Anda di halaman 1dari 22

HUKUM INTERNASIONAL SEBAGAI SUMBER HUKUM DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

Dinda Aulia
1906200378
e-mail: Dindaauliaak@gmail.com

Suwada Triyahsa
1906200383
e-mail: triyahsasuwada@gmail.com

Mhd Dandi Parliansyah Hsb


1906200389
e-mail: Mdphsb@gmail.com

Andi Pamungkas
1906200397
andipamungkas.umsu@gmail.com

Boy Arisandy
1906200422
e-mail: boy.sandi2255@gmail.com

Stefani Auji Tan


1906200425
e-mail: berlianuser11@gmail.com

Bintang Maha Poetra


1906200426
e-mail: bintangvivov7@gmail.com

Abstract
The agreement of the countries contained in an international agreement in the form of
bilateral agreements, regional and multilateral agreements is an agreement that binding
the parties and becomes the law for those who bind themselves in an agreement (pacta
sunt servanda). International treaties that have been agreed upon and ratified in a
ratification by a country, then the agreement is binding for all and becomes a source of
law for law enforcers in making decisions. This is also true in Indonesia. Every
international agreement that has been followed by Indonesia, whether it is stipulated in a
requirement for ratification or not, still has binding legal force for both parties.
Keywords: International Law, Legal Resources, International Treaties, International
Treaties

Abstrak
Kesepakatan negara-negara yang tertuang dalam suatu perjanjian internasional baik
dalam bentuk perjanjian bilateral, regional dan multilateral merupakan perjanjian yang
mengikat para pihak dan menjadi hukum bagi yang mengikatkan diri dalam suatu
perjanjian (pacta sunt servanda). Perjanjian internasional yang telah disepakati dan di
sahkan dalam suatu ratifikasi oleh suatu negara, maka perjanjian tersebut berlaku
mengikat bagi semua dan menjadi sumber hukum bagi penegak hukum dalam
mengambil keputusan. Hal ini berlaku juga di Indonesia. Setiap perjanjian internasional
yang telah diikuti oleh Indonesia baik yang sudah tertuang dalam suatu persyaratan
ratifikasi atau tidak, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi kedua belah
pihak.
Kata Kunci : Hukum Internasional, Sumber Hukum, Perjanjian Internasional
Perjanjian Internasional

1. PENDAHULUAN

Hukum internasional setidaknya telah melewati 3 (tiga) fase 1, yang mana


masing- masing fase memengaruhi evolusi hukum internasional. Fase pertama, hukum
internasional berperan dalam mengatur hubungan negara dengan negara. 2 Fase kedua
adalah masa setelah Perang Dunia I, hukum internasional mulai menyentuh individu
untuk melindungi dan memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM).3 Fase ketiga ditandai oleh
globalisasi dan demokratisasi negara - negara yang memunculkan kekuasaan Parlemen.
Fase ketiga mengakibatkan hubungan hukum internasional dan hukum nasional menjadi

1
Wawancara dengan Damos Dumoli Agusman, 10 Februari 2016, melalui linimasa Facebook.
2
Fase pertama ini ditandai dengan munculnya Perjanjian Westphalia 1648 yang melahirkan negara-negara
bangsa yang berdaulat di Eropa. Pada fase ini belum ada perkembangan dari doktrin konstitusionalisme dan
pemisahan kekuasaan, sehingga konflik antara hukum internasional dan hukum nasional belum ditemukan.
Lihat juga Damos Dumoli Agusman, Treaties under Indonesian Law: A Comparative Study, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 54.
3
Meningkatnya dorongan untuk jaminan akan HAM yang ditandai dengan lahirnya DUHAM yang menjadi
ladasan filosofis dari PBB serta konvensi-konvensi HAM di kemudian hari. Lihat Humphrey JP, "The
Universal Declaration of Human Rights: Its History, Impact and Judical Character", dalam buku Human
Rights: Thirty Years Aƒer the Universal Declaration, yang disusun oleh Ramcharan B.G. (eds), Netherlands:
Springer, 1979, hlm. 37. Di saat yang sama terjadi perkembangan doktrin tentang konstitusi-konstitusi
modern yang mana di dalam terikat konsep kedaulatan dan separation of powers. Konflik antara hukum
internasional dan hukum nasional mulai nyata terlihat pada fase ini. Lihat Damos Dumoli Agusman, Treaties
Under Indonesian Law: A Comparative Study, Loc.cit.
semakin kompleks karena kehadiran hukum internasional dalam hukum nasional diuji
dari segi democratic legitimacy.4 Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional
yang lazim dikenal sebagai pasal yang secara resmi merupakan sumber hukum formal
daripada hukum internasional. Sebagai sumber hukum dalam arti formal, kebiasaan
internasional haruslah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang diformulasikan dalam
pasal 38 ayat (1) sub b, "International custom as evidence of general practice accepted
as J.aw':)

Yang oleh Mochtar Kusumaatmadja diterjemahkan "Kebiasaan internasio- ". nal


yang merupakan kebiasaan umum yang diterima sebagai hukum"5) Selanjutnya
dikatakan bahwa, kebiasaan internasional diciptakan oleh dua faktor,6) yaitu:

a) bahwa harus terdapat suatu k~biasa an yang dilakukan dan dit uru ti oleh
banyaknegara,
b) bahwa kebiasaan itu harus dianggap sebagai suatu kewajiban hukum

Sumber hukum internasional ini didapat dari Pasal 38 ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional yang telah diakui sebagai suatu pernyataan authoritative
sebagai sumber hukum internasional. Tentunya dalam konteks perkembangan hukum
internasional, sumber-sumber hukum inter- nasional secara otomatis ikut berkembang.

