Anda di halaman 1dari 19

APAKAH BUDAYA DAN KEMAMPUAN PENELITIAN PENTING

DALAM ERA PENDIDIKAN ABAD 21?

Abstrak

Pada era pendidikan abad 21 yang sering disebut sebagai masa pengetahuan (knowledge
era) atau dikenal dengan digitalisasinya dimana teknologi dan perkembangan ilmu
pengetahuan memegang peran penting. Di era pendidikan abad 21 yang berorientasi pada
perkembangan ilmu pengetahuan yang dinamis dan termutakhirkan, dimana paradigma
pembelajaran abad 21 yang bersinggungan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, salah
satunya adalah dharma penelitian dan pengembangan dengan pentingnya pembentukan budaya
penelitian serta memperhatikan kemampuan penelitian yang harus dimiliki dosen dan
mahasiswa selaku civitas academia yang melakukan pembaharuan dinamis pada ilmu
pengetahuan. LPPM yang memegang peran penting sebagai Lembaga penelitian dan
pengabdian di lingkup perguruan tinggi memiliki tugas dalam hal pengembangan penelitian di
perguruan tinggi agar tercapainya Tri Dharma Perguruan Tinggi. Terbentukya budaya
penelitian akan berdampak pada pembentukan revolusi mental generasi muda yang kritis dan
inovatif. Selain itu, melalui budaya penelitian yang terbentuk diharapkan Indonesia mampu
menyongsong era pendidikan abad 21 dengan penuh kesiapan sehingga dapat mengoptimalkan
era pendidikan abad 21.

Kata kunci: Pendidikan abad 21, budaya penelitian, civitas academia, perguruan tinggi

Pendahuluan

Abad 21 yang dikenal sebagai era digital atau masa pengetahuan (knowledge age)
dengan salah satu ciri yang paling menonjol pada abad ini yaitu semakin bertautnya dunia ilmu
pengetahuan, sehingga sinergi di antaranya menjadi semakin cepat. Pada era pendidikan di
abad 21 pembaharuan ilmu baru dan sumber belajar semakin termutakhirkan dengan gencarnya
perguruan tinggi melaksanakan kegiatan penelitian.

Akhir-akhir ini gencar dilakukannya riset penelitian di perguruan tinggi dalam rangka
pengimplementasian salah satu Tri Dharma Perguruana Tinggi, yaitu pada dharma penelitian
dan pengembangan oleh civitas academia diantaranya dosen dan mahasiswa sebagai seorang
ilmuwan. Melalui tingkat keaktifan suatu perguruan tinggi melakukan penelitian juga
menggambarkan kualitas perguruan tinggi tersebut. Para akademisi khususnya dosen dan
mahasiswa merupakan pemeran penting dalam keberjalanan riset pada perguruan tinggi.
Melalui keberjalanan riset atau penelitian di perguruan tinggi, maka akan terbentuk suatu
budaya penelitian dimana kemampuan penelitian dari ilmuwan yang terdiri dari dosen dan
mahasiswa juga akan terbentuk.

Apabila dikaitkan, terbentuknya budaya penelitian dan kemampuan penelitian,


merupakan kompnen penting yang harus dimiliki oleh civitas academia, terutama dosen dan
mahasiswa yang berperan sebagai ilmuwan yang menjadi agen pembaharuan ilmu pengetahuan
yang bersifat dinamis dengan ilmu-ilmu segar yang temutahkhirkan. Budaya penelitian yang
terbentuk di perguruan tinggi tidak terlepas dari peran LPPM yang ada di perguruan tinggi
selaku Lembaga yang dapat melakukan controlling terhadap keberjalanan riset di suatu
perguruan tinggi. Melalui pembentukan budaya penelitain, secara tidak langsung jugaakan
berdampak pada pembentukan revolusi mental generasi penerus bangsa. Hal itu dapat saja
terjadi karena dengan pembiasaan pada budaya penelitian, mahasiswa yang berlaku sebagai
agent of change akan membentuk pribadi yang berkarakter kuat dengan pemikiran yang kritis,
inovatif, dan visioner ke depan menyesuaikan dinamika penelitian. Berdasarkan uraian di atas,
penulis mencoba mengkaji pentingnya budaya penelitian dan kemampuan penelitian pada era
pendidikan abad 21.

Karakteristik Era Pendidikan Abad 21

Pada abad 21 yang dikenal sebagai era digital dan pengetahuan (knowledge age),
dimana semua sektor, termasuk pendidikan memaksimalkan peran digitalisasi, serta dimana
teknologi dan pengetahuan memainkan peran mendasar dalam pendidikan (Henrisken et al.,
2016; Sumardi, Rispawati, & Ismail, 2017). Untuk itu, pembangunan pendidikan harus
berorientasi pada pemanfaatan ICT (Information Communication and Technology) sebagai
sistem manajemen di abad ini. Tuntutan pendidikan pada abad 21 dengan mengintegrasikan
teknologi informasi dan komunikasi dalam prosesnya, sehingga apabila pada pengintegrasian
pendidikan penerapan teknologi informasi dan komunikasi tidak dilibatkan maka suatu
pendidikan dapat mengalami kemunduran, bahkan kegagalan (Dass, 2014). Demikian pula,
subjek pendidikan harus merevitalisasi praktik pedagogis dasar mereka, dari teori instruksional
ke praktik. Hashim (2014) berpendapat bahwa landasan teori belajar mengajar di abad 21 tidak
hanya melandasi “konstruktivisme” tetapi juga filosofi pembelajaran “konektivisme”, di mana
objek pembelajaran terhubung melalui media digital. Demikian pula dalam praktiknya,
pendekatan dan paradigma belajar mengajar telah bergeser dari pembelajaran yang berpusat
pada objek pembelajaran menjadi pembelajaran langsung yang dilakukan oleh objek
pembelajaran itu sendiri (Hashim, 2014;Fadli, 2020), selain itu objek pembelajaran mencari
ilmu dan pemahaman mereka terkait suatu materi melalui penelitian, sehingga mereka tidak
hanya menerima ilmu tersebut tetapi juga mengalami proses penemuannya (Ismail, 2017;
Wijaya dkk., 2016). Pada pembelajaran abad 21, objek pembelajaran mencari informasi dari
berbagai sumber melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi karena
memungkinkan mereka untuk mengakses beragam informasi kapan saja dan di mana saja
(Wijaya et al., 2016). Teknologi informasi dan komunikasi telah menghasilkan efek mendalam
pada pengajaran dan pembelajaran bagi seluruh komponen pembelajaran (Ghavifekr & Rosdy,
2015), dan memberikan kesempatan untuk menciptakan pembelajaran yang kreatif dan efektif
(Oxana & Moeller, 2012).Teknologi informasi dan komunikasi juga bermanfaat dan
memberikan kesempatan kepada objek pembelajaran untuk mengakses informasi dalam jumlah
tak terbatas dengan cepat, membangun jaringan dan komunikasi yang memungkinkan mereka
belajar dengan kecepatan mereka sendiri dan mendorong mereka untuk lebih kreatif dan aktif
dalam melakukan penelitian sehingga tidak bergantung pada subjek pembelajaran (Oxana &
Moeller, 2012; Ghavifekr & Rosdy, 2015).

