangan lagi disebut kuantifikasi ganda. Kuanatifikasi
juga menjadi lebih kompleks kalau jumah variabelnya lebih dari satu. Kalau
lingkupnya terbatas, akan tetapi, dan seterusnya, cara melambangkannya
menjadi kompleks. Karena kompleksnya dan rumitnya kuantifikasi,
sebaliknya sebagai perulaan kita berpegang erat kepada maknaa proposisi

33
dalam bentuk kalimatnya. Berdasarkan makna itu kita melangkah sebagai
berikut :
1. Kita tentukan fungsi-fungsi yang terdapat dan diperlukan untuk
menangkap makna proposisi.misalnya dalam proposisi ‘ Setiap orang
tentu bersalah terhadap orang lain”, fungsi-fungsi itu adalah Ox
(orang) ; Oy (orang lain) ; Bxy (orang bersalh terhadap orang lain).
Bxy ditaruh paling belakang, karena Ox dan Oy harus diketahui lebih
dahulu selum dapat diketahui Bxy.
2. Kemudian kita tentukan bilangan (quantifier) yang diperlukan oleh
fung-fungsi itu menurut makna kalimatnya. Dalam contoh diatas, Ox
menjadi (x) Ox dan Oy menjadi (з y ) Oy, karena masing-masing
menunjuk setiap orang dan setidak-tidaknya satu orang. Bxy tidak
memrlukan bilangan.
3. Akhirnya komponen-komponen proposisi itu dijadikan sebuah
proposisi dengan menghubungkan yang satu dengan yang lain dengan
menggunakan tanda perakit ᴠ, ᴧ, ᴝ, ≡.
Dari paragraph VI.B bagian akhir, jelaslah nahwa dibekang kuantifikasi
universal digunakan perakit implikasi ᴝ. Dan di belakang kuantifikasi
ekstensial perakit kongyungsi ᴧ. Dengan mengikuti petuntuk diatas, proposisi
‘setiap orang tentu pernah bersalah terhadap orang lain’, harus ditulis :
(x) [Ox ᴝ (з y) (Oy ᴧ Bxy)]
Proposisi ‘Ada orang yang bersalah terhadap orang lain’ ditulis ;
(зx) [Ox ᴧ (зy) (Oy ᴧ By)]

E. PRINSIP-PRINSIP KUANTIFIKASIONAL
Dariteori kuantifikasi seperti diuraikan diatas diturunkan sejumlah
prinsip yang dapat dijadikan instrument untuk mebeliti apakah sesuatu
penalaran itu sahih atau tidak. Prinsip-prinsip itu sebagian berupa ekuivelasi
dan ada masing-masing dua yang berhubungan dengan instansi dan
generalisasi.
1. Ekuivalensi Kuantifikasional

34
Proposisi ‘Semua manusia dapat berfikir’ berlawanan secara
kontradiktorik dengan negasinya : ‘Tidak semua orang tidak dapat berfikir’
makan negasi dan proposisi yang pertama adalah ekuivalen dengan
proposisi yang kedua dan sebaliknya proposisi pertama dilambangkan (x)
Bx, sedang yang kedua, negasinya; (зx) ~ Bx. Kalau lambing B itu diganti
dengan variable ɸ, maka ekuivalensi itu lambangnya menjadi :
~ (x) ɸ x ≡ (з x) ~ ɸ x dan sebaliknya
(x) ɸ x ≡ ~ (з x) ~ ɸ x
Juga proposisi ‘Semua manusia tidak dapat berfikir’ berlawanan secara
kontradiktorok dengan negasinya: ‘Tidak semua manusia dapat berfikir’.
Dari sini diperoleh ekuivalensi sebagai berikut:
~ (x) ~ ɸ x ≡ (з x) ~ ɸ x dan
(x) ~ ɸ x ≡ ~ (з x) ~ ɸ x
Dirumuskan dengan kata-kata prinsip-prinsip tersebut menjadi demikian:
1. Dua proposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama, kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan universal, sedang di
proposisi yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di ikuti oleh
tanda negasi.
2. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama ,
kecuali bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan eksistensial,
sedang proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di ikuti
oleh tanda negasi.
3. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama , kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan universa di dahului tanda
negasi, sedang proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di
ikuti oleh tanda negasi.
4. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama , kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan ueksistensial di dahului
tanda negasi, sedang proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului
dan di ikuti oleh tanda negasi.
2. Instansi

35
Kalau proposisi ‘Semua manusia dapat mati’ itu benar, maka dapat
disimpulkan naha ‘Adam pun dapat mati’. Kesimpulan itu didasaran atas
konsep ‘distribusi’ Aristoteles dalam logika tradisional merupakan contoh
penerapan prinsip ‘dictum de omni’ .
Prinsip yang sama dalam logika kuantifkasional dirumuskan sebagai
berikut: Dari setiap kuantifikasi universal secara sahih dapat disimpulkan
setiap instansinya.
Proposisi ‘Adam dapat mati’ adalah instansi dari kuantifikasi universal
‘Setiap orang dapat mati’. Prinsip ini dalam logika kuantifikasional disbut
prinsip instansiasi universal. Disingkat IU. Disamping instansiasi universal
ada prinsip ekssistensial, disingkat IE. Sebuah kuantifikasi eksistensial,
misalnya ‘Ada pencuri’, adalah benar kalau setidak-tidaknya ada pencuri.
Apabila terdapat seorang individu, misalnya Adam. Dan kepadanya dapat
diterapkan predikat ‘pencuri’ maka proposisi ‘Ada pencuri’ adalah benar.
‘Adam’ adalah subsitusi individual dari ‘Ada orang’, dan proposisi ‘Adam
adalah pencuri’ adalah instansial dari proposisi eksistensial ‘Ada pencuri’.
Prinsip instansiasi eksistensial itu dapat dirumuskan demikian :
Dari setiap kuantifikasi eksistensial dapat secara sahih disimpulkan
setiap instansiasinya, asal lambing konstanta individual itu sebelum
digunakan dalam penalaran yang sama.
3. Generalisasi
Prinsip instansiasi sebenarnya adalah penalaran yang amat sederhana,
yang menyimpulkan suatu proposisi singular yang berupa kuntifikasi
universaldan kuantifikasi eksistensial. Sebalikanya dari proposisi singular,
dengan syarat-syarat tertentu, juga dapat disimpulkan baik kuantifikasi
universalmaupun kuantifikasi eksistential. Penalaran sederhana ynag
demikian itu disebut generalisasi. Ada generalisai universal gan
generalisasi eksistensial.
Generalisasi universal
Kalau ‘Semua orang dapat mati’ itu benar, maka juga benar bahwa
‘Setiap orang dapat mati’/ ini suatu instansiasi universal, IU. ‘Setiap

36
orang’ itu berarti ‘Orang yang manapun’, ‘orang tanpa pandnag bulu’,
‘asal orang’. Jas=di setiap instansiasi dari suatu kuantifikasi universalnya,
asal individu yang dimaksud dalam proposisi singular itu individu yang
dipilih tanpa pandang bulu. Yang harus dimintakan perhatian ialah, bahwa
generalisai universal (GU) itu disiimpulkan dari adanya IU, seperti
dijelaskan diatas. Maka penggunaannya dalam suatu pembuktian harus
didahului dengan IU.
Generalisasi eksistensial
Prinsip generalisasi eksistensial adalah penalaran sederhana yang
didasarkan kebenaran proposisi singular secara sahih menyimpulkan
kuantifikasi eksistensialnya. Sebuah kuantifikasi eksistensial, misalnya :
‘Tidak semua pegawai itu jujur’, adalah benar atau setidaknya ada seorang
pegawai yang jujur. Maka proposisi singular ‘Pegawai A itu jujur’, dapat
disimpulkan bahwa ‘Tidak semua atau sebagian pegawai atau setidak-
tidaknya seoran pegai itu jujur’.

F. DEDUKSI KUANTIFIKASIONAL
System lambing kuantifikasional dapat digunakan untuk melambangkan
proposisi majemuk, nahkan dengan cara yang lebih telit, karena juga
melambangkan bilangan atau individu yang terdapat di dalam proposisi.
Contoh ;
Kalau Adam minum obat, itu tandanya ia sakit : Oa ᴝ Sa.
Kalau orang minum obat, ia tentu sakit : (з x ) (Ox ᴝ Sx)
Akan tetapi system lambing kuantifikasionla lebih luwes daripada
system lambing proposional, karena juga dapat digunakan untuk
melambangkan proposisi kategorik tunggal,
Contoh ;
Adam adalah pelajar ; Pa
Semua oaring perlu makan : (x) (Ox ᴝ Mx)
Ada orang yang tidak dapat membaca ; (з x) (Ox ᴧ ~ Mx)

37
Jelaslah bahwa dalam system lambing kuantifikasional logika silogisme
kategorik dan logika proposisional telah menjadi satu. Kesatuan itu tidak hanya
mengenai system penulisannya dalam bentuk lambing saja. Akan tetapi juga
mengenai system logikannya sendiri. Artinya, dalam logika kuantifikasional
cara yang sma digunakan untuk meneliti sahih atau tidaknya silogisme
kategirik maupun penalaran proposisional.
Cara yang digunakan itu ialah dengan membuat penalaran kuantifikasional
itu menjadi penalaran proposisional. Dengan demikian semua prinsip penalaran
proposisional dapat dimanfaatkan, ditambah lagi dengan prinsip-prinsip
kuantifikasional.
Kesulitan hanya timbul, karena adanya lambing bilangan da tanda-tanda
kurung pada lambing kuantifikasional. Ini merintangi penggunaan prinsip-
prinsip proposisional. Akan tetapi kesulitan itu dapat diatasi dengan
menggunakan prinsip instansi. Dengan cara demikian maka dalam logika
kuantifikasional penalitian penalaran menjadi suatu deduksi, deduksi
kuantifikasional, yang bedanya dengan deduksi proposisional karena
didalamnya digunakan prinsip isntansiasi, prinsip generalisai dan ekuivalensi
kuantifikasional.

