SKRIPSI
TEKNIK MESIN KONSENTRASI MANUFAKTUR
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS TEKNIK
MALANG
2021
LEMBAR PRSETUJUAN
SKRIPSI
Dosen Pembimbing I
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi
yang berjudul“Pengaruh Suhu Aging dan Penambahan One Side Chamfer Terhadap
Kekuatan Puntir Las Gesek AA6061 Dan Baja SS41”. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Teknik. Penulis sadar bahwa dalam proses
pembuatan skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan, akan tetapi diharapkan segala
usaha yang telah dilakukan dapat menjadi ilmu yang bermanfaat bagi umat manusia.
Selama proses pembuatan skripsi ini, penulis banyak memperoleh bimbingan dan
bantuan dari berbagai pihak. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa bantuan dan
dukungan yang didapat tidak mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis
dengan tulus hati ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Ir. Djarot B. Darmadi, MT., Ph.D., selaku Ketua Jurusan Teknik
Mesin Universitas Brawijaya yang telah memberikan kelancaran dalam
perizinan penelitian khususnya di masa pandemi Covid-19.
2. Bapak Teguh Dwi Widodo, ST., M.Eng., Ph.D., selaku Sekertaris Jurusan Mesin
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
3. Bapak Dr.Eng. Mega Nur Sasongko, ST., MT., selaku Ketua Program Studi S1
Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya
4. Bapak Dr. Ir. Achmad As’ad Sonief, MT. selaku Ketua Kelompok Dosen Keahlian
Teknik Manufaktur Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya yang telah
memberikan banyak bantuan dalam penyelesaian skripsiini.
5. Bapak Dr. Eng. Yudy Surya Irawan, ST.,M.Eng. selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan arahan, kritik, saran, masukan dan alat-alat mesin
penunjang dalam penyelesaian skripsi ini
6. Seluruh Bapak/Ibu dosen Pengajar Jurusan Teknik Mesin yang telah memberi
banyak ilmu tentang Teknik dan ilmu dalam menjalani kehidupan di masa depan
juga segala motivasi hingga penulis dapat mnyelesaikan studi S1 hingga lulus
Seluruh Staf dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Brawijaya
7. Teman-teman seperjuangan skripsi Kevin Alexander, Febi Febriansyah, dan Reza
Baramadika yang telah berjuang menyelesaikan skripsi ini.
8. Senior dalam Friction Welding Mas Panji, Mas Febri, Mas Fajar, Mas Dobe, Mas
Alam yang sudah mengajari banyak hal tentang Friction Welding
9. Teman teman Labkomp 2017 Jovi, Rafif, Abdur yang sudah berperan besar selama
i
perkuliahan saya.
10. Senior saya Mas Cay, Mas Tio, Mas Amir, Mas Nan, Mas Akbar, Mas Wildan,
Mbak Amal yang mengajari saya banyak hal
11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu
dan mendukung
Akhir kata, semoga amal, bantuan, bimbingan serta doa yang telah diberikan kepada
penulis mendapat balasan dari Tuhan. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat di harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.
ii
DAFTAR ISI
iii
2.10 Kekuatan Puntir .............................................................................................. 26
2.11 Jeffries Method ............................................................................................... 28
2.12 Karakteristik Material dari Ukuran Butir ...................................................... 29
2.13 Hipotesis ......................................................................................................... 30
iv
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. …..65
4.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 65
4.2 Saran ................................................................................................................................65
v
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
Gambar 3.14 Skema pengelasan gesek ...................................................................... .. 39
Gambar 3.15 Dimensi Spesimen Uji Puntir .................................................................. 41
Gambar 3.16 Skema Pengujian Kekerasan Benda Kerja .............................................. 41
Gambar 4.1 Grafik Hubungan geomteri Penambahan Chamfer dan Variasi Aging... 47
Gambar 4.2 Grafik Temperature Pengelasan Maksimum Spesimen........................... 48
Gambar 4.3 Foto Makrostruktur Sambungan Specimen ............................................. 50
Gambar 4.4 Foto Mikrostrukur Sambungan Specimen ............................................... 53
Gambar 4.5 Foto Mikrostrukur Patahan Specimen ..................................................... 54
viii
DAFTAR LAMPIRAN
ix
RINGKASAN
Timothy Audy Wiranda, Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Juli 2021, Pengaruh Suhu Aging Dan Penambahan One-Side Chamfer Terhadap Kekuatan
Puntir Sambungan Las AA6061 Dan Baja SS41, Dosen Pembimbing: Yudy Surya Irawan
Kebutuhan komponen kendaraan yang ringan menjadi masalah dalam industry electric
vehicle dimana sebagian beban komponen kendaraan harus dikurangi untuk mengantikan
beban berat baterai yang menujang jarak tempuh kendaraan. Solusi yang sering digunakan
adalah pengunaan komponen dissimilar aluminium baja dimana aluminium mempunyai
densitas yang lebih redah sedangkan baja tetap dapat memberikan kebutuhan kekuatan
yang dibutuhkan. Penyambungan dissimilar metal aluminium dan baja adalah jenis
penyambungan yang tidak bisa dilakukan pengelasan fusi, las gesek adalah salah satu
metode yang dipakai untuk mengelas aluminium yang mensolusikan cacat las pada las
fusi.
Parameter yang digunakan dalam pengelasan adalah kecepatan spindle 1600 rpm,
tekanan awal 7 KN, BOL 15 mm, tekanan akhir 35 KN, selama 60 detik. Kekurangan dari
penyambungan dissimilar metal aluminium dan baja adalah penurunan kekuatan dari
logam aluminium, dikarenakan oleh panas dari proses pengelasan yang merubah struktur
butir aluminium. Dalam mengurangi penurunan kekuatan suhumaksimum pengelasan tidak
boleh terlalu tinggi maka dari itu diberikan geometri chamver 30 dan tanpa pemberian
chamver pada specimen baja dengan tujuan mengurangi heat input sehingga suhu
maksimum pengelasan dapat dijaga tidak terlalu tinggi, lalu untuk memperbaiki kekuatan
logam aluminium setelah proses pengelasan maka digunakan precipitation hardening
dengan 3 tahapan proses dimana pertama specimen hasil pengelasan dilakukan solution
heat treatment pada suhu 530 C lalu dilanjukan dengan proses Quencing pada pendinginan
air ,pada proses ketiga specimen di lakukan proses aging pada variasi suhu 125 C, 150 C,
175 C, selama 7 jam, lalu dilakukan proses pengujian kekuatan puntir.
Dari hasil penelitian ini didapatkan dengan penambahan geometri chamver 30 dan
perlakuan aging pada suhu aging 125 C memiliki kekuatan puntir tertinggi sebesar 216,07
Mpa hal ini dikarenakan pada penambahan geometri chamfer membuat heat input yang
terjadi dapat dioptimalka sehingga terbentuk ikatan antar aluminium dan baja tanpa
mengurangi sifat mekanis aluminium karena heat input terlalu banyak. Lalu dengan
perlakuan aging 125 C membentuk perispeta Mg2Si di batas butir menyebabkan
kekerasanya meningkat yang diikti denga meningkatnya kekuatan puntir.
x
SUMMARY
Timothy Audy Wiranda, Department of Mechanical Engineering, Engineering Faculty of
Universitas Brawijaya, July 2021, The Effect of Aging Temperature And The Addition of
One-Side Chamfers To The Torsional Strength of Welded Joints of AA6061 And SS41 Steel ,
Academic Supervisor: Yudy Surya Irawan
The need for lightweight vehicle components is a problem in the electric vehicle industry
where part of the vehicle load must be reduced to replace the heavy battery load that
supports vehicle mileage. The solution that is often used is the use of dissimilar joint of
aluminum steel components where aluminum has a lower density while steel can still
provide the required strength requirements. Dissimilar joining of aluminum and steel metal
is a type of connection that cannot be fusion welding, friction welding is one of the methods
used to weld aluminum to solve weld defects in fusion welding.
Parameters used in welding are spindle speed 1600 rpm, initial pressure 7 KN, BOL
15 mm, final pressure 35 KN, for 60 seconds. The disadvantage of joining aluminum and
steel is a decrease in the strength of the aluminum metal, caused by the heat from the
welding process which changes the grain structure of the aluminum. In reducing the
strength, the maximum welding temperature should not be too high, therefore the geometry
of chamver 30 and without chamver is given to the steel specimen with the aim to heat
input can be reduced and the maximum welding temperature can be kept not too high, then
to improve the strength of the aluminum metal. After the welding process, precipitation
hardening is used with a 3 stage process where the first specimen from the welding is
carried out by a heat treatment solution at a temperature of 530 C and then proceeds with
the Quencing process on water cooling, in the third process the specimen is aged at a
temperature variation of 125 C, 150 C, 175 C, for 7 hours, then the torsional strength test
was carried out.
