Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Tindak Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan


Indonesia

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi

Dosen pengampu : Bohari, S.Pd.,M.Pd

Disusun oleh Kelompok 7 :


Fransiska 20116066
Michelle Ivana Primaya 20116014
Olivia Yuniar 20116048
Ronald 20116050
Vernanda 20116082

PROGRAM STUDI BAHASA MANDARIN S-1


SEKOLAH TINGGI BAHASA HARAPAN BERSAMA
KUBU RAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Tindak
Pidana Korupsi dalam Peraturan Perundang-undangan Indonesia". Penyusunan
makalah ini dibuat sebagai acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam memaparkan analisis tentang tindak pidana korupsi yang ada di Indonesia
berdasarkan peraturan hukum perundangan-undangan.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini melalui proses yang
panjang mulai dari bangku kuliah, pencarian data, pengelolaan data, hingga
penyusunan sampai terbentuk sekarang ini. Kami juga menyadari bahwa makalah
ini dapat terselesaikan karena banyak pihak yang turut serta membantu,
membimbing, menyediakan saran prasarana, memberi petunjuk, saran, dan
motivasi. Oleh karena itu kami menyampaikan ucapan rasa terima kasih sedalam-
dalamnya, terutama kepada yang terhormat:
1. Orang tua tercinta dari para penyusun makalah ini yang telah memberikan
motivasi, doa, nasehat, dukungan secara sarana dan prasarana, serta
kesabaran yang luar biasa dalam setiap langkah para penyusun makalah
ini.
2. Ibu Tan Hui Tiang selaku Ketua Dewan Pembina Yayasan Harapan
Bersama yang telah memberikan kesempatan kepada para penyusun untuk
menyelesaikan penyusunan makalah ini.
3. Bapak Drs. Hartono Azas L., MBA sebagai Ketua Pengurus Yayasan
Harapan Bersama yang juga telah memberikan kesempatan pada para
penyusun dan juga motivasi dalam menyelesaikan penyusunan makalah
ini.
4. Bapak Albert Surya Wibowo, B.Ed., MTCSOL sebagai Ketua Sekolah
Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah menyediakan sarana dan
prasarana dalam penyelesaian makalah ini.
5. Ibu Weniyanti, S.Kom., MTCSOL sebagai Ketua Program Studi Bahasa
Mandarin di Sekolah Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah
memberikan arahan dan dukungan moral dalam penyusunan makalah ini.

i
6. Bapak Bohari, S.Pd.,M.Pd sebagai Guru pengampu Pendidikan Anti
Korupsi yang telah membimbing dan memberikan arahan dalam
penyempurnaan penyusunan makalah ini.
7. Teman-teman mahasiswa angkatan tahun 2020 S1 Bahasa Mandarin
Sekolah Tinggi Bahasa Harapan Bersama yang telah senantiasa
memberikan motivasi selama proses penyelesaian makalah ini.
8. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
berkenan memberikan bantuan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, segala kritik dan saran yang membangun akan berguna agar pada
penulisan selanjutnya dapat menghasilkan karya yang lebih baik. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Kubu Raya, 12 Oktober 2022


 