Terkait perkembangan dari perjanjian internasional sebagai salah satu sumber


hukum internasional, perjanjian internasional telah sangat berkembang dari segi
kuantitas maupun kualitas. Berdasarkan situs resmi PBB, semenjak PBB didirikan
terdapat 32 perjanjian internasional yang ditetapkan oleh PBB dan hanya 7 dari 32
perjanjian internasional tersebut yang dibuat sebelum tahun 1970.⁶ Perkem- bangan
internasional ini memiliki tantangan tersendiri bagi pemerintahan negara- negara.
4
Pada fase ketiga yakni dimulai sejak akhir abad ke-20, hukum internasional tidak lagi semata-mata
menyentuh kehidupan manusia dibidang HAM saja. Berkembangnya globalisasi memunculkan kebutuhan-
kebutuhan hukum internasional mengatur masalah ekonomi, kebudayaan, dan lingkungan. Kebutuhan-
kebutuhan yang muncul akibat globalisasi mulai melunturkan konsep kedaulatan yang sebelumnya kaku.
Lihat: David Haljan, Separating Powers: International Law before National Courts, Leuven: T.M.C Asser
Press, 2013, hlm.1.
5
Moehtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum· Intemasional, Buku I - Bagian Umum , Binaeipta,
Bandung, eet, ke-4, 1982 - hal. 134
6
Moehtar., Ibid. Terkutif: Sunarjati Hartono, dalam Beberapa masalah Transnasional dalam PMA di Indo·
nesia, Bina cipta , Bandung, 1972, hal. 240.
Meningkatnya praktik democratic legitimacy pada Parlemen, di mana kebijakan-
kebijakan eksekutif membutuhkan otorisasi lebih oleh Parlemen, menjadi hambatan
tersendiri bagi negara yang belum memiliki sistem hukum nasional yang mengatur
perjanjian internasional dengan konsisten.7
Perjanjian internasional yang merupakan sumber utama hukum internasional
adalah perjanjian yang berbentuk law-maing treaties yaitu perjanjianperjanjian
internasional yang berisikan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang berlaku
secara universal atau umum. Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian internasional
hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft yang disiapkan oleh Komisi
Hukum Internasional diselenggarakan suatu Konperensi Internasional di Wina dari
tanggal 26 Maret s/d 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk
mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut, sehingga pada akhirnya Konperensi
menghasilakan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani
tanggal 23 Mei Tahun 1969 yang terdiri dari 85 pasal. 4 Konvensi ini mulai berlaku
sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum internasional positif karena
menjadi sumber hukum bagi negara-negara yang mengadakan perjanjian internasional
dan bahkan juga dapat menjadi acuan bagi negara dalam menyusun peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian internasional. Konvensi ini
merupakan kodifikasi hukum kebiasaan internasional yang disesuaikan dengan
perkembangan kebutuhan dan pandangan baru, walaupun dengan berlakunya konvensi
ini, huum kebiasaan internasional masih tetap berlaku bagi hal-hak yang belum diatur
konvensi ini.5 Walaupun Indonesia belum menjadi pihak pada konvensi tersebut,
namun ketentuanketentuan yang terdapat didalamnya selalu dijadikan dasar dan
pedoman dalam membuat perjanjian-perjanjian internasional dengan negara-negara
lain sebagaimana yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor.24 Tahun 2000
Tentang Perjanjian Internasional. Ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Konvensi
Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian akan menjadi pedoman bagi negara-negara
untuk mengadakan perjanjian internasional, dengan mengikuti tahapan yang ada, baik
dimulai dari proses penyusunan sampai berlakunya perjanjian internasional.

7
DARI JURNAL Penerapan Perjanjian Internasional di Pengadilan Nasional Indonesia: Studi terhadap
Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik menulis karya ilmiah dalam
bentuk skripsi tentang “ Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Sebagai Salah
Satu Sumber Hukum Internasional Menurut Pasal 38 Piagam Mahkamah
Internasional”8
Hukum Internasional, pada mulanya lebih banyak bersumber/pedoman kepada
kebiasaan negara-negara dan kepada pendapat para ahli hukum ternama. Karena di
masa lampau, kebiasaan internasional memegang peranan yang utama sebagai sumber
hukum internasional. Akan tetapi kini keadaannya menjadi lain, di mana makna dari
kebiasaan internasional itu telah menjadi kecil dengan bertambah banyaknya
perjanjian yang membentuk hukum (law making treaties). Walaupun demikian hukum
kebiasaan internasional tetap substantif, karena pada saat ini bagian terbesar dari
peraturanperaturan yang menyangkut wilayah negara, jurisdiksi negara dan hubungan
diplomatik masih diatur oleh hukum kebiasaan internasional.

2. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian dan penulisan ialah
Yuridis Normatif. Nama lain dari penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum
doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen. Disebut
penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada
peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Dikatakan sebagai
penelitian perpustakaan atau studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih bnayak
dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Penelitian
kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan bahan hukum primer seperti peraturan
perundang undangan yang terkait dengan objek penelitian yakni praktik Indonesia
tentang perjanjian internasional dan pemberlakuannya dalam sistem hukum nasional di
Indonesia.23 sementara itu bahan hukum sekunder seperti referensi hukum dan non-
hukum, karya tulis para ahli hukum, dan bahan tersier yang diperoleh dari kamus,
ensikopledia dan bahan lainnya termasuk artikel di media cetak

8
Rodrigo Wullur, KEKUATAN MENGIKAT PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI
SALAH SATU SUMBER HUKUM INTERNASIONAL MENURUT PASAL 38 PIAGAM
MAHKAMAH INTERNASIONAL
3. PEMBAHASAN
A. Kekuasaan tertinggi Hukum Internasional sebagai sumber hukum
internasional.

Pelanggaran terhadap hukum internasional akhir-akhir ini menunjukkan


peningkatan seining dengan perkembangan masyarakat internasional, dan menjadi
pembahasan yang sangat menarik perhatian karena dalam kenyataan negaranegara
sebagai subyek hukum internasional tunduk dan mentaati kaidah-kaidah hukum
internasional dalam menyelesaikan sengketa intemasional. Struktur masyarakat
internasional yang koordinatif, antara lain ditandai oleh tiadanya badan supra nasional
di atas subyek-subyek atau anggota masyarakat intemasional yang sama derajad antara
satu dengan lainnya. Apakah yang menjadi dasar kekuatan mengikat hukum
internasional? Sementara itu diketahui bahwa tiadanya badan supra nasional yang
berwenang membentuk dan memaksakan berlakunya hukum intemasional, akan dapat
menimbulkan sikap skeptis yaitu, apakah hukum internasional itu memang benar-benar
ada atau memenuhi kualifikasi sebagai hukum dalam pengertian yang sebenarnya.