From the results of this study, it was found that the addition of chamver 30 geometry
and aging treatment at an aging temperature of 125 C had the highest torsional strength of
216.07 Mpa this is because the addition of chamfer geometry makes the heat input that
occurs can be optimized so that it is formed between aluminum and steel without reducing
the properties mechanical aluminum due to too much heat input. Then with the treatment
at 125 °C formed a Mg2Si perispeta at the grain boundaries causing the hardness to
increase which was followed by the torsional strength.
Keywords: Dissimilar Metal, A6061 Aluminum, SS41 Steel, Friction Welding, Chamver
Geometry, Welding Temperature, Precipitation Hardening, Aging Temperature, Twisting
Strength
xi
BAB I
PENDAHULUAN
terhadap kekuatan puntir sambungan las serta pengaruh lama waktu aging terhadap
kekuatan puntir sambungan las Pada penelitian ini akan memberikan informasi data suhu
Artificial aging untuk pemberian perlakuan aging pada sambungan las aluminium A6061
dan baja SS41 untuk mengurangi kemungkinan terjadinya over-aging. Data tersebut
diharapkan bisa menjadi referensi untuk menghasilkan sambungan las aluminium A6061
dan baja SS41 dengan kekuatan puntir yang optimal.
Kimura, etal (2009) Meneliti tentang fenomena yang terjadi pada las dissimilar metal
antara Aluminiun (AA5052) dengan Baja Karbon rendah, dengan metode Continous drive
friction welding dengan kecepatan spindle 1650 Rev/min, dan friction pressure 30 Mpa, dari
hasil pengamatan terhadap Torsi Mengunakan Load Cell Didapati Grafik Torsi terhadap
friction time menunjukan bahwa sambungan aluminium dengan baja karbon rendah memiliki
elapsed time menuju Peak Point sedikit lebih lama dan Peak point yang lebih rendah (1.2
detik , 9 Nm) daripada sambungan las aluminium murni dan baja karbon rendah (0.9 detik, 20
Nm)]
Gambar 2.1.Torsi terhadap friction time pada sambungan AA5052 dan baja karbon rendah
Sumber: Kimura (2009)
dari pengamatan perubahan permukaan wajah sambungan las berdasarkan friction time
didapati bahwa pada peak point pada 1.2 detik Mulai terjadi deformasi pada permukaan las
aluminium dan terjadi sedikit transfer AA5052 ke permukaan baja karbon rendah dan pada
3.0 detik seluruh permukan baja karbon rendah telah ditransfer AA5052, pada 2.0 detik dan
seterusnya permukaan AA5052 tidak mengalami perubahan yang signifikan dan pada 3.0
detik seterusnya tidak terjadi perubahan yang signifikan pada permukaan baja karbon rendah.
6
Gambar 2.2. Foto permukaan wajah las AA5052 dan baja karbon rendah friction time
Sumber: Kimura (2009)
Pada pengematan Cross-Sectional pada daerah pengelasan pada friction time 1.2 detik
dimana torsi mencapai puncak terlihata bahwa pada sebagian daerah tepi smabungan las
belum tersambung sedangkan pada permukaan las dengan friction time 3 detik seluruh
permukaan sudah tersambung antara baja karbon rendah dan Aluminium A5052.
Gambar 2.3. Cross-section permukaan wajah Las pada AA5052 dan baja karbon rendah
Sumber: Kimura (2009)
7
Pada pengujian SEM dan EDS pada friction time 3 detik, 5 detik, 8 detik , 15 detik
didapati perbedaan dalam terbentuknnya lapisan intermetalic compound antar 2 logam
aluminium A5052 dan baja karbon rendah pada foto permukaan dengan Friction time 3 s
terlihat tidak ada lapisan intermetalic compound yang terbentuk dan pada grafik EDS tidak
terdapat garis datar antar garis kandungan aluminium dan garis kandungan ferum, hal serupa
juga terlihat pada friction time 5 detik, pada friction time 8 detik mulai terlihat terbentuknya
intermetalic compound setebal 0.7 µm dalam pengukuran komposisi mendekati 63Al–33Fe
(mol.-%), yang menandakan terbentuknya 𝐹𝑒2 𝐴𝑙5 atau 𝐹𝑒𝐴𝑙3 , pada grafik EDS menujukan
garis komposisi Si yang datar didaerah intermetalic compound sebesar 1.0 µm hal ini berarti
intermetalic compound hanya terbentuk pada sebagian permukaan, berbeda dengan friction
time 15 detik dengan bertambahnya friction time bertambah juga intermetalic compound
sebesar 1.5 µm penebalan juga terjadi pada lapisan datar Si sebesar 2.0 µm, terbentuknya
lapisan intermetalic compound dimulai pada friction time 8 detik di bagian tepi permukaan
las lalu mulai membentuk lapisan intermetalic compound menuju ke center-line permukaan
las dan menebal seiring dengan friction time yang bertambah
Lalu dengan pengamatan friction time dengan efisiseni sambungan, dimulai dengan
efisiensi sambungan pada 0.8 s sebesar 18% hal ini dikarenakan rendahnya panas pada
permukaan las dalam waktu yang sangat singkat, pada 1.2 s dimana torsi mencapai puncak
efisiensi sambungan mencapai 41% berikutnya efisiensi sambungan akan terus naik sampai
sebesar 78% pada friction time 8 detik sampai 10 detik lalu berangsur-angsur turun, pada
seluruh percobaan friction time terhadap sambungan patahan terjadi didaerah sambungan
dimana pada logam baja karbon rendah sebagian patahan aluminium masih menempel, pada
pengamatan XRD untuk fasa 𝐹𝑒2 𝐴𝑙5 terdeteksi pada daerah pataham untuk friction time 8
detik dan untuk friction time yang lebih lama namun fasa tersebut tidak terdeteksi pada
friction time 3 s ataupun dengan friction time lebih singkat.
Pada penelitian ini didapati bahwa pada sambungan dengan friction time 3.0 s efisiensi
sambungan meningkat sembari dengan meningkatnya tekanan tempa dan mencapai efisiensi
100% pada tekanan tempa 150 Mpa keatas, dan tidak adanya lapisan intermetalic compound
yang terbentuk berdasarakan pengamatan lewat SEM, selanjutnya pada friction time yang
sama pada tekanan 190 Mpa tidak didapat crack pada sambungan las setelah pengujian
kekuatan tarik Hal sama terjadi pada specimen dengan friction time 8.0 detik efisiensi
sambungan meningkat dengan meningkatnya tekanan tempa dan mencapai puncak pada
efisiensi sambungan 87% pada tekanan tempa 150Mpa keatas,dan didapati crack pada
seluruh permukaan AA5052 hal ini juga dikarenakan lapisan Intermetalic compound yang
terbentuk dari 𝐹𝑒2 𝐴𝑙5 atau 𝐹𝑒𝐴𝑙3 .
8
Gambar 2.4. Foto daerah sambungan las pada AA5052 dan LCS berdasarkan friction time
Sumber: Kimura (2009)
memvariasikan friction time sebesar 4 detik, 5 detik, dan 6 detik serta sudut chamfer sebesar
30°, 45°, 60° dan 0° pada permukaan las specimen tekan, pada variasi sudut chamfer 30°
dengan friction time 6 detik memiliki luasan HAZ keseluruhan yang terkecil sebesar 14,765
mm2 berpengaruh pada kekuatan puntir 202,60 Mpa menjadikannya yang tertinggi,
sementara pada specimen variasi 0° dengan friction time 4 detik memiliki luasan HAZ
keseluruhan sebesar 26,021 𝑚𝑚2 terbesar dari seluruh specimen menghasilkan kekuatan
puntir rata-rata terendah sebesar 142,96 Mpa hal ini didukung dengan terdapatnya Zpd
sebesar 0.305mm2, Selanjutnya pada pengujian kekerasan pada daerah HAZ I, HAZ II dan
Zpd didapati pada specimen dengan kekuatan puntir terbesar Pada sudut 30° dengan friction
time 6 detik, kekerasan tertinggi berada pada daerah HAZ II sebesar 43,1 VHN sehingga
patahan akibat gaya geser berada pada sekitaran sambungan las yang berada pada daerah
HAZ I yang nilainya hanya sebesar 36,9 VHN, Sebaliknya pada kekuatan puntir minimum
yaitu sudut chamfer 0° dengan waktu las 4 detik, memiliki nilai kekerasan yang lebih besar di
pusat daerah HAZ I dibandingkan pada daerah HAZ II. Ini disebabkan panas yang dihasilkan
mempengaruhi struktur butir di daerah HAZ I yaitu tepat pada sambungan las sehingga
kekerasannya lebih tinggi dibandingkan daerah HAZ II yang hanya terkena dampak panas.