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.................................................................................................2
C. Tujuan Makalah.....................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai Tindakan Korupsi pada
Masa Orde Lama........................................................................................................4
B. Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai Tindakan Korupsi pada
Masa Orde Baru.........................................................................................................7
C. Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai Tindakan Korupsi pada
Masa Reformasi.........................................................................................................8
D. Pandangan Peraturan Perundangan-undangan mengenai Tindakan Korupsi di
Indonesia..................................................................................................................14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan.........................................................................................................16
B. Saran....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tindakan melawan hukum, salah satunya korupsi, akhir-akhir ini
sering terjadi di wilayah sekitar kita. Korupsi dapat dilakukan oleh
siapapun, kapanpun dan di manapun. Tindakan korupsi tersebut tentunya
memiliki hukumnya sendiri, terlebih khusus yaitu korupsi yang merugikan
finansial/keuangan negara secara langsung. Menurut negara, Korupsi
adalah semua yang memiliki keterkaitan terhadap tindakan yang diancam
dengan sanksi sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pengubahan atas Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Faktor penyebab korupsi adalah keserakahan, kesempatan, kebutuhan, dan
pengungkapan. Keserakahan berpotensi dimiliki setiap orang dan
berkaitan dengan individu pelaku korupsi. Korupsi adalah ancaman dan
permasalahan penting yang dialami oleh banyak negara. Karena dampak
dari korupsi tak hanya berpengaruh pada bidang ekonomi saja. Kehidupan
masyarakat pun juga ikut terkena imbas dari kejahatan ini. Kegagalan
proyek, masalah kemiskinan, atau pengangguran adalah beberapa akibat
dari sifat rakus para koruptor.
Pemerintahan Republik Indonesia terus mengalami pergantian,
tetapi upaya memerangi tindakan korupsi di dalamnya tidak akan pernah
berubah arah tujuannya sama sekali, bahkan sampai akhir. Berbagai
landasan dan instrumen peraturan hukum telah dibentuk di dalam negara
Republik Indonesia ini, dengan tujuan untuk memberangus dan
memberantas tindak pidana korupsi. Berbekal undang-undang dan
peraturan pemerintah, tindakan korupsi di dalam negara Indonesia terus
berusaha dicegah dan pelaku tindakan korupsi diberi hukuman yang
setimpal dengan perbuatannya. Indonesia memiliki dasar-dasar hukum
pemberantasan tindak pidana korupsi yang menjadi pedoman dan landasan

1
dalam pencegahan dan penindakan. Salah satunya menjadi dasar
pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang kita kenali
saat ini, untuk menjadi penggawa pemberantasan korupsi di tanah air
Indonesia.
Dasar-dasar hukum yang ada dalam negara Republik Indonesia ini
adalah bukti keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas korupsi.
Dalam perjalanannya, berbagai perubahan undang-undang dilakukan
untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini penindakan kasus korupsi.
Menyadari tidak bisa bekerja sendirian, pemerintah melalui Peraturan
Pemerintah juga mengajak peran serta masyarakat untuk mendeteksi dan
melaporkan tindak pidana korupsi. Pembelajaran tindak pidana korupsi
sangatlah penting bagi masyarakat, maka dari itu alasan dipilihnya judul
makalah ini adalah karena untuk menunjukan partisipasi kami sebagai
penulis dan penyusun makalah dalam memberikan pengetahuan mengenai
korupsi lebih lanjut, dengan cara memaparkan hasil penyusunan informasi
yang lebih tersusun rapi dan lebih mudah dimengerti dengan diberikannya
batasan pembahasan mengenai peraturan perundangan-undangan tindak
korupsi.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka rumusan
masalah yang akan di bahasa dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai
Tindakan Korupsi pada Masa Orde Lama?
2. Bagaimanakah Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai
Tindakan Korupsi pada Masa Orde Baru?
3. Bagaimanakah Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai
Tindakan Korupsi pada Masa Reformasi?
4. Bagaimana Pandangan Peraturan Perundangan-undangan mengenai
Tindakan Korupsi di Indonesia?

2
C. Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Mendeskripsikan penegakan hukum perundangan-undangan mengenai
tindakan korupsi pada masa orde lama.
2. Mendeskripsikan penegakan hukum perundangan-undangan mengenai
tindakan korupsi pada masa orde baru.
3. Mendeskripsikan Penegakan hukum perundangan-undangan mengenai
tindakan korupsi pada masa reformasi.
4. Mendeskripsikan pandangan peraturan perundangan-undangan
mengenai tindakan korupsi di Indonesia.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai Tindakan Korupsi