Berdasarkan pertanyaan tersebut, hukum hanya dipandang sebagai suatu


mekanisme yang bekerja sesuai dengan norma-norma yang diwujudkan dengan adanya
aparat-aparat penegak hukum serta sanksi sebagai upaya memaksakan dan
mendayausahakan hukum itu sendiri.Padahal, sebenarnya hukum itu tidak saja sekedar
mekanisme pelaksanaan dan pemaksaan norma-norma melainkan jauh lebih luas dari
pada itu.Dalam tata masyarakat intemasional, tidak terdapat suatu badan legislatif
maupun kekuasaan kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan berlakunya
kehendak masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam kaidah hukumnya.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, semua kelemahan kelembagaan (institusional) ini
telah menyebabkan beberapa pemikir mulai dari Hobbes dan Spinoza hingga Austin
menyangkal sifat mengikat hukum internasional, dan menyatakan bahwa hukum
internasional bukanlah hukum dalam arti yang sebenarnya. Para ahli menempatkan
hukum intemasional segolongan dengan "the laws of honour" dan "the laws set by
fashion" sebagai "rules o fpositive morality". (Mochtar Kusumaatmadja, 1989, 35)
Lebih jauh Austin memandang hukum itu sebagai perintah yakni perintah dari
penguasa kepada pihak yang dikuasai. Penguasa itu memiliki kedaulatan yang
didalamnya termasuk pula kekuasaan untuk membuat hukum yang akan diberlakukan
kepada pihak yang berada di bawah kekuasaannya. Hal ini berarti bahwa, jika suatu
peraturan tidak berasal dari penguasa yang berdaulat, peraturan semacam itu bukanlah
merupakan hukum, melainkan hanyalah merupakan norma moral, seperti misalnya
norma kesopanan dan norma kesusilaan. Pandangan Austin ini mendasarkan adanya
hukum pada badan yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan untuk memaksakan
berlakunya hukum kepada pihak yang dikuasainya, juga merupakan penyangkalan atas
eksistensi hukum yang berasal dari atau tumbuh dalam pergaulan hidup masyarakat,
seperti misalnya hukum kebiasaan (customary law). Menurut Austin, hukum kebiasaan
itu bukanlah hukum melainkan hanyalah norma moral saja. Jika pandangan Austin ini
diterapkan pada hukum intemasional, dimana masyarakat internasional dan tata hukum
intemasionaltidak mengenal badan supra nasional, dapat dikatakan bahwa Austin
memandang hukum internasional itu bukanlah hukum dalam arti yang sebenarnya,
tetapi hanyalah merupakan norma moral intemasional saja.

Bagi Austin, walaupun kini sudah ditinggalkan oleh para ahli hukum
intemasional, tetapi tidak jarang masih menghinggapi pola pikiran para ahli hukum
terhadap eksistensi hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Hal ini antara
lain disebabkan oleh karena kita sudah terbiasa dalam suasana masyarakat dan hukum
nasional yang seperti telah diuraikan di atas, secara puma memiliki alat-alat
perlengkapan atau lembaga-lembaga dengan tugas dan wewenang yang jelas dan tegas
sehingga dapat memaksakan berlakunya hukum nasional kepada subyek-subyek hukum
nasional.

Dalam tata masyarakat dan hukum nasional, peranan lembaga dan aparat- aparat
penegak hukum beserta sanksi hukumnya tampak sangat menonjol dan mendominasi
mekanisme pembentukan, pelaksanaan dan pemaksaan hukum itu sendiri. Dalam
kenyataan memang terdapat peraturan-peraturan hukum nasional yang seringkali
mengalami kelumpuhan, disebabkan oleh karena kurang berperannya lembaga dan
aparat penegak hukum tersebut. Apalagi kalau lembaga dan aparat penegak hukum itu
tidak ada sama sekali, seperti halnya dalam masyarakat dan hukum internasional, sudah
barang tentu akan mengakibatkan hukum nasional itu akan lumpuh sama sekali.

Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika timbul pandangan pada sebahagian
ahli hukum, lebih-lebih di kalangan orang yang awam hukum bahwa adanya lembaga
dan aparat-aparat penegak hukum serta sanksi hukum yang tegas, merupakan faktor
yang esensial bagi adanya suatu kaidah hukum. Dengan demikian hukum dipandang
selalu dalam keterkaitannya dengan lembaga dan aparat penegak hukum.Tanpa adanya
lembaga dan aparat, maka hukum itupun dipandang seperti tidak pernah ada.

Sebenamya pandangan seperti tersebut di atas, sudah lama ditinggalkan. Lembaga


dan aparat penegak hukum serta sanksi hukum bukanlah merupakan unsur yang paling
menentukan dari suatu norma hukum. Eksistensi suatu norma hukum sebenamya lebih
ditentukan oleh sikap dan pandangan serta kesadaran hukum dari masyarakat. Kalau
masyarakat merasakan, menerima dan mentaatinya sebagai suatu norma hukum, jadi
sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat, walaupun tidak ada lembaga yang
membuat maupun aparat yang memaksakannya, maka norma demikian itu adalah
merupakan norma hukum.

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa perkembangan ilmu hukum


kemudian telah membuktikan tidak benamya anggapan Austin tersebut mengenai
hukum.Kita cukup mengingat adanya hukum adat di Indonesia sebagai suatu sistem
hukum yang tersendiri untuk menginsyafi kelirunya pikiran Austin mengenai hakikat
hukum. Keberadaan badan legislatif, badan kehakiman dan polisi merupakan ciri yang
jelas dari suatu sistem hukum positif yang efektif, akan tetapi ini tidak berarti bahwa
tanpa lembaga-lembaga ini tidak terdapat hukum.

