Analisis Kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Kelompok 2 Kelas 5B
Analisis Kasus PT Tiga Pilar Sejahtera Kelompok 2 Kelas 5B
A. PROFIL PERUSAHAAN
PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (IDX : AISA) merupakan perusahaan multinasional yang
memproduksi makanan. Perusahaan ini didirikan pada tahun 1959 dan berpusat di Jakarta.
Perusahaan ini menghasilkan berbagai macam-macam bahan makanan.Pada tahun 1959,
almarhum Tan Pia Sioe mendirikan bisnis keluarga yang nantinya berkembang menjadi PT Tiga
Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPS-Food). Dimulai dari memproduksi bihun jagung dengan nama
Perusahaan Bihun Cap Cangak Ular di Sukoharjo, Jawa Tengah.Tiga Pilar Sejahtera memiliki
badan hukum perseroan terbatas pada tahun 1992 dan go public pada tahun 2003.Saat ini, TPS
Food sudah memegang sertifikasi ISO 9001:2008, HACCP, dan Halal (MUI).
Jenis Publik (IDX: AISA)
Industri Makanan
Didirikan 1959
Kantor Jakarta, Indonesia
pusat
Produk Makanan
Karyawan 1.567
PT Tiga Pilar Sejahtera Food, Tbk (TPSF) merupakan perusahaan publik yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2003 yang pada awalnya hanya bergerak di bisnis makanan
(TPS Food). Sejalan dengan proses transformasi bisnis yang dimulai pada 2009, TPSF telah
menjadi salah satu perusahaan yang termasuk dalam Indeks Kompas 100. Pada 2011, TPSF
menjadi salah satu perusahaan yang termasuk dalam daftar “A List of the Top 40 Best
Performing Listed Company” dari Majalah Forbes Indonesia dan pada 2012, TPSF mendapatkan
penghargaan Indonesia Best Corporate Transformation dari Majalah SWA. Selain itu, TPSF juga
dianugerahi penghargaan Asia’s Best Companies 2014 kategori Best Small Cap dari Finance
Asia dan termasuk dalam daftar 20 Rising Global Stars dari Forbes Indonesia pada 2014.
B. Analisa Tiga Pilar Sejahtera (AISA) – Kinerja Jatuh, Segmen Food Bertahan
Emiten AISA, PT Tiga Pilar Sejahter Food (TPS Food) terkena krisis. Harga Saham
AISA pun jatuh sangat dalam. Divisi bisnis beras berhenti beroperasi, padahal kontribusi
revenue-nya paling besar. Hutang sangat besar, dan terancam tidak bisa melunasinya. Rencana
untuk menjaul divisi beras tidak disetujui oleh para pemegang obligasi, padahal cara yang paling
feasible untuk melunasi hutang-hutang ya dari menjual divisi beras ini.
Namun di balik kekacauan berita yang beredar tentang kinerjanya yang jatuh, ternyata
divisi bisnis makanan (food) masih menguntungkan. Bahkan di tengah badai krisis inipun,
berdasarkan laporan keuangan 2017, revenue masih tumbuh 2%, dan labanya positif meskipun
turun dari tahun sebelumnya.
Bagaimanakah prospek investasi di Saham AISA? Tulisan ini akan membahas hal-hal berikut
ini:
Catatan: di dalam tulisan ini, penyebutan TPS Food dan AISA akan sering digunakan secara
bergantian. TPS Food menunjukkan perusahaan, dan AISA menunjukkan kode saham di market.
Namun AISA sendiri lebih terkenal daripada TPS Food, sehingga kadang disebut AISA untuk
menunjukkan nama perusahaan. Tidak apa-apa, yang penting kita sama-sama tahu apa yang
dimaksud.
