Anda di halaman 1dari 11

Membangun Budaya Penelitian

Slameto,
PPS MP UKSW Salatiga
slameto_uksw@yahoo.com

Abstrak
Masalah penelitian sering dimenjadi diskursus menarik dikalangan pemerhati
pendidikan, karena produktifitas penelitian sangat rendah, hasil survey Internasional
tentang jumlah publikasi penelitian menempatkan Indonesia pada urutan 62 dari 239
negara. Jika menelusuri akar masalah minimnya hasil penelitian, maka persoalan yang
muncul tidak hanya berkaitan dengan minimnya dana dan political will pemerintah, tetapi
juga dipengaruhi: oleh mutu penelitian dosennya serta rendahnya budaya meneliti dalam
masyarakat terutama kaum intelektual. Rendahnya budaya meneliti menyebabkan
masyarakat akademik tidak terbiasa dan terlatih sehingga menjadi kendala ketika
melakukan penelitian.
Kebanyakan dosen masih belum memamahi arti penting melakukan penelitian
untuk peningkatan kompetensi dan karir dirinya sebagai dosen profesional, untuk
membangun reputasi akademik institusi pendidikannya, dan juga untuk pengembangan
ilmu pengetahuan dan tekonologi. Munculnya kebijakan diharuskanya mahasiswa S-1, S-
2, dan S3 mempublikasikan karya ilmiah merupakan salah satu langkah awal
menumbuhkan budaya meneliti mahasiswa dan dosen untuk menghasilkan karya tulis.
Pembahasan ini diharapkan dapat mendorong para peserta baik mahasiswa
maupun akademisi di perguruan tinggi maupun guru untuk menelurkan karya ilmiah yang
berkualitas. Disamping itu, mengupayakan bahwa: meneliti itu sebagai profesi; Penelitian
hanya dapat diharapkan memberi hasil yang bernilai tinggi, bila penelitian itu dijalankan
oleh orang-orang yang memilih penelitian sebagai profesi (pekerjaan pilihan mereka).
Budaya yang menunjukkan pada 3 aspek itu adalah sebagai pemrograman
kolektif pikiran yang membedakan anggota satu kategori orang dari yang lain. Budaya
penelitian adalah cerminan nilai-nilai, cita-cita dan keyakinan tentang penelitian dalam
organisasi, pada gilirannya tercermin dalam perilaku penelitian, tindakan penelitian dan
simbol penelitian organisasi. Studi pada budaya penelitian telah difokuskan pada jenis
lingkungan yang mengarah ke penelitian produktivitas. Teridentifikasi 6 Temuan hasil
penelitian tentang budaya penelitian terkait penelitian kelembagaan maupun individual
yang bermanfaat baik untuk dosen, mahasiswa maupun alumninya.
Membangun budaya meneliti termasuk revolusi mental harus menjadi tanggung
jawab bersama baik lembaga/orbanisasi maupun perseorangan: dosen, mahasiswa dan
alumni. Secara organisatoris, Universitas/Perguruan Tinggi semestinya memiliki LPPM
dan dipimpin oleh dosen yang kompeten dan berkualitas; disamping 5 Komitmen dan
dukungan organisasi, LPPM perlu memainkan 8 perannya. Terdapat 8 pra-kondisi yang
diperlukan untuk penyelenggaraan penelitian, setelah terpenuhi, untuk membangun budaya
meneliti selanjutnya perlu membangun 9 komitmen dosen. Pada akhirnya terdapat 15
keyakinan yang perlu dibangun oleh para peneliti baik dosen, mahasiswa maupun alumni.

Kata Kunci: Penelitian, Budaya dan Budaya Penelitian, Revolusi mental, Membangun
Budaya Penelitian.
PENDAHULUAN

Masalah penelitian sering dimenjadi diskursus menarik dikalangan


pemerhati pendidikan. Hal ini karena produktifitas penelitian sangat rendah
sebagaimana hasil survey Internasional tentang jumlah publikasi penelitian
menempatkan Indonesia pada urutan 62 dari 239 negara. Jepang menjadi negara
Asia dengan jumlah publikasi terbanyak dan menduduki urutan ketiga dunia
dengan 1,2 juta dokumen. Urutan Indonesia jauh di bawah negara-negara
berkembang lainnya seperti India (9), Afrika Selatan (35), Malaysia (37), Mesir
(42), Thailand (43) dan Pakistan (46).
