Anda di halaman 1dari 22

TINDAK PIDANA KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME MENURUT

SYARIAT ISLAM
Makalah
disusun guna memeuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia
Dosen Pengampu Yulis Sulistiana Dewi, S.Pd., M.Pd.I.

Rissa Aulia Putri (1213060112)


Rizki Bagus Hidayatulloh (1213060113)
Rizki Nugraha (1213060114)
Rizqy Nurkholiq (1213060115)

JURUSAN HUKUM PIDANA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
BANDUNG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu dan dalam keadaan sehat wal afiat. Sholawat beserta salam kami curah
limpahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad Saw, kepada para
keluarganya, sahabatnya, sampai kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa
Indonesia semester ganjil, berikut materi yang akan dibahas mengenai Tindak Pidana
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Menurut Syariat Islam. Tidak lupa kami ucapkan
terimakasih kepada Ibu Yulis Sulistiana Dewi, S.Pd., M.Pd.I. Selaku dosen pengampu
yang telah memberikan segala bimbingannya, dan kepada semua teman-teman yang
sudah membantu mengumpulkan data dalam penulisan makalah ini dari awal sampai
akhir.
Kami menyadari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan baik dalam penulisan
maupun dalam penyusunan karya ini. Oleh karena itu kami menerima segala saran dan
kritik yang membangun untuk kesempurnaan penyusunan makalah yang lebih baik.
Semoga makalah ini bisa membantu dan bermanfaat bagi semua pihak. Aamiin Ya
Rabbal ‘Alamin.
Bandung, 17 Oktober 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
ABSTRAK.......................................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................3
1.4 Manfaat Penelitian..............................................................................................3
1.5 Metode Penelitian....................................................................................................3
BAB II KAJIAN PUSTAKA...........................................................................................4
2.1 Korupsi........................................................................................................................4
2.2 Kolusi.......................................................................................................................8
2.3 Nepotisme..............................................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN..............................................................................................12
3.1 Despkripsi Data Penelitian.....................................................................................12
3.2 Pembahasan Hasil Penelitian.................................................................................12
1. Hukum Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Syariat Islam.........................13
2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Hukuman Bagi Tindak
Pidana KKN.............................................................................................................13
3. Pengembalian aset hasil tindak pidana Korupsi...............................................15
BAB IV PENUTUP.........................................................................................................16
4.1 Kesimpulan............................................................................................................16
4.2 Saran......................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................17

iii
ABSTRAK

Korupsi, Kolusi dan Nepotisme hampir menjadi budaya dalam proses


pengambilan keputusan dalam sebuah birokrasi, pemerintahan maupun swasta. Budaya
semacam ini tidaklah asing dikalangan pembuat kebijakan. Perkara Korupsi, Kolusi dan
nepotisme yang banyak menimpa para pejabat, baik dari kalangan eksekutif, yudikatif
maupun legislatif menunjukkan tidak hanya mandulnya Undang-undang Nomor 28
tahun 1999, tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan nepotisme, tetapi juga semakin tidak tertibnya nilai-nilai kehidupan sosial
masyarakat.

Kata kunci : Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, budaya, pejabat.

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah suatu hal yang terdengar asing
ditelinga masyarakat umum, kenapa demikian? Karena “korupsi, kolusi dan
nepotisme adalah konsep-konsep yang hanya bisa dikenakan dalam kontek
organisasi, apakah perusahaan, partai politik, persatuan olahraga dan sebagainya”
(Nasution, dkk ,1999, hal.9). Kemudian, apabila dalam ruang lingkup masyarakat
ini tidak berlaku. Contohnya, seorang masyarakat mengambil uang dari sebuah
organisasi, ini tidak disebut korupsi tetapi disebut perampokan, pencurian atau
pencopetan. Kemudian kolusi dalam lingkup masyarakat itu suatu hal yang baik,
tidak salah seseorang bekerja sama bersama temannya dengan tujuan
menguntungkan diri. Berbeda lagi apabila masuk ke dalam ranah politik seperti
Pemerintahan. Contohnya; Seorang PNS mengambil uang pemerintahan, seorang
PNS membuat kerja sama dengan PNS lain untuk menguntungkan diri, hal
demikian itu, termasuk kedalam ranah korupsi, kolusi dan nepotisme. Karena dalam
tujuan suatu organisasi adalah untuk seluruh anggota, bukan untuk keuntungan
pribadi.
Salah satu isu yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan
pemerintah Indonesia adalah masalah Korupsi. Hal ini disebabkan semakin lama
tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit diatasi. Maraknya korupsi di
Indonesia disinyalir terjadi disemua bidang dan sektor pembangunan. Apalagi
setelah ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diperbarui dengan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, disinyalir korupsi terjadi bukan hanya
pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat daerah dan bahkan menembus ketingkat
pemerintahan yang paling kecil di daerah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi
praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai
kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-