G. PEMBUKTIAN DENGAN MENGGUNAKAN ANTI ARGUMEN


Membukatiakn bahwa suatu penalaran kuantifikasional itu sahih
dengan cara deduksi seperti diatas, dapat di sebut metode langsung. Ada
metode lain yang sederhana dan juga banyak yang digunakan, yaitu dnegan
cara mendeduksikan suatu kontradiksi anti-argumen. Metode ini adalah metode
tidak langsung. Maksudnya adalah sebagai berikut:
Contoh penalaran:
Semua A adalah B dengan lambang (x) (Ax ᴝ Bx)
Beberapa C adalah A dengan lambang (з x) (Cx ᴧ Ax)
Beberapa C adalah B dengan lambang (з x) (Cx ᴧ Bx)

38
Dalam bentuk bahasa penalaran itu jelas sahih. Dalam bentuk hal itu
tidak begitu saja jelas. Bagaiman membuktikannya? Penaaran itu sahih kalau
premis-primisnya benar dan konklusinya benar pula. Tidak mungkin premis-
premis yang sama menghasilkan konklusi yang salah. Jadi kalau penalaran
diatas sahih, maka penalaran dibawah ini adalah tidak sahih.
(x) (Ax ᴝ Bx)
(з x) (Cx ᴧ Ax)
~ (з x) (Cx ᴧ Bx)
Penalaran ini disebut anti-argumen dari penalaran asli diatas. Kalau dapat
dibuktikan bahwa antiargumen itu tidak sahih, makan itu berarti bahwa
penalaran aslinya sahih.
Bagaiman cara membuktikan bahwa argument tidak sahih?. Kalau anti-
argumen itu merupakan satu kontradiksi. Dan ini dapat dibuktikan kalau anti-
argumen ini merupakan suatu kontradiksi. Dan ini dapat dibuktika kalau dari
argument itu dapat di deduksikan secara sahih suatu proposisi yang jelas-jelas
suatu kontradiksi, dengan bentuk p ᴧ ~ p. itulah artinya mendeduksikan suatu
kontradiksi dari anti-argumen.
Deduksi itu dilaksanakan dengan menyusun penalaran yang bersangkutan
menjadi sebuah proposisi, yang premis dan konklusinya dijadikan satu
konyungsi. Proposisi inilah yang dijadikan premis dalam deduksi itu.

39
H. MENENTUKAN PENALARAN TIDAK SAHIH
Dengan metode deduksi, baik yang langsung maupun tidak
langsung, hanya dapat dibuktikan bahwa suatu penalaran itu sahih. Tidak dapat
dibuktikan bahwa penalaran itu tidak sahih. Kalau kita tidak dapat
membuktikan bahwa suatu penalaran itu sahih, belum tentu penalaran itu tidak
sahih. Mungkin deduksi kita tidak tepat, mungkin kita yang tidak mampu
menemukan pembuktiannya. Belum tentu penalaran itu tidak sahih, kalu kita
tidak berhasil mendeduksikan suatu kontradiksi dari anti-argumen.
Maka untuk menbuktikan penalaran itu tidak sahih harus dibuktikan
bahwa konklusinya salah, meskipun premisnya benar. Atau secara tidak
langsung, bahwa negasi dari konklusinya adalah benar. Cara yang sederhana
untuk mebuktikan bahwa penalaran itu tidak sahih ialah dengan menggunakan
metode aalogi. Denagn menggunakan contoh :
Semua orang PKI tidak setuju Orde Batu
Ada sarjana yang tidak setuju dengan Orde Baru
Jadi : Ada sarjana yang PKI
Penalaran itu kita ubah dengan penegrtian lain ;
Semua buku membuat murid pandai.
Ada guru yang mebuat murid pandai.
Jadi : Ada guru yang buku
Penalaran baru ini jelas primis-premisnya benar, sedangkan konklusinya salah.
Jadi terbukti bahwa bentuk penalaran diatas tidak menjamin suatu konklusi
yang benar, meskipun premis-premisnya benar. Dengan kata lain: penalaran
diatas tidak sahih.
I. PENALARAN A-SILOGISTIK
Emmanuel Kant (1724-1804) pernah menyatakan bahwa sitem logika
Aristoteles tidak dapat diperbaiki lagi. Akan tetapi Augustus De Morgan
(1806-1871), salah seorang pelopor Logika Modern, melihat bahwa dengan
logika Aristoteles itu tidak dapat dibuktikan kebenaran penalaran bahwa ;

40
Karena kuda itu binatang,
maka kepala kuda adalah kepala binatang.
Pembuktiannya terpaksa menunggu sampai berkembangnya logika
kuantifikasional. Dari apa yang sudah dijelaskan tentang logika
kuantifikasional terbukti logika kuantifikasional itu dapat digunakan untuk
menggarap penlaran yang berbentuk silogisme, baik silogisme kategorik
maupun silogisme hipotetik. Disamping itu seperti Nampak pda contoh-contoh
dan soal-soal latihan, penalaran pun dapat diteliti dengan system logika
kuantifikasional. Bakan juga daoat digunakan itunk meneliti proposisi biasa.
Penalaran tentang kepala kuda diatas bentuknya a-silogistik, sehingga
tidak dapat dibuktikan menggunakan system logika Aristoteles yang engenai
silogisme. Meskipun penalaran tersebut dapat disebut penalan langsung, akan
tetapi bukan pembalikan atau perlawanan, sehingga disini logika aristoteles
tidak dapat diterapkan. Untuk membuktikan menurut system logika
kuantifikasional bahwa penalaran tentang kepala kuda itu sahih, kesukaran
yang harus dihadapi hanyalah untuk menyusunny menjadi bnetuk lambang.
Sekali penalaran itu berhasil disalin ke dalam bentuk lambang yang tepat,
pembuktiannya hanya menerapkan prinsip-prinsip yang berlaku.

BAB VII: LOGIKA INDUKTIF


A. INDUKSI
Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan
sederhananya, berjudul The Method of Science'", Thomas Henry Huxley (1825-
1895) menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:")
"Anggaplah kita mengunjungi buah-buahan ambil sebuah, dan ketika
mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu warung buah-buahan
karena ingin membeli apel. Kita dan terbukti bahwa apel itu keras dan hijau. Kita
ambil sebuah yang lain. Itu pun keras hijau, dan masam. Si pedagang menawarkan
apel ketiga. Akan tetapi sebelum mencicipinya, kita memperhatikannya dan
terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan seketika itu kita beritahukan,

41
bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang itu pun pasti masam, seperti lain-
lainnya yang sudah kita cicipi".
Jalan fikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan untuk
tidalk membeli apel, ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses induksi itu
sebagai berikut: "Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan yang disebut
induksi. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali pengalaman sifat keras dan
hijau pada apel itu selalu bersama-sama dengan sifat masam. Demikianlah pada
peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat dalam peristiwa yang kedua. Memang
itu dasar yang amat sempit, akan tetapi sudah cukup untuk dijadikan dasar
induksi: kedua fakta itu kita generalisasikan dan kita percaya akan berjumpa
dengan rasa masam pada apel, bila kita temui sifat keras dan hijau. Dan ini suatu
induksi yang tepat. "
Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel ketiga,
penalaran induktif itu diikuti oleh penalaran deduktif.
"Nah, sesudah dengan demikian kita menemukan hukum alam, ketika
kita ditawari apel lain yang terbukti keras dan hijau, kita berkata: 'Semua apel
yang keras dan hijau itu masam; apel ini keras dan hijau, jadi apel ini masam".
Jalan fikiran inilah yang oleh ahli logika disebut silogisme..." Kalau dirumuskan
secara formal, penalaran diatas menurut Huxley adalah demikian:
- Induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
- Deduksi :
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau
Apel 3 adalah masam.
Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses
peningkatar dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal
(a passage from individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-

42
proposisi singular sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku
secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi.
Akan tetapi penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam
bentuk sebagai berikut:
- Induksi
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri dari indüksi
Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang langsung
kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic statement).
Seperti sudah diterangkan di depan (paragraf 1.2), proposisi dasar menunjuk
kepada fakta, yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan tangkapan
indera. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-tidaknya fakta, akan tetapi
hanya dapat menerimanya wa apel 1 itu keras, hijau, dan masam, hanya
inderalah yang dapat menangkapnya. Sekali indera mengatakan demikian,
pikiran tinggal menerimanya.
Kedua, konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang
dinyatakan didalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya mengatakan
bahwa masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis penalaran. Menurut
kaidah- konklusinya 132 keras, hijau dan masam itu hanya dua, apel 1 dan 2.
Itulah yang diobservasi dan it yang dirumuskan di dalam premis-premis itu.
Kalau dikatakan, bahwa juga apeld logika, penalaran itu tidak sahih; pikiran
tidakerikat untuk menerima kebenaran konklusinya.
Ketiga: meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi
manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk
menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat dipercaya
kebenarannya atau dengan perkataan lain: konklusi induksi itu memiliki
kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional disebut probabilitas. Probabilitas itu
didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu menurut pengalaman

43
biasanya cocok dengan observasi indera, tidak mesti harus cocok Kecuali
kedua jenis di atas masih ada induksi-induksi jenis lain, yang akan dibahas
dalam bab ini. Mengingat pentingnya induksi dalam metode keilmuan dewasa
ini, terlebih dahulu kita sisipkan sedikit penjelasan tentang kedudukan logika
dalam metode keilmuan.

B. LOGIKA DALAM METODE ILMU PENGETAHUAN


Dalam "The method of Science", Th. H. Huxley menulis tentang hal
ini: "Metode penelitian ilmu pengerahuan tidak lain daripada rumusan cara kerja
yang mutiak dari budi manusia. Metode itu hanya cara yang biasa untuk menelaah
semua fenomena, yang telah ditingkatkan, sehingga menjadi tepat dan tegas.
Perbedaannya tidak lebih dari itu, akan tetapi justru di situ ada perbedaan
semacam yang terdapat di antara apa yang dikerjakan oleh seorang ilmuwan dan
orang biasa, seperti diantara pekerjaan dan cara-cara tukang roti atau seorang
jagal, yang menimbang bahan-bahannya dengan menggunakan timbangan biasa
dan pekerjaan seorang ahli kimia, yang mengadakan analisa yang sukar dan
kompleks dengan menggunakan balans dan bobot-bobot yang terperinci dengan
sangat teliti. Soalnya bukan karena cara kerjanya timbangan dan balans itu
berbeda prinsip konstruksi dan prinsip kerjanya, akan tetapi yang satu bahunya
dipasang di atas as yang jauh lebih halus daripada yang lain, dan dengan
sendirinya bergerak kalau ditambah bobot yang jauh lebih kecil".
Menurut rekonstruksi formal Huxley, penalaran itu terdiri atas dua
tahap: tahap induksi berdasarkan observasi dua apel keras, hijau, dan masam
dengan kesimpulan bahwa semua apel keras dan hijau itu masam. Hal yang sama
terjadi dalam proses ilmu pengetahuan, tetapi observasinya dengan teliti sekali.
Dalam ilmu pengetahuan alam, misalnya, dengan menggunakan alat seperti
mikroskop, timbangan dan takaran yang teliti, dalam ilmu sosial dengan
menggunakan daftar pertanyaan, menentukan kondisi setiap orang yang ditanyai
(responden): umurnya, pekerjaannya, agamanya, dan sebagainya. Melalui induksi,
kesimpulannya dapat berupa hukum, kalau diperkirakan tidak akan pernah
terbantah oleh observasi lain; atau teori kalau kiranya berlakunya harus memenuhi

44
syarat-syarat tertentu. Kalau dasar observasi dianggap masih kurang kuat,
konklusinya dapat.
Tahap kedua dalam rekonstruksi penalaran calon pembeli apel menurut
alah, penerapan hukum alam (bahwa semua apel keras dan hijau itu masam) pada
uatu keadaan tertentu, yaitu apel 3 yang keras dan hijau. Penalaran ini suatu
deduksi. Hal yang sama terjadi dalam proses ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
meramalkan atau membuat prediksi, bahwa hukum, teori, atau hipotesa itu akan
berlaku untuk semua kondisi yang sama seperti yang diobservasi terlebih da
menghasilkan hukum, teori atau hipotesa itu. Ini penalaran deduktif.

