Anda di halaman 1dari 5

NORMA DHIRA ABHIPRAYA

DALAM TATANAN DAN TATARAN HUKUM PANCASILA


Oleh:Suparjo Sujadi

Bagian Pertama:
Pembuka

Tulisan singkat ini hendak memberikan pembahasan perihal norma hukum nan
bijak dan penuh harapan (“Norma Dhira Abhipraya”) dalam tatanan dan tataran hukum
Indonesia (Hukum Pancasila). Dalam pembahasan ini akan diberikan uraian mengenai
sandaran nilai-nilai yang menjadi acuan pembentukkan norma hukum nan bijak dan
penuh harapan.
Dalam tatanan dan tataran Indonesia sudah ada nilai-nilai yang menjadi acuan
terciptanya norma hukum nan bijak dan penuh harapan. Nilai-nilai yang telah menjadi
manifestasi pribadi, kepribadian Bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang dapat ditemukan dari
makna sesungguhnya dari Merah Putih (sebagai jiwanya), Pancasila (sebagai pribadi)
dan Bhineka Tunggal Ika (watak/karakternya). Ketiganya sejatinya adalah sebagai
“Trisakti Pilar Bangsa”1.
Trisakti Pilar Bangsa identik dengan simbol negara Garuda Pancasila. Merah Putih
sebagai “jiwa” yang tersembunyi di belakang gambar simbol Sila-Sila Pancasila yang lebih
dominan terlihat di depan warna merah-putih, karena Pancasila adalah “Pribadi”
manusia yang nyata terlihat mengejawantah dalam perilaku hidupnya. Ketika manusia
sudah sadar akan dirinya (jiwanya dan pribadinya) maka muncullah “karakter/watak”
Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus sebagai tanggungjawab untuk menjaganya sebagaimana
Burung Garuda mencengkeram seloka yang tertulis di atas pita. Pita (Kebhinnekaan)
yang rawan sobek, putus harus dicengkeram dijaga penuh sebagai bentuk tanggungjawab
sebagai karakter/watak manusia yang berkepribadian Pancasila dan memiliki jiwa
Merah-Putih

1
Sebagaimana pernah diulas Suparjo Sujadi dalam “Permasalahan dan Hambatan Perolehan Tanah dalam
Pembangunan Infratruktur PSN (Perspektif Hukum Pancasila)”,Makalah sebagai urun rembug pada Seminar
Nasional dengan tema “Mengurai Hambatan Lahan Dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional
Sebagai Komitmen Nawacita”, diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI), Jakarta 21 Desember 2016.
Terakhir dalam Suparjo Sujadi, “Kajian tentang Pembangunan Proyek Sttrategis Nasional (PSN) dan Keadilan
Sosial (Perspektif HUKUM PANCASILA)” Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol.4 Issue No.2 Januari 2018
Pada perspektif nilai-nilai Pancasila yang menjadi acuan manusia itu adalah
selaras dengan hukum yang menempatkan manusia sebagai pusat dari berbagai modus
pengaturan dan tujuan pengaturan itu sendiri. Namun kiranya yang harus dipahami
adalah bahwa dalam perspektif “Hukum Pancasila” sendiri jelas memiliki perbedaan
perspektif menjelaskan manusia sebagaimana dogma-dogma hukum barat yang hingga
kini sayangnya masih menjadi anutan dalam hukum Indonesia.