Mengapa Penelitian Sering Gagal? Frans Mardi Hartanto (2014) meng-
ungkap beberapa alasan seperti berikut ini. Tidak ada budaya meneliti yang baik,
seperti mengabaikan dokumentasi dan pencatatan, Gagal memahami perspektif
historik dari penelitian terdahulu; Terbelenggu nalar linier yang bersifat analitik
rasional - Mengabaikan intuisi serta nalar lateral dan sirkular (paradoksal); Gagal
memahami nuansa kontekstual dari pengetahuan; Terpaku pada metoda penelitian
lama yang sering kali tidak mampu lagi digunakan pada penelitian kontemporer
yang memiliki sofistikasi lebih tinggi; Mengalami paralisis karena terlalu banyak
analisis; Terperangkap oleh informasi berlebih; Menghadapi keterbatasan sumber
pengetahuan, karena kurang investasi dalam modal sosial dan modal spiritual
(lunak); Tidak mampu untuk memahami makna dari substansi dan inter-relasi
pengetahuan di dalam sistem pengetahuan yang “chaordic”; Terlalu tergantung
pada memori – Kurang menggunakan nalar; Terjebak oleh konseptualisasi
pengetahuan yang kaku yang terbentuk oleh nalar linier yang deterministik dan
berstruktur baku; Tidak mampu atau takut „berpikir keluar dari kotak‟ (out-of-the-
box thinking); Tidak mampu mengartikulasikan hasil-hasil penelitian dengan baik,
karena model penelitian yang digunakan terlalu kompleks; Gagal menghubungkan
hasil penelitian dengan realitas praktikal; Instrumen penelitian sering kali tidak
diuji kesahihan dan keandalannya; Terhambat oleh konsensus yang dicapai di
antara para peneliti; Mencampur-adukkan asumsi dan premis dengan hasil
penelitiannya; Gagal menghubungkan hasil penelitian dengan realitas praktikal;
Instrumen penelitian sering kali tidak diuji kesahihan dan keandalannya; Terhambat
oleh konsensus yang dicapai di antara para peneliti;
Jika menelusuri akar masalah minimnya hasil penelitian, maka persoalan
yang muncul tidak hanya berkaitan dengan minimnya dana dan political will
pemerintah namun rendahnya budaya meneliti dalam masyarakat terutama kaum
intelektual. Rendahnya budaya meneliti menyebabkan masyarakat akademik tidak
terbiasa dan terlatih sehingga menjadi kendala ketika melakukan penelitian.
Tujuan dan manfaat
Rendahnya mutu penelitian mahasiswa di perguruan tinggi selain
dipengaruhi faktor seperti diungkap Frans Mardi Hartanto (2014), juga
dipengaruhi oleh mutu penelitian dosennya (Dinar Pratama, 2012). Kebanyakan
dosen masih belum memamahi arti penting melakukan penelitian untuk
peningkatan kompetensi dan karir dirinya sebagai dosen profesional, untuk
membangun reputasi akademik institusi pendidikannya, dan juga untuk
pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi (Andreas Lako, 2014).
Munculnya kebijakan diharuskanya mahasiswa S-1, S-2, dan S3 mempublikasikan
karya ilmiah mereka ternyata dilatarbelakangi oleh masih lemahnya budaya
meneliti di perguruan tinggi, baik dikalangan dosen maupun mahasiswanya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyatakan bahwa
masalah utama dalam penelitian justru karena belum tumbuhnya budaya meneliti.
Untuk menghasilkan riset inovatif, terlebih dahulu harus dikembangkan budaya
meneliti di perguruan tinggi. Salah satu langkah awal menumbuhkan budaya
meneliti ialah mewajibkan mahasiswa dan dosen menghasilkan karya tulis.
