Anda di halaman 1dari 11

Referat

FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIA

Oleh:

dr. Chalis Novriza

Pembimbing:
dr. Eka Adhiany, Sp.An

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/KSM ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH
2021
KATA PENGANTAR

Referat dengan judul “Farmakologi Obat Analgesia” diajukan sebagai salah satu
tugas dalam menjalani Pendidikan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. Eka Adhiany,
Sp.An yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini.
Penulis menyadari bahwa dalam referat ini masih terdapat banyak kekurangan dan
kelemahan, baik dari segi penyajian maupun dari segi materi. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati penulis mengharapkan saran serta kritik yang bersifat membangun
dari berbagai pihak demi penyempurnaan tulisan ini.

Banda Aceh, Agustus 2021

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

Nyeri merupakan sensasi tidak nyaman yang dirasakan oleh tubuh sebagai respon
dari kerusakan jaringan serta terdapat upaya tubuh untuk menghindari sumber nyeri
tersebut. Nyeri umumnya disebabkan oleh mekanisme kerusakan jaringan akibat
perubahan suhu dan tekanan yang direspon oleh mekanoreseptor serta termoreseptor di
dalam lapisan organ. Reseptor lain yang berkaitan dengan fungsi hantar sensorik dari
reseptor (penerima rangsang) ke efektor (respon rangsangan) adalah kemoreseptor dan
fotoreseptor. Konsep nyeri adalah gangguan perfusi akibat mekanik atau suhu yang
menyebabkan gangguan oksigenasi jaringan dan tubuh merespon untuk menghindari
gangguan perfusi tersebut.[1,2]

Nyeri terdiri dari nyeri cepat (akut) dan nyeri lambat (kronik) dengan karakteristik
nyeri berbeda – beda. Nyeri cepat berhubungan dengan cedera akut seperti trauma tajam
dan dirasakan sebagai nyeri yang tajam. Nyeri lambat berhubungan dengan kejadian cedera
tumpul atau perjalanan penyakit kronik seperti nyeri pada penderita kanker. Analgesia
merupakan obat yang diberikan untuk memberikan supresi nyeri sehingga dapat
menurunkan morbiditas pada penderita nyeri akut maupun kronik.[2,3]

Pilihan analgesik terdiri dari obat opioid dan non-opioid dengan indikasi dan
konsiderasi yang berbeda – beda. Pilihan pada nyeri akut maupun kronik dimulai dari obat
non-opioid yang memiliki efek terapeutik yang baik namun efek samping lebih ringan.
Obat opioid merupakan golongan obat baik sintesis maupun semisintesis yang diproduksi
melalui tanama opium atau penyusunan bahan kimiawi untuk meredakan nyeri lebih poten
namun efek samping lebih berat dan insidensi lebih banyak. Penderita nyeri kronik yang
mendapatkan dosis opioid dalam jangka waktu lama berhubungan dengan meningkatnya
morbiditas dan mortalitas akibat penggunaan obat tersebut.[4,5]

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Fisiologi Nyeri

Nyeri adalah respon tubuh terhadap cedera pada jaringan dan terdapat upaya untuk
menghindari stimulus nyeri untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. Aktivitas seperti
duduk lama atau berdiri lama menyebabkan perfusi pada daerah kompresi berkurang
sehingga bagian tubuh merespon dengan nyeri untuk mencegah gangguan perfusi lebih
lanjut yang dapat berujung menjadi iskemia. Individu dengan gangguan sensasi nyeri tidak
mengetahui sinyal yang diberikan tubuh sehingga bagian yang terkompresi berlanjut
menjadi iskemia, bagian tubuh mengalami deskuamasi, ulkus hingga gangren seperti pada
penderita diabetes melitus dengan neuropati perifer.[1]

Nyeri terdiri dari nyeri cepat dan nyeri lambat berdasarkan durasi sensasi nyeri yang
diukur dari pertama kali rangsangan nyeri terjadi. Nyeri cepat atau nyeri akut adalah nyeri
yang dirasakan sekitar 0,1 detik dari rangsangan nyeri. Nyeri cepat disebut juga dengan
nyeri tajam atau nyeri menusuk. Nyeri cepat terjadi pada kondisi luka tertusuk, luka bakar
dan sengatan listrik. Nyeri lambat atau nyeri kronik merupakan nyeri yang dirasakan 1
detik dari rangsangan dan memberat seiring berjalannya waktu. Tipe nyeri ini disebut juga
dengan nyeri panas dan nyeri berdenyut. Nyeri lambat umumnya terjadi pada benturan
tumpul atau pada kondisi penyakit kronik organ internal seperti hepar, lambung dan traktus
urinaria.[1]