Bagian Kedua:
Memahami Pancasila dari Sumbernya

Berpegang pada pemahaman manusia dan konteks hukum maka dapat diperoleh
pemahaman bahwa hukum adalah hidup (sebagai pedoman yang hidup dan tidak statis)
dalam kehidupan manusia. Sejalan dengan dinamika kehidupan manusia maka hukum
pun selalu mengikutinya dan tidak bersifat statis dan tidak pula justru membatasi
kehidupan manusia itu sendiri. Hukum yang dinamis itu dapat berjalan dengan
bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi pandangan hidup manusia (way of life).
Pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila yang sudah menjadi kepribadian
manusia itu maka manusia yang berkeribadian seyogyanya akan mampu melaksanakan
hidup dan kehidupannya secara lebih baik. Kepribadian itu akan termanifestasikan dari
kesadaran rahsa (rasa terdalamnya atau puncak kesadarannya) akan membuatnya
mencapai pada dimensi Ketuhanan sebagai causa prima terjadinya asal-usul manusia
beserta segenap unsur dan tatanan semesta raya.
Pemahaman itu tidak lain melalui mengerti dan paham makna “Merah Putih”
menjadi perspektif yang mengantarkan pemahaman terhadap Pancasila. Merah-Putih
adalah jati diri manusia sejagat sehingga “Sang founding father”2 mengusulkan menjadi
bendera nasional sekaligus simbol negara. Esensi ajaran dari Merah-Putih adalah perihal
susunan inti hidup sejati manusia itu sendiri, yaitu merah adalah raga dan putih adalah
suksma. Ketika suksma masuk dan menyatu dengan raga manusia maka ada muncullah

2
Sang founding-father adalah seorang tokoh yang menjadi acuan para tokoh pejuang kemerdekaan terlebih dalam
fase pembentukan dasar-dasar kenegaraan dan tatanan-nya dimana Sukarno kerap menyebutnya ‘teman’,
termasuk ketika menyampaikan pidato 1 Juni 1945 yang memberikan nama Pancasila. Sehingga Sukarno hanya
menyebut dirinya penggali Pancasila dari Sang ‘teman’yang sejatinya konseptor penemu Pancasila. Dari sumber
itu pula penulis memperoleh pemahaman mengenai Pancasila.
jiwa sebagai entitas sejati hidup manusia yang tercipta dan hidup menurut kodratnya dan
atas kehendak Tuhan Yang Maha Esa (Sang Pencipta)3.
Ketika manusia yang sudah paham makna nilai Merah-Putih yang seperti itu maka
dia sadar akan jati dirinya yang sejati sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Inilah yang menjadi
dasar pemahaman (meta values) sebagai perspektif memahami Sila-Sila Pancasila yang
tidak ansich dipahami menurut urutan Sila-Silanya, melainkan dimulai dari Sila kedua,
yaitu adanya manusia yang sadar akan kemanusiaannya. Manusia yang sudah paham
“Merah Putih” sebagai jati dirinya akan sadar akan Tuhan-Penciptanya sebagai asal
mulanya-penciptaanya, keberadaannya di alam semesta. Manusia yang sudah memiliki
kesadaran seperti itu seketika otomatis akan bersifat adil, berperilaku penuh adab
(beradab). Hal itu sejak awal mulanya terlihat jelas dalam konteks penyusunan Sila-Sila
Pancasila yang telah menempatkan Tuhan lebih tinggi daripada dirinya (pada Sila
pertama) sebagai dzat yang tertinggi dari dirinya.
Manusia-manusia Indonesia yang sudah mengenal siapa dirinya dan mengenal
Tuhan sebagai Pencipta dengan seluruh sifat-sifat Ketuhanannya maka yang ada hanya
memiliki keinginan rasa bersatu yang menimbulkan persatuan. Adapun yang disatukan
bukan manusia dalam arti fisik belaka, suku, ras, agamanya, melainkan rahsa (rasa
terdalamnya) sebagai manusia ciptaan Tuhan. Itulah yang dipersatukan sebagai manusia
yang bersatu (Sila ketiga).
Adanya berbagai atau banyaknya manusia yang bersatu tentu memerlukan
tatanan (musyawarah dan perwakilan). Sila keempat adalah ‘tatanan’ sosialnya sebagai
konsekuensi adanya persatuan yang sudah ada di Sila Ketiga. Tatanan yang terbentuk
atas landasan kesadaran manusia Indonesia yang didasari Sila kesatu, kedua dan ketiga
akan mengarah pada keadilan sosial (Sila kelima) sebagai sesuatu keniscayaan yang logis
sebagai harapan hidup manusia.