Keberadaan dan hakikat hukum internasional sebenamya tidak perlu diragukan


lagi, sehingga memerlukan dasar kekuatan mengikat hukum internasional.Teori tentang
kekuatan mengikat hukum internasional, seperti teori hukum alam (natural law)
mempunyai pengaruh yang besar atas hukum internasional sejak permulaan
pertumbuhannya. Ajaran ini yang mula-mula mempunyai ciri keagamaan yang kuat,
untuk pertama kalinya dilepaskan dari hubungannya dengan keagamaan oleh Hugo
Grotius. Dalam bentuknya yang telah disekularisir maka hukum alam diartikan sebagai
hukum ideal yang didasarkan atas hakikat manusia sebagai makhluk yang berakal atau
kesatuan kaidah yang diilhamkan alam pada akal manusia. Menurut para penganut
ajaran hukum alam ini, hukum internasional itu mengikat karena hukum internasional
itu tidak lain karena "hukum alam" yang ditetapkan pada kehidupan masyarakat
bangsabangsa. Dengan demikian negara terikat atau tunduk pada hukum internasional
dalam hubungan antara mereka satu sama lain karena hukum internasional merupakan
bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu "hukum alam". Pendapat ini kemudian
dalam abad XVIII lebih disempurnakan lagi, antara lain oleh seorang ahli hukum dan
diplomat bangsa Swiss, Emmerich Vattel (1714-1767) dalam bukunya Droit des Gens.

Teori-teori yang didasarkan pada asas hukum alam sangat samar dan tergantung
dari pendapat subyektif mengenai "keadilan", kepentingan masyarakat internasional dan
konsep lain yang serupa. Bahkan dalam hukum internasional, banyak pandangan yang
subyektif tentang isi dan pengertian hukum alam, karena kaidah moral dan keadilan
dimaknai beragam oleh para ahli yang mengemukakannya. Hal ini disadari karena taraf
integrasi yang rendah dan masyarakat internasional dewasa ini dan adanya pola hidup
kebudayaan dan sistem nilai yang berbeda dari satu bangsa ke bangsa lain, maka
pengertian tentang nilai- nilai yang biasa diasosiasikan dengan hukum alam mungkin
sekali juga akan berbeda, walaupun istilah yang digunakan mempunyai kesamaan.
Walaupun demikian teori hukum alam dan konsep hukum alam telah memberi pengaruh
besar dan baik terhadap perkembangan hukum internasional, karena telah meletakkan
dasar moral dan etika yang berharga bagi hukum internasional dan perkembangan
selanjutnya.

Aliran lain mengenai kekuatan mengikat hukum internasional adalah keinginan


suatu negara untuk tunduk pada HI atas kehendak negara itu sendiri, "Selbst limitation
theorie" atau Self limitation theory. Tokoh aliran ini adalah George Jellineck, yang
meletakkan dasar bahwa negaralah yang merupakan sumber segala hukum, dan hukum
internasional itu mengikat karena negara itu tunduk pada hukum internasionalatas
kemauan sendiri.Aliran ini menyandarkan pada falsafah Hegel yang mempunyai
pengaruh sangat kuat di Jerman.(Mochtar Kusumaatmadja, 1989, 44) . Hukum
internasional bukan suatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat di luar
kemauan negara. Kelemahan dari teori-teori ini ialah bahwa mereka tidak dapat
menerangkan dengan memuaskan bagaimana caranya hukum internasional yang
tergantung dari kehendak negara dapat mengikat suatu negara. Muncul pertanyaan
bagaimana jika suatu negara secara sepihak membatalkan niatnya untuk terikat pada
hukum internasional, sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi, masih
patutkah dinamakan hukum? Teori ini tidak dapat menjawab pertanyaan mengapa suatu
negara baru, sejak menjadi bagian dalam masyarakat internasional sudah terikat oleh
hukum internasional, terlepas dari mau atau tidak tunduk pada hukum internasional.
Begitu juga mengenai hukum kebiasaan internasional belum terjawab dalam teori ini.

Berbagai kelemahan dan keberatan dari aliran tersebut dicoba diatasi oleh aliran
lain dari teori kehendak negara yang menyandarkan kekuatan mengikat hukum
internasional pada kemauan bersama. Triepel berusaha membuktikan bahwa hukum
internasional itu mengikat bagi negara, bukan karena kehendak mereka satu per satu
untuk terikat, melainkan karena adanya suatu kehendak bersama, yang lebih tinggi dari
kehendak masing-masing negara untuk tunduk pada hukum internasional.Sementara itu
aliran lain menyatakan bahwa kehendak bersama negara ini berlainan dengan kehendak
negara yang spesifik yang tidak perlu dinyatakan, disebut sebagai
"Vereinbarung".Vereinbarungstheorie ini mencoba menerangkan sifat mengikat hukum
kebiasaan (customary law) dengan mengatakan bahwa kehendak untuk terikat kepada
hukum internasional diberikan secara diam-diam (implied),dengan melepaskannya dari
kehendak individual negara dan mendasarkannya kepada kemauan bersama
(Vereinbarung), Triepel mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada
kehendak negara tetapi membantah kemungkinan suatu negara melepaskan dirinya dari
ikatan itu dengan suatu tindakan sepihak. Teori-teori yang mendasarkan berlakunya
hukum internasional itu pada kehendak negara (teori voluntaris) ini merupakan
pencerminan dari teori kedaulatan dan aliran positivisme yang menguasai alam pikiran
dunia ilmu hukum di benua Eropa-terutama Jerman pada bagian kedua abad ke -19.

