Anda di halaman 1dari 2

Mahabbah:Metodologi Menjadi Muwahhid

Oleh: Maulani,M.Ag.

Syaikh Nur Samad Kamba menuturkan; terdapat dua sudut pandang dalam mempelajari
ilmu tasawuf, pertama sebagai pengalaman keagamaan dan yang kedua sebagai ilmu
pengetahuan.1 Tasawuf sebagai pengalaman keagaman ialah kemanunggalan antara Khalik dan
makhluk. Dalam hal ini, tasawuf merupakan proses ketauhidan, dimana Allah Swt telah
mengambil alih dirinya secara keseluruhan dari intelektual, psikis, dan spiritual. Tasawuf dalam
perspektif ini sangat tidak mungkin bisa didiskusikan maupun didebatkan, karena setiap
pengalaman yang muncul sangat bersifat subjektif. Pandangan kedua ialah tasawuf sebagai ilmu
pengetahuan. Para Sufi menguraikan tentang metode atau tatacara yang dapat dipelajari oleh
seseorang agar mampu memahami ilmu tasawuf.

Adapun metodologi atau tatacara untuk memahami tasawuf ialah makrifat kepada-Nya,
sedangkan cara untuk bermakrifat dengan-Nya ialah melalui ta’rif (Allah memperlihatkan tanda-
tanda keagungan dan kehebatan-Nya pada alam semesta dan di dalam jiwa-jiwa manusia,
kemudian Allah menumbuhkan Luthf yang membuat mereka menyadari bahwa segala sesuatu
pasti ada penciptanya) dan ta’aruf (Allah langsung memperkenalkan diri-Nya kepada hamba-
hamba-Nya).2 Adapun syarat agar mampu menyadari segala keagungan Tuhan atu ta’rif dan
Allah berkenan memperkenalkan diri-Nya atau ta’aruf adalah mencintai Allah dan Rasul-Nya.

Ketika tasawuf sangat sukar diartikan, karena pengalamannya yang sangat subjektif.
Begitu juga halnya dengan cinta, karena cinta tidak mengenal batasan, pengertian yang luas,
perasaan yang menggebu-gebu, dan bahkan ketika cinta didefinisikan malah bisa mengurangi
esensi dari cinta itu sendiri. Sebab cinta hanya bisa diartikan oleh yang sedang asik
merasakannya, dan rasa setiap orang pasti bersifat subjektif. Dengan demikian, Abdul Qadir Isa
dalam bukunya menuliskan bahwa, ketika Imam Junaid Al-Baghdadi ditanya tentang cinta,

1
Nursamad Kamba, Kids Zaman Now Menemukan Kembali Islam, (Tanggerang: Iman, 2018), 223-227.
2
Baca, Muhamma Nursamad Kama, Mencintai Allah Secara Merdeka, (Tanggerang: Iman,2020).
beliau menjawab cinta adalah banjirnya air mata yang keluar dari kedua matanya, dan
gemetarnya hati seseorang karena kegelisahan dan kerinduan.3
Dalam memahami cinta, Prof Afif dalam tulisannya, menjelaskan bahwa Imam Ahmad bin
Hambal membagi cinta menjadi tiga bagian, pertama, cinta yang didasari oleh pemberian. Cinta
bagian ini, merupakan cintanya orang-orang yang selalu menghamba dan taat kepada Allah Swt,
jika diberi kenikmatan oleh-Nya, dan murka jika Allah mencabut nikmat-nikmat tersebut. Begitu
juga dengan orang-orang yang beribadah hanya takut akan neraka-Nya, dan mengharap imbalan-
Nya yakni dalam bentuk surga. Sikap seperti ini, sudah pernah disindir oleh seorang sufi wanita
agung Rabiah Al-Adawiyah, yang selalu menghabiskan hari-harinya berkeliling kampung
dengan membawa obor untuk membakar surga, agar orang-orang tidak beribadah hanya untuk
mengharapkan surga-Nya, dan membawa setimba air untuk memadamkan api neraka, agar
orang-orang beribadah tidak hanya takut akan dahsat api nereka-Nya. Kedua, cinta yang didasari
oleh rasa kekaguman, ketika seorang remaja ditanya, kenapa jatuh cinta sama perempuan itu?
Dia menjawab karena dia cantik, kaya, dan lain sebagainya. Begitu juga halnya ditanya kenapa
menyembah Allah? Karena Dia Maha Kuasa, Maha Penyayang, dan Maha segala-segalanya.
Cinta seperti ini, kurang lebih seperti cinta materialistik. Ketiga, cinta yang didasari oleh
ketulusan, inilah yang dimaksud dengan cinta hakiki, cinta yang berasal tanpa sebab-akibat dan
didasari dengan kesetiaan. Baik dalam keadaan sakit-sehat, sedih-senang, miskin-kaya, dapat
musibah-kenikmatan, tetap setia dan serta menghamba secara totalitas kepada Allah Swt. 4 Ketika
seseorang sudah mampu mencintai Tuhannya secara hakiki, seperti yang digambarkan diatas,
maka Allah akan mentawalli atau mengambil alih dirinya secara total, maka dalam kondisi
seperti ini, gerak-gerik hidupnya merupakan kehendak Tuhan, dan akhlak Tuhanlah yang
muncul dari dirinya.

3
Syaikh Abdul Qadir Isa, Hakekat Tasawuf, terj. Khairul Amru, dan Afrizal (Jakarta: Qisthi Press, 2014),
cet. Ke-14, 277-278.
4
Sukardi edt, Kuliah-Kuliah Tasawuf, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000) cet ke-2, hal. 237-238.

Anda mungkin juga menyukai