Oleh karena itu, teknologi informasi dan komunikasi mengubah proses belajar
mengajar dari pembelajaran yang berpusat pada subjek pembelajaran menjadi pembelajaran
yang berpusat pada objek pembelajaran, yang berdampak langsung pada efektivitas praktik
pedagogis (Ghavifekr & Rosdy, 2015). Paradigma pembelajaran abad 21 mengarah pada
pengembangan kompetensi objek pembelajaran, seperti berpikir kritis, komunikasi, kolaborasi,
berpikir kreatif, dan inovasi (Ismail, 2017), metakognisi, literasi informasi dan TIK, serta
pemecahan masalah sebagai kreativitas dan inovasi pembelajaran. Selain itu, aspek
pembelajaran terpenting yang menjadi fokus pembelajaran abad 21 adalah kolaborasi, salah
satu tujuan pendidikan yang paling esensial, dalam hal ini adalah kunci untuk belajar di abad
ini . Selain itu, kolaborasi memiliki dampak positif pada pembelajaran dan ingatan siswa, serta
pada kemampuan mereka menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan (OECD,
2013). Semua tujuan pembelajaran tersebut ditujukan untuk mencapai apa yang dikonstruksi
oleh UNESCO, yaitu “learning to know, learning to do, learning to be, and learning to live
together”. Selain digitalisasi, ciri khas lain dari abad 21 adalah dikenal dengan masa
pengetahuan (knowledge of age) dimana terdapat tiga keterampilan utama agar objek
pembelajaran sukses dalam kehiduapan abad 21. Ketiga ketrampilan tersebut adalah
keterampilan belajar dan berinovasi, ketrampilan informasi, media dan teknologi, serta
ketrampilan hidup dan kerja (Trilling & Fadel,2009). Secara lebih rinci agar individu berhasil
hidup di abad 21 maka individu tersebut harus memiliki tujuh ketrampilan. Ketujuh
keterampilan tersebut adalah kemampuan berpikir kritis dan ketrampilan mengatasi maslah,
ketrampilan melakukan kolaborasi dan memimpin, tangkas dan mudah beradaptasi, mampu
berkomunikasi secara efektitf, terampil mengakses dan menganalisis informasi, serta miliki
rasa ingin tau dan imajinasi yang tinggi. Dimana semua keterampilan tersebut dapat terbentuk
melalui kegiatan penelitian yang dilakukan oleh objek pembelajaran. Dalam konteks
pendidikan tinggi, aktifitas penelitian merupakan komponen penting bagi akademisi, terutama
dosen dan mahasiswa. Melalui kegiatan penelitian, dapat menggambarkan tolak ukur dosen
dan mahasiswa sebagai bentuk profesionalitas menjadi bagian dari seorang ilmuwan.

Tantangan Perguruan Tinggi pada Era Pendidikan Abad 21

Di era pendidikan abad 21 yang juga dikenal sebagai masa pengetahuan (knowledge
age), dimana pada era pendidikan abad 21 ini, segala alternatif upaya pemenuhan kebutuhan
hidup dalam berbagai konteks lebih berbasis pengetahuan. Upaya pemenuhan kebutuhan
bidang pendidikan berbasis pengetahuan (knowledge based education), pengembangan
ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge based economic), pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge based social empowering), dan
pengembangan dalam bidang industri dengan basis pengetahuan (knowledge based industry)
(Wijaya, 2016).

Abad ke-21 baru berjalan satu dekade, namun dalam dunia pendidikan sudah dirasakan
adanya pergeseran, dan bahkan perubahan yang bersifat mendasar pada tataran filsafat, arah
serta tujuannya. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa kemajuan ilmu tersebut dipicu
oleh lahirnya sains dan teknologi komputer. Dengan piranti mana kemajuan sains dan teknologi
terutama dalam bidang cognitive science, bio-molecular, information technology dan nano-
science kemudian menjadi kelompok ilmu pengetahuan yang mencirikan abad ke-21. Salah
satu ciri yang paling menonjol pada abad ke-21 adalah semakin bertautnya dunia ilmu
pengetahuan, sehingga sinergi di antaranya menjadi semakin cepat. Dalam konteks
pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di dunia pendidikan, telah terbukti semakin
menyempitnya dan meleburnya faktor “ruang dan waktu” yang selama ini menjadi aspek
penentu kecepatan dan keberhasilan penguasaan ilmu pengetahuan oleh umat manusia.
Perubahan transisi dari masyarakat industri ke masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge
age) mempengaruhi beberapa aspek baik budaya maupun pendidikan (Wijaya, 2016). Salah
satu komponen penting yang perlu disoroti terutama pada bidang pendidikan adalah
munculnmya tantangan baru pada perguruan tinggi terkait dengan pergeseran masyarakat ke
basis pengetahuan. Berangkat dari hal tersebut, maka dibutuhkan suatu cara pengembangan
agar pembentukan masyarakat berbasis pengetahuan (knowledge age) dapat tercapai secara
optimal. Dengan adanya ciri khas pada abad 21 yaitu dikenal dengan era pengetahuan, maka
diperlukan suatu system pendidikan yang dapat membangun pengetahuan agar terbentuk
masyarakat pengetahuan yang optimal. Salah satu komponen pada pendidikan yang dapat
membangun era pendidikan abad 21 yang dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age)
adalah dengan memfokuskan pada apa yang tercantum pada tri dharma perguruan tinggi.

