Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH HUKUM INTERNASIONAL

SUKSESI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL

KELOMPOK 5
MUH RAFLI FATURRAHMAN 10100119055
ZALFA ALFIAH HAMDAN 10100119057
ZUL KASYFIAN RUSLAN 10100119059
NURUL AZIZAH 10100119060
ANDI MUH. DIRGANTARA 10100119072
TIARA 10100119074

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM
2021/2022

Kata Pengantar
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang maha pengasih lagi maha penyayang, Kam
i panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-nya yang telah melimpahkan rahmat dan hida
hyah, Dan inayah-nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
SUKSESI NEGARA DALAM HUKUM INTERNASIONAL dan harapan kami semoga mak
alah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, untuk ke depanny
a dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah ini agar menjadi lebih baik lagi.
Kami menyadari bahwa makalah ini belum sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang
membangun dari rekan-rekan yang sangat di butuhkan untuk penyempurnaan makalah ini.

BAB I

PEMBAHASAN

A. Bentuk-bentuk Suksesi Negara


Kata Suksesi Negara berasal dari kata State Succession atau Succession of State, yang
artinya adalah pergantian kedaulatan pada suatu wilayah. Pergantian kedaulatan yang
dimaksudkan di sini adalah pergantian dari predecessor state (negara yang digantikan) kepada
Successor State (negara yang menggantikan) dalam hal kedaulatan (tanggung jawab) atas
suatu wilayah dalam hubungan internasional. atau pergantian pemerintah hukum
internasional hanya menetapkan bahwa yang berlaku adalah prinsip kontinuitas negara.
Pergantian pemimpin atau pemerintah, perubahan sistem pemerintahan bahkan perubahan
nama dan bentuk negara tidak akan memengaruhi hak dan kewajiban suatu negara selama
subjeknya masih tetap yang itu-itu juga. Sebagai contoh perubahan nama Birma menjadi
Myanmar tidak menghapuskan semua hak dan kewajiban yang dibuat negara ini dalam
hubungan internasionalnya.
Dalam praktik, suksesi negara dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Suksesi Universal
Pada bentuk ini tidak ada lagi international identity dari suatu negara (predecessor
state) karena seluruh wilayahnya hilang. Sebagai contoh dapat dikemukakan hilangnya Korea
pada tahun 1910 karena dianeksasi oleh Jepang, juga Kongo yang dianeksasi oleh Belgia.
Dalam kasus lain Columbia terpecah menjadi tiga negara merdeka yaitu Venezuela, Equador
serta New Granada pada tahun 1832 Dengan demikian, tidak ada lagi Columbia pada waktu
itu Mirip dengan kasus ini yang juga tergolong suksesi universal adalah ketika wilayah suatu
negara (predecessor state) habis terbagi-bagi yang masing-masing bagian dicaplok oleh
negara-negara lain. Contohnya adalah Wilayah Polandia yang habis terbagi masing-masing
bagian dimiliki oleh Rusia, Austria, dan Prusia pada tahun 1975. Beberapa negara kecil yang
kemudian meleburkan diri menjadi satu negara besar juga tergolong bentuk suksesi universal
2. Suksesi Parsial
Pada bentuk ini negara predecessornya masih eksis, tetapi sebagian wilayahnya
memisahkan diri menjadi negara merdeka ataupun bergabung dengan negara lain Contoh
untuk bentuk suksesi ini adalah hilangnya Timor-Timor dari wilayah NKRI membentuk
negara Timor Leste pada 1999 Negara Indonesia sebagai predecessor state masih tetap ada
yang terjadi adalah bahwa Indonesia kehilangan sebagian wilayahnya.
Terlepas dari kedua bentuk suksesi di atas permasalahan utama ketika terjadi suksesi
negara adalah sejauh mana hak-hak dan kewajiban predecesso state beralih pada successor
state? Untuk menjawab pertanyaan ini ada tiga teori utama yang dapat dikemukakan. Teori
pertama adalah Common Doctrine (Universal Doctrine). Teori ini menyatakan ketika terjadi
suksesi negara maka suksesi negara harus dibedakan dengan suksesi pemerintah. Suksesi
pemerintah tidak akan dibahas dalam buku ini mengingat suskesi pemerintah lebih pada
masalah dalam negeri suatu negara. Manakala terjadi suksesiseluruh hak dan kewajiban
predecessor beralih pada suksesornya. Teori ini kurang banyak mendapat sambutan
khususnya dari kelompok negara baru merdeka (newly independent state) yang kemudian
mengemukakan teori kedua terkenal dengan Clean Slate Doctrine. Ketika terjadi suksesi
negara semestinya negara baru mulai dengan lembar yang bersih. Segala hak dan kewajiban
dari predecessor tidak beralih pada suksesor kecuali dikehendakinya (pick & choose).