1
Undang Dasar 1945 sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk
komisi-komisi yang berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
(KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
KKN merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang
menjujung tinggi trnasparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan
stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang
bersifat sistemik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan
upaya penanganan, yang bersifat menyeluruh, sistimatis, dan berkesinambungan.
Menurut perspektif Islam, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme adalah suatu hal
yang sudah jelas tidak baik karena menyimpang terhadap hukum, akhlaq dan moral
dalam Islam. Korupsi adalah pencurian dan pengkhiatanatan, Kolusi adalah tolong
menolong dalam hal keburukan dan Nepotisme adalah ketidakadilan. Sedangkan
dalam pandangan hukum islam, korupsi dan nepotisme sudah sangat jelas
melanggar hukum islam karena mengambil sesuatu yang bukan haknya, merugikan
orang lain, mempersalah gunakan jabatan.
Menurut buku Prof. Dr. Kaelan, Kasus Kolusi, Korupsi dan Nepotisme
(KKN) di Indonesia banyak terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa tersebut,
kasus yang paling menonjol yaitu kasus korupsi, bahkan informasi tersebut tembus
ke dunia internasional. Akibatnya, identitas negara Indonesia dipandang negatif
oleh dunia internasional, mereka mengklaim bahwasanya korupsi adalah indentitas
negara Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pandangan hukum syariat islam terhadap korupsi, kolusi, dan
nepotisme ?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku
tindak pidana korupsi ?
3. Bagaimana aturan mengenai pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi
dalam hukum positif ?

2
1.3 Tujuan Penelitian
1. Menjelaskan pandangan hukum syariat islam terhadap tindak Korupsi, Kolusi,
dan Nepotisme (KKN).
2. Menjelaskan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap tindak
pidana korupsi.
3. Menjelaskan aturan mengenai pengembalian asset hasil tindak pidana korupsi
dalam hukum positif
1.4 Manfaat Penelitian
1. Masyarakat dapat mengetahui definisi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
serta mengetahui contohnya
2. Masyarakat dapat mengetahui hukum tindak pidan korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam pandangan syariat islam dan hukum positif, sehingga dapat
mencegah terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme.
1.5 Metode Penelitian
penelitian yang digunakan ialah metode kualitatif, yaitu menggunakan data-
datang yang diperoleh melalui membaca dan mengumpulkan beberapa informasi dari
buku, jurnal, internet, dan situs web.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Korupsi
Korupsi dalam bahasa latin ialah corruption atau corrumpere. Secara
etimonologi, bahasa latin kata corruption ialah rusak, busuk, menggoyah,
menyogok dan memutar balik. Dalam bahasa Inggris, corrupt memiliki arti orang
yang memiliki korupsi berniat melakukan kecurangan dengan tidak sah dengan
tujuan memperoleh keuntungan pribadi.
Berbagai definisi yang dikemukakan oleh para ahli, Sayyid Husain al-Alatas
menyimpulkan bahwa korupsi tidak akan lepas dari beberapa ciri khususnya, yaitu:
a. Pengkhianatan terhadap kepercayaan
b. Menipu badan pemerintah,lembaga swasta atau masyarakat umum
c. Melalaikan kepentingan umum untuk kepentingan khusus.
d. Melakukan dengan rahasia.
e. Melibatkan lebih satu orang atau pihak.
f. Ada kewajiban dan keuntungan bersama
g. Ada usaha untuk menutupi perbuatan korupsi dalam bentuk pengesahan
hukum.
Pada masa kekuasaan Khulafa ur-rasyidin tepatnya pada masa Umar bin
Khattab juga telah ditemui upaya praktek korupsi. Dikuatkan dengan usaha Umar
untuk memerintahkan seorang sahabat yang bernama Maslamah guna mengawasi
harta para pejabat pemerintah. Dengan melihat beberapa fakta sejarah
tersebut,maka sebetulnya pada masa Arab era Alquran kasus korupsi ditemukan.
Namun Alquran tidak mengemukakan ayat korupsi secara langsung.
Pada Ayat Al-quran memang tidak dijumpai istilah korupsi secara tegas,
namun untuk menyelesaikan kasus ini ada beberapa ayat yang terindikasi tentang
itu, yaitu:
1. QS Ali-imran ayat 161
“Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan
perang). Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang

4
membawa apa yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi
balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya, dan mereka
tidak dizalimi”.
Asbab al-nuzul:
Sebab turunnya ayat ini, sebagaiman hadist riwayat ibnu abbas r.a.
Bahwa setelah masa perang badar,ada seorang laki-laki yang kehilangan tutup
kepala warna merah. lalu ada seseorang yang menuduh bahwa Nabilah yang
mengambilnya, maka ayat ini turun untuk membantahnya sekaligus sebagai
khabar bahwa setiap nabi tidak akan pernah mencuri/korupsi.
Menurut Almaraghi dalam tafsirnya yaitu Tafsir al-maraghi, menjelaskan
bahwa kata ghulul dalam ayat tersebut “al-akhdz al-khufiyyah” yaitu
mengambil sesuatu dengan sembunyi-sembunyi, semisal mencuri sesuatu .
Kemudian makna ini sering dipergunakan dalam istilah mencuri harta
rampasan perang sebelum didistribusikan. Rasullullah SAW memperluas
makna ghulul menjadi dua bentuk:
a. Komisi yaitu tindakan mengambil penghasilan diluar gaji yang telah
diberikan. Tentang hal ini Nabi SAW menyatakan:
“Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang kami angkat menjadi
pegawai pada suatu pekerjaan kemudian kami tetapkan gaji tertentu
untuknya,maka apa yang dipungutnya itu adalah kecurangan (korupsi).
(HAR.Abu Daud)
b. Hadiah yaitu pemberian yang didapatkan seseorang karena jabatan yang
melekat pada dirinya. Mengenai hal ini Rasullullah SAW bersabda:
“Hadiah yang diterima para pejabat adalah korupsi (ghulul)”.(HR.
Ahmad).
Perbuatan ghulul ini hukumnya adalah haram dan mereka harus
mempertanggungjawabkan sesuatu yang telah disembunyikannya. Seorang
Mussafir bahkan menyebutnya bahwa di akhirat , seseorang yang telah
menggelapkan sesuatu akan memanggul sesuatu yang pernah
disembunyikan sehingga tidak bisa disembunyikan lagi dan diketahui oleh
semua orang.

5
2. Surat al-Baqarah ayat 188
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di
antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu
Membawa( urusan) harta itu kepada hakim,supaya kamu dapat memakan
sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat)
dosa,padahal kamu mengetahui”.
Asbab al-Nuzul:
Sebab turun ayat tersebut dijelaskan Ibnu Katsir dalam tafsirnya
melalui khabar dari jalur Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini berkenaan
dengan seorang laki-laki yang menanggung hutang,sedangkan orang yang
memberi hutang tidak mempunyai bukti yang kuat(ketika ingin menagih
hutang tersebut). Maka laki-laki mempunyai hutanh tersebut mengingkari
hutangnya dan mengadukan perkara dengan hakim,padahal dia berhadapan
dengan perkara hak dan bahwa dirinya berada dalam pihak yang salah.Karena
inilah yang kemudian direspons oleh Alquran dengan turunnya ayat tersebut
yang secara tegas melarang seseorang untuk memakan harta orang lain dan
memperjuangkan sesuatu yang bathil. Karena itu islam melarang keras
membawa urusan harta benda kepada hakim bila hal yang melatarbelakangi
adalah kebathilan.
Tafsiran Ayat:
Ayat ini menggunakan ketentuan addalwu.Pada dasarnya, arti dari kata
ini adalah menurunkan timba untuk mengambil air. Thaba’ Thabai
menambahka bahwa pengertian menurunkan timba kedalam sumber yang
tujuannya mendapatkan air tersebut sama hal nya dengan praktik suap secara
sembunyi.
Sebagaimana diketahui bahwa ketika sebuah timba di masukan kedalam
sumur,maka orang lain tidak bisa melihatnya. Secara otomatis, orang lain juga
tidak tahu bahwa ada timba yang berusaha mengambil air(manfaat) dari sumur
tersebut.Hal ini sama dengan keadaan praktik suap yang memang sengaja
disamarkan dari publik agar tujuan suap tersebut tetap berjalan.
3. Surat al-Maidah ayat 33