Catatan dari auditor Laporan Keuangan tahun 2017 menyebutkan bahwa “… Perusahaan
dan beberapa entitas anak juga mengalami status default dari beberapa kreditur sehingga status
pinjaman menjadi jatuh tempo dan utang obligasi dan sukuk ijarah telah direstrukturisasi dengan
waktu pembayaran dan jatuh tempo pada tahun 2019. Kondisi ini mengindikasikan adanya suatu
ketidakpastian yang mungkin akan mempengaruhi usaha Perusahaan di masa mendatang …”
Kinerja Fundamental
Data yang disajikan meliputi penjualan/pendapatan/revenue, laba kotor, laba usaha, laba
bersih, aset, liabilitas, equitas, gross margin, operating margin, net margin, ROE, ROA, Financial
leverage, asset turnover, pertumbuhan per tahun (YoY), dan pertumbuhan jangka panjang
(CAGR) :
Tabel 1. AISA – Kinerja Fundamental Bisnis. Angka Laba-rugi dan Neraca dalam milyar rupiah.
Kinerja konsolidasi (semua segmen bisnis) tahun 2017 sangat buruk. Laba minus, alias
rugi besar. Tidak main-main, ruginya sebesar seperempat dari equitas, alias ROE -25%.
Bandingkan dengan kinerja tahun 2016 sebelum kena kasus besar, ROE masih atraktif di angka
17%. Berbeda dengan divisi makanan yang masih untung lumayan (251 milyar) dengan ROE
17%. Divisi beras rugi sangat besar (984 milyar) sehingga kinerja bagus dari divisi Makanan
tidak mampu menolong kinerja perusahaan secara keseluruhan (konsolidasi).
Tentang kerugian yang besar untuk laporan konsolidasi tahun 2017 ini, disebabkan oleh:
Operasi bisnis beras yang hampir berhenti sama sekali sejak di Q3, sehingga di Q4
hampir tidak menghasilkan revenue sama sekali (hanya 64 milyar).
Sementara itu penurunan beban pokok penjualan tidak sebanding dengan penurunan
revenue karena adanya fixed cost yang besar.
Beban usaha malah meningkat, khususnya pada biaya promosi, gaji, konsultan, dan
pengurusan perijinan. Untuk menahan laju kerusakan brand, perusahaan harus menambah
biaya promosi dan konsultan. Beban gaji naik karena banyak merumahkan pegawainya
(untuk pesangon).
Beban hutang yang sangat besar, dan waktu jatuh tempo yang dekat.
Kinerja konsolidasi (semua segmen bisnis) tahun 2017 turun semua dibandingkan tahun
2016. Jumlah utang yang naik 7%, itu juga bentuk penurunan kinerja. Berbeda dengan divisi
Makanan, penjualan tetap naik, dan walaupun laba turun dibandingkan tahun 2016 tapi nilainya
tetap positif.
PE (Annualized) : -1,11
PBV : 0,18
Dibandingkan dengan harga puncak sebelum jatuh (April 2017):
Turun : 92%
Turun : 59%
Dengan total kerugian yang sangat besar, tentu saja PER saham AISA menjadi negatif (-
1,11). Seandainya semua aset divisi beras dijual, dan hasil penjualan divisi ini digunakan untuk
membayar hutang-hutangnya, sehingga yang tersisa adalah divisi makanan, maka PER dari divisi
makanan adalah:
Lihat, hanya hari dari kontribusi bisnis makanan saja, PER saham 2,45. Betapa murahnya
harga saham AISA ini. Kerugian bisnis beras telah membuat market menghargai sahamnya
sangat murah sekali. Namun kita harus melihat lagi, bagaimana prospek ke depan perusahaan ini.
Kini reputasi perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun hancur dalam sekejap. Tapi
setidaknya, kejadian seperti ini akan membuat market berpikir sebaliknya, mencari-cari
kesalahan dan kelemahan lain. Dulu ketika jaya, keburukan tidak mudah terlihat. Sekarang
ketika jatuh, apa saja yang dilakukan perusahaan jadi lebih tampak sisi negatifnya.
