Anda di halaman 1dari 73

LAPORAN PRAKTIKUM FITOKIMIA

ISOLASI SENYAWA BRAZILIN DARI SIMPLISIA KAYU SECANG


(Caesalpiniae Sappanis L) DENGAN METODE REFLUKS, MASERASI
DAN SOXHLET

Disusun oleh:
Rifa Nabilla R (10060318140)
Muhammad Adliansyah P H (10060318141)
Ega Nirmala (10060318142)
Eky Bagus Wahyudi (10060318143)
Erica Yola Pramana P (10060318144)

Nama Asisten : Ayu Puspa, S.Farm


Shift / Kelompok : C/8
Pengumpulan Laporan : 03 November 2020

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT B


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
BANDUNG
2020 M / 1442 H
ISOLASI SENYAWA BRAZILIN DARI SIMPLISIA KAYU SECANG
(Caesalpiniae Sappanis L.) DENGAN METODE REFLUKS, MASERASI
DAN SOXHLET

I. Tujuan Percobaan
I.1. Mengisolasi senyawa aktif pada kayu secang
I.2. Menguji kemurnian senyawa aktif hasil isolasi pada simplisia kayu secang
I.3. Menentukan senyawa aktif yang terkandung pada simplisia kayu secang

II. Teori Dasar


II.1. Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.)

Gambar. Kayu Secang


Secang ditemukan pertama kali oleh Kimichi (seorang berkebangsaan
Spanyol) di Brazil. Sesuai dengan tempat asalnya, tanaman ini disebut ‘kayu
Brazil’ (Brazil wood). Walaupun demikian, ada yang mengatakan bahwa asal
tanaman ini dari India melalui Burma, Thailand, Indo China sampai Malaysia dan
menyebar ke Indonesia, Philipina, Srilangka, Taiwan, dan Hawai. Jenis tanaman
ini tumbuh subur dan tersebar di Eropa, Amerika dan Asia. Secang memiliki nama
ilmiah Caesalpinia sappan dengan sinonim Bianceae, dikenal di berbagai negara
dengan nama ‘sibukao’ (Philipina), ‘teing-nyet’ (Burma), ‘sbaeng’ (Kamboja),
‘fang deeng’ (Laos), dan ‘faang’ (Thailand) (Pusat Pengembangan Pendidikan
UGM, 2011).
Klasifikasi secang adalah (Fadilah, 2014):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Class : Dicotyledoneae
Ordo : Rosales
Family : Caesalpiniaceae
Genus : Caesalpinia
Species : Caesalpinia sappan L.
Kayu secang mengandung brazilin, brazilein, asam galat, tanin, resin,
resorsin, dan d-α-phellandrene. Daun dan ranting mengandung tetraacetylbrazilin,
proesapanin A, 0,16-0,20% minyak atsiri yang berbau enak dan hampir tidak
berwarna (Dalimartha, 2009). Ekstrak kayu secang hasil penapisan mengandung
lima senyawa aktif yang terkait dengan flavonoid baik sebagai antioksidan primer
maupun antioksidan sekunder. Telah diketahui ternyata flavonoid yang terdapat
dalam ekstrak kayu secang memiliki sejumlah kemampuan yaitu dapat meredam
atau menghambat pembentukan radikal bebas hidroksil, anion superoksida,
radikal peroksil, radikal alkoksil, singlet oksigen, hidrogen peroksida (Miller,
2002).
Kayu secang sering digunakan sebagai pengobatan tradisioal karena
mengandung asam galat, tanin, resorsin, brasilin, brasilein, d-alfa-phellandrene,
antibakteri, oscimene, alkaloid, flavonoid, saponin, fenil propana, terpenoid, dan
minyak atsiri (Hidayat et al., 2015). Selain itu, tanaman secang digunakan sebagai
salah satu pigmen alami karena menghasilkan pigmen berwarna merah.
Pigmen merah ini disebut antosianin yang bersifat mudah larut dalam air panas
(Karlina et al., 2012).
Gambar. Struktur Kimia Brazilin dan Brazilein
Menurut Indriani (2003), Brazilin (C16H14O5) adalah kristal berwarna kuning
yang merupakan pigmen warna pada secang. Asam tidak berpengaruh terhadap
larutan brazilin, tetapi alkali dapat membuatnya bertambah merah. Eter dan
alkohol menimbulkan warna kuning pucat terhadap larutan brazilin. Brazilin akan
cepat membentuk warna merah ini disebabkan oleh terbentuknya brazilein.
Brazilin jika teroksidasi akan menghasilkan senyawa brazilein yang berwarna
merah kecoklatan dan dapat larut dalam air.
Menurut Moon dkk (1992), berdasarkan aktivitas antioksidannya, brazilin
mempunyai efek melindungi tubuh dari keracunan akibat radikal kimia.
Selanjutnya Lim dkk (1997), membuktikan bahwa indeks antioksidatif dari
ekstrak kayu secang lebih tinggi daripada antioksidan komersial (BHT atau
BHA). Peneliti lain mengungkapkan bahwa brazilin diduga mempunyai efek anti-
inflamasi (Winarti dan Nurdjanah, 2005).
II.2. Skrinning Fitokimia
Skrining fitokimia merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit sekunder suatu bahan alam.
Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan yang dapat memberikan
gambaran mengenai kandungan senyawa tertentu dalam bahan alam yang akan
diteliti. Skrining fitokimia dapat dilakukan, baik secara kualitatif, semi kuantitatif,
maupun kuantitatif sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Metode skrining
fitokimia secara kualitatif dapat dilakukan melalui reaksi warna dengan
menggunakan suatu pereaksi tertentu. Hal penting yang mempengaruhi dalam
proses skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi. Pelarut
yang tidak sesuai memungkinkan senyawa aktif yang diinginkan tidak dapat
tertarik secara baik dan sempurna (Harborne, 1987). Senyawa-senyawa yang
dicari pada percobaan skrining fitokimia pada kali ini adalah alkaloid, polifenolat,
flavonoid, saponin, antrakuinon, tannin, monoterpenoid dan seskuiterpenoid,
triterpenoid dan steroid.
II.2.1. Alkaloida
Alkaloid adalah senyawa metabolit sekunder terbanyak yang memiliki atom
nitrogen, yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan dan hewan. Sebagian besar
senyawa alkaloid bersumber dari tumbuh-tumbuhan terutama angiosperm. Lebih
dari 20% spesies angiosperm mengandung alkaloid (Wink, 2008). Alkaloid dapat
ditemukan pada berbagai bagian tanaman, seperti bunga, biji, daun, ranting, akar
dan kulit batang. Alkaloid berkhasiat sebagai anti diare, anti diabetes, anti
mikroba dan anti malaria, akan tetapi beberapa senyawa golongan alkaloid
bersifat racun sehingga diperlukan adanya identifikasi senyawa golongan alkaloid
yang dapat diketahui manfaatnya.
II.2.2. Polifenolat
Senyawa polifenol adalah senyawa aktif yang banyak ditemukan pada
tanaman. Senyawa polifenol merupakan senyawa yang dapat ditandai dengan
adanya cincin aromatik yang membawa lebih dari satu ion hidrogen. Senyawa
polifenol dibagi menjadi dua golongan yaitu flavonoid (flavon, flavanol, flavanon,
isoflavon antosianidin dan kalkon) dan tanin (polimer asam fenolat, katekin atau
isokatekin) (Luthria, 2006).
II.2.3. Flavonoid
Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri
dari C6-C3-C6 dan sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam
bentuk glikosida atau gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup
hidroksil fenolik (Bhat et al., 2009). Flavonoid merupakan golongan metabolit
sekunder y ang disintesis dari asam piruvat melalui metabolisme asam amino
(Bhat et al., 2009). Flavonoid adalah senyawa fenol, sehingga warnanya berubah
bila ditambah basa atau amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu
antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon,
auron, flavanon, dan isoflavon (Harborne, 1987).
II.2.4. Saponin
Saponin adalah jenis senyawa kimia yang berlimpah dalam berbagai spesies
tumbuhan. Senyawa ini merupakan glikosida amfipatik yang dapat mengeluarkan
busa jika dikocok dengan kencang di dalam larutan. Busanya bersifat stabil dan
tidak mudah hilang. Sesquiterpenes adalah kelas terpene yang terdiri dari tiga unit
isoprena dan seringkali memiliki rumus molekul C15H24. Seperti monoterpen ,
seskuiterpen mungkin asiklik atau mengandung cincin, termasuk banyak
kombinasi unik. Monoterpen adalah golongan terpene yang terdiri dari dua unit
isoprena dan memiliki rumus molekul C10H16. Monoterpen mungkin linier
(asiklik) atau mengandung cincin (monosiklik dan bisiklik) (Herbert, 1989).
II.2.5. Antraquinon
Senyawa antrakuinon merupakan salah satu senyawa metabolit sekunder
yang termasuk golongan kuinon fenolik yang dalam biosintesisnya berasal dari
turunan fenol (Ariningsih, dkk., 2003). Senyawa antrakuinon merupakan senyawa
kristal bertitik leleh tinggi, dapat larut dalam pelarut organik dan basa dengan
membentuk warna violet merah (Herbert, 1989). Senyawa antrakuinon dan
urunannya juga sering ditemukan berwarna kuning sampai jingga. Senyawa
antrakuinon memiliki beberapa fungsi dalam bidang kesehatan yaitu sebagai
antijamur, antimalaria, antibakteri, antikanker dan antioksidan. Senyawa
antrakuinon dapat dihasilkan dengan cara isolasi dari bahan alam maupun sintesis
(Rath et al., 1995).
II.2.6. Tannin
Tanin merupakan suatu senyawa polifenol yang memiliki berat molekul
besar yang terdiri dari gugus hidroksi dan karboksil. Senyawa tanin terdiri dari
dua jenis yaitu tanin terkondensasi dan tanin terhidrolisis (Horvart, 1981).
II.2.7. Monoterpenoid dan Seskuiterpenoid
Monoterpenoid dan seskuiterpenoid merupakan senyawa terpenoid yang
khas dan merupakan penyusun minyak atsiri. Monoterpenoid tersusun atas dua
isoprena dan seskuiterpenoida tersusun atas tiga isoprene (Harbone, 1987).
II.2.8. Triterpenoid dan Steroid
Triterpenoid adalah senyawa metabolid sekunder yang kerangka karbonnya
berasal dari enam satuan isoprena dan diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik ,
yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik atau asiklik dan sering memiliki
gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat (Harborne, 1987). Sebagian besar
senyawa Triterpenoid mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol sehingga
dalam kehidupan sehari-hari banyak dipergunakan sebagai obat seperti untuk
pengobatan penyakit diabetes, gangguan menstuasi, patukan ular, gangguan kulit,
kerusakan hati dan malaria. Sedang bagi tumbuhan yang mengandung senyawa
Triterpenoid terdapat nilai ekologi karena senyawa ini bekerja sebagai anti fungus,
insektisida, anti pemangsa, anti bakteri dan anti virus (Robinson, 1991).
Steroid adalah senyawa organik lemak sterol tidak terhidrolisis yang didapat
dari hasil reaksi penurunan dari terpena atau skualena. Steroid merupakan
kelompok senyawa yang penting dengan struktur dasar sterana jenuh Senyawa
yang termasuk turunan steroid, misalnya kolesterol, ergosterol, progesteron, dan
estrogen. Pada umunya steroid berfungsi sebagai hormon. Steroid mempunyai
struktur dasar yang terdiri dari 17 atom karbon yang membentuk tiga cincin
sikloheksana dan satu cincin siklopentana. Perbedaan jenis steroid yang satu
dengan steroid yang lain terletak pada gugus fungsional yang diikat oleh ke-empat
cincin ini dan tahap oksidasi tiap-tiap cincin (Herbert, 1989).
II.3. Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dan
bagian tumbuhan obat, hewan dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat
aktif tersebut terdapat di dalam sel, namun sel tumbuhan dan hewan memiliki
perbedaan begitu pula ketebalannya sehingga diperlukan metode ekstraksi dan
pelarut tertentu untuk mengekstraksinya (Tobo, 2001).
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik semua komponen kimia yang
terdapat dalam simplisia. Ekstraksi ini didasarkan pada perpindahan massa
komponen zat padat ke dalam pelarut dimana perpindahan mulai terjadi pada
lapisan antar muka, kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Ansel, 2008).
Berkaitan dengan ekstraksi pastinya berkaitan dengan polaritas dari pelarut,
menurut (Ansel, 2008) terdapat tiga golongan pelarut yaitu:
1. Pelarut Polar
Memiliki tingkat kepolaran yang tinggi, cocok untuk mengekstrak senyawa-
senyawa yang polar dari tanaman. Pelarut polar cenderung universal
digunakan karena biasanya walaupun polar, tetap dapat menyari senyawa-
senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah. Salah satu contoh pelarut
polar adalah: air, metanol, etanol, dan asam asetat.
2. Pelarut Semi Polar
Pelarut semipolar memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelarut polar. Pelarut ini baik untuk mendapatkan
senyawa-senyawa semipolar dari tumbuhan. Contoh pelarut ini adalah:
aseton, etil asetat dan kloroform.
3. Pelarut Non Polar
Pelarut nonpolar, hampir sama sekali tidak polar. Pelarut ini baik untuk
mengekstrak senyawa-senyawa yang sama sekali tidak larut dalam pelarut
polar. Senyawa ini baik untuk mengekstrak berbagai jenis minyak. Contoh:
heksana, eter.
Menurut Ditjen POM (1992), syarat-syarat pelarut untuk pemisahan
senyawa dengan cara ekstraksi adalah sebagai berikut:
1. Kapasitas besar
2. Selektif
3. Volabilitas cukup rendah
4. Harus dapat diregenerasi
5. Relatif tidak mahal/terjangkau
6. Non toksik, korosif, dan kontaminan dalam keadaan uap
7. Viskositas cukup rendah
II.3.1. Maserasi
Metode maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana yang dilakukan
dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari selama beberapa
hari pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya. Metode ini digunakan
untuk menyari simplisia yang mengandung komponen kimia yang mudah larut
dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang seperti
benzoin, stiraks dan lilin. Penggunaan metode ini misalnya pada sampel yang
berupa daun, contohnya pada penggunaan pelarut eter atau aseton untuk
melarutkan lemak/lipid. Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara
pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan.
Selain itu, kerusakan pada komponen kimia sangat minimal. Adapun kerugian
cara maserasi ini adalah pengerjaannya lama dan penyariannya kurang sempurna
(Ditjen POM, 1986).
II.3.2. Refluks
Refluks adalah penyarian yang termasuk dalam metode berkesinambunan,
cairan penyari secara kontinyu menyari zat aktif dalam simplisia. Cara ini
digunakan untuk simplisia yang kandungan zat aktifnya tahan terhadap
pemanasan. Pemanasan dimaksudkan untuk mempermudah cairan penyari
menenmbus dinding sel simplisia karena dengan pemnasan sel simplisia
mengalami pengembangan sehingga rongga-rongga selnya terbuka dengan
demikian pelarut mudah mencapai zat aktif di dalam sel dan diluar sel cepat
tercapai dan menyebabkan pross ekstraksi cepat pula tercapai. Selain itu
pemanasan dapat memurnikan cairan penyari melaui proses kondensasi. Simplisia
yang dapat diekstraksi dengan cara ini adalah yang mempunyai kompoinen kimia
yang tahan pemanasan dan mempunyai tekstur yang keras seperti akar, batang,
kulit batang (Sudjadi, 1986).
Prinsip kerja dari metode ini, yaitu pada rangkaian refluks ini terjadi empat
proses, yaitu proses heating, evaporating, kondensasi dan coolong. Heating terjadi
pada saat feed dipanaskan di labu didih, evaporating (penguapan) terjadi ketika
feed mencapai titik didih dan berubah fase menjadi uap yang kemudian uap
tersebut masuk ke kondensor dalam. Cooling terjadi di dalam ember, di dalam
ember kita masukkan batu es dan air, sehingga ketika kita menghidupkan pompa,
air dingin akan mengalir dari bawah menuju kondensor luar, air harus dialirkan
dari bawah kondensor bukan dari atas agar tidak ada turbulensi udara yang
menghalangi dan agar air terisi penuh. Proses yang terakhir adalah kondensasi
(pengembunan), proses ini terjadi di kondensor, jadi terjadi perbedaan suhu antara
kondensor dalam yang berisi uap panas dengan kondensor luar yang berisikan air
dingin, hal ini menyebabkan penurunan suhu dan perubahan fase dari steam
tersebut untuk menjadi liquid kembali (Sudjadi, 1986).
II.3.3. Soxhlet
Soxhlet merupakan penyarian simplisia secara berkesinambungan, cairan
penyari dipanaskan sehingga menguap, uap cairan penyari terkondensasi menjadi
molekul-molekul air oleh pendingin balik dan turun menyari simplisia dalam
klongsong dan selanjutnya masuk kembali ke dalam labu alas bulat setelah
melewati pipa sifon. Proses ini berlangsung hingga penyarian zat aktif sempurna
yang ditandai dengan beningnya cairan penyari yang melalui pipa sifon atau jika
diidentifikasi dengan kromatografi lapis tipis tidak memberikan noda lagi.
Adapun keuntungan dari proses soxhletasi ini adalah cara ini lebih
menguntungkan karena uap panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui
pipa samping. Kerugiannya adalah jumlah ekstrak yang diperoleh lebih sedikit
dibandingkan dengan metode maserasi (Ditjen POM, 1986).
II.4. Pemantauan Ekstrak
Pemantauan ekstrak dilakukan untuk mengetahui komponen yang ada dalam
ekstrak. Pemantauan komponen ekstrak dilakukan dengan metode kromatografi
lapis tipis (KLT) dan atau kromatografi kertas.
II.4.1. Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan proses pemisahan dan pemurnian
berdasarkan pada perbedaan adsorpsi dan daya partisi serta kelarutan dari
komponen-komponen kimia yang bergerak mengikuti kepolaran eluen. Adsorben
yang biasa digunakan adalah silika gel dan alumina. Sedangkan partisi adalah
kelarutan tiap-tiap komponen kimia dalam cairan pengelusi (eluen) dimana arah
gerakannya disebabkan oleh interaksi komponen dengan eluen sehingga
komponen kimia dapat bergerak dengan kecepatan yang berbeda-beda dan
menyebabkan terjadinya pemisahan (Arsyad, 2001).
Kromatografi ini dapat digunakan untuk mengetahui kemurnian zat,
memisahkan dan mengidentifikasi komponen dalam campuran serta menganalisa
secara kuantitatif komponen yang terdapat dalam campuran. Campuran yang akan
dipisahkan dilarutkan dalam pelarut yang sesuai dan ditotolkan berupa bercak atau
pada pelat KLT. Selanjutnya pelat diletakkan di dalam bejana tertutup yang berisi
larutan pengembang yang sesuai. Pemisahan terjadi selama perambatan kapiler
(pengembangan). Senyawa yang tidak berwarna dapat dideteksi dengan
penyemprotan menggunakan pereaksi khusus dan dipanaskan di atas hot plate atau
diletakkan di bawah sinar UV pada λ 245 nm atau 365 nm (Sudjadi, 1998).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran
senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Kromatografi
juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik
penyerap maupun cuplikannya. Kromatografi lapis tipis dapat di gunakan untuk
pemisahan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik seperti lipida-lipida dan
hidrokarbon yang sukar dijelaskan dengan kromatografi kertas (Kurniawan dan
Santosa, 2004).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara cepat dan mudah untuk dapat
melihat kemurnian suatu sampel maupun karakterisasi sampel dengan
menggunakan standar. Cara ini praktis untuk analisis data skala kecil karena
hanya memerlukan bahan yang sangat sedikit dan waktu yang di butuhkan
singkat. Kemurnian suatu senyawa bisa dilihat dari jumlah bercak yang terjadi
pada plat kromatografi lapis tipis atau pun jumlah puncak kromatogram
kromatografi lapis tipis. Uji kualitatif pada kromatografi lapis tipis dapat
dilakukan dengan membandingkan waktu retensi kromatogram sampel dengan
kromatogram senyawa standar (Handayani,et al., 2005).
Kromatografi lapis tipis dapat dipakai dengan dua tujuan. Pertama, dipakai
selayaknya sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau
preparatif. Kedua, dipakai untuk menjajaki sistem pelarut dan sistem penyangga
yang akan dipakai dalam kromatografi kolom atau kromatografi cair kinerja tinggi
(Gritter et al, 1991).
Kromatografi lapis tipis juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk
kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom,
identifikasi senyawa secara kromatografi dan isolasi senyawa murni skala kecil.
Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan
senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa
yang tidak bereaksi dengan pereaksi–pereaksi yang lebih reaktif seperti asam
sulfat. Data yang diperoleh dari kromatografi lapis tipis adalah nilai Rf yang
berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat
dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan
sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang
ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil
dari 1,0.
Menurut Gandjar dan Rohman (2007), fase yang digunakan pada KLT
yaitu:
1. Fase Diam

