Anda di halaman 1dari 32

PENDEKATAN DALAM PENCEGAHAN KORUPSI SERTA

GERAKAN, KERJA SAMA, DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL


PENCEGAHAN KORUPSI
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan Anti Korupsi

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Deden Mulyana, S.E., M.Si.

disusun oleh:
Vitta Oktavina Abdilah 192151041
Nela Novia 192151056
Putri Dwi Anggraeni 192151086
Nur Saidah 192151127
Lola Lutfia 202151084
Zalfa Kamila 202151090
Nadya Annisa Hayat 202151092
Anne Putri Noviana 202151110

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat dan hidayah-
Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendekatan Dalam Pencegahan
Korupsi Serta Gerakan, Kerja Sama, Dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi.
Penulis menyadari bahwa selama penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat
bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua yang senantiasa memberikan doa dan motivasi kepada penulis selama
penyusunan makalah ini;
2. Prof. Dr. H. Deden Mulyana, S.E., M.Si. selaku dosen mata kuliah Pendidikan Anti
Korupsi;
3. Kerabat-kerabat dekat dan rekan-rekan seperjuangan Universitas Siliwangi yang
senantiasa memberikan dorongan dan motivasi selama penyusunan makalah ini;
4. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah SWT, memberikan balasan atas kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
Penulis menyadari, bahwa makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih
memiliki banyak kekurangan, baik dalam hal sistematika penulisan, maupun isi. Oleh sebab
itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca. Aamiin.

Tim Penulis,

Tasikmalaya , 27 Februari 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
1.2.Rumusan Masalah.................................................................................... 3
1.3.Tujuan Makalah....................................................................................... 3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................. 4
2. 1. Pendekatan dalam Pencegahan Korupsi ............................................... 4
2. 2. Gerakan, Kerja Sama, dan Instrumen Internasioanal Pencegahan
Korupsi ........................................................................................................... 9
BAB III ANALISIS KOMPARASI ..................................................................... 22
3.1. Strategi Pencegahan Korupsi di Provinsi Kepulauan Riau ................. 22
3.2. Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut
Instrumen Hukum Internasional ................................................................ 25
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .............................................. 28
4.1. Kesimpulan ............................................................................................ 28
4.1. Rekomendasi ......................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 29

ii
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi berarti busuk; palsu; suap.
Korupsi merupakan tindakan yang dapat menyebabkan sebuah negara menjadi
bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti hancurnya perekonomian, rusaknya
sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Berdasarkan
pemahaman yang lebih mendalam, makna korupsi dapat menjadi lebih komplek.
Seperti berbohong, menyontek di sekolah, mark up, memberi hadiah sebagai pelicin
dan lain sebagainya. Tindakan korupsi merupakan sekumpulan kegiatan yang
menyimpang dan dapat merugikan orang lain. Di Indonesia kasus korupsi masih
banyak dijumpai. Dari lembaga pendidikan sampai lembaga keagamaan sekalipun. Di
lingkungan sekolah dapat ditemukan praktek-praktek korupsi, mulai dari yang paling
sederhana seperti mencontek, berbohong, melanggar aturan sekolah, terlambat datang
sampai pada penggelapan uang sekolah, penyelewengan uang pembangunan sekolah
yang bernilai puluhan juta rupiah.

Masyarakat harus sadar bahwa uang yang dikorupsi oleh para koruptor
merupakan uang rakyat. Uang rakyat tersebut seharusnya mampu meningkatkan
kesejahteraan rakyat, membiayai pendidikan, kesehatan, membuka lapangan pekerjaan
dan pembangunan infrastruktur seperti jalan, jembatan, listrik, air dan lain-lain.
Masyarakat harus mengetahui besarnya akibat yang ditimbulkan dari perbuatan korupsi
tersebut, seperti pendidikan menjadi mahal, pelayanan kesehatan menjadi mahal,
transportasi menjadi tidak aman, rusaknya infrastruktur dan yang paling berbahaya
adalah meningkatnya angka pengangguran sehingga berkorelasi kepada angka
kriminalitas.
Korupsi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi pula di berbagai negara
dan masyarakat di belahan bumi ini. Gerakan (movement) dan kerjasama (cooperation)
pemberantasan korupsi pun tidak hanya dilakukan di Indonesia, tetapi juga oleh
masyarakat internasional. Tidak hanya negara lewat aparat hukumnya yang bergerak
memberantas korupsi, beberapa Non-Governmental Organizations (NGOs)
Internasional maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nasional sangat aktif
melakukan gerakan dan kerjasama untuk memberantas korupsi. Tanpa melibatkan
masyarakat sipil, upaya untuk memberantas korupsi tidak dapat dilakukan dengan baik.

Selain itu, masyarakat internasional, melalui lembaga seperti PBB, World Bank,
OECD, atau Masyarakat Uni Eropa misalnya secara aktif membuat instrumen
instrumen kebijakan untuk mencegah dan memberantas korupsi. Salah satu dokumen
penting yang dihasilkan dan merupakan kesepakatan masyarakat internasional untuk
mencegah korupsi adalah United Nation Convention Against Corruption (UNCAC)
yang telah ditandatangani oleh 140 negara di dunia, termasuk Indonesia.

1
2

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 29 Desember tahun


2002 merupakan sebuah kemauan yang baik dari pemerintahan saat itu. KPK menjadi
harapan baru bagi indonesia untuk mengobati penyakit bangsa yang sudah kronis.
Namun, banyak pihak yang menyangsikan KPK akan mampu memberantas korupsi.
Pada awal pendiriannya, banyak pihak yang meragukan sepak terjang KPK. Hal ini
cukup beralasan, karena KPK sebagai sebuah lembaga independen beranggotakan
orang-orang yang ditunjuk oleh Presiden dan disetujui oleh DPR. Beberapa kalangan
yang beranggapan bahwa KPK akan tebang pilih dalam menjalankan tugasnya sebagai
pengadil para koruptor. Terlepas dari itu, KPK tetap menjadi tumpuan harapan bagi
bangsa ini untuk membongkar kasus korupsi dan memenjarakan para koruptor yang
terlibat.

Walau belum pada tataran ideal, saat ini KPK sudah menunjukan prestasi dalam
usaha pemberantasan korupsi bangsa ini. KPK membuat gebrakan dengan menjadikan
beberapa kepala daerah sebagai tersangka, begitu juga anggota DPR, Menteri, Dirjen
dan berbagai pejabat negara lainnya yang dijadikan tersangka dalam kasus korupsi.
Walaupun inti dari pemberantasan korupsi sebenarnya bukan siapa yang telah diproses
secara hukum, melainkan kesungguhan hati untuk terus berupaya menciptakan
semangat anti korupsi di setiap elemen kehidupan.

Jika tugas memberantas korupsi dibebankan kepada KPK saja tentu sangat
berat, maka diperlukan suatu sistem yang mampu menyadarkan semua elemen bangsa
untuk sama-sama bergerak mengikis budaya korupsi yang telah merajalela. Cara yang
paling efektif adalah melalui pendidikan.

Untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan yang bersih, diperlukan sebuah


sistem pendidikan anti korupsi yang berisi tentang sosialisasi bentuk-bentuk korupsi,
cara pencegahan dan pelaporan serta pengawasan terhadap tindak pidana korupsi.
Pendidikan seperti ini harus ditanamkan secara integratif (terpadu) mulai dari
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi.

Pendidikan anti korupsi bertujuan antara lain. Pertama untuk menanamkan


semangat anti korupsi pada setiap anak bangsa. Kedua, untuk menyadarkan bahwa
pemberantasan korupsi bukan hanya tanggung jawab lembaga penegak hukum seperti
KPK, Kepolisian dan Kejaksaan agung, melainkan menjadi tanggung jawab setiap anak
bangsa. Ketiga untuk mencapai kemakmuran bersama,maksudnya bila dana-dana
korupsi bisa diselamatkan, maka kucuran dana untuk kesejahteraan masyarakat bisa
ditingkatkan.

Sebagai agent of change', mahasiswa juga dapat ikut berjuang dan terlibat.
secara aktif dalam gerakan dan kerjasama pemberantasan korupsi. Gerakan ini dapat
dilakukan dari lingkup yang terkecil yakni dalam keluarga di kampus, di kampung
bahkan dalam skala yang lebih besar seperti di kota/kabupaten atau provinsi di daerah
dimana mereka bertempat tinggal.
3

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengemukakan rumusan masalah
yang akan dibahas, di antaranya sebagai berikut.
1. Bagaimana pendekatan dalam pencegahan korupsi?
2. Bagaimana gerakan internasional pencegahan korupsi?
3. Bagaimana gerakan lembaga swadaya internasional?
4. Bagaimana intrumen internasional pencegahan korupsi?
5. Bagaimana pencegahan korupsi belajar dari negara lain?
6. Apa arti penting ratifikasi konvensi antikorupsi bagi indonesia?