Senyampang untuk mendukung kebijakan ini, melalui pembahasan dalam
seminar nasional ini diharapkan dapat mendorong para peserta baik mahasiswa
maupun akademisi di perguruan tinggi maupun guru untuk menelurkan karya
ilmiah yang berkualitas. Disamping itu, mengupayakan bahwa: Meneliti itu
sebagai profesi
Penelitian hanya dapat diharapkan memberi hasil yang bernilai tinggi, bila
penelitian itu dijalankan oleh orang-orang yang memilih penelitian sebagai profesi
(pekerjaan pilihan mereka); Profesi seseorang biasanya bertumbuh kembang dari
pengalaman hidupnya dan budaya kerja yang terdapat di tempat kerjanya; Bekerja
sesuai profesi biasanya dirasa menggairahkan; Orang yang menjadikan penelitian
sebagai profesinya biasanya: a) Memiliki kebiasaan bertanya dan mempertanyakan
apa yang dilihat dan didengarnya, b) Tidak pernah terikat pada fakta, tetapi
berusaha mencari tahu sistem kausal yang menghasilkan fakta tersebut, c) Lebih
suka mengikuti intuisinya daripada sekedar percaya pada logikanya, dan d) Selalu
mencoba memahami permasalahan sampai ke akarnya (root cause of the problem);
Penelitian menjadi profesi yang mampu menciptakan nilai tinggi, bila sang peneliti
mampu untuk: a) Memahami dan menghargai apa yang dibutuhkan masyarakat
sekaligus mengerti apa yang dapat dilakukannya untuk membantu masyarakat
memenuhi kebutuhannya tanpa harus terikat pada cara-cara konvensional, b)
Menata isyu-isyu praktikal menjadi konsep dan model penelitian yang layak untuk
dikaji secara ilmiah.
Apa itu budaya penelitian?
Ratner (M. Allyson Macdonald. 2004) menunjukkan perhatian pada tiga
aspek budaya, yaitu:
1. fenomena budaya, yang dapat dilihat sebagai bangunan artefak sosial
2. lebih lanjut, bahwa ada lima jenis utama dari fenomena budaya:
1) Kegiatan budaya, termasuk cara-cara di mana individu berinteraksi dengan
objek, orang dan diri sendiri,
2) Nilai budaya, skema, makna, konsep,
3) Artefak fisik, yang secara kolektif dibangun,
4) Fenomena psikologis, termasuk emosi, motivasi, imajinasi, bahasa dan
kepribadian
5) Lembaga di mana fenomena yang dibangun dan direkonstruksi dan yang
dipengaruhi oleh fenomena yang tercantum di atas.
3. Akhirnya, lima fenomena ini adalah saling bergantung serta saling khas. Tak
satu pun dari mereka dapat direduksi menjadi orang lain, demikian juga tidak
salah satu dari mereka berdiri sendiri di luar yang lain.
Budaya adalah sebagai pemrograman kolektif pikiran yang membedakan
anggota satu kategori orang dari yang lain. Selanjutnya penelitian adalah suatu
kegiatan yang berkaitan terutama dengan akuisisi pengetahuan pada bagian dari
peneliti, dan dengan penyebaran pengetahuan untuk rekan-rekan akademis dan
mahasiswa (Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014).
Budaya penelitian adalah cerminan nilai-nilai, cita-cita dan keyakinan
tentang penelitian dalam organisasi, pada gilirannya tercermin dalam perilaku
penelitian, tindakan penelitian dan simbol penelitian organisasi. Sama seperti
budaya pengajaran dari suatu lembaga akan ditemukan dalam gaya dan nilai-nilai
ajaran, budaya manajemen ditemukan dalam gaya dan nilai-nilai manajerial; maka
budaya penelitian akan mencerminkan gaya dan nilai-nilai penelitian (Faizah
Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014).
Menurut Cheetam (Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail,
2014), budaya penelitian perlu dimasukkan ke dalam PPM karena penelitian
adalah dasar dari bagaimana pendidikan universitas bekerja, darah intelektual
dosen universitas, dukungan mendasar pengajaran dan juga, dasar dukungan
untuk masyarakat. Meskipun beberapa mungkin bertanya bagaimana penelitian
sedang berubah menjadi sebuah budaya dan jawabannya karena perluasan
pengetahuan di seluruh dunia. Ini adalah dimana pengetahuan sangat penting
terutama dalam membawa kebenaran ke permukaan tanpa mengandalkan hanya
pada dalil saja. Penelitian bisa membantu dalam membangun kesenjangan dalam
pengetahuan. Untuk menambah itu, budaya penelitian bukanlah memulai sesuatu
yang baru, itu adalah pergeseran budaya yang signifikan; dari belajar berdasarkan
sebuah penelitian yang berbasis kesadaran akan pentingnya melakukan penelitian.