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran


kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm. Semakin kecil ukuran rata-
rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka
semakin baik kinerja kromatografi lapis tipis dalam hal efisiensi dan
resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada kromatografi lapis
tipis adalah adsorpsi dan partisi.
2. Fase Gerak
Fase gerak pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan
mencoba-coba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang
paling sederhana ialah campuran 2 pelarut organik karena daya elusi
campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga
pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk
dalam memilih dan mengoptimasi.
II.4.2. Kromatografi Kertas (KKt)
Kromatografi kertas merupakan kromatografi cairan-cairan dimana sebagai
fasa diam adalah lapisan tipis air yang diserap dari lembab udara oleh kertas jenis
fasa cair lainnya dapat digunakan. Teknik ini sangat sederhana. Prinsip dasar
kromatografi kertas adalah partisi multiplikatif suatu senyawa antara dua cairan
yang saling tidak bercampur. Jadi partisi suatu senyawa terjadi antara kompleks
selulosa-air dan fasa mobil yang melewatinya berupa pelarut organik yang sudah
dijenuhkan dengan air atau campuran pelarut (Puspasari, 2010).
II.5. Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran
(padat, cair, terlarut, suspensi, atau esotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil
(fraksi) komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini
didasarkan pada boot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling
dasar sedang fraksi yang lebih ringan akan berada diatas fraksinasi bertingkat
biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter, aseton, benzena, etanol,
diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin, lilin,
tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diektraksi dengna
pelarut organik (Adijuwana dan Nur, 1989).
II.5.1. Ekstraksi Cair-Cair (ECC)
Ekstraksi Cair – Cair (ECC) merupakan metode pemisahan suatu komponen
dari campuran senyawa berupa larutan dan suatu pelarut. Proses yang dilakukan
yaitu pencampuran bahan senyawa yang akan diekstraksi (diluen) dengan pelarut
(solven) yang sesuai dengan kedua fasa cair dimana campuran diluen dan solven
bersifat heterogen (tidak larut/immiscible) sehingga menghasilkan 2 fasa yaitu
fasa ekstrak (pelarut dengan solute) dan fasa rafinat (fasa diluen) (Nasyanka, A.
L., dkk., 2020). Prinsip dasar dari ECC yaitu perbedaan kelarutan suatu senyawa
dalam dua pelarut yang berbeda. Metode ini didasarkan pada fenomena distribusi
atau partisi dari suatu analit pada dua pelarut yang tidak bercampur. Pada
prosesnya, ECC melibatkan ekstraksi analit dari fasa air ke dalam pelarut organick
yang bersifat non polar atau agak polar (semi polar) seperti heksana, metilbenzen
atau diklorometan. Molekul – molekul netral yang dapat berintraksi dengan
pelarut yang bersifat nonpolar atau semi polar adalah analit yang mudah
terekstraksi, sedangkan senyawa yang mudah mengalami ionisasi adalah senyawa
polar dimana akan tertahan pada fasa air (Leba, 2017). Alat yang digunakan untuk
ekstraksi ini adalah corong pisah. Corong pisah merupakan alat pemisah
campuran tidak larut yang berbentuk kerucut dan memiliki kran dibawahnya,
dimana kran tersebut berfungsi sebagai tempat keluar senyawa yang di ekstraksi.
Sedangkan pada bagian atasnya terdapat lubang dengan penutup yang berfungsi
sebagai tempat masuknya senyawa yang diekstraksi. Alat pendukung pada metode
ECC adalag statip dan klem yang berguna sebagai penyokong corong pisah saat
tahapan pendiaman campuran senyawa hingga terbentuk sistem 2 fase. Faktor
yang mempengaruhi ekstraksi adalah : Pengocokan, waktu ekstraksi,
perbandingan pelarut – umpan (Nasyanka, 2020).
Prinsip kerja corong pisah yaitu untuk memisahkan zat/senyawa tertentu
dalam sampel berdasarkan kelarutan dalam pelarut tertentu yang memiliki
perbedaan fase. Campuran dua fase dimasukkan kedalam corong pisah kemudian
didiamkan agar pemisahan antara dua fase berlangsung, penyumbatan dan keran
corong dibuka dan dua fase larutan ini dipisahkan dengan mengontrol keran
corong (Febrianti, 2019).
Proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman adalah pelarut
organik akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel, maka
larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus
sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di
luar sel (Adrian, 2000).
Macam – macam cairan penyari (Rohman, 2007):
1. Air
Termasuk yang mudah dan murah dengan pemakaian yang luas, pada suhu
kamar adalah pelarut yang baik untuk bermacam-macam zat misalnya :
garam- garam alkaloida, glikosida, asam tumbuh-tumbuhan, zat warna dan
garam-garam mineral. Umumnya kenaikan suhu dapat menaikkan kelarutan
dengan pengecualian misalnya pada condurangin, Ca hidrat, garam glauber
dll. Keburukan dari air adalah banyak jenis zat-zat yang tertarik dimana zat-
zat tersebut meripakan makanan yang baik untuk jamur atau bakteri dan
dapat menyebabkan mengembangkan simplisia sedemikian rupa, sehingga
akan menyulitkan penarikan pada perkolasi.
2. Etanol
Etanol hanya dapat melarutkan zat-zat tertentu, Umumnya pelarut yang baik
untuk alkaloida, glikosida, damar-damar, minyak atsiri tetapi bukan untuk
jenis- jenis gom, gula dan albumin. Etanol juga menyebabkan enzym-enzym
tidak bekerja termasuk peragian dan menghalangi perutumbuhan jamur dan
kebanyakan bakteri. Sehingga disamping sebagai cairan penyari juga
berguna sebagai pengawet. Campuran air-etanol (hidroalkoholic menstrum)
lebih baik dari pada air sendiri.
3. Gliserin
Terutama dipergunakan sebagai cairan penambah pada cairan menstrum
untuk penarikan simplisia yang mengandung zat samak. Gliserin adalah
pelarut yang baik untuk tanin-tanin dan hasil-hasil oksidanya, jenis-jenis
gom dan albumin juga larut dalam gliserin. Karena cairan ini tidak atsiri,
tidak sesuai untuk pembuatan ekstrak-ekstrak kering.
4. Eter
Sangat mudah menguap sehingga cairan ini kurang tepat untuk pembuatan
sediaan untuk obat dalam atau sediaan yang nantinya disimpan lama.
5. N-heksan
Cairan ini adalah salah satu hasil dari penyulingan minyak tanah kasar.
Pelarut yang baik untuk lemak-lemak dan minyak-minyak. Biasanya
dipergunakan untuk menghilangkan lemak dari simplisia yang mengandung
lemak-lemak yang tidak diperlukan, sebelum simplisia tersebut dibuat
sediaan galenik, misalnya strychni, secale cornutum.
6. Aseton
Tidak dipergunakan untuk sediaan galenik obat dalam, pelarut yang baik
untuk bermacam-macam lemak, minyak atsiri, damar. Baunya kurang enak
dan sukar hilang dari sediaan. Dipakai misalnya pada pembuatan Capsicum
oleoresin (N.F.XI)
7. Kloroform
Tidak dipergunakan untuk sediaan dalam, karena efek farmakologinya.
Bahan pelarut yang baik untuk basa alkaloida, damar, minyak lemak dan
minyak atsiri.
8. Diklorometana
Diklorometana (CH2Cl2) adalah pelarut organik sering menggunakan untuk
mengekstrak senyawa organik dari sampel. Ini adalah racun tapi lebih
sedikit daripada kloroform.
II.6. Subfaksinasi
II.6.1. Kromatografi Kolom Klasik
Kromatografi kolom adalah suatu metode pemisahan yang di dasarkan pada
pemisahan daya adsorbsi suatu adsorben terhadap suatu senyawa, baik
pengotornya maupun hasil isolasinya. Sebelumnya dilakukan percobaan tarhadap
kromatografi lapis tipis sebagai pencari kondisi eluen. Misalnya apsolsi yang
cocok dengan pelarut yang baik sehingga antara pengotor dan hasil isolasinya
terpisah secara sempurna (Kasiman, 2006).
Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan
berupa pita pada bagian atas kolom, penjerap yang berada dalam tabung kaca,
tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fase gerak0, dibiarkan mengalir
melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau di dorong
dengan tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang
berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari atas kolom
(Sudjadi, 1986).
Kromatografi kolom dikemas kering dalam keadaan vakum agar diperoleh
kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang kepolarannya
rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi dan siap di pakai.
Cuplikan dilarutkan dalam pelarut yang cocok, dimasukkan langsung pada bagian
atas kolom atau pada lapisan prapenjerap dan dihisap perlahan-lahan kedalam
kemasan dengan memvakumkannya. Kolom dielusi dengan campuran pelarut
yang cocok, kolom dihisap sampai kering pada setiap pengumpulam fraksi
(Sudjadi, 1986).
Kromatografi kolom merupakan metode kromatografi klasik yang masih
banyak digunakan. Kromatografi kolom digunakan untuk memisahkan senyawa-
senyawa dalam jumlah yang banyak berdasarkan adsorpsi dan partisi. Kemasan
adsorben yang sering digunakan adalah silika gel G-60, kieselgur, Al2O3, dan
Diaion (Hargono, 1986)
Cara pembuatannya ada dua macam (Hargono, 1986):
1. Cara kering, yaitu silika gel dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi
kapas kemudian ditambahkan cairan pengelusi.
2. Cara basah, yaitu silika gel terlebih dahulu disuspensikan dengan cairan
pengelusi yangakan digunakan kemudian dimasukkan ke dalam kolom
melalui dinding kolom secarakontinyu sedikit demi sedikit hingga masuk
semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga silika gel mapat,
setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas adsorben
kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu
dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian
sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom
sedikit demi sedikit hingga masuk semua, dan kran dibuka dan diatur
tetesannya, serta cairan pengelusi ditambahkan. Tetesan yang keluar
ditampung sebagai fraksi-fraksi.
Kolom dapat dibuat dari berbagai jenis material, seperti stainless steel,
aluminium, tembaga, gelas dan paduan silika. Sebagian besar sistem kolom
modern terbuat dari gelas atau paduan silika. Kolom konvensional dibuat dari
material pendukung yang dilapisi fase diam dari berbagai pembebanan yang
dikemas di dalam kolom. Kolom kapiler terdiri dari tabung kapiler panjang yang
didalamnya dilapisi dengan fase diam (fase diam dapat juga direkatkan langsung
pada permukaan silika). Sebagian besar kolom kapiler terbuat dari paduan silika
yang dilapisi polimer di bagian luarnya. Paduan silika sangat mudah pecah
sedangkan lapisan polimer tersebut bertindak sebagai pelindungnya (Seno, 1997).
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya
serap dari masing-masing komponen, campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam
sedikit pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir
kedalam zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat
sehingga turun lebih lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan
turun lebih cepat. Zat yang di serap dari larutan secara sempurna oleh bahan
penyerap berupa pita sempit pada kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa
tekanan udara masin-masing zat akan bergerak turun dengan kecepatan khusus
sehingga terjadi pemisahan dalam kolom (Seno, 1997).
II.6.2. Kromatografi Kolom Vakum
Kromatografi kolom vakum (KKV) adalah bentuk kromatografi kolom
khususnya berguna untuk fraksinasi kasar yang cepat terhadap suatu ekstrak.
Kondisi vakum adalah alternatif untuk mempercepat aliran fase gerak dari atas ke
bawah. Metode ini sering digunakan untuk fraksinasi awal dari suatu ekstrak non
polar atau ekstrak semipolar (Raymond, 2005).
Prinsipnya yaitu adsorpsi dan partisi yang dipercepatbantuan pompa vakum.
Keuntungan dari metode ini adalah prosesnya cepat dan senyawa tertarik secara
sempurna. Kerugiannya adalah pemisahanya tidak sempurna karena senyawa yang
ditampungbercampur dalam suatu penampungan tidak seperti pada kolom
konvensional yang dipisahkan berdasarkan warna, sehingga pemisahannya lebih
maksimal (Helfman, 1983).
Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi
dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 μm) dalam keadaan
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut
yang kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan
lagi. Kolom dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986).
II.7. Pemurnian Isolat
Pemisahan dan pemurnian adalah proses pemisahan dua zat atau lebih yang
saling bercampur serta untuk mendapatkan zat murni dari suatu zat yang telah
tercemar atau tercampur. Campuran adalah setia contoh materi yang tidak murni,
yaitu bukan sebuah unsur atau sebuah senyawa. Susunan suatu campuran tidak
sama dengan sebuah zat, dapat bervariasi, campuran dapat berupa homogen dan
heterogen. Campuran merupakan suatu materi yang dibuat dari penggabungan dua
zat berlainan atau lebih menjadi satu zat fisik. Tiap zat dalam campuran ini tetap
mempertahakan sifat-sifat aslinya. Menurut Ralph (1996) sifat-sifat asli
campuran:
1. Campuran terbentuk tanpa melalui reaksi kimia.
2. Mempunyai sifat zat asalnya.
3. Terdiri dari dua jenis zat tunggal atau lebih.
4. Komposisinya tidak tetap.
Isolasi adalah proses pengambilan atau pemisahan senyawa bahan alam
dengan menggunakan pelarut yang sesuai (Djamal, 2008). Sejak abad ke-17 oeang
telah dapat memisahkan berbagai jenis senyawa dari sumber-sumber organik.
Senyawa-senyawa tersebut dapat berupa senyawa metabolit primer dan senyawa
metabolit sekunder (Lenny, 2006).
II.7.1. KCKT Preparatif
KCKT adalah instrument untuk pemisahan sejumlah senyawa organik,
anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidak murnian (impurities) dan
analisis senyawa-senyawa yang tidak mudah menguap (nonvolatil). KCKT paling
sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa-senyawa tertentu seperti
asam-asam amino,asam-asam nukleat dan protein-protein dalam cairan fisiologis,
menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat dan lain-lain (Rudi, 2010).
II.7.2. SPE (Solid Phase Extraction)
SPE (Solid Phase Extraction) merupakan salah satuvariasi dari teknik
analisis yang tersedia untuk memperbaiki kesenjangan yang ada antara sampel
dengan tahap-tahap analisis. Filtrasi, homogenisasi, presipitasi, reaksi kimia,
pertukaran pelarut, konsentrasi, penghapusan matrix, solubilisasi merupakan
komponen yang dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi untuk
mendapatkan sampel dengan bentuk yang kompatibel dengan alat analisis yang
diperlukan. SPE memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan ekstraksi cair-
cair yaitu dengan menggunakan SPE proses ekstraksi menjadi lebih
sempurna,pemisahan analit dari matriks menjadi lebih efisien, mengurangi pelarut
organik yang digunakan. SPE merupakan proses pemisahan yang efisien sehingga
recovery yang tinggi (>99%) lebih mudah dicapai jika dibandingkan dengan
ekstraksi cair-cair. Pada ekstraksi cair-cair masih diperlukan ekstraksi beberapa
kali untuk memperoleh recovery yang tinggi, sedangkan dengan SPE hanya
dibutuhkan satu tahap saja (Simpson, 2000).
II.7.3. Sublimasi
Sublimasi adalah salah satu pemisahan zat-zat yang mudah menyublim.
perubahan wujud zat padat ke gas atau dari gas ke padat. Bila partikel penyusun
suatu zat diberikan kenaikan suhu maka partikel tersebut akan menyublim menjadi
gas, sebaliknya jika suhu gas tersebut diturunkan maka gas akan segera berubah
wujudnya menjadi panas. Gas yang dihasilkan ditampung lalu didinginkan
kembali. Syarat pemisahan campuran pada sublimasi adalah partikel yang
bercampur harus memiliki perbedaan titik didih yang besar sehingga kita dapat
menghasilkan uap dengan tingkat kemurnian yang tinggi. Begitupun syarat sampel
untuk sublimasi adalah dengan sifat kimia mudah menguap agar mudah proses
sublimasinya. Pada percobaan sublimasi, Pemurnian naftalen dengan
menggunakan proses sublimasi dikarenakan karena sifat naftalen yang mudah
menyublim dan merupakan padatan Kristal yang tak bewarna. Reaksi dari naftalen
berlangsung dengan sangat cepat. Hal ini disebabkan zat padat dalam proses
sublimasi mengalami proses perubahan langsung menjadi gas tanpa melalui fase
cair, kemudian terkondensasi menjadi padatan atau kristalkembali. Sehingga
dalam proses sublimasi, naftalen tidak berubah menjadi senyawa lain, hanya
beubah bentuk (fase) dari padat ke gas (Riswiyanto, 2003).
II.7.4. Pencucian dengan Pelarut
Pemurnian dengan cara pencucian menggunakan pelarut yang sesuai.
Metode ini hanya digunakan pada analit dalam bentuk kristal, dimana analit masih
tercampur dengan pengotor. Pelarut yang digunakan adalah pelarut yang hanya
dapat melarutkan salah satu antara analit atau pengotor. Dasar dari metode ini
adalah kepolaran analit dan pengotor. Metode nya sangat mudah dimana anda
hanya tinggal mencari pelarut yang cocok untuk memisahkan keduanya, kemudian
anda teteskan pelarut tersebut sedikit demi sedikit kedalam campuran hingga salah
satu dari keduanya melarut dan satunya lagi tidak (tetap berbentuk padatan).
II.7.5. Rekristalisasi
Rekristalisasi adalah pemisahan bahan padat berbentuk kristalin. Seringkali
senyawa yang diperoleh dari hasil suatu sintesis kimia memiliki kemurnian yang
tidak terlalu tinggi. Untuk memurnikan senyawa tersebut perlu dilakukan
rekristalisasi.Untuk merekristalisasi suatu senyawa kita harus memilih pelarut
yang cocok dengan senyawa tersebut. Setelah senyawa tersebut dilarutkan
kedalam pelarut yang sesuai kemudian dipanaskan (refluks) sampai semua
senyawanya larut sempurna. Apabila pada temperatur kamar, senyawa tersebut
telah larut sempurna di dalam pelarut, maka tidak perlu lagi dilakukan pemanasan.
Pemanasan hanya dilakukan apabila senyawa tersebut belum atau tidak larut
sempurna pada keadaan suhu kamar. Salah satu faktor penentu keberhasilan
proses kristalisasi dan rekristalisasi adalah pemilihan zat pelarut (Austin, 1984).
II.7.6. KLT Preparatif
Kromatografi Lapis Tipis preparatif bertujuan untuk memisahkan komponen
campuran untuk digunakan lebih lanjut (dan dengan demikian suatu bentuk
pemurnian). Analisis kromatografi dilakukan biasanya dengan jumlah yang
lebihkecil bahan dan untuk mengukur proporsi relatif dari analit dalam campuran.
Keduanya tidak saling eksklusif. Pada kromatografi lapis tipis preparatif, proses
isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta
kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti
kepolaran eluen. Oleh karena itu daya serap adsorben terhadap komponen kimia
tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga
hal inilah yang menyebabkan pemisahan. Kromatografi Lapis Tipis preparatif
hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran (Day dan
Underwood, 2001).
II.7.7. KKt Preparatif
Kromatografi kertas (KKt) Preparatif merupakan mekanisme pemisahan
analit didalam sampel dengan menggunakan kertas kromatografi sebagai
penyangganya. Kromatografi kerta preparatif karena menggunakan air sebagai
fase diamnya dan juga eluen polar sebagai fase gerak, maka senyawa yang dapat
dipisahkan dengan kromatografi ini adalah senyawa yang bersifat polar. Metode
pelaksanaan KKt Preparatif hampir sama dengan KLT preparatif. Dimulai dengan
penjenuhan chamber, penotolan sampel hingga proses elusi. Beberapa perbedaan
KKt Preparatif dengan KLT preparatif adalah terletak pada proses aktivasinya,
dimana pada aktivasi kertas tidak dilakukakan proses pengeringan sebagaimana
pada KLT, namun kertas diimpregnasi dengan air. Perbedaan lainnya adalah pada
saat pemisahan senyawa analit di KKt kertas tidak dilakukan proses pengerokan
sebagaimana pada KLT preparatif, melainkan dengan cara pengguntingan (Rudi,
2010).
II.8. Uji Kemurnian
II.8.1. Titik Leleh
Titik leleh suatu zat padat adalah suatu temperatur dimana terjadinya
keadaan setimbang antara fasa padat dan fasa cair pada tekanan satu atmosfer,
prinsipnya suatu zat bisa meleleh karena ikatan antarmolekul terputus dimana
putusnya molekul itu yang memerlukan suhu berbeda-beda tergantung pada
kekuatan ikatan tersebut, semakin kuat ikatannya maka semakin tinggi suhu yang
dibutuhkan untuk memutuskan ikatan tersebut. Dengan adanya zat pengotor,
ikatan yang terputus akan lebih banyak atau intinya tergantung pada zat
pengotornya. Titik leleh juga bisa untuk mengukur gaya intermolekul antar
senyawa dimana makin tinggi titik leleh maka makin besar gaya
intermolekulernya, beberapa molekul dengan berat molekul sama, maka molekul
yang lebih polar dan struktur molekul yang lebih simetris akan lebih tinggi. Angka
titik leleh dan kisarannya tergantung pada kecepatan pemanasan, keakuratan pada
thermometer yang digunakan dan sifat padatan senyawa yang terdapat pada suatu
padatan yang telah diisolasi, rentang lelehannya harus ditentukan untuk
memastikan identitas dan kemurniannya (Hadyana, 1994).
II.8.2. KLT Dua Dimensi
KLT dua dimensi merupakan salah satu metode untuk mengetahui
kemurnian suatu senyawa dari hasil isolat, yang dimana bertujuan untuk
meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai
karakteristik kimia yang hampir sama. Karenanya nilai Rf juga hampir sama
sebagaimana dalam asam-asam amino, selain itu 2 sistem fase gerak yang sangat
berbeda dapat digunakan secara berurutan, sehingga memungkinkan untuk
melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang berbeda
(Sastrohamidjojo, 1985).
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi
sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang
hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam
amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara
berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang
mempunyai tingkat polaritas yang berbeda (Gholib, 2008).
Secara singkat pengerjaan KLT dua dimensi ialah sebagai berikut: sampel
ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase gerak
sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi.
Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90ᴼ, dan diletakkan dalam bejana
kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak yang terpisah pada
pengembangan pertama terletak dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu
dikromatografi lagi (Wall, 2005).

III. Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah batang pengaduk, botol
kaca, cawan penguap, chamber, corong pisah, corong gelas, gelas kimia, gelas
ukur, kaca arloji, lampu UV, labu ukur 100 mL, kuvet, mortar dan stamper, oven,
penggaris, pensil, pipet tetes, spatel, spektrofotometer UV-Vis, tabung ukur,
timbangan digital, vial, dan water bath.
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah aquadest, ekstrak
kental kayu secang, etil asetat, hasil subfraksi KKV vial no. 6, hasil subfraksi
KKK vial no. 27 dan 28, kertas saring, kertas saring lingkaran, kloroform, isolat
hasil KCV, isolat hasil KKK, metanol, n-heksan, pipa kapiler, plat KLT GF254
(6x6 cm), plat KLT preparatif, serbuk adsorben, dan silika gel 60.

IV. Prosedur
IV.1. Skrinning Fitokimia
Untuk analisis kualitatif polifenolat, flavonoid, saponin, tannin, dan
antrakuinon maka terlebih dahulu bahan ditimbang kemudian dilarutkan dengan
air. Kemudian simplisia dimasukan kedalam gelas kimia yang telah berisi air lalu
dipanaskan hingga mendidih. Ekstrak yang diperoleh disaring kemudian filtrat
dipisahkan hingga diperoleh larutan uji untuk skrining. Selanjutnya masing-
masing larutan uji dimasukan kedalam tabung reaksi dan diberi label untuk
selanjutnya dilakukan skrining.
IV.1.1. Alkaloid
Pertama-tama larutan uji diasamkan dengan HCl 2N lalu disaring, kemudian
filtrate dibasakan dengan menggunakan ammonia 10%. Selanjutnnya
ditambahkan CHCl3 kemudian dikocok kuat. Lalu lapisan CHCl3 disaring sambil
di pipet kemudian ditambahkan lagi HCl 2N kemudian dikocok kuat hingga
terdapat 2 lapisan. Bagian lapisan asam di pipet lalu dibagi menjadi 3 bagian.
Pada tabung 1 ditambahkan dengan pereaksi meyer, tabung 2 ditambahkan
pereaksi Dragendroff, dan tabung 3 sebagai blanko.
IV.1.2. Polifenolat
Pertama-tama simplisia di ekstraksi dengan menggunakan akuades lalu
disaring, kemudian diperoleh filtrat, selanjutnya diamati perubahan warna yang
terjadi.
IV.1.3. Flavonoid
Pertama-tama simplisia diekstrak dengan menggunakan akuades kemudian
disaring, lalu ditambah serbuk Mg dan ditambahkan 1 mL HCl pekat. Setelah itu
ditambahkan amil alkohol, lalu dikocok kuat. Kemudian diamati perubahan warna
pada lapisan amil alkohol.
IV.1.4. Saponin
Pertama-tama simplisia diekstrak dengan menggunakan akuades lalu
disaring hingga diperoleh filtrat. Kemudian filtrat dikocok kuat. Busa yang
terbentuk setinggi 1 cm dan tidak hilang selama 10 menit dinyatakan positif
saponin.
IV.1.5. Antrakuinon
Pertama-tama simplisia di ekstraksi dengan menggunakan akuades lalu
disaring dan dihasilkan filtrat kemudian ditambahkan NaOH 1N, lalu diamati
perubahan warna yang terjadi.
IV.1.6. Tanin
Pertama-tama simplisia di ekstraksi dengan menggunakan akuades lalu
disaring, dan dibagi menjadi 3 bagian. Filtrat 1 ditambahkan FeCl3 1%, Filtrat 2
ditambahkan gelatin 1%, kemudian Filtrat 3 ditambahkan pereaksi steasny lalu
dipanaskan. Hasil yang diperoleh disaring dan ditambahkan Natrium Asetat dan
FeCl3 1%, kemudian diamati perubahan warna yang terjadi.
IV.1.7. Monoterpena dan Seskuiterpena
Pertama-tama simpisia digerus dengan menggunakan eter lalu disaring.
Kemudian filtrat diuapkan, setelah semua pelarut menguap kemudian
ditambahkan Vanilin 10%. Timbulnya warna menandakan positif senyawa
monoterpen dan seskuiterpen.
IV.1.8. Triterpenoid dan Steroid
Pertama-tama simplisia digerus bersamaan dengan eter, kemudian disaring.
Lalu filtrat yang dihasilkan diuapkan dalam cawan penguap. Setelah itu
ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Terbentuknya warna merah-ungu
menandakan positif triterpenoid, sedangkan terbentuknya warna hijau-biru
menandakan positif steroid.
IV.2. Pemantauan Ekstrak dan Fraksinasi
IV.2.1. Pemantauan Ekstrak
a. Maserasi
Pertama-tama ukuran simplisia diperkecil terlebih dahulu dengan cara
digunting. Kemudian sebanyak 100 g simplisia ditimbang lalu dimasukkan
kedalam maserator. Kemudian ditambahkan 1000 mL pelarut (etanol) kedalam
maserator, lalu diratakan dengan menggunakan batang pengaduk. Setelah itu
maserator ditutup dan didiamkan selama 24 jam, kemudian diaduk sesekali.
Setelah 24 jam kemudian disaring. Selanjutnya, dilakukan maserasi kedua dengan
cara dimasukan kembali 1000 mL pelarut (alcohol) baru kedalam maserator.
Kemudian diaduk dan didiamkan kembali selama 24 jam lalu disaring (Prosedur
maserasi dilakukan sebanyak 3 kali).
b. Ekstraksi Sinambung dengan Alat Soxhlet
Pertama-tama timbang sebanyak 50 gram simplisia kemudian disiapkan
thimble (pembungkus simplisia) dari kertas saring. Panjang dan besar thimble
diukur supaya pas pada saat dimasukkan ke dalam klonsong soxhlet kemudian
dipotong sesuai dengan batas yang ditetapkan. Bagian bawah kertas saring di lipat
kemudian dikembungkan, selanjutnya simplisia yang sudah ditimbang dimasukan
lalu thimble diikat dengan menggunakan tali. Selanjutnya pelarut dan batu didih
dimasukkan kedalam labu destilasi, selanjutnya thimble dimasukkan kedalam
klonsong soxhlet, kemudian kondensor dipasangkan. Setelah kondensor
terpasang, aliran air pada kondensor dinyalakan, kemudian penangas air juga
dinyalakan. Selanjutnya dilakukan ekstraksi hingga tetesan tidak berubah
warna lagi, jika pelarut sudah tidak berwarna maka thimble yang berisi simplisia
lama diganti dengan yang baru. Ulangi beberapa siklus hingga diperoleh ekstrak.
c. Refluks
Pertama-tama alat refluks dirangkai, kemudian ditimbang 50 gram
simplisia, lalu dimasukkan kedalam labu destilasi. Setelah itu dimasukkan 500
mL pelarut kedalam labu destilasi. Lalu batu didih dimasukkan. Bagian mulut
kondensor dan labu destilasi diolesi dengan Vaseline kemudian labu dipasangkan
dengan kondensor. Setelah itu selang air pada kondensor dipasang lalu aliran air
dinyalakan. Selanjutnya, penangas air dinyalakan hingga mencapai suhu didih
pelarut secara bertahap. Proses ekstraksi dilakukan hingga pelarut jenuh,
kemudian ekstrak yang diperoleh disaring dan ditampung pada wadah yang
sesuai.
IV.2.2. Ekstraksi Cair-Cair
Pertama-tama 2 gram ekstrak kental ditimbang, setelah itu dilarutkan
dengan aquades 100 ml. Setelah larut kemudian dimasukkan ke dalam corong
pisah. Pelarut n – heksana 100 ml ditambahkan kedalam corong pisah. Corong
pisah kemudian dikocok selama 15 menit dan keran dibuka sesekali. Corong
pisah kemudian dibiarkan hingga kedua lapisan terpisah. Lapisan n – heksana
yang terbentuk di tampung pada wadah bersih dan dilakukan sebanyak dua kali.
Prosedur ECC diulangi dengan pelarut yang berbeda dimaana pada prosedur
kedua yang digunakan yaitu etil asetat. 100 ml etil asetat kemudian dtitambahkan
kedalam corong pisah. Corong pisah kemudian dikocok selama 15 menit dan
keran dibuka sesekali. Corong pisah kemudian dibiarkan hingga kedua lapisan
terpisah. Lapisan etil asetat yang terbentuk di tampung pada wadah bersih dan
dilakukan sebanyak dua kali. Hasil ekstraksi diamati dan dicatat hasilnya. Fraksi
yang didapatkan kemudian dipekatkan dengan Vacuum Rotary Evaporator,
dilanjut dengan pemekatan kembali pada waterbath supaya esktrak lebih kental.
Hasil ekstrak pemekatan di catat dan diamati.
IV.2.3. Pemantauan Fraksi Kayu Secang
Hasil ECC yang sudah dipekatkan dan dilarutikan dalam beberapa ml
pelarut digunakan sebagai sampel uji. Eluen kloroform dan etil asetat dengan
perbandingan 1:3 dimasukkan kepada chamber. Kertas saring kemudian di
celupkan ke dalam bejana (chamber). Pada plat KLT (silica gel GF254) yang akan
digunakan diberi garis batas dan bawah 1 cm. Fraksi ekstrak yang akan diuji
ditotolkan pada plat KLT dengan pipa kapiler. Plat yang sudah ditotolkan
kemudian dimasukkan ke dalam bejana dan dibiarkan hingga fase gerak naik
mencapai tanda batas plat KLT. Plat KLT dikeluarkan lalu dilihat hasilnya di
bawah sinar UV 234 nm. Hasil di catat dan dihitung nilai Rf nya.
IV.2.4. Pemantauan Ekstrak Kayu Secang
Eluen kloroform dan etil asetat dengan perbandingan 1:3 dimasukkan
kepada chamber. Kertas saring kemudian di celupkan ke dalam bejana (chamber).
Pada plat KLT (silica gel GF254) yang akan digunakan diberi garis batas dan
bawah 1 cm. Ekstrak yang akan diuji ditotolkan pada plat KLT dengan pipa
kapiler. Plat yang sudah ditotolkan kemudian dimasukkan ke dalam bejana dan
dibiarkan hingga fase gerak naik mencapai tanda batas plat KLT. Plat KLT
dikeluarkan lalu dilihat hasilnya di bawah sinar UV 234 nm. Hasil di catat dan
dihitung nilai Rf nya.
IV.2.5. Fraksinasi ECC
Ekstrak kental ditimbang sebanyak 2 g kemudian dilarutkan dengan 100 ml
aquadest. Diaduk menggunakan spatel dan dimasukkan kedalam corong pisah.
Ditambahkan 100 ml N-heksan ke dalam corong pisah. Corong pisah dikocok
selama 15 menit dan keran dibuka sesekali untuk mengurangi tekanan uap pada
corong pisah. Dibiarkan hingga kedua lapisan terpisah, lalu lapisan N-heksan
ditampung dalam wadah bersih. Prosedur tersebut dilakukan sebanyak 2 kali.
Diulangi prosedur ECC menggunakan pelarut yang berbeda yaitu etil asetat.
Ditambahkan 100 ml etil asetat ke dalam corong pisah. Corong pisah dikocok
selama 15 menit dan keran dibuka sesekali untuk mengurangi tekanan uap pada
corong pisah. Dibiarkan hingga kedua lapisan terpisah, lalu lapisan etil asetat
ditampung dalam wadah bersih. Dilakukan prosedur yang sama pada ekstrak kulit
secang. Disiapkan hasil ECC ekstrak kayu secang menggunakan pelarut N-
heksana dan hasil ECC ekstrak kayu secang menggunakan pelarut etil asetat.
Kemudian faksi yang didapat dipekatkan menggunakan Vacuum Rotary
Evaporator.
IV.3. Subfraksinasi
IV.3.1. Kromatografi Cair Vakum dan Pemantauan Profil KLT
Pertama-tama yang dilakukan adalah menimbang bahan-bahan yang
dibutuhkan, yaitu 1,5 gram serbuk adsorben dan 1,5 gram ekstrak kental. Ekstrak
kental yang telah ditimbang kemudian ditambahkan dengan sedikit pelarut.
Kemudian ekstrak dimasukkan kedalam mortir yang berisi serbuk adsorben.
Kemuadian dilakukan pengadukkan dengan stamper. Setelah itu disiapkan
macam-macam komposisi eluen yang akan digunakan. Komposisi eluen yang
digunakan adalah sebagai berikut:
N-heksana Etil asetat Metana
10 0 0
6 4 0
4 6 0
0 10 0
0 6 4
0 4 6
0 0 10
Setelah dibuat eluen dengan berbagai macam komposisi, dipersiapkan alat
yang akan digunakan. Selanjutnya yaitu disiapkan kertas saring berbentuk
lingkaran yang kemudian dimasukkan kertas saring tersebut kedalam kolom KCV.
Dimasukkan dan diratakan serbuk adsorben (50 gram) kedalam kolom KCV.
Dimatikan alat vakum, lalu dimasukkan serbuk ekstrak diatas adsorben.
Diletakkan kertas saring bundar diatas serbuk ekstrak dan dinyalakan alat vakum.
Kemudian dimasukkan komposisi eluen pertama. Botol kosong tempat menaruh
komposisi eluen pertama ditempatkan dibawah keran yang akan digunakan
sebagai penampung eluen dan komponen yang terekstraksi. Dibiarkan eluen
terkumpul dalam kolom penampung sampai tidak ada lagi eluen yang menetes.
Kemudian dimatikan vakum dan dibuka keran pada kolom penampung. Setelah
itu dimasukkan komposisi eluen kedua, ditampung eluen dan komponen terekstak
seperti pada prosedur untuk komposisi eluen pertama. Dilakukan hingga
komposisi eluen ke-7.
Kemudian untuk fraksi-fraksi yang diperoleh dilakukan pemekatan dan
dilakukan pemantauan fraksi dengan KLT. Untuk pemantauan fraksi, terlebih
dahulu disiapkan fase gerak kloroform : etil asetat (1:3). Dimasukkan fase gerak
kedalam chamber, lalu celupkan kertas saring kedalamnya dan ditutup rapat.
Dibiarkan chamber jenuh dengan uap fase gerak. Selanjutnya dilakukan
pengenceran terhadap ekstrak kental dengan ditambahkannya beberapa mL
pelarut. Lalu disiapkan plat KLT, diberi batas atas dan bawah 1 cm. Ditotolkan
ekstrak pada plat menggunakan pipa kapiler, biarkan totolan ekstrak mengering.
Dimasukkan plat kedalam chamber dan dibiarkan fase gerak naik. Setelah itu
diangkat plat, dibiarkan plat mengering. Dilihat warna bercak dibawah sinar
tampak.
IV.3.2. Kromatografi Kolom Klasik dan Pemantauan Profil KLT
Untuk percobaan KKK, yang dilakukan pertama kali adalah dibuat seri
campuran pelarut dengan volume 20 mL setiap seri (perbandingan seperti
komposisi eluen pada KCV). Kemudian ditimbang 50 gram silika gel 60 dan
dilarutkan dengan n-heksana. Ditimbang pula 0,5 gram ekstrak kental kayu
secang, dilarutkan dengan sedikit eluen, dan ditambahkan dengan sedikit silika
gel. Kemudian dipindahkan kedalam mortar dan ditambahkan kembali silika gel
hingga ekstrak tercampur merata. Dimasukkan campuran silika gel 60 dan eluen
kedalam kolom sambil diketuk untuk mencegah udara terjebak dan mencegah
cracking. Dibiarkan kran terbuka hingga eluen. Setelah terbentuk adsorben yang
padat, disisakan sedikit eluen diatas permukaan dan kran ditutup kembali.
Kemudian dimasukkan ekstrak kedalam kolom, lalu dimasukkan pula sedikit demi
sedikit eluen sesuai dengan seri campuran yang telah dibuat. Ditampung fraksi
dalam vial hingga semua eluen dimasukkan kedalam kolom. Fraksi yang telah
ditampung dipekatkan diatas water bath dan dilakukan pemantauan fraksi dengan
KLT.
Untuk pemantauan fraksi, terlebih dahulu disiapkan fase gerak kloroform :
etil asetat (1:3). Dimasukkan fase gerak kedalam chamber, lalu celupkan kertas
saring kedalamnya dan ditutup rapat. Dibiarkan chamber jenuh dengan uap fase
gerak. Selanjutnya dilakukan pengenceran terhadap ekstrak kental dengan
ditambahkannya beberapa mL pelarut. Lalu disiapkan plat KLT, diberi batas atas
dan bawah 1 cm. Ditotolkan ekstrak pada plat menggunakan pipa kapiler, biarkan
totolan ekstrak mengering. Dimasukkan plat kedalam chamber dan dibiarkan fase
gerak naik. Setelah itu diangkat plat, dibiarkan plat mengering. Dilihat warna
bercak dibawah sinar tampak. Setelah itu ditentukan pada vial berapa terdapat
senyawa target, dan dilakukan KLT ulang dengan 5 vial pada rentang vial yang
diduga terdapat senyawa target.
IV.4. Teknik Pemisahan dan Pemurnian Isolat
IV.4.1. KLT Preparatif untuk Subfraksi Bahan Hasil KKV
Eluen kloroform : etil asetat (1:3) dalam 50 mL dimasukkan ke dalam
chamber untuk dijenuhkan dan dimasukkan kertas saring ke dalam chamber. Pada
plat KLT preparatif diberi garis menggunakan pensil pada bagian atas dan bawah
dengan jarak 1cm dari ujung plat, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 15
menit. Hasil subfraksi KKV vial no. 6 dilarutkan dengan sedikit pelarut. Isolat
ditotolkan pada plat KLT preparatif membentuk pita bergaris pada salah satu garis
di plat KLT preparatif dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah penotolan, plat
KLT dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan hingga eluen naik sampai
batas atas plat. Setelah proses elusi selesai, plat KLT preparatif diamati di bawah
sinar UV 254 dan 366 nm untuk melihat bercak yang diduga sebagai senyawa
target. Bercak pita yang diduga senyawa target kemudian dikerok menggunakan
spatula dan dimasukkan ke dalam vial. Hasil kerok kemudian dilakukan pencucian
sebanyak 2 kali dengan ditambahkan 5 mL metanol ke dalam vial, diaduk dan
disaring menggunakan kertas saring.
IV.4.2. KLT Preparatif untuk Subfraksi Bahan Hasil KKK
Eluen kloroform : etil asetat (1:3) dalam 50 mL dimasukkan ke dalam
chamber dan dimasukkan kertas saring ke dalam chamber. Pada plat KLT
preparatif diberi garis menggunakan pensil pada bagian atas dan bawah dengan
jarak 1cm dari tepi plat, kemudian dimasukkan ke dalam oven selama 15 menit.
Hasil subfraksi KKK vial no. 27 dan 28 disatukan dengan ditambahkan sedikit
pelarut. Isolat ditotolkan pada plat KLT preparatif membentuk pita bergaris pada
salah satu garis di plat KLT preparatif dengan menggunakan pipa kapiler. Setelah
penotolan, plat KLT dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan hingga eluen
naik sampai batas atas plat. Setelah proses elusi selesai, plat KLT preparatif
diamati di bawah sinar UV 254 dan 366 nm untuk melihat bercak yang diduga
sebagai senyawa target. Bercak pita yang diduga senyawa target kemudian
dikerok menggunakan spatula dan dimasukkan ke dalam vial. Hasil kerok
kemudian dilakukan pencucian sebanyak 2 kali dengan ditambahkan sedikit
pelarut ke dalam vial, diaduk dan disaring menggunakan kertas saring.
IV.5. Uji Pemurnian dan Karakterisasi Isolat
IV.5.1. Karakterisasi Subfraksi Hasil KKK menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis
Dinyalakan alat spektrofotometer UV-Vis dan kuvet diisi dengan metanol
sebagai blanko, kemudian kuvet dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer UV-
Vis. Pada alat ditekan tombol 2, kemudian F1 dan tulis panjang gelombang 200-
600 nm, ditunggu sampai ada tanda bunyi. Kuvet dibilas dengan isolat dan
selanjutnya dimasukkan isolat ke dalam kuvet. Kuvet dimasukkan ke dalam alat
spektrofotometer UV-Vis, pada alat ditekan tombol start, lalu F2 untuk melihat
peak dari isolat.
IV.5.2. KLT Dua Dimensi untuk Isolat Hasil KKK
Disiapkan dua buah chamber dan dimasukkan eluen ke dalam masing-
masing chamber, chamber 1 kloroform : metanol (4:1) dan chamber 2 kloroform :
metanol (1:4), kemudian chambe dijenuhkan dengan dimasukkan kertas saring ke
dalam chamber. Dibuat garis batas pada 4 sisi plat KLT dengan jarak 1 cm dari
tepi plat dan dan plat KLT diaktivasi dengan cara dimasukkan ke dalam oven.
Kemudian isolat ditotolkan pada plat dengan posisi tepat disebelah kiri,
selanjutnya plat dielusi dengan dimasukkan ke dalam chamber pertama. Setelah
dielusi plat diamati di bawah sinar UV 254 nm. Selanjutnya plat dielusi kembali
pada chamber kedua dengan posisi plat diputar 90°. Setelah dielusi plat diamati di
bawah sinar uv 254 nm dan 366 nm.
IV.5.3. Karakterisasi Subfraksi Hasil KKV menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis
Dinyalakan alat spektrofotometer UV-Vis dan kuvet diisi dengan metanol
sebagai blanko, kemudian kuvet dimasukkan ke dalam alat spektrofotometer UV-
Vis. Pada alat ditekan tombol 2, kemudian F1 dan tulis panjang gelombang 600-
200 nm, ditunggu sampai ada tanda bunyi. Kuvet dibilas dengan isolat dan
selanjutnya dimasukkan isolat ke dalam kuvet. Kuvet dimasukkan ke dalam alat
spektrofotometer UV-Vis, pada alat ditekan tombol start, lalu F2 untuk melihat
peak dari isolat.
IV.5.4. KLT Dua Dimensi untuk Isolat Hasil KKV
Disiapkan dua buah chamber dan dimasukkan eluen ke dalam masing-
masing chamber, chamber 1 kloroform : metanol (4:1) dan chamber 2 kloroform :
metanol (1:4), lalu chamber dijenuhkan dengan dimasukkan kertas saring ke
dalam chamber. Dibuat garis batas pada 4 sisi plat KLT dengan jarak 1 cm dari
tepi plat dan plat KLT diaktivasi dengan cara dimasukkan ke dalam oven.
Kemudian isolat ditotolkan pada plat dengan posisi tepat disebelah kiri plat,
selanjutnya plat dielusi dengan dimasukkan ke dalam chamber pertama. Setelah
dielusi plat diamati di bawah sinar UV 254 nm. Selanjutnya plat dielusi kembali
pada chamber kedua dengan posisi plat diputar 90°. Setelah dielusi plat diamati di
bawah sinar uv 254 nm dan 366 nm.