Sistem saraf tepi memiliki sejumlah reseptor yang berfungsi dalam menyalurkan
sinyal ke sistem saraf pusat untuk menjadi efektor dan interpretasi dari impuls yang terjadi.
Reseptor saraf tersebut adalah kemoreseptor, fotoreseptor, termoreseptor dan
mekanoreseptor. Kemoreseptor berhubungan dengan bahan kimia yang memberikan efek
perasa dan penciuman seperti oleh makanan, obat-obatan dan bahan kimia lainnya.
Fotoreseptor berada pada sel batang dan kerucut retina yang akan memberikan interpretasi
warna dan identifikasi benda saat gelap dan terang. Termoreseptor dan mekanoreseptor
berhubungan dengan hantaran sensasi panas, dingin dan tekanan yang umumnya tersebar
pada organ kulit. Nyeri merupakan sensasi yang ditimbulkan oleh kerja termoreseptor dan
mekanoreseptor.[2]

2
Struktur kulit terdiri dari lapisan epidermis, dermis dan hipodermis yang memiliki
struktur fungsional. Epidermis terdiri dari lapisan stratum korneum, lusidum, spinosum,
granulosum dan basal yang avaskular sehingga dalam waktu 24 jam mengalami regenerasi
dan lapisan terluar akan degradasi menjadi lapisan kulit mati. Lapisan dermis terdiri dari
pembuluh darah, saraf, folikel rambut, kelenjar sebasea dan sudorifera serta reseptor –
reseptor saraf. Lapisan hipodermis merupakan kumpulan sel lemak (adiposa) yang tersusun
dan membatasi kulit dengan otot di bawahnya. Reseptor saraf terdiri dari reseptor tekanan
kuat (Paccini), tekanan ringan (Meissner), sensasi panas (Ruffini) dan sensasi dingin
(Krausser). Struktur lapisan kulit dan reseptor saraf digambarkan sebagai berikut.[2]

Gambar 1. Struktur kulit dengan reseptor[2]

Nyeri muncul setelah terpapar dengan ambang batas nyeri mulai dari 43 oC – 45oC,
dimana pada suhu tersebut jaringan yang terpapar akan mengalami kerusakan dan
melibatkan kerusakan saraf dan nyeri akan berkurang saat suhu bertambah. Nyeri akibat
suhu panas berkaitan dengan suhu dan waktu jaringan terpapar panas, bukan oleh sejauh
mana kerusakan jaringan. Kerusakan jaringan semakin berat apabila kondisi luka pada
jaringan diperberat oleh infeksi bakteri dan iskemia jaringan. Nyeri akibat respon mekanik
berkaitan dengan menurunnya perfusi organ dan meningkatkan jumlah bradikinin yang
akan memberikan sinyal untuk menghindari sumber rangsangan nyeri untuk menghindari
iskemia akibat perfusi organ terganggu. Contohnya adalah ketika pemeriksaan tekanan
darah dengan manset yang dipompa hingga ambang nyeri seseorang maka akan terasa
nyeri yang berlangsung 15 – 20 detik.[1]
3
Nyeri cepat yang disebabkan oleh rangsangan panas dan mekanik mengalami proses
penghantaran dari reseptor ke medula spinalis dengan hantaran saltatorik menuju serat Aδ
serta kecepatan 6 – 30 m/detik. Nyeri lambat biasanya selain dipicu oleh rangsangan panas
dan mekanik, juga disebabkan oleh paparan kimia dan ketika reseptor menerima rangsanga
akan diteruskan ke medula spinalis serat C dengan kecepatan 0,5 – 2 m/detik. Nyeri akibat
luka setelah terkena benda tajam akan menimbulkan dua jenis nyeri tersebut dimulai dari
hantaran impuls melalui serat Aδ diikuti oleh serta C dari bagian dorsal medula spinalis,
diteruskan ke lamina marginalis dan menyeberang melalui komisura spinalis ke kolum
anterolateral sehingga nyeri yang dirasakan di sisi kanan merupakan respon dari sistem
saraf pusat kontralateral. Dari medula spinalis akan dibawa ke otak sesuai dengan tipe
nyeri.[1]

Gambar 2. Jaras nyeri melalui serat Aδ dan serat C di medula spinalis[1]