C. GENERALISASI INDUKTIF
1. Syarat-syarat generalisasi
Sudah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi
yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu
disebut generalisasi. Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu
dapat dirumuskan demikian Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi
tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama
terpenuhi. Dua kali kita jumpai apel yang masam dalam kondisi keras dan
hijau. Maka ketika melihat apel ketiga memenuhi kondisi keras dan hijau, kita
menyimpulkan, bahwa dapat diharapkan apel itu pun akan masam rasanya.
Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena seperti
dikatakan di atas, konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai
kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu
peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalis
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: 'Semua
apel keras dan hijau, rasanya masam'; 'Semua logam yang dipanasi memuai',
yang Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai
berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya, generalisasi
tidak boleh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa "Semua

45
A adalah B', maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A.
Proposisi itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi
kondisi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak
boleh terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan
kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian Yang dimaksud
dengan 'dasar pengandaian' di sini ialah: dasar dari yang disebut contrary-
to-facts conditionals' atau 'unfulfilled conditionals'. Contohnya yang jelas
sebagai berikut:
Faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: Semua A adalah B.
2. Bentuk generalisasi
Induktif Logika menganalisa dan merekonstruksikan penalaran. Dalam
logika deduktif hasil usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi
yang sahih, yaitu bentuk deduksi, yang kalau premis-premisnya benar,
konklusinya tentu juga benar. Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang
mempunyai nilai kebenaran yang pasti. Yang, ada hanya konklusi dengan
probabilitas rendah atau tinggi. Maka hasil usaha analisa dan rekonstruksi
penalaran induktif itu hanya berupa ketentuan- ketentuan mengenai bentuk
induksi yang menjamin konklusi dengan probabilitas setinggi-tingginya.
Tinggi-rendahnya probabilitas konklusi itu dipengaruhi oleh sejumlah faktor
yang disebut faktor-faktor probabilitas.
Semua enam penalaran generalisasi induktif di atas konklusinya sama,
yaitu: sem apel keras dan hijau itu rasanya masam. Akan tetapi jelaslah bahwa
pikiran kita lebib mudah mengakui kebenaran konklusi penalaran yang satu
daripada kebena konklusi penalaran yang lain. Dengan lain perkataan:
konklusi-konklus berbeda-beda kredibilitas rasionalnya atau probabilitasnya.
Apa yang menyebabkar perbedaan probabilitas itu ialah faktor-faktor
probabilitasnya ua ran Kalau konklusi dari induksi (3) dibandingkan dengan
konklusi (2), maka jelas konklusi induksi (3) lebih tinggi probabilitasnya. Kita

46
lebih dapat menerima kebenarannya daripada kebenaran konklusi induksi (2)
Kalau kita cari sebabnya mengapa pikiran kita lebih dapat menerima konklusi
induksi (3) sebab yang dapat 15 fakta, sed ditunjuk ialah: karena induksi (3)
premis-premisnya menunjuk induksi (2) hanya 3 fakta. Induksi (1) premisnya
hanya mengenai satu fakta saja dan kita cenderung untuk meragukan kebenaran
konklusinya, artinya: probabilitasnya amat rendah.
Dari perbandingan-perbandingan di atas kita menemukan: faktor
probabilitas yang pertama, yaitu: jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
induktif dan kaidahnya yang dapat dirumuskan demikian: makin besar jumlah
fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi probabilitas
konklusinya, dansebaliknya.
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk menambah
pengetahuan ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan sebanyak
mungkin fakta sebagai dasar penalarannya. Yang ideal ialah kalau semua fakta
dapat dirumuskan sebagai premi mlah dari semua subyek yang ditunjuk oleh
konklusi yang berupa generalisasi da erbentuk proposisi universal itu dalam
rangka penelitian disebut populasi. Yang dimaksud dengan induksi' dalam
logika bukan induksi lengkap, akan tetapi induksi tak lengkap atau induksi
ampliatif (ampliative atau incomplete induction), yang konklusinya suatu
probabilitas. Meskipun dikatakan bahwa induksi lengkap yang digunakan
dalam metode sensus itu menghasilkan suatu konklusi yang pasti, akan tetapi
kalau metode sensus itu diterapkan untuk populasi yang besar, mudah sekali
terjadi ketidaktelitian: ada anggota populasi yang tercecer, atau ada anggota
yang dihitung dua kali dan karena sensus memerlukan banyak petugas, mudah
terjadi bahwa data yang dihasilkan oleh etugas yang satu tidak sama nilainya
dengan yang dikumpulkan oleh petugas yang ain. Karena ketidaktelitian ini,
maka hasil sensus pun biasanya juga suatu probabilitas.
D. ANALOGI INDUKTIF
1. Analogi sebagai dasar induksi
Analogi' dalam bahasa Indonesia ialah kias' (Arab: asamengukur,
bandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal

47
yang erlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu
dibandingkan satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan,
orang mencari samaan dan perbedaan di antara hal-hal yang
diperbandingkan. Kalau lembu andingkan dengan kerbau, maka kedua-
duanya adalah binatang, akan tetapi yang rbeda dengan yang lain mengenai
besarnya, warnanya dan sebagainya. Sarno ian Sarni kedua-duanya adalah
anak pak Sastro, akan tetapi Sarno laki-laki, Sari rempuan, Sarno berumur
15 tahun, Sarni 10 tahun dan seterusnya. Kalau dalam perbandingan itu
orang hanya memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat rbedaannya,
timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda Sehat adalah
kondisi badan yang baik. Jamu adalah sarana untuk memelihara kondisi
badan yang baik atau kesehatan. Maka jamupun disebut sehat, karena
adanya rsamaan den gan kondisi badan yang baik, meskipun sehatnya badan
lain daripada sehatnya jamu. Di sini 'sehat' pada jamu mempunyai arti
kiasan. Dikatakan: 'sehat pada jamu analog dengan 'sehat' badan, atau
diantara 'sehatnya' jamu dan 'sehatnya' badan ada analogi.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar
penalaran Sebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau
persamaan. Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan
perhiasan baginya Bangsa itu bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak
berbunga, akan tetapi pejuang yang gugur dalam membela bangsanya,
menjadi perhiasan bagi bangsanya, sehingga secara analogi dikatakan
bahwa pejuang itu 'gugur sebagai kusuma bangsa'.
2. Bentuk analogi induktif
Seperti dalam gal generalisasi induktif, bentuk penalaran analogi
induktif itu ditentukan oleh jumlah fakta yang di jadikan daribkunklusinya
dan dinyatakan sebagai premis. Seperti dalama generalisasi pula, jumlah
fakta tersebut merupakan faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar
jumlah fakta tersebut semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya. Selain
oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpulan, bentuk analogi juga
tergantung kepada jumlah faktor-faktor analogi. Jadi lagi-lagi seperti pada

48
generalisasi induktif. Jumlah faktor analogi itu juga merupakan faktor
probabilitas. Makin besar jumlah faktor analoginya, makin rendah
probabilitasnya.
Bentuk penalaran analogi induktif selanjutnya ditentukan oleh jumlah
faktor disanalogi. Dan seperti pada generalisasi induktif pula, faktor
disanalogi itu juga merupakan faktor probabilitasnya. Semakin besar
jumlahnya, semakin tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.
Akhirnya bentuk analogi induktif juga tergantung kepada bentuk
proposisi yang menjadi konklusinya. Yang pertama dari dua fakta
disimpulkan sebuah generalisasi induktif (kemudian dideduksikan suatu
konklusi khusus). Yang kedua, dari dua fakta langsung disimpulkan sebuah
konklusi khusus. Bentuk kedua ini adalah suatu analogi induktif, sedang
bentuk yang pertama adalah suatu generalisasi induktif. Dalam metode
keilmuan, analogi induktif itu dapat digunakan untuk mendeterminasikan
apakah sesuatu obyek atau fakta itu, dan sifat-sifat apakah yang dapat
diharapkan padanya; sedang generalisasi induktif terutama digunakan untuk
menemukan hukum, menyusun teori, atau hipotesa.
3. Kesesatan generalisasi/analogi
Di samping faktor-faktor tersebut di atas, yang boleh disebut faktor-
faktor obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang mempengaruhi tinggi
rendahnya robabilitas konklusi induksi. Faktor subyektif itu terletak pada
diri manusia yang rfikir dan berupa kondisi-kondisi tertentu, yang bersifat
pribadi dan tidak disadari. Kalau disadarkan bahwa kondisi dirinya
mewarnai konklusi penalarannya, biasanya ia akan segera menerima bahwa
penyimpulannya tidak sesuai dengan kaidah-kaidah penalaran. Ia akan
mengakui kekeliruan atau kesesatannya. Maka penyimpulan yang tidak
sesuai dengan kaidah penalaran itu juga disebut kesesatan (fallacy/fallacia).
Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang
terpenting ialah: Kesesatan karena tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat menarik
konklusi, sedang fakta-fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup
mendukung konklusi itu. Jadi jumlah fakta sebagai dasar konklusinya terlalu

