Anda di halaman 1dari 7

Seni dan Pariwisata

Dr. Wiwik Sushartami, M.A.

Adi Wisnurutomo
21/484125/PMU/10752
PSPSR 2021 Ganjil

Dari Arkeologi ke Festival; Upaya Pengembangan Pariwisata Kabupaten


Blitar

Pendahuluan
Kegiatan pariwisata hari ini menjadi salah satu sektor yang banyak
dikembangkan oleh pemerintah maupun masyarakat. Pengembangan
pariwisata merupakan proses pengintegrasian segala macam aspek di luar
pariwisata yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung terhadap
keberlangsungan pariwisata yang menjadi bagian dalam serangkaian upaya
pemanfaatan berbagai sumber daya pariwisata (Bahrudin dalam Kristiawan
2021:68).
Pengembangan kegiatan pariwisata timbul sebagai akibat adanya
kebutuhan untuk mengembangkan wilayah. Sektor pariwisata menjadi bagian
penting dan tidak terpisahkan dalam proses pengembangan wilayah tersebut.
Kegiatan pariwisata mampu menjadi potensi sumber pendapatan wilayah yang
dapat dikembangkan. Pendapatan dari masing-masing obyek pariwisata
menjadi pemasukan yang menguntungkan bagi daerah tempat obyek
pariwisata tersebut berada yang kemudian dapat digunakan untuk keperluan
pengembangan wilayah (Kurniawan, 2015:444).
Kabupaten Blitar merupakan wilayah yang juga menjadikan kegiatan
pariwisata sebagai bagian dari upaya pengembangan wilayah. Kabupaten
Blitar dikenal sebagai salah satu daerah di Provinsi Jawa Timur yang memiliki
banyak situs peninggalan bersejarah. Berbagai situs peninggalan bersejarah
ini tentu memiliki potensi wisata yang dapat menarik minat kunjungan
wisatawan. Apabila dikembangkan dengan baik, maka situs peninggalan
bersejarah yang dimanfaatkan sebagai kawasan pariwisata mampu
memberikan keuntungan yang patut diperhitungkan keberadaannya.
Kabupaten Blitar menasbihkan dirinya sebagai Land of Kings, bahkan kata
Blitar diartikan sebagai singkatan Bhumi Laya Ika Tantra Adi Raja yang berarti
tanah di mana para raja dimakamkan. Hal ini mengacu di Blitar terdapat
makam proklamator sekaligus Presiden RI pertama, yaitu Soekarno dan
pendharmaan dari Raja pertama Majapahit, Raden Wijaya di Candi Simping,
Kecamatan Kademangan, Kabupaten Blitar. Selain itu, banyaknya temuan
arkeologis mulai dari prasasti, candi, hingga situs-situs banyak terdapat di
Blitar. Hal ini yang diupayakan oleh pemerintah Kabupaten Blitar melalui
Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga, sebagai identitas dan
promosi wisata Kabupaten Blitar.
Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Blitar lewat Dinas
Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga berniat mengembangkan
pariwisata yang berdasarkan dari kearifan lokal. Kearifan lokal di sini adalah
cerita-cerita yang terdapat pada relief-relief candi di Kabupaten Blitar yang
kemudian diangkat menjadi sebuah festival
Setidaknya sejak tahun 2013 Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah
Raga Kabupaten Blitar dan Dewan Kesenian Kabupaten Blitar mulai
mengangkat relief-relief candi yang dialih wahana menjadi seni pertunjukan
untuk tujuan pariwisata Kabupaten Blitar. Mulai dari adanya Purnama
Seruling Penataran, Festival Panji, dan paling baru adalah Festival
Kresnayana. Dalam tulisan ini akan dibahas lebih lanjut tentang Festival Panji
dan Festival Kresnayana. Keduanya dipilih karena sama-sama menggunakan
format festival dan sama-sama mengangkat cerita yang berasal dari temuan
arkeologi di Kabupaten Blitar.
Acara-acara tersebut mengangkat identitas kelokalan Kabupaten Blitar yang
terdapat pada temuan-temuan arkeologis di Kabupaten Blitar. Dari temuan-
temuan tersebut, cerita yang dikandung didalamnya dialihwahanakan dalam
