Anda di halaman 1dari 100

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian

Hasil belajar merupakan ukuran untuk menilai keberhasilan belajar, untuk

memperoleh hasil belajar yang dapat dicapai sesuai dengan tujuan pendidikan pihak

sekolah menentukan Standar Ketuntatas Minimal (SKM) dengan besaran angka yang

ditentukan sesuai dengan harapan sekolah, yang didasarkan pada estimasi

kemampuan peserta didik bisa mencapai standar yang ditentukan, namun demikian

pada kenyataannya peserta didik masih banyak yang belum mencapai angka standar

yang dimaksud, kondisi ini merupakan masalah yang umum dihadapi oleh sekolah.

Dalam penentuan SKM pertimbangan sekolah lebih melihat pada kemampuan

peserta didik, sedangkan faktor lainnya kurang mendapat perhatian, diantaranya

dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran pada umumnya masih didominasi

oleh pendidik sehingga kurang memberi kesempatan bagi peserta didik untuk

berkembang secara mandiri, hal ini mengakibatkan penumpukan informasi bagi

peserta didik dan lambatnya proses berpikir kedepan. Pendidik selalu menuntut

peserta didik untuk belajar, tetapi tidak mengajarkan bagaimana peserta didik

seharusnya belajar dan menyelesaikan masalah. Dengan cara mengajar yang satu arah

dapat mengakibatkan kurangnya keberanian peserta didik untuk mengeluarkan

argumen atau pendapat, kurangnya peran peserta didik dalam mencari data tentang

masalah pembelajaran, dan kurangnya peran aktif peserta didik dalam menyelesaikan

masalah pembelajaran. Pendidik yang berperan aktif, sementara peserta didik


2

cenderung pasif dapat mengakibatkan kurangnya keterlibatan peserta didik dalam

mengikuti proses pembelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh Vianata (2012: 98)

bahwa “Pada kenyataannya, banyak dijumpai dikelas-kelas suatu sekolah selama ini

adalah pembelajaran berpusat pada guru (teacher centered learning) yang mana guru

berperan sebagai pemberi pengetahuan bagi peserta didik, dan cara penyampaian

pengetahuan cenderung masih didominasi dengan metode ceramah”. Rendahnya hasil

belajar berkaitan pula dengan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Dengan

kondisi seperti ini maka muncul masalah rendahnya tingkat kemampuan berpikir

kritis peserta didik. Dari permasalahan tersebut penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang berkaitan dengan tingkat kemampuan berpikir kritis.

Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik pada umumnya dialami

oleh sekolah, seperti hal nya SMK PGRI Cikoneng dengan data awal sebagai berikut:

Tabel 1.1
Penilaian Tingkat Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik
Aspek Penilaian (rata-rata) Kalkulasi
Mencapai Belum
No Kelas SKM
Tanya Kata Peka Respon SKM Mencapai SKM
Jumlah % jumlah %
X
1 AKL 65 59,87 58,9 54,61 54,47 9 23,68 29 76,32
1
X
2 AKL 65 57,94 55,88 56,62 55,29 8 23,53 26 76,47
2
Kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng 2018/2019

Berdasarkan tabel 1.1 di atas dapat diuraikan bahwa tingkat kemampuan

berpikir kritis peserta didik kelas X AKL di SMK PGRI Cikoneng masih rendah, di

kelas X AKL 1 hanya sembilan orang peserta didik yang mencapai Standar

Ketuntasan Minimal (SKM) dari 38 peserta didik jumlah keseluruhan dan di kelas X
3

AKL 2 hanya delapan orang peserta didik yang mencapai SKM dari 34 peserta didik

jumlah keseluruhan. Hal ini menjadi masalah yang akan diteliti oleh penulis.

Kemampuan berpikir kritis peserta didik yang merupakan salah satu

komponen hasil belajar biasanya dinyatakan dalam bentuk nilai atau angka kriteria

penilaian. Sebagai data pembantu atau pelengkap dari data hasil observasi di atas,

penulis juga telah mengamati hasil belajar peserta didik kelas X AKL di SMK PGRI

Cikoneng, berdasarkan hasil pengamatan di bawah ini merupakan nilai PAS

(Penilaian Akhir Semester) peserta didik kelas X pada mata pelajaran Akuntansi

Dasar di SMK PGRI Cikoneng.

Tabel 1.2
Nilai PAS Mata Pelajaran Akuntansi Dasar
Kelas X SMK PGRI Cikoneng 2018/2019
Jumlah Peserta
Jumlah didik yang kurang
Nilai Nilai Nilai
No Kelas SKM Peserta dari SKM
Tertinggi Terendah Rata-rata
Didik Jumla
%
h
X AKL
1 65 90 50 67,24 38 14 36,84
1
X AKL
2 65 90 50 62,91 34 15 44,12
2

Berdasarkan Data di atas diketahui bahwa hasil nilai PAS Mata Pelajaran

Akuntansi Dasar di kelas X AKL 1 nilai tertinggi sebesar 90, nilai terendah 50, nilai

rata-rata 67,24 dan yang belum mencapai SKM sebanyak 14 orang atau 36,84% dari

jumlah peserta didik 38 orang. Sedangkan di kelas X AKL 2 diketahui nilai tertinggi

sebesar 90 dan nilai terendah 50 dengan nilai rata-rata 62,91 dan peserta didik yang

belum mencapai SKM sebanyak 15 orang atau 44,12% dari jumlah peserta didik

sebanyak 34 orang. Dengan demikian data di atas menunjukan bahwa masih

rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik.


4

Berdasarkan masalah yang diuraikan, penulis berasumsi bahwa dalam

pembelajaran model pembelajaran yang dapat memacu semangat setiap peserta didik

untuk secara aktif terlibat dalam pengalaman belajarnya. Salah satu alternatif model

pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya keterampilan berpikir peserta

didik (penalaran, komunikasi, dan koneksi) dan memecahkan masalah adalah

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning).

Menurut Tan (2003) dalam Rusman (2010:229) Pembelajaran Berbasis

Masalah (Problem Based Learning) merupakan inovasi dalam pembelajaran karena

dalam penerapan model ini kemampuan berpikir peserta didik betul-betul di

optimalisasikan melalui proses kerja kelompok atau tim yang sistematis, sehingga

peserta didik dapat memberdayakan, mengasah, menguji, dan mengembangkan

kemampuan berpikirnya secara berkesinambungan.

Model pembelajaran berbasis masalah yang dapat dipilih dalam pembelajaran

Akuntansi Dasar salah satunya adalah tipe Open Ended. Menurut Wahyuni at al

(2013, 3:36) mengemukakan bahwa:

pada pendekatan open ended formulasi pemecahan masalah yang digunakan


adalah masalah terbuka. Melalui masalah terbuka, peserta didik dapat
menyelesaikannya dengan cara yang lebih sesuai dengan kemampuan mereka,
dan mereka diberi kesempatan untuk memilih cara untuk memunculkan
kemampuan mereka.

Berdasarkan kutipan di atas dapat diartikan bahwa Model pembelajaran

berbasis masalah tipe Open Ended merupakan model pembelajaran yang

membebaskan peserta didik untuk memilih berbagai cara dan strategi pemecahan

masalah sesuai dengan kemapuan, minat dan bakat individunya masing-masing.

Sehingga peserta didik yang memiliki kemampuan yang tinggi dapat berpartisipasi
5

dalam kegiatan belajar. Begitu juga dengan peserta didik yang dapat dikatakan

mempunyai kemampuan rendah dapat menikmati kegiatan belajar dengan

kemampuan, minat dan bakatnya sendiri.

Sesuai dengan pengertian di atas, model pembelajaran berbasis masalah tipe

Open Ended dapat memicu peserta didik untuk meningkatkan kemampuan berpikir

kritis nya, yang mana dalam pengertian Open Ended di atas dijelaskan bahwa peserta

didik diberikan kebebasan dalam memilih cara untuk memecahkan masalah sesuai

dengan kemampuannya masing-masing.

Berdasarkan uraian di atas peneliti berasumsi bahwa model Pembelajaran

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended merupakan model

pembelajaran yang tepat untuk digunakan dalam mata pelajaran Akuntansi Dasar

dalam meningkatkan cara berpikir kritis peserta didik. Maka penulis menjadi tertarik

untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis

Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended terhadap Kemampuan Berpikir

Kritis Peserta didik Pada Mata Pelajaran Akuntansi Dasar di SMK PGRI Cikoneng”.

1.2. Identifikasi Masalah dan Rumusan Masalah

1.2.1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas masih

banyak masalah yang dihadapi dalam proses pembelajaran Akuntansi Dasar. Masalah

yang timbul antara lain:

1. Proses pembelajaran umumnya didominasi pendidik.

2. Tingkat keberanian peserta didik dalam mengemukakan pendapat masih

rendah.
6

3. Dalam proses pembelajaran peserta didik cenderung pasif (hanya

mendengarkan dan mencatat).

4. Tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam proses pembelajaran

rendah.

5. Masih terdapat nilai hasil belajar peserta didik yang belum mencapai Standar

Ketuntasan Minimal (SKM).

1.2.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam

penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran

akhir (posttest)?

2. Apakah terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended dengan yang menggunakan metode pembelajaran

konvensional pada pengukuran akhir?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah untuk

mengetahui:

1. Perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended

pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest).


7

2. Perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended

dan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional pada pengukuran

akhir.

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua kegunaan, yaitu kegunaan teoritis

dan kegunaan praktis.

1.4.1. Kegunaan Teoritis

1. Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada mata pelajaran akuntasi dasar melalui model pembelajaran

berbasis masalah (problem based learning) tipe Open Ended.

2. Memperkaya wawasan pembelajaran yang berhubungan dengan proses

kegiatan belajar mengajar akuntansi dasar di sekolah.

3. Penelitian ini sebagai bahan pembantu untuk penelitian-penelitian yang akan

datang.

1.4.2. Kegunaan Praktis

1.4.2.1. Bagi Peserta Didik

1. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam mata pelajaran

akuntansi dasar.

2. Memberikan suasana belajar yang lebih memacu aktivitas peserta didik dalam

belajar.
8

1.4.2.2. Bagi Pendidik

1. Menambah wawasan bagaimana penerapan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) tipe Open Ended.

2. Sebagai solusi terhadap kendala pelaksanaan pembelajaran terkait dengan

hasil belajar terutama dari segi kemampuan berpikir kritis peserta didik.

3. Meningkatkan prestasi kinerja yang lebih profesional dan inovatif serta

memperbaiki proses pembelajaran dikelas.

1.4.2.3. Bagi Sekolah

1. Memberikan masukan atau saran dalam rangka memperbaiki pembelajaran

dikelas serta dalam upaya pengembangan pembelajaran yang mampu

meningkatkan hasil belajar mata pelajaran akuntansi dasar pada peserta didik

kelas X di SMK PGRI Cikoneng.

2. Sebagai salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran

akuntansi dasar melalui model pembelajaran berbasis masalah (problem

based learning) tipe Open Ended.

3. Memperkaya wawasan pendidikan yang berhubungan dengan proses kegiatan

belajar mengajar akuntansi dasar di sekolah.

1.4.2.4. Bagi Pihak Lain

Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi referensi bagi peneliti lain

sehingga penelitian ini dapat berlanjut pada penelitian-penelitian yang akan datang.
9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

2.1. Kajian Pustaka

2.1.1. Berpikir Kritis

2.1.1.1. Pengertian Berpikir Kritis

Menurut Glaser (Fisher, 2008:3) mendefinisikan berpikir kritis sebagai: (1)

suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah dan hal-hal yang

berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-

metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan

untuk menerapkan metode-metode tersebut. Berpikir kritis menuntut upaya keras

untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti

pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya. Hal yang

diutamakan dalam pengertian berpikir kritis menurut Glaser menekankan upaya keras

seseorang untuk mau berpikir terhadap masalah-masalah yang dihadap melalui

metode dan penalaran yang logis sesuai dengan bukti yang nyata.

Richard Paul (Fisher, 2008:4) juga mengatakan bahwa “berpikir kritis adalah

motode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja dimana si pemikir

meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-

struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual

padanya.

Mengutip pengertian berpikir kritis yang dipaparkan oleh kedua ahli di atas,

penulis menyimpulkan bahwa berpikir kritis merupakan suatu upaya seseorang dalam
10

pemecahan masalah dengan metode dan penalaran yang logis disertai dengan

keterampilan dalam penerapan metode tersebut demi meningkatnya kualitas

pemikiran intelektual.

Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, bahwa berpikir

kritis memiliki beberapa tingkatan. Merujuk pada tingkatan berpikir kritis menurut

taksonomi Bloom yaitu (a) mengetahui (knowing) adalah suatu proses berpikir yang

didasarkan pada retensi (menyimpan) dan retrieval (mengeluarkan kembali) sejumlah

pengetahuan yang pernah didengar atau dibacanya; (b) memahami (understanding)

adalah suatu proses berpikir yang sifatnya lebih kompleks yang mempunyai

kemampuan dalam penerjemahan, interpretasi, ektrapolasi, dan asosiasi; (c)

menerapkan (application) adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan, fakta,

teori dan lain-lain untuk menyimpulkan, memperkirakan, atau menyelesaikan suatu

masalah; (d) menganalisis (analysis) juga berpikir secara divergen yaitu kemampuan

menguraikan suatu konsep atau prinsip dalam bagian-bagian atau komponen-

komponennya; (e) mensintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk melakukan suatu

generalisasi atau abstraksi dari sejumlah fakta, data, fenomena dan lain-lain; dan (f)

mengevaluasi (evaluation) disebut juga intelectual judgment, yatu pengetahuan yang

luas dan dalam tentang sesuatu pengertian dari apa yang diketahui serta kemampuan

analisa dan sintesis sehingga dapat memberikan penilaian atau evaluasi.

2.1.1.2. Karakteristik Berpikir Kritis

Berpikir kritis merupakan salah satu proses berpikir tingkat tinggi yang dapat

digunakan dalam pembentukan sistem konseptual peserta didik. Demi tercapainya

berpikir kritis yang diharapkan, maka harus memenuhi karakteristik kegiatan berpikir
11

kritis. Delapan karakteristik berpikir kritis menurut Arief Achmad (Yanti, 2007)

meliputi:

a) Kegiatan merumuskan pertanyaan


b) Membatasi permasalahan
c) Menguji data-data
d) Menganalisis berbagai pendapat
e) Menghindari pertimbangan yang sangat emosional
f) Menghindari penyederhanaan berlebihan
g) Mempertimbangkan berbagai interpretasi dan
h) Mentoleransi ambiguitas.

Lebih lanjut dijelaskan karakteristik dari berpikir kritis menurut Wade

(Setiawan, 2005) adalah menjawab pertanyaan, merumuskan masalah, meneliti fakta-

fakta, menganalisis asumsi dan kesalahan, menghindari alasan-alasan yang

emosional, menghindari penyederhanaan yang berlebihan, memikirkan interpretasi

lain, dan mentoleransi arti ganda. Kemampuan berpikir kritis dan kreatif sangat

diperlukan dalam mengajarkan pemecahan masalah pada peserta didik, karena salah

satu indikasi adanya transfer belajar adalah kemampuan menggunakan informasi dan

keterampilan dalam memecahkan masalah. Melalui pemecahan masalah-masalah itu

peserta didik dilatih berpikir kritis melalui latihan. Kesulitan yang utamanya

ditemukan pada peserta didik dalam memecahkan masalah adalah dalam hal

memperjelas masalah atau merumuskan masalah yang akan dipecahkan.

2.1.1.3. Manfaat Berpikir Kritis

Manfaat berpikir kritis dalam pembelajaran sangat besar peranannya dalam

meningkatkan proses dan hasil belajar. Selain manfaat kemampuan berpikir kritis

dalam pembelajaran juga mempunyai peranan sebagai bekal peserta didik untuk

menghadapi masa depan. Beberapa penelitian membuktikan manfaat kemampuan

berpikir kritis dalam pembelajaran maupun sebagai bekal masa depan yaitu Lawson
12

(Hadi, 2007) menyatakan bahwa menurut teori Pieget, perkembangan kemampuan

penalaran formal sangat penting bagi perolehan (penguasaan) konsep, karena

pengetahuam konseptual merupakan akibat atau hasil dari suatu proses konstruktif,

dan kemampuan penalaran tersebut adalah alat yang diperlukan pada proses itu.

Menurut Ennis (Susilo, 2004), ciri-ciri penting peserta didik yang telah

memiliki watak untuk selalu berpikir kritis adalah sebagai berikut.

a. Mencari pernyataan atau pertanyaan yang jelas artinya atau maksudnya


b. Mencari dasar atas suatu pernyataan
c. Berusaha untuk memperoleh informasi terkini
d. Menggunakan dan menyebutkan sumber yang dapat dipercaya
e. Mempertimbangkan situasi secara menyeluruh
f. Berusaha relevan dengan pokok pembicaraan
g. Berusaha mengingat pertimbangan awal atau dasar
h. Mencari alternatif-alternatif
i. Bersikap terbuka
j. Mengambil posisi (atau mengubah posisi) apabila bukti-bukti dan dasar-
dasar sudah cukup baginya untuk menentukan posisinya
k. Mencari ketepatan seteliti-telitinya
l. Berusaha dengan bagian-bagian secara berurutan hingga mencapai seluruh
keseluruhan yang kompleks
m. Menggunakan kemampuan atau keterampilan kritisnya sendiri
n. Peka terhadap perasaan, tingkat pengetahuan dan tingkat kerumitan berpikir
orang lain
o. Menggunakan kemampuan berpikir kritis orang lain.

Kemampuan berpikir kritis dapat ditingkatkan melalui latihan. Yang mana

latihan tersebut dapat dilalui peserta didik melalui langkah-langkah yang tepat,

langkah-langkah tersebut yaitu: (a) menentukan masalah atau isu nyata, proyek, atau

keputusan yang betul-betul dipertimbangkan untuk dikritisi; (b) menentukan poin-

poin yang menjadi pandangan-pandangan; (c) memberi alasan mengapa poin-poin itu

dipertimbangkan untuk dikritisi; (d) membuat asumsi-asumsi yang diperlukan; (e)

bahasa yang digunakan harus jelas; (f) membuat alasan yang mendasari dalam fakta-
13

fakta yang meyakinkan; (g) mengajukan kesimpulan; dan (h) menentukan implikasi

dan kesimpulan tersebut.