1.3. Tujuan Makalah


Tujuan penyusunan makalah di atas adalah untuk mengetahui pendekatan dalam
pencegahan korupsi, gerakan internasional pencegahan korupsi, gerakan lembaga
swadaya internasional, instrumen internasional pencegahan korupsi, pencegahan
korupsi belajar dari negara lain, dan arti penting ratifikasi konvensi antikorupsi bagi
Indonesia.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pendekatan Dalam Pencegahan Korupsi


Ahmad Zuber (2018) mengatakan bahwa korupsi merupakan tindakan yang dapat
menyebabkan sebuah negara menjadi bangkrut dengan efek yang luar biasa seperti
hancurnya perekonomian, rusaknya sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan yang
tidak memadai. Korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). Korupsi
juga merupakan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity). Oleh karena
kejahatan yang luar biasa, maka pemberantasannya pun harus luar biasa. Menurut
Wijayanto (2010) menuturkan bahwa gerakan melawan korupsi dijalankan di berbagai
belahan dunia dapat teridentifikasi menjadi 4 (empat) pendekatan, yakni:
1. Pendekatan pengacara (lawyer approach)
Fokus dalam pendekatan ini adalah dengan memberantas dan mencegah korupsi
melalui penegakan hukum, dengan aturan-aturan hukum yang berpotensi
menutup celah-celah tindak koruptif serta aparat hukum yang betanggungjawab.
Imbas dari pendekatan ini adalah cepat (quick impact) berupa pembongkaran
kasus dan penangkapan para koruptor. Pendekatan ini dipandang efektif untuk
pemberantasan praktik korupsi dalam waktu yang cepat. Namun, pendekatan ini
membutuhkan biaya yang tinggi.
2. Pendekatan bisnis (business approach)
Pendekatan ini menitikberatkan pada pencegahan korupsi melalui pemberian
insentif bagi pegawai/karyawan melalui kompetisi dalam kinerja. Kompetisi yang
sehat dan insentif yang optimal maka diharapkan tidak ada lagi
pegawai/karyawan yang melakukan korupsi untuk meningkatkan
penghasilannya.
3. Pendekatan pasar atau ekonomi (market or economist approach)
Dalam pendekatan ini, yang dilakukan adalah menciptakan kompetisi antar
pegawai/karyawan dan sesama klien sehingga semua pihak berlomba
menunjukkan kinerja yang baik, tidak korup, agar dipilih pelayanannya.
4. Pendekatan budaya (cultural approach)
Pendekatan budaya berfokus pada bagaimana membangun dan memperkuat sikap
anti korupsi masing-masing individu melalui pendidikan dalam berbagai cara
atau bentuk. Meski ada kecenderungan membutuhkan waktu yang lama untuk
melihat keberhasilan programnya, namun pendekatan ini dipandang efektif untuk
membangun pola piker dan pemahaman terhadap korupsi kepada generasi
penerus bangsa. Pendekatan ini membutuhkan biaya yang murah dalam
pelaksanaannya. Pendekatan inilah yang pada akhirnya memberikan inisiatif
untuk pengembangan pendidikan anti korupsi.

4
5

Lain lagi dengan Klitgaard (1998), strategi pemberantasan korupsi dapat ditempuh
dengan beberapa cara, yakni:
1. Punish some major offenders
Strategi ini dengan cara menghukum para pelaku korupsi. Ketika ada indikasi
bahwa ada pejabat yang melakukan penyelewengan, maka hukum harus
ditegakkan. Pelaku harus dihukum dengan tegas untuk menghindari penularan
budaya korup di lingkungannya.
2. Involve the people in diagnosing corrupt systems
Strategi ini melibatkan banyak pihak agar mampu untuk mendiagnosis sistem
yang korup. Pihak-pihak yang dipilih ini nantinya bertugas mencari fakta dan
penyebab bagaimana terjadinya sistem yang tidak sesuai dengan prosedur.
Dengan cara melibatkan badan pengawas, organisasi, lembaga swadaya
masyarakat, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Dengan cara ini, sistem yang
terindikasi korup dapat segera diketahui dan dicarikan jalan untuk
memperbaikinya.
3. Focus on prevention by repairing corrupt systems
Strategi ini memfokuskan pada pencegahan dengan memperbaiki sistem yang
korup. Persamaan sederhana untuk menjelaskan pengertian korupsi adalah
sebagai berikut:
C=M+D–A
Keterangan:
C = Corruption/korupsi
M = Monopoly/monopoli
D = Discretion/diskresi/keleluasaan
A = Accountability/akuntabilitas
Persamaan di atas menjelaskan bahwa korupsi hanya bisa terjadi apabila
seseorang atau pihak tertentu mempunyai hak monopoli atas urusan tertentu serta
ditunjang oleh diskresi atau keleluasaan dalam menggunakan kekuasaannya,
sehingga cenderung menyalahgunakannya, namun lemah dalam hal
pertanggungjawaban kepada publik (akuntabilitas).
4. Reform incentives
Strategi ini dilakukan dengan cara meningkatkan penghasilan para pegawai.
Alasan yang sering digunakan ketika terjadinya praktik korupsi adalah rendahnya
penghargaan yang diterima oleh pegawai. Dengan ditingkatkan penghasilan,
diharapkan para pegawai dapat berkonsentrasi dalam pekerjaannya.

Menurut Dokumen Strategi Nasional Pencegahan dan Peberantasan Korupsi


(2012) disebutkan bahwa strategi dalam pemberantasan korupsi di Indonesia ditempuh
melalui 6 (enam) cara, yakni:
1. Pencegahan
Melalui strategi pencegahan, diharapkan muncul langkah berkesinambungan
yang berkontribusi bagi perbaikan ke depan. Strategi ini merupakan jawaban atas
pendekatan yang lebih terfokus pada pendekatanrepresif. Paradigma dengan
pendekatan represif yang berkembang karena diyakini dapat memberikan efek
6

jera terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Sayangnya, pendekatan represif ini
masih belum mampu mengurangi perilaku dan praktik koruptif secara sistematis-
masif. Keberhasilan strategi pencegahan diukur berdasarkan peningkatan nilai
Indeks Pencegahan Korupsi, yang hitungannya diperoleh dari dua sub indikator
yaitu Control of Corruption Index dan peringkat kemudahan berusaha (ease of
doing business) yang dikeluarkan oleh World Bank. Semakin tinggi angka indeks
yang diperoleh, maka diyakini strategi pencegahan korupsi berjalan semakin baik.
2. Penegakan hukum
Penegakan hukum yang inkonsisten terhadap hukum positif dan prosesnya tidak
transparan, pada akhirnya, berpengaruh pada tingkat kepercayaan (trust)
masyarakat terhadap hukum dan aparaturnya. Dalam tingkat kepercayaan yang
lemah, masyarakat tergiring ke arah opini bahwa hukum tidak lagi dipercayai
sebagai wadah penyelesaian konflik. Masyarakat cenderung menyelesaikan
konflik dan permasalahan mereka melalui caranya sendiri yang, celakanya, acap
kali berseberangan dengan hukum. Belum lagi jika ada pihak-pihak lain yang
memanfaatkan inkonsistensi penegakan hukum demi kepentingannya sendiri,
keadaaan bisa makin runyam.
3. Harmonisasi peraturan perundang-undangan
Meratifikasi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption),
disinyalir merupakan bukti konsistensi dari komitmen Pemerintah Indonesia
untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Sebagai konsekuensinya,
klausulklausul di dalam UNCAC harus dapat diterapkan dan mengikat sebagai
ketentuan hukum di Indonesia. Beberapa klausul ada yang merupakan hal baru,
sehingga perlu diatur/diakomodasi lebih-lanjut dalam regulasi terkait
pemberantasan korupsi selain juga merevisi ketentuan di dalam regulasi yang
masih tumpang-tindih menjadi prioritas dalam strategi ini. Tingkat keberhasilan
strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian regulasi anti korupsi
Indonesia dengan klausul UNCAC.
Dalam analisa yang dilakukan oleh Masyarakat Transparansi Indonesia, terdapat
beberapa substansi istilah yang memerlukan klarifikasi dalam perundangan
Indonesia, untuk menyesuaikan dengan klausul yang berlaku dalam UNCAC.
Beberapa contoh kesenjangan istilah dapat dilihat dalam tabel berikut:
No. Istilah Hukum positif Indonesia UNCAC

1 Pejabat Dikenal istilah: Dalam UNCAC yang


publik termasuk dengan pejabat
1. PNS
public adalah:
2. Pejabat negara
3. Penyelenggara negara 1. Eksekutif, legislatif,
4. Pejabat administratif administratif, dan yudisial
pemerintahan 2. Setiap orang yang
5. Pejabat tata usaha melaksanakan fungsi
negara public
7

3. Setiap orang yang


ditetapkan sebagai pejabat
publik
2 Kekayaan Unsur harta kekayaan Ada unsur Kekayaan yang
(UU No. 23/2003 nyata atau tidak nyata serta
perubahan atas pasal 1 termasuk dokumen dan
UU No 15 tahun 2002): instrument yang mendukung
kekayaan tersebut.
1. Benda bergerak atau
tidak bergerak.
2. Berwujud atau tidak
berwujud.