6
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,hanyalah mereka dibunuh
atau disalib,atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik
atau dibuanh dari negeri(tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai)
suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh
siksaan yang besar”
Asbab al-Nuzul :
Sebab turun ayat ini adalah peristiwa di Madinah saat ada beberapa
orang bani u’kal dan urainah yang menyampaikan keinginan untuk masuk
islam kepada Rasullullah SAW. Namun, mereka mengatakan bahwa mereka
tidak merasa nyaman tinggal di Madinah Nabi pun memerintahkan seorang
penggembala untuk menemani beberpa orang tersebut keluar dari Madinah.
Nabi juga menyertakan seekor unta yang akan menjadi alat transportasi mereka
serta mengizinkan mereka meminum susu dari unta tersebut. Berangkatlah
beberapa orang tersebut didampingi seorang penggembala.
Tafsiran Ayat:
Ketentuan berikutnya yang terindikasi sebagai term korupsi dalam
Alquran adalah hirabah(perampokan). Menjelaskan hal tersebut,Hakim muda
Harahap menguraikan bahwa arti lain dari kata yuharibuna apabila dirunut ke
asal bentukan awalnya dari tsulatsi mujarrad maka ia bermakna seseorang yang
merampas harta dan meninggalkannya tanpa bekal apa pun. Hal yang sama
juga datang dari pandangan sebagian ahli fiqh mengenai kata hirabah. Menurut
mereka orang yang melakukan tindakan hirabah sebagai qathi’u althariq atau
penyamun dan al-sariq al-kubra atau pencurian besar. Dengan kata lain,makna
hirabah disini adalah seseorang yang merampok harta orang lain Pengertian
seperti inilah yang kemudian sering digunakan oleh ulama untuk memaknai
kata yuharibuna dalam surat al-Maidah ayat 33 tersebut.
4. Surat al-Maidah ayat 38
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai
siksaan dari allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”

7
Asbab al-Nuzul:
Pada zaman Rasulullah SAW ada seseorang perempuan yang
melakukan pencurian. Kemudian perempuan itu dipotong
tangannya,sebagaimana yang diperintahkan allah swt pada ayat ke-38 ini. Pada
suatu waktu dia bertanya kepada Rasullullah SAW:” adakah tobatku kamu
terima wahai Rasullullah?sehubungan dengan pertanyaan itu Allah SWT
menurunkan ayat ke 39 yang dengan tegas memberikan keterangan, bahwa
Allah SWT selalu menerima tobat seseorang yang telah melakukan kejahatan,
asalkan dia bersedia untuk memperbaiki diri, mengganti perbuatan jahat itu
dengan perbuatan yang baik.
Tafsiran Ayat:
Kata saraqa di dalam ayat secara etiminologi bermakna “akhdzu ma li
al-ghairi khufyatan”(mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi).
Sedangkan secara terminologis kata mencuri (Al-sarq) terlebih dahulu di bagi
menjadi dua bagian yaitu pencurian besar dan kecil.Pencurian besar merupakan
arti lain dari ketentuan hirabah .Sedangkan definisi tentang pencurian kecil,
beberapa ulama memiliki makna yang bervariasi, yaitu:
 Mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang
cukup terpelihara menurut kebiasaannya.
 Mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dengan jalan
menganiaya
 Mengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi, yaitu harta yang
bukan diamanatkan padanya .
Dari sini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan al-sarq
adalah mengambil harta orang lain yang bukan miliknya dengan jalan
sembunyi-sembunyi tanpa kerelaan pemiliknya.
2.2 Kolusi
Kolusi diambil dari bahas latin collusio yang berarti kesepakatan rahasia,
persengkokolan untuk melakukan perbuatan tidak baik. Kata ini kemudian
berkembang menjadi sebuah ketentuan yang didefenisikan sebagai suatu bentuk