49
sedikit. Misalnya: Seorang jejaka berjumpa dengan seorang gadis Solo
pertama kali di suatu pesta, kemudian berjumpa dengan seorang gadis Solo
lain di sebuah toko dan untuk ketiga kalinya ia melihat seorang gadis Solo
lagi diatas pentas. Ketiga gadis itu semua sama-sama luwes. Maka tidak
dapat ditawar lagi, si jejaka ingin mempersunting seorang gadis Solo.
Didalam anggapannya: semua gadis Solo itu tentu luwes. Ini suatu
kesimpulan yang tergesa-gesa. Tiga fakta rasanya tidak cukup untuk
dijadikan dasar konklusinya.
Contoh di atas mengenai kesesatan generalisasi. Kesesatan
generalisasi semacam itulah, yang menyebabkan istilah 'generalisasi' sering
mendapat arti peiorati Kita teruskan contoh tentang puteri Solo. Jejaka di
atas jadi memperisteri seorang gadis Solo. la yakin bahwa isterinya pun
luwes. Kesimpulan bahwa gadis Solo, isterinya itu luwes, adalah konklusi
suatu analogi induktif. Kesesatan lain sering timbul karena prasangka.
Jejaka yang mempersunting puteri Solo itu berasal dari luar Jawa dan
sebelumnya sudah memuji-muji isterinya sebagai is yang halus dan luwes,
karena ia puteri Solo. Ketika isterinya dibawa pulang ke ampung, ibunya
berkata : "Isterimu kalau berbicara kok suaranya seperti pedagang ayam di
pasar?" Jawabnya: 'Ah, itu karena ibu kalau berbicara mesti keras-keras
chingga ia mengira bahwa ibu kurang pendengarannya'. Lain kali ibunya
berkata: "Isterimu jalannya kok seperti dikejar maling."'Ah, itu karena ibu
selalu membuat a terkejut dan ketakutan'. Pada kesempatan lain lagi:
"Isterimu kalau duduk kok seperti penjual lombok di pasar? dengan
konklusi. dengan premis-premis yang ada.
E. SEBAB-AKIBAT .
1. Sebab-akibat sebagai dasar induksi
Pada umumnya kalau orang berbicara tentang sebab dan akibat, yang
dimaksud alah bahwa keadaan atau kejadian yang satu menimbulkan atau
menjadikan keadaan tau kejadian yang lain. Yang satu itu disebut sebab,
sedang yang lain akibat. Dalam pengertian sebab-akibat itu pertama-tama
terkandung makna bahwa yang atu (sebab) itu mendahului yang lain (akibat),

50
setidak-tidaknya secara logika atau dalam jalan pikiran kita. Akan tetapi tidak
semua yang mendahului sesuatu yang lain itu tentu sebab dari yang lain itu.
Kalau seorang pasien meninggal sesudah disuntik belum tentu kematiannya
disebabkan oleh suntikan itu. Hubungan antara sebab dan akibat itu bukan
hubungan urutan biasa atau hubungan yang kebetulan. Hubungan sebab-akibat
itu suatu hubungan yang intrinsik, suatu hubungan azasi, hubungan ang begitu
rupa, sehingga kalau yang satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain akibat)
juga pasti ada/tidak ada. Kecuali itu hubungan sebab-akibat itu adalah sesuatu
yang mengandung keseragaman, memiliki sifat kaidah, artinya: apabila
sebabnya ama, maka akibatnya juga sama. Jadi dalam keadaan yang serupa ada
hubungan sebab-akibat yang serupa. Di atas dikatakan bahwa hubungan sebab-
akibat itu mempunyai sifat intrinsik, akan tetapi juga dikatakan di atas bahwa
tidak selalu sesuatu yang timbul sesudah yang lain tu merupakan akibat dari
yang lain itu. Agar hubungan antara sebab dan akibat.
Berdasarkan makna itu kita melangkah sebagai berikut :
1. Kita tentukan fungsi-fungsi yang terdapat dan diperlukan untuk menangkap
makna proposisi.misalnya dalam proposisi ‘ Setiap orang tentu bersalah
terhadap orang lain”, fungsi-fungsi itu adalah Ox (orang) ; Oy (orang lain) ;
Bxy (orang bersalh terhadap orang lain). Bxy ditaruh paling belakang,
karena Ox dan Oy harus diketahui lebih dahulu selum dapat diketahui Bxy.
2. Kemudian kita tentukan bilangan (quantifier) yang diperlukan oleh fung-
fungsi itu menurut makna kalimatnya. Dalam contoh diatas, Ox menjadi (x)
Ox dan Oy menjadi (з y ) Oy, karena masing-masing menunjuk setiap orang
dan setidak-tidaknya satu orang. Bxy tidak memrlukan bilangan.
3. Akhirnya komponen-komponen proposisi itu dijadikan sebuah proposisi
dengan menghubungkan yang satu dengan yang lain dengan menggunakan
tanda perakit ᴠ, ᴧ, ᴝ, ≡.

Dari paragraph VI.B bagian akhir, jelaslah nahwa dibekang


kuantifikasi universal digunakan perakit implikasi ᴝ. Dan di belakang
kuantifikasi ekstensial perakit kongyungsi ᴧ.

51
Dengan mengikuti petuntuk diatas, proposisi ‘setiap orang tentu
pernah bersalah terhadap orang lain’, harus ditulis :
(x) [Ox ᴝ (з y) (Oy ᴧ Bxy)]
Proposisi ‘Ada orang yang bersalah terhadap orang lain’ ditulis ;
(зx) [Ox ᴧ (зy) (Oy ᴧ By)]
E. PRINSIP-PRINSIP KUANTIFIKASIONAL
Dari teori kuantifikasi seperti diuraikan diatas diturunkan sejumlah prinsip
yang dapat dijadikan instrument untuk mebeliti apakah sesuatu penalaran itu sahih
atau tidak. Prinsip-prinsip itu sebagian berupa ekuivelasi dan ada masing-masing
dua yang berhubungan dengan instansi dan generalisasi.
1. Ekuivalensi Kuantifikasional
Proposisi ‘Semua manusia dapat berfikir’ berlawanan secara
kontradiktorik dengan negasinya : ‘Tidak semua orang tidak dapat berfikir’
makan negasi dan proposisi yang pertama adalah ekuivalen dengan proposisi
yang kedua dan sebaliknya proposisi pertama dilambangkan (x) Bx, sedang
yang kedua, negasinya; (зx) ~ Bx. Kalau lambing B itu diganti dengan variable
ɸ, maka ekuivalensi itu lambangnya menjadi :
~ (x) ɸ x ≡ (з x) ~ ɸ x dan sebaliknya
(x) ɸ x ≡ ~ (з x) ~ ɸ x
Juga proposisi ‘Semua manusia tidak dapat berfikir’ berlawanan secara
kontradiktorok dengan negasinya: ‘Tidak semua manusia dapat berfikir’. Dari
sini diperoleh ekuivalensi sebagai berikut:
~ (x) ~ ɸ x ≡ (з x) ~ ɸ x dan
(x) ~ ɸ x ≡ ~ (з x) ~ ɸ x

Dirumuskan dengan kata-kata prinsip-prinsip tersebut menjadi demikian:


1. Dua proposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama, kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan universal, sedang di
proposisi yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di ikuti oleh tanda
negasi.

52
2. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama , kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan eksistensial, sedang
proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di ikuti oleh tanda
negasi.
3. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama , kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan universa di dahului tanda
negasi, sedang proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului dan di
ikuti oleh tanda negasi.
4. Dua prpoposisi adalah ekuivalen kalau kedua-duanya persis sama , kecuali
bahwa di proposisi yang satu terdapat bilangan ueksistensial di dahului
tanda negasi, sedang proposes yang lain bilangan eksistensial di dahului
dan di ikuti oleh tanda negasi.
2. Instansi
Kalau proposisi ‘Semua manusia dapat mati’ itu benar, maka dapat
disimpulkan naha ‘Adam pun dapat mati’. Kesimpulan itu didasaran atas
konsep ‘distribusi’ Aristoteles dalam logika tradisional merupakan contoh
penerapan prinsip ‘dictum de omni’ . Prinsip yang sama dalam logika
kuantifkasional dirumuskan sebagai berikut:
Dari setiap kuantifikasi universal secara sahih dapat disimpulkan setiap
instansinya. Proposisi ‘Adam dapat mati’ adalah instansi dari kuantifikasi
universal ‘Setiap orang dapat mati’. Prinsip ini dalam logika kuantifikasional
disbut prinsip instansiasi universal. Disingkat IU.
Disamping instansiasi universal ada prinsip ekssistensial, disingkat IE. Sebuah
kuantifikasi eksistensial, misalnya ‘Ada pencuri’, adalah benar kalau setidak-
tidaknya ada pencuri. Apabila terdapat seorang individu, misalnya Adam. Dan
kepadanya dapat diterapkan predikat ‘pencuri’ maka proposisi ‘Ada pencuri’
adalah benar. ‘Adam’ adalah subsitusi individual dari ‘Ada orang’, dan
proposisi ‘Adam adalah pencuri’ adalah instansial dari proposisi eksistensial
‘Ada pencuri’. Prinsip instansiasi eksistensial itu dapat dirumuskan demikian :

53
Dari setiap kuantifikasi eksistensial dapat secara sahih disimpulkan
setiap instansiasinya, asal lambing konstanta individual itu sebelum digunakan
dalam penalaran yang sama.
3. Generalisasi
Prinsip instansiasi sebenarnya adalah penalaran yang amat sederhana,
yang menyimpulkan suatu proposisi singular yang berupa kuntifikasi
universaldan kuantifikasi eksistensial. Sebalikanya dari proposisi singular,
dengan syarat-syarat tertentu, juga dapat disimpulkan baik kuantifikasi
universalmaupun kuantifikasi eksistential. Penalaran sederhana ynag demikian
itu disebut generalisasi. Ada generalisai universal gan generalisasi eksistensial.
Generalisasi universal
Kalau ‘Semua orang dapat mati’ itu benar, maka juga benar bahwa
‘Setiap orang dapat mati’/ ini suatu instansiasi universal, IU. ‘Setiap orang’ itu
berarti ‘Orang yang manapun’, ‘orang tanpa pandnag bulu’, ‘asal orang’.
Jas=di setiap instansiasi dari suatu kuantifikasi universalnya, asal individu yang
dimaksud dalam proposisi singular itu individu yang dipilih tanpa pandang
bulu.
Uang harus dimintakan perhatian ialah, bahwa generalisai universal (GU) itu
disiimpulkan dari adanya IU, seperti dijelaskan diatas. Maka penggunaannya
dalam suatu pembuktian harus didahului dengan IU.
Generalisasi eksistensial
Prinsip generalisasi eksistensial adalah penalaran sederhana yang
didasarkan kebenaran proposisi singular secara sahih menyimpulkan
kuantifikasi eksistensialnya.
Sebuah kuantifikasi eksistensial, misalnya : ‘Tidak semua pegawai itu jujur’,
adalah benar atau setidaknya ada seorang pegawai yang jujur. Maka proposisi
singular ‘Pegawai A itu jujur’, dapat disimpulkan bahwa ‘Tidak semua atau
sebagian pegawai atau setidak-tidaknya seoran pegai itu jujur’.