Selain teori kehendak diatas, muncullah madzab Wienna, yang pada hakikatnya
ingin mengembalikan kekuatan mengikatnya hukum internasional itu pada kehendak
(atau persetujuan) negara untuk diikat oleh hukum internasional dalam suatu hukum
perjanjian antara negara-negara.Teori kehendak mempunyai kaitan dengan teori alami
perjanjian. Persetujuan negara untuk tunduk pada hukum internasional menghendaki
adanya hukum atau norma sebagai suatu yang telah ada terlebih dahulu dan lepas dari
kehendak negara (Aliran obyektivis). Bukan kehendak negara melainkan suatu norma
hukumlah yang merupakan dasar terakhir kekuatan mengikat hukum internasional.
Menurut madzab Wienna ini, kekuatan mengikat suatu kaidah hukum internasional
didasarkan pada suatu kaidah yang lebih tinggi yang didasarkan pada suatu kaidah yang
lebih tinggi lagi dan begitu seterusnya.Akhirnya sampailah pada puncak piramida
kaidah hukum dimana terdapat kaidah dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi
dikembalikan pada suatu kaidah yang lebih tinggi, melainkan hams diterima adanya
sebagai suatu hipotese asal (Ursprungshypothese) yang tidak dapat diterangkan secara
hukum. Kelsen merupakan tokoh dari madzab Wienna ini mengemukakan asas "pacta
sunt servanda" sebagai kaidah dasar (Grundnorm) hukum internasional. (Mochtar
Kusumaatmadj a, 1989, 48)

Ajaran madzab Wienna ini mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu


kaidah dasar, dapat menerangkan secara logis dari mana kaidah hukum intemasional itu
memperoleh kekuatan mengikatnya, akan tetapi ajaran ini tidak dapat menerangkan
mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat. Dengan demikian, seluruh sistem yang logis
tadi menjadi tidak mempunyai kekuatan, sebab tidak mungkin persoalan kekuatan
mengikat hukum intemasional itu disandarkan atas suatu hipotese.Dengan pengakuan
bahwa persoalan kekuatan Grundnorm merupakan suatu persoalan di luar hukum
(metayuridis) yang tak dapat diterangkan, maka persoalan mengapa hukum
internasional itu mengikat dikembalikan kepada nilai-nilai kehidupan manusia di luar
hukum yakni rasa keadilan dan moral.Dengan demikian, teori mengenai dasar
berlakunya atau kekuatan mengikat hukum internasional setelah mengalami
perkembangan sekian lama, kembali lagi kepada teori yang tertua mengenai hal ini
yakni teori hukum alam.Timbulnya kembali teori hukum alam dalam ilmu hukum pada
umumnya setelah Perang Dunia II juga disebabkan karena kebutuhan orang untuk
kembali mempunyai pegangan hidup dan nilai yang pasti, setelah menyaksikan
kemerosotan spiritual di masa tahun tiga dan empat puluhan. (Mochtar Kusumaatmadj
a, 1989, 49)
Aliran lain yang berusaha menerangkan kekuatan mengikat hukum internasional
tidak dengan teori yang spekulatif dan abstrak melainkan menghubungkannya dengan
kenyataan hidup manusia, yaitu madzab Perancis, dengan tokohnya antara lain
Fauchile, Scelle dan Duguit yang mendasarkan kekuatan mengikat hukum internasional
seperti juga segala hukum pada faktor biologis, sosiologis dan sejarah kehidupan
manusia yang dinamakan fakta kemasyarakatan (fait social) yang menjadi dasar
kekuatan mengikatnya segala hukum, termasuk hukum internasional. Menurut tokoh
tersebut, persoalannya dapat dikembalikan pada sifat alami manusia sebagai makhluk
sosial, keinginan untuk bergabung dengan manusia lain dan kebutuhannya akan
solidaritas. Kebutuhan dan naluri sosial manusia sebagai orang seorang menurut mereka
juga dimiliki oleh bangsa-bangsa.Sehingga dasar kekuatan mengikat hukum
internasional terdapat dalam kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak
perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan manusia (bangsa) untuk hidup
bermasyarakat.

Keberadaan hukum internasional sebagai suatu norma hukum, sebagai hukum


yang tumbuh, berlaku dan berkembang di dalam masyarakat internasional-tanpa dibuat
dan dipaksakan oleh lembaga supra nasional- sangat sulit untuk dibantah eksistensi
hukum internasional itu sebagai suatu norma hukum. Eksistensi hukum internasional
sekarang ini tidak perlu diragukan lagi.masyarakat internasional kini telah menerimanya
sebagai suatu norma hukum yang mengatur masyarakat internasional.beberapa bukti
seperti di bawah ini dapat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa hukum internasional
dalam kehidupan sehari-hari telah diterima, dipatuhi dan dihormati sebagai suatu norma
hukum, seperti misalnya :