Fadli Alfarisi (2019) pada artikelnya menuliskan mengenai pembaharuan strategi


pemberantasan korupsi pada periode kedua Presiden Joko Widodo adalah
menitikberatkan pada aspek pencegahan, terutama dalam memberikan jaminan
keamanan dalam kelancaran berusaha dan berinvestasi. Beberapa langkah dan upaya
dapat dikembangkan melalui berbagai cara sebagai berikut:
1. Optimalisasi pengawalan dan pengamanan pemerintahan dan pembangunan
proyek strategis nasional melalui Direktorat Pengamanan Pembangunan Strategis
pada Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Kejaksaan RI. Adapun ruang lingkup
dari Bidang Pengamanan Pembangunan Strategis antara lain meliputi sektor
infrastruktur jalan, perhubungan, telekomunikasi, Migas, kawasan industri
prioritas atau kawasan ekonomi khusus, dan sektor lainnya guna mendukung
keberhasilan jalannya pemerintahan dan pembangunan proyek yang bersifat
strategis baik nasional maupun daerah. Oleh karenanya, Kejaksaan RI yang
memiliki satuan kerja yang terdiri dari 32 Kejaksaan Tinggi, 429 Kejaksaan
Negeri, dan 63 Cabang Kejaksaan Negeri, yang tersebar di seluruh Indonesia,
mulai dari tingkat provinsi, kota sampai dengan kabupaten dan pelosok daerah
dapat memanfaatkan besarnya jumlah SDM dan jejaring yang ada di daerah untuk
mengoptimalkan pengawalan dan pengamanan pemerintahan dan pembangunan
proyek strategis nasional.
2. Melakukan program penegakan hukum yang mendukung investasi. Dalam
Sidang Kabinet Paripurna Perdana Kabinet Indonesia Maju tanggal 24 Oktober
2019, Presiden menyatakan tujuan besar terbentuknya Kabinet Indonesia maju
adalah untuk menciptakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat
Indonesia, di tengah perlambatan pertumbuhan ekonomi global. Kejaksaan
sebagai salah satu aparat penegak hukum dan bagian dari Fokopimda, telah
menindaklanjuti arahan Presiden tersebut melalui Surat Edaran Nomor: B-
151/A/SUJA/10/2019 tanggal 30 Oktober 2019 Perihal Petunjuk dalam Rangka
Optimalisasi Pelaksanaan Tugas, Fungsi dan Kewenangan Kejaksaan RI, telah
memberikan petunjuk untuk melakukan penegakan hukum yang mendukung
investasi, salah satunya dengan memerintahkan para Kajati untuk dapat
memonitor Perda-Perda yang ditengarai dapat menghambat investasi tersebut. Di
8

samping itu ke depan dapat juga dilakukan secara serentak kerjasama antara
Kejaksaan dengan Pemerintah Daerah dalam membuat/merancang Raperda
Pencegahan Korupsi/ Wilayah AntiKorupsi di seluruh Daerah, yang berkaitan
dengan kemudahan pelayanan dan syarat-syarat perizinan investasi.
3. Pemulihan dan penyelamatan aset pemerintah daerah/BUMN/BUMD. Salah satu
success story Kejaksaan yang dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Jawa Timur,
Kejari Surabaya dan Kejari Tanjung Perak) dalam melakukan pengamanan dan
penyelamatan aset pemerintah daerah di Jawa Timur senilai Rp.5 triliun dan 370
miliar yang meliputi Aset Yayasan Kas Pembangunan (YKP) dan beberapa asset
tanah di enam lokasi dengan total luasan 140.507 m2. Selain Kejaksaan Tinggi
Jawa Timur, Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah juga berhasil melakukan
penyelamatan aset atas lahan PRPP dari PT. Indo Perkasa Usahatama seluas lebih
dari 248 hektare, dan senilai 24 triliun. Keberhasilan ini selain patut diapresiasi
juga dapat membantu Program Cipta Lapangan Kerja yang berhubungan dengan
tindak lanjut pembangunan atau investasi yang masuk ke daerah dan memerlukan
aset berupa lahan. Adanya Program Pemulihan dan penyelamatan aset pemerintah
daerah/BUMN/BUMD, maka diharapkan ke depan asset-aset pemerintah daerah
dan pusat akan tertata dan terdata dengan baik, sehingga tidak terbengkalai
ataupun dikuasai oleh pihak-pihak yang tidak beritikad baik. Oleh karenanya ke
depan, dalam hal terdapatnya investasi yang melibatkan pengelolaan aset negara,
maka data kepemilikan menjadi jelas dan terdapat kepastian hukum, sehingga
menghindari penyalahgunaan dari oknum-oknum tertentu, yang dapat merugikan
investor dan pemerintah selaku pemilik asset.
4. Pengembangan paradigma Corruption Impact Assesment (CIA). Pertanyaan
paling mendasar yang acapkali muncul adalah mengapa praktik korupsi seakan
tidak pernah hilang meskipun penindakan gencar dilakukan. Misalnya dalam
penegakan hukum melalui OTT yang dilakukan oleh KPK dalam beberapa kasus
suap pengurusan kuota impor bahan pangan. Akan tetapi praktik suap terus
berulang, baik yang melibatkan pihak swasta maupun anggota legislatif. Oleh
karenanya, ke depan perlu diterapkan strategi baru salah satunya melalui CIA.
Salah satu negara yang telah menerapkan CIA adalah lembaga Anti Corruption
and Civil Rights Commisions(ACRC) Republic of Korea. ACRC menganalisis
faktor penyebab korupsi dan meningkatkan kualitas suatu undang-undang serta
tata kelola pemerintahan yang baik, sehingga dapat terhindar dari pengulangan
terjadinya tindak pidana korupsi.

 Kerjasama internasional dan penyelamatan asset hasil tindak pidana korupsi


Berkenaan dengan upaya pengembalian aset hasil tipikor, baik di dalam maupun
luar negeri, perlu diwujudkan suatu mekanisme pencegahan dan pengembalian
asset secara langsung sebagaimana ketentuan UNCAC. Peraturan perundang-
undangan Indonesia belum mengatur pelaksanaan dari putusan penyitaan
(perampasan) dari negara lain, lebih-lebih terhadap perampasan aset yang
dilakukan tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation
without a criminal conviction)
9

 Pendidikan dan budaya antikorupsi


Praktik-praktik korupsi yang kian masif memerlukan itikadkolaboratif dari
pemerintah beserta segenap pemangku kepentingan. Wujudnya dapat berupa
upaya menanamkan nilai budaya integritas yang dilaksanakan secara kolektif dan
sistematis, baik melalui aktivitas pendidikan anti korupsi dan internalisasi budaya
anti korupsi di lingkungan public maupun swasta. Dengan kesamaan cara
pandang pada setiap individu di seluruh Indonesia bahwa korupsi itu jahat, dan
pada akhirnya para individu tersebut berperilaku aktif mendorong terwujudnya
tata-kepemerintahan yang bersih dari korupsi diharapkan menumbuhkan
prakarsa-prakarsa positif bagi upaya PPK pada khususnya, serta perbaikan tata-
kepemerintahan pada umumnya.
 Mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi (PPK)
Strategi yang mengedepankan penguatan mekanisme di internal
Kementerian/Lembaga, swasta, dan masyarakat, tentu akan memperlancar aliran
data/informasi terkait progress pelaksanaan ketentuan UNCAC. Konsolidasi dan
publikasi informasi di berbagai media, baik elektronik maupun cetak, akan
mempermudah pengaksesan dan pemanfaatannya dalam penyusunan kebijakan
dan pengukuran kinerja PPK

2.2. Gerakan, Kerja Sama, Dan Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi


A. Gerakan Internasional
1. Persyerikatan Bangsa Bangsa (United Nations)
Setiap 5 (lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa
(United Nations) menyelenggarakan Kongres tentang Pencegahan Kejahatan
dan Perlakuan terhadap Penjahat atau sering disebut United Nation Congress on
Prevention on Crime and Treatment of Offenders. Pada kesempatan pertama,
Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955. Sampai saat ini kongres PBB
ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakan di Salvador pada
bulan April 2010. Dalam Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna
(Austria) pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi menjadi topik pembahasan
yang utama. Dalam introduksi di bawah tema International Cooperation in
Combating Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century
dinyatakan bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan.
Untuk itu the United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute
(UNICRI) telah dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai macam workshop
dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan dalam rangka penyelenggaraan
Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna tersebut.
Dalam resolusi 54/128 of 17 December 1999, di bawah judul “Action
against Corruption”, Majelis Umum PBB menegaskan perlunya pengembangan
strategi global melawan korupsi dan mengundang negara-negara anggota PBB
untuk melakukan review terhadap seluruh kebijakan serta peraturan perundang-
undangan domestik masing-masing negara untuk mencegah dan melakukan
kontrol terhadap korupsi.
10

Pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi


disiplin (multidisciplinary approach) dengan memberikan penekanan pada
aspek dan dampak buruk dari korupsi dalam berbagai level atau tingkat.
Pemberantasan juga dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan pencegahan
korupsi baik tingkat nasional maupun internasional, mengembangkan cara atau
praktek pencegahan serta memberikan contoh pencegahan korupsi yang efektif
di berbagai negara. Beragam rekomendasi baik untuk pemerintah, aparat
penegak hukum, parlemen (DPR), sektor privat dan masyarakat sipil (civil-
society) juga dikembangkan.
Perhatian perlu diberikan pada cara-cara yang efektif untuk
meningkatkan resiko korupsi atau meningkatkan kemudahan menangkap
seseorang yang melakukan korupsi. Semua itu harus disertai dengan :
a. Kemauan politik yang kuat dari pemerintah (strong political will);
b. adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif dan
peradilan;
c. pemberdayaaan masyarakat sipil; serta
d. adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses
informasi pada publik.
Dinyatakan dalam Kongres PBB ke-10 bahwa perhatian perlu
ditekankan pada apa yang dinamakan Top-Level Corruption. Berikut dapat
dilihat pernyataan tersebut:
Top-level corruption is often controlled by hidden networks and
represents the sum of various levels and types of irregular behavior, including
abuse of power, conflict of interest, extortion, nepotism, tribalism, fraud and
corruption. It is the most dangerous type of corruption and the one that causes
the most serious damage to the country or countries involved. In developing
countries, such corruption may undermine economic development through a
number of related factors: the misuse or waste of international aid; unfinished
development projects; discovery and replacement of corrupt politicians,
leading to political instability; and living standards remaining below the
country’s potential (Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders, Vienna, 10-17 April 2000).

Melihat pernyataan di atas, masyarakat internasional menganggap


bahwa top-level corruption adalah jenis atau tipe korupsi yang paling
berbahaya. Kerusakan yang sangat besar dalam suatu negara dapat terjadi
karena jenis korupsi ini. Ia tersembunyi dalam suatu network atau jejaring yang
tidak terlihat secara kasat mata yang meliputi penyalahgunaan kekuasaan,
konflik kepentingan, pemerasan, nepotisme, tribalisme, penipuan dan korupsi.
Tipe korupsi yang demikian sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi
suatu negara, terutama negara berkembang. Dalam realita, di beberapa negara
berkembang, bantuanbantuan yang diperoleh dari donor internasional
berpotensi untuk dikorupsi misalnya tidak selesainya atau tidak sesuainya
11

proyek yang dilakukan dengan dana dari donor internasional. Akibat korupsi,
standar hidup masyarakat di negara-negara berkembang juga sangat rendah.