Studi pada budaya penelitian telah difokuskan pada jenis lingkungan yang
mengarah ke penelitian produktivitas. Hambar dan Ruffin (seperti dikutip dalam
Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014) mengidentifikasi 12
faktor lingkungan penelitian yang berperforma tinggi yaitu: tujuan yang jelas
untuk koordinasi, penekanan penelitian, budaya khas, iklim kelompok positif,
organisasi terdesentralisasi, berpartisipasi pemerintahan, frekuensi komunikasi,
sumber daya (terutama sumber daya manusia), kelompok umur, ukuran dan
keragaman, imbalan yang sesuai, penekanan perekrutan, dan kepemimpinan yang
baik atas keterampilan penelitian dan praktek manajemen.
Budaya penelitian juga memainkan peran penting dalam pencapaian tujuan
universitas/PT, serta pengelolaan staf. Penelitian adalah salah satu poros pen-
didikan universitas yang bisa mandiri; budaya akan menentukan pencapaian
tujuan keberadaan universitas. Pada bagian manajemen SDM, relevansi yang
melekat pada penelitian juga mempengaruhi manajemen SDM, di mana budaya
penelitian menguntungkan semua staf, manajemen mereka akan menghasilkan
luaran yang positif (Anijaobi et.al. dalam Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham
Nik Ismail, 2014).
Oleh karena itu, definisi operasional budaya penelitian dirancang bersama
norma-norma, nilai-nilai, dan praktik yang terkait terutama dengan akuisisi
pengetahuan sebagai bagian dari akademisi dalam suatu organisasi dan juga
pengembangan pengetahuan baru dan ide-ide serta sebagai percobaan dengan
teknik baru (Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014).
Budaya penelitian meliputi disiplin atau ide interdisipliner dan nilai-nilai,
jenis tertentu dari pengetahuan dan produksi pengetahuan, praktek-praktek budaya
dan narasi (misalnya bagaimana penelitian dilakukan, dan bagaimana peer review
dilaksanakan), sosialisasi departemen, jaringan intelektual internal dan eksternal
lainnya dan masyarakat belajar. Penjelasan kerja budaya penelitian institusional
sebagai: nilai-nilai bersama, asumsi, keyakinan, ritual dan bentuk lain dari
perilaku yang terfokus pada penerimaan dan pengakuan dari praktek penelitian
dan output yang dihargai, berharga dan sebagai aktivitas unggulan (Linda Evans,
2007).

Temuan Hasil Penelitian Tentang Budaya Penelitian


Hanover Research (2014) mempublikasi temuan hasil penelitian tentang
budaya penelitian seperti berikut ini.
1. Budaya penelitian membutuhkan baik pemimpin kelembagaan-dan unit
berbasis tujuan penelitian yang jelas dan berkomunikasi secara efektif. Tujuan
harus disertai dengan rencana yang ditetapkan, evaluasi keberhasilan
penelitian serta karena setiap perubahan yang menyertainya ada kompensasi.
Administrator juga harus menyesuaikan deskripsi pekerjaan untuk
menyertakan laporan penelitian dan pelajaran yang diperoleh demi mem-
bangun harapan masa depan.
2. Lembaga yang ingin mengembangkan budaya penelitian mengalokasikan
sumber daya yang signifikan untuk pelatihan dan pendukungannya. Fakultas
menyediakan beasiswa, Peneliti yang minim pengalaman membutuhkan
pelatihan dan dukungan pribadi untuk menjadi mahir. Lembaga dapat
mengembangkan pendidikan dan latihan berkelanjutan diikuti dengan
dukungan layanan dalam praktek penelitian, menulis hibah, dan hibah
pengelolaan. Program-program ini dapat ditempatkan di baik LPPM atau di
pusat penelitian.
3. Budaya mengembangkan penelitian membutuhkan pribadi yang terbuka dan
kolaboratif; Hubungan yang menyenangkan antar fakultas akan mendukung
fakultas-fakultas untuk saling mentoring penelitian. Hubungan pribadi di
antara fakultas juga cenderung untuk mendorong upaya penelitian kolaboratif,
yang merupakan ciri khas dari keberhasilan budaya penelitian.