2.1.1.4. Tahapan-Tahapan Berpikir Kritis

Tahapan berpikir kritis yang dapat dilalui oleh peserta didik agar bisa

memecahkan masalah yang mereka hadapi, peserta didik harus mengambil peran aktif

dalam proses pembelajaran. Menurut Desmita (2009:156) mengatakan bahwa, “untuk

berpikir secara kritis, untuk memecahkan setiap permasalahan atau untuk

mempelajari sejumlah pengetahuan baru, peserta didik harus berupaya

mengembangkan sejumlah proses berpikir aktif”, diantaranya:

1) Mendengarkan secara seksama


2) Mengidentifikasi atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan
3) Mengorganisasi pemikiran-pemikiran mereka
4) Memperhatikan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan
5) Melakukan deduksi (penalaran dari umum ke khusus)
6) Membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang valid dan yang tidak
valid secara logika
7) Belajar bagaimana mengajukan pertanyaan-pertanyaan klarifikasi, (seperti
“apa intinya?”,”apa yang anda maksud dengan pertanyaan itu?”, dan
“mengapa?”).

Menurut Costa (Komalasari, 2010:266) menyatakan bahwa berpikir kritis

terdiri atas kegiatan atau proses berikut:

1) Menentukan hukum sebab akibat


2) Pemberian makna terhadap sesuatu yang baru
3) Mendeteksi keteraturan diantara fenomena
4) Menentukan kualitas bersama (klasifikasi)
5) Menemukan ciri khas suatu fenomena

Agar berjalannya tahapan-tahapan yang diuraikan di atas, maka harus adanya

instrument atau pertanyaan-pertanyaan yang dapat digunakan. Menurut Surya

(2013:188) mengemukakan delapan pertanyaan yang dapat digunakan untuk berpikir

kritis, yaitu sebagai berikut:


14

1) Menentukan apa yang menjadi topik masalah, isu, pendapat, pertanyaan,


keputusan atau kegiatan yang sedang dipertimbangkan?
2) Mengenali apa yang menjadi latar belakang dan sudut pandang?
3) Mengetahui apa alasan yang dijadikan pertimbangan?
4) Menemukan apakah asumsi-asumsi yang dibuat?
5) Mengkaji apakah bahasa yang dipergunakan jelas?
6) Mengkaji apakah bukti-bukti meyakinkan?
7) Mengkaji apakah kesimpulan yang ditawarkan?
8) Mengkaji apakah implikasi yang direkomendasikan dari kesimpulan?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan di atas, dapat diuraikan

bahwa agar peserta didik dapat memiliki kemampuan berpikir kritis langkah yang

dapat dilakukan yaitu dengan membuat pertanyaan menganai topik masalah apa yang

menjadi pembahasan dengan mencari latar belakang masalah tersebut dengan

pertimbangan-pertimbangan yang diperkuat oleh asumsi-asumsi yang jelas atau

bukti-bukti yang nyata demi terbuatnya kesimpulan yang relevan.

2.1.1.5. Indikator Berpikir Kritis

Kemampuan berpikir kritis merupakan salah satu dari keterampilan berpikir

tingkat tinggi (high order thinking), yaitu dimana ketika seorang peserta didik ingin

mengetahui lebih jauh mengenai sesuatu yang dia temukan. Keterampilan tersebut

tentu saja tidak dapat serta merta hadir dalam diri seseorang, perlu adanya latihan

yang berkesinambungan dan tentu saja perlu adanya motivasi dari dalam diri untuk

memperkuat keinginan mencari informasi lebih dalam dan menyeluruh.

Indikator berpikir kritis menurut Edwar Glaser (1941) dalam Alec Fisher

(2009:7) yaitu: 1) mengenal masalah, 2) mencari cara-cara yang dapat dipakai untuk

menangani masalah-masalah itu, 3) mengumpulkan data dan menyusun informasi

yang diperlukan, 4) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, 5)


15

memahami dan menggunakan bahasa secara tepat, jelas dan khas, 6)

menganalisis data, 7) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, 8)

mengenal adanya hubungan yang logis antar masalah-masalah, 9) menarik

kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, 10) menguji

kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, 11)

menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang

lebih luas, dan 12) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal yang kualitas-

kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.2. Belajar

2.1.2.1. Pengertian Belajar

Dalam segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan sehari-

hari, istilah belajar sudah dikenal luas. Hal ini disebabkan karena aktivitas belajar

muncul dalam berbagai bentuk. Mulai dari membaca buku, menirukan perilaku tokoh

dalam televisi, menghafal ayat Al-Qur’an, mencatat pelajaran dan masih banyak lagi

aktivitas belajar lainnya. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa tidak ada

batasan untuk belajar, baik ketika seseorang melakukan aktivitas sendiri maupun

dalam kelompok tertentu. Belajar tidak pernah dibatasi oleh usia, tempat maupun

waktu, karena perubahan yang menuntut terjadinya aktivitas belajar tidak akan ada

hentinya.

Menurut Gagne (Suprijono, 2016: 2) “Belajar adalah perubahan disposisi atau

kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Perubahan disposisi tersebut

bukan diperoleh langsung dari proses pertumbuhan seseorang secara alamiah”.

Menurut Harold Spears (Suprijono, 2016: 2) “Learning is the observe, to read, to


16

imitate, to try something themselves, to listen, to follow direction. (Dengan kata lain,

bahwa belajar adalah mengamati, membaca, meniru, mencoba sesuatu, mendengar

dan mengikuti arah tertentu)”.

Menurut Witherington (Mulyono, 2015: 39) “Belajar merupakan perubahan

dalam kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons yang baru

berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan dan kecakapan”. Menurut

Skinner (Dimyati dan Mudjiono, 2013: 9) “Belajar adalah suatu perilaku. Pada saat

orang belajar, maka responsnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila dia tidak belajar

maka responsnya menurun”. Dalam belajar ditemukan hal berikut:

a. Kesempatan terjadinya peristiwa yang menimbulkan respons peserta didik

b. Respons peserta didik

c. Konsekuensi yang bersifat menguatkan respons tersebut. Pemerkuat terjadi pada

stimulus yang menguatkan konsekuansi tersebut. Sebagai ilustrasi, perilakau

respons pelajar yang baik diberi hadiah. Sebaliknya, perilaku respons yang tidak

baik di beri teguran dan hukuman.

Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa belajar pada

dasarnya adalah perubahan yang terjadi pada diri seseorang setelah melakukan

aktivitas-aktivitas tertentu. Walaupun pada kenyataanya tidak semua perubahan

termasuk kategori dalam belajar, yang terpenting dalam belajar itu adalah proses yang

dijalani bukan hasilnya.

2.1.2.2. Tujuan Belajar

Dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan belajar perlu diciptakan adanya

sistem lingkungan atau kondisi belajar yang lebih kondusif.


17

Ada beberapa tujuan dari belajar menurut Sardiman (2010:25) yaitu:

a. Untuk mendapat pengetahuan

b. Penanaman konsep dan keterampilan

c. Pembentukan sikap

2.1.2.3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Belajar

Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar menurut Slameto (2010:54) yaitu

sebagai berikut:

a. Faktor-Faktor Intern terdiri dari:


1. Faktor Jasmaniah
a) Faktor kesehatan
b) Cacat tubuh
2. Faktor Psikologi
Ada beberapa faktor psikologi yang mempengaruhi belajar diantaranya
yaitu:
a) Intelegensi
b) Perhatian
c) Minat
d) bakat
e) Motif
f) Kematangan
g) Kesiapan
3. Faktor Kelelahan
Kelelahan pada dapat Jua maLarr kelelahan jasmani dan kelelahan rohani.
b. Faktor-faktor Ekstern terdiri dari
1. Faktor Keluarga
Peserta didik yang dapat belajar akan menerima pengaruh dari keluarga yaitu
berupa:
a) Cara orang tua mendidik
b) Relasi antar anggota keluarga
c) Suasana rumah
d) Keadaan ekonomi keluarga
e) Pengertian orang tua
f) Latar belakang kebudayaan
2. Faktor Sekolah
a) Metode mengajar
b) Kurikulum sekolah
c) Relasi pendidik dengan peserta didik
d) Disiplin sekolah
e) Alat pelajaran
18

f) Waktu sekolah
g) Standar pelajaran di atas ukuran
h) Keadaan gedung
i) Tugas rurnah
3. Faktor Masyarakat
a) Kegiatan siswa dalain masyarakat
b) Masa media
c) Teman bergaul
d) Bentuk kehidupan masyarakat

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi belajar ada dua faktor yaitu faktor internal yang terdiri dari faktor

jasmani, psikologi dan kelelahan, dan faktor eksternal yang terdiri dari faktor

keluarga, sekolah dan masyarakat.

2.1.2.4. Teori-Teori Belajar

Teori belajar yang merupakan dasar dari para ahli untuk selalu bereksperimen

yaitu sebagai berikut:

a. Teori Prilaku/Teori Belajar Behaviorisme

Teori prilaku berakar pada pemikiran behaviorisme. Dalam perspektif

behaviorisme pembelajaran diartikan sebagai proses pembentukan hubungan antara

rangsangan (stimulus) dan balas (respon). Dan hasil pembelajaran yang diharapkan

adalah perubahan prilaku berupa kebiasaan (Suprijono, 2012:16).

Teori prilaku sering disebut stimulus-respon (S-R) psikologis yang artinya

bahwa tingkah laku manusia dikendalikan oleh ganjaran atau reward dan penguatan

atau reinforcement (Suprijono. 2012:17).

Hull telah mengembangkan sebuah teori dalam versi behaviorisme.

Menyatakan bahwa stimulus (S) memengaruhi organisme (O) dan menghasilkan

respons (R) itu tergantung pada karakteristik O dan S (dalam Baharuddin,2010:83).


19

Ciri teori perilaku adalah mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil;

menekankan peranan lingkungan; mementingkan pembentukan reaksi atau respon;

menekankan pentingnya latihan; mementingkan mekanisme hasil belajar; dan

mementingkan peranan kemampuan. (Suprijono, 2012:17)

b. Teori Belajar Kognitivisme

Dalam perspektif teori kognitif, belajar merupakan peristiwa mental, bukan

peristiwa behavioral meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata

hampir dalam setiap peristiwa belajar. Belajar menurut teori kognitif adalah

perseptual. Tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahatnannya

tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya (Suprijono, 2012).

Menurut aliran kognitif belajar adalah sehuah proses mental yang aktif untuk

mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang

tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental

seperti motivasi. Kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin,

2010:87).

Dalam teori belajar ini, seseorang belajar apabila mendapatkan insight. Insight

merupakan proses yang didasarkan pada pemahaman atau setiap orang telah memiliki

pengetahuan dan pengalaman yang telah tertata dalam bentuk struktur kognitif yang

dimilikinya. Adapun timbulnya insight tergantung pada beberapa hal yaitu:

kesanggupan, pengalaman, taraf kompleksitas dari situasi, latihan, trial and eror.

c. Teori Belajar Humanisme

Aliran humanistik memandang belajar bukan sekedar pengembangan kualitas

kognitif saja, melainkan juga sebuah proses yang terjadi dalam diri individu yang
20

melibatkan seluruh bagian atau domain yang ada. Domain-domain tersebut meliputi

domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan kata lain, pendekatan humanistik

dalam pembelajaran menekankan pentingnya emosi atau perasaan, komunikasi yang

terbuka, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh setiap peserta didik. Sehingga tujuan yang

ingin dicapai dalam proses belajar itu tidak hanya dalam domain kognitif saja, tetapi

juga bagaimana peserta didik menjadi individu yang bertanggung jawab, penuh

perhatian terhadap lingkungannya, mempunyai kedewasaan emosi dan spiritual.

Prinsip lain dalam pembelajaran humanistic adalah bahwa proses pembelajaran harus

mengajarkan peserta didik bagaimana belajar dan menilai kegunaan belajar itu bagi

dirinya (Baharuddin, 2010:142).

d. Teori Belajar Konstruktivisme

Pengertian teori belajar konstruktivisme menurut slavin (dalam Trianto,

2012:74) sebagai berikut:

Teori pembelajaran konstruktivisme merupakan teori pembelajaran kognitif yang


baru dalam psikologi yang menyatakan bahwa peserta didik harus menemukan
sendiri dan mentransformasikan informasi komplek, mengecek informasi baru
dengan aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai
lagi.

Gagasan konstruktivisme mengenai pengetahuan menurut Suprijono

(2012:30) dapat dirangkum sebagai berikut:

1) Pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan belaka. Tetapi selalu


merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
2) Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang
perlu untuk pengetahuan.
3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsep seseorang. Struktur konsep
membentuk pengetahuan jika konsep itu berlaku dalam berhadapan
dengan pengalaman-pengalaman seseorang.
21

Pada dasarnya teori belajar konstruktivisme menghendaki bahwa pengetahuan

itu dibangun sendiri oieh individu dan pengalaman merupakan kunci dari belajar.

Menurut Suparno (dalam Trianto. 2012:75) mengungkapkan bahwa “belajar

menurut pandangan konstruktivis merupakan hasil konstruksi kognitif melalui

kegiatan seseorang. Pandangan ini memberi penekanan bahwa pengetahuan kita

adalah bentukan kita sendiri”.

Konstruktivisme menekankan pada belajar autentik, bukan artifisal Belajar

autentik adalah proses interaksi seseorang dengan objek yang dipelajari secara nyata.

Belajar bukan sekedar mempelajan teks-teks, terpenting adalah bagaimana

menghubungkan teks itu dengan kondisi nyata atau kontekstual (Suprijono, 2012:39).

Contoh Aplikasi pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah

peserta didik belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil dan saling membantu

satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dad 4 atau 5 peserta didik,

dalam kelompoknya selama beberapa minggu. Mereka diajarkan keterampilan khusus

agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelomponya, selama kerja dalam

kelompok tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan materi yang

ditugaskan pendidik dan saling membantu teman sekelompok mencapai ketuntasan

belajar. Pada saat peserta didik sedang bekerja dalam kelompok pendidik berkeliling

memberikan pujian kepada kelompok yang bekerja dengan baik dan memberikan

bimbingan kepada kelompok yang mengalamt kesulitan (Trianto, 2012:75).

Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivisme menurut suparno

(dalam Trianto, 2012 75), atara lain:

1) Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif


2) Tekanan dalam proses belajar menealar terletak pada peserta didik
22

3) Mengajar adalah membantu peserta didik belajar


4) Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil akhir
5) Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik
6) Pendidik sebagai fasilitator

Teori belajar dalam penelitian ini yaitu mengacu pada teori belajar

konstruktivisme. Karena model pembelajaran berbasis masalah (problem based

learning) tipe open ended merupakan salah satu model pembelajaran menekankan

pada keaktifan peserta didik, dan pendidik sebagai fasilitator. Selain itu aplikasi

model pembelajaran ini sama seperti aplikasi teori belajar konstruktivisme.

2.1.3. Model Pembelajaran

2.1.3.1. Pengertian Model Pembelajaran

Model pembelajaran sangat erat kaitannya dengan gaya belajar peserta didik

dan gaya mengajar pendidik. Melalui model pembelajaran, pendidik dapat membantu

peserta didik untuk mendapatkan informasi, keterampilan, cara berpikir, dan

mengekpresikan idenya. Prastowo (2013: 68) berpendapat bahwa “model

pembelajaran adalah acuan pembelajaran yang secara sistematis dilaksanakan

berdasarkan pola-pola pelajaran tertentu”. Model pembelajaran tersusun atas

beberapa komponen yaitu fokus, sintaks, sistem sosial, dan sistem pendukung.

Trianto (2013:22) mengungkapkan bahwa :

Model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang


digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau
pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat
pembelajaran yang termasuk di dalamnya buku-buku, film-film, komputer,
kurikulum, dan lain-lain.

Pola dari suatu model pembelajaran adalah pola yang menggambarkan urutan

alur tahap-tahap keseluruhan yang pada umumnya disertai dengan serangkaian

kegiatan pembelajaran (Trianto, 2013:24). Pola dari suatu model pembelajaran


23

menunjukkan kegiatan-kegiatan apa yang harus dilakukan oleh pendidik atau peserta

didik.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan para ahli, peneliti

menyimpulkan bahwa model pembelajaran adalah suatu pola pembelajaran yang

tergambar dari awal hingga akhir kegiatan pembelajaran yang tersusun secara

sistematis dan digunakan sebagai pedoman untuk merencanakan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Ciri utama

dari model pembelajaran adalah adanya tahapan atau sintaks pembelajaran.

2.1.3.2. Pengertian Pembelajaran

Kata Pembelajaran adalah terjemahan dari Instruction yang banyak dipakai

dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran

psikologi kognitif-holistik yang menempatkan peserta didik sebagai sumber dari

kegiatan. Selain itu istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang

diasumsikan dapat mempermudah peserta didik dalam mempelajari segala sesuatu

lewat berbagai macam media, seperti media cetak, program televisi, gambar, radio

dan sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan

pendidik dalam mengelola proses belajar mengajar, dari pendidik sebagai sumber

belajar menjadi pendidik sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.

Definisi pembelajaran dikemukakan oleh Putra (2013: 15) dari beberapa

elemen sebagai benkut:

a. Pembelajaran adalah tingkah laku yang melibatkan keterampilan kognitif,


yaitu penguasaan ilmu dan perkembangan kemahiran intelektual.
b. Pembelajaran ialah suatu proses yang menunjukkan bahwa lingkungan
seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan la turut serta dalam tingkah
laku tertentu dalam kondisio-kondisi khusus.
24

c. Pembelajaran merupakan terjemahan dari kata instruction terdiri dari self


instruction (dari dalam/internal) dan eksternal tastruction. Pembelajaran yang
bersifat internal berasal dari pendidik yang sering disebut teaching
(pengajaran). Sedangkan pembelajaran yang bersifat eksternal mengacu pada
prinsip-prinsip yang dengan sendirinva akan menjadi prinsip-prinsip
pembelajaran.
d. Pembelajaran adalah proses transfer ilmu dua arah, yakni antara pendidik
sebagai pemberi informasi dan peserta didik sebagai penerima informasi.
e. Pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun dari unsur manusiawi,
material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi
untuk mencapai tujuan pembelajaran.
f. Pembelajaran adalah cara pengorganisasian peserta didik untuk mencapai
tujuan pendidikan. Pembelajaran berlaku apabila suatu pengalaman secara
relatif menghasilkan perubahan kekal dalam pengetahuan dan tingkah laku.

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa pembelajaran dapat berhasil

jika ada feedback atau timbal balik yang baik antara pendidik dan peserta didik.

Pendidik harus berusaha sebaik mungkin untuk membentuk tingkah laku peserta

didik dengan memberikan kesempatan untuk berpikir dan memahami apa yang

dipelajari, sehingga akan menghasilkan perubahan pada diri peserta didik sesuai

dengan minat dan kemampuan masing-masing.