Keberatan-keberatan yang muncul dari dua doktrin tersebut di atas dicoba
dikompromikan oleh teori ketiga yang dapat ditemukan dalam Konvensi Wina 1978 tentang
Suksesi Negara dalam kaitannya dengan Perjanjian Internasional dan Konvensi Wina 1983
tentang Suksesi Negara dalam kaitannya dengan state property, arsip dan utang melalui
keberadaan perjanjian peralihan (Devolution/inheritance agreement). Konvensi hanya
mengatur garis-garis besar atau prinsip-prinsip umumnya saja dan diberlakukan sepanjang
para pihak tidak mengaturnya dalam devolution agreement. Dengan demikian, sangat wajar
jika sangat sulit mencari kesera gaman dalam kasus-kasus suksesi negara mengingat konvensi
sendiri memberi peluang yang sangat besar pada para pihak untuk memodifikasi akibat-
akibat hukum suksesi negara sesuai kesepakatan para pihak terkait.
B. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Perjanjian Internasional
Satu aspek terpenting dari suksesi negara adalah pengaruh pergantian kedaulatan
terhadap hak-hak dan kewajiban yang muncul dari suatu perjanjian. Perjanjian adalah
instrumen terpenting dalam pelaksanaan hubungan internasional. Secara umum ada upaya
untuk membedakan antara perjanjian yang berkaitan dengan hak atas property dengan
kewajiban perjanjian yang lain yang mana bentuk kedua ini dibagi lagi atas perjanjian
multilateral, bilateral, perjanjian HAM juga perjanjian politik.
Konvensi Wina 1978 merupakan kodifikasi dari hukum kebiasaan internasional.
Tidak semua masalah suksesi negara dapat diselesaikan oleh konvensi ini mengingat
konvensi tidak berlaku surut, hanya mengikat pada kasus-kasus setelah konvensi dinyatakan
berlaku.
Secara umum Pasal 17 juga 24 Konvensi Wina 1978 menetapkan bahwa perjanjian
tidak beralih pada suksesor kecuali ditentukan lain dalam devolution agreement. Ketentuan
ini sejalan dengan apa yang diatur oleh Pasal 34 Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian
Internasional yang terkenal dengan prinsip "Pacta tertiis nec nocunt nec procent" bahwa
Perjanjian tidak menimbulkan hak dan kewajiban kepada pihak ke-3 tanpa persetujuannya.
Dengan demikian, doktrin Clean Slate yang diperjuangkan oleh kelompok newly independent
state pada dasarnya tidaklah bertentangan dengan hukum internasional. Negara baru bisa
melakukan pick and choose terhadap perjanjian yang dibuat oleh predecessornya.
Namun demikian, tidak semua perjanjian dapat ditolak oleh negara suksesor. Untuk
perjanjian yang berkaitan dengan wilayah atau juga sering disebut sebagai dispositive treaty
harus selalu beralih pada suksesor. Masuk dalam kategori perjanjian dispositive adalah
perjanjian perbatasan dan servitude treaty. Perjanjian perbatasan dapat dikatakan sebagai
perjanjian yang mendapat kedudukan terpenting dalam hukum internasional. Perjanjian ini
sering disebut sebagai perjanjian yang suci yang harus dijaga keberlangsungannya karena
menyangkut ketertiban dan stabilitas kawasan juga hubungan internasional. Harus beralihnya
perjanjian perbatasan pada suksesor diatur dalam Pasal 11 Konvensi Wina 1978 serta Pasal
62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 tentang Perjanjian Internasional. Pasal 11 Konvensi Wina
1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak akan memengaruhi:
1. A boundary established by a treaty; or
2. Obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a
boundary
Tidak dapat diganggu gugatnya perjanjian perbatasan sebenarnya juga sudah
dinyatakan dalam Pasal 62 ayat (2) Konvensi Wina 1969 yang. dikenal sebagai Rebus Sic
Stantibus Principle. Dengan prinsip tersebut apabila timbul perubahan yang mendasar dalam
kenyataan-kenyataan yang ada pada perjanjian itu diadakan, yang mengakibatkan tidak
tercapainya tujuan perjanjian, maka keadaan yang demikian dapat dijadikan sebagai alasan
untuk mengakhiri perjanjian atau menarik diri dari perjanjian tersebut. Memang sebagian
besar penulis hukum internasional mengakui adanya faktor perubahan keadaan yang
mendasar dalam kaitannya dengan dasarsebagai alasan tidak terikatnya suatu negara pada
perjanjian internasional. Namun demikian, penggunaan doktrin rebus sic stantibus harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perubahan suatu keadaan tidak ada pada waktu pembentukan perjanjian
2. Perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental suatu bagi
perjanjian tersebut.
3. Perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para pihak.
4. Keadaan yang berubah merupakan dasar yang penting atas mana diberikan
persetujuan terikatnya (concent) negara peserta.
5. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas lingkup
kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu.
Di samping persyaratan-persyaratan di atas, Konveni Wina 1969 juga memberikan
pembatasan yang lain yaitu bahwa Doktrin Rebus Sic Stantibus tidak dapat digunakan
terhadap perjanjian perbatasan wilayah serta bila perubahan keadaan tersebut diakibatkan
oleh suatu pelanggaran terhadap perjanjian itu yang dilakukan oleh negara yang menuntut
batalnya perjanjian tersebut. Selanjutnya ditegaskan pula bahwa doktrin rebus sic stantibus
tidak dapat diberlakukan pada perjanjian-perjanjian berikut:
1. Traktat-traktat yang secara langsung berkenaan dengan wilayah yang telah berganti
pemilik seperti, traktat-traktat yang menetapkan rezim perbatasan, servitude, atau
quasi servitude, misalnya hak melintas, atau traktat-traktat netralisasi atau
demiliterisasi wilayah terkait..
2. Konvensi-konvensi multilateral yang berkaitan dengan kesehatan, narkotika, hak-hak
manusia dan hal-hal serupa, yang dimaksudkan untuk berlaku, meskipun ada
perubahan-perubahan wilayah.
Di samping kedua pasal tersebut kuatnya kedudukan perjanjian perbatasan tampak
dari berbagai putusan pengadilan baik nasional maupun internasional. Dalam Burkina Faso v
Mali Case Mahkamah Internasionalmenyatakan bahwa....there is no doubt that the obligation
to respect pre-existing international frontiers in the event of a state succession derives from a
general rule of international law whether or not the rule is expressed in the formula uti
possidetis. Dalam kasus pecahnya Yugoslavia Komisi Badinter mengemukakan bahwa:
“Except where otherwise agreed, the former boundaries become frontiers protected by
international law. This conclusion follow from the principle of respect for the territorial
status quo and, in particular from the principle of uti possidetis. Uti possidetis though
initially applied in settling decolonisation issues in America and Africa is today recognized
as general principle, as stated by the international Court of Justice.
Dengan demikian, suksesor tidak dapat secara sepihak mengubah perbatasan yang
sudah ada. Kalaupun ia ingin mengubah harus atas persetujuan pihak-pihak terkait dengan
perbatasan tersebut sebagaimana dikemukaan Mahkamah Internasional dalam kasus
Libya/Chad 1994 bahwa"...once agreed, the boundary stands, for any other approach would
vitiate the fundamental principle of stability of boundaries, the importance of which has been
repeatedly emphasized by the court,"
Alasan menempatkan perjanjian perbatasan internasional dalam kedudukan posisi
tersendiri yang sangat kuat sehingga tidak dipengaruhi oleh alasan perubahan keadaan (rebus
sic stantibus) adalah bahwa upaya mengakhiri perjanjian perbatasan dapat mengancam
perdamaian, membahayakan prinsip integritas teritorial sebagaimana diatur dalam Pasal 2
ayat (4) Piagam PBB yang dipandang sebagai prinsip fundamental dalam hubungan
internasional.
Masuk kategori dispositive treaty juga selain perjanjian perbatasan wilayah adalah
Servitude Treaties yang diatur oleh Pasal 12 Konvensi Wina 1978. Perjanjian servitude..is
arise when territory belonging to one state is, in some particular way, made to serve the
interests of territory belonging to another state Contoh dari perjanjian ini antara lain right of
passage, Take water for irrigation. juga Delimiterized zone/free zone.