Dari penelitian tersebut diperoleh bahwa Sudut chamfer mempengaruhi terhadap hasil
kekuatan puntir karena luasan kontak las memberikan nilai tekanan dan heat input yang
berbeda sehingga mempengaruhi pembentukan daerah luasan HAZ hal ini didukung dengan
semakin rendah heat input maka semakin minimnya terbentuk rekristalisasi dari kedua
specimen tersebut sehingga memungkinkan menurunkan kekuatan puntir.
Al-Mg-Si. Porositas akan menurun dengan semakin menurunnya sudut chamfer dan semakin
besarnya upset force.
Pah , J. C. A.(2018) dalam penelitianya mengelas aluminium A6061-T6 dan Baja AISI-
1018 dengan metode countinous drive friction welding dengan kecepatan spindle sebesar
1600 rpm, upset time 60 detik, upset force 79 MPa, diameter permukaan kontak, kedua benda
kerja pada saat proses pengelasan sebesar 15 mm, diameter permukaan kontak kedua benda
kerja pada saat proses pengujian tarik sebesar 13 mm, menjabarkan pada grafik hubungan
kekuatan tarik terhadap friction time menujukan lamanya friction time, kekuatan tarik
sambungan akan menguat sampai nilai maksimum dan kemudian kekuatan tarik
sambungannya kembali menurun.Kekuatan tarik maksium pada friction force force 40 Mpa
terjadi pada 7 detik friction time sebesar 186,978 MPa, sedangkan pada friction pressure 24
Mpa mencapai kekuatan tarik maksimum terjadi pada 9 detik friction time, pada grafik
Hubungan kekuatan tarik terhadap upset force Pada friction time 5 detik dan 7 detik, setiap
kenaikan friction force, akan menyebabkan kekuatan tarik sambungan meningkat, dengan
laju peningkatan yang cenderung konstan.namun hal berbeda terjadi pada friction time 9 detik
dan 11 detik kemiringan garis segmen 1 lebih besar dari kemiringan garis segmen 2. kenaikan
kekuatan tarik sambungan tidak lagi linier terhadap peningkatan friction pressure. Pada
friction pressure yang lebih besar, akan menunjukan laju peningkatan kekuatan tarik
sambungan yang mengecil, Pada grafik regangan maksimum terhadap friction time,
Regangan maksimum yang terjadi pada sambungan akan meningkat dengan semakin lamanya
friction time, hingga mencapai regangan maksimum, dan kemudian regangannya akan
kembali menurun. Peningkatan friction time setelah nilai regangan maksimum ini tercapai,
akan menyebabkan sambungan menjadi semakin getas. Pada grafik suhu maksimum dan
kekuatan tarik maksimum terhadap variasi friction time pada friction pressure 40 Mpa.
bahwa specimen tersebut mengalami gesekan yang lebih besar Hal ini menyebabkan pada
spesimen dengan kekuatan tarik tertinggi panas yang timbul akibat gesek lebih tinggi
sehingga membentuk ikatan yang lebih kuat pada sambungan ditambah luas daerah yang
berikatan juga lebih luas, dalam penelitian ini didapati bahwa semakin besar diameter gesek
baja membuat nilai kekuatan tariknya semakin tinggi. Serta semakin lama frition time
menghasilkan nilai kekuatan tarik yang semakin tinggi.
Irawan Y. S.(2020) melakukan penelitian terhadap sambungan las aluminium A6061 dan
baja ST41 yang dilas dengan continous drive friction welding dengan kecepatan spindle 1600
rpm, friction force 7 kN, upset force 14 kN dan upset time selama 20 detik. dengan
menambahkan variasi geometri sudut chamfer 30ᵒ, 45ᵒ, 60ᵒ, 90ᵒ pada permukaan las baja
ST41 dan Burn of lenght (BoL) di 10 mm, 15 mm, 20 mm. dari hasil pengujian didapati
patahan terjadi di daerah logam aluminium bukan didaerah sambungan las, hal ini
membuktikan bahwa daerah sambungan las memiliki kekuatan puntir yang lebih tinggi
daripada daerah aluminium, hasil uji kekuatan puntir tertinggi terdapat pada variasi BoL 15
mm dengan sudut chamfer 30ᵒ dan kekuatan puntir terendah terdapat di variasi BoL 20 mm
dengan susdut chamfer 60ᵒ, varisai sudut chamfer dengan kekuatan puntir teringgi ke
terendah dimulai dari 30ᵒ, 45ᵒ, 90ᵒ, 60ᵒ hal ini terjadi dikarenakan pada chamfer dengan sudut
30ᵒ dan 45ᵒ memiliki luas permukaan las yang lebih kecil menjadikan kondisi heat input
yang lebih rendah dan pada akhir pengelasan memudahkan tedeformasi (Aluminium A6061)
mendapat beban penempaan akhir lebih baik, sehingga deformasi berjalan dengan mudah,
variasi BoL menujukan meningkatnya kekuatan puntir dengan meningkatnya nilai BoL dari
variasi BoL 10 mm dan mencapai titik puncak di Bol 15 mm, kemudian perlahan turun di
BoL 20,mm ,hal ini terjadi karena heat input akan bertambah sembari bertambahnya nilai
BoL, heat input optimal yang terjadi di Bol 15 mm , kemudian karena heat input yang
berlebih menyebabkan logam dengan titik lebur terendah (Aluminium A6061) mengalami
pelunakan dengan perubahan butiran mikrostruktur yang menjadi besar sehingga kekuatan
menurun.
Zabadi, M. F.(2020) melakukan penelitian pada hasil las gesek aluminium A6061 dengan
variasi panjang kerucut terpancung pada sisi diam terhadapa kekuatan puntir sambungan las.
Pengelasan dilakukan dengan kecepatan spindle 1120 rpm, friction pressure 55 bar burn of
length 3 mm, upset pressure 400 bar , upset time dan suhu pengelasan gesek 27ᵒC, dengan
variasi panjang kerucut terpancung pada sisi diam 2 mm, 3 mm, 4 mm. Hasil menujukan
bahwa kekuatan puntir tertinggi terdapat pada variasi panjang kerucut terpancung 4 mm
dengan hasil 153.1294 Mpa dan nilai kekuatan puntir terndah berada pada spesimen las tanpa
kerucut terpancung hal ini disebabkan semakin meningkat nilai panjang kerucut terpancung
maka kekuatan puntir yang ditimbulkan juga akan semakin besar, halini dikarenakan semakin
besarnya panjang kerucut terpancung akan membuat bidang kontak semakin kecil sehingga
heatinput akan semakin kecil sehingga akan berpengaruh pada kekuatan puntir hasil lasan.
Semakin tinggi nilai panjang kerucut terpancung, semakin besar pula kekuatan puntirnya. Hal
ini dilihat pada nilai suhu puncak tertinggi yang tercapai pada saat pengelasan dimana suhu
puncak tertinggi dicapai specimen tanpa kerucut pada suhu 416 ᵒC dan suhu terendah terdapat
pada specimen dengan panjang kerucut 4 mm. kekuatan puntir dari sambungan las gesek
12
aluminium A6061 dikarenakan pada spesimen tanpa kerucut terpancung, bidang kontak dari
spesimen yang bergesekan lebih luas sehingga panas yang masuk (heat input) pada spesimen
lebih besar.Sedangkan pada spesimen dengan panjang kerucut 4 mm, bidang kontak dari
spesimen yang bergesekan lebih kecil sehingga heat input lebih kecil.Pada pengamatan luas
daerah flash yang terbentuk bila dilihat dari foto makrostruktur patahan pada spesimen tanpa
kerucut terpancung patahan bersifat ulet dan terletak di interface lasan sedangkan pada
spesimen dengan panjang kerucut 4 mm patahan terletak pada 3,9 mm dari interface lasan,
specimen tanpa kerucut terpancung memiliki luas daerah flash sebesar 12,187 𝑚𝑚2 .
Sedangkan pada spesimen dengan panjang kerucut terpancung 4 mm memiliki luas daerah
flash sebesar 6,979 𝑚𝑚2 Hal ini disebabkan karena pada spesimen tanpa kerucut terpancung
memiliki luas kontak pada sisi diam sebesar 15 𝑚𝑚2 panas yang masuk (heat input) semakin
besar dan menyebabkan material melunak sehingga flash yang terbentuk besar dan
menyebabkan nilai kekuatan puntir menurun. Sedangkan pada spesimen dengan panjang
kerucut terpancung 4 mm memiliki luas kontak pada sisi diam sebesar 8 𝑚𝑚2 sehingga flash
yang terbentuk kecil dan meningkatkan nilai kekuatan puntir. Prosentase porositas terbesar
didapatkan pada sudut 30 dengan upset force sebesar 157 kgf, secara rata rata di dapat pada
upset force 157 kgf mempunyai prosentase porositas sebesar 0,215 %. upset force 185 kgf
mempunyai nilai prosentase porositas sebesar 0,217% dan pada upset force 213 kgf
mempunyai prosentase porositas sebesar 0,215%.