Sanjaya (2013:107), mengemukakan bahwa makna pembelajaran ditunjukkan

oleh beberapa ciri yaitu:

1) Pembelajaran adalah proses berpikir

Belajar adalah proses berpikir yang menekankan kepada proses mencari dan

menemukan pengetahuan melalui interaksi antara individu dengan tingkungan.

Dalam pembelajaran berpikir proses pembelajaran di sekolah tidak hanya

menekankan kepada akumulasi pengetahuan materi pelajaran, akan tetapi yang

diutamakan adalah kemampuan peserta didik untuk memperoleh

pengetahuannya sendiri.

2) Proses pembelajaran adalah memanfaatkan potensi otak


25

Pembelajaran berpikir adalah pemanfaatan dan penggunaan otak secara

maksimal. Menurut beberapa ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu

otak kanan dan otak kiri, masim-masing belahan otak memiliki spesialisasi

dalam kemampuan-kemampuan tertentu.

Proses berpikir otak kiri bersifat logis, skuensial, linier dan rasional. Sisi ini

sangat teratur, walaupun berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran

abstrak dan simbolis. Sedangkan cara kerja otak kanan lebih bersifat acak, tidak

teratur, intuitif dan holistik. Cara berpikitnya sesuai dengan cara-cara

mengetahui yang bersifat nonverbal seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang

berkenaan dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda atau orang),

kesadaran special, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna,

kreativitas dan visualisasi. Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara

optimal dan seimbang, sehingga proses pendidikan mestinya mengembangkan

setiap bagian otak.

3) Pembelajaran berlangsung sepanjang hayat

Belajar adalah proses yang terus menerus, yang tidak pernah berhenti dan tidak

terbatas pada dinding kelas. Hal ini ini berdasar pada asumsi bahwa sepanjang

kehidupanya manusia akan selalu dihadapkan pada masalah atau tujuan yang

ingin dicapainya.

2.1.4. Model Pembelaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning)

Perubahan pandangan mengenai proses pembelajaran yang seharusnya di

terapkan pada abad ke-21 yang harus berperan aktif di kelas yaitu peserta didik

belajar bukan pendidik yang mengajar, pendidik dituntut untuk bisa memilih model
26

pembelajaran yang dapat membuat peserta didik berperan aktif dikelas, yang mana

keaktifan tersebut dapat memicu berkembangnya pola pemikiran peserta didik.

2.1.4.1. Konsep Pembelajaran Berbasis Masalah

Pendidikan pada abad ke-21 berhubungan dengan permasalahan baru yang

ada di dunia nyata. Pendekatan pembelajaran berbasis masalah berkaitan dengan

penggunaan inteligensi dari dalam diri individu yang berada dalam sebuah kelompok

orang, atau lingkungan untuk memecahkan masalah yang bermakna, relevan, dan

kontekstual.

Hasil pendidikan yang diharapkan meliputi pola kompetensi dan inteligensi

yang dibutuhkan untuk berkiprah pada abad ke-21. Pendidikan bukan hanya

menyiapkan masa depan, tetapi juga bagaimana menciptakan masa depan. Pendidikan

harus membantu perkembangan terciptanya individu yang kritis dengan tingkat

kreativitas yang sangat tinggi dan tingkat keterampilan berpikir yang lebih tinggi

pula. Pendidik juga harus dapat memberi keterampilan yang dapat digunakan di

tempat kerja. Pendidik akan gagal apabila mereka menggunakan proses pembelajaran

yang tidak memengaruhi pembelajaran sepanjang hayat (life long education).

Menurut Boud dan Feletti (Rusman, 2010:230) mengemukakan bahwa

Pembelajaran Berbasis Masalah adalah inovasi yang paling signifikan dalam

pendidikan. Menurut Margetson (Rusman, 2010:230) mengemukakan bahwa:

Kurikulum Pembelajaran Berbasis Masalah membantu untuk meningkatkan


perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang
terbuka, reflektif, kritis, dan belajar aktif. Kurikulum PBM memfasilitasi
keberhasilan memecahkan masalah, komunikasi, kerja kelompok dan keterampilan
interpersonal dengan lebih baik dibanding pendekatan yang lain.
27

Berdasarkan kutipan di atas dapat diuraikan bahwa pembelajaran berbasis

masalah merupakan cara yang tepat agar meningkatnya kemampuan berpikir kritis

peserta didik, yang mana dengan model ini juga dapat meningkatkan perkembangan

pola pikir peserta didik yang terbuka dan lebih aktif dalam usaha pemecahan masalah

pembelajaran yang peserta didik hadapi.

2.1.4.2. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Berbasis Masalah

Pembelajaran berbasis masalah merupakan penggunaan berbagai macam

kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia

nyata, kemampuan untuk menghadapi segala sesuatu yang baru dan kompleksitas

yang ada.

Menurut Ibrahim dan Nur mengemukakan bahwa Pembelajaran Berbasis

Masalah merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk

merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada

masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar.

Menurut Moffit (Depdiknas, 2002:12) mengemukakan bahwa Pembelajaran

Berbasis Masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan

masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir

kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan

konsep yang esensi dari materi pelajaran.

Menurut Rusman (2010:232) mengemukakan bahwa Karakteristik

pembelajaran berbasis masalah sebagai berikut:

a. permasalahan menjadi starting point dalam belajar;


b. permasalahan yang diangkat adalah permasalahan yang ada di dunia nyata
yang tidak tertstruktur;
c. permasalahan membutuhkan perspektif ganda (multiple perspective);
28

d. permasalahan, menantang pengetahuan yang dimiliki oleh siswa, sikap, dan


kompetensi yang kemudian membutuhkan identifikasi kebutuhan belajar
dan bidang baru dalam belajar;
e. belajar pengarahan diri menjadi hal yang utama;
f. pemanfaatan sumber pengetahuan yang beragam, penggunaannya, dan
evaluasi sumber informasi merupakan proses yang esensial dalam
Pembelajaran Berbasis Masalah;
g. belajar adalah kolaboratif, komunikasi, dan kooperatif;
h. pengembangan keterampilan inquiry dan pcmecahan masalah sama
pentingnya dengan penguasaan isi pengetahuan untuk mencari solusi dari
sebuah permasalahan;
i. keterbukaan proses dalam Pembelajaran Berbasis Masalah mcliputi sintesis
dan integrasi dari sebuah proses belajar; dan
j. Pembelajaran Berbasis Masalah melibatkan evaluasi dan review
pengalaman siswa dan proses belajar.

Studi kasus Pembelajaran Berbasis Masalah (Rusman, 2010:233) meliputi: 1)

penyajian masalah; 2) menggerakan inquiry; 3) langkah-langkah Pembelajaran

Berbasis Masalah, yaitu analisis inisial, mengangkat isu-isu belajar; literasi

kemandirian dan kolaborasi pemecahan masalah, integrasi pengetahuan baru,

penyajian solusi dan evaluasi.

Dalam buku Learning to Teach [ CITATION Are04 \l 1033 ] mengidentifikasi

empat karakteristik pembelajaran berbasis masalah, yakni: (1) pengajuan masalah, (2)

keterkaitan antar disiplin (3) investigasi autentik, dan (4) kerja kolaboratif. Berikut

diuraikan keempat karakteristik tersebut:

1) Pengajuan masalah

Langkah awal dari pembelajaran berbasis masalah adalah mengajukan

masalah selanjutnya berdasarkan masalah ditemukan konsep, prinsip serta aturan-

aturan. Masalah yang diajukan secara autentik ditujukan dengan mengacu pada

kehidupan nyata (contextual teaching and learning, CTL). Peserta didik sering kali

mengalami kesulitan dalam menerapkan keterampilan yang telah mereka dapatkan di


29

bangku sekolah ke dalam kehidupan nyata sehari-hari karena keterampilan-

keterampilan itu lebih diajarkan dalam konteks akademik, dari pada konteks

kehidupan nyata. Stavin (1997) menyatakan bahwa tugas-tugas akademik lemah

dalam konteks, sehingga tidak bermakna bagi kebanyakan peserta didik karena

mereka tidak dapat menghubungkan tugas-tugas ini dengan apa yang telah mereka

ketahui. Pendidik dapat membantu peserta didik untuk belajar memecah masalah

dengan memberi tugas yang memiliki konteks kehidupan nyata dan dengan

menghindarkan jawaban-jawaban tunggal dan sederhana.

2) Keterkaitan dengan disiplin ilmu lain (interdiciplinnary focus)

Walaupun pembelajaran berbasis masalah ditujukan pada suatu bidang ilmu

tertentu, tetapi dalam pemecahan masalah-masalah aktual, peserta didik dapat

menyelidiki dari berbagai ilmu. Misalnya dalam menemukan konsep “masalah

social” pada bidang studi sosiologi, peserta didik dapat menggunakan “kacamata

pandang” dari disiplin ilmu ekonomi, geografi, sains, dan lain-lain.

3) Menyelidiki masalah autentik

Dalam pembelajaran berbasis masalah, amat diperlukan untuk menyelidiki

masalah autentik dan mencari solusi nyata atas masalah tersebut. Peserta didik

menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan hipotesis dan meramalkan,

mengumpulkan, dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen (jika

diperlukan), membuat acuan dan menyimpulkan. Setelah kesimpulan sudah

didapatkan selanjutnya yaitu memamerkan hasil kerja, Model ini membelajarkan

peserta didik untuk menyusun dan memamerkan hasil kerja sesuai dengan

kemampuannnya. Setelah peserta didik selesai mengerjakan lembar kerja, salah satu
30

tim menyajikan hasil kerjanya di depan kelas dan peserta didik dari tim lain

memberikan tanggapan, kritik terhadap pemecahan masalah yang disajikan oleh

temannya. Dalam hal ini, pendidik mengarahkan, membimbing, memberi petunjuk

kepada peserta didik agar aktivitas peserta didik terarah.

4) Kolaborasi

Model ini dicirikan dengan kerjasama antar peserta didik dalam satu tim.

Kerjasama dalam menyelesaikan tugas-tugas kompleks dan meningkatkan temuan

dan dialog pengembangan keterampilan berpikir dan keterampilan sosial.

Selain pengertian di atas, Barrows & Kelson (Riayanto, 2009:285)

mengemukakan bahwa:

pembelajaran berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang


menuntut peserta didik untuk berpikir kritis memecahkan masalah, belajar
secara mandiri, dan menuntut keterampilan berpartisipasi dalam tim. Proses
pemecahan masalah dilakukan secara kolaborasi dan disesuaikan dengan
kehidupan.

Menuruut Boud & Feletti (Riayanto, 2009:285) mendefinisikan pembelajaran

berbasis masalah sebagai suatu pendekatan kearah penataan pembelajaran yang

melibatkan para peserta didik untuk menghadapi permasalahan melalui praktik nyata

sensual dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut Duch (Riayanto, 2009:285) menyatakan bahwa pembelajaran

berbasis masalah adalah suatu model pembelajaran yang menghadapkan peserta didik

pada tantangan “belajar untuk belajar”. Peserta didik aktif bekerja sama di dalam

kelompok untuk mencari solusi permasalahan dunia nyata. Permasalahan ini sebagai

acuan bagi peserta didik untuk merumuskan, menganalisis, dan memecahkannya.

Lebih lanjut Duch menyatakan bahwa model ini dimaksudkan untuk mengembangkan
31

peserta didik berpikir kritis, analitis, dan untuk menemukan serta menggunakan

sumber daya yang sesuai untuk belajar. Pembelajaran berbasis masalah adalah model

pembelajaran yang dapat membangun di sekitar suatu masalah nyata dan kompleks

yang secara alami memerlukan pemeriksaan, panduan informasi, dan refleksi,

membuktikan hipotesis sementara, dan diformulasikan untuk dicarikan

kebenarannya/solusinya.

Mengacu pada berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran berdasarkan masalah adalah suatu model pembelajaran yang dirancang

dan dikembangkan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik memecahkan

masalah. Pemecahan masalah dilakukan dengan pola kolaborasi dan menggunakan

kemampuan berpikir tingkat tinggi yakni kemampuan analisis-sintesis, dan evaluasi

atau menggunakan penemuan dalam rangka memecahkan masalah. Dalam

pembelajaran ini, pendidik berperan mengajukan permasalahan nyata, memberikan

dorongan, memotivasi dan menyediakan bahan ajar, dan fasilitas yang diperlukan

peserta didik untuk memecahkan masalah. Selain itu, pendidik memberikan dukungan

dalam upaya meningkatkan temuan dan perkembangan intelektual peserta didik.

Sesuai dengan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa Pembelajaran

Berbasis Masalah (Problem Based Learning) adalah sebuah inovasi dalam

pembelajaran yang bisa meningkatkan kemampuan berpikir peserta didik dan

perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka,

kritis, dan aktif dalam proses pemecahan masalah secara komprehensif.


32

2.1.4.3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Megutip dari [ CITATION Ano16 \l 1033 ] menjelaskan langkah-langkah Model

Pembelajaran Berbasis Masalah, yaitu sebagai berikut:

1. Mengorientasikan peserta didik kepada masalah.

Pendidik memberikan masalah yang menarik untuk dipecahkan peserta

didik. Masalah yang diberikan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik.

2. Mengorganisasikan peserta didik

Pendidik mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok.

Mengarahkan peserta didik untuk mengidentifikasikan masalah dan

mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah

tersebut.

3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok

Mendorong peserta didik untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjel asan dan pemecahan masalah.

4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya

Mengarahkan peserta didik dalam menyiapkan laporan pemecahan masalah,

serta berbagi tugas dengan teman. Peserta didik diberi kesempatan untuk

mempresentasikan temuannya, serta kelompok lain menanggapi.

5. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah


33

Mengevaluasi pemecahan masalah atau hasil belajar yang telah dipelajari.

Memberikan arahan jika temuan siswa belum sesuai dengan tujuan pembelajaran.

Sedangkan menurut Ibrahim dan Nur (2000:13) dan Ismail (2002:1)

mengemukakan bahwa langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.1
Langkah-langkah Pembelajaran Berbasis Masalah
Langka Indikator Tingkah Laku Guru
h
1 Orientasi peserta Menjelaskan tujuan pembelajaran,
didik pada masalah menjelaskan logistic yang diperlukan,
dan memotivasi peserta didik terlibat
pada aktivitas pemecahan masalah
2 Mengorganisasi Membantu peserta didik
peserta didik untuk mendefinisikan dan
belajar mengorganisasikan tugas belajar yang
berhubungan dengan masalah tersebut
3 Membimbing Mendorong peserta didik untuk
pengalaman mengumpulkan informasi yang sesuai,
individu/kelompok melaksanakan eksperimen untuk
mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalah
4 Mengembangkan Membantu peserta didik dalam
dan menyajikan merencanakan dan menyiapkan karya
hasil karya yang sesuai seperti laporan, dan
membantu mereka untuk berbagai
tugas dengan temannya
5 Menganalisis dan Membantu peserta didik untuk
mengevaluasi melakukan refleksi atau evaluasi
proses pemecahan terhadap penyelidikan mereka dan
masalah preses yang mereka gunakan.
Sumber: (Rusman, 2010:243)
34

Sesuai dengan langkah-langkah yang dipaparkan, maka Alur proses

Pembelajaran Berbasis Masalah dapat dilihat pada flowchart berikut:

Menentukan Masalah

Belajar pengarahan
diri

Analisis masalah dan


isu belajar
Belajar pengarahan
diri

Pertemuan dan
laporan
Belajar pengarahan
diri

Penyajian solusi dan


refleksi
Belajar pengarahan
diri
Kesimpulan,
integrasi, dan evaluasi

Gambar 2.1
Keberagaman Pendekatan Pembelajaran Berbasis Masalah
(Sumber : Rusman, 2010:233)

2.1.4.4. Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Berbasis Masalah

2.1.4.4.1. Keunggulan Pembelajaran Berbasis Masalah

Menurut Sari (2013) keunggulan Pembelajaran Berbasis Masalah adalah

sebagai berikut:

1) Pemecahan masalah merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami
isi pelajaran.
2) Pemecahan masalah dapat menantang kemampuan peserta didik serta
memberikan kepuasan untuk menentukan pengetahuan baru bagi peserta didik.
3) Pemecahan masalah dapat meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik.
35

4) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik bagaimana mentrasfer


pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5) Pemecahan masalah dapat membantu peserta didik untuk mengembangkan
pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang mereka
lakukan.
6) Melalui pemecahan masalah dianggap lebih menyenangkan dan disukai peserta
didik.
7) Pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan
dengan pengetahuan baru.
8) Pemecahan masalah dapat memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
9) Pemecahan masalah dapat mengembangkan minat peserta didik untuk secara
terus menerus belajar.

2.1.4.4.2. Kelemahan Pembelajaran Berbasis Masalah

Selain kelebihan, Model Pembelajaran Berbasis Masalah juga memiliki

kelemahan, yang mana merujuk pada [ CITATION Sar13 \l 1033 ] kelemahan

Pembelajaran Berbasis Masalah adalah sebagai berikut:

1) Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan

bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan

merasa enggan untuk mencoba.

2) Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan

cukup waktu untuk persiapan.

3) Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang

sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin

pelajari.

2.1.5. Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tipe Open Ended

2.1.5.1. Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tipe Open Ended


36

Pembelajaran terbuka atau yang sering dikenal dengan istilah Open Ended

merupakan suatu seni pembelajaran yang memberikan kebebasan kepada peserta

didik untuk memilih sendiri cara menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.

Menurut Heriawan et, al. (2012: 153) mengemukakan bahwa:

Pembelajaran problem (masalah) terbuka artinya pembelajaran yang menyajikan


permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan solusinya juga
bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan
menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-
interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Peserta didik dituntut untuk
berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi
dalam memperoleh jawaban, jawaban peserta didik beragam. Selanjutnya peserta
didik juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut.

Menurut Suherman dalam Wahyuni, et. al. (2013) mengemukakan bahwa:

Metode pembelajaran Open Ended adalah pendekatan pembelajaran yang


menyajikan suatu permasalahan terbuka kepada peserta didik. Kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan Open Ended dapat membawa peserta didik
menjawab dengan beragam cara/jawaban yang benar sehingga mengundang
potensi intelektual dan pengalaman peserta didik dalam proses penemuan sesuatu
yang baru. Dengan pendekatan Open Ended peserta didik mempunyai sikap
terbuka terhadap suatu pengalaman baru, keinginan untuk menemukan dan
meneliti, sehingga dengan pendekatan Open Ended ini peserta didik memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah yang lebih baik bahkan dengan cara
mereka sendiri.