Di samping perjanjian dispositive yang mencakup perjanjian perbatasan dan servitude
dewasa ini suksesi negara sering dikaitkan dengan perjanjian yang berkaitan dengan HAM
internasional. Sering dikatakan bahwa perjanjian HAM berbeda dengan perjanjian-perjanjian
lain. Hal ini dikarenakan perjanjian HAM tidak mengatur masalah hubungan antarnegara,
tetapi mengatur masalah jaminan diterapkannya standar minimum perlindungan terhadap
manusia di suatu wilayah. Dengan demikian, bila negara dipandang harus senantiasa terikat
pada perjanjian perbatasan maka negara suksesor juga harus dianggap terikat pada perjanjian
HAM yang akan menjamin perlindungan HAM penduduk di wilayah yang beralih tersebut.
Hal ini juga akan menjamin tidak adanya perbedaan perlindungan antara penduduk di
wilayah predecessor dengan suksesor. Ataupun kalau suksesornya tidak ada lagi maka akan
menjamin perlindungan HAM penduduk saat sebelum wilayah beralih dengan setelah
wilayah itu beralih pada suksesor.³ Ada beberapa alasan pendukung yang dikemukakan
mengapa perjanjian HAM harus dipandang beralih saat terjadinya suksesi negara:
1. Perjanjian HAM diyakini memiliki karakteristik yang berbeda. dibandingkan
perjanjian internasional lain.
2. Efek dari perjanjian HAM adalah untuk melindungi penduduk di wilayah yang beralih
tersebut sehingga harus berlajut ketika penduduk berhadapan dengan pemerintah
suksesor.
3. Perjanjian HAM internasional senantiasa merujuk pada Deklarasi Universal HAM
1948 yang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh semua anggota PBB.
4. Negara suksesor dipandang sudah memperoleh keuntungan dengan perolehan wilayah
yang beralih karenanya harus menanggung semua beban yang muncul dalam
kaitannya dengan wilayah tersebut.
5. Masalah HAM dipandang sebagai norma fundamental yang kedudukannya lebih
tinggi daripada masalah suksesi negara yang merupakan masalah teknis.
Demikianlah pada tahun 1992 dalam kaitannya dengan disintegrasi Yugoslavia,
komite HM menegaskan bahwa semua penduduk di dalam wilayah bekas Negara Federasi
Republik Yugoslavia (Socialist Federal Republic of Yugoslavia) berhak atas jaminan
perlindungan HAM dalam kovenan kovenan HAM yang kemudian ditegaskan lagi dalam
resolusi-resolusi Komisi HAM. Selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Internasional dalam
Case Concerning the Aplication of the Genocide Convention (Bosnia Herzegovina V
Yugoslavia) (preliminary objection) hakim berpendapat bahwa setelah terjadi suksesi negara
maka perjanjian HAM otomatis akan beralih. Hal ini merupakan hukum kebiasaan
internasional untuk menghindari perbedaan perlindungan dari negara predecessor dengan
suksesornya.
Di samping perjanjian dispositif dalam hukum internasional juga dikenal perjanjian
politik atau sering juga disebut sebagai personal treaties. Contoh perjanjian ini adalah
extradition treaty, navigation treaty, friendship treaty, investment guarantee treaty, dan lain-
lain. Prinsip umum yang berlaku untuk kelompok perjanjian ini adalah tidak beralih pada
suksesor kecuali diatur lain oleh para pihaknya. Meskipun antara Pemerintah Hindia Belanda
dengan Pemerintah Inggris yang menguasai Singapura waktu itu sudah membuat perjanjian
bilateral mengenai ekstradisi, namun perjanjian ini tidak bisa digunakan untuk meminta
diekstradisikannya Kapten Westerling yang diketahui bersembunyi di Singapura setelah
melakukan pembantaian terhadap lebih dari 40.000 orang di daerah Sulawesi. Hal ini karena
perjanjian ekstradisi termasuk kategori perjanjian politik sehingga tidak beralih otomatis pada
para suksesornya kecuali ditentukan lain oleh para suksesornya. Dengan demikian, sampai
saat ini antara Indonesia-Singapura belum memiliki perjanjian ekstradisi. Kalaupun beberapa
waktu yang lalu pernah diupayakan untuk ditandatangani mengingat banyaknya koruptor
Indonesia yang bersembunyi dan menanamkan modalnya di Singapura, namun perjanjian itu
sampai saat ini belum dapat diberlakukan karena belum diratifikasi oleh kedua belah pihak.