5. Lithium (Li)
Lithium untuk meningkatkan sifat tahan oksidasinya.
6. Besi (Fe)
besi mengurangi tensile kekuatan secara signifikan, baiknya dapat meningkatkan
hardness
7. Nikel (Ni)
Nikel mempertahankan sifat-sifat paduan pada kenaikan suhu.
Sifat-sifat dari paduan aluminium yang akan dijelaskan di bawah ini, yaitu:
1. Jenis Aluminium Murni
•Memiliki daya tahan karat tinggi
•Memiliki konduktivitas thermal dan listrik yang baik
•Mampu las dan potong baik
•Memiliki kekuatan yang terendah
2. Jenis paduan Aluminium Tembaga
•dipakai di kontruksi keling dan kontruksi pesawat
•sifat mekanik menyerupai baja lunak
3. Jenis paduan Aluminium Mangan
•tahan korosi baik
•Mampu dipotong
•Mampu las
•Hanya dapat dikerjakan dengan cold-working
4. Paduan jenis Aluminium Silikon
•Dalam keadaan cair sifat mampu alirnya baik
•Baik sebagai paduan cor
•Baik sebagai paduan tempa
•non-heatreatable Alloy
5. Paduan jenis Alumnium Magnesium
•Mempunyai tahan korosi air laut yang baik
• mampu las yang baik
•jenis non-heatreatable alloy
6. Paduan jenis Aluminium-Magnesium-Silikon
• tahan korosi sedang
• mampu poton gbaik
• mampu las baik
7. Paduan jenis Aluminium Zink
• tensile strength baik
• mampu lasnya kurang baik
• kurangtahan korosi
16
Pada seri paduan 6xxx, terbentuk presipetat yang umum adalah Mg 2 Si diatas suhu
rekristalisasi aluminium. Kondisi kaya partikel silikon mungkin terjadi. Berikut ini diagram
17
Pada tahap artificial aging dapat dilihat pada gambar 2.7 Dalam proses age hardening
dapat dilakukan beberapa variasi perlakuan yang dapat mempengaruhi hasil dari proses age
hardening salah satu variasi tersebut adalah variasi suhu artificial aging. Suhu artificial
aging dapat ditetapkan pada suhu saat pengkristalan paduan aluminium 150°C, dibawah suhu
pengkristalan logam paduan aluminium (Shconmetz, 1990). Artificial aging berlangsung
pada suhu 100°C-200°C. Pengambilan suhu artificial aging pada suhu 100°C-200°C akan
berpengaruh pada tingkat kekerasan sebab pada proses artificial aging akan terjadi
perubahan-perubahan fasa atau struktur. Perubahan fasa tersebut dapat mempengaruhi
peningkatan kekerasan dan kekuatan karena dalam proses ini terjadi proses presipitasi.
Presipitasi ini terjadi melalui proses nukleasi dan pertumbuhan ukuran presipitat bertambah
halus jika suhu terjadinya presipitasi diturunkan dan paduan menglami peningkatan
kekerasan yang cukup tinggi dikaitkan dengan dispersi kritis dari presipitat perubahan fasa
dalam proses artificial aging adalah sebagai berikut, (Majanasastra, 2015).
Gambar 2.7. Urutan perubahan fasa pada presipitasi pada artificial aging paduan A6061. (a)
dan (b) waktu 10 menit suhu 175ºC,(c) waktu 30 menit suhu 175ºC,(d) 4 jam suhu 175ºC ,(e)
72 jam suhu 175ºC,(f) 20 jam suhu 200ºC
Urutan presipitasi yang sebenarnya jauh lebih kompleks daripada urutan pada umumnya,
yang sering melibatkan urutan terbentuknya fase metastabil kompleks dalam kondisi yang
berbeda dan dipengaruhi oleh berbagai parameter termasuk waktu aging, suhu aging, dan
komposisi paduan.
Gambar 2.8. Kurva waktu-beban yang digunakan pada proses pengelasan gesekan
Sumber : Sahin (2010)
terdapat dua model kasus, pada kasus pertama gaya penempaan yang diterapkan pada
saat benda kerja mulai mengurangi kecepatan putarnya (benda kerja masih berputar). Ini
menyebabkan timbulnya torsi pada saat penerapan gaya penempaan pada permukaan
kontak. Besar torsi akan naik dan menurun pada saat benda kerja berhenti.
4. Fase Penempaan (Forging Phase)
Fase penempaan juga disebut dengan fase pengikatan (bonding phase). Fase penempaan
dimulai saat gaya penempaan diterapkan. Pada fase ini terjadi proses pengikatan antara
kedua benda kerja. Sebenarnya proses pengikatan telah dimulai pada saat penggesekan,
tetapi pengikatannya tidak homogen, pengikatan yang lebih homogen antara kedua benda
kerja terjadi pada fase ini. Pada saat temperature benda kerja mulai berangsur-angsur
menurun dan penekanan akan diterapkan, maka kedua permukaan akan saling kontak
dengan mendalam. Atom atom kedua material akan semakin dekat dan terjadi pengikatan
metalurgi melalui mekanisme difusi. Proses-proses lain pada fase ini seperti terjadinya
rektalisasi dan regenerasi kristal pada kedua logam dan juga creep.
d𝑄̇ = ω x dMt
Dengan :
ω = Kecepatan sudut (rad/s)
dMt = Perbedaan nilai momen torsi lingkaran yaitu dr (perbedaan jari jari dalam m).
Dengan:
Dfriction = gaya gesek lingkaran dengan lebar dr
dMt = torsi (N/m)
r = jari-jari lingkaran (m)
Kemudian bisa dijelaskan bahwa gaya gesek dfriction setara dengan koefisien gesek
dikalikan terdapat gaya aksial, tekanan melalui tekanan lingkaran dengan jari-jari menjadi :
dfriction = r x (µ x P x 2 xΠ x r xdr)
𝑅2
𝑟3
𝑄̇ = 2Π. µ. ω . P. |
𝑅1
3
2
𝑄̇ = 3 Π. µ. ω . P. ( R³) (W)
Dengan :
q : Jumlah energy mekanik persatuan waktu pada permukaan las gesek (W)
P : Frictionpressure (N/mm²)
ω : Kecepatan sudut (rad/s)
R : Radius benda kerja (m)
Mt : Momen torsi (N/m²)
µ : Koefisien gesek material
2.9 Kekerasan
136˚
𝐹 𝑥 sin 𝐹
2
VHN = = 1,854 𝐷2
𝐷2
26
Dengan :
VHN = Angka kekerasan vickers
F = Beban (kgf)
D = Diagonal (mm)
Sifat-sifat mekanik yang dapat dihitung dari pengujian puntir antara lain:
1. Tegangan Geser
Jika sebuah silinder pejal menerima beban tital atau momen puntir maka silinder pejal
tersebut akan mengalami tegangan geser. Tegangan geser akibat torsi ini dirumuskan sebagai
berikut (Dieter, 1988)
Mr . r
τ= 𝐽
dengan:
τ : Tegangangeser (N/mm2)
Mr : MomenPuntir (N.mm)
J : Momeninersia polar (mm4)
R : Jari-jari (mm)
𝜋
J = (32) D4
dengan:
J : Momen inersia polar (mm4)
D : Diameter (mm)
Mr 𝐷/2 16Mr
τmax = 𝜋𝐷4/32 = 𝜋𝐷 3
dengan:
τmax : Tegangan geser maksimum (MPa)
Mr : Momen puntir (N.mm)
D : Diameter (mm)
28
Troptometer digunakan untuk menentukan sudut puntir (), biasanya diekspresikan dalam
radian. Jika L adalah panjang uji spesimen, maka akan terlihat bahwa regangan geser
diberikan oleh.
rθ
y = tan ɸ = 𝐿
2. Momen Puntir
Momen puntir adalah tegangan geser yang dimulai dari penampang benda uji. Tegangan
geser bernilai nol pada titik pusat benda uji dan meningkat secara linear seiring pertambahan
jarak terhadap titik pusat benda uji
Dalam rentang elastic tegangan geser dapat dianggap proporsional dengan regangan
geser. Konstanta proporsionalitas Gy adalah modulus elastisitas geser, atau modulus
kekakuan.