a. Alat-alat perlengkapan negara, khususnya yang bertugas menangani


masalahmasalah luar negeri atau internasional, menghormati kaidah-kaidah
hukum intemasional yang mengatur hubungan-hubungan yang diadakannya
dengan sesama alat-alat perlengkapan dari negara lain. Mereka bertindak
untuk dan atas nama negaranya masing-masing. Ini berarti bahwa negara-
negara itu menghormati hukum internasional tersebut. Sebagai contoh,
perjanjian antara dua negara tentang garis batas wilayah, perjanjian tentang
perdagangan dan lain-lainnya, mereka taati sebagai norma hukum
intemasional yang mengikat dan berlaku bagi mereka. Mereka atau salah
satu pihak tidak mau melanggarnya, meskipun kesempatan dan
kemungkinan untuk melakukan pelanggaran itu selalu terbuka.
b. Perselisihan-perselisihan internasional, khususnya yang menyangkut masalah
yang mengandung aspek hukum-walaupun tidak selalu- diselesaikan melalui
jalur-jalur hukum internasional, seperti misalnya mengajukan ke Mahkamah
Internasional, Mahkamah Arbitrase Internasional dan upaya-upaya hukum
lainnya. Demikian pula putusan-putusan dari badan-badan peradilan itu-
diakui oleh para pihak-mengandung nilai-nilai hukum internasional,
meskipun dalam praktiknya kadang-kadang tidak ditaati. Namun demikian,
hal ini tidaklah mengurangi nilai hukum yang terkandung di dalamnya.
c. Pelanggaran-pelanggaran atas kaedah-kaedah hukum internasional ataupun
konflik-konflik intemasional yang sering kita jumpai dalam berita-berita
media massa, hanyalah sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan
perilaku dan tindakan-tindakan negara-negara yang mentaati hukum
internasional itu. Hal serupa juga terjadi di dalam masyarakat nasional
dengan tata hukum nasionalnya yang jelas dan tegas serta dilengkapi dengan
aparat-aparat penegak hukumnya. Pelanggaran-pelanggaran atas hukum
nasional pun hampir setiap hari dapat dijumpai serta tidak kalah jumlah
maupun kualitas pelanggarannya dibandingkan dengan pelanggaran atas
hukum internasional. Pelanggaranpelanggaran atas hukum nasional tidak
dapat dijadikan alasan untuk menyatakan bahwa hukum nasional itu tidak
ada. Sudah tentu demikian pula dengan pelanggaran-pelanggaran atas hukum
internasional, tidak dapat dijadikan dasar untuk menarik kesimpulan bahwa
hukum intemasional itu tidak ada. Masih lebih banyak anggota masyarakat
yang mentaati hukum internasional dibandingkan dengan yang melanggarnya.
d. Kaidah-kaidah hukum internasional dapat diterima dan diadaptasi sebagai
bagian dari hukum nasional negara-negara. Hal ini berarti bahwa negara-
negara sudah menerima hukum internasional sebagai suatu bidang hukum
yang berdiri sendiri yang dengan melalui cara atau prosedur tertentu dapat
diterima menjadi bagian dari hukum nasional. Bahkan dalam beberapa
hal, hukum internasional mau tidak mau hams diperhitungkan dan
diperhatikan oleh negara-negara di dalam menyusun peraturan
perundang- undangan nasional mengenai suatu masalah tertentu. Sebagai
contohnya, pada waktu suatu negara akan menyusun ketentuan undang-
undang pidana tentang kejahatan penerbangan, negara itu tidak dapat
melepaskan din dari Konvensi-konvensi Intemasional yang berkenaan
dengan kejahatan penerbangan seperti misalnya Konvensi Tokyo tahun
1963, Konvensi Den Haag tahun 1970 dan Konvensi Montreal tahun
1971. demikian pula dengan Konvensi Hukum Laut tahun 1982, yang
merupakan norma hukum laut bam dan modem yang menggantikan
kaidahkaidah hukum laut sebelumnya (Konvensi Hukum Laut Jenewa
1958). Jika suatu negara meratifikasi Konvensi tersebut, hal ini tentu saja
akan memaksa negara itu untuk menyesuaikan peraturan-peraturan hukum
laut nasionalnya dengan isi dan jiwa Konvensi Hukum laut 1982 itu.
Hukum internasional, pada dasamya ditujukan untuk mengatur hubungan
negara-negara pada tataran intemasional. Utamanya dilakukan olehnegara sebagai
salah satu subyek hukum intemasional.Sementara itu, hukum intemasional terkait
dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban Negara- negara dalam melangsungkan
hubungan antara masing-masing negara. Oleh karena itu tidaklah terlalu penting
untuk mempertanyakan ada tidaknya kekuasaan tertinggi dalam hukum intemasional.
Sebab tanpa adanya kekuasaan tertinggi sekalipun, kebanyakan negara mematuhi
kesepakatan-kesepakatan insternasional

B. Ketentuan Hukum Internasional Berkaitan Dengan Proses Pembentukan


Perjanjian Internasional Antar Negara

Secara umum proses pembentukan suatu perjanjian internasional yang dilakukan


antar negara diatur menurut hukum internasional, sebagaimana yang termuat dalam
Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional. Perjanjian
internasional sebagai salah satu sumber hukum internasional yang paling utama
sebagaimana yang termuat dalam Pasal. 38 Statuta Mahkamah Pengadilan
Internasional, karena perjanjian internasional merupakan factor yang menentukan
dalam penyelesaian sengketa antar Negara

Secara terperinci, prosedur atau tahapan dari suatu perjanjian internasional adalah
sebagai berikut :