Pada era pendidikan abad 21 khususnya di Indonesia, perguruan tinggi dihadapkan pada
tantangan pemenuhan abad 21 yang dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age)
dimana dengan berkiblat pada tri dharma perguruan tinggi dan memberikan sentuhan
karakteristik abad 21, yaitu digitalisasi dan perkembangan pengetahuan diharapkan dapat
menjawab tantangan era pendidikam abad 21. Tri dharma perguruan tinggi merupakan tiga
pilar dasar yang harus dipenuhi oleh civitas academia. Untuk dapat memenuhi tri dharma
perguruan tinggi yang terdiri dari pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan,
pengabdian kepada masyarakat, maka diperlukan suatu paradigma baru untuk mendorong
optimalisasi pencapaian tri dharma perguruan tinggi. Yang perlu kita garis bawahi disini adalah
pada poin kedua, yaitu pada penelitian dan pengembangan. Dengan memfokuskan pada
penelitian dan pengembangan, secara tidak langsung akan menjawab tantangan abad 21 yang
dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age) dengan ciri khas digitalisasinya. Karena
melalui adanya penelitian dan pengembangan di perguruan tinggi, maka akan terbentuk era
pendidikan abad 21 yang dikenal dengan masa pengetahuan (knowledge age) secara optimal
dengan masyarakat yang berbudaya oenelitian serta memiliki kemampuan penelitian. Melalui
penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh mahasiswa, maka pengetahuan yang
mereka miliki akan berkembang seiring dengan budaya penelitian dan kemampuan penelitian
yang dikombinasikan dengan digitalisasi di era pendidikan abad 21.

Tuntutan perubahan pola pikir pada manusia abad 21 menuntut pula suatu perubahan
yang sangat besar dalam pendidikan nasional, yang kita ketahui pendidikan kita adalah warisan
dari sistem pendidikan lama yang isinya menghafal fakta tanpa makna. Merubah system
pendidikan indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Sistem pendidikan Indonesia
merupakan salah satu sistem pendidikan terbesar di dunia yang meliputi sekitar 30 juta peserta
didik, 200 ribu Lembaga pendidikan, dan 4 juta tenaga pendidik, tersebar dalam area yang
hampir seluas benua Eropa. Akan tetapi, perubahan ini merupakan sebuah keharusan jika kita
tidak ingin terlindas oleh perubahan jaman global.

P21 (Partnership for 21st Century Learning) mengembangkan framework


pembelajaran di abad 21 yang menuntut objek pembelajaran untuk memiliki keterampilan,
pengetahuan dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi, keterampilan
pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir (P21, 2021). Framework ini juga
menjelaskan tentang keterampilan, pengetahuan dan keahlian yang harus dikuasai agar
mahasiswa dapat sukses dalam kehidupan dan pekerjaannya.

Sumber: Partnership for 21st Century Learning

Gambar 1. Framework Pembelajaran Abad ke-21

Pentingnya Budaya Penelitian dan Kemampuan Penelitian

Problematika terkait penelitian merupakan bahasan menarik dikalangan pemerhati


pendidikan. Hal ini karena produktifitas penelitian sangat rendah sebagaimana hasil survey
Internasional tentang jumlah publikasi penelitian menempatkan Indonesia pada urutan 62 dari
239 negara. Jepang menjadi negara Asia dengan jumlah publikasi terbanyak dan menduduki
urutan ketiga dunia dengan 1,2 juta dokumen. Urutan Indonesia jauh di bawah negara-negara
berkembang lainnya seperti India (9), Afrika Selatan (35), Malaysia (37), Mesir (42), Thailand
(43) dan Pakistan (46). Alasan yang diungapkan oleh Frans Mardi Hartanto (2014) mengapa
penelitian sering gagal adalah karena rendahnya bahkan tidak adanya budaya penelitian

Sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Partnership for 21st Century Learning
dimana tuntutan objek pembelajaran yang diduduki oleh mahasiswa untuk memiliki
keterampilan, pengetahuan dan kemampuan dibidang teknologi, media dan informasi,
keterampilan pembelajaran dan inovasi serta keterampilan hidup dan karir, maka perlu
dibangunnya suatu kebudayaan dan kemampuan yang harus dimiliki oleh mahasiswa agar
mahasiswa siap menghadapi abad 21 ini. Apabila kita melihat dari framework pembelajaran
abad 21 dimana terdapat empat karakter utama yang harus dimiliki yaitu berpikir kritis,
komunikasi, kolaborasi, dan kreatifitas, maka kita akan menuju ke suatu budaya yang dapat
membangun semua karakteristik tersebut, yaitu budaya penelitian.

Budaya penelitian merupakan salah satu lensa penting bagi para praktisi dan pembuat
kebijakan untuk melihat praktik dan kebijakan mereka. Banyak masyarakat telah memberikan
banyak penekanan pada pengembangan dan pemeliharaan budaya penelitian untuk
mempromosikan praktik dan kebijakan berbasis bukti selama berabad-abad. Untuk masyarakat
ini, penelitian dianggap sebagai sarana untuk menghasilkan pengetahuan dan mengatasi
masalah yang dihadapi umat manusia. Ada banyak penekanan pada pengembangan kebiasaan
berpikir yang diperlukan untuk mengembangkan rasa ingin tahu dan pengambilan keputusan
yang terinformasi. Baru-baru ini, Bhutan juga memberikan beberapa pentingnya penelitian di
kalangan akademisi yang disertai dengan tantangan yang harus dihadapi. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Bhutan menjelaskan bahwa bahwa ada sejumlah besar tantangan yang harus
diatasi Bhutan untuk mengembangkan budaya penelitian. Meskipun demikian, mereka
mengakui bahwa universitas di Bhutan sebenarnya cukup muda dibandingkan dengan
kebanyakan sistem universitas nasional lainnya dan masih banyak yang harus dilakukan.
Namun, kami khawatir bahwa budaya penelitian di Bhutan berada dalam posisi genting saat
ini dan dalam bahaya kemunduran jika inovasi, kebebasan akademik, desentralisasi, dan
investasi dalam kapasitas kelembagaan dan individu tidak didukung. Kami percaya bahwa
Bhutan memiliki begitu banyak hal untuk ditawarkan ke seluruh dunia tetapi hanya jika budaya
penelitiannya hidup dan berkelanjutan.