4. Untuk menerapkan perubahan budaya, administrator siap untuk menyesuaikan
alokasi sumber daya berdasarkan motivasi anggota peneliti saat ini demi
peningkatan kemampuan mereka. Mereka dengan motivasi tinggi walaupun
kemampuan rendah cenderung akan membuat penggunaan sumber daya
pendidikan dan pelatihan yang terbaik. Mereka dengan motivasi yang rendah
adalah yang paling diuntungkan dari pengembangan hubungan pribadi baik di
dalam unit mereka dan dalam komunitas akademis yang lebih besar.
5. Budaya penelitian memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mengembangkan-
nya, setelah terbentuk, membutuhkan perawatan berkala. Kebijakan baru yang
berkaitan dengan penelitian harus ditegakkan dengan keteraturan dari waktu ke
waktu sebelum mereka merima. Setelah perubahan kebijakan diterima,
administrator harus siap untuk memenuhi terus tantangan, seperti memelihara
dana penelitian, pengembangan kemitraan dengan lembaga di luar untuk
memperluas kesempatan penelitian, dan menghadapi perubahan kelembagaan
6. Rencana untuk budaya penelitian harus mencakup pertimbangan keterlibatan
mahasiswa. Mahasiswa baik S1, S2 maupun S3 wajib melakukan penelitian
sebagai tugas akhir. Lembaga Penelitian dapat mengembangkan keterampilan
penelitian mahasiswa melalui asisten penelitian. Mentor Fakultas juga dapat
memberikan bimbingan penelitian secara pribadi.

Revolusi Mental dan Membangun budaya Penelitian


Revolusi mental adalah transformasi etos, yaitu perubahan mendasar
dalam mentalitas, cara berpikir, cara merasa dan cara mempercayai, yang
semuanya menjelma dalam perilaku dan tindakan sehari-hari. Etos ini
menyangkut semua bidang kehidupan mulai dari ekonomi, politik, sains-
teknologi, seni, agama, dsb. Begitu rupa, sehingga mentalitas bangsa (yang
terungkap dalam praktik/kebiasaan seharihari) lambat-laun berubah. Peng-
organisasian, rumusan kebijakan dan pengambilan keputusan diarahkan untuk
proses transformasi itu.
Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi mental adalah menjadi
manusia yang berintegritas, mau bekerja keras, dan punya semangat gotong
royong. Revolusi mental adalah suatu gerakan untuk menggembleng manusia
Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja,
bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala. Inilah gagasan
revolusi mental yang pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada
Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956.
Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap,
dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga
Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-
bangsa lain di dunia. Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting?
Membangun jalan, irigasi, pelabuhan, bandara, atau pembangkit energi juga
penting. Namun seperti kata Bung Karno, membangun suatu negara, tak hanya
sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya
membangun jiwa bangsa. Dengan kata lain, modal utama membangun suatu
negara, adalah membangun jiwa bangsa. Inilah ide dasar dari digaungkannya
kembali gerakan revolusi mental oleh Presiden Joko Widodo. Jiwa bangsa yang
terpenting adalah jiwa merdeka, jiwa kebebasan untuk meraih kemajuan. Jiwa
merdeka disebut Presiden Jokowi sebagai positivisme. Gerakan revolusi mental
semakin relevan bagi bangsa Indonesia yang saat ini tengah menghadapi tiga
problem pokok bangsa yaitu; merosotnya wibawa negara, merebaknya intoleransi,
dan terakhir melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional. Revolusi mental
adalah perubahan mental/kejiwaan/psikologis/batin/watak seseorang yang
dilakukan dalam waktu yang cepat. Dari semua uraian diatas, mengindikasikan
bahwa bapak Presiden Joko Widodo ingin mengadakan perubahan mental rakyat
indonesia dengan cara yang cepat (revolusi).
Para peneliti diminta ikut menjadi bagian dari gerakan Revolusi Mental.
Peneliti-peneliti Indonesia hendaknya menjadi motor penggerak dalam
membangun Indonesia yang berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Hal ini
penting agar kegiatan riset dan inovasi lebih terarah dan disinergikan juga dengan
program pengembangan science and techno park, yang dikembangkan oleh
perguruan tinggi yang ditugaskan sebagai center of excellence, kata Menteri
Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani di
Jakarta (Rabu, 11/3/2015).
Bukan perkara mudah untuk menumbuhkan budaya meneliti termasuk
didalamnya revolusi mental. Perlu konsentrasi, biaya dan waktu yang tidak
sedikit. Menumbuhkan budaya meneliti perlu menjadi tanggung jawab bersama
baik lembaga/orbanisasi maupun perseorangan: dosen, mahasiswa dan alumni.