Menurut Hannafin, Hall, Land, & Hill (1994) dalam Huda (2017: 278)

mengemukakan bahwa pembelajaran terbuka atau yang disebut dengan istilah Open

Ended merupakan proses pembelajaran yang di dalamnya tujuan dan keinginan

individu/peserta didik dibangun dan di capai secara terbuka. Tidak hanya tujuan,

Open Ended juga bisa merujuk pada cara-cara untuk mencapai maksud pembelajaran

itu sendiri.

Menurut Huda (2013: 279) ada beberapa asumsi yang mendasari Open Ended

ini, diantaranya adalah sebagai berikut.


37

1) Konteks dan pengalaman merupakan hal penting untuk dipahami


2) Pemahaman harus dimediasi secara individual.
3) Meningkatkan proses kognitif sering kali lebih penting dari pada menciptakan
produk-produk pembelajaran.
4) Pemahaman lebih berharga daripada hanya sekedar mengetahui.
5) Proses-proses pembelajaran yang berbeda secara kualitatif sering kali
mengharuskan metode-metode yang juga berbeda secara kualitatif.

Dari asumsi di atas, dapat di uraikan bahwa metode pembelajaran Open

Ended lebih menekankan kepada peserta didik untuk lebih aktif dalam setiap kegiatan

belajar sehingga ilmu pengetahuan yang di dapat tidak hanya diketahui saja, bahkan

harus dipahami oleh peserta didik. Setelah diketahui dan dipahami, peserta didik

dapat memecahkan suatu masalah yang diajukan dengan berbagai cara dan metode

yang dikuasai sehingga menghasilakn jawaban-jawaban yang beragam.

2.1.5.2. Langkah-langkah Model Pembelajaran Berbasis Masalah Tipe Open

Ended

Menurut Huda (2017: 280) mengemukakan bahwa langkah-langkah yang

perlu diambil oleh pendidik dalam metode Open Ended yaitu sebagai berikut:

1) Menghadapkan peserta didik pada problem terbuka dengan menekankan pada

bagaimana peserta didik sampai pada sebuah solusi.

2) Membimbing peserta didik untuk menemukan pola dalam mengkontruksi

permasalahannya sendiri.

3) Membiarkan peserta didik memecahkan masalah dengan berbagai penyelesaian

dan jawaban yang beragam.

4) Meminta peserta didik untuk menyajikan hasil temuannya.


38

Dari langkah-langkah yang dipaparkan di atas, Huda (2017: 280) merangkum

bahwasanya sintak model pembelajaran berbasis masalah tipe open ended yaitu

sebagai berikut:

1) menyajikan masalah
2) mendesain pembelajaran
3) memperhatikan dan mencatat respons peserta didik
4) membeimbing dan mengarahkan peserta didik
5) membuat kesimpulan

2.1.5.3. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

Tipe Open Ended

Setiap model pembelajaran yang digunakan, tidak semuanya cocok untuk

digunakan dalam proses pembelajaran. Dalam hal ini pendidik harus bisa

memperhatikan kelebihan dan kekurangan model pembelajaran yang akan

digunakannya, sebab dalam hal kegiatan pembelajaran harus dapat mencapai tujuan

yang telah ditentukan.

Adapun kelebihan dan kekurangan model pembelajaran berbasis masalah tipe

open ended menurut Heriawan, et. al. (2012: 154) adalah sebagi berikut:

a. Kelebihan model pembelajaran open ended


1) Melatih dan menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis,
komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi.
2) Peserta didik di tuntut untuk berimprovisasi mengembangkan metode, cara,
atau pendekatan yang bervariasi dalam memperoleh jawaban-jawaban
peserta didik yang beragam.
b. Kekurangan model pembelajaran open ended
1) Terlalu mementingkan proses dari pada produk yang akan membentuk pola
pikir, keterbukaan, dan ragam berpikir.

Menurut Suherman dalam Putriyani (2012) keunggulan dan kekurangan

metode pembelajaran open ended adalah sebagai berikut:

a. Kelebihan model pembelajaran open ended


39

1) Peserta didik berpartisipasi lebih aktif dalam pembelajaran dan sering


mengekspresikan idenya.
2) Peserta didik memiliki kesempatan lebih banyak dalam memanfaatkan
pengetahuan dan keterampilan matematika secara komprehensif.
3) Peserta didik dengan kemampuan rendah dapat merespon permasalahan
dengan cara mereka sendiri.
4) Peserta didik dengan cara intrinsic bermotivasi untuk memberikan bukti atau
penjelasan.
5) Peserta didik memiliki pengalaman banyak untuk menemukan sesuatu dalam
menjawab permasalahan.
b. Kelemahan
1) Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi peserta
didik bukanlah pekerjaan mudah.
2) Mengemukakan masalah yang langsung yang dapat dipahami peserta didik
sangat sulit sehingga banyak peserta didik mengalami kesulitan bagaimana
merespon masalah yang diberikan.
3) Peserta didik dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan
jawaban mereka.
4) Mungkin ada sebagian peserta didik yang merasa kegiatan belajar mereka
tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.

2.1.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan

Sebagai bahan acuan mengenai pengaruh Model Pembelajaran Berbasis

Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended terhadap kemampuan berpikir

kritis peserta didik, peneliti sajikan hasil penelitian terdahulu yang relevan sebagai

berikut:

Tabel 2.2
Penelitian Terdahulu yang Relevan
No. Penulis Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Yudistya Peningkatan Prestasi Belajar Model Problem Based
Falestin (2010) Akuntansi Melalui Penerapan Learning dapat meningkatkan
Model Pembelajaran Problem prestasi belajar siswa.
Based Learning pada Siswa
Kelas XI IPS 2 SMA Negeri 6
Surakarta Tahun Ajaran
2009/2010.
2 Ni Wayan Pengaruh Implementasi Model Model Pembelajaran Berbasis
Martini (2013) Pembelajaran Berbasis Masalah berbantuan asesmen
Masalah Berbantuan Asesmen kinerja berpengaruh terhadap
Kinerja terhadap Hasil Belajar hasil belajar siswa.
Akuntansi Siswa Kelas X
Akuntansi SMK Negeri 1
40

Masubud Tahun Pelajaran


2011-2012 Ditinjau Dari
Konsep Diri Akademik.
3 M. Widana et Pengaruh model pembelajaran pembelajaran berorientasi
al. (2013) berorientasi pemecahan pemecahan masalah open
masalah open ended terhadap ended berpengaruh terhadap
kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir kritis dan
hasil belajar biologi peserta hasil belajar biologi peserta
didik kelas VII SMP Negeri 1 didik.
Kintamani.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang relevan sebanyak tiga penelitian model

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open ended dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran ekonomi, berpengaruh

terhadap hasil belajar pada mata pelajaran akuntansi dan berpengaruh terhadap

kemampuan berpikir kritis peserta didik pada mata pelajaran biologi, atas dasar itulah

hasil penelitian terdahulu yang relevan menjadi rujukan dalam penelitian ini.

Sesuai dengan penelitian terdahulu yang diuraikan di atas, penelitian yang

dilakukan penulis lebih menitik beratkan pada hasil kemampuan berpikir kritis

peserta didik pada mata pelajaran akuntansi dasar dengan kompetensi dasar

menganalisis jurnal penyesuaian di kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng.

2.2. Kerangka Pemikiran

Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara pendidik dan peserta

didik, dalam proses pembelajaran semua yang terlibat harus berperan aktif, Namun

pada kenyataannya pendidik cenderung berperan aktif sedangkan peserta didik

cenderung pasif, kondisi ini akan berdampak pada hasil belajar, terpusatnya proses

pembelajaran pada pendidik (teacher centered learning) mengakibatkan monotonnya

proses pembelajaran yang berlangsung dan berakibat pada kondisi tidak nyamannya

peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran, tidak maksimalnya peserta didik
41

dalam menyerap materi pembelajaran, telatnya peserta didik untuk mengembangkan

kemampuan berpikir, dan kurangnya keberanian peserta didik untuk mengeluarkan

argumen atau pendapat, dengan kondisi ini pendidik sebaiknya memilih model

pembelajaran yang bisa mendorong peserta didik lebih aktif, kritis dan kreatif.

Sebagaimana pendapat Rusman (2010: 230) mengemukakan bahwa:

Hasil pendidikan yang diharapkan meliputi pola kompetensi dan inteligensi yang
dibutuhkan untuk berkiprah pada abad ke-21, Pendidikan bukan hanya
menyiapkan masa depan tetapi juga bagaimana menciptakan masa depan.
Pendidikan harus membantu perkembangan terciptanya individu yang kritis
dengan tingkat kreativitas yang sangat tinggi dan tingkat keterampilan berpikir
yang lebih tinggi pula.

Pendidik dalam proses pembelajaran memiliki peran yang sangat penting,

salah satunya memilih model pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Model pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu model

pembelajaran yang dapat membantu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta

didik, sebagaimana yang diungkapkan oleh Margetson (1994) bahwa kurikulum /

Model Pembelajaran Berbasis Masalah membantu untuk meningkatkan

perkembangan keterampilan belajar sepanjang hayat dalam pola pikir yang terbuka,

reflektif, kritis, dan belajar aktif.

Model pembelajaran berbasis masalah yang dapat digunakan dalam

pembelajaran seperti problem posing, group investigation, Open Ended dan lain-lain.

Dari sekian banyak model pembelajaran penulis menyarankan model pembelajaran

berbasis masalah tipe Open Ended. Model pembelajaran berbasis masalah tipe open

ended memiliki keunggulan dapat mengarahkan peserta didik untuk memilih caranya

sendiri untuk menyelesaikan masalah yang mereka hadapi dalam pembelajaran,


42

dalam hal ini peserta didik dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritisnya.

Sebagaimana Menurut Heriawan et, al. (2012: 153) mengemukakan bahwa:

Pembelajaran problem (masalah) terbuka atau open ended artinya pembelajaran


yang menyajikan permasalahan dengan pemecahan berbagai cara (flexibility) dan
solusinya juga bisa beragam (multi jawab, fluency). Pembelajaran ini melatih dan
menumbuhkan orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis, komunikasi-
interaksi, sharing, keterbukaan, dan sosialisasi. Peserta didik dituntut untuk
berimprovisasi mengembangkan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi
dalam memperoleh jawaban, jawaban peserta didik beragam. Selanjutnya peserta
didik juga diminta untuk menjelaskan proses mencapai jawaban tersebut.

Berdasarkan kutipan di atas bahwa Model pembelajaran berbasis masalah tipe

Open Ended merupakan model pembelajaran yang membebaskan peserta didik untuk

memilih berbagai cara dan strategi pemecahan masalah sesuai dengan kemampuan,

minat dan bakat individunya masing-masing. Sehingga peserta didik yang memiliki

kemampuan yang tinggi dapat berpartisipasi dalam kegiatan belajar. Begitu juga

dengan peserta didik yang dapat dikatakan mempunyai kemampuan rendah dapat

menikmati kegiatan belajar dengan kemampuan, minat dan bakatnya sendiri.

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat digambarkan paradigma

penelitiannya sebagai berikut:

Model Pembelajaran
Berbasis Masalah (Problem Kemampuan Berpikir
Based Learning) tipe Open Kritis Peserta Didik
Ended
(Y)
(X)

Gambar 2.2
Paradigma Penelitian

2.3. Hipotesis

Menurut Sugiyono (2016:64) menyatakan bahwa Hipotesis merupakan

jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah


43

ini dikatakan dalam bentuk kalimat. Dikatakan sementara karena jawaban yang

diberikan baru didasarkan teori yang relevan, belum didasarkan atas fakta-fakta

empiris yang diperoleh dari pengumpulan data.

Berdasarkan kerangka pemikiran maka hipotesis dalam penelitian ini yaitu:

1) Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open

Ended pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest).

2) Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open

Ended dan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional pada

pengukuran akhir.
44

BAB III

OBJEK DAN METODE PENELITIAN

3.1. Objek Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di SMK PGRI Cikoneng pada peserta didik kelas

X AKL mata pelajaran Akuntansi Dasar dengan pokok bahasan Menganalisis Jurnal

Penyesuaian. Objek dalam penelitian ini yaitu kemampuan berpikir kritis peserta

didik, Menurut Glaser dalam Alec Fisher (2009:7) Indikator berpikir kritis yaitu: 1)

mengenal masalah, 2) mencari cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani

masalah-masalah itu, 3) mengumpulkan data dan menyusun informasi yang

diperlukan, 4) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, 5)

memahami dan menggunakan bahasa secara tepat, jelas dan khas, 6) menganalisis

data, 7) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, 8) mengenal adanya

hubungan yang logis antar masalah-masalah, 9) menarik kesimpulan-kesimpulan dan

kesamaan-kesamaan yang diperlukan, 10) menguji kesamaan-kesamaan dan

kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, 11) menyusun kembali pola-pola

keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas, dan 12) membuat

penilaian yang tepat tentang hal-hal yang kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan

sehari-hari. Objek penelitian yang kedua yaitu model pembelajaran berbasis masalah

(Problem Based Learning) tipe Open Ended, Menurut Ibrahim dan Nur (Rusman,

2010) mengemukakan bahwa indikator pembelajaran berbasis masalah adalah sebagai

berikut: a) Orientasi peserta didik pada masalah, b) Mengorganisasikan peserta didik

untuk belajar, c) Membimbing pengalaman individu/kelompok, d) Mengembangkan


45

dan menyajikan hasil karya, e) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan

masalah. Kemampuan berpikir kritis peserta didik diukur dengan menggunakan

instrument penilaian yang terdiri dari pretest dan posttest.

3.2. Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (2016:3) “Metode penelitian diartikan sebagai cara ilmiah

untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu”, sedangkan definisi

metode penelitian pendidikan yang dikemukakan juga oleh Sugiyono (2016:6)

diartikan sebagai “cara ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan

dapat ditemukan, dikembangkan, dan dibuktikan suatu pengetahuan tertentu sehingga

pada gilirannya dapat digunakan untuk memahami, memecahkan, dan mengantisipasi

masalah dalam bidang pendidikan”.

Menurut Sugiyono (2016:6), jenis-jenis penelitian secara umum dan

pendidikan dibagi menjadi beberapa kelompok diantaranya menurut: bidang, tujuan,

metode, tingkat eksplanasi (level of explanation) dan waktu.

3.2.1. Metode Penelitian yang Digunakan

Metode penelitian merupakan suatu cara untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu. Metode penelitian memiliki beberapa jenis seperti

metode survey, metode naturalistik, metode eksperimen, dan metode-metode lainnya.

Dalam penelitian ini, metode yang akan digunakan adalah metode penelitian

eksperimen. Sugiyono (2016:107) menyatakan bahwa “Metode penelitian eksperimen

dapat diartikan sebagai metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang dikendalikan”. Metode

eksperimen merupakan salah satu metode penelitian kuantitatif. Di dalam penelitian


46

ini, bentuk eksperimen yang akan digunakan adalah Quasi Experimental Design

dengan jenis desainnya yaitu Nonequivalent Contol Group Design.

Berikut desain penelitian dapat digambarkan pada tabel di bawah ini:

Table 3.1
Tabel desain penelitian
Quasi Experimental Design dengan tipe Nonequivalent Control Group Design

Kelas Tes awal Perlakuan Tes akhir


Eksperimen O1 X O2
Kontrol O3 O4
Sumber: Sugiyono (2013:116)
Keterangan:

O1 = Tes awal kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen


O2 = Tes akhir kemampuan berpikir kritis kelas eksperimen
O3 = Tes awal kemampuan berpikir kritis kelas kontrol
O4 = Tes akhir kemampuan berpikir kritis kelas kontrol
X = Perlakuan diberikan kepada kelas eksperimen, yaitu penerapan
Model Pembelajaran Berbasis Masalah (problem based learning)
tipe Open Ended.

3.2.2. Definisi dan Operasionalisasi Variabel

3.2.2.1. Definisi Variabel

Pengertian Variabel menurut Sugiyono (2012: 58):”Variabel merupakan

atribut dari bidang keilmuan atau kegiatan tertentu. Tinggi, berat badan, sikap,

motivasi kepemimpinan, disiplin kerja, merupakan atribut-atribut dari setiap orang.

Berat, ukuran, bentuk, dan warna merupakan atribut-atribut dari objek.

Variabel independen, Variabel ini sering disebut sebagai Variabel Bebas.

Variabel Bebas merupakan Variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab

perubahannya atau timbulnya Variabel dependen (terikat) (Sugiyono, 2012: 59).

Yang menjadi variabel independen (X) dalam penelitian ini yaitu Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended.


47

Variabel dependen, variabel ini sering disebut variabel terikat. Variabel terikat

merupakan variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat, karena adanya

variabel bebas. Yang menjadi variabel dependen (Y) dalam penelitian ini yaitu

Kemampuan Berpikir Kritis peserta didik.

3.2.2.2. Operasionalisasi Variabel

Penelitian ini mengukur model pembelajaran berbasis masalah (problem

based learning) tipe Open Ended dan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Kemudian membandingkan hasil yang di dapat peserta didik yang menerima

perlakuan menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based

learning) tipe Open Ended (kelas eksperimen) dengan hasil yang di dapat peserta

didik yang menerima perlakuan menggunakan metode konvensional (kelas control).