Mengingat tantangan yang sudah diidentifikasi, sehingga dapat didefinisikan bahwa


atribut dari budaya penelitian positif yang harus diupayakan Bhutan. Sehingga Bhutan fokus
pada apa yang diidentifikasi oleh literatur (Hanover Research, 2014) sebagai area penting untuk
mempromosikan budaya penelitian yang positif kepemimpinan yang efektif, karakteristik
kelembagaan yang produktif, pelatihan dan dukungan, pengakuan penelitian (internal dan
eksternal), pusat penelitian dan program penelitian, serta jaringan dan kolaborasi. Investasi
jangka panjang dalam kapasitas penelitian merupakan aspek penting dalam membangun
budaya penelitian yang kuat (Hanover Research, 2014).
Budaya penelitian, menurut Evans (2012), mengacu pada nilai-nilai bersama, asumsi,
keyakinan, ritual, dan bentuk perilaku lain yang diarahkan pada pengakuan nilai dan
signifikansi praktik penelitian dan hasilnya. Usaha penelitian dianggap penting dan bermakna
dalam keseluruhan operasi komunitas akademik. Kegiatan seperti duduk sebagai anggota panel
dalam pembelaan lisan, mengawasi dan membimbing peneliti, menulis makalah penelitian dan
mempresentasikannya di konferensi nasional dan internasional adalah agen untuk
meningkatkan budaya penelitian (Narbarte & Balila, 2018). Namun, kegiatan saja tidak cukup.
Studi yang ada tentang budaya penelitian lembaga pendidikan mengungkapkan bahwa untuk
mengklaim kehadiran budaya penelitian yang kuat, harus ada indikator yang jelas tentang
praktik dan hasil penelitian yang dihargai. Apabila diamati, bahwa keluaran ini tidak datang
sekaligus menunjukkan bahwa pengembangan budaya penelitian terjadi dalam fase-fase
tertentu. Stahmer, Aranbarri, Drahota dan Rieth (2017) bahkan menantang lembaga untuk
membuat rencana penelitian dan penyelidikan yang komprehensif untuk memastikan bahwa
tujuan dari ilmu dasar hingga aplikasi dapat menciptakan dampak di masyarakat.

Di Filipina, Wong (2019) melaporkan bahwa ada kebutuhan untuk pengembangan


kapasitas untuk memacu produktivitas yang dicirikan hanya sebagai pelaksanaan penelitian
dan penulisan laporan penelitian. Namun, karena meningkatnya permintaan untuk memenuhi
standar internasional untuk universitas, institusi pendidikan tinggi mencari cara untuk
menghasilkan penelitian yang berkualitas untuk publikasi dan kutipan internasional (Mirasol
& Inovejas, 2017). Mempelajari hasil penelitian memberikan wawasan tentang kematangan
budaya penelitian.

Budaya penelitian juga memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan Perguruan
Tinggi, serta pengelolaan staff maupun seluruh komponen akademik pada Perguruan Tinggi.
Penelitian adalah salah satu poros pendidikan Perguruan Tinggi dengan menentukan
pencapaian tujuan keberadaan suatu Perguruan Tinggi. Pada bagian manajemen sumber daya
manusia, relevansi yang melekat pada penelitian juga mempengaruhi manajemen pada sumber
daya manusia, dimana budaya penelitian menguntungkan semua akademisi Perguruan Tinggi,
melalui pembudayaan penelitian pada Perguruan Tinggi, manajemen mereka akan
menghasilkan luaran yang positif dan bermanfaat. Budaya penelitian meliputi disiplin atau ide
interdisipliner dan nilai-nilai, jenis tertentu dari pengetahuan dan produksi pengetahuan,
praktek-praktek budaya dan narasi (misalnya bagaimana penelitian dilakukan, dan bagaimana
peer review dilaksanakan), sosialisasi departemen, jaringan intelektual internal dan eksternal
lainnya serta terbentuknya masyarakat belajar.
Perkembangan Penelitian pada Perguruan Tinggi di Lingkup ASEAN

Penelitian merupakan suatu tombak sekaligus akar suatu institusi atau lembaga pada
ranah akademik dalam menunjang suatu kemajuan bangsa dan negara. Penelitian memiliki
peran vital khususnya pada universitas dan lembaga penelitian karena menjadi indikator utama
dalam kemajuan universitas atau lembaga penelitian tersebut. Kemajuan universitas dan
lembaga penelitian dapat dilihat dari seberapa banyak (kuantitas) penelitian yang dihasilkan
oleh universitas atau lembaga penelitian tersebut. Semakin banyak suatu universitas atau
lembaga penelitian dalam menghasilkan penelitian atau karya ilmiah maka semakin baik
kualtas suatu universitas. Selain dari segi kuantitas, penelitian juga dinilai dari segi kualitas
dalam hal ini seberapa besar pengaruh hasil penelitian yang dirasakan oleh orang lain baik
secara langsung maupun tidak. Pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
penelitian dalam ilmu perpustakaan disebut bibliometrik.

“Bibliometrics represent the statistical analysis regarding books, journals,


scientific articles and authors. The word frequency analysis, the citation analysis
or the number of the articles of authors, were the basic, initial metrics for such
statistical analysis. After the 90’s, bibliometrics transformed from a simple
statistical bibliography study to a separate and unique field of study according
to the Institute for Scientific Information (ISI), Science Citation Index (SCI)”
(Karanatsiou et al., 2017).
Bibliometrik memiliki peran yang sangat penting karena merepresentasikan kualitas
suatu penelitian seperti analisis stastik total hasil penelitian, sebaran hasil penelitian, jenis
penelitian dan lain lain. Aspek terpenting pada bibliometrik ialah kutipan sitasi (Kolahi &
Khazaei, 2016). Penelitian agar dapat diukur melalui pendekatan bibliometrik hendaknya harus
dipublikasikan kepada khalayak ramai agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Hal ini
dikarenakan publikasi karya ilmiah secara historis merupakan sarana utama komunikasi bagi
civititas akademika (Cho, 2017).

Pelitian yang merupakan hal penting bagi civitas akademia terutama dosen dan
mahasiswa yang termuat dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, juga sangatlah penting bagi
kemajuan perguruan tinggi, kesejahteraan masyarakat serta kemajuan suatu bangsa dan negara.
Dari penelitian dan pengembangan maka dosen dan mahasiswa sebagai seorang ilmuwan
mampu mengembangkan ilmu dan teknologi . pada penelitian dosen dan mahasiswa harus lebih
cerdas, kritis dan kreatif dalam mejalankan perannya, terutama mahasiswa yang berkedudukan
sebagai agent of change. Mahasiswa harus mampu memanfaatkan penelitian dan
pengembangan ini dalam suatu proses pembelajaran untuk memporoleh suatu perubahan –
perubahan yang akan membawa suatu negara ke arah yang lebih maju dan terdepan. Berikut
merupakan data tren publikasi Scopus di negara ASEAN pada rentang tahun 2016 hingga 2020.