Komitmen dan dukungan organisasi: 1) Harus ada dukungan penuh dari
yayasan dan pimpinan PTS dalam membangun budaya akademik meneliti dosen
dan mahasiswa. 2) Dukungan sarana dan prasarana (ruangan, internet, perpustaka-
an, lab, fasilitas lain) 3) Dukungan pendanaan internal untuk memacu dosen
melakukan riset, 4) Dukungan sistem lembaga dan insentif riset. 5) Dukungan
motivasi, pengarahan dan akses (Andreas Lako, 2014).
Selain itu Andreas Lako, (2014) menyarankan agar Universitas/Perguruan
Tinggi semestinya memiliki LPPM dan dipimpin oleh dosen yang kompeten dan
berkualitas. LPPM berperan: 1) Menyusun tatakelola organisasi LPPM; 2)
Menyusun Rencana Induk Pengembangan Penelitian dan Pengabdian Kepada
Masyarakat secara terintegrasi dan berkelanjutan; 3) Mengkoordinasi, mengarah-
kan dan memastikan pelaksanaan dan pencapaian tujuan dari aktivitas penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat para dosen dan mahasiswa; 4) Mencari dan
mengelola informasi hibah penelitian dan PKM dari Dikti dan pihak-pihak
lainnya, lalu menginformasikan kepada para dosen. 5) Mengkoordinasikan
penelitian dan PKM antar program studi; 6) Memfasilitasi pelatihan dan
pengembangan strategi menyusun proposal dan melakukan penelitian kepada para
dosen dengan mengundang pihak-pihak yang kompeten; 7) Mendorong
terbentuknya pusat-pusat studi untuk menghimpun minat meneliti para dosen pada
bidang-bidang tertentu. 8) Memberikan skema dana hibah penelitian dari institusi
untuk memotivasi minat dan kemampuan para dosen melakukan penelitian-
penelitian awal.
Pra-kondisi yang diperlukan untuk penyelenggaraan penelitian (Frans Mardi
Hartanto, 2014) adalah seperti berikut: 1) Terdapat cukup banyak isyu yang layak
untuk diteliti secara ilmiah, mendasar, dan mendalam; 2) Terjadi olah intelektual
dan berbagi pengetahuan yang intensif di komunitas pakar dan komunitas praktisi
yang berkaitan dengan isyu-isyu yang layak untuk diteliti; 3) Peneliti memahami
dengan baik lingkungan penelitian yang digelutinya; 4) Tersedia infra-struktur
belajar dan penelitian yang memadai. 5) Riset bisa dijalankan sendiri oleh peneliti
independen; 6) Penelitian dilakukan di alam kebebasan dan dilaksanakan secara
demokratik; 7) Penelitian dijalankan secara fleksibel, artinya para peneliti tidak
terpaku pada suatu konsep atau pemikiran baku saja, tetapi bersifat adaptif; 8)
Penelitian tidak dibatasi pada pemahaman pengetahuan baru yang eksplisit, namun
juga menguasai pengetahuan nirwujud (tacit) yang relevan.
Setelah terpenuhinya 8 pra-kondisi seperti di atas, untuk membangun
budaya meneliti selanjutnya membangun komitmen dosen, menurut Andreas Lako
(2014) meliputi: 1) Membangkitkan minat, tekad, kecintaan dan semangat untuk
melakukan suatu penelitian. 2) Menspesialisasikan keahlian pada suatu bidang
ilmu tertentu sesuai dengan rekam jejak pendidikan dan pengajaran akademik
yang telah dilakukan. 3) Rajin mencari sumber-sumber informasi penawaran skim
hibah penelitian dari Dikti/Kopertis. 4) Mempelajari ketentuan atau syarat-syarat
dari suatu skim hibah penelitian yang relevan, lalu strategi penulisan proposal
seperti yang disyaratkan. 5) Mengumpulkan dan mempelajari sumber-sumber
pustaka yang relevan sesuai spesialisasi bidang ilmu dan kompetensi riset yang
akan dibangun; 6) Sebaiknya mengajak rekan yang memiliki ketertarikan pada
bidang ilmu yang sama untuk menjadi rekan atau tim peneliti. 7) Bagi para dosen
calon peneliti pemula, sebaiknya juga “berguru” pada dosen-dosen yang sudah
berpengalaman dalam mendapatkan hibah penelitian dari Dikti, Kopertis atau
lainnya yang memiliki persyaratan dan tingkat kompetisi yang tinggi. 8) Jangan
pernah menyerah apabila mengalami kegagalan dalam pengajuan proposal hibah
penelitian. Pelajari penyebab kegagalan dan lakukan perbaikan proposal untuk
diajukan pada tahap berikutnya. 9) Teruslah meningkatkan pengetahuan dan
kompetensi pada suatu bidang ilmu tertentu yang spesifik atau unik dengan
mempelajari literatur terbaru dan amati femonena sosial, alam, Iptek, dan lainnya
yang relevan.