8
kerjasama untuk maksud tidak terpuji,persengkokolan atau sebuah hambatan usaha
pemerataan berupa antara pejabat dan pengusaha.
Kolusi adalah perjanjian antar perusahaan untuk bekerja sama guna
menghindari persaingan yang saling merusak. Cara untuk mencapai kerja sama itu
sejak perjanjian yang sifatnya informal hingga yang rahasia atau sembunyi-
sembunyi,mulai dari penggabungan informasi hingga pengaturan resmi dalam suatu
organisasi,dimana sanksi dikenakan bagi yang melanggar.
Perbuatan tidak baik itu mungkin berupa tindak pidana mungkin juga tidak.
Kolusi untuk berbohong bukanlah masuk dalam ruang lingkup hukum pidana.
Berkolusi dalam arti yang sama dengan bersekongkol bukanlah tindak pidana jika
hanya dalam tahap sepakat saja tanpa pelaksanaan,kecuali dalam hal bermufakat
untuk melakukan makar.
Oleh karena itu, istilah kolusi bukan istilah hukum. Jika orang berkolusi
untuk korupsi dan telah dilaksanakan,berarti mereka melakukan bersama-sama
kemudian diperiksa oleh pengadilan dan mendapat hukuman,maka yang dihukum
bukan karena perbuatan kolusinya melainkan karena perbuatan korupsinya.
Sedangkan dalam bahasa Arab, kata kolusi mempunyai padanan kata dengan
kata ‫ تواطؤ‬dan ‫ؤامرة‬RRR‫ م‬.Adapun dalam bentuk kata sifatnya (kolusif/collusive)
menggunakan istilah ‫ تواطؤى‬atau 5 .‫ تآمرى‬Menurut istilah hukum positif Indonesia,
kolusi mempunyai definisi sebagai berikut: “Permufakatan atau kerjasama secara
melawan hukum antar penyelenggara Negara atau pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat, dan atau negara”
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kolusi tersebut dapat dibuat sebuah
rumusan bahwa kolusi adalah kerja sama antara pemegang jabatan publik (aparat
negara) dengan pihak lain,termasuk pengusaha,dengan tujuan yang tidak baik yang
dapat menghambat usaha pemerataan kesempatan.
Kolusi sebagai gejala dapat dikenali karena beberapa faktor yaitu:
1. Peranan pemerintah yang sangat kuat dalam pembangunan ekonomi maupun
dalam mendorong perkembangan bisnis.
2. Tumbuhnya korporasi dan konglomersi yang perkembangannya dan besarnya
sangat mengesankan.

9
3. Sedikitnya orang yang memperoleh kesempatan dan mampu mengembangkan
usaha besar.
4. Nampaknya kerjasama antara pengusahapengusaha tertentu dengan penguasa.
5. Berkembangnya politik sebagai sumberdaya baru atau faktor produksi baru
yang menentukan keberhasilan perusahaan.
2.3 Nepotisme
Nepotisme terambil dari akar kata nepos dan otis, yang berarti cucu laki-
laki,keturunan atau saudara sepupu. Kata ini kemudian mengalami perluasan arti:
1. Perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat.
2. Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan)sanak saudara sendiri
terutama dalam jabatan atau pangkat dalam lingkungan pemerintah.
3. Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang jabatan
pemerintah (urusan publik).
Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggaraan negara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya diatas kepentingan
masyarakat,bangsa dan negara.
Kata nepotisme berasal dari kata latin nepos, yang berarti “keponakan” atau
“cucu”. Pada abad pertengahan beberapa paus katolik dan uskup yang telah
mengambil janji “chastity” sehingga biasanya tidak mempunyai anak kandung
memberikan kedudukan kedudukan khusus kepada keponakannya seolah-olah
seperti kepada anaknya sendiri.
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan
hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan
dalam konteks derogatori (pelanggaran/kemunduran).
Nepotisme dipakai sebagai istilah untuk menggambarkan perbuatan
mengutamakan sanak keluarga sendiri walaupun dia tidak memenuhi syarat. Jadi
jika keluarga itu memang memenuhi syarat, maka tidaklah termasuk nepotisme
dalam pengertian itu. Misalnya John F Kennedy yang mengangkat saudara
kandungnya yaitu Robert Kennedy yang kebetulan adalah sarjana hukum dan
ternyata mampu menjalankan tugas sebagai Jaksa Agung.