bentuk seni pertunjukan. Seni pertunjukan tersebut dibingkai dalam sebuah
festival-festival yang digelar secara berkala oleh Pemerintah Kabupaten Blitar
lewat Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olah Raga, dan beberapa
diantaranya juga menjadi program kerja dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Maka penting kiranya melihat fenomena ini dengan Actor Network Theories
untuk melihat hal ini secara luas, bahwa penyelenggaraan atraksi budaya
untuk keperluan pariwisata tidak hanya melibatkan satu dua agen saja.
Dalam ANT manusia dan non-manusia sama-sama diperlakukan sebagai aktor
yang memungkinkan dan dianggap sebagai agensi. Destinasi wisata sering
diperlakukan sebagai tujuan yang kurang lebih dibatasi secara teritorial
dengan fokus diletakkan pada strategi organisasi dan pemasaran. Destinasi
dipandang sebagai wadah atraksi dan fasilitas yang diperlukan, seperti
transportasi, akomodasi dan layanan katering, dan dalam kasus subjek
penelitian ini, karya seni. Ini dapat mempengaruhi lalu lintas, arus orang,
situs seni dan penduduk, seniman, dan 'wisatawan apresiator' (Hashimoto,
2017:27-28).
Berangkat dari hal tersebut maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah melihat sejauh mana perkembangan pelaksanaan festival dan
bagaimana keterlibatan jaringan aktor atau agen-agen yang menggerakkan
festival tersebut, siapa sajakah yang terlibat? Dari kedua pertanyaan di atas
akan terlihat juga apakah konsep yang ditawarkan dari pelaksanaan festival
dari waktu ke waktu benar-benar menginterpretasikan tujuan awal diadakan
festival, yaitu mengangkat cerita-cerita lokal dari temuan-temuan arkeologi di
Kabupaten Blitar.
Pembahasan
Festival Panji
Pada awal terselenggaranya Festival Panji tahun 2013, format festival belum
terlihat pada acara ini. Yang ada adalah perlombaan seni yang mengangkat
cerita-cerita yang termuat dalam relief-relief di Candi Penataran. Perlombaan
ini dibuka untuk jenjang SD, SMP dan SMA. Isu yang diangkat cukup
menarik, di mana berusaha memperkenalkan cerita-cerita Jawa (dalam hal ini
Panji) lewat dunia pendidikan. Tetapi yang diangkat sebenarnya tidak hanya
cerita Panji dan formatnya pun bukan festival, hal ini sebenarnya yang
mengundang pertanyaan. Mengapa tidak dinamakan Festival Penataran saja?
Dengan mengubah beberapa format acara tentunya.
Festival Panji dengan format seperti ini diselenggarakan tiga kali, 2013, 2014,
dan terakhir 2015. Baru pada tahun 2018 setelah Panji mendapatkan
pengakuan oleh Unesco sebagai warisan budaya tak benda, Festival Panji
terlaksana kembali. Kali ini dengan format yang lebih pada format Festival,
tidak ada lagi perlombaan. Penyelenggaraan festival ini sebenarnya tidak
terlepas dari peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat ingin kembali
memunculkan kembali cerita Panji di daerah-daerah yang menjadi kantong-
kantong cerita ini seperti Kediri, Blitar, Tulungagung dan Malang.
Format seperti ini bertahan selama dua tahun saja. Pada tahun 2020, karena
adanya pandemi, pelaksanaan Festival Panji Nusantara dipusatkan di Kota
Malang. Pada tahun ini Kabupaten Blitar mengirimkan delegasi kesenian
untuk mengisi pada acara tersebut. Sedangkan pada tahun 2021 acara ini
tidak/belum diselenggarakan.
Mulai dari awal terselenggaranya Festival Panji di Kabupaten Blitar tahun
2013 hingga terakhir tahun 2019 terlihat minimnya keterlibatan masyarakat.
Masyarakat lokal selama penyelenggaraan festival (terlebih tahun 2013-2015),
terlibat hanya sebagai talent dari perlombaan yang diselenggarakan. Sehingga