2. Bank Dunia
Setelah tahun 1997, tingkat korupsi menjadi salah satu pertimbangan
atau prakondisi dari bank dunia (baik World Bank maupun IMF) memberikan
pinjaman untuk negara-negara berkembang. Untuk keperluan ini, World Bank
Institute mengembangkan Anti-Corruption Core Program yang bertujuan untuk
menanamkan awareness mengenai korupsi dan pelibatan masyarakat sipil untuk
pemberantasan korupsi, termasuk menyediakan sarana bagi negara-negara
berkembang untuk mengembangkan rencana aksi nasional untuk memberantas
korupsi. Program yang dikembangkan oleh Bank Dunia didasarkan pada premis
bahwa untuk memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun tanggung
jawab bersama berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga yang
harus dilibatkan diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum, lembaga
pelayanan umum, watchdog institution seperti public-auditor dan lembaga atau
komisi pemberantasan korupsi, masyarakat sipil, media dan lembaga
internasional (Haarhuis : 2005).
Oleh Bank Dunia, pendekatan untuk melaksanakan program anti
korupsi dibedakan menjadi 2 (dua) yakni (Haarhuis : 2005), pendekatan dari
bawah (bottom-up) dan pendekatan dari atas (top-down).
Pendekatan dari bawah berangkat dari 5 (lima) asumsi yakni
a) semakin luas pemahaman atau pandangan mengenai permasalahan yang
ada, semakin mudah untuk meningkatkan awareness untuk
memberantas korupis;
b) network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh World Bank akan lebih
membantu pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk itu
perlu dikembangkan rasa saling percaya serta memberdayakan modal
sosial (social capital) dari masyarakat;
c) perlu penyediaan data mengenai efesiensi dan efektifitas pelayanan
pemerintah melalui corruption diagnostics. Dengan penyediaan data dan
pengetahuan yang luas mengenai problem korupsi, reformasi
administratif-politis dapat disusun secara lebih baik. Penyediaan data ini
juga dapat membantu masyarakat mengerti bahaya serta akibat buruk
dari korupsi;
d) pelatihan-pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox yang
disediakan oleh World Bank dapat membantu mempercepat
pemberantasan korupsi. Bahan-bahan yang ada dalam toolbox harus
dipilih sendiri oleh negara di mana diadakan pelatihan, karena harus
menyesuaikan dengan kondisi masingmasing negara; dan
e) rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri oleh
negara peserta, diharapkan akan memiliki trickle-down effect dalam arti
masyarakat mengetahui pentingnya pemberantasan korupsi.
12

Untuk pendekatan dari atas atau top-down dilakukan dengan


melaksanakan reformasi di segala bidang baik hukum, politik, ekonomi maupun
administrasi pemeritahan. Corruption is a symptom of a weak state and weak
institution (Haarhuis : 2005), sehingga harus ditangani dengan cara melakukan
reformasi di segala bidang. Pendidikan Anti Korupsi adalah salah satu strategi
atau pendekatan bottom-up yang dikembangkan oleh World Bank untuk
meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi.
3. OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development)
Setelah ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi
Perserikatan BangsaBangsa (PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD,
didukung oleh PBB mengambil langkah baru untuk memerangi korupsi di
tingkat internasional. Sebuah badan pekerja atau working group on Bribery in
International Business Transaction didirikan pada tahun 1989.
Pada tahun 1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in
International Business Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya instrumen
ini adalah untuk mencegah dan memberantas tindak pidana suap dalam
transaksi bisnis internasional. Konvensi ini menghimbau negara-negara untuk
mengembangkan aturan hukum, termasuk hukuman (pidana) bagi para pelaku
serta kerjasama internasional untuk mencegah tindak pidana suap dalam bidang
ini. Salah satu kelemahan dari konvensi ini adalah hanya mengatur apa yang
disebut dengan ’active bribery’, ia tidak mengatur pihak yang pasif atau ’pihak
penerima’ dalam tindak pidana suap. Padahal dalam banyak kesempatan, justru
mereka inilah yang aktif berperan dan memaksa para penyuap untuk
memberikan sesuatu.
4. Masyarakat Uni Eropa
Di negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara
internasional dimulai pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of
Europe Program against Corruption menerima kesepakatan politik untuk
memberantas korupsi dengan menjadikan isu ini sebagai agenda prioritas.
Pemberantasan ini dilakukan dengan pendekatan serta pengertian bahwa:
karena korupsi mempunyai banyak wajah dan merupakan masalah yang
kompleks dan rumit, maka pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan
pendekatan multidisiplin; monitoring yang efektif, dilakukan dengan
kesungguhan dan komprehensif serta diperlukan adanya fleksibilitas dalam
penerapan hukum (de Vel and Csonka : 2002).
Pada tahun 1997, komisi menteri-menteri negara-negara Eropa
mengadopsi 20 Guiding Principles untuk memberantas korupsi, dengan
mengidentifikasi area-area yang rawan korupsi dan meningkatkan cara-cara
efektif dan strategi pemberantasannya. Pada tahun 1998 dibentuk GRECO atau
the Group of States against Corruption yang bertujuan untuk meningkatkan
kapasitas negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya negaranegara Uni
Eropa mengadopsi the Criminal Law Convention on Corruption, the Civil Law
Convention on Corruption dan Model Code of Conduct for Public Officials.
13

5. Inter-American Convention Against Corruption, yang diadopsi oleh the


Organization of American Statespada tanggal 29 March 1996
6. The african Union Convention on Preventing and Combating Corruption, yang
diadopsi oleh the Heads of State and Goverment of the African Union pada 12
juli 2003

B. GERAKAN LEMBAGA SWADAYA INTERNASIONAL (INTERNATIONAL


NGOs)
1. Transpararency Internasional
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional
non-pemerintah yang memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian
mengenai korupsi yang dilakukan oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat
internasional. Setiap tahunnya TI menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi serta
daftar perbandingan korupsi di negara-negara di seluruh dunia. Pada tahun
1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception
Index). CPI membuat peringkat tentang prevalensi korupsi di berbagai negara,
berdasarkan survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis dan opini masyarakat
yang diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200 negara di dunia. CPI
disusun dengan memberi nilai atau score pada negara-negara mengenai tingkat
korupsi dengan range nilai antara 1-10.
Berikut Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) di
Indonesia yang dikeluarkan oleh Transparency International.

POSISI INDONESIA DALAM INDEKS PERSEPSI KORUPSI TI

Tahun Score CPI Nomor/Peringkat Jumlah Negara yang disurvey

2002 1.9 96 102

2003 1.9 122 133

2004 2.0 133 145

2005 2.2 137 158

2006 2.4 130 163

2007 2.3 143 179

2008 2.6 126 166

Dalam survey ini, setiap tahun umumnya Indonesia menempati


peringkat sangat buruk dan buruk. Namun setelah tahun 2009, nilai rapor ini
membaik sedikit demi sedikit. Tidak jelas faktor apa yang memperbaiki nilai
ini, namun dalam realita situasi dan kondisi korupsi secara kualitatif justru
terlihat semakin parah. Melihat laporan survey TI, nampak bahwa peringkat
Indonesia semakin tahun semakin membaik.
14

CPI yang dikeluarkan oleh TI memang cukup banyak menuai kritik


terutama karena dinilai lemah dalam metodologi dan dianggap memperlakukan
negara-negara berkembang dengan tidak adil, serta mempermalukan
pemerintah negara-negara yang disurvey. Namun di lain pihak, TI juga banyak
dipuji karena telah berupaya untuk melakukan survey dalam menyoroti korupsi
yang terjadi di banyak negara.
Pada tahun 1999, TI mulai menerbitkan Bribe Payer Index (BPI) yang
memberi peringkat negara-negara sesuai dengan prevalensi perusahaan-
perusahaan multinasional yang menawarkan suap. Misi utama TI adalah
menciptakan perubahan menuju dunia yang bebas korupsi. TI tidak secara aktif
menginvestigasi kasus-kasus korupsi individual, namun hanya menjadi
fasilitator dalam memperjuangkan tata pemerintahan yang baik di tingkat
internasional. Hasil survey yang dilakukan oleh Transparency International,
karena diumumkan pada publik, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan
kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.
2. TIRI
TIRI (Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen
internasional nonpemerintah yang memiliki head-office di London, United
Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara termasuk Jakarta.
TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas, kesempatan besar
untuk perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan merata di seluruh dunia
akan dapat tercapai. Misi dari TIRI adalah memberikan kontribusi terhadap
pembangunan yang adil dan berkelanjutan dengan mendukung pengembangan
integritas di seluruh dunia. TIRI berperan sebagai katalis dan inkubator untuk
inovasi baru dan pengembangan jaringan. Organisasi ini bekerja dengan
pemerintah, kalangan bisnis, akademisi dan masyarakat sipil, melakukan
sharing keahlian dan wawasan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan praktis yang diperlukan untuk mengatasi korupsi dan
mempromosikan integritas. TIRI memfokuskan perhatiannya pada pencarian
hubungan sebab akibat antara kemiskinan dan tata pemerintahan yang buruk.
Selain di Jakarta, TIRI memiliki kantor perwakilan di Jerusalem, dan Ramallah,
juga memiliki pekerja tetap yang berkedudukan di Amman, Bishkek, Nairobi
and Yerevan.
Salah satu program yang dilakukan TIRI adalah dengan membuat
jejaring dengan universitas untuk mengembangkan kurikulum Pendidikan
Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi di perguruan tinggi. Jaringan ini di
Indonesia disingkat dengan nama I-IEN yang kepanjangannya adalah
Indonesian-Integrity Education Network. TIRI berkeyakinan bahwa dengan
mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti
Korupsi, mahasiswa dapat mengetahui bahaya laten korupsi bagi masa depan
bangsa.
15

C. INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI


1. United Nations Convention against Corruption (UNCAC).
Salah satu instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention
against Corruption yang telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara.
Penandatanganan pertama kali dilakukan di konvensi internasional yang
diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal 31 Oktober 2003.
Beberapa hal penting yang diatur dalam konvensi adalah :
a. Masalah pencegahan
Tindak pidana korupsi dapat diberantas melalui Badan
Peradilan. Namun menurut konvensi ini, salah satu hal yang terpenting
dan utama adalah masalah pencegahan korupsi. Bab yang terpenting
dalam konvensi didedikasikan untuk pencegahan korupsi dengan
mempertimbangkan sektor publik maupun sektor privat (swasta). Salah
satunya dengan mengembangkan model kebijakan preventif seperti :
 pembentukan badan anti-korupsi;
 peningkatan transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk
pemilu dan partai politik;
 promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
 rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri)
dilakukan berdasarkan prestasi;
 adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai
negeri) dan mereka harus tunduk pada kode etik tsb.;
 transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
 penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri
yang korup;
 dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor
publik yang sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor
pengadaan publik;
 promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik;
 untuk pencegahan korupsi yang efektif, perlu upaya dan
keikutsertaan dari seluruh komponen masyarakat;
 seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan
keterlibatan organisasi non-pemerintah (LSM/NGOs) yang
berbasis masyarakat, serta unsurunsur lain dari civil society;
 peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap
korupsi termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat
dilakukan oleh masyarakat yang mengetahui telah terjadi TP
korupsi.
b. Kriminalisasi
Hal penting lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai
kewajiban negara untuk mengkriminalisasi berbagai perbuatan yang
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi termasuk
16

mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat


memberikan hukuman (pidana) untuk berbagai tindak pidana korupsi.
Hal ini ditujukan untuk negara-negara yang belum mengembangkan
aturan ini dalam hukum domestik di negaranya. Perbuatan yang
dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada tindak pidana penyuapan dan
penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang perdagangan,
termasuk penyembunyian dan pencucian uang (money laundring) hasil
korupsi. Konvensi juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi
yang terjadi di sektor swasta.
c. Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi
adalah salah satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang
menandatangani konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan
satu sama lain dalam setiap langkah pemberantasan korupsi, termasuk
melakukan pencegahan, investigasi dan melakukan penuntutan terhadap
pelaku korupsi. Negara-negara yang menandatangani Konvensi juga
bersepakat untuk memberikan bantuan hukum timbal balik dalam
mengumpulkan bukti untuk digunakan di pengadilan serta untuk
mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga diharuskan untuk
melakukan langkah-langkah yang akan mendukung penelusuran,
penyitaan dan pembekuan hasil tindak pidana korupsi.
d. Pengembalian Aset Korupsi
Salah satu prinsip dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam
pengembalian aset-aset hasil korupsi terutama yang dilarikan dan
disimpan di negara lain. Hal ini merupakan isu penting bagi negara-
negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat tinggi. Kekayaan
nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat dikembalikan
karena untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di
negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta modal yang
sangat besar. Modal ini dapat diperoleh dengan pengembalian kekayaan
negara yang diperoleh dari hasil korupsi. Untuk itu negaranegara yang
menandatangani konvensi harus menyediakan aturan-aturan serta
prosedur guna mengembalikan kekayaan tersebut, termasuk aturan dan
prosedur yang menyangkut hukum dan rahasia perbankan.
Berikut beberapa konferensi internasional dalam konteks
implementasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC)
yang telah diselenggarakan dan dihadiri oleh berbagai negara di dunia:
 The Conference of the States Parties to the United Nations
Convention against Corruption (Amman, 10-14 December
2006), the first session.
 The Conference of the States Parties to the United Nations
Convention against Corruption (Nusa Dua, Indonesia, 28
January-1 February 2008), the second session.
17

 The Conference of the States Parties to the United Nations


Convention against Corruption (Doha, 9-13 November 2009),
the third session.
 Untuk Conference of the States Parties to the United Nations
Convention against Corruption sesi ke-empat akan
diselenggarakan di Marrakech, 24-28 October 2011.
2. Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business
Transaction
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah sebuah konvensi internasional yang dipelopori
oleh OECD. Konvensi Anti Suap ini menetapkan standar-standar hukum yang
mengikat (legally binding) negara-negara peserta untuk mengkriminalisasi
pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis
internasional. Konvensi ini juga memberikan standar-standar atau langkah-
langkah yang terkait yang harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi
konvensi akan dijalankan oleh negara-negara peserta secara efektif.
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah konvensi internasional pertama dan satu-satunya
instrumen anti korupsi yang memfokuskan diri pada sisi ‘supply’ dari tindak
pidana suap. Ada 34 negara anggota OECD dan empat negara non-anggota
yakni Argentina, Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan yang telah meratifikasi dan
mengadopsi konvensi internasional ini.

D. Pecegahan Korupsi Belajar dari Negara Lain


India adalah salah satu negara demokratis yang dapat dianggap cukup sukses
memerangi korupsi. Meskipun korupsi masih cukup banyak ditemui, dari daftar
peringkat negaranegara yang disurvey oleh Transparency Internasional (TI), India
menempati ranking lebih baik daripada Indonesia. Pada tahun 2005, dari survey yang
dilakukan oleh TI, 62% rakyat India percaya bahwa korupsi benar-benar ada dan
bahkan terasa dan dialami sendiri oleh masyarakat yang di-survey. Di India, Polisi
menduduki ranking pertama untuk lembaga yang terkorup diikuti oleh Pengadilan
dan Lembaga Pertanahan. Dari survey TI, pada tahun 2007, India menempati
peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China dan Brazil). Pada tahun yang sama,
negara tetangga India seperti Srilangka menempati peringkat 94, Pakistan peringkat
138 dan Bangladesh peringkat 162. Pada tahun 2007 tersebut, Indonesia menempati
nomor 143 bersama-sama dengan Gambia, Rusia dan Togo dari 180 negara yang di-
survey. Peringkat yang cukup buruk jika dibandingkan dengan India yang sama-
sama negara berkembang.
Tummala dalam konteks India, memaparkan beberapa hal yang menurutnya
penting untuk dianalisis yang menyebabkan korupsi sulit untuk diberantas
(Tummala: 2009) yaitu :
 Ada 2 (dua) alasan mengapa seseorang melakukan korupsi, alasan tersebut
adalah kebutuhan (need) dan keserakahan (greed). Untuk menjawab alasan
18

kebutuhan, maka salah satu cara adalah dengan menaikkan gaji atau pendapatan
pegawai pemerintah. Namun cara demikian juga tidak terlalu efektif, karena
menurutnya keserakahan sudah diterima sebagai bagian dari kebiasaan
masyarakat. Menurutnya greed is a part of prevailing cultural norms, and it
becomes a habit when no stigma is attached. Mengutip dari the Santhanam
Committee ia menyatakan bahwa : in the long run, the fight against corruption
will succeed only to the extent to which a favourable social climate is created.
Dengan demikian iklim sosial untuk memberantas korupsi harus terus
dikembangkan dengan memberi stigma yang buruk pada korupsi atau perilaku
koruptif.
 Materi hukum, peraturan perundang-undangan, regulasi atau kebijakan negara
cenderung berpotensi koruptif, sering tidak dijalankan atau dijalankan dengan
tebang pilih, dan dalam beberapa kasus hanya digunakan untuk tujuan balas
dendam. Peraturan perundang-undangan hanya sekedar menjadi huruf mati
yang tidak memiliki roh sama sekali.
 Minimnya role-models atau pemimpin yang dapat dijadikan panutan dan
kurangnya political will dari pemerintah untuk memerangi korupsi.
 Kurangnya langkah-langkah konkret pemberantasan korupsi.
 Lambatnya mekanisme investigasi dan pemeriksaan pengadilan sehingga
diperlukan lembaga netral yang independen untuk memberantas korupsi.
 Salah satu unsur yang krusial dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku
sosial yang toleran terhadap korupsi. Sulit memang untuk memformulasi
perilaku seperti kejujuran dalam peraturan perundang-undangan. Kesulitan ini
bertambah karena sebanyak apapun berbagai perilaku diatur dalam undang-
undang, tidak akan banyak menolong selama masyarakat masih bersikap lunak
dan toleran terhadap korupsi.
Kiranya kita dapat belajar dari pemaparan tersebut, karena kondisi Indonesia
dan India yang sama-sama negara berkembang. Sulitnya, India telah berhasil
menaikkan peringkat negaranya sampai pada posisi yang cukup baik, sedangkan
Indonesia, walaupun berangsur-angsur membaik, namun peringkatnya masih terus
berada pada urut-urutan yang terbawah. Untuk selanjutnya Tummala menyatakan
bahwa dengan melakukan pemberdayaan segenap komponen masyarakat, India
terus optimis untuk memberantas korupsi.