Akuisis PT Golden Plantation Tbk (GOLL) dibeli dengan harga mahal. Namun akhirnya
dijual dengan murah. Market tidak percaya kemampuan manajemen dalam membuat visi dan
strategi bisnis. Alasan yang disampaikan adalah Manajemen Perseroan menilai bahwa bisnis
perkebunan kelapa sawit tidak memberikan nilai tambah positif terhadap valuasi Perseroan. Total
penjualan yang masih relatif kecil karena usia kebun yang relatif muda, hutang dalam mata uang
asing dengan resiko kerugian kurs serta komitmen pembelanjaan kapital yang melebihi 30% dari
belanja kapital keseluruhan, membuat neraca dan kinerja Perseroan menjadi kelihatan berat.
Ada sisi yang lain, divestasi GOLL adalah melibatkan perusahaan berelasi sebagai
pembelinya. Yang perlu di-highlight dalam alasan penjualan GOLL: Total penjualan yang masih
relatif kecil karena usia kebun yang relatif muda. Dengan relatif mudanya usia perkebunan sawit
saat ini, namun di masa depan nanti akan sangat menguntungkan ketika perkebunan mencapai
usia produktif. Siapa yang akan untung? Tentu saja PT JOM yang juga dimiliki oleh Joko
Mogoginta. Sehingga menimbulkan pertanyaan, di manakah integritas manajemen (yang
sekaligus sebagai pihak pengendali perusahaan) dalam mengamankan kepentingan masa depan
perusahaan dan pemegang saham yang lainnya?
Dengan jumlah aset lancar yang hanya 4,5 trilyun (cash 182 milyar, piutang 2,1 trilyun, dan
persedianaan 1,4 trilyun), perusahaan tidak mungkin bisa membayar hutang jangka pendek
dengan sumber dananya sendiri. Oleh karena itu kemungkinan solusinya adalah:
Menjual aset. Dalam hal ini menjual divisi bisnis beras, dengan total aset divisi beras 3,9
trilyun.
Restrukturisasi hutang. Dengan berbagai opsi: renegosiasi untuk penjadwalan
pembayaran utang, mengambil hutang baru untuk menutup hutang lama, atau konversi
hutang menjadi saham.
Rencana penjualan divisi Beras sampai saat ini tidak disetujui oleh para kreditor. Beberapa
restrukturisasi hutang yang telah dilakukan pada tahun 2017 masih menyisakan banyak
pekerjaan restrukturisasi lagi di tahun 2018. Sehingga focus manajemen akan lebih banyak
disibukkan dengan usaha untuk mengatasi hutang ini daripada membesarkan bisnisnya.
Selain itu, sejak awal tahun 2018 pemegang saham pengendali tercatat telah menjual
sahamnya di market secara bertahap, dan per 28 Juni 2018 kepemilikannya turun menjadi 7,19%
(dari 22,01% awal 2018). Market semakin bertanya-tanya lagi, apakah keterlambatan laporan
keuangan itu disengaja untuk memberi kesempatan pemegang saham mayoritas untuk menjual
sahamnya? Apakah mereka berniat untuk “kabur” karena melihat kinerja bisnis yang mungkin
tidak bisa diselamatkan lagi?
Ada analisa yang menarik dari Joeliardi Sunendar di Stockbit.com. Analisa yang
memandang ini dari sisi yang lebih optimis, namun tetap beliau menekankan bahwa analisa
tersebut merupakan wild speculation. Dan menurut saya, itu layak untuk kita simak. Saat ini ada
kemungkinan bahwa harga obligasi AISA di market harganya sangat jatuh, lebih jatuh daripada
harga sahamnya. Sehingga pemegang saham pengendali menjual sahamnya untuk mendapatkan
cash buat membeli obligasi AISA. Dengan harapan bahwa pemegang saham pengendali ini akan
mampu menguasai dan menjadi salah satu pemegang mayoritas obligasi, sehingga dapat
mempengaruhi keputusan pemegang obligasi “apakah akan mengijinkan perusahaan menjual
divisi beras apa tidak.”