Nyeri yang telah diterima oleh medula spinalis akan dibawa ke otak melalui traktus
neospinotalamus pada nyeri akut oleh serta Aδ dan traktus paleospinotalamus pada nyeri
kronik oleh serat C. Kedua jalur akan dibawa pada bagian otak di talamus dan diteruskan
ke area somatosensorik otak. Jalur neospinotalamus dibantu oleh neurotransmiter glutamat
yang disekresi oleh medula spinalis dan terdistribusi pada kolum anterolateral sehingga
mempercepat jaras nyeri ke otak oleh serat Aδ dalam hitungan milidetik. Jalur
paleospinotalamus, impuls saraf nyeri diarahkan ke lamina II dan III setelah memasuki
area dorsal medula spinalis yang dikenal sebagai substansia gelatinosa.[1,2]

4
Gambar 3. Jaras dari medula spinalis ke talamus diantaka ke area somatosensorik[1]

2.2. Farmakologi Obat Analgesia Opioid

Opioid merupakan bahan mirip opium yang memiliki kemampuan berikatan dengan
reseptor opium di dalam tubuh khususnya sistem saraf pusat. Istilah opioid sering
disamakan dengan opiat, dimana hal ini secara toksikologi merupakan hal yang berbeda.
Opioid merupakan obat yang disusun dengan komposisi bahan – bahan yang dapat
berikatan dengan reseptor opioid dalam tubuh. Opiat merupakan bahan alami yang
diekstrak dari tanaman opium dan dirancang sebagai obat semisintesis untuk
menghilangkan nyeri. Obat yang mengandung opioid memiliki metabolit yang dikonversi
menjadi 6-monoasetil morfin (6-MAM) sehingga sensasi nyeri menjadi reda.[3]

Opioid terdiri dari jenis opioid lemah dan opioid kuat berdasarkan mekanisme
kerjanya. Opioid lemah adalah kodein dengan sediaan tablet 15 mg, sedangkan opioid kuat
terdiri dari morfin, hidromorfon, oksikodon, fentanil dan metadon dengan sediaan
bervariasi. Opioid bukan termasuk pilihan utama untuk mengatasi nyeri, pada kondisi nyeri
kronik akibat kanker, obat yang diutamakan adalah nonopioid. Hal ini berkaitan dengan
meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas pada penderita nyeri kronik yang
menggunakan opioid, seperti penggunaan kodein sebagai opioid lemah ternyata mampu
menyebabkan distres pernapasan. Berikut adalah tangga pilihan analgetik pada pasien
dengan nyeri kronik kanker.[4,6]

5
Gambar 4. Tangga pilihan analgesik nyeri kronik kanker[4]

Absorpsi opioid melalui intestinum dengan bioavailabilitas 20% - 40%, onset


intravena lebih cepat (5 – 10 menit) dibandingkan perioral (8 jam) namun perioral dapat
diberikan setiap 24 jam karena durasi kerja berlangsung selama 8 – 24 jam. Distribusi
melalui ikatan dengan protein dengan jumlah 30% - 40%. Hasil metabolisme berupa
morfin dengan struktur 6-MAM dan dieliminasi sebagian besar melalui urine dan sisanya
oleh feses. Obat seperti fentanil, alfentanil dan sufentanil memiliki waktu paruh berbeda
sehingga penggunaannya dipertimbangkan sesuai dengan durasi analgetik yang
dibutuhkan.[4,7]

2.3. Farmakologi Obat Analgesia Non-opioid

Pilihan obat analgesia non-opioid adalah obat antiinflamasi non steroid (OAINS),
antidepresan dan antikonvulsan dengan indikasi berbeda – beda. Pemilihan obat
merupakan lini pertama untuk mengatasi nyeri dengan evaluasi efikasi sebelum
penggunaan opioid. Antidepresan selain digunakan untuk penanganan kondisi depresi pada
pasien psikiatri juga dapat diberikan sebagai analgetik non-opioid. Penggunaan umumnya
digunakan pada nyeri kronik neuropatik serta kombinasi dengan opioid pada nyeri akibat
kanker. Kelas antidepresan adalah trisiklik dan serotonin norepinephrine reuptake
inhibitor (SNRI) merupakan obat yang paling sering digunakan untuk nyeri neuropatik.
Kelas trisiklik dijumpai pada amitriptilin, sedangkan kelas SNRI dijumpai pada fluoxetin.
[4,8]