T = Gy
Mengganti Persamaan menjadi Persamaan. Memberikan ekspresi untuk modulus geser dalam
hal geometri benda uji, puntir, dan sudut dari putaran
Mr L
ɸ= Jθ
lingkaran (n1) dan jumlah butir yang terpotong oleh batas lingkaran (n2) yang dibagi 2
dengan bilangan Jeffries.
𝑁a= f (N1+N2/2)
Dengan:
f = Bilangan Jeffries
Bilangan Jeffries didapatkan dengan cara membagi kuadrat perbesaran dengan luas
5000 mm2.
f =𝑀2 /A
Dengan:
f =Bilangan Jeffries
M =Magnification
Diameter rata-rata butir kristal bisa diketahui dengan menggunakan data grain number
dan melakukan interpolasi sesuai dengan table ASTM E112 pada Gambar 2.9 tentang grain
size sebagai berikut.
𝜎𝑦 = 𝜎0 + 𝐾𝑦 𝑑−1/2
Dengan ;
𝜎𝑦 = Tegangan Yield (MPa)
𝜎0 = Flow stress material pada ukuran butir sangat besar (MPa)
𝐾𝑦 = Koefisien Penguatan (MPa/𝑚−1/2)
D = Diameter rata rata rutir (µm)
30
Dari persamaan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pengurangan ukuran butir
meningkatkan tidak hanya kekuatan, namun juga ketangguhan dari banyak paduan. Namun
perlu diketahui bahwa persamaan hall-petch tidak bisa digunakan untuk material yang
memiliki butir yang besar dan bahan polikristalin yang memiliki butir sangat halus. (Callister,
2010).
2.11 Hipotesis
Berdasarkan tinjauan literatur dan penelitian sebelumnya dapat diduga bahwa semakin
tinggi suhu artificial aging pada durasi waktu aging yang sama maka semakin banyak
perispetat yang terbentuk sehingga meningkat kekuatan puntir namun bila suhu aing terlalu
tinggi akan menyebabkan kekuatan puntir menurun dan dengan menambahkan chamver 1
sisi baja maka semakin tinggi kekuatan puntir sambungan las.
BAB III
METODE PENELITIAN
2. Vernier Caliper
Vernier caliper digunakan untuk mengukur dimensi specimen dengan ketelitian 0,02 mm.
Gambar 3.2 menunjukkan vernier caliper yang akan digunakan untuk pengukuran.
3. Pompa Hidrolik
Pompa hidrolik digunakan ubtuk memberikan gaya penekanan saat proses pengelasan.
Gambar 3.3 menunjukkan pompa hidrolik yang akan digunakan untuk memberikan tekanan.
Merek : Eagle Pro
Tahun : 2015
4. Kamera Digital
Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan skripsi. Gambar 3.4
menunjukkan kamera yang akan digunakan ketika membuat dokumentasi skripsi.
34
5. Stopwatch
Stopwatch digunakan untuk menghitung waktu selama proses pengelasan. Gambar 3.5
adalah stopwatch yang nantinya akan digunaan pada saat penelitian.
8. Hacksaw Machine
Gambar dibawah ini merupakan alat yang digunakan untuk memotong spesimen sesuai
kebutuhan. Berikut spesifikasi mesin yang digunakan yaitu :
Merk : Kasto
Type : HBS 210/240
36
Gambar 3.13 Dimensi (a) Spesimen yang berputar (b) Spesimen yang diam
39
Keterangan:
1. Tombol pengatur kecepatan spindle
2. Tuas on/off mesin bubut
3. Chuck spindle mesin bubut
4. Spesimen las
5. Chuck specimen penekan
6. Plat penyangga chuck spesimen penekan
7. Silinder hidrolik
8. Tailstock
9. Digital Pressure Gauge
10. Pompa Hidrolik
40
2. Permukaan benda kerja yang akan diuji kekerasan Vickers harus dibersihkan dengan baik
dan digosok dengan kertas penggosok yang halus. Tujuannya agar permukaan benda kerja
yang akan diuji menjadi bersih dan rata, sehingga dapat terlihat dan terukur dengan baik
sampai ukuran ± 0,0005 mm, atau sampai ukuran sesuai standar dari mesin pengujian
Vickers yang digunakan.
3. Benda kerja diletakkan pada mesin pengujian.
4. Titik pengujian dilakukan pada daerah pengujin panas (HAZ), baik ke sisi bend kerja 1
maupun ke sisi benda kerja 2. Jarak interval antara setiap titik pengujian 1 mm.
5. Pengujian kekerasan tidak dilkukan pada setiap benda kerja, pada setiap variasi dari setiap
variasi bebas, tetapi pada benda kerja yang menunjukkkan kekuatan puntir terendah dan
kekuatan puntir tertinggi yang dipandang perlu.
Mulai
B
Quenching Media
Studi Literatur Air
Proses Artificial
Aging Pada Variasi
Mempersiapkan Suhu 125C, 150C,
Alat Dan Bahan 175C
Pembuatan Pembuatan
Proses Friction Specimen Uji Specimen Uji
Welding Dengan Puntir Kekerasan, dan
Variasi Geometry Mikrostruktur
Baja
Pengolahan Data
dan Pembahasan
Ya
Kesimpulan
dan Saran
A
Selesai
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 4.1
Hasil Pengujian Kekuatan Puntir Sambungan Las Gesek AA6061 dan SS41 Dengan
Variasi One-Side Chamfer Pada Baja dan Suhu Aging.
Kekuatan
Kekuatan Puntir Standar
Geometri Suhu F max Diameter Puntir Standar
Max Deviasi
Baja Aging (N) (mm) Rata-Rata Deviasi
(Mpa) (%)
ᵒC (Mpa)
109.76 8.05 159.5376
4.17269 2.54278
Tanpa 112.7 8.03 165.0379 164.0995
5 3
Aging 113.68 8.01 167.7231
144.06 8.01 212.5457
7.52565 3.48289
125 ᵒC 152.88 8.02 224.716 216.0744
2 8
Chamfer 144.06 8.03 210.9615
30ᵒ 113.68 8.01 167.7231
4.88131 2.88078
150 ᵒC 112.7 8.02 165.656 169.4439
7 6
118.58 8.01 174.9526
115.64 8.02 169.9775
9.25850 5.59871
175 ᵒC 104.86 8.01 154.7101 165.3685
8 2
116.62 8.02 171.418
46
Kekuatan
Kekuatan Standar
Geometri Suhu F max Diameter Puntir Standar
Puntir Max Deviasi
Baja Aging (N) (mm) Rata-Rata Deviasi
(Mpa) (%)
ᵒC (Mpa)
94.08 8.05 136.7465
7.39414 5.70446
Tanpa 83.3 8.03 121.9846 129.6203
7 5
Aging 88.2 8.01 130.13
144.06 8.03 160.7326
4.20275 2.64432
Tanpa 125 ᵒC 152.88 8.02 154.1321 158.9348
3 6
Chamfer 144.06 8.01 161.9396
113.68 8.04 160.1336
4.90805 3.11658
150 ᵒC 112.7 8.01 151.8184 157.4819
5 4
118.58 8.01 160.4937
115.64 8.02 145.4892
1.78368 1.21394
175 ᵒC 104.86 8.03 146.3815 146.9324
5 9
116.62 8.01 148.9266
4.2 Pembahasan
Setelah dilakukan pengujian diperoleh data dan nilai dari hasil proses pengujian tarik,
kemudian diteruskan dengan proses pengolahan data berupa grafik yang nantinya akan
memudahkan dalam menganalisa data pengujian. Dengan parameter hubungan antara
diameter gesek dan waktu gesek terhadap nilai kekuatan tarik sambungan las gesek
dissimilar alumunium A6061 dengan baja SS41.