Dalam hal perjanjian yang isinya semata-mata merupakan kodifikasi dari prinsip-
prinsip yang sudah dikenal dalam hukum kebiasaan internasional maka negara suksesor akan
terikat pada prinsip-prinsip tersebut sebagaimana negara-negara lain.
C. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Public Property Rights
Secara yuridis, ada dua jenis aset pascasuksesi yakni, aset milik pemerintah dan aset
milik swasta. Aset milik swasta dapat dibagi lagi menjadi, aset milik warga negara secara
perseorangan, aset milik perusahaan swasta dan aset milik perusahaan negara atau di
Indonesia dikenal sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN digolongkan dalam
status privat karena meski modalnya milik negara dalam operasionalnya ia tunduk pada
hukum perdata nasional (de jure gestiones). Negara tidak dapat menggunakan hak istimewa
dan kekebalan (de jure imperi) ketika misalnya sebuah BUMN diharuskan memenuhi suatu
kewajiban hukum oleh pihak pelanggannya/ mitra kerjanya. Prinsip-prinsip suksesi negara
dalam kaitannya dengan public property atau state property ini dikembangkan oleh hukum
kebiasaan internasional yang selanjutnya dikodifikasikan dalam Konvensi Wina 1983 tentang
State Property, arsip dan utang.
Permasalahan menyangkut state property sangatlah kompleks. Dalam konteks
Yugoslavia, Komisi Arbitrase menyatakan bahwa prinsip utama yang harus dikembangkan
pada suksesi negara adalah bahwa negara-negara suksesor harus konsultasi satu sama lain
untuk memperoleh kesepakatan berkiatan dengan penyelesaian semua permasalahan yang
muncul berkaitan dengan suksesi tersebut.
Prinsip umumn secara luas dalam hukum kebiasaan internasional adalah bahwa state
property akan beralih pada suksesor. Hal ini berarti tidak ada kewajiban hukum pihak
suksesor untuk mengembalikan ataupun membayar ganti rugi aset-aset milik pemerintah lama
(pre desesor). Hal ini diatur, baik dalam hukum konvensional maupun dalam hukum
kebiasaan internasional Pasal 11 "Viena Convention on Succession of States" menyatakan:
"...the passing of state property of the predecessor state to the successor state shall take place
without compensation" (pengalihan milik negara predesesor kepada negara suksesor haruslah
tanpa pembayaran ganti rugi).
Dalam hukum kebiasaan internasional terlihat misalnya Indonesia tidak membayar
ganti rugi kepada Belanda pasca kemerdekaan, Singapura tidak membayar ganti rugi kepada
Malaysia pasca berpisahnya Singapura dari Federasi Malaysia, RRC tidak membayar ganti
rugi kepada Inggris pasca penyerahan Hongkong tahun 1997.
Permasalahan pertama yang akan muncul dalam kaitannya dengan state property
adalah apa yang dimaksud dengan state property. Secara umum dikatakan bahwa state
property adalah property yang ada di bawah kepemilikan langsung atau tidak langsung dari
lembaga-lembaga eksekutif, legislatif atau yudikatif negara berdasarkan hukum nasional
negara predecessor. Prinsip ini kemudian diadopsi dalam Pasal 8 Konvensi Wina 1983 yang
menyatakan that property shall be property rights and interests which at the date of the
succession of states were according to the internal law of predecessor state owned by that
state." Dalam praktik, yang dimaksud dengan the date of the succession of states adalah hari
kemerdekaan suksesor. Meskipun demikian, dapat ditemukan banyak harikemerdekaan yang
mungkin berbeda-beda dalam kasus disintegrasi negara seperti kasus Yugoslavia juga Uni
Soviet.
Para ahli hukum internasional umumnya sependapat bahwa yang dimaksud state
property dapat berwujud gedung-gedung dan tanah milik negara, alat-alat transportasi milik
negara, dana-dana pemerintah yang tersimpan dalam bank, pelabuhan-pelabuhan dan
sebagainya. State Property tersebut dapat dibedakan menjadi benda bergerak dan tidak
bergerak. Menyangkut benda tidak bergerak yang ada di wilayah yang beralih, prinsip umum
yang berlaku adalah bahwa property itu akan beralih pada suksesor Hal ini didukung tidak
hanya oleh Konvensi Wina 1983, hukum kebiasaan juga pengutamaan tradisional terhadap
lex situs. Selanjutnya, jika benda tidak bergerak berada di luar wilayah yang beralih maka
dianggap tetap milik predecessor, seandainya negara ini tetap eksis, meskipun prinsip ini
dapat dimodifikasi. Tetapi, bila predecessornya tidak ada lagi maka praktik negara negara
menunjukkan property tersebut akan dibagi di antara negara-negara suksesor yang ada.