10
Adapun nepotisme dalam istilah bahasa Arab adalah ‫ محابة األقارب‬sedangkan
istilah Arab yang lain yang memiliki makna hampir serupa dengan nepotisme
adalah ‫ (عصبية‬kesukuan) yang banyak dikemukakan oleh tokoh-tokoh cendekiawan
muslim klasik, seperti yang tersebut di atas.Sedangkan defenisi nepotisme dalam
tatanan hukum positif Indonesia adalah setiap perbuatan penyelenggara negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya di atas
kepentingan masyarakat,bangsa dan negara.
Berdasarkan beberapa defenisi mengenai nepotisme tersebut, dapat diambil
sebuah rumusan bahwa nepotisme adalah tindakan pemegang jabatan publik (aparat
negara) yang cenderung kepada keluarganya dalam pembagian kekuasaan dan
wewenang yang terkait dengan urusan publik dan menyalahi prinsip sistem.

11
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Despkripsi Data Penelitian


Istilah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) terkenal pada masa orde baru,
pada saat itu Indonesia sedang dalam keadaan krisis moneter yang seharusnya
pemerintah menangani permasalahan tersebut, tapi sebaliknya pemerintah malah
memperburuk kondisi,yaitu membudidayakan praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme dalam kekuasaanya. Oleh sebab itu, dalam pandangan politik, korupsi,
kolusi dan nepotisme sangat diwaspadai karena memiliki efek yang sangat fatal.
KKN merupakan kasus yang sudah membudidaya di Indonesia. Mulai dari
yang ruang lingkupnya kecil; seperti perusahaan swasta, sampai ke ruang lingkup
yang besar, yaitu Negara. Pada kasus korupsi hakim haruslah benar-benar matang
dalam memutuskan hukuman yang memberikan efek jera kepada Sikoruptor ,yaitu
hukuman Tegas sesuai yang tercamtum di Undang-undang dan tidak ada unsur
subjektifnya.
Hal ini merupakan perbuatan melawan Hukum karena menyalahgunakan
kesempatan, kewenangan dan sarana. Menurut sudut pandang islam, hukum
tindakan KKN tidak ada nash Al-qur’an dan Hadist tentang hukuman yang harus
diberikan, namun masih ada hukum “Ta’jir. Hukum Ta’jir yaitu merupakan
hukuman yang diberikan kepada orang yang melakukan kejahatan, dimana
ancaman kejahatan tersebut tidak disebutkan hukumanya secara pasti dalam Al-
qur’an maupun Hadist. Hukuman tersebut diserahkan kepada hakim atau
pemerintah didaerah tersebut.
3.2 Pembahasan Hasil Penelitian
KKN merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang
menjujung tinggi trnasparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan
stabilitas bangsa Indonesia. Oleh karena korupsi merupakan tindak pidana yang
bersifat sistemik dan merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga memerlukan
upaya penanganan, yang bersifat menyeluruh, sistimatis, dan berkesinambungan.