250.0 216.0744
Nilai Kekuatan Puntir Rata-
200.0 164.0995 169.4439
158.9348 157.4819 165.3685
146.9324
Rata (MPa)
150.0 129.6203
100.0 Chamver 30
Tanpa Chamfer
50.0
0.0
Tanpa T125 C T150 C T175 C
Perlakuan
Suhu Aging (℃)
Gambar 4.1 Grafik Hubungan geomteri Penambahan Chamfer dan Variasi Suhu Aging
Terhadap Kekuatan Puntir sambungan Las Gesek AA6061 dan SS41
Pada Gambar 4.1 terlihat pada grafik dimana kekuatan puntir specimen dengan
penambahan chamfer 30ᵒ memiliki kekuatan puntir yang lebih tinggi dari specimen tanpa
chamfer disetiap variasi suhu artificial aging. Untuk variasi perlakuan suhu artificial aging
kekuatan puntir terendah terdapat pada variasi tanpa perlakuan dimana untuk specimen
tanpa penambahan chamfer memiliki kekuatan puntir 129.62 Mpa dan untuk specimen
dengan penambahan chamfer 30ᵒ memiliki kekuatan puntir 164.09 Mpa. Sedangkan untuk
kekuatan puntir tertinggi terdapat pada variasi perlakuan suhu aging 125 ᵒC dimana untuk
specimen tanpa chamfer memiliki kekuatantan puntir 158.93 Mpa dan untuk specimen
dengan penambahan chamfer 30ᵒ memiliki kekuatan puntir 169.44 Mpa
Berdasarkan variasi perlakuan suhu aging memiliki kecenderungan dimana specimen
dengan kekuatan puntir terendah dimiliki oleh specimen tanpa perlakuan sebesar 129.62
Mpa lalu setelah diperlakukan aging kekuatananya puntirnya bertambah hingga mencapai
kekuatan puntir tertinggi di variasi perlakuan suhu aging 125 ᵒC sebesar 164.09 Mpa .
dikarenakan perlakuan aging membentuk prespetat Mg2Si sehingga kekerasannya
meningkat Lalu kekuatan puntir mengalami penurunan kekuatan secara bertahap pada
variasi perlakuan suhu aging 150 ᵒC dan 175 ᵒC, dikarenakan butiran alumnium yang
membesar dan perispetat yang mulai memudar dikarenakan semakin tingginya suhu agin
dalam durasi aging yang sama.
Berdasarkan varisi penambahan One side chamfer didapati kecenderungan untuk
specimen dengan penamabahan chamfer 30ᵒ memiliki kekuatan puntir yang lebih tinggi
dari specimen tanpa penambahan chamfer. Hal ini dikarenakan pada penambahan chamfer
48
30ᵒ suhu pengelasan maksimum yang dapat diminimalisir sehingga perubahan struktur
butir aluminium dapat minimalisir
200
190
180
170
160
Temperatur (℃)
150
140
130
120
110
Suhu Ruang
100
90
80
70 Tanpa
60
50
40 Chamfer
30
20
10
0
0 5 10 15 20 25 30Waktu
35 40(s)45 50 55 60 65 70 75
Gambar 4.2 Grafik Temperature Pengelasan Maksimum Spesimen Dengan Chamfer 30ᵒ
dan Tanpa Chamfer
Dari gambar 4.2 terlihat untuk kekuatan puntir terendah pada specimen tanpa
penambahan chamfer memiliki suhu pengelasan maksimum yang tinggi sebesar 185 ᵒC
berbeda untuk specimen dengan kekuatan puntir tertinggi pada variasi specimen dengan
penambahan chamfer dimana terlihat memiliki suhu pengelasan yang lebih rendah pada 15
ᵒC. perbedaan tingginya suhu pengelasan terjadi dikarenakan pada specimen dengan
penambahan chamfer 30 memiliki membutuhkan waktu gesek sekitar 6-7 detik untuk
mencapai nilai BOl 15 mm lebih singkat daripada specimen tanpa penambahan chamfer
yang membutuhkan waktu gesek sekitar 15-16 detik
Hal ini dikarenakan penambahan chamfer 30ᵒ membuat gaya tekan awal terakumulasi
di luas wilayah yang lebih kecil sehingga logam baja lebih mudah melakukan penetrasi
kedalam logam aluminium sehingga parameter BOL (Burnt of Length) 15 mm dapat
dicapai dalam waktu yang lebih singkat daripada specimen tanpa pemberian chamfer
untuk mencapai BOL 15 mm. Karena BOL 15 mm dicapai dalam waktu yang lebih singkat
membuat suhu pengelasan maksimum tercapai lebih rendah dari suhu pengelasan
maksimum specimen tanpa penambahan chamfer.
Temperature yang terlalu tinggi akan mengakaibatkan temperature menyebar ke
material utama sehingga terbentuk daerah ZPD (partly deformed zone) yang besar. Pada
daerah ZPD panas yang terlalu tinggi merubah struktur butiran logam aluminium sehingga
49
Tabel 4.2
Total burnt off length Sambungan Las Dengan Variasi One-Side Chamfer Pada Baja dan
Suhu Aging.
Dari tabel 4.2 terlihat specimen dengan penambahan chamfer 30ᵒ memiliki total burnt
of lengtht sebesar 21,12 mm yang lebih besar daripada specimen tanpa penambahan
chamfer sebesar 20,12 mm. Hal ini dikarenakan specimen dengan penambahan geometri
chamfer 30ᵒ memiliki luas wilayah kontak yang lebih kecil sehingga gaya tekan akhir yang
diberikan dapat lebih terpusat sehingga laju aliran deformasi logam dapat berjalan lebih
halus daripada dengan specimen tanpa penambahan chamfer yang memiliki geometri luas
permukaan yang luas, Akibatnya laju difusi atom yang terjadi pada specimen dengan
panambahan chamfer lebih sering daripada sepcimen tanpa penambahan chamfer, Difusi
yang terjadi ini akan membentuk ZPL (plasticised zone) yang berupa daerah terderformasi
sempurna yang nantinya meningkatkan kekuatan puntir sambungan,
A B
Gambar 4.3 Foto Makrostruktur Sambungan Specimen A) Specimen Aging 125 C Chamfer
(Kekuatan Puntir Tertinggi). B)Specimen Tanpa Perlakuan Tanpa Chamfer (Kekuatan
Puntir Terendah)
Dari Gambar 4.3 dapat dilihat penampakan foto makrostruktur pada spesimen dengan
penambahan chamfer memiliki permukaan flash yang lebih rata dibandingkan specimen
tanpa pemberian chamfer. Hal ini dikarenakan geometri chamfer membuat aliran flash
yang terbentuk keluar tidak terhalangi geometri spesimen. Sehingga spesimen baja lebih
mudah menekan mendeformasi specimen aluminium.
51
dapat kita bandingkan pada spesimen tanpa perlakuan tanpa chamfer memiliki luas
ZPD yang lebih besar dari pada spesimen tanpa perlakuan dengan chamfer, namun
memiliki luas ZPL yang lebih rendah dari specimen tanpa perlakuan dengan chamfer, dari
ZPD yang meluas membuat kekuatan puntir menurun akibat material yang terpengaruh
panas hasil proses las mengakibatkan perubahan struktur butir, sedangkan dengan
bertambahnya luas ZPL maka terbentuk lebih banyak ikatan yang terbentuk akibat difusi
sehingga kekuatan tarik dapat meningkat.
Nilai kekuatan puntir tertinggi terdapat pada spesimen pelakuan suhu aging 125 C
dengan penambahan chamfer, terlihat sebagian zona ZPD mengalami pengerasan akibat
perlakuan solution treatment dan aging sehingga timbul perispetat Mg 2 Siyang
meningkatkan kekerasan material. Mg 2 Si yang mengendap diantara batas butir yang akan
menghambat laju deformasi sehingga mampu meningkatkan kekuatan puntir pada material
aluminium.
Tabel 4.3
Luas Daerah ZPL Dan ZPD Sambungan Las Kekuatan Tarik Tertinggi dan Terendah
Variasi Variasi Suhu Luas ZPL Luas ZPD Kekuatan
Geometri Aging (mm2 ) (mm2 ) Puntir
Chamfer (Mpa)
Tanpa Chamfer Tanpa perlakuan 42.95 70.691 129.64
Chamfer 30ᵒ 125 C 13.709 23.838 216.07
Dari tabel 4.3 dengan mengunak software ImageJ luas daerah ZPL dan ZPD diukur
dengan cara melingkari daerrah ZPL dan ZPD. didapati specimen tanpa perlakuan tanpa
penambahan chamfer meiliki luas ZPD sebesar 70,691 mm2 paling besar dari seluruh
specimen menjadikan specimen tanpa perlakuan tanpa penambahan chamfer memiliki
kekuatan tarik yeng terendah , sedangkan untuk specimen perlakuan aging 125 ᵒC dengan
penambahan chamfer memiliki luas ZPD terkecil sebesar 23,838 mm2 menjadikan
specimen perlakuan aging 125 ᵒC dengan penambahan chamfer memiliki kekuatan tarik
tertinggi ,
Dari data luas daerah ZPL dan ZPD pada aluminium dapat diketahui bahwa pemberian
perlakuan solution heat treatment dan aging dapat memulihkan struktur butir pada
52
aluminium , dengan berkurangnya daerah ZPD dengan pemberian perlakuan aging maka
akan diikuti dengan meningkatnya kekuatan puntir sambungan.
Tabel 4.4
Foto Makrostruktur Specimen Dengan Kekuatan Puntir Tertinggi dan Terendah.