V. Data Pengamatan dan Perhitungan


Nama Simplisia : Kayu Secang
Nama Latin Simplisia : Caesalpiniae sappanis Lignum
Nama Latin Tumbuhan : Caesalpinia sappan L.
V.1. Skrinning Fitokimia
Skrining Hasil Pengamatan Literatur
Pereaksi Mayer = warna
larutan jingga (+)
Terbentuk endapan putih
Alkaloid Pereaksi Dragendroff = warna
atau kekeruhan
larutan merah muda, tidak ada
Terbentuk jingga kuning atau keruh
endapan dan warna larutan tidak
keruh (-)
Senyawa Terbentuk warna hijau
+ FeCl3 = warna larutan jadi merah
Polifenolat kehitaman atau biru tua
keunguan (+)
Polifenolat : endapan coklat
+ serbu Hg dan HCl pekat = warna
Flavonoid larutan lebih muda (+) Terbentuk warna dalam lapisan
+ amil alkohol = warna larutan amilalkohol
merah jingga (+)
+ HCl = tabung uji berbusa dan
Saponin Terbentuk busa 1 cm yang stabil tidak
terbentuknya busa bertahan lama
hilang setelah + HCl
(+)

Antrakuinon Terbentuk warna kuning hingga


+ NaOH = larutan menjadi merah
merah
keunguan (+)
+ gelatin = warna larutan merah dan
terbentuk endapan (+)
Tanin + FeCl3 = warna larutan hitam Terbentuk warna biru tua atau
kehijauan (+) kehijauan
+ Steansy = warna larutan merah
muda (+)
Monotrepena dan
+ Vanilin 10% dalam asam sulfat
Seskuiterpena Tanaman Lada Hitam
pekat = warna merah (+)

Triterpenoid dan + Pereaksi Lieberman-Burchard =


Streroid : terbentuk cincin biru
Steroid larutan menjadi warna merah ungu
kehijauan
(+ triterpenoid)
Triterpenoid : terbentuk cincin
larutan tidak berubah warna apapun
kecoklatan atau violet
(- steroid)
V.1.1. Pembuatan Ekstrak
a. Maserasi
Berat simplisia=100,0638 gram
Berat ekstrak = 6,2736 gram
6,2736
Rendemen (%)= x 100 % = 6,2696%
100,0638
b. Ekstraksi Sinambung dengan Alat Soxhlet
Berat simplisia= 50,0783 gram
Berat ekstrak = 3,7216 gram
3,7216
Rendemen (%)= x 100 % = 7,4316%
50,0783
c. Refluks
Berat simplisia= 50,1350 gram
Berat ekstrak = 5,15609 gram
5,15609
Rendemen (%)= x 100 % = 10,2842%
50,1350
V.2. Pemantauan Ekstrak dan Fraksinasi
V.2.1. Pemantauan Ekstrak
Perhitungan nilai Rf:
Ekstrak : 2,6 cm
Etil asetat : 3,2 cm
n-heksan :-
Tinggi eluen : 5 cm

Jarak bercak 2,6 cm


Rf ekstrak = = = 0,52
Jarak eluen 5 cm
Jarak bercak 3,2cm
Rf etil asetat = = = 0,64
Jarak eluen 5 cm
V.2.2. Fraksinasi ECC
Dari percobaan yang telah dilakukan hasilnya terdapat 2 lapisan antara n-
heksan dengan etil asetat, dimana lapisan bagian atas merupakan lapisan n-heksan
dan bagian bawah merupakan lapisan etilasetat.
a. Pelarut n-heksan
Lapisan atas = n – heksana
Lapisan bawah= air

b. Pelarut Etil Asetat


Lapisan atas = etil asetat
Lapisan bawah= air

c. Pemantauan Fraksi Kayu Secang


1) Hasil Pemekatan ECC
2) Hasil KLT pada Cahaya Biasa

3) Hasil KLT pada Sinar UV 254 nm

4) Hasil KLT pada Sinar UV 352 nm


V.3. Subfraksinasi
V.3.1. Kromatografi Cair Vakum
Bobot serbuk adsorben = 1,5 gram
Bobot ekstrak kental = 1,5 gram
Komposisi eluen = n-heksana : etil asetat : metanol

Vial 1-4 : tidak berwarna


Vial 5 : kuning bening (0:6:4)
Vial 6 : merah (0:4:6)
Vial 7 : merah delima (0:0:10)
Vial 8 : merah delima (metanol)

Gambar. Vial 1-5


Gambar. Vial 6-8
V.3.2. Kromatografi Kolom Klasik
Bobot silika gel 60 = 50 gram
Bobot ekstrak kental = 0,5 gram
Komposisi eluen = n-heksana : etil asetat : metanol

Vial 5 = Bening
Vial 10 = Bening
Vial 15 = Agak kuning
Vial 20 = Orange
Vial 25 = Merah agak orange
Vial 30 = Merah agak orange
Vial 35 = Ungu
Vial 40 = Ungu pekat

V.3.3. Pemantauan Profil KLT


No Percobaa
Hasil Pengamatan Keterangan
. n
1. KCV Fase gerak 
kloroform : etilasetat (1:3)
Vial 5-8 = Nampak noda
Vial 6 = Paling Nampak
noda

2. KKK Vial 20, 25, 30, 35, 40 


tampak bercak
Vial 25  bercak diduga
senyawa target

Vial 27 dan vial 28 


bercak paling nampak
(senyawa target)

V.4. Teknik Pemisahan dan Pemurnian Isolat


Eluen Hasil
Kloroform : Etil Isolat hasil KCV
asetat (1:3) dalam 50 Di bawah sinar UV 254 nm
mL

Di bawah sinar UV 366 nm

Pita yang diperoleh = 1

Kloroform : Etil Isolat hasil KKK


asetat (1:3) dalam 50 Di bawah sinar UV 254 nm
mL
Di bawah sinar UV 366 nm

Pita yang diperoleh = 1

V.5. Uji Kemurnian dan Karakterisasi Isolat


Eluen Hasil
1. kloroform : metanol Isolat hasil KKK
(4:1) Di bawah sinar UV 254 nm
2. kloroform : metanol
(1:4)

Di bawah sinar UV 366 nm

Noda yang diperoleh: 1

Data Peak: terdapat 2 puncak


Nilai Absorbansi: 0,314 dan 0,641

1. kloroform : metanol Isolat hasil KCV


(4:1) Di bawah sinar UV 254 nm
2. kloroform : metanol
(1:4)