Keyakinan yang perlu dibangun oleh para peneliti (Frans Mardi Hartanto,
2014) baik dosen, mahasiswa maupun alumni adalah: 1) Kejujuran intelektual –
Peneliti berani menolak untuk membuat pernyataan tentang sesuatu fenomena atau
peristiwa sebelum ia mendapat kesempatan untuk meneliti fenomena atau peristiwa
tersebut secara ilmiah dan seksama; 2) Manfaat hasil penelitian – Peneliti meyakini
bahwa apa yang ditelitinya akan membawa manfaat bagi masyarakat, kini atau di
masa depan; 3) Banyak pengetahuan yang belum terungkapkan – Peneliti meyakini
bahwa masih ada banyak fakta yang masih menunggu untuk diungkapkan melalui
penelitian ilmiah; 4) Relativitas kebenaran – Peneliti meyakini bahwa sesuatu
kebenaran bersifat relatif, artinya di masa depan atau dalam konteks berbeda dapat
saja diperoleh pengetahuan baru yang memunculkan fakta baru yang berbeda dari
„kebenaran‟ yang diyakini saat ini di tempat ini. 5) Terbuka – Peneliti memiliki
hasrat tinggi untuk berolah intelektual, berbagi pengetahuan, dan belajar dari
komunitas pakar maupun komunitas praktisi pada skala lokal, nasional, maupun
global dalam iklim kesetaraan; 6) Mentalitas berkelimpahan – Peneliti dengan
senang hati berbagi pengetahuan dengan orang lain, karena yakin hal itu justru akan
memungkinkannya untuk memperkaya pengetahuan yang telah dimiliknya; 7)
Bebas dari rasa takut – Peneliti bisa membebaskan diri dari rasa takut, bila ia yakin
bahwa kegiatan penelitiannya sepenuhnya diabdikan untuk mewujudkan
kesejahteraan bersama; 8) Bebas dari bias intelektual – Peneliti perlu membebas-
kan diri dari keterkaitan yang kaku pada suatu konsep atau teori tertentu; 10) Bebas
dari taboo kultural – Peneliti perlu berani membela temuannya yang diperoleh
secara ilmiah, meskipun berbeda dengan tradisi dan kebiasaan yang ada; 11)
Egaliter – Peneliti memperlakukan semua gagasan yang masuk sama, meskipun
gagasan itu berasal dari orang yang secara akademik atau intelektual berada di
bawahnya, serta tidak memaksakan pendapatnya pada orang lain; 12) Dewasa –
Peneliti memahami kemampuan dan keterbatasan dirinya sendiri serta mengatur dan
memimpin diri mereka sendiri dengan bijak – mereka mau menerima dan
menghargai kritik serta terbuka bagi semua saran perbaikan; 13) Inovatif – Peneliti
menghargai prestasi orang lain, memiliki semangat belajar inovatif, dan memiliki
orientasi yang kuat ke masa depan – Peneliti tidak terbuai oleh suksesnya di masa
lalu atau terjebak oleh konservatisme intelektual; 14) Toleran terhadap kesalahan –
Peneliti bukanlah orang yang sempurna, sebaliknya mereka menyadari bahwa
kesalahan itu manusiawi – Mereka selalu menyediakan “Ruang untuk Kesalahan”.
15) Inovatif – Peneliti menghargai prestasi orang lain, memiliki semangat belajar
inovatif, dan memiliki orientasi yang kuat ke masa depan – Peneliti tidak terbuai
oleh suksesnya di masa lalu atau terjebak oleh konservatisme intelektual.