Specimen Foto Letak Patahan Foto Interface (Baja) Foto Interface
(Aluminium)
Tanpa
Perlakuan
Tanpa
Chamfer
(Kekuatan
Puntir
Terendah)
Aging 125 C
Chamfer
(Kekuatan
Puntir
Tertinggi)
Pada Tabel 4.4 terlihat setelah dilakukan pengujian puntir patahan yang terjadi pada
specimen dengan kekuatan terendah specimen tanpa perlakuan tanpa penambahan chamfer
mengalami patahan di daerah ZPD tepatnya 2 mm dari sambungan, terlihat pada foto
inteface baja dan aluminium terdapat bentuk patahan ulet akibat aluminium yang
terdeformasi akibat beban puntir. Berbeda pada specimen dengan kekuatan tarik terkuat
pada specimen dengan perlakuan aging suhu 125 C dengan penambahan chamfer 30
dimana patahan terjadi pada sambungan interface baja dan aluminium, terlihat pada
interface baja sebagian aluminium menempel pada baja, hal ini terjadi dikarenakan
penambahan perlakuanaging pada suhu 125 C mengakibatkan daerah ZPD yang tadinya
memiliki struktur butiran yang besar dan tidak homogen karena terpengaruh panas
pengelasan mengalami pengerasan akibat terbentuknya presipetat Mg 2 Si, dengan
meningkatnya kekerasan aluminium maka kekuatan aluminium pun meningkat menjadi
53
lebih tinggi daripada kekuatan sambungan las aluminium baja sehingga patahan yang
terjadi berada di daerah sambungan las.
(A) (B)
Gambar 4.4 Foto Mikrostrukur Sambungan Specimen Kekuatan Puntir Terendah Specimen
Tanpa Perlakuan Tanpa Penambahan Chamfer, (B)Specimen Kekuatan Puntir Tertinggi
Specimen Perlakuan Aging 125 C Dengan Penambahan Chamfer 30.
Dari gambar 4.4 Dari gambar mikrostruktur didapati pada specimen tanpa chamfer
memliki lapisan intermetalic dengan ketebalan 18,18 цm lebih besar daripada specimen
dengan penambahan chamfer 30 sebesar 3,95 цm hal ini terjadi dikarenakan pada specimen
dengan Penambahan chamfer 30 memiliki heat input yang lebih rendah daripada specimen
tanpa penambahan chamfer
54
(A) (B)
(C) (D)
(E)
Gambar 4.5 Foto Mikrostruktur Patahan Specimen (A) Tanpa Perlakuan Tanpa
Penambahan Chamfer, (B) Specimen Tanpa Perlakuan Dengan Penambahan Chamfer
30.(C) Specimen Perlakuan Aging 125C Tanpa Penambahan Chamfer 30 (D) Specimen
Perlakuan Aging 125C dengan Penambahan Chamfe 30. (E) Base Metal.
55
f =𝑀2 /A
f =947.52 /5000
f =179,5
Dimana:
f =Bilangan Jeffries
M =Magnification
A =Luas area lingkaran (5000 𝑚𝑚2 )
𝑁a= f (N1+N2/2)
𝑁a= 179.5 (214+62/2)
𝑁a= 179.5 (214+31)
𝑁a= 179.5 (245)
𝑁a= 43.990,06 pcs/ 𝑚𝑚2
𝐺 = (3,321928 log 10 𝑁a) - 2,954
𝐺 = (3,321928 log43.990) – 2,954
𝐺 = 12.47089
Dimana:
Na = Banyak Butir per Luas (pcs/ 𝑚𝑚2 )
f = Bilangan Jeffries
N1 = Banyaknya Butir didalam Lingkaran
N2 = Banyaknya Butir berpotongan dengan Lingkaran
56
Tabel 4.5 menunjukkan ukuran butir rata-rata pada spesimen dengan variasi kekuatan
puntir terendah pada specimen tanpa perlakuan tanpa penambahan chamfer memiliki
diameter butir pada daerah las 5.53, μm dan untuk variasi kekuatan puntir tertinggi pada
specimen tanpa perlakuan aging dengan chamfer 30 memiliki diameter butir sebesar 5,40
μm. Sedangakan untuk alumnium base metal memiliki ukuran diameter butir rata rata 4,75
μm
Specimen tanpa perlakuan dengan chamfer terlihat memiliki ukuran butri yang lebih
besar daripada specimen bas metal hal ini dikarenakan dsaat pengelasan heat input yang
dibangkitkan saat pengelasan memepengaruhi pertumbuhan besar butir alumnium sehingga
kekuatan puntirnya akan menurun jika dibandingkan base metal
Pertambahan ukuran butir terlihat juga pada specimen tanpa perlakuan tanpa
penambahan chamfer memiliki ukuran yang lebih besar dikarenakan specimen tanpa
penambahan chamfer mengalami heat input yang lebih besar daripada heat input specimen
chamfer sehingga butiranya mengalami pertumbuhan besar butir yang lebih signifikan
sehingga akan menurunkan kekerasannya yang membuat aluminium lebih mudah
57
terdeformasi yang nanti akan menghasilkan kekuatan puntir yang lebih rendah dari
specimen dengan butiran yang lebih kecil
Hal tersebut sesuai dengan persamaan hall-petch dimana dengan bertambah besarnya
diameter butir maka semakin besar pembagi dari koefisien penguatan sehingga semakin
kecil nilai tegangan yield yang dihasilkan
Untuk specimen dengan perlakuan aging 125 tanpa penambahan chamfer memiliki
dimaeter rata rata butir sebesar 8,69 μm sedangkan untuk specimen dengan perlakuan
aging 125 C dengan penambahan chamfer memiliki ukuran butir sebesar 8,01μm dimana
ukuran butir meningkat dikarenakan paas yang mauk saat proses aging menyebabkan
pertumbuhan ukuran butir
50 79
67.160.3 64.9 68.9 73.7
0
-6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6
Jarak (mm)
Gambar 4.6 Grafik Hubungan geomteri Penambahan Chamfer dan Variasi Suhu Aging
Terhadap Kekerasan daerah sambungan Las Gesek AA6061 dan SS41
Dari gambar 4.6 adalah hasil uji kekerasan vikers pada sambungan las diambil 9 titik
dimana 4 titik terletak pada spesimen yang baja, 1 titik pada interface, dan 4 titik lainnya
pada spesimen yang aluminium. Pengambilan sampel kekerasan hanya dilakukan
padaspesimen dengan kekuatan tarik tertinggi dan kekuatan tarik terendah
denganmenggunakan pembebanan 50 gf dengan waktu indentasi 6 detik.Jarak yang
terletak disebelah kiri pada Gambar 4.6, yaitu -5, -4, -3, -2, -1, dan -0.5 merupakan
58
specimen bajasedangkan jarak yang terletak di sebelah kanan pada Gambar 4.3 yaitu 0.5,
1, 2, dan 3, 4, 5merupakan specimen Aluminium A6061.
terlihat bahwa nilai kekerasan terendah berada pada jarak 1-2 mm dari sambungan las
yang merupakan daerah ZPD dimana pada daerah ini aluminium terpengaruh panas
pengelasan dan tekanan namun tidak mengalami deformasi yang sempurna, akibat panas
pengelasan yang terlalu tinggi struktur butir menjadi berubah membesar dan tidak
homogen sehingga saat dilakukan Pengujian kekerasan indentor pengujian kekerasan lebih
mudah untuk mendeformasi logam aluminium. Dari grafik tersebut terlihat juga dengan
penambahan perlakuan aging pada suhu 125 C mampu menambah nilai kekerasan pada
aluminium. Dengan bertambahnya kekerasan membuat aluminium sulit untuk terdeformasi
sehingga nilai kekuatan puntir maksimum pun turut bertambah.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian Pengaruh Suhu Aging dan penambahan
One side chamfer tehadap kekuatan puntir sambungan las AA6061 dan Baja SS41 adalah
sebagai berikut.
1. Pemberian perlakuan aging dapat meningkatkan kekuatan puntir sambungan las AA6061
dan Baja SS41 dikarenakan aluminium mengalami pengerasan kembali setelah proses
pengelasan akibat terbentuknya perispetat Mg2Si. Namun dengan semakin meningkatnya
suhu artificial aging maka kekuatan puntir akan menurun dikarenakan butiran yang
membesar dan presipetat yang memudar.