F. DEDUKSI KUANTIFIKASIONAL

54
System lambing kuantifikasional dapat digunakan untuk melambangkan
proposisi majemuk, nahkan dengan cara yang lebih telit, karena juga
melambangkan bilangan atau individu yang terdapat di dalam proposisi.
Contoh ;
Kalau Adam minum obat, itu tandanya ia sakit : Oa ᴝ Sa.
Kalau orang minum obat, ia tentu sakit : (з x ) (Ox ᴝ Sx)
Akan tetapi system lambing kuantifikasionla lebih luwes daripada
system lambing proposional, karena juga dapat digunakan untuk
melambangkan proposisi kategorik tunggal,
Contoh ;
Adam adalah pelajar ; Pa
Semua oaring perlu makan : (x) (Ox ᴝ Mx)
Ada orang yang tidak dapat membaca ; (з x) (Ox ᴧ ~ Mx)
Jelaslah bahwa dalam system lambing kuantifikasional logika silogisme
kategorik dan logika proposisional telah menjadi satu. Kesatuan itu tidak hanya
mengenai system penulisannya dalam bentuk lambing saja. Akan tetapi juga
mengenai system logikannya sendiri. Artinya, dalam logika kuantifikasional
cara yang sma digunakan untuk meneliti sahih atau tidaknya silogisme
kategirik maupun penalaran proposisional.
Cara yang digunakan itu ialah dengan membuat penalaran
kuantifikasional itu menjadi penalaran proposisional. Dengan demikian semua
prinsip penalaran proposisional dapat dimanfaatkan, ditambah lagi dengan
prinsip-prinsip kuantifikasional.
Kesulitan hanya timbul, karena adanya lambing bilangan da tanda-
tanda kurung pada lambing kuantifikasional. Ini merintangi penggunaan
prinsip-prinsip proposisional. Akan tetapi kesulitan itu dapat diatasi dengan
menggunakan prinsip instansi. Dengan cara demikian maka dalam logika
kuantifikasional penalitian penalaran menjadi suatu deduksi, deduksi
kuantifikasional, yang bedanya dengan deduksi proposisional karena
didalamnya digunakan prinsip isntansiasi, prinsip generalisai dan ekuivalensi
kuantifikasional.

55
G. PEMBUKTIAN DENGAN MENGGUNAKAN ANTI ARGUMEN
Membukatiakn bahwa suatu penalaran kuantifikasional itu sahih
dengan cara deduksi seperti diatas, dapat di sebut metode langsung. Ada
metode lain yang sederhana dan juga banyak yang digunakan, yaitu dnegan
cara mendeduksikan suatu kontradiksi anti-argumen. Metode ini adalah metode
tidak langsung. Maksudnya adalah sebagai berikut:
Contoh penalaran:
Semua A adalah B dengan lambang (x) (Ax ᴝ Bx)
Beberapa C adalah A dengan lambang (з x) (Cx ᴧ Ax)
Beberapa C adalah B dengan lambang (з x) (Cx ᴧ Bx)
Dalam bentuk bahasa penalaran itu jelas sahih. Dalam bentuk hal itu tidak
begitu saja jelas. Bagaiman membuktikannya? Penaaran itu sahih kalau
premis-primisnya benar dan konklusinya benar pula. Tidak mungkin
premis-premis yang sama menghasilkan konklusi yang salah. Jadi kalau
penalaran diatas sahih, maka penalaran dibawah ini adalah tidak sahih.
(x) (Ax ᴝ Bx)
(з x) (Cx ᴧ Ax)
~ (з x) (Cx ᴧ Bx)
Penalaran ini disebut anti-argumen dari penalaran asli diatas. Kalau
dapat dibuktikan bahwa antiargumen itu tidak sahih, makan itu berarti bahwa
penalaran aslinya sahih.
Bagaiman cara membuktikan bahwa argument tidak sahih?.
Kalau anti-argumen itu merupakan satu kontradiksi. Dan ini dapat
dibuktikan kalau anti-argumen ini merupakan suatu kontradiksi. Dan ini dapat
dibuktika kalau dari argument itu dapat di deduksikan secara sahih suatu
proposisi yang jelas-jelas suatu kontradiksi, dengan bentuk p ᴧ ~ p. itulah
artinya mendeduksikan suatu kontradiksi dari anti-argumen.
Deduksi itu dilaksanakan dengan menyusun penalaran yang
bersangkutan menjadi sebuah proposisi, yang premis dan konklusinya
dijadikan satu konyungsi. Proposisi inilah yang dijadikan premis dalam
deduksi itu.

56
H. MENENTUKAN PENALARAN TIDAK SAHIH
Dengan metode deduksi, baik yang langsung maupun tidak
langsung, hanya dapat dibuktikan bahwa suatu penalaran itu sahih. Tidak dapat
dibuktikan bahwa penalaran itu tidak sahih. Kalau kita tidak dapat
membuktikan bahwa suatu penalaran itu sahih, belum tentu penalaran itu tidak
sahih. Mungkin deduksi kita tidak tepat, mungkin kita yang tidak mampu
menemukan pembuktiannya. Belum tentu penalaran itu tidak sahih, kalu kita
tidak berhasil mendeduksikan suatu kontradiksi dari anti-argumen.
Maka untuk menbuktikan penalaran itu tidak sahih harus dibuktikan
bahwa konklusinya salah, meskipun premisnya benar. Atau secara tidak
langsung, bahwa negasi dari konklusinya adalah benar. Cara yang sederhana
untuk mebuktikan bahwa penalaran itu tidak sahih ialah dengan menggunakan
metode aalogi. Denagn menggunakan contoh :
Semua orang PKI tidak setuju Orde Batu
Ada sarjana yang tidak setuju dengan Orde Baru
Jadi : Ada sarjana yang PKI
Penalaran itu kita ubah dengan penegrtian lain ;
Semua buku membuat murid pandai.
Ada guru yang mebuat murid pandai.
Jadi : Ada guru yang buku
Penalaran baru ini jelas primis-premisnya benar, sedangkan
konklusinya salah. Jadi terbukti bahwa bentuk penalaran diatas tidak menjamin
suatu konklusi yang benar, meskipun premis-premisnya benar. Dengan kata
lain: penalaran diatas tidak sahih.
I. PENALARAN A-SILOGISTIK
Emmanuel Kant (1724-1804) pernah menyatakan bahwa sitem
logika Aristoteles tidak dapat diperbaiki lagi. Akan tetapi Augustus De
Morgan (1806-1871), salah seorang pelopor Logika Modern, melihat bahwa
dengan logika Aristoteles itu tidak dapat dibuktikan kebenaran penalaran
bahwa ;
Karena kuda itu binatang,

57
maka kepala kuda adalah kepala binatang.
Pembuktiannya terpaksa menunggu sampai berkembangnya logika
kuantifikasional. Dari apa yang sudah dijelaskan tentang logika
kuantifikasional terbukti logika kuantifikasional itu dapat digunakan untuk
menggarap penlaran yang berbentuk silogisme, baik silogisme kategorik
maupun silogisme hipotetik. Disamping itu seperti Nampak pda contoh-
contoh dan soal-soal latihan, penalaran pun dapat diteliti dengan system
logika kuantifikasional. Bakan juga daoat digunakan itunk meneliti
proposisi biasa.
Penalaran tentang kepala kuda diatas bentuknya a-silogistik,
sehingga tidak dapat dibuktikan menggunakan system logika Aristoteles
yang engenai silogisme. Meskipun penalaran tersebut dapat disebut
penalan langsung, akan tetapi bukan pembalikan atau perlawanan,
sehingga disini logika aristoteles tidak dapat diterapkan. Untuk
membuktikan menurut system logika kuantifikasional bahwa penalaran
tentang kepala kuda itu sahih, kesukaran yang harus dihadapi hanyalah
untuk menyusunny menjadi bnetuk lambang. Sekali penalaran itu berhasil
disalin ke dalam bentuk lambang yang tepat, pembuktiannya hanya
menerapkan prinsip-prinsip yang berlaku.

BAB KEEMPAT
LOGIKA INDUKTIF
A. INDUKSI
Dalam karangan singkat yang terkenal, karena jelasnya dan
sederhananya, berjudul The Method of Science'", Thomas Henry Huxley
(1825-1895) menerangkan induksi dengan contoh sebagai berikut:")
"Anggaplah kita mengunjungi buah-buahan ambil sebuah, dan ketika
mencicipinya, terbukti itu masam. Kita perhatikan apel itu warung buah-
buahan karena ingin membeli apel. Kita dan terbukti bahwa apel itu keras dan
hijau. Kita ambil sebuah yang lain. Itu pun keras hijau, dan masam. Si
pedagang menawarkan apel ketiga. Akan tetapi sebelum mencicipinya, kita

58
memperhatikannya dan terbukti yang itu pun adalah keras dan hijau, dan
seketika itu kita beritahukan, bahwa kita tidak menghendakinya, karena yang
itu pun pasti masam, seperti lain-lainnya yang sudah kita cicipi".
Jalan fikiran si calon pembeli sehingga ia sampai pada kesimpulan
untuk tidalk membeli apel, ialah sebuah induksi. Huxley menjelaskan proses
induksi itu sebagai berikut: "Pertama-tama, kita telah melakukan kegiatan
yang disebut induksi. Kita telah menemukan bahwa dalam dua kali
pengalaman sifat keras dan hijau pada apel itu selalu bersama-sama dengan
sifat masam. Demikianlah pada peristiwa yang pertama, dan itu diperkuat
dalam peristiwa yang kedua. Memang itu dasar yang amat sempit, akan tetapi
sudah cukup untuk dijadikan dasar induksi: kedua fakta itu kita generalisasikan
dan kita percaya akan berjumpa dengan rasa masam pada apel, bila kita temui
sifat keras dan hijau. Dan ini suatu induksi yang tepat. "
Menurut Huxley untuk sampai kepada kesimpulan penolakan apel
ketiga, penalaran induktif itu diikuti oleh penalaran deduktif.
"Nah, sesudah dengan demikian kita menemukan hukum alam,
ketika kita ditawari apel lain yang terbukti keras dan hijau, kita berkata: 'Semua
apel yang keras dan hijau itu masam; apel ini keras dan hijau, jadi apel ini
masam". Jalan fikiran inilah yang oleh ahli logika disebut silogisme..."
Kalau dirumuskan secara formal, penalaran diatas menurut Huxley
adalah demikian:
- Induksi:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
- Deduksi :
Semua apel keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau
Apel 3 adalah masam.
Induksi seperti di atas sesuai dengan definisi Aristoteles, yaitu proses
peningkatar dari hal-hal yang bersifat individual kepada yang bersifat universal