Table 3.2
Operasionalisasi Variabel
Variabel Konsep
No Indikator Skala
Penelitian Variabel
1. Kemampuan Menurut Glaser Indikator berpikir kritis interval
Berpikir Kritis mendefinisikan yaitu: 1) mengenal
Peserta didik berpikir kritis masalah, 2) mencari
sebagai : (1) suatu cara-cara yang dapat
sikap mau berpikir dipakai untuk
secara mendalam menangani masalah-
tentang masalah- masalah itu, 3)
masalah dan hal-hal mengumpulkan data
yang berada dalam dan menyusun
jangkauan informasi yang
pengalaman diperlukan, 4) mengenal
seseorang; (2) asumsi-asumsi dan
pengetahuan tentang nilai-nilai yang tidak
metode-metode dinyatakan, 5)
pemeriksaan dan memahami dan
penalaran yang menggunakan bahasa
logis; dan (3) secara tepat, jelas dan
semacam suatu khas, 6) menganalisis
48

keterampilan untuk data, 7) menilai fakta


menerapkan metode- dan mengevaluasi
metode tersebut pernyataan-pernyataan,
(Fisher, 2008) 8) mengenal adanya
hubungan yang logis
antar masalah-masalah,
9) menarik kesimpulan-
kesimpulan dan
kesamaan-kesamaan
yang diperlukan, 10)
menguji kesamaan-
kesamaan dan
kesimpulan-kesimpulan
yang seseorang ambil,
11) menyusun kembali
pola-pola keyakinan
seseorang berdasarkan
pengalaman yang lebih
luas, dan 12) membuat
penilaian yang tepat
tentang hal-hal yang
kualitas-kualitas
tertentu dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Model Moffit (Depdiknas, indikator pembelajaran Interval
Pembelajaran 2002:12) berbasis masalah adalah
Berbasis mengemukakan sebagai berikut :
Masalah bahwa Pembelajaran a. Orientasi peserta
(Problem Berbasis Masalah didik pada masalah
Based merupakan suatu b. Mengorganisasikan
Learning) Tipe pendekatan peserta didik untuk
Open Ended pembelajaran yang belajar
menggunakan c. Membimbing
masalah dunia nyata pengalaman
sebagai suatu individu/kelompok
konteks bagi peserta d. Mengembangkan
didik untuk belajar dan menyajikan
tentang berpikir hasil karya
kritis dan e. Menganalisis dan
keterampilan mengevaluasi proses
pemecahan masalah pemecahan masalah
49

serta untuk
memperoleh
pengetahuan dan
konsep yang esensi
dari materi pelajaran

3.2.3. Populasi dan Sampel

3.2.3.1. Populasi

Menurut Sugiyono (2012: 115) “Populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas: obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang di

tetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya”.

Berdasarkan teori di atas, karena hanya terdapat dua kelas maka populasi

dalam penelitian ini adalah keseluruhan peserta didik kelas X AKL yang terdiri dari

kelas X AKL 1 dan X AKL 2 dengan rincian dibawah ini.

Table 3.3
Populasi peserta didik kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng
Kelas Jumlah
X AKL 1 38
X AKL 2 34
Jumlah 72

Berikut nilai hasil pengukuran awal (Pretest) seluruh peserta didik kelas X

AKL SMK PGRI Cikoneng:

Tabel 3.4
Hasil Pengukuran Awal (Pretest)
Seluruh Kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng

Sampel X AKL 1 X AKL 2


0 1 66,70 40,00
0 2 66,70 40,00
0 3 46,70 53,30
0 4 46,70 46,70
0 5 60,00 53,30
50

0 6 26,70 33,30
0 7 66,70 20,00
0 8 53,30 53,30
0 9 66,70 40,00
1 0 46,70 46,70
1 1 60,00 46,70
1 2 66,70 40,00
1 3 20,00 46,70
1 4 60,00 40,00
1 5 46,70 53,30
1 6 53,30 60,00
1 7 60,00 53,30
1 8 53,30 60,00
1 9 26,70 46,70
2 0 53,30 60,00
2 1 46,70 53,30
2 2 53,30 46,70
2 3 40,00 46,70
2 4 40,00 60,00
2 5 33,30 53,30
2 6 40,00 66,70
2 7 53,30 66,70
2 8 60,00 66,70
2 9 53,30 60,00
3 0 46,70 53,30
∑ 1513,5 1506,70
Rata-rata 50,45 50,22

Berdasarkan data diatas diperoleh nilai rata-rata Pretest seluruh peserta didik

kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng sebagai berikut:

Tabel 3.5
Nilai Rata-rata Pengukuran Awal (Pretest)
Seluruh Kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng

No. Kelas Jumlah Siswa Nilai Rata-rata


1 X AKL 1 30 50,45
2. X AKL 2 30 50,22
51

3.2.3.2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tertentu (Sugiyono, 2012: 116). Dalam penelitian ini penulis menggunakan

teknik sampling berupa Probability Sampling sehingga sampel juga berupa kelas

yang diambil dari populasi kelas X AKL. Pengertian Probability Sampling menurut

Sugiyono (2012: 118) adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan peluang

yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota

sampel. Pemilihan sampel ini sesuai dengan populasinya, dikarenakan populasinya

hanya dua kelas, maka sampel dalam penelitian ini yaitu kelas X AKL 1 dan X AKL

2.

3.2.3.3. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui bahwa kedua kelas yang

dijadikan sampel adalah homogen maka penulis melakukan uji homogenitas dengan

menggunakan rumus Djarwanto (1996:131) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membuat tabel persiapan perhitungan.

Tabel 3.6
perhitungan uji homogenitas kelas X AKL 1 dan X AKL 2
N X1 X2 X2’ X1’ X2’2 X1’2
0 1 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
0 2 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
0 3 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
0 4 46,70 46,70 -3,75 -3,52 14,06 12,39
0 5 60,00 53,30 9,55 3,08 91,20 9,49
0 6 26,70 33,30 -23,75 -16,92 564,06 286,29
0 7 66,70 20,00 16,25 -30,22 264,06 913,25
0 8 53,30 53,30 2,85 3,08 8,12 9,49
0 9 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
1 0 46,70 46,70 -3,75 -3,52 14,06 12,39
1 1 60,00 46,70 9,55 -3,52 91,20 12,39
52

1 2 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45


1 3 20,00 46,70 -30,45 -3,52 927,20 12,39
1 4 60,00 40,00 9,55 -10,22 91,20 104,45
1 5 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
1 6 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
1 7 60,00 53,30 9,55 3,08 91,20 9,49
1 8 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
1 9 26,70 46,70 -23,75 -3,52 564,06 12,39
2 0 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
2 1 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
2 2 53,30 46,70 2,85 -3,52 8,12 12,39
2 3 40,00 46,70 -10,45 -3,52 109,20 12,39
2 4 40,00 60,00 -10,45 9,78 109,20 95,65
2 5 33,30 53,30 -17,15 3,08 294,12 9,49
2 6 40,00 66,70 -10,45 16,48 109,20 271,59
2 7 53,30 66,70 2,85 16,48 8,12 271,59
2 8 60,00 66,70 9,55 16,48 91,20 271,59
2 9 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
3 0 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
∑ 1513,50 1506,70 0,00 0,00 4594,62 3177,41
Rata-rata 50,45 50,22 0,00 0,00 153,15 105,91

2. Menentukan mean atau rata-rata nilai pretest kelas eksperimen dan kelas

kontrol menggunakan rumus:

∑X1 ∑X2
M1 = dan M2 =
N1 N2

Keterangan:

M1 = Nilai rata-rata yang dicari dari niali pretest kelas eksperimen


∑X1 = Jumlah nilai pretest kelas eksperimen
N1 = Jumlah data kelas eksperimen
M2 = Nilai rata-rata yang dicari dari nilai pretest kelas kontrol
∑Y 2 = Jumlah nilai pretest atau posttest kelas kontrol
N2 = Jumlah data kelas kontrol

∑X1 ∑X2
M1 = dan M2 =
N1 N2
53

1513,5 1506,7
M1 = dan M2 =
30 30

M 1 = 50,45 dan M 2 = 50,22

3. Menentukan simpangan baku (standar deviasi) dengan rumus:


2 2

σ1 =
√∑ X 1 '
dan σ 2 =
√∑ X 2 '

N1 N2

σ 1 = √ 4594,615 dan σ 2 = √ 3177,414


30 30

σ 1 = √ 153,1538 dan σ 2 = √ 105,9138

σ 1 = 12,37 dan σ 2 = 10,29

4. Menentukan derajat kebebasan (dk) atau degree of freedom (df) dengan

rumus:

dk = (n1 −1¿+ ¿ – 1)

dk = (30−1¿+ ¿ – 1)

dk = 29 +29

dk = 58

Untuk menentukan nilai ttabel pada taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikansi

0,05 penulis melakukan perhitungan dengan rumus interpolasi karena df sebesar

58 tidak ada titik temu antara taraf kepercayaan 95% atau 0,05.

Berikut perhitungan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:

dk i−dk min
i = tmin – (tmin – tmax )
dk max −dk min

nilai t untuk dk 40 pada tabel adalah 1,684 sedangkan nilai t untuk dk 60 adalah

1,671.
54

58−40
i = 1,684 – (1,684 – 1,671)
60−40

i = 1,684 – (0,013)(0,9)

i = 1,684 – 0,0117

i = 1,6723

i = 1,67

berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus interpolasi di atas diperoleh nilai

ttabel dengan derajat kebebasan 58 pada taraf kepercayaan 95% atau taraf

signifikansi 0,05 sebesar 1,67.

5. Menentukan C.R (Critical Ratio/Harga kritik), dengan menggunakan rumus:

M 1−M 2
C.R = σ 1 2 σ 22
√ +
n1 n 2

50,45−50,22
C.R = (12,37)2 (10,29)2

30
+
30

0,23
C.R = 153,0169 105,8841
√ 30
+
30

0,23
C.R =
√ 5,10056+ 3,52947
0,23
C.R =
√ 8,63003
0,23
C.R =
2,93769

C.R = 0,0783

C.R = Harga kritik Uji beda yang dicari


55

6. Membandingkan C.R atau t hitung dengan t tabel.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diperoleh nilai t hitung sebesar 0,0783 dan

nilai ttabel sebesar 1,67 maka thitung < ttabel atau 0,0783 < 1,67 dengan demikian

kedua kelas tersebut homogen.

3.2.4. Data Penelitian

3.2.4.1. Jenis dan Sumber Data

3.2.4.1.1. Jenis Data

Arikunto (2010:161) mengemukakan bahwa “Data adalah hasil pencatatan

peneliti, baik yang berupa fakta maupun angka”. Sedangkang pengertian data

menurut SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0259/U/1997 tanggal 11

Juli 1997 (dalam Arikunto, 2010:161) menyebutkan bahwa “Data adalah segala fakta

dan angka yang dapat dijadikan bahwa untuk menyusun suatu informasi”.

Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder,

data primer didapatkan atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung berkaitan

dengan objek penelitian. Teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data primer

yaitu dengan melaksanakan kegiatan tes pengukuran awal (pretest) dan kegiatan

pengukuran akhir (posttest) pada kelas eksperimen dan kelas kontrol di SMK PGRI

Cikoneng, sedangkan data sekunder didapatkan atau dikumpulkan oleh penulis

berdasarkan informasi dari berbagai sumber yang telah ada, seperti dokumentasi dan

data-data yang dibutuhkan dari SMK PGRI Cikoneng.


56

3.2.4.1.2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini merupakan sumber primer dan sumber

sekunder. Menurut Sugiyono (2016:193) menyebutkan bahwa “Sumber primer adalah

sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber

sekunder adalah sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul

data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen”. Maka dapat disimpulkan bahwa

sumber data dalam penelitian ini yaitu sumber data dari peserta didik dan sumber data

dari pendidik.

Data di atas berasal dari nilai pretest dan nilai posttest sebagai sumber data

primer dan sumber data sekunder berasal dari dokumen nilai yang ada pada pendidik

mata pelajaran akuntansi dasar di SMK PGRI Cikoneng. Adapun data sekunder

didapatkan atau dikumpulkan oleh penulis berdasarkan informasi dari berbagai

sumber yang telah ada, seperti dokumentasi dan rata-rata yang dibutuhkan dari SMK

PGRI Cikoneng.

3.2.4.2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah cara yang ditempuh oleh penulis untuk

mendapatkan data yang dibutuhkan. Adapun teknik pengumpulan data yang

digunakan penulis yaitu sebagai berikut:

3.2.4.2.1. Observasi

Menurut Sutrisno hadi dalam Sugiyono (2012: 203) mengemukakan bahwa,

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dari
57

berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah proses-

proses pengamatan dan ingatan.

Dalam teknik ini peneliti melakukan observasi terhadap kelas-kelas yang akan

dijadikan kelas eksperimen dan kelas kontrol. Bentuk observasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan melakukan pengamatan langsung terkait dengan

model pembelajaran yang sering digunakan, dan informasi-informasi lain terkait

proses pembelajaran.

3.2.4.2.2. Dokumentasi

Dokumentasi yang diperoleh dalam penelitian ini berupa nilai rata-rata PAS

peserta didik kelas X AKL SMK PGRI Cikoneng tahun ajaran 2018/2019 dan foto

kegiatan pelaksanaan penelitian.

3.2.4.2.3. Tes Kemampuan Berpikir Kritis

Untuk mengetahui tingkat kemampuan berpikir kritis peserta didik mengenai

materi pelajaran, maka penulis memberikan tes kepada peserta didik kelas X AKL

SMK PGRI Cikoneng tahun ajaran 2018/2019. Tes yang dilaksanakan terdiri pretest

dan posttest. Kegiatan pemberian tes dilakukan untuk memperoleh gambaran

kemampuan berpikir kritis peserta didik pada mata pelajaran akuntansi dasar kelas X

AKL SMK PGRI Cikoneng. Arikunto (2010:193) mengemukakan bahwa “tes adalah

serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur

keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yan dimiliki oleh

individu atau kelompok”.

3.2.4.3. Uji Instrumen Penelitian


58

Analisis data dilakukan untuk menemukan suatu simpulan. Menurut Sugiyono

(2016:207) bahwa “Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokan data

berdasarkan variabel dan jenis responden, mentabulasi data berdasarkan variabel dari

seluruh responden, menyajikan data tiap variabel yang diteliti, melakukan

perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan perhitungan untuk

menguji hipotesis yang telah diajukan”.

Teknik analisis yang digunakan dapat dilakukan dengan menggunakan

langkah-langkah sebagai berikut:

3.2.4.3.1. Uji Validitas

Menurut Sukmadinata (2013:228), “Validitas instrument menunjukan bahwa

hasil dari suatu pengukuran menggambarkan segi atau aspek yang diukur”. Teknik

yang digunakan untuk mengetahui validitas instrument penelitian adalah dengan

korelasi product moment yang dikemukakan oleh pearson. Rumus untuk menghitung

korelasi product moment dengan angka kasar (Arikunto, 2012:87) adalah sebagai

berikut:

r xy =N ∑ XY −¿ ¿ ¿

Keterangan:

r xy : Koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y


X : Skor item nomor
Y : Skor total
N : Banyaknya subjek

Dari rxy yang diperoleh tersebut kemudian dibandingkan dengan tabel harga

kritis product momen. Item tersebut dikatakan valid jika rhitung > rtabel. Berdasarkan hasil
59

perhitungan validitas butir soal yang diujikan ke kelas XI yang telah mendapatkan

pembelajaran ini diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 3.7
Hasil Uji Validitas Instrumen Soal
No. Interpretas No.
rxy rtabel rxy rtabel Interpretasi
Soal i Soal
01 -0,39 0,29 Tidak Valid 11 -0,65 0,29 Tidak Valid
02 0,34 0,29 Valid 12 0 0,29 Tidak Valid
03 0,36 0,29 Valid 13 0,53 0,29 Valid
04 0,42 0,29 Valid 14 0 0,29 Tidak Valid
05 0,30 0,29 Valid 15 0,42 0,29 Valid
06 0,35 0,29 Valid 16 0,34 0,29 Valid
07 0,29 0,29 Valid 17 0,51 0,29 Valid
08 0,44 0,29 Valid 18 0,41 0,29 Valid
09 0 0,29 Tidak Valid 19 0,36 0,29 Valid
10 0,36 0,29 Valid 20 0,56 0,29 Valid
Tabel diolah oleh penulis

Berdasarkan hasil uji validitas di atas, dari 20 butir soal yang diujikan terdapat

5 butir soal yang tidak valid yaitu soal no. 01, 09, 11, 12, dan 14. Kelima butir soal

yang tidak valid tidak digunakan sebagai instrumen penelitian. Butir soal yang

digunakan dalam penelitian ini soal no. 02, 03, 04, 05, 06, 07, 08, 10, 13, 15, 16, 17,

18, 19, dan 20.

3.2.4.3.2. Analisis Reliabilitas

Arifin (2013:258) mengemukakan bahwa “Reliabilitas adalah tingkat atau

derajat konsistensi dari suatu instrument. Suatu tes dapat dikatakan reliabel jika selalu

memberikan hasil yang sama bila diteskan pada kelompok yang sama pada waktu

atau kesempatan yang berbeda”. Rumus yang akan digunakan untuk menguji

reliabilias tes adalah rumus K-R.20 sebagai berikut:

n S 2−∑ pq
( )(
r 11 =
n−1 S2 )
60

2
∑X
S2 =
∑X −
2
( ) N
N

Keterangan:
r 11 : Reliabilitas item tes
P : Proporsi subjek yang menjawab benar suatu item
Q : Proporsi subjek yang menjawab salah suatu item
N : Banyaknya item soal
S : Standar deviasi dari tes (standar deviasi adalah akar varians)
X : Jumlah item yang benar

Interpretasi mengenai besarnya koefisien korelasi (Arikunto, 2012:89) adalah

sebagai berikut:

1) Antara 0,800 sampai dengan 1,00 : Sangat tinggi


2) Antara 0,600 sampai dengan : Tinggi
0,800
3) Antara 0,400 sampai dengan : Cukup
0,600
4) Antara 0,200 sampai dengan : Rendah
0,400
5) Antara 0,00 sampai dengan 0,200 : Sangat rendah

Hasil perhitungan uji reliabilitas instrumen soal diperoleh hasil sebagai

berikut:

Tabel 3.8
Hasil Uji Reliabelitas Soal
No.
Koefisien No. Koefisien
Soa Keterangan Keterangan
Korelasi Soal Korelasi
l
02 0,99 Sangat Tinggi 13 0,97 Sangat Tinggi
03 1 Sangat Tinggi 15 0,98 Sangat Tinggi
04 0,99 Sangat Tinggi 16 1 Sangat Tinggi
05 1 Sangat Tinggi 17 0,99 Sangat Tinggi
06 0,98 Sangat Tinggi 18 0,97 Sangat Tinggi
07 1 Sangat Tinggi 19 0,98 Sangat Tinggi
08 0,99 Sangat Tinggi 20 0,97 Sangat Tinggi
10 0,98 Sangat Tinggi
Tabel diolah oleh penulis
61

Berdasarkan hasil uji reliabilitas pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa

instrumen penelitian ini diinterpretasikan sebagai soal yang reliabel.

3.2.4.3.3. Indeks Kesukaran Soal (Difficulty Index)

Arikunto (2012:222) menjelaskan bahwa “Soal yang baik adalah soal yang

tidak terlalu mudah atau tidak terlalu sukar. Soal yang mudah tidak merangsang

peserta didik untuk mempertinggi usaha memecahkannya. Sebaliknya soal yang

terlalu sukar akan menyebabkan peserta didik menjadi putus asa dan tidak

mempunyai semangat untuk mencoba karena di luar jangkauannya”. Penjelasan

tersebut sejalan dengan pendapat Arifin (2013:266) yang menyebutkan bahwa “suatu

soal tes hendaknya tidak terlalu sukar dan tidak pula terlalu mudah”. Bilangan yang

menunjukan sukar dan mudahnya suatu soal disebut indeks kesukaran (Difficulty

index).