Di bawah sinar UV 366 nm

Noda yang diperoleh : 1

Data peak: terdapat 2 puncak


Nilai Absorbansi: 0,314 dan 0,641
VI. Pembahasan
Fitokimia merupakan ilmu pengetahuan yang menguraikan aspek kimia
suatu tanaman. Kajian fitokimia meliputi uraian yang mencangkup aneka ragam
senyawa organik yang dibentuk dan disimpan oleh organisme, yaitu struktur
kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara
alamiah dan fungsi biologisnya, isolasi dan perbandingan komposisi senyawa
kimia dari bermacam-macam jenis tanaman (Ramsawamy dan Sirsi, 2007).
Analisis fitokimia dilakukan untuk menentukan ciri komponen bioaktif
suatu ekstrak kasar yang mempunyai efek racun atau efek farmakologis lain yang
bermanfaat bila diujikan dengan sistem biologi atau bioassay (Harborne, 1987).
VI.1. Skrinning Fitokimia
Pada percobaan kali ini dilakukan penapisan fitokimia dan biasa disebut
skrining fitokimia. Skrining fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu
penelitian fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti dan
mengdentifikasi kandungan kimia yang terdeteksi dalam suatu tumbuhan dan
menentukan golongan senyawa kimia yang dikandung serta untuk mencari
komponen senyawa kimia pada tumbuhan yang memiliki aktivitas biologi.
Metode skrining fitokimia dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna
dengan menggunakan suatu pereaksi warna. Hal penting yang berperan penting
dalam skrining fitokimia adalah pemilihan pelarut dan metode ekstraksi
(Kristianti dkk., 2008).
Skrining fitokimia merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-senyawa
metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai macam
metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-senyawa
tersebut dapat diidentifikasikan dengan pereaksi-pereaksi yang mampu
memberikan ciri khas dari setiap golongan dari metabolit sekunder. Skrining
fitokimia umumnya dilakukan terhadap kelompok senyawa metabolit sekunder
sesuai dengan tujuan praktikum yaitu untuk membuktikan adanya kandungan
metabolit sekunder tersebut yang dibuktikan pada senyawa alkaloid, flavonoid,
saponin, tanin, kuinon, kumarin, steroid dan triterpenoid yang terdapat pada
tanaman kayu secang. (Harbone, 1987).
Simplisia yang digunakan pada percobaan ini yaitu kayu secang. Kayu
secang merupakan tumbuhan yang umumnya tumbuh di tempat terbuka sampai
ketinggian 1000 m di atas permukaan laut seperti di daerah pegunungan yang
berbatu tetapi tidak terlalu dingin. Tingginya 5-10 m. Batangnya berkayu, bulat
dan berwarna hijau kecoklatan. Batang dan percabangan terdapat duri-duri tempel
yang bentuknya bengkok dan letaknya tersebar. Daun secang merupakan daun
majemuk menyirip ganda dengan panjang 25-40 cm, jumlah anak daunya 10-20
pasang yang letaknya behadapan. Bunga secang adalah bunga majemuk berbentuk
malai, bunganya keluar dari ujung tangkai dengan panjang 10-40 cm, mahkota
bungan berbentuk tabung berwarna kuning. Buah secang adalah buah polong,
panjang 8-10 cm, lebar 3-4 cm, ujung seperti paruh berisi 3-4 biji, jika masak
berwarna hitam. Bijinya bulat memanjang dengan panjang 15-18 mm dan lebar 8-
11 mm, tebalnya 5-7 mm, warnanya kuning kecoklatan. Akar secang adalah akar
tunggang berwarna coklat kotor (Hariana, 2006).
Kedudukan taksonomi tanaman secang sebagai berikut (Tjitropoepomo,
2005) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Resales
Suku : Caesalpiniaceae
Marga : Caesalpinia
Jenis : Caesalpinia sappan L
Uji alkaloid yang dilakukan dengan pereaksi mayer, pereaksi dragendroff
dan blanko. Sebelumnya suatu simplisia diasamkan terlebih dahulu dengan asam
klorida lalu dibasakan dengan larutan amonia selanjutnya ditambahkan kloroform
dan dikocok kuat. Hasil yang didapat yaitu pereaksi mayer menandakan hasil
positif yaitu warna larutan jingga dan pada pereaksi dragendroff menandakan
hasil negatif yaitu tidak adanya kekeruhan pada larutan atau terbentuk endapan.
Hal ini tidak sesuai dengan literatur yang ada bahwa pada larutan yang
ditambahkan pereaksi Dragendorf seharusnya menunjukkan perubahan adanya
endapan jingga/kuning dan larutan menjadi keruh sehingga hasilnya akan
menunjukkan positif.
Pada pengujian kedua yaitu dilakukan skrining terhadap polifenolat.
Pereaksi yang digunakan yaitu besi (III) klorida. Hasil yang didapat yaitu warna
larutan menjadi merah keunguan ini menandakan bahwa menurut literatur positif
polifenolat. Senyawa Fe pada FeCl3 akan bereaksi dengan gugus hidroksil yang
terdapat pada senyawa polifenolat sehingga terjadi perubahan warna.
Pada pengujian ketiga dilakukan skrining terhadap flavonoid. Flavonoid
merupakan golongan fenol terbesar yang senyawa yang terdiri dari C6-C3-C6 dan
sering ditemukan diberbagai macam tumbuhan dalam bentuk glikosida atau
gugusan gula bersenyawa pada satu atau lebih grup hidroksil fenolik (Sirsit,
2007). Flavonoid merupakan golongan metabolit sekunder yang disintesis dari
asam piruvat melalui metabolisme asam amino (Bhat et al., 2009). Flavonoid
adalah senyawa fenol, sehingga warnanya berubah bila ditambah basa atau
amoniak. Terdapat sekitar 10 jenis flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin,
flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, auron, flavanon, dan isoflavon
(Harborne, 1987).
Pemeriksaan golongan flavonoid dapat dilakukan dengan uji warna yaitu
fitokimia untuk menentukan keberadaan senyawa golongan flavonoid dan uji
adanya senyawa polifenol. Uji keberadaan senyawa flavonoid dari dalam sampel
digunakan uji Wilstatter, uji Bate-Smith, dan uji dengan NaOH 10%. Sedangkan
uji adanya senyawa polifenol dilakukan dengan larutan penambahan FeCl3
adapun uji tersebut secara lengkap sebagai berikut (Achmad, 1986 dan Harbone,
1987). hasil reaksi yang didapat menunjukkan hasil yang positif, dimana saat
larutan uji ditambahkan serbuk Mg dan HCl pekat warna larutan menjadi lebih
muda dan setelah didiamkan kembali warna larutan menjadi merah jingga.
Penambahan HCL dan Mg berfungsi untuk mereduksi ikatan glikosida dengan
flavonoid sehingga akan membentuk kompleks dengan ion Mg.
Pada pengujian keempat dilakukan pengujian skrining terhadap tanin. Tanin
merupakan senyawa umum yang terdapat dalam tumbuhan berpembuluh,
memiliki gugus fenol, memilki rasa sepat dan mampu menyamak kulit karena
kemampuannya menyambung silang protein. Jika bereaksi dengan protein
membentuk kopolimer mantap yang tidak larut dalam air. Tanin secara kimia
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu tanin terkondensasi dan tanin
terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap
terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa
dimer dan kemudian oligomer yang lebih tinggi. Tanin terhidrolisis mengandung
ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika dididihkan dalam asam klorida encer
(Harborne, 1987).
Uji tanin dilakukan dengan cara melarutkan sampel simplisia kedalam air
panas selama 15 menit, didihkan sampai sampel terendam semuanya. Kemudian
campuran didinginkan lalu filtrat disaring dan dibagi menjadi 3 bagiam untuk
masing-masing pengujian. larutan FeCl3 1%. Hasil positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hitam kebiruan atau hijau (Sangi et al, 2008).
Pereaksi yang digunakan yaitu gelatin, FeCl3 dan steansy. Pada gelatin
menunjukan hasi positif, FeCl3 warna larutan berubah menjadi hitam kehijauan
menunjukkan hasil positif dan pada pereaksi Steansy warna larutan menjadi
merah muda dan menunjukkan hasil yang positif. Dapat disimpulkan bahwa
simplisia ini megandung tanin. Pada tabung yang ditambahkan FeCl3 akan
membentuk senyawa kompleks antara FeCl3 dengan tannin dan akan
menghasilkan senyawa berwarna biru tua atau hitam. Pada tabung yang
ditambahkan gelatin akan membentuk kopolimer tidak larut air, sehingga
terbentuknya endapan menunjukkan hasil positif. Dan pada tabung yang
ditambahkan pereaksi steasny akan menimbulkan warna merah muda (identifikasi
metabolit sekunder berupa tannin katekat).
Pengujian kelima yaitu skrining terhadap antrakuion. Antrakuinon ini
digunakan pereaksi NaOH. Hasil yang ditimbulkan yaitu warna larutan menjadi
merah keunguan, menunjukkan hasil yang positif. Maka dapat disimpulkan bahwa
simplisia atau uji ini positif mengandung antrakuinon. Penambahan NaOH yang
mengakibatkan terjadinya peubahan warna.
Pengujian keenam yaitu skrining terhadap saponin. Saponin adalah
glikosida triterpena dan sterol yang telah terdeteksi dalam lebih dari 90 genus
pada tumbuhan. Glikosida adalah suatu kompleks antara gula pereduksi (glikon)
dan bukan gula (aglikon). Banyak saponin yang mempunyai satuan gula sampai 5
dan komponen yang umum ialah asam glukuronat. Adanya saponin dalam
tumbuhan ditunjukkan dengan pembentukan busa yang sewaktu mengekstraksi
tumbuhan atau memekatkan ekstrak (Harborne, 1987). Pereaksi yang digunakan
yaitu HCl. Diawali dengan pengocokan dan akan terbentuk busa ketika ditambah
HCl menunjukan tetap terdapat busa yang stabil dengan ketinggian 1 cm. Dari
hasil ini menunjukan busa yang stabil saat pengocokan. Terbentuknya busa
menunjukkan adanya senyawa saponin pada simplisia.
Pengujian ketujuh yaitu skrining terhadap monoterpen dan sesquiterpen.
Pereaksi yang digunakan yaitu vanilin 10% dalam sulfat pekat. Hasil didapat
menunjukan berwarna merah bata. Menurut literatur bahwa jika timbulnya warna-
warna menandakan positif terhadap monoterpen dan sesquiterpen. Timbulnya
warna diakibatkan karena penambahan vanilin yang bening dan eter pun
warnanya bening, sehingga menunjukkan hasil yang positif untuk senyawa
monoterpen dan seskuiterpen.
Pengujian kedelapan yaitu skrining terhadap triterpenoid dan steroid.
Pereaksi yang digunakan pereaksi liberman burchard. Hasil yang didapat yaitu
tidak menunjukan berubah warna (-) menurut literatur steroid menandakan
berbentuk cincin biru kehijauan dan triterpenoid menunjukan terbentuknya cincin
kecoklatan/violet.
Sebagai ringkasan bahwa pada pengujian skrining fitokimia ini terdapat
beberapa hal yang dapat mungkin terjadi yaitu masalah yang muncul kesalahan
dalam penafsiran fitokimia. Yaitu memberikan hasil positif palsu. Sedangkan
hasil pemeriksaan negatif senyawa golongan yang diuji memang tidak ada.
Kemudian penapisan fitokimia ini berguna untuk sebagai arah dalam meakukan
proses fitokimia selanjutnya.
VI.2. Ekstraksi
Pada percobaan ini dilakukan ekstraksi sampel kayu secang menggunakan
metode maserasi, ekstraksi sinambung dengan alat soxhlet dan metode refluks.
Pemilihan metode ini didasarkan pada prinsip dan cara kerjanya yang tidak terlalu
sulit dan kemudahan dalam memperoleh bahan dan alatnya. Ekstraksi yang
pertama dilakukan adalah ekstraksi dengan metode maserasi. Maserasi adalah
jenis ekstraksi tanpa system pemanasan atau lebih dikenal dengan istilah ekstraksi
dingin, jadi pada metode ini pelarut dan sampel tidak mengalami panas sekali
(Hamdani, 2014). Kelebihan dari ekstraksi dengan metode maserasi adalah alat
yang digunakan sederhana, biaya terjangkau, dan proses mudah tanpa pemanasan.
Namun kelemahan dari metode ini adalah pada maserasi proses penyariannya
tidak sempurna karena zat aktif hanya mampu terekstraksi sebanyak 50% serta
prosesnya membutuhkan waktu yang lama. Prosedur ekstraksi dengan
menggunakan metode maserasi diawali dengan penimbangan serbuk simplisia
kayu secang sebanyak 100 gram yang sudah dihaluskan/diperkecil ukurannya
untuk memudahkan proses ekstraksi yang kemudian dimasukkan ke maserator.
Lalu sebanyak 1000 ml pelarut etanol dimasukkan ke maserator, alasan
digunakannya etanol karena sifatnya yang selektif dalam mengidentifikasi
senyawa kimia dan mudah didapatkan. Selain itu, pelarut etanol 96% adalah
senyawa polar yang mudah menguap sehingga baik digunakan sebagai pelarut
ekstrak. Lalu maserator ditutup, didiamkan dan diaduk sesekali. Proses
perendaman ini sesuai dengan prinsip maserasi yaitu ekstraksi zat aktif yang
dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut yang sesuai yang
bertujuan agar zat aktif dalam simplisia tertarik ke pelarut. Mekanisme yang
terjadi saat perendaman yaitu cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati
dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan
di dalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak
keluar dan diganti oleh cairan penyari dengan konsentrasi rendah (proses difusi).
Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di luar sel dan di dalam sel. Setelah direndam selama 24 jam, dilakukan
proses penyaringan untuk memisahkan ekstrak dari pengotornya. Setelah selesai
waktu maserasi artinya keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian
dalam sel dengan masuk ke dalam cairan, telah tercapai maka proses difusi segera
berakhir. Kemudian dilakukan lagi maserasi yang kedua kalinya dengan prosedur
yang sama tetapi menggunakan pelarut yang baru. Tujuan dari pengulangan ini
adalah untuk memaksimalkan senyawa yang didapatkan serta keadaan diam
selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis
pada suatu maserasi tidak memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin
besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak
hasil yang diperoleh (Voight, 1994). Setelah semua proses selesai, didapatkan
ekstrak sebanyak 6,2736 gram. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa
rendemen hasil maserasi sebanyak 6,2696%. Semakin besar rendemen yang
dihasilkan, maka semakin efisien perlakuan yang diterapkan. Menurut Nurhayati
et al. (2009), bahwa nilai rendemen yang tinggi menunjukan banyaknya
komponen bioaktif yang terkandung didalamnya.
Ekstraksi yang selanjutnya dilakukan adalah ekstraksi berkesinambungan
dengan alat soxhlet. Ekstraksi Soxhlet adalah metode ekstraksi untuk bahan yang
tahan pemanasan dengan cara meletakkan bahan yang akan diekstraksi dalam
sebuah kantung ekstraksi (kertas saring) di dalam sebuah alat ekstraksi dari gelas
yang bekerja kontinu (Voigt 1995). Ekstraksi ini termasuk ekstraksi padat-cair
karena substansi yang diekstrak terdapat di dalam campuran yang berbentuk
padat, sedangkan disebut berkesinambungan karena pada tiap tahap selalu dipakai
pelarut yang baru sampai proses ekstraksi selesai. Menurut Luque de Castro
(1998), keuntungan ekstraksi soxhlet meliputi perpindahan keseimbangan transfer
dengan berulang kali membawa pelarut segar kontak langsung dengan matriks
padat, mempertahankan suhu ekstraksi yang relatif tinggi dengan panas dari
termos distilasi, dan metode soxhlet sangat sederhana dan murah serta kelemahan
dari metode ini adalah waktu ekstraksi yang panjang dan menggunakan pelarut
dalam jumlah banyak. Prosedur yang dilakukan diawali dengan penimbangan
simplisia sebanyak 50 gram dan disiapkan thimble (pembungkus simplisia) dari
kertas saring. Panjang dan besar thimble diukur agar pas saat dimasukkan ke
klonsong Soxhlet, kemudian dipotong sesuai batas yang ditetapkan. Bagian bawah
kertas saring dilipat dan dikembungkan lalu thimble diisi dengan simplisia
secukupnya kemudian thimble diikat supaya isi dari thimble tidak akan berceceran
keluar. Dimasukkan batu didih ke labu destilasi untuk meratakan panas sehingga
panas menjadi homogen pada seluruh bagian larutan. Lalu dimasukkan pelarut ke
dalam labu destilasi dan dimasukkan thimble kedalam klonsong Soxhlet,
dipasangkan kondensor, dinyalakan aliran air pada kondensor kemudian
dinyalakan penangas. Diulang siklus beberapa kali agar mendapat hasil ekstrak
yang maksimal, jika pelarut sudah tidak berwarna maka thimble diganti dengan
simplisia yang baru guna mendapatkan ekstrak yang berkualitas. Setelah semua
proses selesai, didapatkan ekstrak sebanyak 3,7216 gram. Berdasarkan hasil
perhitungan diketahui bahwa rendemen hasil ekstraksi Soxhlet sebesar 7,4316 %.
Semakin besar rendemen yang dihasilkan, maka semakin efisien perlakuan yang
diterapkan. Menurut Nurhayati et al. (2009), bahwa nilai rendemen yang tinggi
menunjukan banyaknya komponen bioaktif yang terkandung didalamnya.
Ekstraksi yang selanjutnya dilakukan adalah ekstraksi refluks. Refluks
adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu
tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin
balik. Kelebihan dari metode refluks adalah digunakan untuk mengekstraksi
sampel - sampel yang mempunyai tekstur kasar, dan tahan pemanasan.
Kekurangan dari metode refluks adalah membutuhkan volume total pelarut yang
besar. Metode ini menggunakan kayu secang sebagai sampel dengan berat 50
gram. Bahan ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu destilasi, lalu dimasukkan
pelarut sebanyak 500 ml. Penggunaan pelarut ini adalah untuk menarik senyawa
dari sampel sehingga zat yang diinginkan dapat tertarik kembali keluar. Ke dalam
labu destilasi, dimasukkan batu didih untuk meratakan panas sehingga panas
menjadi homogen pada seluruh
bagian larutan. Tanpa batu didih, larutan dapat mengalami super heate atau
kelebihan panas yang dapat menyebabkan ledakan, untuk menghindari titik lewat
didih dengan cara menangkap udara pada larutan dan melepaskannya ke
permukaan larutan oleh pori-pori dalam batu didih sehingga timbul gelembung-
gelembung pada batu didih. Lalu ke setiap rangkaian alat bagian tertentu
dioleskan vaselin supaya nanti saat proses sudah selesai, rangkaian alat tersebut