Gambar 2. Tren Publikasi Scopus Negara ASEAN Tahun 2016-2020

Dari grafik tren publikasi Scopus negara ASEAN pada rentan 5 tahun terakhir terlihat
bahwa dari tahun 2016 hungga 2020 tren publikasi pada indekxing Scopus mengalami
kenaikan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi perkembangan penelitian di negara ASEAN
yang nantinya akan berpengaruh pada kemampuan penelitian yang dilakukan oleh akademisi,
sehingga dampak yang akan terjadi adalah meningkatnya ranking perguruan tinggi yang aktif
melakukan penelitian sehingga era pendidikan abad 21 dapat berjalan dengan maksimal.

Perkembangan Penelitian pada Perguruan Tinggi di Indonesia

Memiliki rangking dunia tentunya menjadi suatu pencapaian visi dan misi dari setiap
perguruan tinggi yang ada di Indonesia. Semua perguruan tinggi berlomba-lomba untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran dan riset untuk mendapatkan rangking yang terbaik di
dunia, dalam rangka mendapatkan penghargaan World Class University (Ichsani, 2017). Dalam
mewujudkan impian ini, Institusi Perguruan Tinggi harus memenuhi acuan yang mendasari
penentuan peringkat World Class University ini. Salah satu barometer yang dapat digunakan
yaitu Webometrics Ranking of World University (WRWU).

Webometrics ini adalah sebuah peluang menarik bagi perguruan tinggi di berbagai
negara khususnya Indonesia bisa menikmati peringkat perguruan tinggi dunia. Pada teknik
pemeringkatan Webometrics kebanyakan mengambil faktor “kehidupan” perguruan tinggi di
dunia Internet. Termasuk di dalamnya adalah aksesibilitas dan visibilitas situs universitas
dengan bobot 50%, publikasi elektronik dengan bobot 15%, keterbukaan akses terhadap hasil-
hasil penelitian dengan bobot 20%, konektivitas dengan dunia industri dan aktivitas
internasional suatu perguruan tinggi dengan bobot 15% (Aguillo, 2006); (Busyairi, 2012). Dari
uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa terkait dengan penelitian, menduduki persentase
yang cukup mendominasi yaitu sebesar 35%.

Pemeringkatan universitas telah digunakan untuk menilai kualitas pendidikan tinggi.


Menilai universitas mencakup evaluasi akademik dan penelitian (Boholano et al., 2014).
Samarasekera dan Amrhein (2010) mengidentifikasi Academic World Ranking of Universities,
QS World University Rankings dan Times Higher Education Rankings sebagai peringkat
internasional yang paling banyak diterima. Salah satu karakteristik bersama dari ketiga
peringkat ini adalah prioritas yang ditempatkan pada produktivitas penelitian. Ini menegaskan
argumen bahwa ketika penelitian didefinisikan sebagai menghasilkan pengetahuan baru, itu
menjadi ciri khas universitas (Marchant, 2009). Times Higher Education dalam kemitraan
dengan Thomson Reuters menilai universitas berdasarkan kinerja mereka di bidang-bidang
berikut: "Pengajaran", "Penelitian", "Kutipan", "Pendapatan Industri" dan "Pandangan
Internasional". Kriteria “Pengajaran”, “Penelitian” dan “Kutipan” diberi bobot 30% dalam skor
peringkat keseluruhan sedangkan bidang “Pendapatan Industri” dan “Pandangan Internasional”
diberi bobot masing-masing 2,5% dan 7,5%. Kriteria “Pengajaran” meliputi lingkungan belajar
sedangkan “Penelitian” meliputi volume, pendapatan dan reputasi. “Kutipan” mengacu pada
pengaruh penelitian (Times Higher Education, 2015). Kriteria ini mengungkapkan bagaimana
penelitian di peringkat dunia universitas diberikan penekanan dan dinilai melalui keluaran yang
dapat diamati dan diukur.
Pada Gambar 2 yang menggambarkan grafik tren publikasi Scopus negara ASEAN
pada rentan 5 tahun terakhir, terlihat bahwa tren negara Inonesia terus meningkat dan
melampaui 5 negara ASEAN lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mulai terbentuknya budaya
penelitian yang ada di Indonesia. Terbentuknya Tri Dharma Perguruan Tinggi pada kurun
waktu lima tahun terakhir dengan melihat tren publikasi Indonesia yang semakin meningkat,
tentunya tidak terlepas dari peranan Tri Dharma Perguruan Tinggi di dalamnya, dimana salah
datunya mengandung dharma penelitian dan pengembangan. Capaian Indonesia dalam
publikasi pada jurnal internasional sebagai salah satu indikator penelitian sudah meningkat
secara signifikan, dimana di lingkup ASEAN Indonesia menduduki peringkat pertama pada
dua tahun terakhir. Akan tetapi upaya kita tidak boleh berhenti. Penelitian, selain perlu
diarahkan untuk menghasilkan produk-produk inovasi dan respon cepat terhadap kebutuhan
masyarakat, hasil penelitian juga perlu diarahkan untuk mendapatkan perlindungan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI).

Menyadari akan pentingnya peran penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di


lingkup perguruan tinggi, Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan selalu mendorong
terbangunnya pusat-pusat keunggulan (center of excellence) yang dapat memberikan jawaban
atas berbagai persoalan baik di daerah, nasional, dan global. Pengembangan pusat-pusat
unggulan nasional dengan memanfaatkan kepakaran yang ada di berbagai perguruan tinggi
dengan fokus tertentu, baik berbasis sektor, komoditas, maupun isu strategis nasional, selalu
ditingkatkan dengan melibatkan berbagai disiplin keilmuan. Strategi yang dilakukan oleh
Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan adalah dengan memberikan kewenangan yang lebih
luas dalam pengelolaan penelitian kepada perguruan tinggi melalui program desentralisasi
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, sedangkan untuk isu-isu nasional diwadahi
melalui kompetitif nasional. Sementara itu, untuk isu-isu yang dipandang strategis Ditjen
Penguatan Riset dan Pengembangan dapat memberikan penugasan kepada Perguruan Tinggi
yang mempunyai kompetensi yang tinggi dalam bidang yang bersangkutan melalui skema
penugasan.