pada Masa Orde Lama.
Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia adalah merujuk
kepada masa pemerintahan Soekarno yang berlangsung dari tahun 1945
hingga tahun 1966. Era Orde Lama yang berlangsung selama kurang lebih
22 tahun ini, hampir tidak ada terjadinya pembangunan terkecuali
pembuatan sebuah sarana olahraga. Selama era Orde Lama yang
berlangsung 22 tahun ini yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dimana
adanya sistem presidensial yang berlaku hanya delapan tahun, di tahun
1945 hingga tahun 1949 terjadinya peperangan dalam menjaga
kemerdekaan, segala daya serta upaya yang dilakukan bangsa Indonesia
saat itu untuk mempertahankan kemerdekaannya dan berperang melawan
agresi militer negara Belanda yang saat itu ingin menjajah Indonesia lagi.
Di era Orde Lama, kebijakan anti korupsi diluncurkan di akhir
1950-an, dibentuklah Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN)
dengan dasar hukum dikeluarkannya UU Keadaan Bahaya. Keberadaan
Paran segera hilang setelah dianggap bertentangan dengan kewenangan
pemberantasan korupsi ada di tangan Presiden. Paran kemudian
dibubarkan setelah melalui kekicruhan politik.
Pada tahun 1963, Presiden Soekarno menerbitkan Kepres Nomor.
275 Tahun 1963 sebagai landasan pembentukan lembaga Operasi Budhi
yang bertugas menjerat perusahaan dan lembaga negara yang melakukan
aksi korupsi. Awal kinerja Operasi Budhi dipandang menjanjikan karena
berhasil menyelamatkan uang negara sebesar Rp 11 milyar dengan tugas
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama perusahaan-
perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap
rawan praktek Korupsi dan Kolusi. Operasi Budhi dibubarkan ketika akan
menjerat Direktur Pertamina dan diganti dengan lembaga baru yakni

4
Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR) dengan
Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan
Letjen Ahmad Yani. Kontrar tidak memiliki catatan signifikan dalam
pemberantasan korupsi dan dibubarkan ketika Soekarno tidak lagi menjadi
presiden.
Dalam masa orde lama, terdapat 3 perundang-undangan yang
mengatur tentang tindakan korupsi, masing-masing sebagai berikut :
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
KUHP merupakan peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia
KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber
dari hukum koloni Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor
Nederlands-Indië. Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun
1915 nomor 732 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918.
Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan disertai penyelarasan
kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. Hal ini
berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang
menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih
ada langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini". Ketentuan tersebutlah yang kemudian
menjadi dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-
undangan pada masa kolonial pada masa kemerdekaan.
Tindakan korupsi pertama kali dicatat dalam KUHP Buku II
(Kejahatan) Bab XXVIII tentang kejahatan jabatan Pasal 413 - 425.
Meski tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana korupsi
di dalamnya, KUHP telah mengatur banyak perbuatan korupsi,
pengaturan mana kemudian diikuti dan ditiru oleh pembuat undang-
undang pemberantasan korupsi hingga saat ini. Namun demikian
terbuka jalan lapang untuk menerapkan hukum pidana yang sesuai dan
selaras dengan tata hidup masyarakat Indonesia mengingat KUHP
yang kita miliki sudah tua dan sering diberi merek kolonial. Dalam
perjalanannya KUHP telah diubah, ditambah, dan diperbaiki oleh

5
beberapa undang-undang nasional seperti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1946, Undang-Undang Nomor 20 tahun 1946, dan Undang-
Undang Nomor 73 Tahun 1958, termasuk berbagai undang-undang
mengenai pemberantasan korupsi yang mengatur secara lebih khusus
beberapa ketentuan yang ada di KUHP. Delik korupsi yang ada di
dalam KUHP meliputi delik jabatan dan delik yang ada kaitannya
dengan delik jabatan. Sesuai dengan sifat dan kedudukan KUHP, delik
korupsi yang diatur di dalamnya masih merupakan kejahatan biasa
saja.

2. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat 16


April 1958 Nomor PRT/Peperpu/013/1950.
Peraturan yang secara khusus mengatur pemberantasan
korupsi adalah Peraturan Pemberantasan Korupsi Penguasa Perang
Pusat Nomor PRT/Peperpu/013/1950, yang kemudian diikuti dengan
Peraturan Penguasa Militer tanggal 9 April 1957 Nomor
PRT/PM/06/1957, tanggal 27 mei 1957 Nomor PRT/PM/03/1957, dan
tanggal 1 Juli 1957 Nomor PRT/PM/011/1957.
Hal yang penting untuk diketahui dari peraturan-peraturan di
atas adalah adanya usaha untuk pertama kali memakai istilah korupsi
sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi
sebagai “perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan
perekonomian negara”.
Yang menarik dari ketentuan Peraturan Penguasa Perang
Pusat adalah adanya pembagian korupsi ke dalam 2 perbuatan, yakni
korupsi sebagai perbuatan pidana dan korupsi sebagai perbuatan
bukan pidana atau lainnya.