12
1. Hukum Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam Syariat Islam
Menurut sudut pandang islam, hukum tindakan Kolusi dan Nepotisme
tidak ada nash Al-qur’an dan Hadist tentang hukuman yang harus diberikan,
namun masih ada hukum “Ta’jir. Hukum Ta’jir yaitu merupakan hukuman yang
diberikan kepada orang yang melakukan kejahatan, dimana ancaman kejahatan
tersebut tidak disebutkan hukumanya secara pasti dalam Al-qur’an maupun
Hadist. Hukuman tersebut diserahkan kepada putusan hakim atau pemerintah
didaerah tersebut.
Adapun dalil dilarangnya korupsi tertera dalam Q.S Al-Baqarah ayat188:
‫اإلثم وأنتم‬R‫اس ب‬R‫وال الن‬R‫ا من أم‬R‫أكلوا فريق‬R‫ام لت‬R‫ا الى الحك‬R‫دلوا به‬R‫ل وت‬R‫والكم بينكم بالباط‬R‫ل أم‬R‫وال تأك‬
‫تعلمون‬.
Artinya:
“Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengann jalan yang bathil,
dan (Janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepara para hakim, dengan
maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan
dosa, padahal kamu mengetahui”.
Hukuman bagi Orang yang korupsi itu diqiyaskan dengan Orang yang
mencuri. Tidak ada hadist yang memaparkan secara signifikan perihal korupsi,
tetapi dalam segi kasusnya mirip seperti kasus pencurian (Sirqoh).
2. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memutuskan Hukuman Bagi
Tindak Pidana KKN
Dalam putusannya Hakim harus menyebutkan perbuatan terdakwa
berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan memenuhi rumusan dari pasal
peraturan perundang-undangan, dalam penelitian dasar pertimbangan hakim
terhadap pemidanaan tindak pidana korupsi yang diputus minimum khusus di
pengadilan Negeri Kepanjen ini putusan hakim harus mencantumkan perbuatan
terdakwa yang memenuhi rumusan pasal kejahatan tindak pidana korupsi ini
terdapat dalam pasal 3 Undang-Undang RI no. 20 tahun 2001 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan
tindak pidana korupsi yang berbunyi: “Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya

13
karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 1.000.000.000.00 (satu milyar rupiah).
1. Dasar Pertimbangan Yuridis
Dasar pertimbangan yuridis adalah pertimbangan hakim yang dilihat dari
segi hukum. Sehingga dalam memutus tindak pidana korupsi pasal 3 undang-
undang no 20 tahun 2001 juga undang-undang nomor 31 tahun 1999 hakim
harus memeriksa dengan teliti dan cermat berdasarkan apa yang terungkap di
persidangan yakni berdasarkan alat-alat bukti yang ada, apakah perbuatan
terdakwa memenuhi unsur-unsur dari pasal 3 yaitu :
1) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada
karena jabatan atau kedudukan
2) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
3) Dasar pertimbangan Non Yuridis Dasar
2. Dasar Pertimbanhan Non Yurudis
Pertimbangan non yuridis adalah pertimbangan yang dilihat dari aspek
non hukum. Penerapan berat ringannya pidana yang dijatuhkan bagi seorang
hakim disesuaikan dengan apa yang menjadi motivasi dan akibat perbuatan si
pelaku, khususnya dalam penerapan jenis pidana penjara, namun dalam hal
Undang-Undang tertentu telah mengatur secara normatif tentang pasal-pasal
tertentu tentang pemidanaan dengan ancaman minimal seperti diatur dalam
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Hakim dalam pertimbangannya juga harus memperhatikan hal yang
memberatkan dan meringankan sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 8
ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
1) Unsur yuridis yang merupakan unsur pertama dan utama
2) Unsur filosofis berintikan kebenaran dan keadilan

14
3) Unsur sosiologis yaitu mempertimbangkan tata nilai budaya yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat.
3. Pengembalian aset hasil tindak pidana Korupsi
Korupsi sangat merugikan pembangunan berkelanjutan sehingga
memerlukan upaya penanganan, yang bersifat menyeluruh, sistimatis, dan
berkesinambungan. Sehingga diperlukan peraturan khusus untuk
mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi. Pengembalian aset hasil
tindak pidana korupsi telah menempati posisi penting dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi. Artinya, keberhasilan pemberantasan tindak pidana
korupsi tidak hanya diukur berdasarkan keberhasilan menghukum pelaku dalam
tindak pidana korupsi, namun juga ditentukan oleh tingkat keberhasilan dalam
mengembalikan aset negara yang telah dikorupsi. Tujuan ini adalah sebagai
upaya meminimalisasi kerugian negara yang disebabkan oleh tindak pidana
korupsi dengan upaya yang tidak kalah penting dibanding pemberantasan tindak
pidana korupsi dengan vonis seberat-beratnya bagi pelaku.
Pemulihan aset dalam Peraturan Jaksa Agung ini dilakukan terhadap :
1. Aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana
termasuk yang telah dihibahkan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain
baik berupa modal, pendapatan maupun keuntungan ekonomi lainnya yang
diperoleh dari kekayaan tersebut atau aset yang diduga kuat digunakan atau
telah digunakan untuk melakukan tindak pidana
2. Barang temuan
3. Aset Negara yang dikuasai pihak yang tidak berhak
4. Aset-Aset lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang yang
merupakan kompensasi kepada korban atau kepada yang berhak