59
(a passage from individuals to universals). Di situ premisnya berupa proposisi-
proposisi singular sedang konklusinya sebuah proposisi universal, yang berlaku
secara umum. Maka induksi dalam bentuk ini disebut generalisasi.
Akan tetapi penalaran calon pembeli itu juga dapat dirumuskan dalam
bentuk sebagai berikut:
- Induksi
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 3 adalah masam.
Dari contoh dua jenis induksi di atas dapat diketahui ciri-ciri dari
indüksi Pertama, premis-premis dari induksi ialah proposisi empirik yang
langsung kembali kepada suatu observasi indera atau proposisi dasar (basic
statement). Seperti sudah diterangkan di depan (paragraf 1.2), proposisi
dasar menunjuk kepada fakta, yaitu observasi yang dapat diuji
kecocokannya dengan tangkapan indera. Pikiran tidak dapat mempersoalkan
benar-tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya wa apel 1 itu
keras, hijau, dan masam, hanya inderalah yang dapat menangkapnya. Sekali
indera mengatakan demikian, pikiran tinggal menerimanya.
Kedua, konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa yang
dinyatakan didalam premis-premisnya. Premis-premisnya hanya
mengatakan bahwa masam, hal itu tidak didukung oleh premis-premis
penalaran. Menurut kaidah- konklusinya 132 keras, hijau dan masam itu
hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan it yang dirumuskan di
dalam premis-premis itu. Kalau dikatakan, bahwa juga apeld logika,
penalaran itu tidak sahih; pikiran tidakerikat untuk menerima kebenaran
konklusinya.
Ketiga: meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi
manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada alasan untuk
menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu oleh pikiran dapat
dipercaya kebenarannya atau dengan perkataan lain: konklusi induksi itu

60
memiliki kredibilitas rasional. Kredibilitas rasional disebut probabilitas.
Probabilitas itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu
menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indera, tidak mesti
harus cocok Kecuali kedua jenis di atas masih ada induksi-induksi jenis lain,
yang akan dibahas dalam bab ini. Mengingat pentingnya induksi dalam
metode keilmuan dewasa ini, terlebih dahulu kita sisipkan sedikit penjelasan
tentang kedudukan logika dalam metode keilmuan.

61
B. LOGIKA DALAM METODE ILMU PENGETAHUAN
Dalam "The method of Science", Th. H. Huxley menulis tentang hal ini:
"Metode penelitian ilmu pengerahuan tidak lain daripada rumusan cara kerja yang
mutiak dari budi manusia. Metode itu hanya cara yang biasa untuk menelaah
semua fenomena, yang telah ditingkatkan, sehingga menjadi tepat dan tegas.
Perbedaannya tidak lebih dari itu, akan tetapi justru di situ ada perbedaan
semacam yang terdapat di antara apa yang dikerjakan oleh seorang ilmuwan dan
orang biasa, seperti diantara pekerjaan dan cara-cara tukang roti atau seorang
jagal, yang menimbang bahan-bahannya dengan menggunakan timbangan biasa
dan pekerjaan seorang ahli kimia, yang mengadakan analisa yang sukar dan
kompleks dengan menggunakan balans dan bobot-bobot yang terperinci dengan
sangat teliti. Soalnya bukan karena cara kerjanya timbangan dan balans itu
berbeda prinsip konstruksi dan prinsip kerjanya, akan tetapi yang satu bahunya
dipasang di atas as yang jauh lebih halus daripada yang lain, dan dengan
sendirinya bergerak kalau ditambah bobot yang jauh lebih kecil".
Menurut rekonstruksi formal Huxley, penalaran itu terdiri atas dua tahap:
tahap induksi berdasarkan observasi dua apel keras, hijau, dan masam dengan
kesimpulan bahwa semua apel keras dan hijau itu masam. Hal yang sama terjadi
dalam proses ilmu pengetahuan, tetapi observasinya dengan teliti sekali. Dalam
ilmu pengetahuan alam, misalnya, dengan menggunakan alat seperti mikroskop,
timbangan dan takaran yang teliti, dalam ilmu sosial dengan menggunakan daftar
pertanyaan, menentukan kondisi setiap orang yang ditanyai (responden): umurnya,
pekerjaannya, agamanya, dan sebagainya. Melalui induksi, kesimpulannya dapat
berupa hukum, kalau diperkirakan tidak akan pernah terbantah oleh observasi lain;
atau teori kalau kiranya berlakunya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Kalau
dasar observasi dianggap masih kurang kuat, konklusinya dapat.
Tahap kedua dalam rekonstruksi penalaran calon pembeli apel menurut
alah, penerapan hukum alam (bahwa semua apel keras dan hijau itu masam) pada
uatu keadaan tertentu, yaitu apel 3 yang keras dan hijau. Penalaran ini suatu
deduksi.

62
Hal yang sama terjadi dalam proses ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
meramalkan atau membuat prediksi, bahwa hukum, teori, atau hipotesa itu akan
berlaku untuk semua kondisi yang sama seperti yang diobservasi terlebih da
menghasilkan hukum, teori atau hipotesa itu. Ini penalaran deduktif.
C. GENERALISASI INDUKTIF
1. Syarat-syarat generalisasi
Sudah diketahui bahwa penalaran yang menyimpulkan suatu konklusi
yang bersifat umum dari premis-premis yang berupa proposisi empirik itu
disebut generalisasi. Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu
dapat dirumuskan demikian Apa yang beberapa kali terjadi dalam kondisi
tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi apabila kondisi yang sama
terpenuhi. Dua kali kita jumpai apel yang masam dalam kondisi keras dan
hijau. Maka ketika melihat apel ketiga memenuhi kondisi keras dan hijau, kita
menyimpulkan, bahwa dapat diharapkan apel itu pun akan masam rasanya.
Kesimpulan itu hanya suatu harapan, suatu kepercayaan, karena seperti
dikatakan di atas, konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai
kebenaran yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu
peluang.
Hasil penalaran generalisasi induktif itu sendiri juga disebut generalis
Generalisasi dalam arti ini berupa suatu proposisi universal, seperti: 'Semua
apel keras dan hijau, rasanya masam'; 'Semua logam yang dipanasi memuai',
yang Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat sebagai
berikut:
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik. Artinya, generalisasi tidak
boleh terikat kepada jumlah tertentu. Kalau dikatakan bahwa "Semua A
adalah B', maka proposisi itu harus benar, berapa pun jumlah A. Proposisi
itu berlaku untuk setiap dan semua subyek yang memenuhi kondisi A.
2. Generalisasi harus tidak terbatas secara spasio-temporal, artinya, tidak boleh
terbatas dalam ruang dan waktu. Jadi harus berlaku di mana saja dan kapan
saja.

63
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian Yang dimaksud
dengan 'dasar pengandaian' di sini ialah: dasar dari yang disebut contrary-to-
facts conditionals' atau 'unfulfilled conditionals'. Contohnya yang jelas
sebagai berikut:
Faktanya: x, y, dan z itu masing-masing bukan B.
Ada generalisasi: Semua A adalah B.
2. Bentuk generalisasi
Induktif Logika menganalisa dan merekonstruksikan penalaran. Dalam
logika deduktif hasil usaha itu berupa ketentuan-ketentuan mengenai deduksi yang
sahih, yaitu bentuk deduksi, yang kalau premis-premisnya benar, konklusinya
tentu juga benar. Dalam logika induktif, tidak ada konklusi yang mempunyai nilai
kebenaran yang pasti. Yang, ada hanya konklusi dengan probabilitas rendah atau
tinggi. Maka hasil usaha analisa dan rekonstruksi penalaran induktif itu hanya
berupa ketentuan- ketentuan mengenai bentuk induksi yang menjamin konklusi
dengan probabilitas setinggi-tingginya. Tinggi-rendahnya probabilitas konklusi itu
dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang disebut faktor-faktor probabilitas.
Semua enam penalaran generalisasi induktif di atas konklusinya sama,
yaitu: sem apel keras dan hijau itu rasanya masam. Akan tetapi jelaslah bahwa
pikiran kita lebib mudah mengakui kebenaran konklusi penalaran yang satu
daripada kebena konklusi penalaran yang lain. Dengan lain perkataan: konklusi-
konklus berbeda-beda kredibilitas rasionalnya atau probabilitasnya. Apa yang
menyebabkar perbedaan probabilitas itu ialah faktor-faktor probabilitasnya ua ran
Kalau konklusi dari induksi (3) dibandingkan dengan konklusi (2), maka jelas
konklusi induksi (3) lebih tinggi probabilitasnya. Kita lebih dapat menerima
kebenarannya daripada kebenaran konklusi induksi (2) Kalau kita cari sebabnya
mengapa pikiran kita lebih dapat menerima konklusi induksi (3) sebab yang dapat
15 fakta, sed ditunjuk ialah: karena induksi (3) premis-premisnya menunjuk
induksi (2) hanya 3 fakta. Induksi (1) premisnya hanya mengenai satu fakta saja
dan kita cenderung untuk meragukan kebenaran konklusinya, artinya:
probabilitasnya amat rendah.

64
Dari perbandingan-perbandingan di atas kita menemukan: faktor
probabilitas yang pertama, yaitu: jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran
induktif dan kaidahnya yang dapat dirumuskan demikian: makin besar jumlah
fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif, makin tinggi probabilitas
konklusinya, dansebaliknya.
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha untuk menambah
pengetahuan ilmiah, yaitu dalam penelitian, harus digunakan sebanyak mungkin
fakta sebagai dasar penalarannya. Yang ideal ialah kalau semua fakta dapat
dirumuskan sebagai premi mlah dari semua subyek yang ditunjuk oleh konklusi
yang berupa generalisasi da erbentuk proposisi universal itu dalam rangka
penelitian disebut populasi. Yang dimaksud dengan induksi' dalam logika bukan
induksi lengkap, akan tetapi induksi tak lengkap atau induksi ampliatif (ampliative
atau incomplete induction), yang konklusinya suatu probabilitas. Meskipun
dikatakan bahwa induksi lengkap yang digunakan dalam metode sensus itu
menghasilkan suatu konklusi yang pasti, akan tetapi kalau metode sensus itu
diterapkan untuk populasi yang besar, mudah sekali terjadi ketidaktelitian: ada
anggota populasi yang tercecer, atau ada anggota yang dihitung dua kali dan
karena sensus memerlukan banyak petugas, mudah terjadi bahwa data yang
dihasilkan oleh etugas yang satu tidak sama nilainya dengan yang dikumpulkan
oleh petugas yang ain. Karena ketidaktelitian ini, maka hasil sensus pun biasanya
juga suatu probabilitas.
Kita teruskan dengan membandingkan penalaran (2) dan (4) yang
konklusinya juga sama. Kalau premis-premis kedua penalaran itu dibandingkan,
maka diantara premis penalaran (2) ada faktor yang sama diantara apel 1, 2, dan 3,
yaitu: keras dan hijau. Pada penalaran (4) faktor persamaan itu ada empat: keras,
hijau, kecil, dan benjol. aktor persamaan seperti itu disebut faktor analogi.
Kalau probabilitas konklusi kedua penalaran itu dibandingkan, terbukti
konklusi penalaran 4 lebih lemah atau lebih rendah probabilitasnya. Premis
penalaran mengatakan bahwa yang masam itu ialah apel yang keras, hijau, kecil
dan benjol, bukan asal apel keras dan hijau. Jadi jelas konklusi itu menunjuk
kepada suatu populasi yang lebih besar daripada yang ditunjuk oleh premis-