Ditjen Penguatan Riset dan Pengembangan menyadari bahwa perbaikan mutu


penelitian akan mampu mendorong peningkatan daya saing dan meneguhkan Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Pemerintah Indonesia memiliki komitmen tinggi
untuk meningkatkan mutu dan kuantitas publikasi akademisi. Dukungan pendanaan untuk
penelitian dinyatakan secara tegas dalam Undang-undangNomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi Pasal 89 bahwa perguruan tinggi mendapatkan Bantuan Operasional
Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN) dimana paling sedikit 30% dialokasikan untuk kegiatan
penelitian. Sejalan dengan adanya dukungan pendanaan yang semakin baik dari pemerintah,
perguruan tinggi harus mengelola agenda penelitiannya dengan lebih profesional, diantaranya
dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) (Direktorat Riset dan
Pengabdian Masyarakat, 2018)

Peran penting tri dharma perguruan tinggi dimana merupakan tonggak penting yang
menciptakan generasi muda terpelajar dalam upaya pembentukan generasi intelektual yang
mampu membangun bangsa serta dapat mensukseskan era pendidikan abad 21. Melalui tri
dharma perguruan tinggi, salah satunya yaitu penelitian dan pengembangan , diharapkan
perguruan tinggi siap dalam menghadapi era pendidikan abad 21 dengan perkembangan
teknologi yang pesat, perguruan tinggi juga dituntut untuk melahirkan lulusan berkualitas.
Dimana melalui dharma penelitian dan pengembangan, perguruan tinggi diharapkan dapat
melaksanakan system pembelajaran yang lebih inovatif melalui kurikulum yang dapat
meningkatkan kemampuan mahasiswa, khususnya di bidang penelitiandan pengembangan.

Namun pada realitanya, masih banyak Perguruan Tinggi di Indonesia yang


mengabaikan pentingnya dharma penelitian dan pengembangan sebagai bagian dari Tri
Dharma Perguruan Tinggi. Sehingga di sinilah tuntutan tugas dan peran LPPM di sebuah
Perguruan tinggi (PT), diantaranya:

1. Menyusun Rencana Induk Pengembangan Penelitian dan Pengabdian Kepada


Masyarakat secara terintegrasi dan berkelanjutan.
2. Mengkoordinasi, mengarahkan dan memastikan pelaksanaan dan pencapaian tujuan
dari aktivitas penelitian dan pengabdian kepada masyarakat para dosen dan mahasiswa.
3. Mencari dan mengelola informasi hibah penelitian dan PKM dari Dikti dan pihak-pihak
lainnya, lalu menginformasikan kepada para dosen.
4. Mengkoordinasikan penelitian dan PKM antar program studi.
5. Memfasilitasi pelatihan dan pengembangan strategi menyusun proposal dan melakukan
penelitian kepada para dosen dengan mengundang pihak-pihak yang kompeten.
6. Mendorong terbentuknya pusat-pusat studi untuk menghimpun minat meneliti para
dosen pada bidang-bidang tertentu.
7. Memberikan skema dana hibah penelitian dari institusi untuk memotivasi minat dan
kemampuan para dosen melakukan penelitianpenelitian awal.
(Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, 2018)
Tujuh poin peranan LPPM di atas adalah dalam rangka mewujudkan terbentuknya
budaya penelitian di perguruan tinggi dalam rangka pengaplikasian dharma penelitian dan
pengabdian masyarakat, akan tetapi selain peran LPPM di Perguruan Tinggi, peran penting
dari seluruh civitas academia terutama dosen dan mahasiswa juga sangatlah dibutuhkan. LPPM
harus memainkan peran dan berupaya maksimal melaksanakan aktifitas dan kegiatan penelitian
dengan melibatkan seluruh civitas akademia. Kontras dengan realita yang ada bahwa LPPM
pada Perguruan Tinggi tak ubahnya masih dominan hanya sebagai lembaga pelayan
administrasi yang menyediakan cap atau stempel dan tanda tangan bagi dosen dan mahasiswa
yang membutuhkan keabsahan dan legalistas dari suatu kegiatan penelitian dan abdimas.
Ironisnya, masih ada Perguruan Tinggi yang tidak memiliki LPPM, atau tersedianya LPPM
digabung dengan unit pelayanan lainnya di kampus. Dalam tatanan organisasi, adanya LPPM
di Perguruan Tinggi berperan sebagai unit kerja penelitian dan abdimas yang memiliki tugas
dan tanggung jawab pelaksanaan kegiatan dan aktifitas penelitian lainnya di Perguruan Tinggi.
Pada haikatnya LPPM memegang peranan penting dalam pembangunan dan pengembangkan
budaya penelitian di internal Perguruan Tinggi.

Membangun budaya meneliti perlu menjadi tanggung jawab bersama baik lembaga/
organisasi maupun perseorangan: dosen, mahasiswa. Secara organisasi kelembagaan,
Perguruan Tinggi seharusya dan semestinya memiliki LPPM yang berdayaguna dan berdaya
saing, memainkan perannya dalam penyelenggaraan penelitian, sehingga budaya penelitian
dapat terbangun secara maksimal di lingkungan Perguruan Tinggi.

Dari adanya budaya penelitian pada Perguruan Tinggi, diharapkan muncul paradigma
baru dalam bidang ilmu pengetahuan, yaitu penyegaran terkait dengan ilmu-ilmu terupdate dari
hasil riset yang selalu berkembang secara dinamis karena sudah terbentuknya budaya penelitian
pada Perguruan Tinggi. Melalui budaya penelitian yang terbentuk, tentunya kemampuan
penelitian para civitas academia juga akan meningkat sehingga secara tidak langsung dapat
meningkatkan kualitas mahasiswa dan dosen pada tingkat mikro, serta dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia pada tingkat makro.

Melalui peningkatan sumber daya manusia, maka akan berdampak pada pembentukan
revolusi mental terkait dengan perubahan mendasar dalam mentalitas, cara berpikir, cara
merasa dan cara mempercayai, yang semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-
hari.
Jenis Kemampuan yang Harus Dimiliki dalam Penelitian