di sini tujuan awal diadakannya festival sebagai upaya pengenalan cerita Panji
menjadi sedikit meleset dari sasaran. Hal ini disebabkan minimnya kontribusi
masyarakat, yang kemudian berimbas kepada rasa kepemilikan masyarakat
terhadap cerita Panji.
Festival Kresnayana
Festival Kresnayana adalah festival pagelaran seni yang menceritakan kisah
hidup Kresna yaitu salah satu tokoh pewayangan yang reliefnya ada di Candi
Penataran Blitar (https://disparbudpora.blitarkab.go.id/festival-kresnayana-
2020/ ). Diselenggarakan sejak November 2019, festival ini sudah
dilaksanakan hingga lima kali. Dari kelima episode tersebut, festival ini seperti
belum menemukan bentuk tetapnya. Efek dari pandemi Covid-19 menjadikan
festival yang sekarang telah menjadi agenda dari Pemerintah Provinsi Jawa
Timur ini berusaha meramu pelaksanaan Festival dengan berbagai bentuk.
Pada pelaksanaan festival yang pertama pada November 2019, rasa festival
masih terasa dengan hadirnya kegiatan-kegiatan lain sebelum pelaksanaan
puncak acara. Kegiatan seperti sarasehan budaya di Museum Penataran
diadakan untuk mendasari pelaksanaan festival ini yang memang berlatar dari
kebudayaan masa lampau yang terdapat pada Candi Penataran.
Pada tahun 2020 Festival Kresnayana direncanakan digelar sebanyak tiga kali.
Tetapi karena adanya pandemi Covid-19 festival ini hanya sempat
dilaksanakan satu kali, pada bulan Maret 2020. Dalam perencanaan festival
tahun 2020 ini pun sudah terdapat perbedaan format dengan Festival
Kresnayana yang dilaksanakan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2020
yang dimaksud dengan Festival Kresnayana pada rancangan agenda tak lebih
dari sekadar Pagelaran Kresnayana. Hal ini disebabkan acara yang disebut
festival ini hanya terdiri dari pentas tunggal yang mengambil cerita dari tokoh
Kresna, tanpa ada acara lain sebagai penunjang.
Dua kali pelaksanaan Festival Kresnayana yang batal diadakan pada tahun
2020 kemudian dilaksanakan pada tahun 2021. Pada tahun ini Festival
Kresnayana sudah dilaksanakan sebanyak tiga kali, pada bulan April, Juni,
dan terakhir pada bulan November. Tak jauh berbeda dengan pelaksanaan
pada tahun 2020, Festival Kresnayana tahun 2021 juga tak lebih dari sekadar
Pagelaran Kresnayana. Perbedaan dari tahun 2020 adalah penonton festival
yang dibatasi, penyiaran pagelaran secara langsung, dan tempat pelaksanaan
festival.
Pelokalan dan indigenization Budaya
Siapakah sebenarnya yang memiliki festival ini? Apakah masyarakat?
Pemerintah daerah? Atau siapa? Maka dalam hal ini perlu dilihat bagaimana
pelokalan dari kebudayaan yang diangkat dalam festival tersebut dan sejauh
mana peran dari masyarakat lokal dalam pelaksanaan festival tersebut.
Menurut Hashimoto (2017:30) terdapat tiga tahap pelokalan dan indigenization
dari suatu budaya. Pada tahap pertama adopsi dan adaptasi, masyarakat lokal
baik penduduk maupun provinsi yang tidak bertempat tinggal di kampung
halamannya, mengadopsi unsur budaya asing, dalam hal ini seni rupa
kontemporer. Tahap selanjutnya adalah lokalisasi, dimana sebagian besar
materi, peserta, dan relawan pada acara tersebut berasal dari lokalitas itu
sendiri. Tahap terakhir adalah indigenization, di mana setiap manajemen
eksternal digantikan oleh masyarakat lokal. Sebenarnya para seniman dan
karyanya berasal dari luar daerah tempat diadakannya festival seni lokal
tersebut. Oleh karena itu, penting untuk mengukur tahap di mana festival-
festival ini berada dalam proses ini.
Festival Panji dan Festival Kresnayana masih berada dalam tahap lokalisasi.
Pelaksanaan festival ini belum mencapai tahap indigenization, karena