Dalam kasus Polish Upper Silesia tahun 1926, dengan memerhatikan Pasal 236
perjanjian Versailles, Mahkamah permanen Internasional menyatakan pertimbangan
beralihnya state property pada suksesor adalah sebagai berikut:
1. pertimbangan stabilitas hak-hak hukum;
2. pertimbangan interpretasi dari kehendak khusus para pihak perjanjian peralihan itu dan
atas dasar bahwa para pihak berkehendak untuk menghindari kekosongan hukum.
Konvensi Wina 1983 dalam Pasal 15 (b) nya membuat aturan khusus untuk newly
independent state yang menetapkan bahwa" that immovable property having belonged to the
territory to which the succession of states relates. Situated outside it and having become state
property during the period of dependence, shall pass to the successor state and other
immovable state property situated outside the territory shall pass to the successor state in
proportion to the contribution of the dependent territory,"
Selanjutnya berkaitan dengan benda bergerak Pasal 17 ayat (1) (b) Konvensi Wina
1983 menetapkan bahwa movable property of predecessor stateconnected with the activity of
the predecessor state in respect of the territory to which the succession of states relates shall
pass to the successor states. Dalam kasus Yugoslavia digunakan prinsip equitable division
terhadap state property.
D. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Privat Property
Privat property yang dimaksud dalam pembahasan ini menyangkut harta benda juga
hak-hak milik perseorangan atau perusahaan yang bukan milik negara berdasarkan hukum
nasional predecessor. Dalam hal terjadi suksesi pada umumnya para ahli hukum internasional
sepakat bahwa privat property ini harus dihormati atau dilindungi oleh predecessor state serta
tidak dipengaruhi secara otomatis oleh suksesi negara yang terjadi. Dengan kata lain, dapat
dikatakan bahwa prinsip umum yang berlaku adalah sepanjang tidak ditentukan lain dalam
perjanjian peralihannya maka privat property tidak beralih pada suksesor. Dengan demikian,
bila suksesor ingin mengambil alih benda tersebut haruslah dengan memberikan kompensasi
pada pemiliknya, individu maupun perusahaan. Meskipun demikian, di dalam praktik sering
kali masalah yang timbul sangat kompleks sehingga tidak dengan begitu saja prinsip umum
itu dapat diberlakukan, dalam praktik ada beberapa prinsip yang diberlakukan terhadap privat
property. sebagai berikut:
1. Pada prinsipnya suksesor wajib untuk menghormati privat property yang telah diperoleh di
bawah hukum predecessor.
2. Kelanjutan hak-hak perseorangan tersebut berlaku selama perundang undangan negara
suksesor tidak menyatakan lain, dalam hal menghapus atau menggantikannya.
3. Penghapusan atau perubahan terhadap privat property tersebut tidak boleh bertentangan
dengan atau melanggar kewajiban-kewajiban hukum internasionalnya, khususnya mengenai
perlindungan diplomatik.
4. Privat property yang bermacam-macam jenisnya memerlukan pemecahan sendiri-sendiri
yang berarti memerlukan perumusan tersendiri untuk setiap jenis privat property.
E. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Arsip Negara
Yang dimaksud dengan State Archives adalah Documents, numismatic collection,
iconographic document, photographs & films, all objects of historical value, archeological
objects. Prinsip umum yang berlaku untuk arsip yang berkaitan dengan wilayah yang akan
beralih pada suksesornya. Pasal 21 Konvensi Wina 1983 menetapkan bahwa arsip dari negara
predecessor beralih pada suksesor pada saat terjadinya suksesi. Dalam hal tidak ada
perjanjian maka beralihnya arsip tersebut tanpa kompensasi. Selanjutnya Konvensi Wina
1983 juga mewajibkan predecessor membantu proses penemuan dan pengembalian arsip-
arsip yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahannya dalam kaitannya dengan newly
independent state case. Berdasarkan Perjanjian Perdamaian Itali 1947, Itali diwajibkan
mengembalikan semua arsip dan historical material yang berasal dari Etiophia setelah
Oktober 1935, Dalam kasus penggabungan negara maka arsip dari predecessor akan beralih
pada suksesornya sebagaimana diatur oleh Pasal 29 Konvensi Wina 1983. Ketentuan yang
sama juga berlaku dalam kasus pemisahan sebagian wilayah. Adapun dalam hal terjadi
disintegrasi maka arsip akan beralih pada masing-masing suksesor sesuai dengan relevansi
arsip tersebut bagi masing-masing suksesor yang terbentuk.
F. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Utang Negara (Public Debt)
Masalah utang negara adalah masalah yang paling sensitif dalam kasus terjadinya
suksesi negara karena pada umumnya menyangkut kewajiban pembayaran utang yang cukup
besar dari predecessor pada negara ketiga.
Apabila pada state atau public property dapat dikatakan terjadi keseragaman pendapat
dari para pakar hukum internasional bahwa property itu beralih pada suksesor maka tidak
demikian halnya dengan utang negara. Utang negara menurut Konvensi Wina 1983 adalah
financial obligation of predecessor state arising in conformity with international law adalah
sangat sulit memperoleh keseragaman penyelesaian masalah utang negara dalam tiap tiap
kasus suksesi negara. Sebagai contoh setelah pemisahan Texas dariMexico 1840, pembayaran
ex gratia dilakukan. Demikian juga setelah perang Afrika Selatan, Inggris menerima sebagian
tanggung jawab keuangan tanpa mengakui kewajiban hukum untuk berbuat begitu. Kasus-
kasus ini dipengaruhi pendapat yang sedang berkembang saat itu bahwa suksesor hanya
memiliki kewajiban moral (ex gratia) terhadap kewajiban pembayaran utang tersebut.
Pada tahun 1871 Jerman menolak menerima tanggung jawab utang predecessor-nya
setelah negara ini mengambil alih dan memasukkan Alsace Lorraine ke dalam wilayahnya.
Tahun 1898 Amerika Serikat menolak mengambil alih utang Cuba dengan alasan bahwa
Spanyol-lah yang memperoleh manfaat dari utang tersebut. Kasus lain, Panama menolak
tanggung jawab utang yang dibuat Columbia setelah negara ini memisahkan diri dari
Columbia pada tahun 1903. Sebaliknya setelah perjanjian Berlin 1878, Montenegro dan
Bulgaria menerima kewajiban utang berkaitan dengan Ottoman Debt dan praktik ini
ditegaskan diikuti oleh perjanjian perdamaian 1919 antara Turki dan suksesornya Kerajaan
Austro Hongarian. Ketidakseragaman praktik di atas menurut berbagai kalangan semakin
menguatkan asumsi yang ada bahwa memang penerimaan utang predecessor oleh suksesor
sebagai ex gratia bukanlah kewajiban hukum internasional.
Dalam perkembangannya pendapat di atas menurut Briggs semakin ditinggalkan yaitu
dengan berkembangnya teori taking the burden with the benefit. Starke berpendapat sudah
selayaknya jika negara pengganti setelah memperoleh manfaat utang-utang karena
pengambilan wilayah, juga harus bertanggung jawab atau utang-utang negara predecessor-
nya. Atas dasar teori ini Amerika Serikat pada 1898 tidak mau mengakui utang Cuba yang
dibuat oleh Spanyol yang agak bertentangan dengan kepentingan Cuba.