3. Peperpu Nomor 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan


Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (UU Nomor 24/Prp/1960).
Dari permulaan dapat diketahui bahwa Peraturan Penguasa
Perang Pusat tentang Pemberantasan Korupsi itu bersifat darurat,

6
temporer, dan berlandaskan undang-undang keadaan bahaya. Dalam
keadaan normal ia memerlukan penyesuaian. Atas dasar pertimbangan
penyesuaian keadaan itulah lahir kemudian Undang-Undang Nomor
24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang pada mulanya berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
Perubahan utama dari Peraturan Penguasa Perang Pusat ke
dalam undang-undang ini adalah diubahnya istilah perbuatan menjadi
tindak pidana. Namun demikian, undang-undang ini ternyata dianggap
terlalu ringan dan menguntungkan tertuduh mengingat pembuktiannya
lebih sulit. Dalam undang-undang ini juga terjadi penarikan 11 pasal
dalam KUHP, yakni: Pasal 209; 210; 387; 388; 415; 416; 417; 418;
419; 420; 423; 425; dan 435.

B. Penegakan Hukum Perundangan-undangan Mengenai Tindakan Korupsi


pada Masa Orde Baru.
Pada masa orde baru, pengeluaran peraturan yang mengatur
tentang tindakan korupsi lebih banyak dibanding masa orde lama, karena
masa Orde Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak
peraturan yang dibuat itu berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit
berkurang dari bumi Indonesia, perundangan-undangan tersebut sebagai
berikut :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus
1970, pemerintahan Soeharto mengeluarkan UU Nomor 3 Tahun 1971
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aturan ini
menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda
maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah
kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan

7
GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak
kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada
kontrol sama sekali. Organ-organ negara seperti parlemen yang
memiliki fungsi pengawasan dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan
oleh pemerintah sehingga fungsi pengawasan tak ada lagi. Lembaga
yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim Orde Baru, sehingga taka da
kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili kasus-kasus korupsi secara
independen. Kekuatan masyarakat sipil dimandulkan, penguasa Orde
Baru secara perlahan membatasi ruang gerak masyarakat dan
melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
2. GBHN Tahun 1973 tentang Pembinaan Aparatur yang Berwibawa dan
Bersih dalam Pengelolaan Negara.
3. GBHN Tahun 1978 tentang Kebijakan dan Langkah-Langkah dalam
rangka Penertiban Aparatur Negara dari Masalah Korupsi,
Penyalahgunaan Wewenang, Kebocoran dan Pemborosan Kekayaan
dan Kuangan Negara, Pungutan-Pungutan Liar serta Berbagai Bentuk
Penyelewengan Lainnya yang Menghambat Pelaksanaan
Pembangunan.
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana
Korupsi.
5. Keppres Nomor 52 Tahun 1971 tentang Pelaporan Pajak Para Pejabat
dan PNS.
6. Inpres Nomor 9 Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban.
7. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap.

C. Penegakan Hukum Perundang-undangan Mengenai Tindakan Korupsi


pada Masa Reformasi.
Penegakan hukum diartikan sebagai sebuah aplikasi hukum
terhadap suatu kejadian atau peristiwa. Penegakkan hukum dapat pula
diartikan sebagai hal yang menegakan atau mempertahankan hukum oleh
para penegak hukum apabila telah terjadi pelanggaran hukum akan atau
mungkin dilanggar. Penegakan hukum juga merupakan proses