Perubahan dan tantangan yang mencakup kehidupan di dunia pendidikan pada era
pendidikan abad 21 yang terglobalisasi memperluas cakupan pekerjaan yang dilakukan oleh
peneliti. Penelitian akademis yang berbasis pengetahuan harus menghasilkan penyelidikan dan
melaporkan hasil yang riil dan akurat. Selain itu, hasil atau kinerja ilmiah tersebut
diterjemahkan menjadi manfaat bagi peneliti maupun masyarakat dan negara (Abu Said, et al.,
2015; Noel & Qenani, 2013; Zagreb, 2008). Namun, Forum Peneliti (Salem, 2014) berpendapat
bahwa penelitian itu kompleks, dan mereka yang melakukannya memerlukan keterampilan dan
kemampuan tertentu serta keakraban dengan pengetahuan aktual dan teoritis. Para peneliti
harus dapat menemukan, mengakses, mengingat, dan menerapkan informasi, berinteraksi
dengan baik dengan orang lain, dan memiliki kemampuan dan motivasi untuk memperoleh dan
meningkatkan keterampilan ini dan keterampilan lainnya. Pentingnya satu atau lebih
karakteristik ini dapat bervariasi dari satu penelitian ke penelitian berikutnya. Namun, semua
peneliti pengetahuan membutuhkan yang berikut: (i) Pengetahuan faktual dan teoretis, (ii)
Menemukan dan mengakses data, (iii) Kemampuan menerapkan informasi, (iv) kemampuan
komunikasi, (v) Motivasi dan (vi) Kecakapan intelektual (Forum Peneliti, 2006 dikutip dalam
Salem, 2014). Peneliti akademik adalah instrumen perubahan dan inovasi (Gurrola et. al.,
2015). Untuk mencapai tujuan itu mereka harus mengembangkan kemampuan yang berkaitan
dengan manajemen perubahan, kerja tim, kolaborasi dan menjadi orang yang kreatif. Peter
Drucker, dalam deskripsinya tentang peneliti, mendefinisikan bahwa penentu utama
produktivitas mereka adalah praktik manajemen dan organisasi, teknologi informasi, dan
desain tempat penelitian.

Karakteristik penelit yang harus dimiliki seperti kejujuran, kerja keras, integritas, kerja
tim, dan ketahanan mempengaruhi produktivitas. Menurut Quesada (2008), menjadi peneliti
berbasis pengetahuan tidak hanya didefinisikan sebagai manajer pengetahuan dan
administrator proses. Peneliti akademik adalah instrumen perubahan dan inovasi (Dang &
Umemoto, 2009). Hal tersebut merupakan pandangan yang sangat berbeda tentang bagaimana
penelitian akademis dipersepsikan di luar universitas. Akademisi melakukan penelitian dari
rasa ingin tahu intelektual dan dengan tujuan menghasilkan pengetahuan baru dan mutakhir.
Namun demikian, ketika pengetahuan dianggap sebagai jenis sumber daya yang dapat
diperdagangkan sebagai barang untuk meningkatkan pembangunan ekonomi, maka banyak
karakteristik yang dibahas sebelumnya menjadi sangat penting untuk mencapai kesuksesan
(Brew & Lucas, 2009; Lenaghan, 2016; Liz & Wilson, 2012). Memfasilitasi proses penelitian
dan memberikan dukungan langsung untuk mengadopsi cara-cara baru untuk menyelidiki
adalah karakteristik yang dibutuhkan seorang peneliti dalam membangun pengetahuan baru
(Andrés, et. al. 2015).

Mengembangkan visi global untuk mengidentifikasi preferensi dan kebutuhan


masyarakat pada skenario domestik maupun global juga penting untuk kualitas suatu negara
(Regets, 2007). Menurut para ahli, seorang peneliti harus menjadi bagian dari semua proses
yang melibatkan dalam menghasilkan penyelidikan. Pengembangan serta penguatan
pengetahuan dan keterampilan pada kompetensi yang terkait dengan diseminasi penelitian
mereka sangat penting jika mereka menambah novelty pada penelitian yang dilakukan.

Dalam hal ini, literatur menunjukkan bahwa negara-negara seperti Taiwan, Jepang, dan
Korea Selatan telah aktif dalam mempromosikan dan mendidik peneliti mereka dalam
pembuatan paten dan publikasi dan diseminasi hasil (Yang et. al., 2005). Kemampuan dan
keterampilan yang melampaui keahlian mereka seperti kolaborasi, kreativitas, toleransi,
apresiasi terhadap keragaman, dan keterampilan sosial lainnya adalah bagian penting dari
sistem pendidikan tinggi yang berkualitas tinggi. Ennals (2004) menetapkan bahwa pendekatan
multidisiplin dan kolaborasi diantara para peneliti sangat penting dalam generasi pengetahuan.
Sudut pandang ini menyiratkan peneliti dengan sumber daya manusia dan ahli terbaik untuk
menjadi orang yang kolaboratif dimana dapat melahirkan suatu pengetahuan baru yang
mutakhir. Keterampilan yang melampaui keahlian mereka seperti kolaborasi, kreativitas,
toleransi, dan toleransi terhadap perbedaan sudut pandang pengetahuan.

Kesimpulan

Era pendidikan abad 21 memegang peran pentig terutama di dunia pendidikan tinggi.
Pada era abad 21 yang memiliki ciri khas digitalisasi dan yang dikenal dengan era pengetahuan
(knowledge era) memberikan kontribusi pada Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada
dharma penelitian dan pengembangan. Dengan mengimplementasikan dharma penelitian dan
pengembangan pada perguruan tinggi, maka bangsa Indonesia secara tidak langsung
menyiapkan dalam hal menyongsong keberhasilan era pendidikan abad 21 dengan ciri khas era
pengetahuannya, dimana pengetahuan diperoleh melalui penelitian yang dilakukan oleh civitas
academia yang terdiri dari dosen dan mahasiswa sehingga pengetahuan akan berkembang pesat
dan selalu termutakhirkan. Dari pembiasaan tersebut maka akan terbentuk budaya penelitian
dan peningkatan kemampuan penelitian di Perguruan Tinggi. Optimalisasi penelitian di
Perguruan Tinggi juga tidak terlepas dari peran LPPM selaku Lembaga pemantau
perkembangan penelitian internal di Perguruan Tinggi. Melalui budaya penelitian yang
terbentuk, maka akan tercipta revolusi mental generasi penerus bangsa yang berkarakter aktif,
inovatif, kritis dan visioner ke depan.