pelaksanaannya belum secara penuh dipegang oleh masyarakat lokal. Seperti
menggunakan sutradara untuk pertunjukan yang diambil dari Jakarta,
komposer musik yang beberapa kali berkolaborasi dengan salah satu maestro
gamelan dari Solo, dan yang lebih terlihat adalah adanya campur tangan
pemerintah provinsi dalam pelaksanaan festival ini.
Kesimpulan dan Saran; dari Arkeologi ke Festival
Dari penyelenggaraan acara-acara tersebut meskipun acara tersebut bernama
festival, namun pada pelaksanaannya hanya berupa sebuah panggung
hiburan saja. Acara-acara tersebut kebanyakan diadakan di kawasan Candi
Penataran (kompleks candi dan amphiteater Penataran), namun semakin
berjalannya waktu justru semakin bersifat eksklusif. Adanya pandemi semakin
membuat pengadaan acara tersebut hanya bersifat seni pertunjukan saja.
Jika benar bahwa tujuan awal dari Festival Panji dan Festival Kresnayana
adalah untuk menarik wisatawan dengan cara mengangkat cerita-cerita yang
terdapat pada relief Candi Penataran, maka alangkah baiknya kata festival di
sini tidak diartikan sebatas pagelaran. Perlu diadakan acara-acara penunjang
misalnya membaca relief di Penataran, sarasehan, seminar, pasar produk
olahan masyarakat dan sebagainya. Di sisi lain mengangkat pariwisata Candi
Penataran, juga tidak lupa mengajak masyarakat sekitar sebagai agen-agen
supaya tidak berhenti sebagai penikmat pagelaran seni saja.
Jika melihat kedua festival di atas, maka jelas persamaan keduanya adalah
sama-sama mengangkat kebudayaan masa lampau dalam hal ini relief yang
terdapat di Candi Penataran. Sebenarnya ini merupakan kombinasi yang
cukup menarik mengingat Candi Penataran sebagai ikon dari Kabupaten Blitar
khususnya dan Provinsi Jawa Timur pada umumnya.
Pengangkatan cerita-cerita yang terkandung dalam relief tersebut dapat
mendekatkan kembali antara masa lalu dan masa kini. Hal ini sejalan dengan
yang disebut dengan upaya konservasi. Upaya konservasi tersebut dilakukan
guna melestarikan karya seni sebagai kesaksian sejarah yang seringkali
berbenturan dengan berbagai kepentingan lain termasuk dalam upaya
pengembangan pariwisata (Butar-Butar, 2015:7).
Dari permasalahan di atas hal yang dapat dikembangkan adalah: 1.
Memperluas cakupan festival yang diadakan, misalnya dengan membuat
workshop atau membuat paket wisata ke candi dan mempelajari relief yang
akan dipentaskan. 2. Memperluas cakupan cerita yang diangkat. Tercatat
sejak diadakannya Purnama Seruling Penataran hingga Festival Kresnayana
hanya mengangkat cerita-cerita yang terdapat pada candi-candi lain. Hal ini
juga tidak membatasi pada cakupan relief saja, bisa mengangkat folklor
setempat untuk dipentaskan.
Daftar Pustaka
Butar-Butar, Martina. 2015. Pelestarian Benda Cagar Budaya di Objek Wisata
Museum Sang Nila Utama Provinsi Riau in Jom FISIP Vol. 2 No. 1 (1-13).
Riau: Universitas Riau.
Hashimoto, Kazuya. 2017. Local Art Festivals and Local Culture Tourism: Is
Local Art ‘indigenized’ as local culture? In Asian Journal of Tourism
Research Vol. 2, No. 3 (25-49). Chiang Mai: Chiang Mai University.
Kristiawan, Argo Putro. 2021. Pengembangan Wisata Berbasis Cagar Budaya
di Kompleks Percandian Penataran Kabupaten Blitar in Jurnal ALTASIA
Vol 3, No. 2 (67-76). Batam: Universitas Internasional Batam.
Kurniawan, Wawan. 2015. Dampak Sosial Ekonomi Pembangunan Pariwisata
Umbul Sidomukti Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang in
Economics Development Analysis Journal Vol. 4. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
https://disparbudpora.blitarkab.go.id/

Anda mungkin juga menyukai