2. Penambahan one side chamver 30 meningkatkan kekuatan puntir sambungan las
AA6061 dan Baja SS41 geometri hamver yang mengecil menyebabkan friction force
dapat lebih mudah mendeformasi aluminium mengakibatkan waktu gesek yang lebih
singkat sehingga suhu pengelasan maksimum menjadi lebih rendah membuat daerah
ZPD yang terbentuk lebih sedikit.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh dari durasi waktu aging untuk
menemukan nilai kekerasan yang lebih baik
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh suhu pengelasan untuk menemukan
kekuatan las yang lebih baik
Halaman ini snegaja dikosongkan
DAFTAR PUSTAKA
Abdulla, F.A.M., Irawan, Y.S., Darmadi, D.B. 2018. Tensile Strength and
MacroMicrostructures of A6061 CDFW Weld Joint Influenced by Pressure and Holding
Time in the Upset Stage. Jurnal Rekayasa Mesin Vol. 9, No.2, p. 149-154
Altenpohl, D. 1982. Aluminum Viewed from Within: An Introduction into the Metallurgy of
Aluminum Fabrication. Dusseldorf: Aluminum-Verlag., p. 3.
Alves, P.E., Neto, F.P., & Chen,Y.A. 2010. Welding of AA 1050 Aluminum with AISI 304
Stainless Steel by Rotary Friction Welding Process. Journal of Aerospace Technology
and Management (Sao Jose Dos Campos), Vol. 2. No. 3, pp. 301-306.
Ambroziak, A., Korzeniowski, M., Kustroo, P., Winnicki, M., Sokołowski, P., &
Harapioska,E. (2014).Friction welding of aluminium and aluminium alloys with steel.
Advances in Materials Science and Engineering.
American Society for Testing and Materials. 2004. Standard Test Methods for Determining
Average Grain Size. ASTM Designation E 112-96. ASTM International. West
Conshohocken
American Welding Society B4,0;2007. Standard Methods for Mechanical Testing of Welds.
ASM Handbook 02. (1992). Properties and Selection: Nonferreous Alloy and Special –
Purpose
Materials (Vol. 2). ASM International.
Avner, Sydney H. 1974. Introduction to Physical Metallurgy. New York: McGraw-Hill
Callister, William D. 2001. Fundamentals of Materials Science and Engineering. USA: John
Wiley & Sons
Dieter, George E. 1988. Mechanical Metallurgy. Singapore: McGraw-Hill
Ding, Y., You, G., Wen, H., Li, P., Tong, X., Zhou, Y. 2019. Microstructure and Mechanical
Properties of Inertia Friction Welded Joints Between Alloy Steel 42CrMo and Cast Ni-
based Superalloy K418. Journal of Alloys and Compounds, p. 176-184. Elsevier
Dwiananta E. P., Irawan Y. S., Siswanto E.. (2019). Effect of Friction Time and One Side
Chamfer Angle Variations on The Torsion Strength of Joints Continuous Drive Friction
Welding A6061.
E.Ravikumar, N.Arunkumar, and Sunnapu Gunhie Samhit. (2013). Characterization of
Mechanical Properties of Aluminum (AA6061-T6) By Friction Welding. International
Conference on Mechanical, Automotive and Materials Engineering (ICMAME'2013),
127 131.
Groover, Mikell P. 2010. Fundamentals of Modern Manufacturing. USA: John Wiley &
Sons
Irawan, Y. S., Imawan, B., Soenoko, R., Purnomo, H., 2016, Effect of Surface Roughness and
Chamfer Angle on Tensile Strength of Round Aluminum A6061 Produced by Continuous
Drive Friction Welding. Journal of Engineering and Applied Sciences 11 Vol.6 p. 1178-
1185. Medwell Journals
Irawan, Y. S., Wirohardjo, M., Ma’arif, M.S., 2012, Tensile Strength of Weld Joint Produced
by Spinning Friction Welding of Round Aluminum A6061 with Various Chamfer Angles.
Advanced Materials Research Vol. 576, 761-765. Trans Tech Publications, Switzerland.
J.R. Raj Tewan, Irawan Y. S., Siswanto E. (2019). Pengaruh Friction Time Dan Diamater
Gesek Baja Terhadap. 1-6.
Pah J. C. A.,Irawan Y. S. , Suprapto W. (2018). Pengaruh Waktu Dan Tekanan Gesek
Terhadap Kekuatan Tarik Sambungan Paduan Aluminium Dan Baja Karbon Pada
Pengelasan Gesek Continuous Drive. Jurnal Rekayasa Mesin , 51-59.
Jedrasiak, P., Shercliff, H.R., McAndrew, A.R., Colegrove, P.A. 2018. Thermal Modelling
of Linear Friction Welding. Journal of Materials and Design, p. 362-369. Elsevier
Kalpakjian, Serope. 2014. Manufacturing Engineering and Technology. Singapore:
Pearson Education Inc.
Lumley, Roger. (2011). Fundamental of aluminium metallurgy. United Kingdom: Woodhead
Publishing Limited.
Kutz, Myer. 2009. Eshbach’s Handbook of Engineering Fundamentals, Fifth Edition. New
Jersey. John Wiley & Sons
Lin, C.B., Mu, C. K., Wu, W. W. dan Hung, C.H. 1999. The Effect of Joint Design and
Volume Fraction on Friction Welding Properties of A360/SiC Composites. Welding
Research Supplement. Department of Mechanical Engineering. Tamkang University.
Taiwan. Welding Journal Vol. 78 No. 3 p. 100-109
M. Kimura, H. Ishii, M. Kusaka, K. Kaizu and A. Fuji. (2009). Joining phenomena and joint
strength of friction welded joint between aluminium–magnesium alloy (AA5052) and low
carbon steel (Vol. 14). Maney on behalf of the Institute.
Polmear, Ian. 2017. Light Alloys Metallurgy of the Light Metals. Cambridge: Elsevier
Rn, Shubhavardhan, Surendran S (2012). “Friction Welding To Join Dissimilar Metals”,
Department Of Ocean Engineering and IIT Madras, Chennai 600036, India
Sahin, Mumin. 2007. Joining of Stainless Steel and Aluminium Materials by Friction Welding.
International Journal of Advanced Manufacture Technology Vol. 41 p. 487- 497
Sahin, Mumin dkk. 2010. “Modelling of Friction Welding”. Faculty of Engineering and
Arch. Mechanical Engineering Trakya University.
Sahin, M., & Misirli, C. 2013. Mechanical and Metallurgical Properties of Friction Welded
Aluminium Joints. Edited, Zaki Ahmad. INTECH, Ch. 11, p. 278-300.
Sahoo, R. dan Samantaray P. 2007. Study of Friction Welding. Rourkela: Department of
Mechanical Engineering National Institute of Technology Rourkela India.
Santoso, E.B., Irawan, Y.S., Sutikno E. 2012. Pengaruh Sudut Chamfer Dan Gaya Tekan
Akhir Terhadap Kekuatan Tarik Dan Porositas Sambungan Las Gesek Pada Paduan
Al-Mg-Si. Jurnal Rekayasa Mesin Vol. 3 No. 1 p. 293-298
Sathiya, P., Aravindan, S. & Haq, A. N. 2007. Effect of Friction Welding Parameters on
Mechanical and Metallurgical Properties of Ferritic Stainless Steel, International
Journal of Advanced Manufacture. Vol. 31, p.1076-1082.
Setyawan, P.E., Irawan, Y.S., Suprapto, W. 2014. Kekuatan Tarik dan Porositas Hasil
Sambungan Las Gesek Aluminium 6061 dengan Berbagai Suhu Aging. Jurnal Rekayasa
Mesin Vol.5, No.2 p. 141-148
Totten, George E., MacKenzie, Scott. 2003. Handbook of Aluminum Physical Metallurgy
and Processes. New York: Marcell Dekker
Tyagita, D. S. Irawan, Y . S dan Sutikno, E. (2014). Kekuatan Puntir dan Porositas Hasil
Sambungan Las Gesek Al-Mg-Si dengan Variasi Chamfer dan Gaya Tekan Akhir. Jurnal
Rekayasa Mesin, 5, 69-74.
Uzkut, Mehmet, et. al. (2010). Friction Welding And Its Applications In Today’s World.
Sarajevo:
InternationalSymposium on Sustainable Development.
Wiryosumarto. (2000). Teknologi Pengelasan Logam. Pradnya Paramita.
Vander Voort, G.F. 1999. Metallography: Principles and Practice. New York: ASM
Internationa
LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Telah Melakukan Pengujian Kekuatan Puntir
Lampiran 2 Foto Spesimen Sebelum Pengelasan
Ra 0.484 µm
Rq 0.595 Baja
µm SS41 Alumunium A6061
Rz 2.472 µm
Copyright (C) 2013 Mitutoyo Corporation
Ra 2.455 µm
Rq 3.032 µm
Rz 13.677 µm
Copyright (C) 2013 Mitutoyo Corporation
Ra 2.567 µm
Rq 3.165 µm
Rz 14.563 µm
Copyright (C) 2013 Mitutoyo Corporation
Variasi Tanpa Perlakuan Tanpa Chamfer daerah Zpl (Kekuatan Puntir Terendah)
Variasi Tanpa Perlakuan Tanpa Chamfer daerah Zpd