8
dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma
hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau
hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara. Era reformasi sering diidentikkan dengan era demokrasi, ada
kebebasan berbicara, ada kesamaan hak untuk berbicara yang di era
sebelumnya sangat sulit untuk dijumpai. Namun ternyata, di era
demokrasi, hal-hal yang semuanya berbau kebebasan dan kesamaan
memiliki kecenderungan tidak menghargai hak-hak orang lain, sehingga
demokrasi yang ada di lndonesia saat ini seperti demokrasi yang
"kebablasan" yang akhirnya mengarah kepada suatu tindakan yang anarkhi
dan lebih ironisnya lagi, dalam kondisi terakhir ini hukum dalam artian
ketentuan perundang-undangan sudah tidak dihormati demikian pula
institusi-institusi tidak mendapatkan wibawa lagi dalam rangka penegakan
hukum.
Pada era reformasi, konsep perlindungan dan penegakan hukum
dalam pencegahan korupsi di Indonesia adalah tercermin dengan
dibentuknya Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan RI, Hakim,
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK dibentuk pada masa
reformasi, pada tanggal 29 Desember 2003, yang dimana peran KPK
dalam perlindungan dan penegakan hukum adalah melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan terhadap orang atau oknum yang melakukan
tindak pidana korupsi tersebut. Selain itu, KPK melakukan pencegahan
terhadap tindak pidana korupsi.
KPK dibentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan
korupsi dari lembaga hukum yang ada sebelumnya. KPK sebagai stimulus
upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Dibentuknya lembaga
pemerintahan KPK disebabkan karena ditengah rendahnya kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga pemerintah dalam memberantas korupsi,
maka dari itu pada era reformasi dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi atau yang lebih dikenal dengan sebutan KPK yang bertujuan
untuk memberikan kinerja dan hasil yang lebih baik dalam pemberantasan

9
tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia. KPK dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang komisi
pemberantasan tindak pidana korupsi. KPK merupakan suatu lembaga
yang ditugasi memberantas tindakan-tindakan korupsi seperti suap dan
gratifikasi yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang bisa mengakibatkan
kerugian bagi orang lain dan bahkan kerugian bagi negara. Adanya
lembaga negara seperti KPK dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya
guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,
yang dimaksud meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam upaya
pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yaitu karena KPK merupakan
lembaga yang berdiri sendiri dalam melakukan pemberantasan terhadap
tindak pidana korupsi,dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut
bisa lebih fokus untuk memberikan hasil yang terbaik dalam melakukan
tugasnya,sehingga KPK merupakan lembaga yang bisa memberikan hasil
yang baik dalam upaya pelayanan masyarakat.
Dalam masa reformasi, peraturan perundang-undangan yang telah
diterbitkan sebagai berikut :
1. TAP MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Seiring dengan gerakan reformasi yang timbul dari
ketidakpuasan rakyat atas kekuasaan Orde baru selama hampir 32
tahun, keinginan untuk menyusun tatanan kehidupan baru menuju
masyarakat madani berkembang di Indonesia. Keinginan untuk
menyusun tatanan baru yang lebih mengedepankan civil society itu
dimulai dengan disusunnya seperangkat peraturan perundang-
undangan yang dianggap lebih mengedepankan kepentingan rakyat
sebagaimana tuntutan reformasi yang telah melengserkan Soeharto
dari kursi kepresidenan.
Melalui penyelenggaraan Sidang Umum Istimewa MPR,
disusunlah TAP Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara
yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

10
2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Dalam undang-undang ini diatur pengertian kolusi sebagai
tindak pidana, yaitu adalah permufakatan atau kerja sama secara
melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara
penyelenggara negara dan pihak lain, yang merugikan orang lain,
masyarakat dan atau Negara. Sedangkan tindak pidana nepotisme
didefinisikan sebagai adalah setiap perbuatan penyelenggara negara
secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan
keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa dan Negara.

3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan


Tindak Pidana Korupsi.
Harapan masyarakat bahwa undang-undang baru ini akan
lebih tegas dan efektif sangat besar, namun pembuat undang-undang
membuat beberapa kesalahan mendasar yang mengakibatkan perlunya
dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 ini.
Adapun beberapa kelemahan undang-undang ini antara lain:
a. Ditariknya pasal-pasal perbuatan tertentu dari KUHP sebagai
tindak pidana korupsi dengan cara menarik nomor pasal.
Penarikan ini menimbulkan resiko bahwa apabila KUHP diubah
akan mengakibatkan tidak sinkronnya ketentuan KUHP baru
dengan ketentuan tindak pidana korupsi yang berasal dari
KUHP tersebut.
b. Adanya pengaturan mengenai alasan penjatuhan pidana mati
berdasarkan suatu keadaan tertentu yang dianggap berlebihan
dan tidak sesuai dengan semangat penegakan hukum.
c. Tidak terdapatnya aturan peralihan yang secara tegas menjadi
jembatan antara undang-undang lama dengan undang-undang
baru, hal mana menyebabkan kekosongan hukum untuk suatu
periode atau keadaan tertentu.