Selain India, salah satu lembaga pemberantasan korupsi yang cukup sukses
memberantas korupsi adalah Independent Commission Against Corruption (ICAC)
di Hongkong. Tony Kwok, mantan komisaris ICAC (semacam KPK di Hongkong),
menyatakan bahwa salah satu kunci sukses pemberantasan korupsi adalah adanya
lembaga antikorupsi yang berdedikasi, independen, dan bebas dari politisasi.
Sebagaimana awal kelahiran KPK, lembaga ICAC juga mendapat kecaman luas
dari masyarakat di Hong Kong. Namun dengan dedikasi luar biasa dan dengan
melakukan kemitraan bersama masyarakat akhirnya ICAC mampu melawan
kejahatan korupsi secara signifikan. Faktor-faktor keberhasilan yang dicapai oleh
19

ICAC dalam melaksanakan misinya adalah sebagai lembaga yang independen dia
bertanggung jawab langsung pada kepala pemerintahan. Hal ini menyebabkan
ICAC bebas dari segala campur tangan pihak manapun pada saat melakukan
penyelidikan suatu kasus. Prinsipnya pada saat lembaga ini mencurigai adanya
dugaan korupsi maka langsung melaksanakan tugasnya tanpa ragu atau takut
(Nugroho : 2011).
ICAC memiliki kewenangan investigasi luas, meliputi investigasi di sektor
pemerintahan dan swasta, memeriksa rekening bank, menyita dan menahan properti
yang diduga hasil dari korupsi, memeriksa saksi, menahan dokumen perjalanan
tersangka melakukan cegah tangkal agar tersangka tidak melarikan diri keluar
negeri. ICAC merupakan lembaga pertama di dunia yang merekam menggunakan
video terhadap investigasi semua tersangka korupsi. Strategi yang ditempuh ICAC
Hongkong dalam memberantas korupsi dijalankan melalui tiga cabang kegiatan,
yaitu penyelidikan, pencegahan, dan pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan
masyarakat semakin paham peran mereka bahwa keikutsertaan mereka dalam
memerangi korupsi merupakan kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi
(Nugroho : 2011).

Salah satu negara yang juga cukup menarik untuk dipelajari adalah Cina.
Walaupun diperintah dengan tangan besi oleh partai komunis, Cina dapat dikatakan
sukses memberantas korupsi. Negara lain di Asia yang bisa dikatakan sukses
memerangi korupsi adalah Singapura dan Hongkong. Kedua pemerintah negara ini
selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat membuktikan pemberantasan
korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan efektif tanpa
memperhatikan status atau posisi seseorang.

Kebikajan Penggulangan Korupsi Birokrasi di Nigeria dilakukan beberapa


kebijakan penanggulangan korupsi, khususnya di bidang pelayanan publik yang
dilakukan di Nigeria, yaitu; melakukan penggantian seluruh pejbat militer dan
pegawai negeri yang tidak kapabel dari jabatannya. Seluruh mantan pejabat
diperitahkan untuk mengembalikan uang hasil korupsi mereka selama mereka
menjabat. Nigeria mendirikan lembaga khusus untuk menangani para pejabat
publik, yaitu;”a Permanent Corrupt Practices Investigation Bureau and a Public
Complaints Commission (Ombudsman)”. 48 Serta mengesshksn “ Code of Ethics
for Public Officials” sebagaibagian dari pendirian “Permanent Corrupt
Investigation Bureau”
Sistematis korupsi pada birokrasi di Fhilipina terjadi karena adanya kesepakatan
antara pejabat dengan mereka yang berurusan dengan pejabat tersebut, keduanya
menyetujui melakukan tindakan melawan hukum dengan menerima dan memberi
suap pada setiap jenis pelauanan publik yang diberikan oleh pejabat. Upaya yang
dilakukan untuk menangulangi korupsi antara lain adalah melakukan apolitisasi
secara positif terhadap biroktasi sejalan dengan perubahan pemerintahan di
Fhilipina seara revolusioner dan perubahan lainnya di dalam masyarakat untuk
20

membentuk pemerintah dengn komitment yang tinggi dari pemimpin negara untuk
memerangi korupsi.

Di Indonesia, dari pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi


(KPK) selama kurun waktu 5 tahun, KPK telah 100% berhasil menghukum atau
memberikan pidana pada pelaku tindak pidana korupsi. Bila dibandingkan dalam
kurun waktu 20 tahun, Filipina dengan lembaga Ombudsman hanya berhasil
menghukum segelintir pejabat saja (Bhattarai: 2011).

E. ARTI PENTING RATIFIKASI KONVENSI ANTI KORUPSI BAGI INDONESIA


Bangsa Indonesia telah berupaya ikut aktif mengambil bagian dalam
masyarakat internasional untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan
menandatangani Konvensi Anti Korupsi pada tanggal 18 Desember 2003. Pada
tanggal 18 April 2006, Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR telah
meratifikasi konvensi ini dengan mengesahkannya di dalam Undang-Undang No. 7
Tahun 2006, LN 32 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention
against Corruption (UNCAC), 2003. Pada tanggal 21 Nopember 2007, dengan
diikuti oleh 492 peserta dari 93 negara, di Bali telah diselenggarakan konferensi
tahunan kedua Asosiasi Internasional LembagaLembaga Anti Korupsi (the 2nd
Anual Conference and General Meeting of the International Association of Anti-
Corruption Authorities/IAACA). Dalam konferensi internasional ini, sebagai
presiden konferensi, Jaksa Agung RI diangkat menjadi executive member dari
IAACA. Dalam konferensi ini, lobi IAACA digunakan untuk mempengaruhi
resolusi negara pihak peserta konferensi supaya memihak kepada upaya praktis dan
konkrit dalam asset recovery melalui StAR (Stolen Asset Recovery) initiative.
Pada tanggal 28 Januari–1 Februari 2008, bertempat di Nusa Dua, Bali,
Indonesia kembali menjadi tuan rumah konferensi negara-negara peserta yang
terikat UNCAC. Dalam konferensi ini, Indonesia berupaya mendorong pelaksanaan
UNCAC terkait dengan masalah mekanisme review, asset recovery dan technical
assistance guna mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia. Selaku tuan
rumah, Indonesia berupaya memberikan kontribusi secara langsung yang dapat
diarahkan untuk mendukung kepentingan Indonesia mengenai pengembalian aset,
guna meningkatkan kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi termasuk
mengembalikan hasil kejahatan (Supandji : 2009).
Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi merupakan petunjuk yang merupakan
komitmen nasional untuk meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan
politik internasional. Dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 2006 ditunjukkan arti
penting dari ratifikasi Konvensi tersebut, yaitu:
 untuk meningkatkan kerja sama internasional khususnya dalam melacak,
membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana
korupsi yang ditempatkan di luar negeri;
 meningkatkan kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan
yang baik;
21

 meningkatkan kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi,


bantuan hukum timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana,
dan kerja sama penegakan hukum;
 mendorong terjalinnya kerja sama teknis dan pertukaran informasi dalam
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja
sama pembangunan ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral,
regional, dan multilateral; serta
 perlunya harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Dengan telah diratifikasinya konvensi internasional ini, maka pemerintah
Indonesia memiliki kewajiban untuk melaksanakan isi konvensi internasional ini
dan melaporkan perkembangan pencegahan dan pemberantasan korupsi di
Indonesia.
Ada beberapa isu penting yang masih menjadi kendala dalam pemberantasan
korupsi di tingkat internasional. Isu tersebut misalnya mengenai pengembalian aset
hasil tindak pidana korupsi, pertukaran tersangka, terdakwa maupun narapidana
tindak pidana korupsi dengan negara-negara lain, juga kerjasama interpol untuk
melacak pelaku dan mutual legal assistance di antara negara-negara. Beberapa
negara masih menjadi surga untuk menyimpan aset hasil tindak pidana korupsi
karena sulit dan kakunya pengaturan mengenai kerahasiaan bank.
BAB III

ANALISIS KOMPARASI

3.1. Strategi Pencegahan Korupsi di Provinsi Kepulauan Riau

Wacana teoritis yang mempengaruhi cara berpikir dalam upaya mengurangi


korupsi di Indonesia kebanyakan masih terfokus pada pemberantasan korupsi.
Memang harus diakui bahwa dalam situasi begitu akutnya persoalan korupsi,
pemberantasan melalui pendekatan hukum memang harus senantiasa dilakukan untuk
menimbulkan efek jera bagi para koruptor. Tetapi perlu diingat bahwa upaya untuk
menangkal korupsi yang akan bertahan untuk jangka waktu yang lama adalah
pencegahan secara sistematis. Kumorotomo, (2009:2).
Selain itu perlu adanya transparansi akan menunjang empat hal yang mendasar
yang di ungkapkan Kristiansen (2006), yaitu:
1. Meningkatnya tanggungjawab para perumus kebijakan terhadap rakyat sehingga
kontrol terhadap para politisi dan birokrat akan berjalan lebih efektif;
2. Memungkinkan adanya fungsinya sistem kawal dan imbang (checks and
balances) sehingga mencegah adanya monopoli kekuasaan oleh para birokrat;
3. Mengurangi banyaknya kasus korupsi;
4. Meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan ada sebuah pelayanan publik.
Tampak bahwa salah satu implikasi penting dari transparansi ialah peluang untuk
mengurangi banyaknya kasus korupsi.

Berbeda dengan Hakim, (2007:10) yang menunjukan dari sebuah pendekatan


terdiri dari :

1. Perspektif Ekonomi; merupakan ke korupsi terjadi di sebabkan oleh ketidak


mampuan relatif seseorang dalam bidang ekonomi. Kemiskinan dan rendahnya
tingkat pendapatan menjadi pendorong utama terjadinya korupsi. Tingkat
pendapatan sekarang dirasakan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
pada tingkatan yang diharapkan;
2. Perspektif Budaya; Korupsi disebabkan oleh kebiasaan yang telah mentradisi,
yang kemudian Menjelma menjadi sikap dan perilaku korup. Dalam perspektif
ini, terdapat kebiasaan seseorang atau kelompok tertentu, atau bahkan masyarakat
yang kemudian menjadi dasar dari budaya korup; Perspektif Etika dan Moral;
korupsi menurut perspektif ini adalah berpusat pada masalah moral, maka
pendekatan yang disarankan reformasi birokrasi.