Untuk menghitung besarnya indeks kesukaran dapat digunakan rumus sebagai

berikut:

JB
P=
JS

P : Indeks kesukaran
JB : Banyaknya peserta didik yang menjawab benar
JS : Banyaknya Peserta didik
Keterangan:
62

Klasifikasi indeks kesukaran menurut (Lestari & Yudhanegara, 2015:224)

adalah sebagai berikut:

1) P = 0,00 adalah soal sangat sukar


2) 0,00 < P ≤ 0,3 adalah soal sukar
3) 0,3 < P ≤ 0,7 adalah soal sedang
4) 0,7 < P ≤ 1,00 adalah mudah
5) P = 1,00 adalah sangat mudah

Berikut hasil perhitungan koefisien tingkat kesukaran tiap butir soal setelah

diujicobakan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.9
Hasil Uji Indeks Kesukaran
No. Koefisien No. Koefisien
Keterangan Keterangan
Soal Korelasi Soal Korelasi
02 0,53 Sedang 13 0,67 Sedang
03 0,73 Mudah 15 0,40 Sedang
04 0,37 Sedang 16 0,60 Sedang
05 0,27 Sukar 17 0,57 Sedang
06 0,50 Sedang 18 0,27 Sukar
07 0,27 Sukar 19 0,73 Mudah
08 0,90 Mudah 20 0,67 Sedang
10 0,50 Sedang

Berdasarkan tabel 3.9 dapat diperoleh data bahwa dari 20 soal yang diujikan

terdapat berbagai kriteria, soal no. 03, 08, 11, dan 19 termasuk kategori mudah, soal

no. 02, 04, 06, 10, 13, 15, 16, 17, dan 20 termasuk kategori sedang, soal no. 05, 07,

dan 18 termasuk kategori sukar.

3.2.4.3.4. Daya Pembeda (Discriminating Power)

Menurut Arifin (2013:273), “perhitungan daya pembeda adalah pengukuran

sejauh mana suatu butir soal mampu membedakan peserta didik yang sudah

menguasai kompetensi dengan peserta didik yang belum/kurang menguasai


63

kompetensi berdasarkan kriteria tertentu”. Angka yang menunjukan besarnya daya

pembeda disebut indeks diskriminasi (D). Rumus untuk menentukan besarnya indeks

diskriminasi (Lestari dan Yudhanegara, 2015:217) adalah:

Ba Bb
DP = − =Pa−Pb
Na Nb

Keterangan:
DP : Indeks daya pembeda butir soal
Ba : Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar
Bb : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar
Na : Banyaknya peserta kelompok atas
Nb : Banyaknya peserta kelompok bawah
Pa : Proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
Pb : Proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

Klasifikasi daya pembeda (Lestari dan Yudhanegara, 2015:217) adalah

sebagai berikut:

1) 0,70 < DP ≤1,00 adalah sangat baik


2) 0,40 < DP ≤ 0,70 adalah Baik
3) 0,20 < DP ≤ 0,40 adalah Cukup
4) 0,00 < DP ≤ 0,20 adalah Jelek
5) DP ≤ 0,00adalah sangat Jelek

Table 3.10
Hasil Uji Daya Pembeda
No. Koefisien No. Koefisien
Keterangan Keterangan
Soal Korelasi Soal Korelasi
02 0,13 Jelek 13 0,27 Cukup
03 0,53 Baik 15 0,54 Baik
04 0,33 Cukup 16 0 Sangat jelek
05 0,13 Jelek 17 0,60 Baik
06 -0,06 Sangat jelek 18 0,13 Jelek
07 0 Sangat jelek 19 0 Sangat jelek
08 0,20 Cukup 20 0,40 Baik
10 -0,06 Sangat jelek
64

Berdasarkan hasil penelitan pada tabel di atas dapat diketahui bahwa untuk

soal no. 03, 15, 17 dan 20 memiliki daya pembeda soal baik, soal no. 04, 08 dan 13

memiliki daya pembeda soal cukup, soal no. 02, 05 dan 18 memiliki daya pembeda

soal jelek, soal no. 06, 07, 10, 16 dan 19 memiliki daya pembeda soal sangat jelek.

3.2.4.4. Uji Analisis Data

1. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran

akhir (posttest).

2. Untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended dengan yang menggunakan Metode Pebelajaran

Konvensional pada pengukuran akhir (posttest).

Untuk mengetahui kedua perbedaan tersebut, penulis menggunakan rumus

dari Djarwanto (1996:131) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat tabel persiapan perhitungan perbedaan pretest dan posttest kelas

eksperimen dan kelas kontrol.

Tabel 3.11
persiapan perhitungan uji t pretest dan posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol
N X Y X' Y' X' 2 Y'2
0 1
65

0 2

Rata-rata

b. Menentukan mean atau rata-rata nilai pretest dan posttest kelas eksperimen

dan kelas kontrol menggunakan rumus:

∑X ∑Y
M1 = dan M2 =
N1 N2

Keterangan:

M1 = Nilai rata-rata yang dicari dari niali pretest kelas eksperimen atau
kontrol
∑X = Jumlah nilai pretest kelas eksperimen atau kontrol
N1 = Jumlah data pretest
M2 = Nilai rata-rata yang dicari dari nilai posttest kelas eksperimen atau
kontrol
∑Y = Jumlah nilai posttest kelas eksperimen atau kontrol
N2 = Jumlah data posttest

c. Menentukan simpangan baku (standar deviasi) dengan rumus:


2 2

σ 1 = √∑ X √∑ Y '
'
dan σ 2 =
N1 N2

d. Menentukan derajat kebebasan (dk) atau degree of freedom (df) dengan

rumus:

df = (n1 −1¿+ ¿ – 1)

taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikansi 0,05

e. Menentukan C.R (Critical Ratio/Harga kritik), dengan menggunakan rumus:

M 2−M 1
C.R = σ 1 2 σ 22
√ +
n1 n 2

C.R = Harga kritik Uji beda yang dicari


66

f. Membandingkan C.R atau t hitung dengan t tabel.

Selain menggunakan uji t, penulis juga menggunakan rumus N-Gain sebagai

penguat perhitungan uji t, dengan rumus sebagai berikut:

Skor Posttest−Skor Pretest


N .Gain=
Sekor maksimum Ideal−Skor Pretest

Tabel 3.12
Interpretasi Nilai N.Gain

N.Gain Kriteria
G > 0,70 Tinggi
0,30 < G ≤ 0,70 Sedang
G < 0,30 Rendah
Sumber: Kurnia & Yudhanegara, 2017:235

3.2.5. Rancangan Pengujian Hipotesis

Dalam pengujian hipotesis yang diuraikan oleh penulis terdapat dua

kemungkinan, yaitu Ho dan Ha. Ho merupakan istilah untuk hipotesis nol, sedangkan

Ha merupakan istilah untuk hipotesis alternative. Dua kemungkinan tersebut adalah:

 Ha diterima dan Ho ditolak jika t hitung > t tabel artinya terdapat perbedaan

kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan Model Pembelajaran

Berbasis Masalah (problem based learning) tipe Open Ended.

 Ho diterima dan Ha ditolak jika t hitung < t tabel artinya tidak terdapat perbedaan

kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan Model Pembelajaran

Berbasis Masalah (problem based learning) tipe Open Ended.

3.2.6. Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.6.1. Tempat Penelitian


67

Penelitian ini dilaksanakan di SMK PGRI Cikoneng yang beralamat di jalan

Raya Cikoneng No.144, Cikoneng, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis,

Provinsi Jawa Barat 46261, Telepon: (0265)773258.

3.2.6.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dilaksanakan disajikan dalam tabel waktu penelitian

sebagai berikut:

Table 3.13
Waktu Penelitian
Bulan
Desember

Februari

Agustus
Januari

Maret

Kegiatan Penelitian
April

Juni
Mei

Juli

Observasi Lapangan
Pengumpulan Data awal
Penyusunan Proposal
Pelaksanaan Penelitian
Pengumpulan Data
Pengolahan Data
Penyusunan Laporan
68

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Profil SMK PGRI Cikoneng

Sebelum membahas secara rinci tentang SMK PGRI Cikoneng, berikut

identitas SMK PGRI Cikoneng secara struktural:

1. Nama Sekolah : SMK PGRI Cikoneng


2. NPSN : 20211525
3. NSS : 344021402007
4. Akreditasi : Akreditasi B
5. Alamat : JL. Raya Cikoneng No. 144
6. Kelurahan : Cikoneng
7. Kecamatan : Cikoneng
8. Kota : Kabupaten Ciamis
9. Kode Pos : 46261
10. Provinsi : Jawa Barat
11. Izin Pendirian : No. 116 a / C.C7 / 102.5 / M 1983
Tanggal 01-02-1983
12. Nomor Telepon : 0265-773258
13. Nomor Faks : (0265) 773258
14. Email : smkpgrickn@yahoo.co.id
15. Jenjang : SMK
16. Status : Swasta
17. Situs : http://smkpgricikoneng.sch.id
18. Lintang : -7.31786
19. Bujur : 108.35746799999993
20. Ketinggian : 210
21. Waktu Belajar : Sekolah Pagi

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) PGRI adalah sekolah menegah kejuruan

yang beralamat di JL. Raya Cikoneng No.144 Cikoneng Kabupaten Ciamis, berdiri

pada tahun 1981 dengan nama SMEA PGRI Cikoneng, SMEA PGRI Cikoneng

berdiri atas dasar aspirasi dari masyarakat dan aparat setempat yang ingin

memfasilitasi anak daerah bisa tetap sekolah dan tidak jauh sekolahnya. Pada tanggal
69

3 april 1997 surat edaran sekretaris jenderal departemen pendidikan dan kebudayaan

RI No. 41007/A.A5/OT/1997 tentang perubahan nomenklatur perubahan nama dari

SMEA PGRI Cikoneng menjadi SMK PGRI Cikoneng, SMK PGRI merupakan

sekolah yang berada dibawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan

(YPLP) PGRI yang berkantor pusat di Jl. Talaga Bodas No. 56-58 Bandung.

Program keahlian yang ada pada saat itu terdiri dari tiga program keahlian,

yaitu

Administrasi Perkantoran, Penjualan dan Multimedia. Perkembangan minat

masyarakat daerah setempat terhadap adanya SMK PGRI Cikoneng berdampak

positif bagi kemajuan dan perkembangan sekolah, mulai dari perkembangan jumlah

peserta didik, jumlah tenaga pendidik samapai perkembangan sarana prasarana yang

ada di SMK PGRI Cikoneng, jumlah peserta didik pada saat berdirinya SMK PGRI

Cikoneng kurang lebih sebanyak 300 peserta didik, tenaga pendidik juga hanya 20

orang dengan sarana prasarana belum memadai seperti sekarang, dengan tingginya

minat masyarakat setempat jumlah peserta didik yang tercatat sekarang meningkat

sampai 847 peserta didik, tenaga pendidik tercatat ada 31 tenaga pendidik, 6 staff tata

usaha, 2 satpam dan 1 caraka . Selain perkembangan tersebut, pada tahun ajaran

2016/2017 SMK PGRI Cikoneng membuka jurusan baru yaitu jurusan akuntansi.

Struktur Organisasi yang ada di SMK PGRI Cikoneng adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1
Struktur Organisasi SMK PGRI Cikoneng
Jabatan Nama
Kepala Sekolah Drs. Iwan Gunawan, M.M.
Wakil Kepala Sekolah Hariman Hendriana, S.Pd.,M.Pd.
Drs. Ace Sudarman
Cucu Subara
Bendahara Popong Wawat C, S.Pd
Kepala Laboratorium Nurwana
70

Kepala Tata Usaha Iwa Kartiwa


Ketua Program keahlian Hana Paojiah Nurmilah

4.1.2. Uji Asumsi Statistik

4.1.2.1 Uji Homogenitas

Uji homogenitas dimaksudkan untuk mengetahui bahwa kedua kelas yang

dijadikan sampel adalah homogen maka penulis melakukan uji homogenitas dengan

menggunakan rumus Djarwanto (1996:131) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Membuat tabel persiapan perhitungan.

Tabel 4.2
perhitungan uji homogenitas kelas X AKL 1 dan X AKL 2
N X1 X2 X2’ X1’ X2’2 X1’2
0 1 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
0 2 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
0 3 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
0 4 46,70 46,70 -3,75 -3,52 14,06 12,39
0 5 60,00 53,30 9,55 3,08 91,20 9,49
0 6 26,70 33,30 -23,75 -16,92 564,06 286,29
0 7 66,70 20,00 16,25 -30,22 264,06 913,25
0 8 53,30 53,30 2,85 3,08 8,12 9,49
0 9 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
1 0 46,70 46,70 -3,75 -3,52 14,06 12,39
1 1 60,00 46,70 9,55 -3,52 91,20 12,39
1 2 66,70 40,00 16,25 -10,22 264,06 104,45
1 3 20,00 46,70 -30,45 -3,52 927,20 12,39
1 4 60,00 40,00 9,55 -10,22 91,20 104,45
1 5 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
1 6 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
1 7 60,00 53,30 9,55 3,08 91,20 9,49
1 8 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
1 9 26,70 46,70 -23,75 -3,52 564,06 12,39
2 0 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
2 1 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
2 2 53,30 46,70 2,85 -3,52 8,12 12,39
71

2 3 40,00 46,70 -10,45 -3,52 109,20 12,39


2 4 40,00 60,00 -10,45 9,78 109,20 95,65
2 5 33,30 53,30 -17,15 3,08 294,12 9,49
2 6 40,00 66,70 -10,45 16,48 109,20 271,59
2 7 53,30 66,70 2,85 16,48 8,12 271,59
2 8 60,00 66,70 9,55 16,48 91,20 271,59
2 9 53,30 60,00 2,85 9,78 8,12 95,65
3 0 46,70 53,30 -3,75 3,08 14,06 9,49
∑ 1513,50 1506,70 0,00 0,00 4594,62 3177,41
Rata-rata 50,45 50,22 0,00 0,00 153,15 105,91

2. Menentukan mean atau rata-rata nilai pretest kelas eksperimen dan kelas kontrol

menggunakan rumus:

∑X1 ∑X2
M1 = dan M2 =
N1 N2

Keterangan:

M1 = Nilai rata-rata yang dicari dari niali pretest kelas eksperimen


∑X1 = Jumlah nilai pretest kelas eksperimen
N1 = Jumlah data kelas eksperimen
M2 = Nilai rata-rata yang dicari dari nilai pretest kelas kontrol
∑Y 2 = Jumlah nilai pretest atau posttest kelas kontrol
N2 = Jumlah data kelas kontrol

∑X1 ∑X2
M1 = dan M2 =
N1 N2

1513,5 1506,7
M1 = dan M2 =
30 30

M 1 = 50,45 dan M 2 = 50,22

3. Menentukan simpangan baku (standar deviasi) dengan rumus:


2 2

σ1 =
√∑ X 1 '
dan σ 2 =
√∑ X 2 '

N1 N2
72

σ 1 = √ 4594,615 dan σ 2 = √ 3177,414


30 30

σ 1 = √ 153,1538 dan σ 2 = √ 105,9138

σ 1 = 12,37 dan σ 2 = 10,29

4. Menentukan derajat kebebasan (dk) atau degree of freedom (df) dengan rumus:

dk = (n1 −1¿+ ¿ – 1)

dk = (30−1¿+ ¿ – 1)

dk = 29 +29

dk = 58

Untuk menentukan nilai ttabel pada taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikansi

0,05 penulis melakukan perhitungan dengan rumus interpolasi karena df sebesar

58 tidak ada titik temu antara taraf kepercayaan 95% atau 0,05.

Berikut perhitungan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:

dk i−dk min
i = tmin – (tmin – tmax )
dk max −dk min

nilai t untuk dk 40 pada tabel adalah 1,684 sedangkan nilai t untuk dk 60 adalah

1,671.

58−40
i = 1,684 – (1,684 – 1,671)
60−40

i = 1,684 – (0,013)(0,9)

i = 1,684 – 0,0117

i = 1,6723

i = 1,67
73

berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus interpolasi di atas diperoleh nilai

ttabel dengan derajat kebebasan 58 pada taraf kepercayaan 95% atau taraf

signifikansi 0,05 sebesar 1,67.

5. Menentukan C.R (Critical Ratio/Harga kritik), dengan menggunakan rumus:

M 1−M 2
C.R = σ 1 2 σ 22
√ +
n1 n 2

50,45−50,22
C.R = (12,37)2 (10,29)2
√30
+
30

0,23
C.R = 153,0169 105,8841
√ 30
+
30

0,23
C.R =
√ 5,10056+ 3,52947
0,23
C.R =
√ 8,63003
0,23
C.R =
2,93769

C.R = 0,0783

C.R = Harga kritik Uji beda yang dicari

6. Membandingkan C.R atau t hitung dengan t tabel.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas diperoleh nilai thitung sebesar 0,0783 dan

nilai ttabel sebesar 1,67 maka thitung < ttabel atau 0,0783 < 1,67 dengan demikian kedua

kelas tersebut homogen.


74

4.1.2.2 Uji Normalitas

Menurut Suwarto (2018:149) uji kenormalan dengan uji Liliefors dapat

dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

a. Setiap data diurutkan dari data terkecil sampai terbesar, kemudian nilai-nilai
tersebut ditransformasi menjadi nilai baku z.
( X − X́ ) dimana X nilai pengamatan, = rata-rata nilai pengamatan, dan
Z= i i X́
S
s= simpangan baku sampel.
b. Dari nilai baku z ditentukan nilai probabilitasnya yaitu P (z) berdasarkan
sebaran normal baku, sebagai probabilitas pengamatan.
c. Tentukan nilai probabilitas harapan kumulatif P(x).
d. Tentukan nilai maksimum │P (z) – P(x)│sebagai L hitung.
e. Bandingkan L dengan L tabel dari distribusi L, yaitu Lα (k-1) = L 0,05 (k-1).
f. Kaidah pengujian: Tolak Ho jika L > Lα (k-1).
Hipotesis:
Ho: Nilai berdistribusi normal
Ha: Nilai tidak berdistribusi normal.
Taraf nyata 5% atau 0,05
Statistik L
Wilayah kritik: L > Lα (k-1)

1) Normalitas Pretest Kelas Eksperimen

Hipotesis:

Ho: Nilai pretest kelas eksperimen berdistribusi normal

Ha: Nilai pretest kelas eksperimen tidak berdistribusi normal.