11
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 merupakan undang-
undang yang lahir semata untuk memperbaiki kelemahan dan
kekurangan undang-undang terdahulu. Sebagaimana telah disebutkan
di atas, beberapa kelemahan tersebut kemudian direvisi di dalam
undang-undang baru.
5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 merupakan
amanat dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
menghendaki dibentuknya suatu komisi pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Sebagai suatu tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra
ordinary crime), pemberantasan korupsi dianggap perlu dilakukan
dengan cara-cara yang juga luar biasa. Cara-cara pemberantasan
korupsi yang luar biasa itu sebetulnya telah tercantum di dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 di antaranya mengenai alat-
alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dasar pembuktian di
pengadilan termasuk adanya beban pembuktian terbalik terbatas atau
berimbang di mana pelaku tindak pidana korupsi juga dibebani
kewajiban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil
tindak pidana korupsi. Namun demikian, pembantukan Komisi
Pemberantasan Korupsi tetap dianggap sebagai penjelmaan upaya luar
biasa dari pemberantasan korupsi, utamanya dengan mengingat bahwa
KPK diberikan kewenangan yang lebih besar dibanding insitutsi
pemberantasan korupsi yang telah ada sebelumnya yaitu Kepolisian
dan Kejaksaan.

12
6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nation Convention Against Corruption (UNCAC) 2003.
Merajalelalanya korupsi ternyata tidak hanya di Indonesia,
tetapi juga hampir di seluruh belahan dunia. Hal ini terbukti dengan
lahirnya United Nation Convention Against Corruption atau UNCAC
sebagai hasil dari Konferensi Merida di Meksiko tahun 2003. Sebagai
wujud keprihatinan dunia atas wabah korupsi, melalui UNCAC
disepakati untuk mengubah tatanan dunia dan mempererat kerjasama
pemberantasan korupsi. Beberapa hal baru yang diatur di dalam
UNCAC antara lain kerjasama hukum timbal balik (mutual legal
assistance), pertukaran narapidana (transfer of sentence person),
korupsi di lingkungan swasta (corruption in public sector),
pengembalian aset hasil kejahatan (asset recovery), dan lain-lain.
Pemerintah Indonesia yang sedang menggalakkan pemberantasan
korupsi merasa perlu berpartisipasi memperkuat UNCAC, oleh karena
melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ratifikasi
dikecualikan (diterapkan secara bersyarat) terhadap ketentuan Pasal
66 ayat (2) tentang Penyelesaian Sengketa. Diajukannya Reservation
(pensyaratan) terhadap Pasal 66 ayat (2) adalah berdasarkan pada
prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan
kepada Mahkamah Internasional kecuali dengan kesepakatan Para
Pihak.

7. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2000 tentang Peran serta


Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PP Nomor 71 Tahun 2000 dibentuk untuk mengatur lebih
jauh tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat sehingga apa yang
diatur di dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut
pada dasarnya memberikan hak kepada masyarakat untuk mencari,
memperoleh, dan memberikan informasi tentang dugaan korupsi serta
menyampaikan saran dan pendapat maupun pengaduan kepada

13
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, advokat, atau kepada KPK). Di
samping itu PP ini juga memberikan semacam penghargaan kepada
anggota masyarakat yang telah berperan serta memberantas tindak
pidana korupsi yaitu dengan cara memberikan penghargaan dan
semacam premi.

8. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan


Pemberantasan Korupsi.
Melalui Inpres ini Presiden merasa perlu memberi instruksi
khusus untuk membantu KPK dalam penyelenggaraan laporan,
pendaftaran, pengumuman, dan pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta
Kekayaan Penyelenggara Negara). Presiden mengeluarkan 12
instruksi khusus dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi.
Adapun instruksi itu secara khusus pula ditujukan kepada menteri-
menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, termasuk para Gubernur dan
Bupati/Walikota, sesuai peran dan tanggung jawab masing-masing.