Daftar Pustaka

Abu Said, A., Mohd Rasdi, R., Abu Samah, B., Silong, A. D., & Sulaiman, S. (2015). A career
success model for academics at Malaysian research universities. European Journal of
Training and Development, 39(9), 815-835. Retrieved from
http://librarylogin.suagm.edu:85/*?url=http://search.proquest.com/docview/17446272
01?accountid=130249
Andrés, A. R., Asongu, S. A., & Amavilah, V. (2015). The impact of formal institutions on
knowledge economy. Journal of the Knowledge Economy, 6(4), 1034-1062. doi:
http://dx.doi.org/10.1007/s13132-013-0174-3
Boholano, H. B., Olvido, M. M. J., & Cardillo, M. B. (2014). Fractal variations of research
and teaching in top ranking universities in Asia and the world. European Journal of
Educational Sciences, 1(1), 71-75.
Cho J. (2017). “A comparative study of the impact of Korean research articles in four academic
fields using altmetrics”. Performance Measurement and Metrics, 18 (1), 38-51.
https://doi:10.1108/PMM-02-2016-0005.
Dang, D. & Ushimoto, K. (2009). Modeling the development toward the knowledge economy:
a national capability approach. Journal of Knowledge Management. Emerald Group.
13,5
Dass, R. (2014). Literature and the 21st century learner. Procedia-Social an Behavioral
Ennals, R. (2004). Europe as a Knowledge Society: Integrating Universities, Corporations,
and Government. Systemic Practice and Action Research, 17, 3, págs. 17-25
Evans, L. (2012). Developing research cultures and researchers in HE: The role of leadership.
Paper presented at the Annual Conference of the Society for Research into Higher
Education (SRHE). School of Education, University of Leeds. Retrieved from
http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/175679.pdf
Fadli, A., & Irwanto. (2020). The Effect of Local Wisdom-Based ELSII Learning Model on the
Problem Solving and Communication Skills of Pre-Service Islamic Teachers.
International Journal of Instruction, 13(1), 731-746.
Frans Mardi Hartanto, 2014. Membangun budaya belajar dikalangan peneliti. Retrieved from
http://dadangiskandar.staff.telkomuniversity.ac.id/files/2015/06/Budaya-
MenelitiDesember-2014.pdf.
Ghavifekr, S., & Rosdy, W. A. W. (2015). Teaching and learning with technology:
Effectiveness of ICT integration in schools. In J of Res in Edu and Sci, 1 (2), 175-191.
Gurrola, E. R. D., Salinas, N. M. R., & Espino, M. L. D. (2015). El capital intelectual e
innovación pilares para desarrollo de un centro de investigación pública/intellectual
capital and innovation cornerstones for development of a public research center.
Revista Global De Negocios, 3(5), 85-100. Retrieved from
http://librarylogin.suagm.edu:85/*?url=http://search.proquest.com/docview/16889117
00?accountid=130249
Hanover Research. (2014). Building a culture of research: Recommended practices.
Washington, DC: Hanover Research. Retrieved from:
https://www.hanoverresearch.com/media/Building-a Culture-of-Research-
Recommended-Practices.pdf
Hashim, Y. (2014). 21st century education: Are we heading toward the right direction of
improving and learning as needed by educational transformation frogramme?.
Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/
Ismail, A. I. (2017). Questioning 21st century competence. Retrieved from
http://mediaindonesia.com/read/detail/126180.
Karanatsiou, D., Misirlis, N. & Vlachopoulou, M. (2017), "Bibliometrics and altmetrics
literature review", Performance Measurement and Metrics, Vol. 18 (1), 16-27.
https://doi.org/10.1108/PMM-08-2016-0036
Kolahi, J. & Khazaei. (2016). “Almetric : Top 50 dental articles in 2014”. British Dental
Journal, 220, 569 – 574. https://doi.org/10.1038/sj.bdj.2016.411
Marchant T. (2009). Developing research culture: Overcoming regional and historical
obstacles. In Professional doctorate research in Australia: Commentary and case studies
from business, education and indigenous studies (pp. 44-55). Southern Cross University
Press. Retrieved from
http://www98.griffith.edu.au/dspace/bitstream/handle/10072/32464/63376_1.pdf?seq
uence=1
Mirasol, J. M., & Inovejas, C. J. (2017). Building a culture of research in a higher education
institution. Journal of Higher Education Research Disciplines, 2(1), 72-82.
Narbarte, M. P., & Balila J. S. (2018). Research involvement, motivation, and university
initiatives as agents for enhancing research culture and quality. Human Behavior,
Development and Society, 17, 68-78. Retrieved from https://so01.tci-
thaijo.org/index.php/hbds/article/view/189042/132440
Oxana, D., & Moeller, A. K. (2012). Teaching culture in the 21st century language classroom.
Retrieved from http://digitalcommons.unl.edu/teachlearnfacbub/181.
Partnership for 21st Century Skills (P21). (2021). Framework for 21st Century Learning.
Retrieved from P21 Partnership for 21st Century Skills: http://www.p21.org/our-
work/p21-framework
Quesada, J. (2008). Dificultades que afrontan los investigadores europeos ante la movilidad
en el empleo. Instituto Valenciano de Investigaciones Económicas. Universitat de
Valencia
Regets, M. (2007). Brain Circulation: The complex national effects of high skilled migration.
Ponencia en el OECD Committee for Scientific and Technology Policy and Steering
and Funding of Research Institutions.
Salem, M. I. (2014). The role of universities in building A knowledge-based economy in Saudi
Arabia. The International Business & Economics Research Journal (Online), 13(5),
1047-n/a.Retrieved from
http://librarylogin.suagm.edu:85/*?url=http://search.proquest.com/docview/15624434
05?accountid=130249
Samarasekera, I., & Amrhein, C. (2010). Top schools don't always get top marks. Edmonton
Journal.
Sciences, 123, 289-298.Henrisken, D., Mishra, P., & Fisser, D. (2016). Infusing creativity and
technology in 21st century education: A systematic view of change. Edu Tec & Society,
19(3), 27-37.
Sumardi, L., Rispawati, & Ismail. (2017). The effect of information technology on learning (A
study on Civic and Pancasila Education students at Mataram University). Jurnal
Pendidikan dan Pembelajaran, 24(2), 73-78
Times Higher Education. (2015). World university rankings. Retrieved from
http://www.timeshighereducation.co.uk/world-university-rankings/
Trilling, B., & Fadel, C. (2009). 21st century skills: Learning for life in our time. John Wiley
& Son.
Wijaya, E. Y., Sudjimat, D. A., & Nyato, A. (2016). The transformation of 21st century
education as a demand for human resource development in the global era. Proceedings
of the National Seminar on Mathematics Education, 1, 2528-259X.
Wong, A. M. (2019). Driving forces of master teachers’ research capability: Towards building
a research culture in the division of Romblon, Philippines. International Journal of
Advanced Research and Publications, 3(7), 92-97. Retrieved from
http://www.ijarp.org/published-research-papers/july2019/Driving-Forces-Of-Master-
Teachers-Research-Capability-Towards-Building-A-Research-Culture-In-The-
Division-Of-Romblon-Philippines.pdf
Yang, Phil Y. and Chang, Yuan-Chieh and Chen, Ming-Huei and Hua, Mingshu, (2005).
Industrializing Academic Knowledge in Taiwan. Research Technology Management,
48(4), 45-50. Retrieved from http://ssrn.com/abstract=1501583
Zagreb (2008). European policies and activities for researchers. The Commission of the
European Communities. Cataluña, España: Editorial Laguna

Anda mungkin juga menyukai