15
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
1. KKN merupakan hal yang tidak baik, karena menyimpang dari ajaran Agama,
Moral, Akhlaq dan Hukum. Korupsi adalah pencurian dan pengkhiatanatan,
Kolusi adalah tolong menolong dalam hal keburukan dan Nepotisme adalah
ketidakadilan. Kemudian, menurut pandangan hukum islam juga, KKN sudah
sangat jelas melanggar hukum islam karena mengambil sesuatu yang bukan
haknya, merugikan orang lain, mempersalah gunakan jabatan.
2. Dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan pidana pada terdakwa dalam
perkara pidana korupsi pasal 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 jo
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 yakni dasar pertimbangan hakim yuridis
yaitu pertimbangan hakim yang dilihat dari segi hukum, berdasarkan alat-alat
bukti yang ada, apakah perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dari pasal 3
yaitu : Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan
atau kedudukan, Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Selain
pertimbangan yuridis hakim juga menggunakan pertimbangan non yuridis yaitu
pertimbangan yang dilihat dari aspek non hukum¸ yakni Dalam
mempertimbangkan berat ringannya pidana korupsi hakim harus
mempertimbangkan hal-hal yang memperberat dan meringankan terdakwa.
Hakim juga wajib memperhatikan sifat-sifat yang baik dan jahat dari tertuduh
serta keadaan-keaadan pribadinya dalam mempertimbangkan pidana yang
dijatuhkann. Selain itu Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman relevan untuk dijadikan acuan oleh hakim sebagai dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Indikator keberhasilan
peranan Hakim dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia diukur
bukan dari banyaknya terdakwa korupsi yang telah dihukum, namun apakah
putusan hakim sudah adil dan diantaranya sudah mempertimbangkan hal-hal

16
sebagaimana tersebut di atas. Untuk hukuman pelaku KKN dalam sudut
pandang islam dikenakan hukum ta’jir.
3. Korupsi adalah mengambil asset suatu negara dengan jalan mencuri dan
merupakan tindak pidana yang bersifat sistemik dan merugikan pembangunan
berkelanjutan sehingga memerlukan upaya penanganan, yang bersifat
menyeluruh, sistimatis, dan berkesinambungan. Sehingga diperlukan peraturan
khusus untuk mengembalikan asset hasil tindak pidana korupsi .
4.2 Saran
Sebagai negara yang beragama, seharusnya setiap orang tahu bahwa perbuat
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah perbuatan yang buruk dan setiap
perbuatan yang buruk maka dilarang oleh agama. Kurangnya rasa takut akan Tuhan
membuat manusia terlena dengan dunia yang sementara. Maka perlunya diajarkan
dasar pendidikan agama sedari dini. Dan untuk memberikan efek jera kepada
pelaku maka aturan untuk para pelaku KKN harus dipertegas, bias dengan cara
potong tangan, hokum mati, ataupun kurungan penjara dengan jangka waktu yang
lama dan dengan fasilitas yang biasa.

17
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Kapita Selekta Tindak Pidana Korupsi, Pusdiklat MARI, 2003 Roeslan Saleh,
Mengadili Sebagai Pergulatan Kemanusiaan, Aksara Baru, Jakarta : 1983 Sudarto,
Hukum Pidana 1, alumni bandung, 1977 Aziz Syamsudin, Tindak Pidana Khusus.
Jakarta: sinar grafika, 2011 R Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Sinar Grafika, 2012
Peraturan Perundang-Undangan:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman.

18

Anda mungkin juga menyukai