mudah untuk dilepas karena biasanya panas membuat alat memuai dan susah
untuk dilepas. Dipasang labu kondensor dan selang air pada kondensor kemudian
aliran air dinyalakan. Kondensor berfungsi untuk mendinginkan pelarut yang
menguap. Penangas dinyalakan hingga mencapai suhu didih pelarut secara
bertahap. Proses ekstraksi dilakukan hingga pelarut jenuh. Pemanasan dapat
mempermudah zat untuk keluar dari bentuk pokoknya. Penarikan zat ini memiliki
prinsip menarik zat pada suhu tinggi dengan pelarut volatile yang menguap pada
suhu tinggi kemudian didinginkan di dalam kondensor, pelarut yang berbentuk
uap diembunkan sehingga turun ke dalam wadah. Lalu ekstrak disaring agar zat -
zat pengotor dapat hilang. Setelah semua proses selesai, didapatkan ekstrak
sebanyak 5,1560 gram. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa rendemen
hasil ekstraksi Soxhlet sebesar 10,2842%. Semakin besar rendemen yang
dihasilkan, maka semakin efisien perlakuan yang diterapkan. Menurut Nurhayati
et al. (2009), bahwa nilai rendemen yang tinggi menunjukan banyaknya
komponen bioaktif yang terkandung didalamnya.
VI.3. Pemantauan Ekstrak
Pemantauan ekstrak dilakukan untuk memastikan kebenaran kandungan
senyawa aktif yang terkandung pada ekstrak. Pemantauan ekstrak adalah suatu
metode yang digunakan untuk memantau ada tidaknya senyawa metabolit
sekunder yang terdapat dalam ekstrak kayu secang. Metode yang digunakan
dalam pemantauan ekstrak kayu secang yaitu metode kromatografi lapis tipis.
Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom,
perbedaan kemampuan adsorpsi terhadap zat - zat yang sangat mirip
mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut
kromatogram (Khopkar, 2008). Dalam kromatografi, komponen - komponen
terdistribusi dalam dua fase yaitu fase gerak dan fase diam. Transfer massa antara
fase bergerak dan fase diam terjadi bila molekul - molekul campuran serap pada
permukaan partikel - partikel atau terserap. Kromatografi juga merupakan suatu
teknik pemisahan molekul berdasarkan perbedaan pola pergerakan antara fase
gerak dan fase diam untuk memisahkan komponen yang berada pada larutan, atau
prosedur pemisahan zat terlarut oleh suatu proses migrasi diferensiasi dinamis
dalam sistem yang terdiri dari dua fase atau lebih, salah satunya bergerak secara
berkesinambungan dalam arah tertentu dan didalamnya zat-zat itu menunjukkan
perbedaan mobilitas yang disebabkan dengan adanya perbedaan dalam adsorpsi
partisi, kelarutan, tekanan uap, ukuran molekul atau kerapatan muatan ion.
Kromatografi lapis tipis sendiri merupakan cara pemisahan campuran
senyawa menjadi senyawa murni dan mengetahui kuantitasnya yang
menggunakan kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik menyerap maupun merupakalm cuplikan KLT dapat
digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti
lipid-lipid dan dihidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas.
KLT juga dapat digunakan untuk mencari kromatografi kolom, identifikasi
senyawa secara kromatografi dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis.
Bahan lapis tipis seperti silica gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan
pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat (Fessenden, 2003). KLT
juga merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi. Fase diam berupa padatan dan
fase geraknya dapat berupa cairan dan gas. Zat terlarut yang diadsorpsi oleh
permukaan partikel padat (Soebagio, 2002).
Prinsip KLT adalah adsorpsi dan partisi dimana adsorbsi adalah penyerapan
pada permukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau kemampuan suatu zat
yang ada dalam lautan untuk berpisah kedalam pelarut yang digunakan.
Kecepatan gerak senyawa-senyawa keatas pada lempengan tergantung pada
bagaimana kelarutan senyawa dalam pelarut (Seobagio, 2002). Nilai Rf sangat
karakteristik untuk senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat
digunakan untuk mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel.
Senyawa yang mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang
rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fase diam bersifat polar,
senyawa yang lebih polar akan tertahan kuat pada fase diam, sehingga
menghasilkan nilai Rf yang rendah. Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2-0,8.
Jika Rf terlalu tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen,
dan sebaliknya (Gandjar, 2007).
Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (eluen) umumnya sama
dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorpsi,
pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut (misalnya dari heksana ke aseton, ke
alkohol, ke air). Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran
pelarut dengan susunan tertentu. Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai
kemurnian yang tiggi. Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat
menghasilkan kromatogram yang tidak diharapkan. KLT merupakan contoh dari
kromatografi adsorpsi. Fase diam berupa padatan dan fase geraknya dapat berupa
cairan dan gas. Zat terlarut yang diadsorpsi oleh permukaan partikel padat.
Kromatografi adsorpsi memiliki beberapa kekurangan, yaitu :
a. Pemilihan fase diam (adsorben)
b. Koefisien distribusi untuk seringkali tergantung pada kadar total, sehingga
pemisahannya kurang sempurna. (Soebagio dkk,. 2002).
Secara teori, pemisahan kromatografi yang baik akan diperoleh jika fase
diam mempunyai luas permukaan sebesar-besarnya sehingga terjadi
kesetimbangan yang baik antara fasegas dan fase diam. Persyaratan kedua agar
pemisahan baik adalah fase gerak bergerak dengan cepat sehingga difusi menjadi
sekecil-kecilnya (Gritter et al., 1991).
Pada percobaan pematauan ekstrak hal yang pertama dilakukan yaitu
memasukkan eluen kloroform:etil asetat dengan perbandingannya adalah sebesar
1:3 ke dalam chamber. Kemudian hal yang selanjutnya dilakukan adalah
dimasukkannya kertas saring ke dalam chamber. Tujuan dimasukkannya eluen
(kertas saring) ke dalam chamber yaitu untuk penjenuhan agar proses elusi dapat
berjalan dengan cepat serta untuk mencegah penguapan eluen. Sedangkan kertas
saring digunakan sebagai indikator bahwa chamber sudah jenuh yang
diindikasikan dengan basahnya keseluruhan kertas saring. Pada saat penjenuhan,
chamber ditutup karena apabila dibiarkan terbuka, fase gerak akan habis
menguap. Selain itu chamber juga tidak boleh diangkat dengan tujuan agar
tekanan dalam larutan stabil dan tidak terjadi penguapan yang lebih cepat pada
eluen yang bersifat mudah menguap. Lalu disiapkan pelat silika gel GF254 dan
diberi batas atas dan bawah 1 cm pada pelat silika nya. Silika gel GF254 adalah
silika gel dengan pengikat dan gypsum berfluoresensi pada sinar UV 254 nm.
Silika gel GF254 bersifat polar.
Selanjutnya ekstrak yang diperoleh dari hasil ECC dan sebelumnya telah
dilarutkan dalam beberapa mL pelarut ditotolkan pada pelat KLT dan elusi di
dalam bejana. Pada saat penotolan dilakukan setipis mungkin agar pemisahan
berjalan secara sempurna. Setelah itu hasilnya diamati dibawah sinar UV 254 nm
dan 352 nm. Bila eluen polar, bercak akan berada pada posisi paling bawah plat
dan nilai Rf kecil. Sedangkan bila eluen non polar, bercak akan berada pada posisi
paling atas plat dan nilai Rf besar. Nilai Rf paling baik adalah pada rentang 0.2-
0.8 Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan Rf ekstrak kayu secang sebesar
0,52 dan Rf etil asetat sebesar 0,64. Nilai Rf pada percobaan ini menunjukkan
hasil pemisahan yang baik karena nilainya berada diantara rentang 0,2 – 0,8.
VI.4. Fraksinasi ECC
Pada percoban kali ini dilakukan ekstraksi cair-cair dari fraksi yang telah
diperoleh dari percobaan sebelumnya. Fraksinasi adalah suatu proses pemisahan
senyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Tujuan fraksinasi adalah untuk
memisahkan komponen hasil ekstraksi berdasarkan kesamaan kepolaran dan
dilakukan untuk memperoleh fraksi-fraksi yang terpisah untuk memudahkan
proses pengambilan komponen dalam campuran hasil ekstraksi berdasarkan
kesamaan kepolaran. Tujuan dari percobaan ini yaitu untuk ngeisolasi senyawa
dari simplisia kayu secang. Metode fraksinasi yang digunakan pada praktikum
kali ini yaitu ekstarkasi cair-cair (ECC).
Ekstraksi cair-cair digunakan untuk memisahkan senyawa atas dasar
perbedaan kelarutan pada dua jenis pelarut yang berbeda yang tidak saling
bercampur. Jika analit berada dalam pelarut anorganik, maka pelarut yang
digunakan adalah pelarut organik, dan sebaliknya. Ekstraksi cair-cair
menggunakan prinsip kesetimbangan antara massa zat yang terlarut dan larutan
yang akan diekstraksi kelarutan yang digunakan sebagai pelarut (fasa kontinyu)
(Arsyad, 2001). Proses fraksinasi pada praktikum kali ini menggunakan
corong pisah. Corong pisah digunakan dengan mencampurkan dua fase pelarut,
kemudian digoyangkan untuk membuat dua fase tercampur. Sesekali buka keran
untuk mengeluarkan gas yang ada didalam corong pisah.
Pada proses fraksinasi pertama disiapkan corong pisah 250 mL yang sudah
dicuci dan kering. Lalu ekstrak kental ditimbang sebanyak 2 gram dan dilarutkan
dengan aquadest yang bertujuan agar ekstrak mudah bercampur dengan pelarut
yang sudah di tentukan, ditimbahkan pelarut N-heksan, pelarut n-heksan dipilih
karena yang bersifat polar yang bertujuan untuk menarik senyawa yang bersifat
nonpolar yang terkandung di dalam ekstrak. Lalu dilakukan pengocokan
menggunakan corong pisah yang sudah berisi ekstrak dan pelarut N-heksan untuk
membuat dua fase tercampur pengocokan dilakukan searah jarum jam untuk
menghindari terbentuknya buih yang mengakibatkan pemisahan senyawa kurang
bagus, dan juga pengocokan tidak boleh terlaluh kuat atau terlalu pelan. Jika
pengocokan terlalu pelan proses penarikannya kurang masimal dan jika terlalu
kuat akan terbentuk buih. Dan sesekali keran pada corong pisah dibuka untuk
mencegah terjadinya tekanan didalam corong yang mengakibatkan ledakan.
Setelah 15 menit pengocokan dibiarkan beberapa saat hingga terbentuk 2 fase,
terjadi pemisahan 2 fase disebabkan perbedaan kepolaran antara N-heksan dan air.
Lapisan N-heksan berada diatas karena bobot jenis N-heksan lebih kecil di
bandingkan dengan air. Bobot jenis N-heksan adalah 0,94 g/g (Depkes RI, 2000)
sedangkan bobot jenis air adalah 1 g/g (Depkes RI, 2000). Kemudian kembali
dilakukan prosedur yang sama menggunakan pelarut yang berbeda yaitu etil
asetat.
Setelah dihasilkan fraksinasi dari ekstraksi cair-cair, selanjutnya dilanjutkan
pemantauan fraksi kayu secang dengan kromatografi lapis tipis, pemantauan
fraksi kayu secang dilakukan sama persis seperti pada pemantauan ekstrak.
Pertama masukan eluen kloroform dan etil asetat untuk menjenuhkan
chamber, dipilihnya eluen berupa kloroform : etil asetat karena menurut studi
literatur eluen tersebut dapat menarik senyawa target (Widiyantoro et al 2018).
Chamber dijenuhkan, dimana tujuan dari penjenuhan ini adalah agar tekanan uap
pelarut sehingga saat proses pemisahan akan sama, sehingga pelarut akan naik
dalam waktu yang bersamaan sehingga hasil akan lebih akurat.Selanjutnya fraksi
yang diperoleh dari ekstraksi cair-cair di totolkan pada pelat klt GF 254
menggunakan pipa kapiler yang sudah diberi garis atas dan bawah, dimana garis
tersebut berfungsi sebagai batas atas kenainakan fraksi. Fase diam yang digunakan
adalah pelat klt GF 254, dimana maksud dari angka 254 adalah pelat akan
menampakan noda atau bercak pada saat disinari dengan sinar UV 254nm, dan
jika disinari dengan sinar UV 366nm, maka pelat akan nampak gelap dan noda
pun akan tampak gelap juga. Setelah itu, dimasukan pelat klt yang sudah di
totolkan oleh fraksi kedalam chamber yang sudah dijenuhkan, biarkan beberapa
saat hingga fase gerak naik sampai tanda batas atas. Setelah fase gerak mencapai
batas atas dilihat bercak atau noda pada pelat klt menggunakan sinar UV 254nm
dan 366nm. Pada pemantauan fraksi dari kayu secang, telihat bahwa pada pelat klt
terdapat bercak yang menunjukan adanya senyawa target.
VI.5. Subfraksinasi
Setelah dilakukan fraksinasi ekstrak menggunakan metode ECC dengan
menggunakan pelarut yang memiliki kepolaran berbeda. Hasil dari fraksinasi
tersebut telah dilakukan pemantauan menggunakan KLT sehingga diperoleh
kromatogram untuk frsaksi. Namun kromatogram hasil percobaan sebelumnya
dapat diketahui bahwa didalam setiap golongan fraksi masih terdapat banyak
senyawa selain dari senyawa target. Oleh karena itu perlu dilakukan pemisahan
lebih lanjut untuk diperoleh fraksi yang diduga mengandung senyawa target,
proses isolasi ini disebut dengan subfraksinasi. Untuk metode subfraksinasi
dilakukan 2 percobaan atau 2 cara yaitu dengan Kromatografi Cair Vakum dan
Kromatografi Kolom Klasik.
VI.5.1. Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi cair vakum adalah bentuk kromatografi kolom yang
khususnya berguna untuk fraksinasi kasar atau digunakan untuk memisahkan
golongan senyawa metabolit sekunder secara kasar menggunakan silika gel
sebagai adsorbendan digunakan berbagai perbandingan pelarut, serta yang paling
penting adalah adanya vakum untuk memudahkan penarikan eluen (Helfman,
1993).
Kromatografi cair vakum merupakan metode pemisahan yang bertujuan
untuk memurnikan senyawa target dari pengotornya. Disebut dengan kromatografi
cair vakum yaitu karena pada kromatografi ini digunakan penyangga berupa
kolom dan proses pemisahannya dibantu dengan vakum. Untuk percobaan KCV,
ditempatkan terlebih dahulu kertas saring berbentuk lingkaran kedalam kolom
KCV. Digunakannya kertas saring berbentuk lingkaran yaitu karena disesuaikan
dengan bentuk kolom vakum agar tertutupi dasar kolom vakum seluruhnya.
Kemudian dimasukkan dan diratakan serbuk adsorben kedalam kolom KCV dan
dimasukkan serbuk ekstrak diatas adsorben. Tinggi adsorben pada KCV tidak
terlalu berpengaruh, hanya saja perlu diperhatikan agar tinggi adsorben tidak
terlalu tinggi ataupun terlalu rendah. Fase diam yang digunakan pada KCV,
haruslah memiliki ukuran partikel yang kecil agar mampu memperlambat laju fase
gerak melewati fase diam. Diletakkan kembali kertas saring bundar diatas serbuk
ekstrak agar ekstrak tidak langsung terkena eluen. Kemudian dinyalakan alat
vakum, dimasukkan komposisi eluen pertama sampai eluen ke-7. Vakum disini
berfungsi untuk menurunkan tekanan pada bagian tabung penampung sehingga
kecepatan aliran fase gerak melewati fase diam akan meningkat. Jarak tempuh
fase gerak pada fase diam untuk KCV sangatlah pendek. Untuk menampung eluen
dan komponen yang terekstraksi disimpan botol dibawah keran. Setelah tidak ada
lagi yang menetes, vakum dimatikan. Dari hasil KCV dengan menggunakan
berbagai macam komposisi eluen, diperoleh 8 fraksi yang disimpan dalam botol
dan diambil beberapa mL untuk dimasukkan kedalam vial-vial kecil. Untuk vial 1
sampai vial 4, fraksi yang dihasilkan tidak berwarna, untuk vial 5 berwarna
kuning bening, untuk vial 6 berwarna merah, dan vial 7 serta vial 8 berwarna
merah delima. Untuk fraksi yang tidak berwarna, belum tentu didalamnya tidak
terdapat senyawa, tidak ada warna hanya menandakan bahwa jumlah senyawa
yang terdapat didalamnya dalam jumlah sedikit. Pada ke-8 vial, ditambahkan
dengan beberapa tetes pelarut sebelum dilakukan pemantauan fraksi dengan KLT.
Pelarut yang ditambahkan tidak boleh terlalu banyak ataupun terlalu sedikit, yang
terpenting adalah fraksi yang ditambahkan pelarut dapat dilakukan penotolan
menggunakan pipa kapiler. Untuk pemantauan fraksi, digunakan fase gerak
kloroform : etil asetat (1:3). Dimasukkan fase gerak kedalam chamber, lalu
celupkan kertas saring kedalamnya dan ditutup rapat. Fungsi dari dimasukannya
kertas saring adalah sebagai penanda bahwa fasa gerak telah jenuh didalam
chamber. Lalu disiapkan plat KLT, diberi batas atas dan bawah 1 cm. Ditotolkan
masing-masing fraksi dari setiap vial pada plat menggunakan pipa kapiler.
Dimasukkan plat kedalam chamber dan dibiarkan fase gerak naik. Setelah terelusi,
diamati plat KLT dibawah dibawah sinar tampak. Terlihat bahwa pada vial 5
sampai dengan vial 8 terdapat noda, namun noda lebih terlihat (paling nampak)
yaitu pada vial no. 6. Pada kayu secang, tidak terdapat pembanding seperti pada
tumbuhan lainnya, maka dari itu dipilih hasil KLT yang pemisahannya paling baik
dan mengandung spot senyawa brasilin untuk dibandingkan atau disamakan
dengan hasil ECC.
VI.5.2. Kromatografi Kolom Vakum
Setelah dilakukan subfraksinasi dengan cara KCV, dilakukan pula
subfrasksinasi dengan cara KKK. KKK dengan KCV memiliki beberapa
persamaan yaitu keduanya menggunakan kolom sebagai penyangga, fase diam
yang digunakan tidak berpengikat, serta arah elusi yang mengikuti gravitasi.
Perbedaannya yaitu pada KCV menggunakan vakum untuk meningkatklan aliran
fase gerak, sementara pada KKK hanya dibiarkan mengalir. Kromatografi kolom
merupakan salah satu dari kromatografi partisi yang digunakan luas karena
merupakan sangat efisien untuk pemisahan senyawa organik. Kromatografi kolom
sering kali digunakan untuk memurnikan senyawa di laboratorium. Kromatografi
kolom bekerja berdasarkan skala yang lebih besar menggunakan material
terpadatkan pada sebuah kolom gelas vertikal. Kromatografi kolom merupakan
teknik pemisahan berdasarkan pada perbedaan daya adsorpsi suatu adsorben