A. Korupsi di Daerah Kepulauan Riau


Di indonesia salah satunya, temuan dari sebuah penelitian menunjukan bahwa ada
keterlibatan jaringan organisasi eksternal yang menginginkan potensi korupsi dalam
organisasi internal (pemerintahan), Ganie Rochman & Achwan (2016). Korupsi di
indonesia berkembang secara sistematik, dari beberapa peneliti mengungkapkan

22
23

perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu memposisikan diri di level


yang bawah, ini sebabnya pemberatasan korupsi selalu di tingkatkan perannya Lanjut
menurut Johnston (2005) mengatakan bahwa harus adanya pendekatan situasi dan
bertahap untuk mereformasikan dalam pencegahan korupsi. Dengan demikian
langkah – langkah korupsi bisa di hindari konteks politik dan sosial masyarakat untuk
upaya mendorong warga mengutamakan kepentingan umum agar terciptanya negara
yang transparan kemudian dapat di pertanggung jawabkan.
Kota Tanjungpinang merupakan ibu kota salah satu Provinsi Kepulauan Riau
merupakan daerah kepulauan yang mana setelah terbentuk menjadi provinsi memiliki
rawan terhadap korupsi oleh pejabat publik. Hal ini menjadi daya tarik oleh peneliti
seharusnya anggaran yang di lokasikan oleh pemerintah pusat tidak boleh semena –
mena yang di lakukan pejabat publik untuk mengambil keuntungan yang terindikasi
korupsi, padahal dari segi infrastruktur dalam hal ini yaitu pembangunan, baik
pembangunan SDM ataupun fasilitas fisik sangat dibutuhkan dan bisa di nikmati
masyarakat umum. Beberapa kasus korupsi yang terjadi di kota tanjungpinang
khususnya sangat memperihatinkan. Kuatnya dinasti politik di daerah akan
berdampak terhadap korupsi di daerah kepulauan Riau khususnya.
 Tindakan Korupsi di Kepulauan Riau dari Masa Ke Masa
Ada 70 perkara kasus korupsi dari tahun 2010 hingga 2018. Melihat dari
perkembangannya, provinsi kepulauan riau yang memiliki 5 kabupaten dan 2 kota
masuk dalam katagori yang sangat mengkhawatirkan. Adanya sejumlah peningkatan
korupsi sebanyak 200 persen. Pernyataan dari kapolda kepri yang menyatakan bahwa
Untuk penyelesaian kasus di 2017 sebanyak 26 berkas perkara dan sisa tiga kasus
masih dalam proses penyidikan, hanya saja di 2017 ini tidak ada uang negara yang
berhasil diselamatkan, sedangkan 2016 sebanyak Rp3,8 miliar, hal ini dinyatakan oleh
Irjen Pol Didid Widjanardi. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan data primer yaitu
Indonesia Corruption Watch atau disingkat ICW yang bagian dari sebuah organisasi
non-pemerintah (NGO) yang mempunyai misi untuk mengawasi dan melaporkan
kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia. Berikut hasil dari
laporan ICW pada tahun 2017 korupsi dalam 10 peringkat besar.
Tabel.1.
Rating 10 Besar ProvinsiKasus Korupsi Tahun 2017
N
Provinsi Jumlah Kasus Kerugian (Rp)
o
1 Jawa Timur 68 90,2 Miliar
2 Jawa Barat 42 647 Miliar
3 Sumatra Utara 40 286 Miliar
4 DKI Jakarta 34 3,3 Triliyun
5 Aceh 29 133 Miliar
6 Jawa Tengah 29 40,3 Miliar
7 Sulawesi Selatan 26 390 Miliar
8 Riau 25 145 Miliar
9 Kepulauan Riau 18 126 Miliar
1 Nusa Tenggara 18 6,7 Miliar
0 Barat
Sumber : Dokumen ICW, Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2017
24

Dari data di atas bahwasanya provinsi kepulauan riau berpengaruh besar atas
kerawanan korupsi. Pada tanggal 4 april 2018 di kutip dari pemberitaan bahwasanya
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia dan POLDA Kepulauan Riau
mengadakan pertemuan membahas 70 kasus yang ada di provinsi Kepulauan Riau dari
tahu 2010 hingga 2018.
B. Strategi Pencegahan Korupsi yang dilakukan Pemerintah Kepulauan Riau
a. Pendekatan Sistemik-struktural;
Strategi yang dilakukan ialah dengan meningkatkan dalam pengawasan dan
menyempurnakan adanya sistem manajemen publik, hal ini perlu dilakukan
adanya kebijakan dari pemerintah provinsi kepulauan riau melalui inspektorat
agar memperkuat lembaga pengawasan. Yang mana selama ini tingkat
pengawasan yang kurang di karenakan lemahnya profesionalitas Sumber Daya
manusia yang harusnya di memperkuat pengawasan yang di sebabkan kurangnya
intergitas, perlu dilakukan sistem manajeman yang mengawasi atau menjadi
kontroling dalam upaya pencegahan korupsi.
b. Pendekatan Abolisionistik;
Strategi yang dilakukan ialah dengan penegakan hukum dan memberi sanksi
kepada koruptor seberat- beratnya. Kasus ini seharusnya sangat sedikit
kemungkinan terjadi dalam pencegahan korupsi, kenyataannya masih ada
peningkatan yang signifikan sebanyak 200%. Akan tetapi pendekatan ini harus di
buat kajian melalui perudang-undangan tentang sangki korupsi supaya efek
jeranya sangat berat. Pada saat ini penegakan hokum hanya memberikan seperti
upaya hukuman “penjara” atau “mati” saja. belum ada sanksi berat yang membuat
gangguan fisikisnya agar tmasyarakat lain jangan berani coba melakukan korupsi.
Lalu pendekatan moralitas yang memerlukan partisipasi masyarakat akan
pedulinya pemberantasan korupsi Strategi yang dilakukan ialah memperhatikan
faktor moral manusia kemudian yang perlu diingat ialah bahwa semua cara ini
memerlukan dukungan publik yang besar dan berkelanjutan.
Selain itu perlu adanya pendekatan melalui perspektif yang meliputi
1) Perspektif Ekonomi; perlu adanya upaya standarisasi berupa Kenaikan gaji,
tampaknya memang telah membuat korupsi birokratis dapat sedikit
dikendalikan, tetapi untuk jenjang birokrasi tertentu pemberian kenaikan gaji
tidak selalu efektif untuk meredam nafsu birokrat untuk melakukan korupsi.
Meskipun demikian hubungan antara gaji pegawai negeri dengan tingkat
korupsi birokratis masih bersifat mendua (ambiguous)
2) Perspektif Budaya; Kemudian dengan pendekatan budaya, yang dimana
kepulauan riau mayoritas kesukuannya adalah suku melayu yang kuat akan
budaya. Hal ini perlu adanya pendidikan anti korupsi serta bimbingan teknis
untuk generasi muda sebagai upaya menciptakan generasi yang anti korupsi.
Meskipun menyelamatkan generasi muda, pencegahan ini perlu di lakukan
dalam upaya menyelamatkan kesejahteraan masyarakat ketika
mengurangnya tindakan korupsi di kepulauan riau.
3) Perspektif Etika dan Moral; Korupsi biasanya dimulai dari hal- hal kecil dan
suap tersembunyi. Jika pejabat tidak mampu mengendalikan diri dan
imannya lemah maka dia akan cenderung menerima berbabagi macam
25

bentuk suap, dan secara tidak sadar terperangkap dalam perilaku yang
bertentangan dengan nilai-nilai moral. Perspektif pengendalian diri bukanlah
perspektif yang absurd dan utopis, karena konsep ini didasari oleh kenyataan
bahwa setiap manusia memiliki keinginan untuk hidup berkelompok. Untuk
memenuhi kebutuhannya manusia harus melakukan interaksi dengan
manusia lain, harus mau dan bisa bekerja sama dengan manusia lain. Agar
interaksi dan kerjasama tersebut dapat berjalan dengan baik maka
pengendalian diri sangat dibutuhkan.

3.2. Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut Instrumen


Hukum Internasional
A. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut Instrumen Hukum Internasional.
Secara internasional, upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dilakukan
negara-negara melalui keikutsertaan negara dalam suatu perjanjian internasional
dalam bentuk konvensi internasional yang berkaitan dengan korupsi. Perjanjian
internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa
bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu. Ada juga yang
menyebutkan bahwa perjanjian internasional adalah kata sepakat antara dua atau lebih
subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan, organisasi
internasional) mengenai suatu obyek tertentu yang dirumuskan secara tertulis dengan
maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang
diatur oleh hukum internasional.
Ruang lingkup perjanjian internasional meliputi obyek yang luas seperti bidang-
bidang ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, perdagangan, ilmu pengetahuan dan
teknik. Walaupun bermacam-macam nama yang diberikan untuk perjanjian
internasional mulai dari yang paling resmi sampai pada bentuk yang sangat sederhana,
semuanya sama-sama mempunyai kekuatan hukum dan mengikat pihak-pihakyang
terkait. Menurut Myers, ada sekitar 29 macam istilah yang digunakan untuk
perjanjian-perjanjian internasional. Salah satu bentuk perjanjian internasional adalah
konvensi internasional.
Konvensi ini diadopsi dalam Sidang Umum PBB pada Okotber 2003 dan telah
ditandatangai oleh 140 negara dengan 38 negara di antaranya telah meratifikasinya.
Konvensi ini merupakan instrumen hukum internasional pertama yang mengikat
secara hukum negara anggotanya dalam melawan kejahatan korupsi baik dalam sektor
publik meupun swasta. Konvensi ini dipandang pula sebagai perwujudan dari
komitmen internasional dalam hal bagaimana seharusnya negara mencegah dan
menghukum praktek - praktek korupsi dan juga menjadi mesin efektif untuk menjalin
kerjasama internasional dalam melawan korupsi dan pengembalian asetnya. Konvensi
ini menegaskan pentingnya pembagian peran antar negara dalam menghambat
kejahatan korupsi yang lintas negara.
Konvensi PBB menentang Korupsi (UNCAC) ini memiliki 4 pilar utama, yaitu:
1. pencegahan
2. penegakkan hukum
3. kerjasama internasional dan
4. pengembalian aset.
26

Konvensi ini mengikat secara hukum pada 14 Desember 2005, setelah negara
Ekuador, sebagai negara ke-30, meratifikasinya.