65
premisnya. Dengan adanya tambahan dua faktor analogi itu probabilitas menurun.
Jadi jumlah faktor analogi itu adalah faktor probabilitas (yang kedua). Kaidahnya
dapat dirumuskan demikian akin besar jumlah faktor analogi didalam premis,
makin rendah probabilitas konklusinya dan sebaliknya.
Jadi setiap generalisasi induktif hanya berlaku untuk populasi yang
dimaksud oleh premis-premisnya. Faktor probabilitas ketiga ialah jumlah faktor
disanalogi. Kaidahnya: Makin besar jumlah faktor disanaloginya didalam premis,
makin tinggi probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Ini terbukti kalau kita
membandingkan penalaran (4) dan (6) Premis-premis penalaran (6) masing-
masing mengandung sebuah faktor yang berbeda di antara premis yang satu
dengan yang lain, yaitu: benjol, besar, dan kecil. Faktor yang menyebabkan
perbedaan ini disebut faktor disanalogi. Karena adanya faktor disanalogi ini
konklusi penalaran (6) lebih tinggi probabilitasnya daripada konklusi penalaran
(4). Sebaliknya konklusi penalaran (5) lebih tinggi probabilitasnya daripada laran
(6), karena jumlah faktor disanaloginya lebih besar. Konklusi (4) belum tentu
akan benar kalau diterapkan kepada apel keras, hijau, dan berasal dari Korea, serta
sudah disimpan sebulan, sedang konklusi penalaran (5) akan tetap saja
probabilitasnya. Meskipun konklusi penalaran (6) dapat diterapkan untuk semua
apel keras, hijau, benjol, besar, dan kecil, akan tetapi premis-premisnya tidak
mengatakan apa-apa andaikata apel itu dari Korea dan sudah di simpan satu bulan.

1. Analogi sebagai dasar induksi


Analogi' dalam bahasa Indonesia ialah kias' (Arab: asamengukur,
bandingkan). Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua hal yang
erlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal yang berlainan itu dibandingkan
satu dengan yang lain. Dalam mengadakan perbandingan, orang mencari samaan
dan perbedaan di antara hal-hal yang diperbandingkan. Kalau lembu andingkan
dengan kerbau, maka kedua-duanya adalah binatang, akan tetapi yang rbeda
dengan yang lain mengenai besarnya, warnanya dan sebagainya. Sarno ian Sarni
kedua-duanya adalah anak pak Sastro, akan tetapi Sarno laki-laki, Sari rempuan,
Sarno berumur 15 tahun, Sarni 10 tahun dan seterusnya. Kalau dalam

66
perbandingan itu orang hanya memperhatikan persamaannya saja, tanpa melihat
rbedaannya, timbullah analogi, persamaan di antara dua hal yang berbeda Sehat
adalah kondisi badan yang baik. Jamu adalah sarana untuk memelihara kondisi
badan yang baik atau kesehatan. Maka jamupun disebut sehat, karena adanya
rsamaan den gan kondisi badan yang baik, meskipun sehatnya badan lain daripada
sehatnya jamu. Di sini 'sehat' pada jamu mempunyai arti kiasan. Dikatakan: 'sehat
pada jamu analog dengan 'sehat' badan, atau diantara 'sehatnya' jamu dan
'sehatnya' badan ada analogi.
Analogi dapat dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar
penalaraSebagai penjelasan biasanya disebut perumpamaan atau persamaan.
Tumbuh-tumbuhan berbunga dan bunga itu merupakan perhiasan baginya Bangsa
itu bukan tumbuh-tumbuhan dan juga tidak berbunga, akan tetapi pejuang yang
gugur dalam membela bangsanya, menjadi perhiasan bagi bangsanya, sehingga
secara analogi dikatakan bahwa pejuang itu 'gugur sebagai kusuma bangsa'.
2. Bentuk analogi induktif
Seperti dalam gal generalisasi induktif, bentuk penalaran analogi induktif
itu ditentukan oleh jumlah fakta yang di jadikan daribkunklusinya dan dinyatakan
sebagai premis. Seperti dalama generalisasi pula, jumlah fakta tersebut merupakan
faktor probabilitas yang pertama. Semakin besar jumlah fakta tersebut semakin
tinggi probabilitasnya dan sebaliknya.
Selain oleh jumlah fakta yang dijadikan dasar penyimpulan, bentuk
analogi juga tergantung kepada jumlah faktor-faktor analogi. Jadi lagi-lagi seperti
pada generalisasi induktif. Jumlah faktor analogi itu juga merupakan faktor
probabilitas. Makin besar jumlah faktor analoginya, makin rendah
probabilitasnya.
Bentuk penalaran analogi induktif selanjutnya ditentukan oleh jumlah
faktor disanalogi. Dan seperti pada generalisasi induktif pula, faktor disanalogi itu
juga merupakan faktor probabilitasnya. Semakin besar jumlahnya, semakin tinggi
probabilitasnya dan sebaliknya.
Akhirnya bentuk analogi induktif juga tergantung kepada bentuk proposisi
yang menjadi konklusinya. Yang pertama dari dua fakta disimpulkan sebuah

67
generalisasi induktif (kemudian dideduksikan suatu konklusi khusus). Yang
kedua, dari dua fakta langsung disimpulkan sebuah konklusi khusus. Bentuk
kedua ini adalah suatu analogi induktif, sedang bentuk yang pertama adalah suatu
generalisasi induktif.
Dalam metode keilmuan, analogi induktif itu dapat digunakan
untuk mendeterminasikan apakah sesuatu obyek atau fakta itu, dan sifat-
sifat apakah yang dapat diharapkan padanya; sedang generalisasi induktif
terutama digunakan untuk menemukan hukum, menyusun teori, atau
hipotesa.
3. Kesesatan generalisasi/analogi
Di samping faktor-faktor tersebut di atas, yang boleh disebut
faktor-faktor obyektif, juga ada faktor-faktor subyektif, yang
mempengaruhi tinggi rendahnya robabilitas konklusi induksi. Faktor
subyektif itu terletak pada diri manusia yang rfikir dan berupa kondisi-
kondisi tertentu, yang bersifat pribadi dan tidak disadari. Kalau disadarkan
bahwa kondisi dirinya mewarnai konklusi penalarannya, biasanya ia akan
segera menerima bahwa penyimpulannya tidak sesuai dengan kaidah-
kaidah penalaran. Ia akan mengakui kekeliruan atau kesesatannya. Maka
penyimpulan yang tidak sesuai dengan kaidah penalaran itu juga disebut
kesesatan (fallacy/fallacia).
Kesesatan yang berhubungan dengan penalaran induktif, yang
terpenting ialah: Kesesatan karena tergesa-gesa, yaitu terlalu cepat
menarik konklusi, sedang fakta-fakta yang dijadikan dasarnya tidak cukup
mendukung konklusi itu. Jadi jumlah fakta sebagai dasar konklusinya
terlalu sedikit. Misalnya: Seorang jejaka berjumpa dengan seorang gadis
Solo pertama kali di suatu pesta, kemudian berjumpa dengan seorang gadis
Solo lain di sebuah toko dan untuk ketiga kalinya ia melihat seorang gadis
Solo lagi diatas pentas. Ketiga gadis itu semua sama-sama luwes. Maka
tidak dapat ditawar lagi, si jejaka ingin mempersunting seorang gadis Solo.
Didalam anggapannya: semua gadis Solo itu tentu luwes. Ini suatu

68
kesimpulan yang tergesa-gesa. Tiga fakta rasanya tidak cukup untuk
dijadikan dasar konklusinya.
Contoh di atas mengenai kesesatan generalisasi. Kesesatan
generalisasi semacam itulah, yang menyebabkan istilah 'generalisasi'
sering mendapat arti peiorati Kita teruskan contoh tentang puteri Solo.
Jejaka di atas jadi memperisteri seorang gadis Solo. la yakin bahwa
isterinya pun luwes. Kesimpulan bahwa gadis Solo, isterinya itu luwes,
adalah konklusi suatu analogi induktif. Kesesatan lain sering timbul karena
prasangka. Jejaka yang mempersunting puteri Solo itu berasal dari luar
Jawa dan sebelumnya sudah memuji-muji isterinya sebagai is yang halus
dan luwes, karena ia puteri Solo. Ketika isterinya dibawa pulang ke
ampung, ibunya berkata : "Isterimu kalau berbicara kok suaranya seperti
pedagang ayam di pasar?" Jawabnya: 'Ah, itu karena ibu kalau berbicara
mesti keras-keras chingga ia mengira bahwa ibu kurang pendengarannya'.
Lain kali ibunya berkata: "Isterimu jalannya kok seperti dikejar
maling."'Ah, itu karena ibu selalu membuat a terkejut dan ketakutan'. Pada
kesempatan lain lagi: "Isterimu kalau duduk kok seperti penjual lombok di
pasar? dengan konklusi. dengan premis-premis yang ada.
E. SEBAB-AKIBAT
1. Sebab-akibat sebagai dasar Induksi
Sebab-akibat yang ialah bahwa keadaan atau kejadian yang satu
menimbulkan atau menjadikan keadaan atau kejadian yang lain. Sebab-akibat
terkandung makna bahwa yang satu (sebab) itu mendahului yang lain (akibat).
Akan tetapi tidak semua yang mendahului sesuatu yang lain itu tentu sebab dari
yang lain itu. Hubungan antara sebab dan akibat itu bukan hubungan urutan
biasa atau hubungan yang intrinsik, suatu hubungan azasi, sehingga jika yang
satu (sebab) ada/tidak ada, maka yang lain (akibat) juga pasti ada/tidak ad.
Kecuali itu hubungan sebab-akibat itu adalah sesuatu yang mengandung
keseragaman, memiliki sifat kaidah. Jadi dalam keadaan yang serupa ada
hubungan sebab-akibat yang serupa. Agar hubungan antara sebab-akibat
menjadi jelas, dalam logika ‘sebab’ itu dipandang sebagai suatu syarat atau