6
Golongan OAINS terdiri dari dua isoform, yaitu COX-1 dalam kromosom 9 serta
COX-2 dalam kromosom 1. Fungsi COX-1 adalah menghasilkan prostaglandin sebagai
sitoproteksi gastrointestinal sedangkan COX-2 memiliki peran dalam memproduksi agen
inflamasi hingga sensasi nyeri. Mekanisme kerja OAINS adalah dengan inhibisi COX yang
akan ikut mengurangi jumlah prostaglandin untuk meredakan reaksi inflamasi termasuk
demam dan nyeri. Farmakokinetik obat dimulai dari absorpsi yang diserap sempurna oleh
saluran cerna, dengan waktu paruh 1- 3 jam serta konsentrasi tertinggi dicapai hanya dalam
30 menit setelah meminum obat. Distribusi melalui pengikatan dengan protein dengan
jumlah mencapai 25%. Metabolisme oleh hepar dengan enzim mikrosom hepar dan 80%
obat akan dikonjugasi dengan asam glukuronat untuk mencapai jumlah terapeutik.
Ekskresi melalui urin dan feses, sebagian besar melalui feses.[9]

Antidepresan diabsorpsi pada intestinum dengan bioavailabilitas 43% – 46% dan


bersifat lipofilik atau menarik lemak. Distribusi dengan ikatan melalui protein plasma
sebayak 96% terutama oleh albumin. Metabolisme di hepar akan membentuk proses
hidroksilasi oleh enzim CYP2D6, namun pada anak metabolismenya lebih lambat terjadi.
Eliminasi melalui ekskresi urin dengan produk metabolit yaitu nortriptlin serta sebagian
lainnya oleh feses dengan waktu paruh 9-27 jam.[8]

Golongan antikonvulsan yang digunakan seperti gabapentin untuk keluhan nyeri


punggung dan karbamazepin untuk pengobatan neuralgia trigeminal. Penggunaan lebih
luas pada nyeri neuropatik selain dari fungsi utama antikonvulsan yaitu untuk pengobatan
epilepsi. Obat diabsorpsi oleh organ pencernaan terutama intestinum dengan mekanisme
transpor serta bioavailailitas rendah sekitar 34%. Perbedaan dosis tidak menunjukkan
peningkatan bioavailabilitas secara signifikan. Distribusi antikonvulsan tidak berikatan
dengan protein namun menggunakan enzim hati dan dibawa masuk ke cairan serebrospinal
melalui sirkulasi. Oleh karena itu, antikonvulsan tidak mengalami metabolisme yang
spesifik seperti pada antidepresan. Eliminasi dalam bentuk urin, tidak dikonversi menjadi
produk metabolit dengan waktu paruh 5 – 7 jam.[4,8]

7
BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dalam referat ini adalah obat opioid dan non-opioid merupakan dua jenis
obat yang memiliki level rekomendasi berbeda. Nyeri yang diakibatkan oleh mekanisme
akut maupun proses perjalanan penyakit kronik dipertimbangkan untuk diatasi dengan non-
opioid, diikuti dengan opioid atau kombinasi keduanya sesuai dengan kebutuhan pasien.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall J, Hall M. Guyton and Hall: Textbook of Medical Physiology. 14th ed.
Philadelphia: Elsevier; 2021.
2. Fox S. Human Physiology. 14th ed. New York: Mc Graw Hill Education; 2016.
3. Gifford JD, Anderson J, Bailey J, Blaney-Koen D. Guidelines for the Chronic Use
of Opioid Analgesics. Texas: 2017.
4. World Health Organizaton. WHO Guidelines for the Pharmacological and
Radiotherapeutic Management of Cancer Pain in Adults and Adolescents. Jenewa:
WHO; 2018.
5. Chang A, Bijur P, Esses D, Barnaby D. Effect of a Single Dose of Oral Opioid and
Nonopioid Analgesics on Acute Extremity Pain in the Emergency Department A
Randomized Clinical Trial. J Am Med Assoc 2017;318(17):1661–7.
6. Krebs EE, Gravely A, Nugent S, Jensen AC, Deronne B, Goldsmith ES, et al. Effect
of Opioid vs Nonopioid Medications on Pain-Related Function in Patients With
Chronic Back Pain or Hip or Knee Osteoarthritis Pain The SPACE Randomized
Clinical Trial. J Am Med Assoc 2018;319(9):872–82.
7. Kreling M, Mattos-Pimenta C. Opioid Analgesic Administration in Patients with
Suspected Drug Use. Rev Bras Enferm 2017;70(3):626–32.
8. McDonagh M, Selph S, Buckley D, Holmes R. Nonopioid Pharmacologic
Treatments for Chronic Pain. Rockville: Agency for Healthcare Research and
Quality; 2020.
9. Bacchi S, Palumbo P, Sponta A, Coppolino M. Clinical Pharmacology of Non-
steroidal Anti-inflammatory Drugs: A Review. Anti-inflamm Anti-allergy Agents
Med Chem 2012;11:52–64.

Anda mungkin juga menyukai