Penutup
Produktifitas penelitian kita sangat rendah, hasil survey Internasional
tentang jumlah publikasi penelitian menempatkan Indonesia pada urutan 62 dari
239 negara. Jika menelusuri akar masalah tidak hanya berkaitan dengan minimnya
dana dan political will pemerintah, tetapi juga dipengaruhi: oleh mutu penelitian
dosennya serta rendahnya budaya meneliti dalam masyarakat terutama kaum
intelektual. Rendahnya kualitas mental dan budaya meneliti menyebabkan
masyarakat akademik tidak terbiasa dan terlatih sehingga menjadi kendala ketika
melakukan penelitian. Kebanyakan dosen masih belum memamahi arti penting
melakukan penelitian untuk peningkatan kompetensi dan karir dirinya sebagai
dosen profesional, untuk membangun reputasi akademik institusi pendidikannya,
dan juga untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tekonologi. Munculnya
kebijakan diharuskanya mahasiswa S-1, S-2, dan S3 mempublikasikan karya
ilmiah merupakan salah satu langkah awal menumbuhkan budaya meneliti
mahasiswa dan dosen untuk menghasilkan karya tulis.
Budaya yang menunjukkan pada 3 aspek itu adalah sebagai pemrograman
kolektif pikiran yang membedakan anggota satu kategori orang dari yang lain.
Budaya penelitian adalah cerminan nilai-nilai, cita-cita dan keyakinan tentang
penelitian dalam organisasi, pada gilirannya tercermin dalam perilaku penelitian,
tindakan penelitian dan simbol penelitian organisasi. Studi pada budaya penelitian
telah difokuskan pada jenis lingkungan yang mengarah ke penelitian
produktivitas. Makalah ini telah mengidentifikasi 6 temuan hasil penelitian
tentang budaya penelitian terkait penelitian kelembagaan maupun individual yang
bermanfaat baik untuk dosen, mahasiswa maupun alumninya.
Membangun budaya meneliti perlu menjadi tanggung jawab bersama baik
lembaga/organisasi maupun perseorangan: dosen, mahasiswa dan alumni. Secara
organisatoris, Universitas/ Perguruan Tinggi semestinya memiliki LPPM dan
dipimpin oleh dosen yang kompeten dan berkualitas; disamping 5 Komitmen dan
dukungan organisasi, LPPM perlu memainkan 8 perannya. Terdapat 8 pra-kondisi
yang diperlukan untuk penyelenggaraan penelitian, setelah terpenuhi, untuk
membangun budaya meneliti selanjutnya perlu membangun 9 komitmen dosen.
Pada akhirnya terdapat 15 Keyakinan yang perlu dibangun oleh para peneliti baik
dosen, mahasiswa maupun alumni.

Daftar Pustaka
Andreas Lako, 2014. Membangun Budaya Meneliti. Makalah dasajikan dalam
Pelatihan Metodologi Penelitian bagi Dosen PTS Kopertis Wilayah VI Jawa
Tengah, Salatiga 10-13 Pebruari 2014
Dinar Pratama, 2012. Budaya Meneliti Masih Rendah (Membumikan Budaya
Meneliti Di Babel). https://dinarpratama.wordpress.com/2012/04/24/
Faizah Indrus and Nik Ahmad Hisham Nik Ismail, 2014. Research Culture: An
Indispensible Practice for Progress? Prociding of IAC-SSaH 2014.
International Academic Conference on Social Sciences and Humanities in
Prague 2014 (IAC-SSaH 2014 in Prague)
Frans Mardi Hartanto, 2014. Membangun budaya belajar dikalangan peneliti.
http://dadangiskandar.staff.telkomuniversity.ac.id/files/2015/06/Budaya-
Meneliti-Desember-2014.pdf.
Hanover Research, 2014. Building a Culture of Research: Recommended
Practices. http://www.hanoverresearch.com/media/Building-a-Culture-of-
Research-Recommended-Practices.pdf.
Linda Evans, 2007. Developing Research Cultures and Researchers in HE: the
Role of Leadership. paper was presented at the Annual Conference of the
Society for Research into Higher Education (SRHE) December 11th 2007
M. Allyson Macdonald. 2004. Contradictions in educational research: a case study
from teacher education in Iceland. A paper presented at the 32nd NERA
Annual Congress Held in Reykjavík, Iceland 11th – 13th March 2004

Anda mungkin juga menyukai