1) Proses Penyusunan Naskah Perjanjian Internasional. Dalam praktek


internasional utusan-utusan suatu negara kesuatu konferensi internasional
biasanya dilengkapi dengan surat kuasa (full powers). Full powers menurut
Konvensi Wina adalah suatu dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pejabat yang
berwenang dari suatu negara yang menunjuk satu atau beberapa utusan untuk
mewakili negaranya dalam perundingan, menerima atau membuktikan keaslian
naskah suatu perjanjian, menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri
dalam suatu perjanjian atau melaksanakan perbuatan lainnya sehubungan dengan
suatu perjanjian. Namun perlu dicatat bahwa full powers tidak selalu merupakan
satu-satunya dokumen yang dimiliki oleh suatu delegasi kesuatu konferensi
bilateral maupun multilateral, tetapi mereka juga harus dilengkapi dengan
credentials atau suratsurat kepercayaan.
2) 2. Penerimaan Naskah Perjanjian (adoption of the text) Naskah suatu perjanjian
diterima dengan suara bulat yakni persetujuan penuh dari suatu negara yang
turut serta dalam perjanjian,. ketentuan suara bulat berlaku mutlak dalam
perjanjian bilateral. Dalam suatu perjanjian internasional yang bersifat bilateral
penerimaan naskah secara bulat bagi para pihak sangat mudah dicapai, demikian
pula dalam perjanjian multilateral dimana jumlah anggotanya masih terbatas.
Untuk ASEAN yang beranggotakan 10 negara atau Uni Eropah dengan 15
negara, masih tidak terlalu sulit untuk mengambil keputusan dengan suara bulat.
Tetapi dengan perjanjian multilateral dengan puluhan peserta, misalnya PBB
dengan 189 negara anggota, maka pengambilan keputusan dengan suara bulat
tidak mungkin untuk dicapai. Dalam praktek maka para peserta konferensi
biasanya menentukan sendiri ketentuan-ketentuan mengenai pemungutan suara
untuk penerimaan naskah perjanjian.
C. Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Sebagai Salah Satu Sumber
Hukum Internasional Menurut Konvensi Wina 1969
Kekuatan Mengikat Perjanjian Internasional Menurut Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 38 Piagam
Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional terdiri dari :
1) Perjanjian Internasional, baik yg bersifat umum maupun khusus yang
mengandung ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang
bersengketa.
2) Kebiasaan Internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum.
3) Prinsip Hukum Umum, yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
4) Keputusan Pengadilan dan Pendapat Ahli Sarjana dari berbagai negara sebagai
sumber tambahan bagi menetapkan aturan hukum.
1) Perjanjian Internasional.
Perjanjian Internasional ialah perjanjian yang diadakan oleh masyrakat
bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat tertentu. Perjanjian ini
harus diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota
masyarakat internasional. Istilah lain dari perjanjian internasional antara lain :
traktat (treaty), pakta (pact), konvensi (convension), piagam (statue), charter,
declaration, protocol, arrangemen, accord, modus vivendi, covenant dsb.
Dewasa ini hukum internasional cenderung mengatur hukum perjanjian
internasional antara organisasi internasional dengan organisasi internasional atau
antara organisasi internasional dengan subjek hukum internasional secara
tersendiri. Hal ini disebabkan oleh perkembangan yang pesat dari organasisasi
internasional di lapangan ini. Berdasarkan praktek beberapa negara kita dapat
membedakan perjanjian internasional itu ke dalam beberapa golongan. Pada satu
pihak terdapat perjanjian internasional yang diadakan menurut tiga tahap
pembentukan yaitu perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi. Di pihak lain
perjanjian internasional ada yang hanya melalui dua tahap yakni perundingan
dan penandatanganan.
Pada umumnya perjanjian golongan pertama diadakan untuk hal yang dianggap
penting sehingga memerlukan persetujuan dari badan yang memiliki hak untuk
mengadakan perjanjian (treaty making power), sedangkan perjanjian golongan yang
kedua lebih sederhana sifatnya diadakan untuk perjanjian yang tidak begitu penting dan
memerlukan penyelesaian yang cepat. Mengenai klasifikasi perjanjian internasional
terdapat beberapa penggolongan. Penggolongan yang pertama ialah perbedaan
perjanjian internasional dalam dua golongan yakni perjanjian multilatera dan bilateral.
Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak contohnya perjanjian antara
Republik Indonesia dengan RRC mengenai masalah dwikewarganegaraan, sedangkan
perjanjian multilateral artinya antara banyak pihak misalnya Konvensi Jenewa 1949
mengenai perlindungan korban perang. Penggolongan lain yang lebih penting dalam
pembahasan hukum internasional sebagai sumber hukum formal ialah penggolongan
perjanjian dalam treaty contract dan law making treaties.
Pada umunya treaty contract dimaksudkan perjanjian seperti suatu kontrak atau
perjanjian hukum perdata yang hanya mengakibatkan hak dan kewajiban antara para
pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law making treaties adalah perjanjian
yang meletakan kaidah atau ketentuan hukum bagi masyarakat internasional sebagai
keseluruhan. Perbedaan antara treaty contract dan law making treaties jelas nampak
apabila dilihat dari pihak yang tidak turut serta dalam perundingan yang melahirkan
perjanjian tersebut. Pihak ketiga umumnya tidak dapat turut serta dalam treaty contract.
Sedangkan pada law making treaties selalu terbuka bagi pihak lain yang semula tidak
ikut serta dalam perjanjian, kerena yang di atur dalam perjanjian itu merupakan masalah
umum yang mengenai semua anggota masyarakat internasional.
Apabila ditinjau secara yuridis maka menurut bentuknya setiap perjanjian baik
treaty contract dan law making treaties adalah suatu kontrak perjanjian antara dua atau
lebih negara yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pesertanya.
Setiap perjanjian internasional yang telah dihasilkan melalui tahapan
pembentukan perjanjian internasional pada dasarnya mempunyai kekuatan mengikat
terhadap Negara peserta karena memiliki akibat hukum. Mengenai kekuatan atau sifat
mengikat perjanjian internasional secara tegas telah dinyatakan dalam Pasal. 26
Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian yang menyatakan bahwa : Tiap-tiap
perjanjian yang berlaku mengikat negara-negara pihak dan harus dilaksanakan dengan
itikad baik. Pada umumnya suatu perjanjian internasional dinyatakan mulai berlaku
pada saat penandatanganan oleh wakil dari masingmasing pihak yang mengadakan
perundingan, walaupun dalam prakteknya dalam perjanjian multilateral klausul yang
mulai berlaku sejak tanggal penandatangan jarang sekali terjadi disebabkan banyaknya
para pihak pada perjanjian multilateral tersebut. Sedangkan untuk berakhirnya
perjanjian internasional dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain batas waktu
berlakunya perjanjian internasional sudah berakhir dan tujuan perjanjian sudah berhasil
dicapai.
2) Kebiasaan Internasional.
Hukum Kebiasaan Internasional adalah Kebiasaan Internasional yang
merupakan kebiasaan umum yang di terima sebagai hukum. Perlu diketahui
bahwasannya tidak semua kebiasaan internasional dapat menjadi sumber hukum.
Untuk dapat dikatakan bahwa kebiasaan internasional itu merupakan sumber hukum
perlu terdapat unsur-unsur sebagai berikut :
a. Harus terdapat suatu kebiasaan yang bersifat umum (material)
b. Kebiasaan itu harus di terima sebagai hukum (psikologis)
Sebagai suatu sumber hukum kebiasaan internasional tidak berdiri sendiri.
Kebiasaan internasional erat hubungannya dengan perjanjian internasional dimana
hubungan ini adalah hubungan timbal balik.
3) Prinsip Hukum Umum
Prinsip Hukum Umum adalah prinsip hukum yang mendasari sistem hukum
modern yaitu sistem hukum positif yang didasarkan atas asas dan lembaga hukum
negara barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas dan lembaga hukum
Romawi. Menurut Pasal 38 ayat (1) Piagam Mahkamah Internasional prinsip hukum
umum merupakan suatu sumber hukum formal utama yang berdiri sendiri di
samping kedua sumber hukum yang telah disebut di atas yaitu perjanjian
internasional dan kebiasaan internasional. Adanya prinsip hukum umum sebagai
sumber hukum primer tersendiri sangat penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan hukum internasional sebagai sistem hukum positif. Pertama dengan
adanya sumber hukum ini Mahkamah Internasional tidak dapat menyatakan ‘’non
liquet’’ yakni menolak mengadili perkara karena tiadanya hukum yang mengatur
persoalan yang diajukan. Berhubungan dengan ini ialah bahwa kedudukan
Mahkamah Internasional sebagai badan yang membentuk dan menemukan hukum
baru diperkuat dengan adanya sumber hukum ini. Keleluasaan bergerak yang
diberikan oleh sumber hukum ini kepada Mahkamah dalam membentuk hukum baru
sangat berfaedah bagi perkembangan hukum internasional.
4) Sumber Hukum Tambahan : Putusan pengadilan dan pendapat para ahli
sarjana terkemuka.
Lain dengan sumber utama yang telah dijelaskan diatas, keputusan
pengadilan dan pendapat para sarjana hanya merupakan sumber subsider atau
sumber tambahan. Artinya keputusan pengadilan dan pendapat para sarjana
dapat dikemukakan untuk membuktikan adanya kaidah hukum internasional
mengenai suatu persoalan yang di dasarkan atas sumber hukum primer.
Keputusan pengadilan dan pendapat ahli sarjana itu sendiri tidak mengikat
artinya tidak dapat menimbulkan suatu kaidah hukum. Keputusan Mahkamah
Internasional sendiri tidak mengikat selain bagi perkara yang bersangkutan,
maka ‘’a fortion’’ keputusan pengadilan lainnya tidak mungkin mempunyai
keputusan yang mengikat. Walaupun keputusan pengadilan tidak mempunyai
kekuatan yang mengikat namun keputusan pengadilan internasional, terutama
Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of Internationa Justice),
Mahkamah Internasional (Internasional Court of Justice), Mahkamah Arbitrase
Permanen (Permanent Court Arbitration) mempunyai pengaruh besar dalam
perkembangan hukum internasional. Mengenai sumber hukum tambahan yang
kedua yaitu ajaran para sarjana hukum terkemuka dapat dikatakan bahwa
penelitian dan tulisan yang dilakukan oleh sarjana hukum terkemuka sering
dipakai sebagai pegangan atau pedoman untuk menemukan apa yang menjadi
hukum internasional walaupun ajaran para sarjana itu sendiri tidak menimbulkan
hukum.