tertentu terhadap suatu senyawa baik pengotor maupun senyawa hasil isolasi.
Prinsip dari kromatografi kolom ini adalah adsorpsi (Kristiana, 2008).
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai
alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut
berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk
mengendalikan aliran zat cair, ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang
akan dipindahkan. Secara umum perbandingan panjang dan diameter kolom
sekitar 8:1 sedangkan daya penyerapnya adalah 25-30 kali berat bahan yang akan
dipisahkan (Yazid, 2005, hal: 98).
Pertama-tama disiapkan terlebih dahulu eluen dengan perbandingan yang
berbeda-beda sesuai pada prosedur. Prinsip dari kromatografi kolom ini adalah
adsorpsi, desurpsi, elusi dan gravitasi. Metode kromatografi kolom yang
digunakan adalah kromatografi kolom cara basah. Cara basah yaitu silika gel
terlebih dahulu dielusi dengan cairan pengelusi yang akan digunakan kemudian
dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom secara kontinyu sedikit demi
sedikit hingga masuk semua, sambil kran kolom dibuka. Eluen dialirkan hingga
silika gel mapat, setelah silika gel mapat eluen dibiarkan mengalir sampai batas
adsorben kemudian kran ditutup dan sampel dimasukkan yang terlebih dahulu
dilarutkan dalam eluen sampai diperoleh kelarutan yang spesifik. Kemudian
sampel dipipet dan dimasukkan ke dalam kolom melalui dinding kolom sedikit
demi sedikit hingga masuk semua, dan kran dibuka diatur tetesannya, serta cairan
pengelusi ditambahkan. Tetesan yang keluar ditampung sebagai fraksifraksi (Roy
J, 1999).
Untuk KKK, campuran silika gel 60 dan eluen dimasukkan kedalam kolom
sambil diketuk-ketuk. Silika gel 60 digunakan dalam kromatografi kolom ini tidak
memiliki senyawa pengikat, jadi prosesnya memanfaatkan gaya gravitasi. Fungsi
diketuk-ketuknya eluen adalah untuk mencegah udara terjebak dan mencegah
cracking. Setelah terbentuk adsorben yang padat, disisakan sedikit eluen diatas
permukaan dan kran ditutup kembali. Untuk KKK, tinggi adsorben tidak boleh
terlalu tinggi karena harus menyisakan ruang untuk eluen yang akan ditambahkan
nantinya. Kemudian dimasukkan ekstrak kedalam kolom, lalu dimasukkan pula
sedikit demi sedikit eluen sesuai dengan seri campuran yang telah dibuat. Eluen
diatas permukaan adsorben tidak boleh sampai kering, karena dapat menyebabkan
kolom menjadi cracking. Eluen harus selalu ditambahkan sampai ekstrak yang
dimasukan turun kebawah semua dan ditampung oleh vial. Pemisahan dengan
menggunakan teknik kromatografi kolom didasarkan pada afinitas kepolaran
analit dengan fase diam. Sedangkan fase gerak selalu memilki kepolaran yang
berbeda dengan fase diam. Elusi yang digunakan pada kromatografi kolom ini
merupakan elusi landaian, karena fase gerak yang digunakan dari awal hingga
akhir memiliki kepolaran yang berbeda dimulai dari non polar hingga polar.
Siapkan tabung kromatografi kolom kemudian sumbat ujung kolom dengan
menggunakan kapas bebas lemak. Ekstrak kental yang diperoleh kemudian
dilarutkan dalam sedikit eluen. Fase diam pada kromatografi kolom ini adalah
silica gel dan fase geraknya adalah hasil impegrenasi antara antara ekstrak dan
silica gel. Silica gel digunakan sebagai fase diam karena silica gel memiliki pori-
pori dan tidak mudah bereaksi dengan senyawa-senyawa organik pada kolom.
Silica gel yang telah ditimbang kemudian dilarutkan dalam n-heksan diperoleh
lumpuran adsorben. Fraksi yang diperoleh ditampung dalam vial hingga semua
eluen dimasukkan kedalam kolom. Senyawa non-polar akan keluar dari kolom
pertama kali karena senyawa ini bergerak lebih cepat dari pada senyawa polar
karena mengikuti fase geraknya yang bersifat non-polar.
Fraksi tersebut kemudian dipekatkan diatas water bath dan dilakukan
pemantauan fraksi dengan KLT. Untuk pemantauan fraksi, dipakai fase gerak
kloroform : etil asetat (1:3). Dimasukkan fase gerak kedalam chamber, lalu
celupkan kertas saring kedalamnya dan ditutup rapat. Fungsi dari dimasukannya
kertas saring adalah sebagai penanda bahwa fasa gerak telah jenuh didalam
chamber. Lalu disiapkan plat KLT, diberi batas atas dan bawah 1 cm. Ditotolkan
masing-masing fraksi dari setiap vial pada plat menggunakan pipa kapiler.
Dimasukkan plat kedalam chamber dan dibiarkan fase gerak naik. Setelah terelusi,
diamati plat KLT dibawah dibawah sinar tampak. Terlihat bahwa pada vial 20,25,
30, 35, dan vial 40 terdapat noda setelah diamati dibawah sinar tampak. Namun
noda tampak sangat jelas pada vial no. 25. Maka untuk sementara, diduga
senyawa target berada pada vial no. 25 dan dilakukan pemantauan kembali
terhadap vial didaerah rentang vial 25, yaitu pada vial 22 sampai 28. Dinyatakan
vial 25 sebagai sebagai vial dimana didalamnya terdapat senyawa target yaitu
dengan dilakukannya perbandingan spot yang didapatkan dengan hasil KLT
fraksinasi pada percobaan sebelumnya. Setelah diamati dengan KLT dibawah
sinar tampak, vial 27 dan vial 28 menunjukkan noda yg paling Nampak, sehingga
diduga senyawa target terdapat pada fraksi tersebut.
Pada percobaan subfraksinasi ini hanya untuk pengamatan kualitatif, dimana
pada pengamatannya hanya akan dicari ada atau tidaknya senyawa yang
diinginkan (senyawa target). Metode subfraksinasi baik menggunakan KCV
ataupun KKK, mekanisme keduanya sama-sama dengan adsorpsi, dimana
senyawa akan terjerap pada fase diam yang bentuknya berupa padatan, serta
sistem keduanya sama-sama merupakan sistem kromatografi fase normal.
Kromatografi fase normal yaitu dimana fase diam yang digunakan akan lebih
polar dibandingkan dengan fase gerak, sehingga senyawa yang kurang polar akan
terelusi terlebih dahulu dari kolom. Hasil yang diperoleh dari pengujian KCV dan
KKK akan digunakan untuk prosedur selanjutnya, vial 6 hasil dari KCV dan vial
27 serta 28 dari KKK akan diperlakukan lebih lanjut dengan metode Kromatografi
Lapis Tipis Preparatif untuk diperoleh isolat yang murni.
VI.6. Teknik Pemisahan dan Pemurnian Isolat
Pada percobaan pemisahan dan pemurnian isolat digunakan metode
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) preparatif, metode ini bertujuan untuk
memperoleh isolat murni, dimana pada kromatografi preparatif ini setiap senyawa
akan terpisah berdasarkan tingkat kepolarannya dengan membentuk urutan pita-
pita, pita tersebut kemudian dipisahkan dan dilarutkan dengan pelarut yang sesuai
sehingga diperoleh isolat yang murni. Prinsip kerja KLT preparatif adalah
adsorbsi, desorpsi, dan elusi.
Prosedur pengerjaan dari KLT preparatif hampir sama dengan KLT analitik,
yang berbeda dari kedua KLT tersebut diantaranya adalah pada ukuran plat dan
ketebalan plat pada KLT preparatif yang lebih besar, kemudian penotolan bercak
pada KLT preparatif membentuk pita bergaris sedangkan pada KLT analitik
hanya membentuk titik dan pada tahap akhir pita yang diduga sebagai senyawa
target pada plat KLT preparatif dikerok.
Pada percobaan ini digunakan dua subfraksi yang akan diperoleh isolat
murninya yaitu hasil subfraksi KCV dan KKK. Hal pertama yang dilakukan pada
percobaan ini adalah memasukkan eluen ke dalam chamber. Eluen yang
digunakan adalah kloroform : etil asetat (1:3), eluen ini sama dengan eluen yang
digunakan pada pengujian KLT hasil subfraksi. Eluen yang digunakan sama,
bertujuan agar eluen mampu memisahkan antar senyawa dalam jarak yang cukup
jauh, karena sebelumnya komposisi eluen ini telh digunakan pada pengujian KLT.
Selanjutnya dilakukan penjenuhan chamber dengan cara memasukkan kertas
saring ke dalam chamber, tujuan penjenuhan adalah agar proses elusi dapat
berjalan lebih cepat karena udara di dalam chamber telah jenuh dengan uap
pelarut. Kertas saring berfungsi sebagai indikator untuk melihat apakah chamber
tersebut telah jenuh, yang akan ditandai dengan basahnya kertas saring tersebut.
Kemudian dilakukan pengaktivasian pada plat KLT preparatif dengan cara
dimasukkan ke dalam oven, proses aktivasi ini bertujuan untuk menghilangkan
sisa air yang terdapat di fase diam (silica gel) dan juga untuk memindahkan
pengotor sehingga tidak mengganggu proses pemisahan (Kusmardiyani dan
Nawawi, 1992). Selanjutnya dilakukan penotolan hasil subfraksi pada plat KLT
preparatif yang telah diaktivasi dan diberi garis, penotolan dilakukan dengan cara
memanjang membentuk pita bergaris. Pada KLT preparatif, penotolan sampel
dilakukan memanjang membentuk pita bertujuan agar diperoleh isolat dalam
jumlah yang banyak, karena tujuan dari KLT preparatif ini adalah untuk
memeperoleh isolat murni.
Setelah dilakukan penotolan sampel, selanjutnya plat KLT preparatif
dimasukkan ke dalam chamber dan dibiarkan eluen mengelusi plat sampai pada
batas atas pada plat. Setelah terelusi plat dibiarkan kering dan selanjutnya diamati
di bawah sinar UV pada panjang gelombang 254 dan 366 nm untuk mengamati
letak senyawa target. Letak senyawa target ini diperoleh berdasarkan letak noda
dan nilai Rf pada percobaan KLT sebelum-sebelumnya, dan diperoleh senyawa
yang diduga sebagai senyawa target adalah 1 pita.
Selanjutnya setelah mengetahui senyawa targetnya, dilakukan pengerokan
pada senyawa target dan hasilnya dimasukkan ke dalam vial dan dilakukan 2 kali
pencucian menggunakan metanol, pencucian ini bertujuan agar silica gel yang ikut
terkerok dapat terpisah dari isolat. Isolat dilarutkan dengan 5 mL metanol dan
dimasukkan ke dalam vial untuk digunakan pada uji kemurnian.
VI.7. Uji Kemurnian dan Karakterisasi Isolat
Pada percobaan ini dilakukan pengujian kemurnian dari isolat yang diduga
murni hasil dari KLT preparatif. Pengujian kemurnian ini bertujuan mengetahui
tingkat kemurnian dari isolat, dimana suatu isolat dapat dikatakan murni apabila
hanya terkandung senyawa tunggal pada senyawa tersebut.
Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan pada uji kemurnian suatu
isolat, yaitu:
1. Penetapan rentang titik lebur, suatu senyawa yang terbebas dari zat pengotor
akan memiliki rentang titik lebur yang pendek.
2. KLT satu dimensi, digunakan untuk menguji kemurnian isolat berdasarkan
sifat kepolaran yang dimilikinya. Suatu isolat dikatakan murni jika hanya
memberikan satu bercak pada semua hasil pengembangan dengan semua
eluen.
3. KLT dua dimensi, digunakan untuk mengidentifikasi kemurnian isolat
dengan menggunakan eluen dengan kepolaran berbedadan arah yang
berbeda.
4. KCKT, metode ini didasarkan pada perbedaan kepolaran dari setiap
senyawa yang terdapat didalam isolat yang akan memberikan waktu retensi
yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatu isolat dapat dikatakan murni jika
hasil pengujian KCKT menunjukkan hanya terdapat satu puncak lancip
(Modul Praktikum Fitokimia, 2020).
Pada percobaan kali ini digunakan metode KLT dua dimensi. Kromatografi
lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan komponen menggunakan
fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert. KLT merupakan salah
satu jenis kromatografi analitk. KLT sering digunakan untuk identifikasi awal,
karena banyak keuntungan dalam 0menggunakan KLT, diantaranya adalah
sederhana dan ekonomis. KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar,
selain kromatografi kertas. (Fessenden, 2003).
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi
sampel ketika komponen-komponen solute mempunyai karakteristik kimia yang
hampir sama, karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asa,
amino. Selain itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara
berurutan sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang
mempunyai tingkat polaritas yang berbeda (Gholib, 2008).
KLT dua arah merupakan cara dengan penggunaan multi eluen. Multi eluen
adalah penggunaan eluen atau fase gerak berbeda yang memungkingkan
pemisahan analit berdasarkan tingkat polaritas yang berbeda (Gholib, 2008).
Pelarut yang dipakai untuk KLT 2 dimensi ini adalah kloroform : metanol (4:1)
dan kloroform : metanol (1:4). Isolat hasil KKK ditotolkan pada plat KLT yang
telah diberi garis pada sekelilingnya, dengan jarak 1 cm dari tepi plat, penotolan
dilakukan di batas kiri bawah, tujuan penotolan dibagian ujung bawah adalah
karena proses pengelusian plat akan dilakukan sebanyak 2 kali dengan arah yang
berbeda.
Kemudian plat dielusi seperti pada plat KLT analitik biasa, setelah itu
diamati noda yang dihasilkan di bawah sinar UV 254 nm dan selanjutnya
dilakukan elusi kembali dengan eluen kedua dan plat di putar 90°, setelah itu
dikeringkan dan kemudian dilihat pada sinar UV 254 nm dan 366 nm.
Berdasarkan pengamatan dari isolat KKK seperti terdapat 1 noda, sehingga
disimpulkan isolat tersebut telah murni dan dapat dilakukan uji karakterisasi dari
isolat. Pada uji kemurnian dengan isolat KCV prosedur pengujiannya sama
dengan uji kemurnian isolat KKK dan hasil yang diperoleh berdasarkan
pengamatan diperoleh 1 bercak noda yang artinya senyawa tersebut telah murni
sehingga dapat dilakukan uji karakterisasi isolat.
Setelah diperoleh isolat yang murni selenjutnya dilakukan karakterisasi
isolat. Karakterisasi isolat bertujuan untuk mengetahui gugus fungsi, struktur
senyawa dan ikatan rnagkap konjugasi pada struktur senyawa isolat.
Beberapa metode yang digunakan pada karakterisasi isolat, yaitu:
1. LC MS (Liquid Chromatography Mass Spectroscopy)
Metode dengan instrumen ini ditujukan untuk mengidentifikasi bobot
molekul dari isolat, gugus fungsi pada isolat dan struktur senyawa dari isolat.
2. FT-IR (Fourier Transform Infrared)
Metode dengan instrumen ini digunakan untuk mengetahui gugus fungsi
yang terdapat pada struktur isolat dan memperoleh spektrum sidik jari dari isolate.
3. Spektrofotometri Ultraviolet-Visible/UV-Vis
Metode dengan instrumen ini digunakan untuk mendeteksi adanya ikatan
rangkap terkonjugasi yang terdapat pada struktur isolat.
4. NMR (Nuclear Magnetic Resonance Spectroscopy)
Metode dengan instrumen ini digunakan untuk mengetahui jumlah atom C
dan H yang terdapat pada struktur senyawa.
Pada uji karakterisasi kali ini digunakan metode dengan instrumen
Spektrofotometer UV-Vis. Spektrofotometer UV-Vis adalah teknik analisis
spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dan
sinar tampak dengan menggunakan instrumen spektrofotometer. Prinsip dari
spektrofotometer UV-Vis adalah penyerapan sinar tampak untuk ultra violet
dengan suatu molekul dapat menyebabkan terjadinya eksitasi molekul dari tingkat
energi dasar (ground state) ke tingkat energi yang paling tinggi (excited stated).
Pengabsorbsian sinar ultra violet atau sinar tampak oleh suatu molekul umumnya
menghasilkan eksitasi elektron bonding, akibatnya panjang absorbsi maksimum
dapat dikolerasikan dengan jenis ikatan yang ada di dalam molekul (Sumar
hendayana. 1994 : 155).
Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk:
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan
ausokrom dari suatu senyawa organik.
2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang
maksimum suatu senyawa.
3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer
Spektrometri UV-Vis utamanya digunakan untuk analisis kuantitatif dan
jika digunakan untuk analisis kualitatif, biasanya hanya sebagai data pendukung,
karena profil spektro UV-Vis suatu senyawa murni adalah karakteristik tetapi
tidak spesifik. Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada
cuplikan (larutan sampel) dan intesitas sinar radiasi yang diteruskan diukur
besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan
intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas
atau kekuatan radiasi cahaya sebanding dengan jumlah foton yang melalui satu
satuan luas permukaan per detik.
Pada pengujian kemurnian dengan menggunakan spektrofotometri terlebih
dahulu dilakukan pengukuran absorbansi terhadap blanko yaitu methanol pada
panjang gelombang 200-600nm. Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi
terhadap larutan isolat baik isolat hasil KKK maupun hasil KCV. Berdasarkan
pengukuran absorbansi, seperti diketahui nilai absorbansi yang baik, yaitu pada
rentang 0,2-0,8 dan pada percobaan ini nilai absorbansi yang termasuk ke dalam
rentang tersebut adalah absorbansi 0,314 dengan panjang gelombang 541 dan
absorbansi 0,641 dengan panjang gelombang 444,0. Dari kedua absorbansi dan
panjang gelombang ini absorbansi 0,641 dengan panjang gelombang 444,0 masuk
ke dalam rentang panjang gelombang suatu senyawa yang terdapat pada kayu
secang, yaitu senyawa brazilin, karena brazilin memiliki daya serap pada panjang
gelombang sinar tampak dengan rentang 328- 515 nm (Landuma et al., 2015).
Brazilin merupakan senyawa flavonoid yang secara struktur termasuk kelompok
isoflavonoid (Robinson, 1995). Spektrum flavonoid ini menunjukkan indikasi
adanya eksitasi elektron dari π-π* yang merupakan kromofor khas system ikatan
rangkap terkonjugasi pada cincin aromatik (Markham, 1988). Gugus kromofor
adalah gugus fungsional yang mengabsorbsi radiasi ultraviolet dan tampak, jika
diikat oleh gugus ausokrom. Hamper semua kromofor mempunyai ikatan rangkap
berkonjugasi seperti diena, dienon, benzen, dan lain-lain. (Harmita, 2006). Kedua
isolat hasil KKK maupun KCV merupakan senyawa brazilin karena pada
pengukuran kedua isolat dihasilkan panjang gelombang yang sama.