Taraf nyata 5% atau 0,05

Statistik L
75

Wilayah kritik: L > Lα (k-1)

Perhitungan X́ = 50,45, S = 12,37

Tabel 4.3
Tabel Kerja Mencari L Nilai Pretest Kelas Eksperimen

N X Z P(Z) P(X) │P(Z)- P(X)│


0 1 66,7 1,3137 0,9055 0,0333 0,8722
0 2 66,7 1,3137 0,9055 0,0667 0,8389
0 3 46,7 -0,3032 0,3809 0,1000 0,2809
0 4 46,7 -0,3032 0,3809 0,1333 0,2476
0 5 60,0 0,7720 0,7800 0,1667 0,6133
0 6 26,7 -1,9200 0,0274 0,2000 0,1726
0 7 66,7 1,3137 0,9055 0,2333 0,6722
0 8 53,3 0,2304 0,5911 0,2667 0,3244
0 9 66,7 1,3137 0,9055 0,3000 0,6055
1 0 46,7 -0,3032 0,3809 0,3333 0,0476
1 1 60,0 0,7720 0,7800 0,3667 0,4133
1 2 66,7 1,3137 0,9055 0,4000 0,5055
1 3 20,0 -2,4616 0,0069 0,4333 0,4264
1 4 60,0 0,7720 0,7800 0,4667 0,3133
1 5 46,7 -0,3032 0,3809 0,5000 0,1191
1 6 53,3 0,2304 0,5911 0,5333 0,0578
1 7 60,0 0,7720 0,7800 0,5667 0,2133
1 8 53,3 0,2304 0,5911 0,6000 0,0089
1 9 26,7 -1,9200 0,0274 0,6333 0,6059
2 0 53,3 0,2304 0,5911 0,6667 0,0756
2 1 46,7 -0,3032 0,3809 0,7000 0,3191
2 2 53,3 0,2304 0,5911 0,7333 0,1422
2 3 40,0 -0,8448 0,1991 0,7667 0,5676
2 4 40,0 -0,8448 0,1991 0,8000 0,6009
2 5 33,3 -1,3864 0,0828 0,8333 0,7505
2 6 40,0 -0,8448 0,1991 0,8667 0,6676
2 7 53,3 0,2304 0,5911 0,9000 0,3089
2 8 60,0 0,7720 0,7800 0,9333 0,1534
2 9 53,3 0,2304 0,5911 0,9667 0,3756
3 0 46,7 -0,3032 0,3809 1,0000 0,6191
76

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai maksimum│P(Z)- P(X)│=

Lhitung = 0,8722 dan Ltabel = 0,1590. Artinya Lhitung > Ltabel atau 0,8722 > 0,1590 maka Ha

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa nilai pretest kelas eksperimen pada taraf

kepercayaan 95% tidak berdistribusi normal.

2) Normalitas Pretest Kelas Kontrol

Hipotesis :

Ho: Nilai pretest kelas kontrol berdistribusi normal

Ha: Nilai Pretest kelas kontrol tidak berdistribusi normal.

Taraf nyata 5% atau 0,05

Statistik L

Wilayah kritik: L > Lα (k-1)

Perhitungan X́ = 50,22, S = 10.29

Tabel 4.4
Tabel Kerja Mencari L Nilai Pretest Kelas Kontrol
N X Z P(Z) P(X) │P(Z)- P(X)│
0 1 40,0 -0,9932 0,1603 0,0333 0,1270
0 2 40,0 -0,9932 0,1603 0,0667 0,0936
0 3 53,3 0,2993 0,6177 0,1000 0,5177
0 4 46,7 -0,3421 0,3661 0,1333 0,2328
0 5 53,3 0,2993 0,6177 0,1667 0,4510
0 6 33,3 -1,6443 0,0501 0,2000 0,1499
0 7 20,0 -2,9368 0,0017 0,2333 0,2317
0 8 53,3 0,2993 0,6177 0,2667 0,3510
0 9 40,0 -0,9932 0,1603 0,3000 0,1397
1 0 46,7 -0,3421 0,3661 0,3333 0,0328
1 1 46,7 -0,3421 0,3661 0,3667 0,0005
1 2 40,0 -0,9932 0,1603 0,4000 0,2397
1 3 46,7 -0,3421 0,3661 0,4333 0,0672
1 4 40,0 -0,9932 0,1603 0,4667 0,3064
1 5 53,3 0,2993 0,6177 0,5000 0,1177
1 6 60,0 0,9504 0,8291 0,5333 0,2957
77

1 7 53,3 0,2993 0,6177 0,5667 0,0510


1 8 60,0 0,9504 0,8291 0,6000 0,2291
1 9 46,7 -0,3421 0,3661 0,6333 0,2672
2 0 60,0 0,9504 0,8291 0,6667 0,1624
2 1 53,3 0,2993 0,6177 0,7000 0,0823
2 2 46,7 -0,3421 0,3661 0,7333 0,3672
2 3 46,7 -0,3421 0,3661 0,7667 0,4005
2 4 60,0 0,9504 0,8291 0,8000 0,0291
2 5 53,3 0,2993 0,6177 0,8333 0,2157
2 6 66,7 1,6016 0,9454 0,8667 0,0787
2 7 66,7 1,6016 0,9454 0,9000 0,0454
2 8 66,7 1,6016 0,9454 0,9333 0,0120
2 9 60,0 0,9504 0,8291 0,9667 0,1376
3 0 53,3 0,2993 0,6177 1,0000 0,3823

Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh nilai maksimum│P(Z)- P(X)│=

Lhitung = 0,5177 dan Ltabel = 0,1590. Artinya Lhitung > Ltabel atau 0,5177 > 0,1590 maka Ha

diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa nilai pretest kelas eksperimen pada taraf

kepercayaan 95% tidak berdistribusi normal.

4.1.3. Deskripsi Variabel Penelitian

4.1.3.1. Deskripsi Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (problem based

learning) tipe Open Ended pada Pengukuran awal (pretest) dan

Pengukuran akhir (posttest) pada kelas Eksperimen

Untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe

open ended pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest), penulis

Menyajikan data hasil pretest dan posttest sebagai berikut:

Tabel 4.5
Data Hasil Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen
N Pretest Posttest
0 1 66,70 86,70
78

0 2 66,70 93,30
0 3 46,70 73,30
0 4 46,70 73,30
0 5 60,00 93,30
0 6 26,70 53,30
0 7 66,70 80,00
0 8 53,30 80,00
0 9 66,70 86,70
1 0 46,70 80,00
1 1 60,00 86,70
1 2 66,70 86,70
1 3 20,00 66,70
1 4 60,00 80,00
1 5 46,70 86,70
1 6 53,30 73,30
1 7 60,00 80,00
1 8 53,30 80,00
1 9 26,70 60,00
2 0 53,30 73,30
2 1 46,70 80,00
2 2 53,30 73,30
2 3 40,00 80,00
2 4 40,00 80,00
2 5 33,30 66,70
2 6 40,00 66,70
2 7 53,30 80,00
2 8 60,00 86,70
2 9 53,30 80,00
3 0 46,70 80,00
∑ 1513,50 2346,70
Tertinggi 66,70 93,30
Terendah 20,00 54,30
Rata-rata 50,45 78,22

Berdasarkan tabel 4.5 di atas, dapat diuraikan kemampuan berpikir kritis

peserta didik tertinggi pada pengukuran awal (pretest) dikelas eksperimen sebesar

66,70 dan pada pada pengukuran akhir (posttest) sebesar 93,30, sedangkan rata-rata

pretest sebesar 50,45 dan posttest sebesar 78,22.


79

4.1.3.2. Deskripsi Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang

Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended dengan yang Menggunakan Metode

Pembelajaran Konvensional pada Pengukuran Akhir (Posttest)

Untuk mengetahui perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe

open ended dengan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional pada

pengukuran akhir (posttest), penulis menyajikan data hasil posttest kelas eksperimen

dan kelas kontrol sebagai berikut:

Tabel 4.6
Data Hasil Posttest Kelas Eksperimen dan kelas kontrol
N Posttest Kontrol Posttest Eksperimen
0 1 46,70 86,70
0 2 53,30 93,30
0 3 46,70 73,30
0 4 60,00 73,30
0 5 66,70 93,30
0 6 46,70 53,30
0 7 53,30 80,00
0 8 53,30 80,00
0 9 53,30 86,70
1 0 60,00 80,00
1 1 66,70 86,70
1 2 60,00 86,70
1 3 73,30 66,70
1 4 40,00 80,00
1 5 53,30 86,70
1 6 40,00 73,30
1 7 60,00 80,00
80

1 8 53,30 80,00
1 9 40,00 60,00
2 0 40,00 73,30
2 1 60,00 80,00
2 2 66,70 73,30
2 3 53,30 80,00
2 4 60,00 80,00
2 5 53,30 66,70
2 6 86,70 66,70
2 7 80,00 80,00
2 8 86,70 86,70
2 9 73,30 80,00
3 0 53,30 80,00
∑ 1739,90 2346,70
Tertinggi 73,30 93,30
Terendah 40,00 53,30
Rata-rata 58,00 78,22

Berdasarkan tabel 4.6 di atas, dapat diuraikan bahwa kemampuan berpikir

kritis peserta didik tertinggi pada pengukuran akhir (posttest) dikelas kontrol sebesar

73,30 dan pada pada pengukuran akhir (posttest) dikelas eksperimen sebesar 93,30,

sedangkan rata-rata posttest kelas kontrol sebesar 58,00 dan posttest kelas eksperimen

sebesar 78,22.

4.1.4 Pengujian Hipotesis

Kaidah pengujian hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

berikut:

 Ha diterima dan Ho ditolak artinya terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis

peserta didik yang menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

(problem based learning) tipe Open Ended.


81

 Ho diterima dan Ha ditolak tidak terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis

peserta didik yang menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah

(problem based learning) tipe Open Ended.

Hipotesis yang diujikan dalam penelitian ini mendapatkan hasil dengan

perhitungan sebagai berikut:

4.1.4.1 Hipotesis I

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta

didik pada pengukuran awal dan pengukuran akhir mata pelajaran akuntansi dasar

dengan kompetensi dasar menganalisis jurnal penyesuaian di SMK PGRI Cikoneng

penulis melakukan perhitungan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat tabel persiapan perhitungan perbedaan pretest dan posttest pada kelas

eksperimen.

Tabel 4.7
Persiapan perhitungan uji t pretest dan posttest di kelas eksperimen
N X Y X' Y' X' 2 Y'2
0 1 66,70 86,70 16,25 8,48 264,06 71,91
0 2 66,70 93,30 16,25 15,08 264,06 227,41
0 3 46,70 73,30 -3,75 -4,92 14,06 24,21
0 4 46,70 73,30 -3,75 -4,92 14,06 24,21
0 5 60,00 93,30 9,55 15,08 91,20 227,41
0 6 26,70 53,30 -23,75 -24,92 564,06 621,01
0 7 66,70 80,00 16,25 1,78 264,06 3,17
0 8 53,30 80,00 2,85 1,78 8,12 3,17
0 9 66,70 86,70 16,25 8,48 264,06 71,91
1 0 46,70 80,00 -3,75 1,78 14,06 3,17
1 1 60,00 86,70 9,55 8,48 91,20 71,91
1 2 66,70 86,70 16,25 8,48 264,06 71,91
1 3 20,00 66,70 -30,45 -11,52 927,20 132,71
1 4 60,00 80,00 9,55 1,78 91,20 3,17
1 5 46,70 86,70 -3,75 8,48 14,06 71,91
82

1 6 53,30 73,30 2,85 -4,92 8,12 24,21


1 7 60,00 80,00 9,55 1,78 91,20 3,17
1 8 53,30 80,00 2,85 1,78 8,12 3,17
1 9 26,70 60,00 -23,75 -18,22 564,06 331,97
2 0 53,30 73,30 2,85 -4,92 8,12 24,21
2 1 46,70 80,00 -3,75 1,78 14,06 3,17
2 2 53,30 73,30 2,85 -4,92 8,12 24,21
2 3 40,00 80,00 -10,45 1,78 109,20 3,17
2 4 40,00 80,00 -10,45 1,78 109,20 3,17
2 5 33,30 66,70 -17,15 -11,52 294,12 132,71
2 6 40,00 66,70 -10,45 -11,52 109,20 132,71
2 7 53,30 80,00 2,85 1,78 8,12 3,17
2 8 60,00 86,70 9,55 8,48 91,20 71,91
2 9 53,30 80,00 2,85 1,78 8,12 3,17
3 0 46,70 80,00 -3,75 1,78 14,06 3,17
∑ 1513,50 2346,70 0,00 0,00 4594,62 2396,43
Rata-rata 50,45 78,22 0,00 0,00 153,15 79,88

b. Menentukan mean atau rata-rata nilai pretest dan posttest di kelas eksperimen

menggunakan rumus:

∑X ∑Y
M1 = dan M2 =
N1 N2

1513,5 2346,7
M1 = dan M2 =
30 30

M 1 = 50,45 dan M 2 = 78,22

Keterangan:

M1 = Nilai rata-rata yang dicari dari niali pretest kelas eksperimen


∑X = Jumlah nilai pretest kelas eksperimen
N1 = Jumlah data pretest
M2 = Nilai rata-rata yang dicari dari nilai posttest kelas eksperimen
∑Y = Jumlah nilai posttest kelas eksperimen
N2 = Jumlah data posttest

c. Menentukan simpangan baku (standar deviasi) dengan rumus:


2 2

σ1 =
√∑ X '
dan σ 2 =
√∑ Y '

N1 N2
83

σ 1 = √ 4594,62 dan σ 2 = √ 2396,43


30 30

σ 1 = √ 153,15 dan σ 2 = √ 79,88

σ 1 = 12,37 dan σ 2 = 8,94

d. Menentukan derajat kebebasan (dk) atau degree of freedom (df) dengan rumus:

df = (n1 −1¿+ ¿ – 1)

df = (30−1¿+ ¿ – 1)

df = 29 +29

df = 58

Untuk menentukan nilai ttabel pada taraf kepercayaan 95% atau taraf

signifikansi 0,05 penulis melakukan perhitungan dengan rumus interpolasi karena df

sebesar 58 tidak ada titik temu antara taraf kepercayaan 95% atau 0,05.

Berikut perhitungan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:

dk i−dk min
i = tmin – (tmin – tmax )
dk max −dk min

nilai t untuk dk 40 pada tabel adalah 1,684 sedangkan nilai t untuk dk 60 adalah

1,671.

58−40
i = 1,684 – (1,684 – 1,671)
60−40

i = 1,684 – (0,013)(0,9)

i = 1,684 – 0,0117

i = 1,6723

i = 1,67 (dibulatkan)
84

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus interpolasi di atas diperoleh nilai

ttabel dengan derajat kebebasan 58 pada taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikansi

0,05 sebesar 1,67.

e. Menentukan C.R (Critical Ratio/Harga kritik), dengan menggunakan rumus:

M 2−M 1
C.R = σ 1 2 σ 22
√ +
n1 n 2

78,22−50,45
C.R = (12,37)2 (8,94)2

30
+
30

27,77
C.R = 153,0169 79,9236
√ 30
+
30

27,77
C.R =
√5,10056+ 2,6641
27,77
C.R =
√7,76466
27,77
C.R =
2,7865

C.R = 9,97

f. Membandingkan C.R atau t hitung dengan t tabel.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh C.R atau nilai t hitung sebesar

9,97, bila dibandingkan dengan ttabel sebesar 1,67 maka thitung > ttabel (9,97 > 1,67)

dengan demikian terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe

Open Ended di kelas eksperimen (X AKL 1) pada pengukuran awal (pretest) dan

pada pengukuran akhir (posttest).


85

Untuk memperkuat hasil perhitungan uji t, penulis melakukan perhitungan N-

Gain dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.8
Data Hasil Pretest dan Posttest Kelas Eksperimen
N Pretest Posttest N-Gain Kriteria
0 1 66,70 86,70 0,60 Sedang
0 2 66,70 93,30 0,80 Tinggi
0 3 46,70 73,30 0,50 Sedang
0 4 46,70 73,30 0,50 Sedang
0 5 60,00 93,30 0,83 Tinggi
0 6 26,70 53,30 0,36 Sedang
0 7 66,70 80,00 0,40 Sedang
0 8 53,30 80,00 0,57 Sedang
0 9 66,70 86,70 0,60 Sedang
1 0 46,70 80,00 0,62 Sedang
1 1 60,00 86,70 0,67 Sedang
1 2 66,70 86,70 0,60 Sedang
1 3 20,00 66,70 0,58 Sedang
1 4 60,00 80,00 0,50 Sedang
1 5 46,70 86,70 0,75 Tinggi
1 6 53,30 73,30 0,43 Sedang
1 7 60,00 80,00 0,50 Sedang
1 8 53,30 80,00 0,57 Sedang
1 9 26,70 60,00 0,45 Sedang
2 0 53,30 73,30 0,43 Sedang
2 1 46,70 80,00 0,62 Sedang
2 2 53,30 73,30 0,43 Sedang
2 3 40,00 80,00 0,67 Sedang
2 4 40,00 80,00 0,67 Sedang
2 5 33,30 66,70 0,50 Sedang
2 6 40,00 66,70 0,45 Sedang
2 7 53,30 80,00 0,57 Sedang
2 8 60,00 86,70 0,67 Sedang
2 9 53,30 80,00 0,57 Sedang
3 0 46,70 80,00 0,62 Sedang
∑ 1513,50 2346,70 17,04 -
Tertinggi 66,70 93,30 0,83 Tinggi
Terendah 20,00 54,30 0,36 Sedang
Rata-rata 50,45 78,22 0,57 Sedang
86

Berdasarkan tabel 4.8 N-Gain kemampuan berpikir kritis pada pengukuran

awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest) yang menggunakan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended pada

mata pelajaran akuntansi dasar diperoleh rata-rata nilai N-Gain sebesar 0,57 bila

diklasifikasikasikan termasuk kedalam kriteria Sedang (0,30 < G ≤ 0,70).

4.1.4.2 Hipotesis II

Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta

didik pada pengukuran akhir yang menggunakan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) tipe open ended di kelas eksperimen dengan yang

menggunakan metode konvensional di kelas kontrol penulis melakukan perhitungan

dengan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Membuat tabel persiapan perhitungan perbedaan pretest dan posttest pada kelas

eksperimen.