D. Pandangan Peraturan Perundangan-undangan mengenai Tindakan Korupsi


di Indonesia.
Korupsi berasal dari bahasa latin Coruption atau corruptus,
sedangkan dalam bahasa china 贪污 tanwu artinya keserakahan bernoda.
Dalam bahasa Indonesia korupsi berarti buruk, rusak, busuk, dapat
disogok (memakai kekuasaannnya untuk kepentingan pribadi. Menurut
perspektif hukum, definisi korupsi telah diuraikan dalam Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sebanyak 13 buah pasal dan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Dari pasal-pasal tersebut dirinci lebih lanjut ke
dalam 30 jenis tindak pidana korupsi (Handoyo, 2009: 20). Ketiga puluh
bentuk dan jenis tindak pidana korupsi tersebut dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Kerugian keuangan negara : pasal 2 dan 3.

14
2. Suap dan menyuap : pasal 5 ayat 1 huruf a, pasal 5 ayat 1 huruf b,
pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 1 huruf a, pasal 6 ayat 1 huruf b, pasal 6
ayat 2, pasal 11, pasal 12 huruf a, pasal 12 huruf d dan pasal 13.
3. Penggelapan dalam jabatan : pasal 8, pasal 9,, pasal 10 huruf a, pasal
10 huruf b, dan pasal 10 huruf c.
4. Perbuatan curang : pasal 7 ayat huruf a, pasal 7 ayat 1 huruf b, pasal 7
ayat huruf c, pasal 7 ayat 1 huruf d, pasal 7 ayat 2 dan pasal 12 huruf
h.
5. Benturan-benturan dalam pengadaan : pasal 12 huruf i.
6. Gratifikasi : pasal 12B jo Pasal 12 C (KPK 2006 :4-5).
Upaya yang tegas ditempuh dengan membentuk undang-undang
pemberantasan tindak pidana korupsi, namun dalam suatu produk hukum
yang dilahirkan tentunya memerlukan suatu kajian dan masukkan dari
masyarakat agar dapat mengena ataupun tepat sasaran. Kami mencoba
menguraikan beberapa Kelemahan dari undang-undang yang terakhir
dibentuk yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001. Beberapa hal yang perlu menjadi masukan adalah :
1. Masalah kualifikasi delik.
2. Tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus.
3. Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda
yang tidak dibayar oleh korporasi.
4. Tidak adanya ketentuan khusus yang merumuskan pengertian dari
istilah pemufakatan jahat.
5. Aturan peralihan dalam Pasal 43A Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 yang dinilai berlebihan yang karena secara sistemik sudah ada
Pasal 1 ayat (2) KUHP.
6. Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni
Pasal 2 ayat (1) yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2).
7. Recidive.

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembaharuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang tindakan korupsi terus dilakukan hingga saat ini, dengan tujuan
untuk melangkah semakin dekat dengan kesempurnaan. Semakin
berjalannya waktu, semakin banyak juga hukum yang telah dibuat tentang
tindakan korupsi. Karena hal tersebut dilakukan agar kejahatan tersebut
dapat dijauhkan dari masyarakat Indonesia, dengan mengurangi selah-
selah kecil atau kecacatan dari hukum sebelumnya.

B. Saran
Hukum terus diperbaharui, maka dari itu kita sebagai penerus
bangsa Indonesia perlu setidaknya mempelajari dasar hukum mengenai
pengelolaan tindakan korupsi, bersama-sama dalam memperhatikan letak
titik lemah hukum, dan bersama-sama memperbaikinya. Hal termudah

16
yang dapat kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia adalah dengan
mentaati hukum yang telah dibuat.

DAFTAR PUSTAKA

https://acch.kpk.go.id/id/component/content/%20article?id=144:%20sejarah-
panjang-pemberantasan-korupsi-di-indonesia
https://aclc.kpk.go.id/aksi-informasi/Eksplorasi/20220510-kenali-dasar-hukum-
pemberantasan-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia
https://www.google.com/amp/s/www.gramedia.com/literasi/pengertian-orde-
lama-orde-baru-reformasi/amp/
https:///berita/33739/sejarah-tugas-dan-fungsi-yang-harus-dijalankan-kpk
http://eprints.uad.ac.id/9925/1/353-357%20Mufti%20Khakim.pdf
http://pkbh.uad.ac.id/penegakan-hukum/

17
18

Anda mungkin juga menyukai