VII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
VII.1. Diperoleh sejumlah isolat sampel kayu secang
VII.2. Diperoleh 1 pita yang diduga sebagai senyawa target pada masing masing
subfraksi
VII.3. Senyawa yang terdapat pada isolat merupakan senyawa brazilin, yaitu
senyawa yang termasuk ke dalam golongan flavonoid dan memiliki Panjang
gelombang 444 nm
Daftar Pustaka

Adijuwana dan Nur M.A. (1989). Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi.
Bogor: Pusat Antar Universitas IPB.
Ansel, H. (2008). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press.
Ariningsih, I. Solichatun, dan Anggarwulan, E., (2003). Pertumbuhan Kalus dan
Produksi Antrakuinon Mengkudu (Morinda citrifolia L.) pada Media
Murashige-Skoog (MS) dengan Penambahan Ion Ca 2+ dan Cu2+. Jurnal
Biof, 1: 39-43.
Arsyad, M. N. (2001). Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Ilmiah. Jakarta:
Gramedia.
Austin, G.T. (1984). Shreve's Chamical Process Industries. New York: Mc Graw
Hill,. Inc.
Bhat, S.V., B.A. Nagasampagiand S. Meenakshi. (2009). Natural Products:
Chemistry and Application. New Delhi: Narosa Publishing House.
Dalimartha, S. (2009). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 6. Jakarta: Pustaka
Bunda.
Day, R.A dan Underwood, A.L. (2001). Analisis Kimia Kuantitas. Jakarta:
Erlangga.
Ditjen POM. (1986). Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Ditjen POM. (1992). Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan RI. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan
Obat. Jakarta: Direktorat Pengawasan Obat Tradisional.
Fadliah, M. (2014). Kualitas organoleptik dan pertumbuhan bakteri pada susu
pasteurisasi dengan penambahan kayu secang (Caesalpinia sappan L.)
selama penyimpanan. [Skripsi]. Jurusan Produksi Ternak. Fakultas
Peternakan. Makassar: Universitas Hasanuddin.
Fessenden. (2003). Kimia Organik. Erlangga: Jakarta.
Gholib, I. dan Rohman, A. (2008). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gritter R. J., J. M. Bobbit dan E. S. Arthur. (1991). Pengantar Kromatografi.
Bandung: Institut Teknologi Bandung Press.
Hadyana, A. (1994). Kimia Analisis Kuantitatif. Jakarta: EGC.
Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia Diterjemahkan oleh Sujatmi. Bandung:
ITB Press.
Harmita. (2006). Analisis Kuantitatif Bahan Baku Dan Sediaan Farmasi. Jakarta:
Departemen Farmasi FMIPA UI.
Herbert, R. B. (1989). The Biosynthesis of Secondary Metabolism. New York:
Campman and Hall.
Helfmann, E. (1983). Steroid Dalam Kromatografi. Amsterdam: Fundamentals
and Aplication.
Hidayat, Syamsul, Rodame & Napitupulu. (2015). Kitab Tumbuhan Obat. Jakarta:
Penerbit Agriflo.
Horvart, (1981). Tannins: Definition. https://www.ansci.cornell.edu/plant/toxic
agents/tannin/definition science webmaster, Cornert University. Diakses 30
Oktober 2020
Hostettmenn, K, dkk. (1986). Cara Kromatografi Preparatif. Bandung: ITB
Press.
Karlina, Y., Adirestuti, P., Agustini, D. M., Fadhillah, N. L., & Malita, D. (2012).
Pengujian Potensi Antijamur Ektrak Air Kayu Secang Terhadap aspergillus
niger dan Candida albicans. Jurnal Penelitian Biokimia. Bogor: IPB Press.
Landuma, dkk. (2014). Application Of Sappan Wood (Caesalpinia Sappan Linn)
as Sensitizer for Dye-sensitized Solar Cell (DSSC): AIPConference
Proceedings 1586. 109.
Lenny, S., (2006). Senyawa Terpenoida dan Steroida. Medan: Universitas
Sumatera Utara.
Luthria, D. L. (2006). Influence of sample preparation on the assay of
phytochemicals. USA: American Laboratory.
Markham, K.R. (1988). Cara Mengidentifikasi Flavonoid, diterjemahkan oleh
Kosasih Padmawinata. Bandung: ITB.
Miller, A. L. (2002). Antioxidant Flavonoid Structure Function and Clinical
Usage. Journal Pharmaceutical Int.
Pusat Pengembangan Pendidikan Universitas Gajah Mada. (2011). Jenis bahan
penyamak kulit ikan. Yogyakarta: UGM Press.
Puspasari, D. (2010). Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Dwi Media Press.
Ralph, P.H. (1996). Kimia Dasar Jilid 1 edisi 4. Jakarta: Erlangga.
Rath, G.; Ndonzao, M. and Hostettmann, K., (1995). Antifungal Anthraquinones
from Morinda Lucida. Journal Int Pharmacogol. 33: 107-114.
Raymond, C. (2005). Kimia Dasar: Konsep-konsep Inti Jilid I. Jakarta: Erlangga.
Riswiyanto. (2009). Metodologi Penelititan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Rudi, L. (2010). Penuntun Dasar-Dasar Pemisahan Analitik. Kendari: Universitas
Haluoleo.
Robinson, T., (1991). The Organic Constituen of Higher Plants Ed ke-6. USA:
University of Massachusetts.
Sastrohamidjojo, H. Dr. (1985). Analisis Kromatografi. Bandung: Institut
Teknologi Bandung.
Simpson, N.J.K. (2000). Solid-Phase Extraction: Principles, Techniques, and
Applications. New York: CRC Press.
Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara kromatografi dan Mikroskopi,
diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro, 3-17, ITB,
Bandung.
Sudjadi. (1986). Metode Pemisahan. Yogyakarta: UGM Press.
Sumar H, dkk. (1994). Kimia Analitik Instrumen Edisi Kesatu. Semarang: IKIP
Semarang Press.
Tjitrosoepomo, G. (2004). Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta) Cetakan
kedelapan. Yogyakarta: UGM Press.
Tobo, F. (2001). Buku Pegangan Laboratorium Fitokimia 1. Makassar: Unhas
Press.
Wall, P.E. (2005). Thin-Layer Chromatography, A Modern Practical Approach.
UK: RS C7.
Widiyantoro, A., Alimuddin, Andi Hairil., Sari, Dina Yuspita. (2018). Isolasi
Brazilin dari Kayu Secang (Caesalpinia sappan L.) dan Formulasinya
untuk Lipstik Batang. Jurnal Ilmu dan Terapan Kimia. Orbital, 3(1).
Wink, M. (2008). Ecological Roles of Alkaloids. Wink, M. (Eds.)Modern
Alkaloids, Structure, Isolation Synthesis and Biology. Jerman: Wiley-VCH
Verlag GmbH & Co. KgaA.
Yazid, E.(2005). Kimia Fisika Paramedis. Yogyakarta: Penerbit Andi.
LAMPIRAN

Rifa Nabilla : Pengerjaan full pada subbab skrinning fitokimia


M. Adliansyah: Pengerjaan full pada subbab ekstraksi
Ega Nirmala : Pengerjaan full pada subbab subfraksinasi
Eky Bagus W : Pengerjaan full pada subbab pemisahan ekstrak dan fraksinasi
Erica Yola P : Pengerjaan full pada subbab Teknik pemisahan dan uji kemurnian

Anda mungkin juga menyukai