Tabel 4.9
Persiapan perhitungan uji t posttest kelas kontrol dan kelas eksperimen
N X Y X' Y' X' 2 Y'2
0 1 46,70 86,70 -11,30 8,48 127,69 71,91
0 2 53,30 93,30 -4,70 15,08 22,09 227,41
0 3 46,70 73,30 -11,30 -4,92 127,69 24,21
0 4 60,00 73,30 2,00 -4,92 4,00 24,21
0 5 66,70 93,30 8,70 15,08 75,69 227,41
0 6 46,70 53,30 -11,30 -24,92 127,69 621,01
0 7 53,30 80,00 -4,70 1,78 22,09 3,17
0 8 53,30 80,00 -4,70 1,78 22,09 3,17
0 9 53,30 86,70 -4,70 8,48 22,09 71,91
1 0 60,00 80,00 2,00 1,78 4,00 3,17
1 1 66,70 86,70 8,70 8,48 75,69 71,91
1 2 60,00 86,70 2,00 8,48 4,00 71,91
1 3 73,30 66,70 15,30 -11,52 234,09 132,71
1 4 40,00 80,00 -18,00 1,78 324,00 3,17
1 5 53,30 86,70 -4,70 8,48 22,09 71,91
1 6 40,00 73,30 -18,00 -4,92 324,00 24,21
1 7 60,00 80,00 2,00 1,78 4,00 3,17
87

1 8 53,30 80,00 -4,70 1,78 22,09 3,17


1 9 40,00 60,00 -18,00 -18,22 324,00 331,97
2 0 40,00 73,30 -18,00 -4,92 324,00 24,21
2 1 60,00 80,00 2,00 1,78 4,00 3,17
2 2 66,70 73,30 8,70 -4,92 75,69 24,21
2 3 53,30 80,00 -4,70 1,78 22,09 3,17
2 4 60,00 80,00 2,00 1,78 4,00 3,17
2 5 53,30 66,70 -4,70 -11,52 22,09 132,71
2 6 86,70 66,70 28,70 -11,52 823,69 132,71
2 7 80,00 80,00 22,00 1,78 484,00 3,17
2 8 86,70 86,70 28,70 8,48 823,69 71,91
2 9 73,30 80,00 15,30 1,78 234,09 3,17
3 0 53,30 80,00 -4,70 1,78 22,09 3,17
∑ 1739,90 2346,70 0,00 0,00 4728,51 2396,43
Rata-rata 58,00 78,22 0,00 0,00 157,62 79,88

b. Menentukan mean atau rata-rata nilai posttest kelas eksperimen dan kelas kontrol

menggunakan rumus:

∑X ∑Y
M1 = dan M2 =
N1 N2

1739,90 2346,70
M1 = dan M2 =
30 30

M 1 = 58,00 dan M 2 = 78,22

Keterangan:

M1 = Nilai rata-rata yang dicari dari niali pretest kelas eksperimen


∑X = Jumlah nilai pretest kelas eksperimen
N1 = Jumlah data pretest
M2 = Nilai rata-rata yang dicari dari nilai posttest kelas eksperimen
∑Y = Jumlah nilai posttest kelas eksperimen
N2 = Jumlah data posttest

c. Menentukan simpangan baku (standar deviasi) dengan rumus:


2 2

σ1 =
√∑ X '
dan σ 2 =
√∑ Y '

N1 N2
88

σ 1 = √ 4728,51 dan σ 2 = √ 2396,43


30 30

σ 1 = √ 157,62 dan σ 2 = √ 79,88

σ 1 = 12,55 dan σ 2 = 8,94

d. Menentukan derajat kebebasan (dk) atau degree of freedom (df) dengan rumus:

df = (n1 −1¿+ ¿ – 1)

df = (30−1¿+ ¿ – 1)

df = 29 +29

df = 58

Untuk menentukan nilai ttabel pada taraf kepercayaan 95% atau taraf

signifikansi 0,05 penulis melakukan perhitungan dengan rumus interpolasi karena df

sebesar 58 tidak ada titik temu antara taraf kepercayaan 95% atau 0,05.

Berikut perhitungan interpolasi dengan rumus sebagai berikut:

dk i−dk min
i = tmin – (tmin – tmax )
dk max −dk min

nilai t untuk dk 40 pada tabel adalah 1,684 sedangkan nilai t untuk dk 60 adalah

1,671.

58−40
i = 1,684 – (1,684 – 1,671)
60−40

i = 1,684 – (0,013)(0,9)

i = 1,684 – 0,0117

i = 1,6723

i = 1,67 (dibulatkan)
89

Berdasarkan hasil perhitungan dengan rumus interpolasi di atas diperoleh nilai

ttabel dengan derajat kebebasan 58 pada taraf kepercayaan 95% atau taraf signifikansi

0,05 sebesar 1,67.

e. Menentukan C.R (Critical Ratio/Harga kritik), dengan menggunakan rumus:

M 2−M 1
C.R = σ 1 2 σ 22
√ +
n1 n 2

78,22−58
C.R = (12,55)2 (8,94)2
√30
+
30

20,22
C.R = 157,5025 79,9236
√ 30
+
30

20,22
C.R =
√ 5,2501+2,6641
20,22
C.R =
√ 7,9142
20,22
C.R =
2,8132

C.R = 7,19

f. Membandingkan C.R atau t hitung dengan t tabel.

Berdasarkan hasil perhitungan di atas diperoleh nilai thitung sebesar 7,19 dan

nilai ttabel sebesar 1,67 dengan demikian bila dibandingkan C.R atau t hitung sebesar 7,19

dengan nilai ttabel sebesar 1,67 maka thitung > ttabel atau 7,19 > 1,67 artinya terdapat

perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan Model

Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended dengan
90

yang menggunakan metode pembelajaran konvensional pada pengukuran akhir

(posttest).

Untuk memperkuat hasil perhitungan uji t, penulis melakukan perhitungan N-

Gain dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.10
Data Hasil Posttest Kelas Eksperimen dan kelas kontrol
N Posttest Kontrol Posttest Eksperimen Peningkatan
0 1 46,70 86,70 40,00
0 2 53,30 93,30 40,00
0 3 46,70 73,30 26,60
0 4 60,00 73,30 13,30
0 5 66,70 93,30 26,60
0 6 46,70 53,30 6,60
0 7 53,30 80,00 26,70
0 8 53,30 80,00 26,70
0 9 53,30 86,70 33,40
1 0 60,00 80,00 20,00
1 1 66,70 86,70 20,00
1 2 60,00 86,70 26,70
1 3 73,30 66,70 -6,60
1 4 40,00 80,00 40,00
1 5 53,30 86,70 33,40
1 6 40,00 73,30 33,30
1 7 60,00 80,00 20,00
1 8 53,30 80,00 26,70
1 9 40,00 60,00 20,00
2 0 40,00 73,30 33,30
2 1 60,00 80,00 20,00
2 2 66,70 73,30 6,60
2 3 53,30 80,00 26,70
2 4 60,00 80,00 20,00
2 5 53,30 66,70 13,40
2 6 86,70 66,70 -20,00
2 7 80,00 80,00 0,00
2 8 86,70 86,70 0,00
2 9 73,30 80,00 6,70
3 0 53,30 80,00 26,70
∑ 1739,90 2346,70 606,80
Tertinggi 73,30 93,30 40,00
91

Terendah 40,00 53,30 -20,00


Rata-rata 58,00 78,22 20,23

Berdasarkan tabel 4.10 peningkatan kemampuan berpikir kritis pada

pengukuran akhir (posttest) yang menggunakan Model Pembelajaran Berbasis

Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended dengan yang menggunakan

metode pembelajaran konvensional pada mata pelajaran akuntansi dasar diperoleh

rata-rata peningkatan sebesar 20,23.

4.2. Pembahasan Hasil Penelitian

4.2.1. Terdapat Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang

Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended pada Pengukuran Awal (Pretest) dan

Pengukuran Akhir (posttest)

Terdapat Perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang

menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe

open ended pada pengukuran awal (pretest) diperoleh nilai rata-rata sebesar 50,45

dan hasil pengukuran akhir (posttest) diperoleh nilai rata-rata sebesar 78,22. Dengan

demikian kemampuan berpikir kritis peserta didik dari pretest ke posttest di kelas

eksperimen terdapat perbedaan sebesar 25,77. Perbedaan ini bila di presentasikan

mengalami peningkatan sebesar 32,95%, artinya bahwa penerapan model

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open ended tepat

digunakan dalam mata pelajaran akuntansi dasar, dilihat dari presentasi

peningkatannya masih belum bisa dikatakan signifikan, dikarenakan ada faktor lain
92

yang membuat tidak terlalu signifikan, seperti faktor suasana kelas, media yang ada

dikelas, alokasi waktu yang digunakan dan faktor eksternal seperti faktor lingkungan

dan keluarga yang bisa mempengaruhi psikologi peserta didik.

Perbedaan kemampuan berpikir peserta didik berdasarkan temuan dilapangan

disebabkan oleh faktor bebasnya peserta didik mencari jalan keluar sendiri untuk

memecahkan masalah pembelajaran, dan juga didorong oleh teman kelompok yang

lebih berpotensi dalam menyelesaikan permasalahan pembelajaran, dengan adanya

keinginan untuk menyelesaikan dan memecahkan masalah pembelajaran, kemampuan

berpikir kritis peserta didik dapat meningkat.

Huda (2017: 278) mengemukakan bahwa pembelajaran terbuka atau yang

disebut dengan istilah Open Ended merupakan proses pembelajaran yang didalamnya

tujuan dan keinginan individu/peserta didik dibangun dan dicapai secara terbuka.

Tidak hanya tujuan, Open Ended juga bisa merujuk pada cara-cara untuk mencapai

maksud pembelajaran itu sendiri.

Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Open Ended dapat membawa

peserta didik menjawab dengan beragam cara/jawaban yang benar sehingga

mengundang potensi intelektual dan pengalaman peserta didik dalam proses

penemuan sesuatu yang baru. Dengan pendekatan Open Ended peserta didik

mempunyai sikap terbuka terhadap suatu pengalaman baru, keinginan untuk

menemukan dan meneliti, sehingga dengan pendekatan Open Ended ini peserta didik

memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang lebih baik bahkan dengan

cara mereka sendiri. Dalam hal ini kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat

meningkat dikarenakan dengan pendekatan Open Ended peserta didik diberikan


93

kebebasan untuk memecahkan masalah yang dihadapi dengan cara nya masing-

masing. Sejalan dengan yang dikemukakan oleh Glaser (Fisher, 2008:3) bahwa

berpikir kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang

masalah-masalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang;

(2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan

(3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut. Dengan

adanya kemauan untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dan diberikan

kebebasan memilih caranya maka kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat

meningkat.

4.2.2. Terdapat Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang

Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based

Learning) tipe Open Ended dengan yang Menggunakan Metode

Pembelajaran Konvensional pada Pengukuran Akhir (Posttest)

Terdapat Perbedaan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik yang

Menggunakan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe

Open Ended pada pengukuran akhir (Posttest) memiliki nilai rata-rata lebih tinggi

dibandingkan dengan yang Menggunakan Metode Pembelajaran Konvensional.

Selisih rata-rata nilai kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

Model Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based Learning) tipe Open Ended

dengan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional sebesar 20,22,

perbedaan ini bila dipresentasikan sebesar 25,85%, perbedaan kemampuan berpikir

kritis peserta didik di kelas kontrol dan kelas eksperimen mengalami peningkatan,

namun peningkatan tersebut tidak terlalu signifikan, dikarenakan hasil temuan penulis
94

dilapangan ada beberapa faktor yang membuat perbedaan tersebut tidak signifikan,

yaitu tidak semua peserta didik siap dan mampu untuk menerapkan model

pembelajaran open ended, alokasi waktu pembelajaran yang tidak mencukupi,

pemilihan materi pembelajaran yang kurang sesuai dengan pembelajaran open ended,

dan media atau alat pembantu proses pembelajaran yang tidak memadai.

Kegiatan pembelajaran dengan pendekatan Open Ended dapat membawa

peserta didik menjawab dengan beragam cara/jawaban yang benar sehingga

mengundang potensi intelektual dan pengalaman peserta didik dalam proses

penemuan sesuatu yang baru. Dengan pendekatan Open Ended peserta didik

mempunyai sikap terbuka terhadap suatu pengalaman baru, keinginan untuk

menemukan dan meneliti, sehingga dengan pendekatan Open Ended ini peserta didik

memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang lebih baik bahkan dengan

cara mereka sendiri, pada kenyataan dilapangan peserta didik masih cenderung

kurang memiliki keberanian untuk menyampaikan pendapat, peserta didik kurang

memiliki wawasan pada penemuan masalah, peserta didik tidak memiliki keberanian

untuk memecahkan masalah dan penerapan model pembelajaran berbasis masalah

(problem based learning) tipe open ended dianggap asing sehingga peserta didik sulit

beradaptasi. Sedangkan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional

informasi yang disampaikan secara tepat, membangkitkan minat peserta didik untuk

mencari informasi dan melatih peserta didik untuk bisa mandiri dalam mencari

informasi, namun menurut penemuan dilapangan peserta didik hanya mendengarkan

dan menerima informasi dari pendidik saja, peserta didik tidak ada kebebasan untuk
95

mengemukakan dan menyampaikan pendapat untuk menyelesaikan masalah yang

dihadapi dalam pembelajaran.

Dengan demikian kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pengukuran

akhir di kelas eksperimen lebih tepat dibandingkan dengan kemampuan berpikir kritis

peserta didik di kelas kontrol. Artinya penerapan model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) tipe open ended berpengaruh terhadap kemampuan

berpikir kritis peserta didik pada mata pelajaran akuntansi dasar dengan kompetensi

dasar menganalisis jurnal penyesuaian di SMK PGRI Cikoneng.

4.2.3. Implementasi Hasil Penelitian

Temuan penelitian menggambarkan bahwa model pembelajaran berbasis

masalah (problem based learning) tipe open ended menghasilkan kemampuan

berpikir kritis peserta didik meningkat, bila dilihat dari peningkatan kemampuan

berpikir kritis peserta didik mengalami peningkatan tetapi tidak signifikan, dan yang

menggunakan metode pembelajaran konvensional berupa ceramah dengan peta

konsep dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik tetapi tidak

signifikan. Hasil penelitian ini memberikan jawaban bahwa semua metode atau tipe

pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, namun pendidik dalam

pemilihan metode atau tipe pembelajaran harus memperhatikan hal-hal sebagai

berikut:

1. Pendidik harus menguasai materi

2. Tingkat kemampuan peserta didik

3. Waktu, media dan fasilitas lainnya

4. Keadaan (situasi dan kondisi) waktu pembelajaran.


96
97

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang penulis sajikan, dapat

ditarik beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open ended

pada pengukuran awal (pretest) dan pengukuran akhir (posttest).

2. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang menggunakan

model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open ended

dengan yang menggunakan metode pembelajaran konvensional pada pengukuran

akhir (posttest).

5.2. Saran

Berdasarkan simpulan yang telah dikemukakan, penulis menyarankan:

1. Dalam pembelajaran, model pembelajaran berbasis masalah (problem based

learning) tipe open ended sebaiknya menjadi alternatif yang dipilih oleh

pendidik dalam menyampaikan materi pembelajaran, dengan syarat harus bisa

memperhatikan berbagai faktor, yaitu kesiapan peserta didik, situasi kelas,

media yang ada dikelas, alokasi waktu yang tersedia, dan materi yang menjadi

bahan pembelajaran berlangsung.


98

2. Apabila dalam pembelajaran pendidik menggunakan metode konvensional,

sebaiknya pendidik menyelipkan humor, permainan, dan contoh-contoh gambar

atau video supaya peserta didik menjadi lebih aktif.

3. Agar kemampuan berpikir kritis peserta didik lebih meningkat sebaiknya model

pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open ended

dikombinasikan dengan model pembelajaran yang lain.

4. Bagi yang berminat untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebaiknya

memperhatikan waktu dan pemilihan materi yang tepat, supaya penerapan

model pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) tipe open

ended bisa tepat waktu sesuai dengan materi pembelajaran.


99

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumber Buku

Anwar. 2004. Pendidikan Kecakapan Hidup. Bandung: Alfabeta

Arends, Richard. 2004. Learning to Teach. New York: The McGraw-Hill Company

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:


PT. Rineka Cipta

Ennis, Roberth H. 1996. Critical Thinking. USA: Prentice-Hall, Inc

Fisher, Alec. 2008. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar. Jakarta: Erlangga

Huda, Miftahul. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran: Isu-isu Metodis


dan Paradigmatis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Huda, Miftahul. 2017. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar

Ibrahim, M; Nur, M. 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya: Unesa


University Press

Ivor, K Davis. 2000. Pengelolaan Belajar. Jakarta: CV. Rajawali

Lestari, Kurnia Eka & Mokhammad Ridwan Yudhanegara. 2015. Penelitian


Pendidikan Matematika (Panduan Praktis Menyusun Skripsi, Tesis, dan Karya
Ilmiah dengan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi Disertai
dengan Model Pembelajaran dan Kemampuan Matematika). Bandung: PT.
Refika Aditama

Riyanto, Yatim. 2009. Paradigma Baru Pembelajaran. Jakarta: Kencana

Rusman. 2010. Model-Model Pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: CV.
Alfabeta

Sugiyono. 2013. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: CV. Alfabeta


100

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R&D). Bandung: CV. Alfabeta

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT.


Remaja Rosdakarya

Suprijono, Agus. 2009. Cooperative Learning. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

2. Sumber Jurnal

Margetson, D. 1994. Current Educational Reform and The Significance of Problem-


Based Learning. Study Higher Education. (Online), Vol 19, 5-19
(http://www.tandfonline.com), diakses 18 Januari 2019

Vianata, Haning. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Question Student Have


Terhadap Hasil Belajar IPS Sejarah Siswa. ISSN: 2252-6641, Vol. 01,
(http://journal.unnes.ac.id)

Wahyuni, Desti; N. M. Ariyani dan A. Syahbana. 2013. Kemampuan Pemecahan


Masalah Matematis dan Beliefs Siswa Pada Pembelajaran Open-Ended dan
Konvensional. Surabayabelajarjurnal1996.4, (Online), Edumitica Vol. 03 No.
01 (http://dispendik.surabaya.go.id), diakses 20 Januari 2019

3. Sumber Internet

. 2016. Model Pembelajaran Berbasis Masalah. (Online),


(http://www.padamu.net/model-pembelajaran-berbasis-masalah), diakses 18
Januari 2019
Sari, D. Komala. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem Based
Learning/PBL). (Online), (http://dinikomalasari.wordpress.com), diakses 18
Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai