Anda di halaman 1dari 35

STUDENT PROJECT

CLINICAL DIAGNOSIS INVOLUNTARY


MOVEMENT AND SEIZURE

Oleh:
SGD A1

Putu Risya Sadhu Putra (1902511020)


Pande Made Gita Wedayanti (1902511071)
Hilda Saranova (1902511155)
Gede Arya Surya Raditya (1902511202)
Azza Roffana (1902511241)
Luh Putu Ari Wulandhari (1902511030)
Aston Galeagniu (1902511164)
Gde Bagus Raditya Nugraha Nukarna (1902511209)
Jonatan Apit Patandean (1902511038)
Andien Nikita Tjoantara (1902511041)
Shirdi Paramahamsa (1902511254)
Ary Wirahadi Dharma (1702511192)

PROGRAM STUDI SARJANA KEDOKTERAN DAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat rahmat-Nyalah kami dapat menyelesaikan Student Project yang berjudul
“Clinical Diagnosis Involuntary Movement and Seizure” ini sebagai tugas akhir
blok Neuroscience and Neurological Disorders”.
Dalam penyusunan tugas ini kami mengalami banyak tantangan serta
rintangan. Namun, pada akhirnya kami dapat melaluinya berkat bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak baik secara moral maupun spiritual, untuk itu pada
kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Dr. dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S (K) selaku ketua blok Neuroscience
and Neurological Disorder
2. dr. I Gusti Made Gde Surya Chandra Trapika, M.Sc, Ph.D selaku
fasilitator kelompok A1
Kami menyadari, bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran dan kritik yang membangun
dari berbagai pihak. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Denpasar, 22 September 2021

 
Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………….. i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………. 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………….. 1
1.2 Tujuan ………………………………………………………… 2
1.3 Manfaat ……………………………………………………….. 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….. 3
2.1 Involuntary Movement Abnormalities ……………………… 3
2.1.1 Tremor ………………………………………………… 3
2.1.2 Chorea ………………………………………………… 4
2.1.3 Athetosis ………………………………………………. 4
2.1.4 Dystonia ……………………………………………….. 5
2.1.5 Ballismus ……………………………………………… 6
2.1.6 Myoclonus ……………………………………………... 7
2.2 Seizure …………………………………………………………. 8
2.2.1 Epileptic Seizure ………………………………………. 8
2.2.1.1 Definisi epileptic seizure …………………………. 8
2.2.1.2 Partial seizure …………………………………….. 9
2.2.1.3 Generalized seizures ……………………………… 10
2.2.1.4 Unclassifiable seizures …………………………… 12
2.2.2 Non-Epileptic Seizure ………………………………… 13
2.2.2.1 Definisi non-epileptic seizure ……………………. 13
2.2.2.2 Sinkop ……………………………………………. 14
2.2.2.3 Tetanus …………………………………………… 16
2.2.2.4 Psychogenic non-epileptic seizures ……………… 17
2.2.2.5 Tic ………………………………………………... 18
BAB III KESIMPULAN ……………………………………………….. 20
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………... 22

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Involuntary movement ditandai dengan gerakan involunter abnormal
termasuk distonia, chorea, athetosis, tics, ballismus, tremor, dan myoclonus. 1
Berdasarkan praktik klinis di Baylor College of Medicine dari tahun 1977
hingga 2009 menunjukan 29.837 pasien movement disorder dengan
persentase dystonia 20.2%, atheosis 0.3%, tics 7.2%, ballismus 0.3%, tremor
15.2%, dan myoclonus 2.2%.2 Beberapa faktor risiko paling umum dari
Involuntary movement yaitu efek samping penggunaan obat, tumor, penyakit
neurologis seperti gangguan otak, stroke, gangguan degeneratif seperti
Parkinson’s disease, gangguan genetik seperti Huntington’s disease dan
Wilson’s disease.3-8
Seizure didefinisikan sebagai kejadian sementara dari tanda-tanda
dan/atau gejala akibat aktivitas neuronal yang berlebihan atau abnormal di
otak.9 Studi berbasis populasi dari tahun 1980-an dan 1990-an menunjukkan
bahwa ada risiko seumur hidup 8% sampai 10% untuk kejang simtomatik
akut atau tidak beralasan dan kemungkinan 2% sampai 3% untuk benar-benar
mengembangkan epilepsi. Studi yang lebih baru menunjukkan insiden kejang
simtomatik akut 29-39 per 100.000 per tahun, insiden kejang tak beralasan
tunggal 23-61 per 100.000 per tahun, dan kejadian epilepsi di seluruh dunia
50,4 per 100.000 per tahun.10
Faktor risiko dari seizure yaitu terjadi masalah atau trauma pada otak
(pembuluh darah yang abnormal pada otak, cedera otak yang serius,
kurangnya jumlah oksigen pada otak, perdarahan pada otak, infeksi, tumor,
dan inflamasi), lahir dengan area yang abnormal pada otak, lahir kecil dari
umur seharusnya, kejang pada bulan pertama kehidupan, kejang setelah
cedera kepala yang disebut post-traumatic seizures, kejang karena demam
karena berlangsung lebih lama dari seharusnya, episode kejang yang lama
dan berulang yang disebut status epilepticus, riwayat keluarga dengan

1
kejang atau kejang terkait demam, serta penggunaan obat-obatan secara
ilegal. Selain itu, kondisi kesehatan yang terkait dengan kejang seperti
penyakit autism, cerebral palsy, gangguan intelektual dan perkembangan,
stroke, dan penyakit alzheimer. 11

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui epidemiologi dan definisi dari involuntary
movement dan seizure
1.2.2 Untuk mengetahui jenis- jenis dari involuntary movement
abnormalities
1.2.3 Untuk mengetahui diagnosis klinis dari jenis- jenis involuntary
movement abnormalities
1.2.4 Untuk mengetahui jenis- jenis dari seizure
1.2.5 Untuk mengetahui diagnosis klinis dari jenis- jenis seizure

1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Evaluator dan Fasilitator
Sebagai acuan dalam melakukan evaluasi dan penilaian terhadap
topik student project yang diserahkan oleh mahasiswa.
1.3.2 Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan pembelajaran mengenai clinical diagnosis involuntary
movement dan seizure sekaligus tugas akhir blok yang harus
dikumpulkan sebagai penilaian student project.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Involuntary Movement Abnormalities


2.1.1 Tremor
Tremor merupakan serangkaian gerakan yang terjadi dengan sendirinya,
berupa getaran, dalam satu bagian atau lebih pada tubuh kita. Tremor ini
muncul diakibatkan karena adanya kontraksi dari otot di dalam tubuh kita
yang saling berlawanan dan bergantian dengan frekuensi yang tetap dalam
jangka waktu yang cukup lama. Dapat juga dikatakan bahwa tremor
merupakan gangguan gerakan yang sangat sering terjadi. Angka terjadinya
tremor terus meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Diperkirakan lebih
dari 4% kasus dimana pasien memiliki umur diatas 65 tahun mengalami
masalah gerak ini, dengan 2/3 dari populasi tersebut mengalami tremor pada
pergelangan tangan sehingga sangat berpengaruh dalam melakukan aktifitas
sehari-hari.12
Hingga saat ini belum ditemukannya pemeriksaan secara klinis didalam
mendiagnosis penyebab tremor. Kita dapat melakukan pemeriksaan fisik
sebagai alat diagnostik, karena dinilai paling efektif di awal pemeriksaan.
Selain itu kita juga dapat melakukan pemeriksaan neurologis untuk menilai
sistem saraf sensorik atau motorik dan juga sistem ekstra-piramidal.
Pemeriksaan pada fungsi serebelum juga diperlukan saat kita ingin
menentukan tipe tremor, lokasi anatomis tremor, dan tingkat keparahan (skala
0-10). Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dilakukan meliputi kimia
darah, darah rutin, fungsi hati, fungsi tiroid, vitamin B12, juga mengukura
kadar tembaga pada urin selama 24 jam dan ceruloplasmin serum. Sehingga
kita perlu membuat algoritma untuk memudahkan kita dalam mengevaluasi
tremor.12
Pada penyakit Parkinson kita dapat menggunakan Single Photon
Emission Computed Tomography (SPECT)-scan untuk membedakan tremor
dominan dan tremor esensial. Bila kita mencurigai adanya sclerosis multiple,

3
kita dapat melakukan pemeriksaan serebrospinal untuk mendeteksi IgG
oligoklonal. Untuk menilai tremor dan juga pola pada kontraksi otot antagonis
dan agonis, kita bisa menggunakan Rekaman Elektromiografi (EMG). Bila
kita mencurigai adanya tumor, tremor intensi, sklerosis multiple, atau stroke.
Kita dapat melakukan pemeriksaan CT-scan atau MRI. Pada penyakit
Parkinson kita dapat menggunakan Single photon emission computed
tomography (SPECT)-scan untuk membedakan tremor dominan dan tremor
esensial.12
2.1.2 Chorea
Menurut Committee on Classification of the World Federation of
Neurology, chorea didefinisikan sebagai gerakan spontan yang berlebihan,
waktunya tidak teratur, tidak berulang, terdistribusi secara acak dan sifatnya
tiba-tiba. Gerakan-gerakan ini dapat bervariasi dalam tingkat keparahan.
Gerakan dan ekspresi yang berlebihan, gerakan tangan yang gelisah, gaya
berjalan seperti tarian yang tidak stabil. Chorea, mirip dengan koreografi,
mengacu pada Gerakan yang menyerupai tarian.13
Gambaran universal dari paseien dengan chorea adalah bahwa mereka
menunjukkan ketidakstabilan motorik yang tidak terkontrol sehingga mereka
tidak dapat mempertahankan postur, posisi, atau gerakan yang stabil.
Misalnya, ketika diminta untuk menggenggam suatu benda, mereka akan
melepaskan dan meremas secara bergantian. Kemungkinan lain adalah
menjatuhkan objek secara konstan. Chorea dapat melibatkan otot distal dan
proksimal. Sementara sebagian besar pasien memiliki tonus otot normal,
beberapa mungkin mengalami hipotonia. Gerakan-gerakan koreiform ini
terlihat jelas pada pengamatan. Temuan umum lainnya adalah ketidakgigihan
motorik lidah, di mana pasien menunjukkan ketidakmampuan untuk menjaga
lidah tetap menonjol ketika diminta untuk menjulurkan lidah. Lidah akan
melesat masuk dan keluar dari mulut. MRI akan menampilkan atrofi berekor,
dicontohkan oleh pelebaran ventrikel lateral.13
2.1.3 Athetosis

4
Athetosis didefinisikan sebagai suatu gerakan yang dilakukan secara
tidak sengaja, gerakannya lambat, tidak teratur, adanya gerakan menggeliat
seperti cacing pada jari-jari tangan dan kaki. Daerah wajah, leher, dan lidah
juga terpengaruh. Kelainan ini terjadi akibat adanya gangguan pada basal
ganglia.14

Athetosis dapat terjadi secara terus menerus dan akan bertambah buruk
ketika pasien mencoba untuk mengendalikan gerakan sesuai dengan yang ia
inginkan. Kondisi ini dapat menyebabkan pasien kesulitan untuk
mempertahankan postur tubuhnya dengan baik.14
Dalam mendiagnosis athetosis, perlu diperhatikan gejala klinis yang
dialami oleh pasien berupa:
a. Gerakan otot yang lambat, menggeliat, dan tidak disengaja
b. Postur tubuh saat berdiri ataupun duduk tidak ideal.
c. Tremor.
d. Perubahan gerakan otot secara tiba-tiba.
e. Perburukan saat mencoba untuk mengontrol gerakan.
2.1.4 Dystonia
Dystonia adalah salah satu gangguan pada gerakan dimana otot
berkontraksi secara tidak terkendali, terjadi secara berulang, gerakannya
memutar dan menyebabkan postur tubuh menjadi abnormal. Dystonia dapat
menyerang satu otot, kelompok otot bahkan hingga seluruh tubuh. Bagian
tubuh yang sering mengalami gangguan ini adalah leher, kelopak mata, wajah,
lidah, rahang dan pita suara.15
Pada umumnya gangguan ini tidak memiliki penyebab yang begitu
spesifik. Namun, terdapat dugaan bahwa kelainan ini terjadi akibat adanya
gangguan pada basal ganglia yang bertugas untuk menginisiasi kontraksi pada
otot. Selain itu dicurigai juga akibat adanya gangguan pada sel saraf dalam
berkomunikasi.15
Dalam mendiagnosis dystonia, perlu diperhatikan beberapa gejala klinis
yang berkaitan dengan kelainan ini:
a. Kaki seperti diseret ketika berjalan.

5
b. Kaki keram
c. Berkedip secara tidak terkendali.
d. Kesulitan dalam berbicara
e. Diperburuk oleh kondisi stress, kelelahan atau cemas.
f. Sering mengalami kelelahan akibat kontraksi otot yang konstan
Gejala dystonia pada anak-anak biasanya akan muncul pertama kali
pada kaki atau tangan kemudian berkembang ke seluruh tubuh secara cepat.
Sedangkan gejala dystonia yang muncul pertama pada orang dewasa biasanya
ditemukan pada anggota tubuh bagian atas. Kemudian berkembang ke daerah
yang berdekatan secara lambat.15
2.1.5 Ballismus
Ballismus atau hemiballismus adalah serangkaian gerakan abnormal
yang cepat seperti melempar, secara kuat, tidak disadari, dan melibatkan
setengah bagian tubuh. Ballismus biasanya melibatkan lengan atau kaki,
biasanya terjadi pada daerah yang proksimal, dan dapat memiliki keterlibatan
wajah pada beberapa pasien. Pasien ballismus akan mengalami gerakan yang
intermiten, tiba-tiba, yang melibatkan lengan dan kaki ipsilateral yang
disebabkan oleh disfungsi pada sistem saraf pusat dari sisi kontralateral.
Gejala klinis pada pasien tergantung dari area otak yang terkena. Pada pasien
yang mengalami infark pada korteks motorik, maka biasanya akan mengalami
hemiplegia. Infark yang melibatkan bidang bahasa dari otak akan
menyebabkan afasia.16
Anamnesis yang lengkap mencakup berbagai gangguan yang dapat
menyebabkan ballismus, riwayat medis, dan evaluasi fisik dapat menentukan
atau mempersempit diagnosis tanpa memerlukan studi tambahan. Pasien
dengan beberapa faktor risiko vaskular yang sudah dimiliki sebelumnya
seperti diabetes, hipertensi, dan stroke akan membutuhkan pencitraan
pembuluh darah lanjutan untuk mengkonfirmasi perdarahan atau stroke.17
Diagnosis ballismus bersifat klinis, berdasarkan gerakan abnormal
pasien. Gangguan ini harus dibedakan dari gangguan gerakan hiperkinetik
lainnya seperti tremor, akathisia, dan athetosis. Ballismus ditandai dengan

6
gerakan liar dan tidak terkendali dari satu lengan atau satu kaki. Anggota
badan yang terdampak akan mengalami gerakan balistik dan tidak diinginkan.
Gerakan biasanya terjadi terus menerus dan keras. Gangguan ini melibatkan
otot proksimal atau distal dan kadang-kadang melibatkan otot-otot wajah.
Semakin pasien stres, maka semakin banyak gerakan bertambah. Gejala akan
sembuh saat pasien tidur.18
2.1.6 Myoclonus
Myoclonus adalah kondisi ketika otot mengalami kontraksi berupa
kedutan secara tiba-tiba dan cepat. Kontraksi tidak dapat dihentikan atau
dikendalikan oleh orang yang mengalaminya. Myoclonus dapat terjadi akibat
peningkatan aktivitas kontraksi (positive myoclonus) atau relaksasi (negative
myoclonus). Kondisi ini paling sering disebabkan oleh gangguan otak atau
medulla spinalis. Myoclonus cenderung bersifat lebih tiba-tiba dan yang paling
singkat dibandingkan dengan gangguan pergerakan lainnya. Myoclonus dapat
dimulai dari masa anak-anak atau dewasa, dengan gejala klinis ringan hingga
berat.19
Kedutan dapat terjadi sendiri atau secara berurutan, dalam pola gerakan
atau tanpa pola gerakan. Kedutan dapat jarang terjadi atau terjadi berkali-kali
permenit. Terkadang dapat terjadi ketika merespon terhadap peristiwa
eksternal atau ketika penderita mencoba untuk bergerak.19
Myoclonus dapat dikategorikan menjadi physiologic myoclonus dan
pathologic myoclonus. Physiologic myoclonus terdiri dari kedutan otot cepat
yang diikuti dengan relaksasi. Contohnya adalah cegukan. Ini terjadi pada
orang sehat, tidak menimbulkan gangguan, dan tidak memerlukan perawatan
medis. Pathologic myoclonus dapat melibatkan kontraksi yang persisten dan
melibatkan otot yang lebih luas. Kondisi dimulai di satu wilayah tubuh dan
meluas ke otot di daerah lain. Kondisi yang berat dapat mempengaruhi
gerakan dan membatasi kemampuan penderita dalam makan, berbicara, atau
berjalan. Hal ini dapat menjadi salah satu dari banyak tanda yang
menunjukkan gangguan yang mendasari di otak atau saraf, kondisi medis
tertentu, atau reaksi terhadap obat tertentu. Myoclonus dapat pula

7
dikategorikan berdasarkan anatomi menjadi cortical myoclonus, subcortical
myoclonus, dan segmental myoclonus. 19
Anamnesis dan pemeriksaan yang komprehensif adalah langkah
pertama yang harus dilakukan dalam menegakkan diagnosis myoclonus.20
1) Cortical myoclonus
Cortical myoclonus biasanya disebabkan oleh tindakan atau
sensitif terhadap somatosensori, atau pada visual, rangsangan atau
isyarat emosional. Kondisi ini biasanya hadir dengan aritmia fokal atau
multifokal yang sering melibatkan wajah atau ekstremitas atas.
Dibandingkan dengan myoclonus subkortikal, myoclonus kortikal
cenderung memiliki durasi yang lebih pendek (20-70 ms).20
2) Subcortical myoclonus
Jenis myoclonus ini biasanya sensitif terhadap rangsangan
multisensori dan dapat ditimbulkan dengan gerakan volunter atau
stimulasi sensorik. Kondisi myoclonic dapat berlangsung selama 25-300
ms.20
3) Segmental myoclonus
Rata-rata terjadinya kondisi ini adalah sekitar 1-3 kali/detik, dan
kedutan kadang-kadang sensitif terhadap stimulus. Durasi pelepasan
bervariasi antara 50 dan 500 ms.20
2.2. Seizure
2.2.1 Epileptic Seizure
2.2.1.1 Definisi epileptic seizure
Epilepsi merupakan penyakit otak tidak menular kronis yang dapat
menyerang segala usia, 50 juta orang di seluruh dunia menderita
penyakit ini. Epilepsi ditandai dengan kejang berulang, yaitu gerakan
involunter episode pendek yang dapat mempengaruhi sebagian tubuh
atau seluruh tubuh, terkadang disertai dengan hilangnya kontrol fungsi
usus, kandung kemih, dan kesadaran.21 Serangan epilepsi sulit untuk
diprediksi. Tingkat keparahan dan durasi serangan tidak dapat
diprediksi, oleh karena itu masalah cedera dan keselamatan yang

8
disebabkan oleh insiden epilepsi menjadi perhatian utama. Prediksi
awal serangan epilepsi sangat penting untuk menghindari dan
mengimbangi efek sampingnya. Aktivitas otak dari pasien dengan
epilepsi dapat dibagi menjadi status yang berbeda: pre-ictal, ictal, post-
ictal dan interictal.22
2.2.1.2 Partial seizure
Kejang adalah gejala yang mengacu pada aktivitas saraf episodik,
berlebihan, dan tidak teratur di otak. Kejang dapat diklasifikasikan
sebagai kejang parsial dan umum. Kejang parsial mengacu pada
aktivitas saraf abnormal yang terlokalisasi di area hemisfer serebral.
Ketika tidak ada perubahan kesadaran yang terlibat, kondisi itu disebut
dengan kejang parsial sederhana, dan ketika dikombinasikan dengan
kesadaran yang berubah disebut kejang parsial kompleks. Kejang
parsial adalah jenis kejang yang paling umum pada pasien epilepsi.
Kejang parsial kompleks lebih sering terjadi daripada kejang parsial
sederhana, meskipun sebagian besar kejang parsial sederhana
merupakan awal mula terjadinya kejang parsial kompleks. Pasien
dengan kejang parsial sederhana tetap sadar selama kejang, dan
beberapa pasien bahkan dapat berbicara selama kejang. Sulit
membedakan kejang parsial kompleks pada bayi dan pasien dengan
kesulitan kognitif dan bicara, karena kesadaran yang berubah bisa sulit
untuk dinilai pada kedua pasien ini. Kejang parsial sederhana disebut
juga dengan aura.23
Berdasarkan pada tanda klinis, gejala, dan lokalisasi EEG, kejang
parsial sederhana dapat dibagi menjadi empat jenis: motorik, sensorik,
otonom, psikologis.23,24 Kejang motorik parsial disebabkan oleh
kerusakan epigenetik lobus frontal lateral. Gejala motorik merupakan
presentasi klinis utama. Kejang sensorik parsial sederhana dapat
menyebabkan gejala yang mempengaruhi indera, seperti: masalah
pendengaran, halusinasi, dan penciuman, atau pengecapan. Kejang
otonom parsial bermanifestasi sebagai disfungsi otonom utama.

9
Beberapa tanda dan gejala otonom yang umum termasuk berkeringat,
menggigil, sesak napas, sesak pada epigastrium, mual, perubahan
tekanan darah dan detak jantung (umumnya takikardia), dan perubahan
detak jantung. Gambaran otonom umum terjadi pada banyak kondisi
non-epilepsi, sehingga kejang otonom parsial lebih sulit didiagnosis.
Kejang psikologis parsial bermanifestasi sebagai gejala emosional dan
kognitif seperti ingatan, peristiwa seperti mimpi, perasaan deja vu,
halusinasi, kecemasan, kegelisahan, tertawa atau menangis yang tak
terkendali.23
2.2.1.3 Generalized seizures
Generalized seizures atau kejang umum terjadi ketika aktivitas
listrik abnormal yang menyebabkan kejang dimulai di kedua bagian
(belahan) otak pada saat yang bersamaan. Kejang umum meliputi
kejang absen, atonik, tonik, klonik, tonik-klonik, mioklonik, dan
demam. Kehilangan kesadaran dapat disertai dengan kejang, kaku,
gemetar, kontraksi otot atau hilangnya tonus otot.25 Diagnosis dimulai
dengan dokter mengambil riwayat medis yang cermat dan mungkin
termasuk tes seperti EEG, MRI dan tes darah. Seperti halnya dengan
semua kejang dan epilepsi, pengobatan memerlukan pendekatan
individual untuk setiap pasien, dan mungkin termasuk pengobatan atau
terapi lain jika obat tidak bekerja.25
Berbagai Jenis Kejang Umum:
1) Kejang Absen
Pernah dikenal sebagai kejang "petit mal", ini adalah mantra
menatap yang mulai tiba-tiba dan mungkin disalahartikan sebagai
lamunan sederhana. Orang yang mengalami kejang absen biasanya
akan berhenti bergerak dan menatap ke satu arah selama 15 detik
atau kurang. Episode tersebut sembuh dengan sendirinya, dan
meskipun orang tersebut mungkin tidak ingat apa yang terjadi
selama kejang, keadaan kewaspadaan normal mereka kembali
segera setelahnya.

10
2) Kejang Atonik (Serangan Jatuh)
Kejang jenis ini melibatkan penurunan tonus otot secara tiba-
tiba, menyebabkan tubuh seseorang menjadi lemas, merosot atau
kolaps, mungkin menyebabkan cedera. Kejang atonik mencirikan
sindrom epilepsi tertentu seperti sindrom Lennox-Gastaut.
3) Kejang Mioklonik
Kejang mioklonik ditandai dengan tubuh yang tiba-tiba
“tersentak” atau peningkatan tonus otot seolah-olah orang tersebut
telah disetrum dengan listrik. Kejang mioklonik mirip dengan
sentakan tiba-tiba tunggal atau ganda yang kadang-kadang dialami
orang saat mereka tertidur. Sentakan "mioklonik tidur" tidak
berbahaya sedangkan kejang mioklonik bisa berbahaya, karena
"sengatan" terjadi dalam serangan.
Spasme infantil adalah jenis epilepsi mioklonik subtipe yang
biasanya dimulai antara usia 3 dan 12 bulan dan dapat bertahan
selama beberapa tahun. Kejang infantil biasanya terdiri dari
sentakan tiba-tiba diikuti dengan kekakuan. Seringkali lengan anak
terayun ke luar saat lutut ditarik ke atas dan tubuh membungkuk ke
depan. Setiap kejang hanya berlangsung satu atau dua detik tetapi
biasanya terjadi berdekatan dalam satu rangkaian.26 Terkadang
kejang disalahartikan sebagai kolik, tetapi kram kolik biasanya
tidak terjadi secara berurutan.
Kejang infantil paling sering terjadi setelah bangun atau
tertidur. Bentuk epilepsi yang sangat parah ini dapat memiliki efek
yang bertahan lama pada seorang anak dan harus dievaluasi dan
diobati segera.
4) Kejang Tonik dan Klonik
Dalam kejang tonik, otot-otot orang tersebut menegang, dan
mereka kehilangan kesadaran. Mata berputar ke belakang di kepala
mereka, dan otot-otot dada, lengan dan kaki menegang,
menyebabkan punggung melengkung. Otot-otot yang berkontraksi

11
di dada membuatnya sulit bernapas, dan bibir serta wajah orang
tersebut dapat berubah menjadi abu-abu atau biru. Orang tersebut
mungkin mengeluarkan suara gemericik saat berjuang untuk
bernapas. Kejang klonik menyebabkan otot seseorang kejang dan
tersentak. Otot-otot di siku, kaki, dan leher melentur dan kemudian
mengendur dengan cepat. Gerakan menyentak melambat saat
kejang mereda, dan akhirnya berhenti sama sekali. Saat sentakan
berhenti, biasanya orang tersebut menghela napas dalam-dalam
sebelum melanjutkan pernapasan normal. Kejang tonik-klonik,
yang dulu dikenal sebagai kejang “grand mal” atau “kejang”,
terjadi ketika gerakan tonik dan klonik terjadi pada saat yang
bersamaan. Meskipun menyaksikan kejang bisa menakutkan, itu
adalah mitos bahwa seseorang yang mengalami kejang berada
dalam bahaya menelan lidahnya, yang secara anatomis tidak
mungkin.26 Jangan pernah memasukkan apapun ke dalam mulut
atau membuka paksa rahang yang terkatup rapat saat kejang terjadi
karena hal ini dapat membahayakan orang tersebut. Kejang
biasanya berlangsung beberapa menit atau kurang, setelah itu
orang tersebut kemungkinan akan tetap tidak sadarkan diri selama
beberapa menit lagi, tergantung pada intensitas kejang. Ini adalah
periode pasca-kejang atau pasca-iktal, dan selama fase ini otak
orang tersebut sangat aktif karena mencoba menahan impuls listrik
abnormal dan mengendalikan kejang.
2.2.1.4 Unclassifiable seizure
Untuk keperluan sehari-hari, kejang secara luas dikategorikan
sebagai onset umum atau fokal, istilah-istilah ini dapat digunakan jika
sesuai, tetapi ada kejang yang tidak dapat dikategorikan dengan cara ini
dan diklasifikasikan sebagai onset yang tidak diketahui. Kejang dengan
onset yang tidak diketahui dapat diklasifikasikan lebih lanjut sebagai
tipe motorik (misalnya kejang epilepsi, tonik-klonik), atau non-motorik
(misalnya, penghentian perilaku).27

12
Kejang mungkin tidak diklasifikasikan karena informasi yang tidak
memadai untuk memungkinkannya ditempatkan dalam kategori onset
fokal, umum atau tidak diketahui. 27 Hal ini dapat terjadi jika tidak
terlihat saat onset, dan jika hasil investigasi (seperti EEG dan
pencitraan) belum tersedia.
Dalam situasi ini, dokter tidak dapat secara akurat menentukan
lokalisasi kejang (fokal vs umum) berdasarkan informasi yang tersedia.
Kejang-kejang ini dapat digolongkan menjadi:
1) Motor
2) Tonik-klonik
3) Kejang epilepsy
4) Non-motor
5) Penangkapan perilaku
6) Kejang yang tidak terklarifikasi
Hanya digunakan jika klinisi yakin bahwa kejadian tersebut adalah
kejang, tetapi tidak dapat mengklasifikasikannya lebih lanjut karena
informasi yang tidak lengkap, atau sifat kejang yang tidak biasa.28
Baik teknik MRI modern maupun kemajuan dalam genetika telah
meningkatkan pemahaman kita tentang penyebab epilepsi. Kami
sekarang mengenali sejumlah penyebab epilepsi:
1) Struktural, seperti tumor otak
2) Metabolik, seperti kesalahan metabolisme bawaan atau
gangguan mitokondria seperti MELAS
3) Genetik, seringkali karena beberapa faktor genetik, seperti
epilepsi absensi masa kanak-kanak.
4) Menular, seperti ensefalitis herpes simpleks
5) Terkait kekebalan, seperti ensefalitis reseptor anti-NMDA
6) Tidak dikenal

5) Non-Epileptic Seizures
2.2.2.1 Definisi non-epileptic seizure

13
Non-Epileptic Seizure adalah gangguan neurologis fungsional
dimana seseorang akan mengalami kejang secara mendadak dan
berulang-ulang dan/atau adanya perubahan perilaku, kesadaran, dan
fungsi otonom yang menyerupai kejang epilepsi tetapi tidak terkait
dengan perubahan aktivitas kortikal yang ditunjukkan dengan tidak
adanya tanda elektroensefalogarfi (EEG) layaknya kejang epilepsi.
Terdapat beberapa manifestasi gangguan Non-Epileptic Seizure seperti
sinkop, tetanus, psikogenik seizure, dan tic.29,30
2.2.2.2 Sinkop
Sinkop adalah kejadian hilangnya kesadaran sementara pada
seseorang dengan pemulihan kembali fungsi neurologis dasar secara
spontan atau tanpa intervensi medis. Sinkop muncul secara tiba-tiba,
singkat, dan sementara. Periode hipoperfusi global korteks serebral atau
hipoperfusi fokal dari sistem pengaktif retikuler mengakibatkan
hilangnya kesadaran pada kejadian sinkop. Sinkop diklasifikasikan
berdasarkan etiologinya dibagi menjadi tiga yaitu cardiac, neurally
mediated (refleks), dan orthostatic hypotension.31-34
Neurally mediated syncope atau sinkop refleks adalah jenis yang
paling umum terjadi. Kejadian sinkop ini sekita sekitar 45% kasus.
Sinkop refleks dapat bersifat vasovagal, situasional, atau sekunder
akibat dari hipersensitivitas sinus karotis. Patofisiologi sinkop ini terjadi
melalui interaksi antara sistem otonom yang secara paradoks
mendukung tonus parasimpatis atau vagal, yang menyebabkan
bradikardia dan hipotensi. Cardiac syncope terjadi pada sekitar 20%
dari kejadian sinkop. Hal ini paling sering disebabkan oleh aritmia,
kelainan jantung structural, dan penyakit kardiovaskular lainnya.
Orthostatic hypotension syncope terjadi pada sekitar 10% dan biasanya
ditandai dengan hipotensi yang diinduksi postural yang berhubungan
dengan gangguan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Faktor
resiko sinkop ini yaitu efek obat, penipisan volume, perdarahan akut,
dan disfungsi otonom.33,34

14
Diagnosis sinkop berdasarkan guideline dari Canadian
Cardiovascular Society, European Society of Cardiology, and The
American College of Emergency dimulai dari evaluasi adanyan
kehilangan kesadaran mendadak pada pasien yang selanjutnya
dilakukan pengambilan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang lainnya jika diperlukan seperiti elctrocardiography (EEG)
dan pemeriksaan lab. Pengambilan anamnesis pada pasien berfokus
pada tiga elemen kunci yaitu: (1) Apakah hilangnya kesadaran
disebabkan oleh sinkop? (2) Apakah ada riwayat penyakit
kardiovaskular? (3) Apakah ada gambaran klinis yang menunjukkan
penyebab spesifik sinkop? Berikut gambaran klinis yang dapat diduga
diagnosis pada evaluasi awal sinkop.33,34
1) Sinkop reflex
- Riwayat panjang sinkop berulang, khususnya terjadi
sebelum usia 40 tahun
- Setelah penglihatan, suara, bau, atau rasa sakit yang tidak
menyenangkan
- Berdiri lama
- Saat makan
- Berada di tempat ramai dan/atau panas
- Aktivasi otonom sebelum sinkop: pucat, berkeringat,
dan/atau mual/muntah
- Dengan rotasi kepala atau tekanan pada sinus karotis
(seperti pada tumor, pencukuran, kerah ketat)
- Tidak ada riwayat penyakit jantung
2) Sinkop karena hipotensi ortostatik
- Saat atau setelah berdiri
- Berdiri lama
- Berdiri setelah beraktivitas
- Hipotensi postprandial

15
- Hubungan temporal dengan permulaan atau perubahan
dosis obat vasodepresif atau diuretik yang menyebabkan
hipotensi
- Adanya neuropati otonom atau parkinsonisme
3) Sinkop jantung
- Selama aktivitas atau saat terlentang
- Palpitasi tiba-tiba segera diikuti oleh sinkop
- Riwayat keluarga kematian mendadak yang tidak dapat
dijelaskan di usia muda
- Adanya penyakit jantung struktural atau penyakit arteri
coroner
- Temuan EKG menunjukkan sinkop aritmia
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan sinkop akan memiliki
temuan pemeriksaan yang normal, dengan pengecualian trauma apapun
yang timbul dari peristiwa sinkop. Pemeriksaan harus fokus pada tanda-
tanda vital awal; pengukuran tekanan darah ortostatik; dan tanda-tanda
vaskular (denyut nadi dan karotis), jantung, paru (bukti gagal jantung
kongestif), perut, dubur, dan kulit/kuku (anemia). Setiap temuan
neurologis fokal baru menunjukkan lesi sistem saraf pusat primer.
Berdasarkan temuan ini, pemeriksaan tambahan dapat dilakukan bila
diperlukan. Pemantauan EKG segera bila ada kecurigaan sinkop
aritmia. Ekokardiogram bila ada penyakit jantung yang diketahui
sebelumnya, data yang menunjukkan penyakit jantung struktural, atau
sinkop sekunder akibat penyebab kardiovaskular. Carotid sinus
massage (CSM) pada pasien berusia> 40 tahun. Pengujian head-up tilt
bila ada kecurigaan sinkop karena hipotensi ortostatik atau sinkop
refleks. Tes darah bila diindikasikan secara klinis, misalnya hematokrit
atau hemoglobin bila dicurigai perdarahan, saturasi oksigen dan analisis
gas darah bila dicurigai hipoksia, troponin bila dicurigai sinkop terkait
iskemia jantung, atau D-dimer bila dicurigai emboli paru, dll.33,34
2.2.2.3 Tetanus

16
Tetanus yang artinya "berkontraksi" merupakan penyakit akut yang
diakibatkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostiridium
Tetani. Tetanus biasanya ditandai dengan kekakuan otot yang
mengakibatkan nyeri dan spasme diseluruh otot tanpa terdapat riwayat
luka, kecelakaan atau penyebab lainnya.35
Diagnosis klinis tetanus dapat ditegakkan tanpa menggunakan
pemeriksaan laboratorium. Tetanus pada orang dewasa dapat
ditegakkan apabila pada pasien ditemukan adanya kontraksi otot yang
nyeri atau trismus. Terdapat sekitar 30% kasus dimana bakteri
Clostiridium Tetani ditemukan pada luka. Namun bakteri Clostiridium
Tetani ini juga dapat ditemukan pada pasien yang tidak terinfeksi
tetanus. Maka dari itu penegakkan diagnosis tetanus harus segera
dilakukan agar tidak terjadi keterlambatan penanganan yang
mengakibatkan komplikasi seperti detak jantung abnormal atau
hipertensi, pneumonia, embolisme pulmonal, spasme laring, bahkan
bisa menyebabkan kematian pada pasien yang terinfeksi.36
2.2.2.4 Psychogenic non-epileptic seizures
Psychogenic Non-Epileptic Seizures (PNES) didefinisikan sebagai
perubahan paroksismal dalam perilaku, kesadaran dan fungsi otonom
yang menyerupai kejang epilepsi. Namun pada kejang epilepsi yang
merupakan manifestasi dari aktivitas neuron kortikal sinkron yang
abnormal (pelepasan epileptiform) biasanya divisualisasikan pada
elektroensefalografi (EEG), sedangkan PNES tidak memiliki tanda
EEG. Seseorang dengan PNES biasanya dapat dilihat dengan adanya
gangguan pada fungsi motorik, sensorik, otonom, kognitif serta
gangguan emosional.29 Gangguan ini dianggap mencerminkan respon
terhadap kesusahan atau masalah perilaku. Menurut DSM 5, PNES
adalah subkelompok gangguan konversi atau seperti yang ditunjukkan
oleh ICD 10, gangguan disosiatif. Pasien dengan PNES menunjukkan
persentase yang tinggi dari komorbiditas psikiatri seperti kepribadian,

17
gangguan stres pasca trauma, kecemasan, dan gangguan depresi
mayor.37

Beberapa gambaran klinis yang biasa ditemukan pada orang


dengan epilepsi dan sering dilaporkan pada PNES ini termasuk
manifestasi otonom seperti takikardia, inkontinensia, cedera,
kemerahan, berkeringat, serangan nokturnal dan provokasi serangan
oleh pemicu spesifik seperti lampu berkedip. Hasil diagnosis yang
sering ditemukan pada pasien dengan PNES adalah adanya beberapa
penyakit kejiwaan yaitu seperti gangguan kepribadian, gangguan
somatoform, gangguan afektif, gangguan disosiatif, serta gangguan
kecemasan lainnya.29

Diagnosis dan manajemen PNES yang akurat membutuhkan


pengalaman, keterampilan, penggunaan VEEG dan kolaborasi antara
ahli saraf, psikiater, dokter anak, staf perawat, dan rekan profesional
lainnya. Pendekatan untuk diagnosis PNES termasuk epilepsi, EEG,
provokasi gejala, riwayat klinis, dan observasi. Pemantauan VEEG
dianggap sebagai Gold Standard diagnostic dalam evaluasi kejadian
mirip kejang, terutama untuk mengkonfirmasi diagnosis banding antara
epilepsi dan PNES. VEEG adalah teknik yang sangat spesifik dan
sensitif dengan hasil diagnostik 50-60%, konfirmasi VEEG sering
diperlukan untuk diagnosis definitif PNES. Untuk penelitian ini, semua
rekaman VEEG ditinjau secara retrospektif oleh 3 pembaca yang
memenuhi syarat, yang terlatih dan berpengalaman dalam
menginterpretasikan VEEG. Onset kejang didefinisikan sebagai
perubahan listrik pertama yang terlihat pada ritme EEG dibandingkan
dengan baseline atau pada tanda atau gejala klinis yang menunjukkan
onset kejang. Selain VEEG, pemantauan penutup mata iktal dan
functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI) merupakan metode
yang berguna untuk mendiagnosis pasien dengan PNES.29,38

2.2.2.5 Tic

18
Tic merupakan suatu gerakan atau suara yang tidak teratur,
involunter berulang dan stereotipi atau gerakan involunter yang dapat
dihentikan. Tic diduga terjadi akibat pengaruh genetik atau idiopatik.
Selain itu, kerusakan yang terjadi pada jalur
corticostriatothalamocortical (CSTC) yang dapat menimbulkan
gangguan motorik, pengaturan dan emosi diduga sebagai penyebab
timbulnya gangguan Tic. Gerakan anggota tubuh seperti kedipan mata,
mengangkat disebut dengan Tic Motorik. Jika terjadi pengulangan suara
yang sifatnya tidak disengaja seperti mengendus atau mendengus
disebut sebagai Tic Vokal. Kondisi seperti ini biasanya muncul pada
anak-anak hingga remaja dan insiden pada laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan perempuan.39
Gangguan Tic didiagnosis berdasarkan pengamatan terhadap
tanda dan gejala ketika pasien diperiksa dan tanpa diperiksa sebab
gerakan Tic yang terjadi dapat dikontrol ataupun ditahan oleh pasien
sehingga dapat tidak terlihat jelas saat diperiksa. Menurut American
Psychiatric Association’s Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, Fifth Edition (DSM-5), kriteria diagnosis Tic dapat
diuraikan sebagai berikut.40
a. Memiliki satu dan atau lebih tanda dari Tic Motorik
(misalnya, mengangkat bahu atau berkedip) atau Tic Vokal
(misalnya, bersenandung atau berdeham).
b. Tanda dan gejala ada kurang lebih selama 12 bulan berturut-
turut.
c. Tanda dan gejala muncul sebelum usia 18 tahun.
d. Gejala yang terlihat bukan karena pengaruh obat-obatan atau
kondisi medis yang dapat menyebabkan Tic (misalnya,
penyakit ensefalitis oleh virus).
e. Tidak didiagnosis dengan Tourette Syndrome atau gangguan
tic motorik atau vokal yang persisten.

19
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasam di atas maka dapat disimpulkan bahwa


involuntary movement didefinisikan sebagai gerakan abnormal yang terjadi secara
spontan, tidak disadari, dan tidak diinginkan. Involuntary movement dapat berupa
distonia, chorea, athetois, tics, ballismus, tremor, dan myoclonus dengan
presentase terbanyak pada dystonia (20,2%) dan tremor (15,2%). Faktor risiko
yang paling umum dari involuntary movement yaitu efek samping penggunaan
obat, tumor, penyakit neurologis, stroke, gangguan degeneratif seperti Parkinson’s
disease, dan gangguan genetik seperti Huntington’s disease dan Wilson’s disease.
Seizure atau kejang didefinisikan sebagai kejadian sementara dari tanda-
tanda dan/atau gejala akibat aktivitas neuronal yang berlebihan atau abnormal di
otak. Seizure dapat dibagi menjadi dua, yaitu epileptic seizure dan non-epileptic
seizure. Epileptic seizure dapat dibagi kembali menjadi partial seizure,
generalized seizures, dan unclassifiable seizure sedangkan non-epileptic seizure
dapat dibagi kembali menjadi sinkop, tetanus, psychogenic seizures, dan tic. Studi
menunjukkan insiden kejang simtomatik akut sebesar 29-39 per 100.000 per

20
tahun, insiden kejang tak beralasan tunggal sebesar 23-61 per 100.000 per tahun,
dan kejadian epilepsi di seluruh dunia sebesar 50,4 per 100.000 per tahun. Faktor
risiko dari kejang yaitu masalah atau trauma pada otak, lahir dengan area yang
abnormal pada otak, lahir lebih awal dari umum seharusnya, kejang pada bulan
pertama kehidupan, cedera kepala, riwayat keluarga dengan kejang atau kejang
terkait demam, serta penggunaan obat-obatan secara ilegal. Beberapa kondisi
kesehatan yang terkait dengan kejang yaitu autism, cerebral palsy, gangguan
intelektual dan perkembangan, stroke, dan penyakit alzheimer.
Involuntary movement dan seizure dapat mengakibatkan gangguan baik
dalam hal fungsional maupun sosial dalam kehidupan sehari-hari, maka dari itu
penanganan segera perlu dilakukan untuk menghindari gangguan tersebut
semaking parah. Penanganan yang benar dapat diketahui setelah melakukan
diagnosis yang tepat terhadap involuntary movement maupun seizure. Penentuan
diagnosis involuntary movement dan seizure yang tepat sangatlah penting
dilakukan karena setiap involuntary movement dan seizure memiliki penanganan
yang berbeda. Diagnosis involuntary movement dimulai dari anamnesis kemudian
dilanjutkan pemeriksaan fisik dan memperhatikan gejala klinis yang ada serta
melakukan pemeriksaan penunjang.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Szpisjak L, Salamon A, Zadori D, Klivenyi P, Vecsei L. Selecting dopamine


depleters for hyperkinetic movement disorders: how do we choose? Expert
Opin Pharmacother [Internet]. 2020 [cited 2021 Sep 18];21(1):1–4.
Available from: https://doi.org/10.1080/14656566.2019.1685980
2. Jankovic J. Treatment of hyperkinetic movement disorders. Lancet Neurol
[Internet]. 2009 [cited 2021 Sep 18];8(9):844–56. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S1474-4422(09)70183-8
3. Clark LN, Louis ED. Essential tremor. In: Handbook of Clinical Neurology
[Internet]. 2018 [cited 2021 Sep 18]; 149: 229-239. Available from:
https://doi.org/10.1016/B978-0-444-63233-3.00015-4
4. Emamzadeh FN, Surguchov A. Parkinson’s disease: Biomarkers, treatment,
and risk factors. Frontiers in Neuroscience [Internet]. 2018 [cited 2021 Sep
18]; 12:612. Available from:
https://www.frontiersin.org/article/10.3389/fnins.2018.00612
5. Benito-León J, Domingo-Santos Á. Orthostatic Tremor: An Update on a
Rare Entity. Tremor Other Hyperkinet Mov (N Y) [Internet]. 2016 Sep 22
[cited 2021 Sep 18];6:411. Available from:
https://doi.org/10.7916/D81N81BT
6. Mestre TA. Chorea. Contin Lifelong Learn Neurol.
22(4,MovementDisorders). [Internet] 2016 [cited 2021 Sep 18];1186–207.
Available from: https://doi.org/10.1212/CON.0000000000000349
7. Yanagisawa N. Functions and dysfunctions of the basal ganglia in humans.
Proceedings of the Japan Academy. Series B, Physical and biological
sciences. [Internet] 2018 [cited 2021 Sep 18]; 94(7), 275–304. Available
from: https://doi.org/10.2183/pjab.94.019
8. Kalita J, Kumar V, Misra UK, Kumar S. Movement Disorder in Wilson
Disease: Correlation with MRI and Biomarkers of Cell Injury. J Mol
Neurosci [Internet]. 2021 [cited 2021 Sep 18]; 71(2): 338–346. Available
from: https://doi.org/10.1007/s12031-020-01654-0
9. Fisher RS, Cross JH, French JA, Higurashi N, Hirsch E, Jansen FE, et al.
Operational classification of seizure types by the International League
Against Epilepsy: Position Paper of the ILAE Commission for Classification

22
and Terminology. Epilepsia [Internet]. 2017 [cited 2021 Sep 18];58(4):522
30. Available from: https://doi.org/10.1111/epi.13670
10. Gavvala JR, Schuele SU. New-onset seizure in adults and adolescents: A
review. JAMA - J Am Med Assoc [Internet]. 2016 [cited 2021 Sep
18];316(24):2657–68. Available from:
https://doi.org/10.1001/jama.2016.18625
11. Johnson EL. Seizures and Epilepsy. Medical Clinics of North America
[Internet]. 2019 [cited 2021 Sep 18];103(2):309-324. Available from:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S002571251830124X
12. Rizal Tumewah. Penatalaksanaan Tremor Terkini. Jurnal Biomedik: JBM
[Internet]. 2015 [cited 2021 Sep 18];7(2):107-116. Available from:
https://doi.org/10.35790/jbm.7.2.2015.9326
13. Merical B, Sánchez-Manso JC. Chorea In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430923/
14. Brennan D. Athetoid Cerebral Palsy: Causes, Symptoms, and Treatment
[Internet]. WebMD. 2021 [updated 2021 Jun 01; cited 2021 Sep 13].
Available from: https://www.webmd.com/brain/what-is-athetosis
15. Bhandari S. Dystonia: Causes, Types, Symptoms, and Treatments [Internet].
WebMD. 2021 [updated 2021 August 18; cited 2021 Sep 15]. Available
from: https://www.webmd.com/brain/dystonia-causes-types-symptoms-and-
treatments#1-2
16. Patel AR, Patel AR, Desai S. Acute Hemiballismus as the Presenting
Feature of Parietal Lobe Infarction [Internet]. Cureus. 2019;11(5). Availabel
from: https://doi.org/ 10.7759/cureus.4675
17. Moini J, Piran P. Basal nuclei. Funct Clin Neuroanat. 2020;241–66.
18. Cabrero F, Jesus O. Hemiballismus [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2021.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559127/
19. Myoclonus Fact Sheet | National Institute of Neurological Disorders and
Stroke [Internet]. Ninds.nih.gov. 2021 [cited 15 September 2021]. Available
from: https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-
Education/Fact-Sheets/Myoclonus-Fact-Sheet
20. Eberhardt O, Topka H. Myoclonic disorders. Brain Sci. 2017;7(8).
21. WHO. Epilepsy [Internet]. 2019 [cited 2021 Sep 16]. Available from:
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy
22. Rasheed K, Qayyum A, Qadir J, Sivathamboo S, Kwan P, Kuhlmann L,
O’Brien T, Razi A. Machine learning for predicting epileptic seizures using
EEG signals: A review. IEEE Reviews in Biomedical Engineering
[Internet]. 2020 [cited 2021 sep 16];13(14):139-55. Available from:
https://doi.org/ DOI:10.1109/RBME.2020.3008792
23. Kumar A, Maini K, Arya K, et al. Simple Partial Seizure [Internet]. In:
StatPearls. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK500005/
24. Johns Hopkins Medicine. Focal Seizures [Internet]. Johns Hopkins
Medicine. [cited 2021 Sep 16]. Available from:
https://www.hopkinsmedicine.org/health/conditions-and-

23
diseases/epilepsy/focal-seizures
25. Types of seizures [Internet]. Centers for Disease Control and Prevention.
Centers for Disease Control and Prevention [update 2020; cited 2021 Sep
15]. Available from: https://www.cdc.gov/epilepsy/about/types-of-
seizures.htm
26. Mauri Llerda JÁ, Mercadé Cerdá J, Abella Corral J, Pérez Errazquin F,
Guzmán Quilo CI, Martínez Jiménez P. Management of patients with
unclassified epileptic seizures in outpatient clinics in Spain. Results of the
reto study. The International journal of neuroscience. U.S. National Library
of Medicine [Internet]. 2010 [cited 2021 Sep16]; 120(11):711-6. Available
from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/20942585/
27. Unknown onset seizure [Internet]. International League Against Epilepsy.
[cited 2021 Sep15]. Available from:
https://www.epilepsydiagnosis.org/seizure/unknown-onset-
groupoverview.html
28. Anonymous Aby. Seizure types [Internet]. Epilepsy Society. [updated 2021;
cited 2021 Sep 15]. Available from: https://epilepsysociety.org.uk/about-
epilepsy/epileptic-seizures/seizure-types
29. Jafari A, Mostafa R, Hamrah MP, Karvigh SA, Fakhar HBZ. Psychogenic
Non-Epileptic Seizures; a Narrative Review. Arch Acad Emerg Med
[Internet]. 2020 Jan 20 [cited 2021 sep 15]; 8(1): e10. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/32607/501/
30. Perez DL, LaFrance WC Jr. Nonepileptic seizures: an updated review. CNS
Spectr [Internet]. 2016 Jun [cited 2021 sep 15]; 21(3):239-46. Available
from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26996600/
31. Patel PR, Quinn JV. Syncope: a review of emergency department
management and disposition. Clin Exp Emerg Med [Internet]. 2015 Jun 30
[cited 2021 sep 15]; 2(2):67-74. Available from:
https://doi.org/10.15441/ceem.14.049
32. Saklani P, Krahn A, Klein G. Syncope. Circulation. [Interne] 2013 Mar 26
[cited 2021 sep 15];127(12): 1330-9. Abailable from
https://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.112.138396
33. Runser LA, Gauer RL, Houser A. Syncope: Evaluation and Differential
Diagnosis. Am Fam Physician [Internet]. 2017 Mar 1 [cited 2021 sep 15];
95(5): 303-312. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28290647/
34. Brignole, M., Moya, A., de Lange, F. J., Deharo, J. C., Elliott, P. M.,
Fanciulli, A., ... & van Dijk, J. G. 2018 ESC Guidelines for the diagnosis
and management of syncope. Kardiologia Polska (Polish Heart Journal)
[Internet]. 2018 [cited 2021 sep 15] ; 76(8), 1119-1198. Available from:
https://doi.org/ 10.5603/KP.2018.0161
35. Rahmanto D. Laporan KTL Tetanus. 2019; Tersedia pada:
http://eprints.undip.ac.id/55169/3/Danawan_Rahmanto_22010113130141_L
ap.KTI_Bab2.PDF
36. Putri SR. Pencegahan Tetanus. J Penelit Perawat Prof [Internet]. 2020 [cited
2021 sep 15] ;2(4): 443–50. Available from:
http://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/download

24
/83/65
37. Anzellotti F, Dono F, Evangelista G, Di Pietro M, Carrarini C, Russo M,
Ferrante C, Sensi SL, Onofrj M. Psychogenic non-epileptic seizures and
pseudo-refractory epilepsy, a management challenge. Frontiers in Neurology
[Internet]. 2020 Jun 2 [cited 2021 sep 16]; 11:461. Available from:
https://doi.org/10.3389/fneur.2020.00461
38. Lombardi N, Scévola L, Sarudiansky M, Giagante B, Gargiulo A, Alonso N,
Stivala EG, Oddo S, Fernandez-Lima M, Kochen S, Korman G. Differential
semiology based on video electroencephalography monitoring between
psychogenic nonepileptic seizures and temporal lobe epileptic seizures.
Journal of the Academy of Consultation-Liaison Psychiatry [Internet]. 2021
Jan 1 [cited 2021 sep 15]; 62(1): 22-8. Available from: https://doi.org/
10.1016/j.psym.2020.07.003
39. Park, T. W., & Park, J. Tic & Tourette syndrome and motor disorders.
Hanyang Medical Reviews [Internet]. 2016 [cited 2021 Sep 15]: 36(1), 46-
54. Avalable from: https://doi.rog/ 10.7599/hmr.2016.36.1.46
40. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders Fifth Edition, DSM-5™. Arlington : VA, American
Psychiatric Association [Internet]. 2013 [cited 2021 Sep 15]. Available
from: ttps://www.psychiatry.org

25
26
27
28
29
30
31
32

Anda mungkin juga menyukai