3
Secara biologi Merah-Putih juga merupakan konsep dari apa yang dimakan dan diminum manusia yang berasal
dari bumi (tanah) maka niscaya mengalir bersama sumpahnya manusia dalam darahnya (Merah) adalah
merupakan zat-zat sebagai esensi hidupnya manusia. Jadi Merah-Putih adalah simbol sekaligus jatidiri manusia
sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang menjadi mahluk mulia di dunia ini. Itulah nilai hakiki dari Merah-Putih yang
amat fundamental, bukan sekedar diketahui maknanya sebagai berani (merah) dan suci (putih) sekadar sastra
bahasa yang dangkal.
Bagian Ketiga:
Hukum Pancasila sebagai Manifestasi Norma Dhira Abhipraya

Ada pendirian dalam pembahasan pada ranah tatanan hukum Indonesia adalah
berkenaan dengan fungsi Pancasila sebagai rechtsidee (Cita Hukum). Berdasarkan
pemikiran Hans Kelsen, Gustav Radbruch dan Hans Nawiasky, pemikiran yang
menyatakan bahwa Pancasila adalah semacam “Leitstern” (bintang pemandu) yang
mengarahkan hukum bukan kepada dirinya sendiri melainkan kepada apa yang dicita-
citakan masyarakat (termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai
fokus kajian ini). Disamping itu sebagai cita hukum, Pancasila juga mempunyai fungsi
regulatif dan konstitutif. Fungsi regulatif berkaitan dengan penentuan keadilan sebagai
isi dari hukum. Perlu pula mengingat kembali sebagaimana telah dikemukakan oleh A.
Hamid S. Attamimi bahwa fungsi konstitutif cita hukum adalah sebagai dasar atau
landasan pemakna sistem hukum4.
Dari pendapat-pendapat tersebut dapatlah ditegaskan bahwa Hukum Pancasila
dapat dimaknai diartikan sebagai tatanan hukum yang dibangun dari nilai-nilai Pancasila
yang sudah menjadi kepribadian atau pandangan hidup ‘way of life’ Bangsa Indonesia
(sumber materil norma) dan kemudian dalam membangun tatanan negara dimana
Pancasila menjadi cita hukum atau landasan pemakna sistem hukum yang juga dapat
dipahami sebagai sumber segala sumber hukum (sumber formil norma).

4
A. Hamid S.Attamimi dalam Oetojo Oesman & Alfian ed., (1991), hlm.62-83 sebagaimana dikutip oleh
Hyronimus Rhity, (2011), Filsafat Hukum Dari Klasik sampai Postmodernisme, Yogyakarta: Universitas Atma
Jaya , hlm.369
Bagian Keempat :
Penutup

Dari ulasan singkat ini muncul pemahaman penulis bahwa dalam tatatan dan tataran
Hukum Indonesia Hukum Pancasila menjadi refleksi sekaligus manifestasi dari tatanan
norma hukum nan bijak dan penuh harapan (Norma Dhira Abhipraya). Bijak dalam
memaknai nilai-nilai Pancasila dalam tataran imanen dan transenden. Adanya
kandungan nilai-nilai kesadaran kemanusiaan pada manusianya akan siapa hakekat
sejati dirinya yang menghantarkan mengenal Tuhannya (tataran imanen) dan
menimbulkan kesadaran dalam kehidupan sosial hidupnya untuk adil dan beradab yang
membawanya akan senantiasa menyatukan rahsa untuk senantiasa bersatu dengan
sesamanya. Untuk itulah maka akan timbul kebutuhan membentuk wadah-tatanan sosial
sebagai wahana yang membawanya menuju harapan dalam hidupnya mencapai keadilan
sosial (tataran transenden).

Anda mungkin juga menyukai