69
suatu kondisi yang merupakan dasar adanya atau terjadinya sesutu yang lain
yaitu akibat. Dibedakan antara dua macam kondisi yaitu kondisi mutlak
(necessary condition)ialah sebab yang kalau tidak ada, akibatnya juga tidak
ada. Misalnya bahwa akibat A hanya ada kalau ada sebab S, dan kondisi
memadai (sufficient conition) ialah sebab yang kalau ada, akibatnya tentu
ada:kalau S maka A. Jadi dari adanya sebab dapat disimpulkan adanya akibat.
Contoh sebuah pabrik petasan terbakar, karena bahan petasan terkena percikan
api rokok, sehingga meledak dan menimbulkan kebakaran. Bahan petasan
menjadi kondisi mutlak dari ledakan yang menimbulkan kebakaran. Tanpa
bahan peledak, tidak mungkin ada ledakan. Percikan api juga kondisi yang
mutlak.
Bentuk penalaran untuk menyimpulkan sebab dari akibat atau
sebaliknya yang digunakan ialah bentuk menurut metode yang diciptakan oleh
John Stuart Mill. Metode ini merupakan metode yang diciptakan khusus untuk
menarik kesimpulan dalam hubungan sebab-akibat.
2. Metode Persamaan ( The Method of Agreement )
Prinsip metode ini sendiri dirumuskan demikian:
“ Apabila dua peristiwa atau lebih dari suatu gejala yang diteliti hanya
mempunyai satu faktor yang sama, maka satu-satunya faktor yang sama utnuk
semua peristiwa itu ialah sebab (atau akibat) dari gejala tersebut”
Konklusi metode ini tidak mengandung nilai kebenaran yang pasti,
akan tetapi hanya mengandung probabilitas. Metode persamaan ini orang
menarik konklusi berdasarkan asumsi bahwa sebab yang dicari itu tentu
terdapat diantara faktor-faktor yang disebut di dalam premis.
3. Metode Perbedaan
Prinsipnya dirumuskan demikian:
“Kalau sebuah peristiwa yang mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah
peristiwa lain yang tidak mengandungnya, semua faktor-faktornya sama
kecuali satu, sedang yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama, maka faktor
satu-satunya yang menyebabkan kedua peristiwa itu berbeda adalah akibat atau
sebab atau bagian yang tak terpisahkan dari sebab gejala tersebut. Metode ini

70
penerapannya dalam eksperimen atau penelitian eksperimental atau eksperimen
terkendali. Dalam eksperimen terkendali terdapat dua peristiwa yang
diperbandingkan yang semua faktor yang dianggap merupakan sebab dari
gejala yang dipandang sebagai akibatnya. Subjek yang mengandung faktor
eksperimental disebut kelompok eksperimental, lalu subjek yang tidak
mengandung faktor eksperimental disebut kelompok pengendali. Faktor
penyebab disebut variabel tak terikat (independent variable), sedang gejala
atau akibatnya disebut variabel terikat (dependent variable).
4. Metode Gabungan
Prinsip metode gabungan yaitu:
“Kalau pada dua peristiwa atau lebih dengan sebuah gejala, hanya terdapat
sebuah faktor yang sama sedang pada dua peristiwa atau lebih yang tidak
memiliki gejala itu, tidak ada persamaannya yang satu dengan yang lain,
kecuali tidak adanya faktor tersebut, maka faktor yang merupakan satu satunya
perbedan diantara kedua kelompok peristiwa itu adalah akibat atau sebab atau
bagian tak terpisahkan dari sebab dari gejala itu.
5. Metode Residu
Stuart Mill merumuskaan metode residu:
“Hapuslah dari suatu gejala bagian apa saja yang berdasarkan induksi-induksi
terdahulu sudah diketahui merupakan akibat dari anteseden-anteseden tertentu
dan residu (sisa) gejala itu ialah akibat dari sisa antesedennya”.
6. Metode Variasi
Maksudnya ialah perbedaan tanpa pergantian identitas. Metode ini
didasarkan atas adanya sesuatu faktor yang bervariasi dalam suatu peristiwa
dan adanya dalam peristiwa yang sama itu gejala yang juga bervariasi. Metode
variasi ini juga berdasarkan asumsi, bahwa adanya variasi yang seperti
dikatakan adalah perbedaan gradual, itu dapat disaksikan. Ini berarti bahwa
harus ada kemungkinan untuk mengukur perbedaan itu. jadi metode variasi itu
metode kuantitatif.
7. Hubungan Sebab-akibat = implikasi empirik

71
Metode-metode Stuart Mill itu berdasarkan hubungan sebab-akibat atau
hubungan kausal. Hubungan itu dapat dirumuskan kalau sebab/akibatnya ada,
maka akibatnya/sebabnya ada. Hubungan ‘Kalau..., maka..,’ yaitu hubungan
implikasi. Jadi hubungan sebab-akibat juga di sebut hubungan kausal. Semua
jenis implikasi juga dapat disebut hubungan sebab-akibat dan juga dapat
dijadikan dasar penalaran, tapi penalarannya bukan menurut metode Stuart
Mill.

F. HIPOTESA
1. Hipotesa ilmiah dan non-ilmiah
Hipotesa adalah sebuah istilah ilmiah yang digunakan dalam rangka
kegiatan ilmiah. Dalam membuat hipotesa dalam kegiatan ilmiah dilakukan
secara sadar, teliti, dan terarah. Dalam berfikir sehari-haripun orang biasa
membuat hipotesa, hanya biasanya tidak sebut hipotesa, akan tetapi anggapan,
perkiraan dsb.
Tahap-tahap dalam pembentukan dan penggunaan hipotesa itu pada
umumnya garis besarnya:
a. Penentuan masalah
b. Hipotesa pendahuluan atau hipotesa preliminer
c. Pengumpulan fakta
d. Formulasi hipotesa
e. Pengujian hipotesa
f. Aplikasi/penerapan

72
2. Hipotesa sebagai konklusi
Hipotesa disusun berdasarkan atas atau disimpulkan dari sejumlah
fakta. Hipotesa itu konklusi dari sebuah penalaran. Penalaran yang
menghasilkan hipotesa itu sangat kompleks, melibatkan dedukasi maupun
induksi dan bahkan ada unsur intuisi dan ilham. Hipotesa adalah suatu konklusi
yang memiliki nilai probabilitas. Dengan menerapkan hipotesa maupun
konklusi induktif orang dapat mengadakan prediksi.
3. Hipotesa sebagai eksplanasi
Tidak semua hipotesa yang dapat diciptakan mengenai sesuatu masalah
menyajikan eksplanasi yang baik. Terdapat kriteria yang dapat digunakan
untuk mengatakan suatu hipotesa itu baik atau tidak baik, yaitu:
a. Sebuah hipotesa harus sekomprehensif mungkin, artinya semua fakta
yang berhubungan dengan masalahnya dan semua aplikasi/penerapan
dari hipotesa itu harus dapat diterangkan oleh hipotesa yang
bersangkutan.
b. Sebuah hipotesa harus memiliki nilai prediktif, hipotesa harus dapat
digunakan untuk meramalkan apa yang akan terjadi.
c. Sebuah hipotesa harus dapat diuji, yaitu dicocokan dengan observasi
empirik.
d. Simplisitas atau kesederhanaan.
e. Hipotesa tidak boleh mengandung inkonsistensi.
G. PROBABILITAS
1. Teori Probabilitas
Konklusi dari segala penalaran induktif memiliki sifat probabilitas, sifat
peluang yang dapat menyebabkan pikiran dapat percaya akan kebenarannya.
Probabilitas yang berbentung angka itu dapat disebut probabilitas numerik.
Eksperimen ialah setiap prosedur yang jelas dan tetap yang harus dikerjakan
atau setiap cara yang tertentu dan tetap yang dapat dikerjakan.
- Teori Klasik

73
Teori ini merupakn teori yang tertua, yang disusun dalam hubungan
dengan permainan judi dan juga dikenal dengan nama teori perjuadian
(game theory). Dalam definisi klasik nilai probabilitas ialah hasil bagi
atau kosien dari jumlah sukses dibagi jumlah peristiwa yang memiliki
ekuiposibilitas.
- Teori frekuensi relatif
Teori ini memandang probabilitas sebagai frekuensi relatif, yaitu
seringnya atau banyaknya hasil sukes dalam sejumlah percobaan. Jadi:

Frekuensi relatif = Jumlah s (sukses)


Jumlah t (trial)

2. Kalkulus Probabilitas
Memberikan gambaran tentang kalkulus probabilitas dengan
menjelaskan beberapa hukumnya yang pokok.
- Hukum Konjungsi
- Hukum disyungsi
a. Disyungsi ekslusif
Hukum disyungsi ekslusif tidak hanya berlaku untuk disyungsi
yang anggota-anggotanya komplementer, bahkan berlaku juga
apabila disyungsi memiliki lebih dari dua anggota.
b. Disyungsi inklusif
Kita melemparkan mata uang seratus rupiah dua kali. Berapa
nilai probabilitasnya untuk mendapatkan sukses gambar rumah pada
lemparan pertama atau kedua? Disyungsi ini adalah disyungsi
inklusif, karena suksesnya dapat dicapai pada lemparan pertama
atau kedua atau pada lemparan pertama dan kedua.

74
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Logika sebagai istilah berarti suatu metode atau teknik yang diciptakan
untuk meneliti ketetapan penalaran. Penalaran adalah suatu bentuk
pemikiran. Adapun bentuk-bentuk pemikiran yang lain, mulai dari yang
paling sederhana ialah: pengertian atau konsep ( conceptus: concept),
Proposisi atau pertanyaan ( Propositio; statement), dan penalarasan
( ratiocinium; reasoning). Tidak ada proposisi tanpa pengertian dan tidak
ada penalaran tanpa proposisi. Penalaran dapat sesat karena bentuknya tidak
tepat, tidak sahih. Kata-kata dalam bahasa dapat memiliki arti yang berbeda-
beda, dan setiap kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai
dengan arti kalimat yang bersangkutan.
2. Sistem logika yang mengenai penalaran langsung itu didasarkan atas
proposisi kategorik bentuk S=P. Dalam bentuk proposisi kategorik yang
demikian itu baik term untuk subyek maupun untuk predikatnya menunjuk
pada suatu sybstantif. Aristoteles membedakan proposisi karegorik
berdasarkan kualitas dan kuantitasnya. Silogisme itu terdiri atas tiga
proposisi kategorik, dua proposisi yang pertama berfungsi sebagai premis,
sedang yang ketiga sebagai konklusi. Penyimpangan dari silogisme standar
dapat terjadi karena orang tidak menggunakan proposisi kategorik standar.
Hukum silogisme itu sebagian mengenai unsur term dan sebagian lagi
mengenai unsur proposisi dalam silogisme.

75

Anda mungkin juga menyukai