B. Implementasi Konvensi PBB Menentang Korupsi Dalam Perundang-Undangan


Nasional.
Secara internasional pemberantasan tindak pidana korupsi telah diatur dalam
perjanjian internasional dalam bentuk konvensi internasional, yakni Palermo
Convention tahun 2000 dan khususnya United Convention Against Corruption
(UNCAC) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Menentang Korupsi
tahun 2002, dan hal ini juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang
No. 7 tahun 2006. Adanya ratifikasi terhadap UNCAC Tahun 2002 membawa
konsekuensi bahwa Indonesia harus menerapkan dalam sistem hukum nasional.
Secara resmi Indonesia telah mengikatkan diri pada United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC). Hal semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah
bagian dari gerakan global melawan korupsi. Namun, UNCAC tidak diterima secara
utuh oleh Indonesia.
UNCAC atau yang sering disebut Konvensi PBB anti korupsi merupakan suatu
Konvensi anti korupsi yang mencakup ketentuan – ketentuan kriminalisai, kewajiban
terhadap langkah-langkah pencegahan dalam sektor publik dan privat, kerjasama
internasional dalam penyelidikan dan penegakan hukum, langkah-langkah bantuan
teknis, serta ketentuan mengenai pengembalian asset.
sebagai landasan terbentuknya komisi anti korupsi pertama di Indonesia, terbit UU
No 30 Tahun 2002. Berdasarkan undang-undang ini juga lalu Indonesia membentuk
pengadilan khusus korupsi. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya
memerintahkan agar pembentukan pengadilan khusus korupsi harus didasarkan pada
undang-undang tersendiri. Oleh karenanya, kemudian lahir UU No 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Indonesia sebagai negara yang telah menandatangani dan meratifikasi UNCAC
tentunya mempunyai kewajiban untuk segera mereformasi sistem hukumnya sesuai
dengan ketentuan UNCAC. Dalam hal ini Indonesia meratifikasi UNCAC melalui
Undang-Undang nomor 7 tahun 2006. Terkait dengan pasal 2 UNCAC mengenai
tindakan-tindakan pencegahan korupsi, Indonesia mempunyai Undang-Undang
nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang nomor 30 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kemudian terkait dengan pasal 6 UNCAC mengenai Badan atau Badan-Badan
Pencegahan atau Anti Korupsi, Indonesia telah memiliki KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) yang disahkan melalui Undang-Undang nomor 30 tahun
2002. Selain itu, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang nomor 15 tahun 2002
dan Undang-Undang nomor 25 tahun 2003 tentang Pencucian Uang yang mana
disebutkan dalam pasal 14 UNCAC mengenai tindakan-tindakan untuk mencegah
pencucian uang.
Sementara itu berdasarkan pasal 32 UNCAC setiap negara dituntut untuk
memberikan perlindungan saksi-saksi, para saksi ahli dan para saksi korban. Guna
memenuhi hal tersebut pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang – Undang nomor
13 tahun 2006 tentang lembaga perlindungan saksi dan korban. Dalam UNCAC juga
disebutkan bahwa adanya transparansi dan keikutsertaan masyarakat dalam proses
27

pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, dalam ini Indonesia mempunyai sebuah


lembaga independen yang bernama ICW (Indonesia Corruption Watch).
Diundang-undangkannya Undang-undang No. 20 Tahun 2001 sebagai perubahan
atas Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, karena tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya dilakukan secara luar
biasa. Dan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman
penafsiran hukum, dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan
ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas korupsi.
Tindak pidana korupsi dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dirumuskan
secara tegas sebagai tindak pidana formil, hal ini sangat penting untuk pembuktian.
Dengan rumusan formil yang dianut dalam undangundang ini berarti meskipun hasil
korupsi telah diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana sesuai dengan pasal 4 yang
berbunyi: “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak
menghapus dipidananya pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
pasal 2 dan 3” .
Penjelasan dari pasal tersebut adalah dalam hal pelaku tindak pidana korupsi,
melakukan perbuatan yang memenuhi unsur pasal dimaksud, dimana pengembalian
kerugian negara atau perekonomian negara, yang telah dilakukan tidak menghapus
pidana si pelaku tindak pidana tersebut. Pengembalian kerugian negara atau
perekonomian negara tersebut hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan
pidana bagi pelakunya. tentang pengembalian aset hasil korupsi, sebagaimana
tercantum dalam bab 5 UNCAC.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 ini bertujuan untuk memberantas tindak
pidanakorupsi dan memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang
sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang
lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.
BAB IV

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI


4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Pencegahan secara sistematis merupakan upaya untuk menangkal korupsi yang
akan bertahan untuk jangka waktu yang lama. Salah satunya adalah dengan
meningkatkan transparansi.
2. Lembaga KPK merupakan lembaga non struktural yang sangat penting untuk
pencegahan dan penindakan terhadap perkara korupsi di Indonesia.
3. Dari data yang ditemukan menyebutkan bahwa Provinsi Kepulauan Riau
berpengaruh besar atas kerawanan korupsi oleh pejabat publik karena kuatnya
dinasti politik di daerah. Strategi pencegahan korupsi yang dilakukan pemerintah
Kepulauan Riau yaitu melalui pendekatan sistemik-struktural dan pendekatan
abolisionistik.
4. Dalam UNCAC disebutkan bahwa adanya transparansi dan keikutsertaan
masyarakat dalam proses pemberantasan korupsi mutlak diperlukan, dalam ini
Indonesia mempunyai sebuah lembaga independen yang bernama ICW
(Indonesian Corruption Watch).

4.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka penulis memberikan rekomendasi terkait:
1. Perlu adanya pendekatan reformasi birokrasi. Dengan diharuskan adanya
pendekatan situasi dan bertahap untuk mereformasikan dalam pencegahan korupsi
maka, langkah-angkah korupsi bisa dihindari konteks politik dan sosial masyarakat
untuk upaya mendorong warga mengutamakan kepentingan umum agar
terciptanya negara yang transparan kemudian dapat di pertanggungjawabkan.
2. Perlu adanya sistem manajeman kontroling. Hal ini perlu dilakukan dengan
meningkatkan pengawasan dan menyempurnakan sistem manajemen publik.
Adanya kebijakan dari pemerintah provinsi melalui inspektorat agar memperkuat
lembaga pengawasan.
3. Perlu adanya Pendidikan anti korupsi serta bimbingan teknis untuk menyelamatkan
generasi muda sebagai upaya menciptakan generasi yang anti korupsi.
4. Perlu adanya kekompakan masyarakat dalam menegakan hukum. Mencari dan
memperbanyak dukungan publik agar pemberian sanksi moral dapat dilaksanakan
secara optimal kepada koruptor seberat-beratnya.

28
DAFTAR PUSTAKA

Alfarisi, F. (2019). Pembaharuan Strategi Pemberantasan Korupsi di Indonesia. Jurnal Ilmiah


Ilmu Hukum, 17(2), 120-132. [online]. Tersedia:
https://scholar.google.co.id/scholar?hl=id&as_sdt=0%2C5&q=strategi+pemberantasan
+korupsi+di+indonesia&oq=strategi+pemberantasan+korupsi#d=gs_qabs&u=%23p%3
DZ2PCgFxENrMJ
Elwina, Marcella (2011). Pendidikan Korupsi Untuk Pergurua Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.

Herlambang (2012). Belajar menanggulangi Korupsi dari Negara Lain. Supremasi Hukum,
2(23), 1-25. ISSN 1693 – 766X.

Mukodi. Afid Burhanuddin. (2014). Pendidikan Anti Korupsi. Pacitan: LPPM Press

Nanang T. Puspito Marcella Elwina S. dkk. (2011). Pendidikan Anti Korupsi untuk Perguruan
Tinggi. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Bagian Hukum Kepegawaian
Setiawan, R. (2019). Strategi Pencegahan Korupsi di Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal
Masyarakat Maritim, 3(1), 31-40. [online]. Tersedia:
https://scholar.archive.org/work/g23kisyfrfc37pmuja7cipqm44/access/wayback/https://
ojs.umrah.ac.id/index.php/jmm/article/download/1699/815/
Tompodung, SM. (2019). Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Menurut
Instrumen Hukum Internasional. Jurnal Lex Crimen, 8(3), 39-46. [online]. Tersedia:
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/viewFile/25629/25282
Zuber, Ahmad (2018). Strategi Anti Korupsi Melalui Pendekatan Pendidikan Formal dan KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi). Journal of Development and Social Change, 1(2),
178–190. [online]. Tersedia:
https://scholar.archive.org/work/asrlctrc7fedtlgn4uabbfql6u/access/wayback/https://jurn
al.uns.ac.id/jodasc/article/download/23058/pdf

29

Anda mungkin juga menyukai