4. Penutup
A. Kesimpulan
Sumber hukum merupakan persoalan yang sangat penting untuk setiap
bagian dari hukum manapun, bail( hukum nasional dan hukum internasional.
Dalam penyelesaian sengketa atau persoalan-persoalan hukum, maka sumber
hukum menjadi tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan yang menjadi
dasar atau pedoman dalam menyelesaiakan persoalan tersebut. Berlakunya
hukum internasional (dalam bentuk perjanjian-perjanjian internasional) atau
hukum kebiasaan internasional di Indonesia didasarkan pada keterikatan
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dan berlakunya
prinsip pacta sund servada. Apabila perjanjian internasional (bilateral dan
multilateral) telah disahkan dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, maka
sejak saat itu, hukum internasional berlaku dan menjadi hukum nasional,
sehingga dapat dijadikan tuntunan / pedoman dalam penyelesaian sengketa
atau persoalan hukum di peradilan nasional.
Menurut ketentuan hukum internasional, sebagaimana yang tertuang
dalam Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional, bahwa
proses pembentukan perjanjian internasional yang dilakukan antar negara
dapat dilakukan melalui tiga tahap, dan pada umumnya tiga tahap yang harus
dilalui dalam penyusunan suatu naskah perjanjian yakni : perundingan
(negotiation), penandatanganan (signature), pengesahan (ratifikasi).
Selanjutnya tentang naskah perjanjian itu sendiri juga dilakukan dengan tiga
cara, yakni penyusunan naskah, penerimaan dan pengesahan bunyi naskah
perjanjian internasional dan dalam prakteknya ketiga tahap tersebut dapat
dilakukan sekaligus. Unsur-unsur formal naskah suatu perjanjian, biasanya
terdiri dari mukadimah, batang tubuh, klausula-klausula penutup dan annex.

B. Saran
Kekuatan mengikat perjanjian internasional menjadi efektif apabila negara-
negara peserta dapat menerapkan seluruh isi perjanjian, tanpa melakukan
reservation (pensyaratan), terutama untuk perjanjianperjanjian internasional
yang jumlah negara peserta yang cukup banyak, khususnya perjanjian yang
bersifat law making treaty.
DAFTAR PUSTAKA

Dina Sunyowati, Enny narwati, Lina Hastuti, Hukum Internasional, Buku Ajar,
Airlangga University Press, Surabaya, 2011
Dixon, Martin, Textbook on International Law, 2nd Edition, Blackstone Press
Limited,Great Britain, 1993.

Kusumaatmadja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional,Binacipta, Bandung, 1989.


Malcol N. Shaw, International Law, Cambridge University Press, Cambridge,
1997 Malcolm D.Evans, International Law , New Yotk, Oxford University
Press, 2003

Thontowi, Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, PT.


Refika Aditama, Bandung, 2006.

UU No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara RI Tahun


2000 Nomor 185
UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
Lembaran Negara RI Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan LNRI Nomor 5234
Sumber-sumber lain : - Konvensi Wina Tahun 1969 Tentang Hukum Perjanjian
Internasional - Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian
Internasional. - Bahan Ajar Hukum Perjanjian Internasional, Fakultas
Hukum Unsrat - WWW. Google. Com

Anda mungkin juga menyukai