Dalam upayanya menciptakan keseragaman demi kepastian hukum, Konvensi Wina
1983 melalui Pasal 36-nya menyatakan bahwa suksesi negara tidak memengaruhi hak dan
kewajiban kreditor. Pada umumnya utang negara dapat dibagi menjadi utang pemerintah
pusat dan pemerintah daerah (local debt) dan penyelesaian utang dilakukan melalui perjanjian
khusus dalam perjanjian peralihan. Dalam kondisi tidak ada perjanjian khusus dan
predecessor masih eksis, praktik negara menunjukkan bahwa predecessortetap bertanggung
jawab. Adapun menyangkut utang daerah (local debt) dan daerah itu melepaskan diri maka
suksesor wajib membayar utang tersebut. Ada sedikit ketidakpastian dalam masalah utang ini
karena pada umumnya para pihak menyelesaikannya melalui perjanjian khusus antara mereka
pihak pihak terkait. Apabila terjadi transfer sebagian wilayah dari predecessor ke negara lain
maka menurut Pasal 37 masalah utangnya diselesaikan melalui pembagian yang proporsional
tergantung kesepakatan para pihak. Adapun menyangkut newly independent state case Pasal
38 menyatakan tidak ada utang negara predecessor yang beralih pada suksesor. Selanjutnya
dalam kasus merget atau penggabungan beberapa negara menjadi suatu negara lebih besar
maka prinsip yang berlaku adalah bahwa utang tersebut beralih pada suksesornya. Masih
berkaitan dengan bentuk suksesi negara dalam hal sebagian wilayah predecessor memisahkan
diri membentuk negara merdeka sendiri atau terjadi disintegrasi sehingga terbentuk beberapa
negara merdeka yang baru maka Pasal 40 dan 41 Konvensi menetapkan untuk menggunakan
prinsip pembagian yang adil equitable proportion dalam menyelesaikan kewajiban utangnya.
Pembagian yang adil ini pada umumnya dengan menyesuaikan
1. jumlah penduduk;
2. luas wilayah;
3. kekayaan atau sumber daya alam yang dimiliki masing-masing wilayah;
4. besarnya pajak pendapatan yang diperoleh masing-masing wilayah.
G. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Kewarganegaraan
Dua Konvensi yang berkaitan dengan suksesi negara yaitu Konvensi Wina 1978 dan
1983 tidak mengatur akibat suksesi terhadap masalah kewarganegaraan. Dalam praktik
adalah hak negara untuk mengatur masalah kewarganegaraannya. Beberapa penulis hukum
internasional termausk Brownlie menegaskan bahwa kewarganegaraan akan berubah ketika
terjadi peralihan kedaulatan atau suksesi negara. Untuk memperkuat praktik setelah
perjanjian Versailess 1919 menunjukkan negara-negara yang baru terbentuk mendasarkan
kewarganegaraan berdasarkan pada tempat kelahiran juga tempat tinggal sehari-hari (habitual
resident) kecuali ada penolakan untuk itu. Dengan demikian, warga dari predecessor
yangtinggal di wilayah suksesor dapat memperoleh kewarganegaraan suksesor sepanjang
mereka tidak menyatakan penolakannya. Namun demikian, negara predecessor seandainya
masih eksis sering kali juga membuat aturan dalam hukum nasionalnya yang menyatakan
warganya yang ada di wilayah yang memisahkan diri tetap berhak atas kewarganegaraan
predecessor. Negara suksesor maupun predecessor pada akhirnya memberikan kebebasan
pada penduduk untuk memilih kewarganegaraan yang diinginkannya apakah tetap
kewarganegaraan atau berganti menjadi kewarganegaraan suksesor. Penyelesaian masalah ini
dapat dilakukan melalui perjanjian khusus predecessor dengan suksesor atau cukup melalui
instrumen hukum nasional saja.
Dalam kaitannya dengan kewarganegaraan ini yang terpenting bagi suksesor maupun
predecessor adalah melaksanakan amanat Deklarasi HAM Universal 1948 bahwa setiap
orang berhak atas kewarganegaraan. Di samping itu, tak kalah pentingnya juga adalah apa
yang diatur dalam 1961 Convention on the Reduction of the Statelessness yang menetapkan
bahwa negara harus menjamin tidak ada penduduk yang menjadi stateless sebagai akibat dari
terjadinya suksesi negara di wilayahnya. Kelompok kerja di International Law Commission
(ILC) dalam laporannya tahun 1995 yang lalu menyatakan bahwa stateless adalah masalah
yang paling serius yang sering muncul akibat terjadinya suksesi negara dan negara memiliki
kewajiban untuk mencegahnya.
H. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Keanggotaan pada Organisasi
Internasional
Masalah keanggotaan suatu negara di organisasi internasional maupun regional
ditentukan oleh konstitusi masing-masing organisasi. Piagam PBB misalnya tidak mengatur
masalah pengunduran diri. PBB juga menetapkan bahwa keanggotaan suatu negara di PBB
tidak akan terhenti hanya karena terjadinya perubahan dan pergantian konstitusi atau
perbatasan. Adapun terhadap negara baru maka negara ini harus mengikuti aturan yang
berlaku untuk negara baru yaitu mendaftarkan diri sebagai anggota baru kecuali telah ada izin
sesuai ketentuan yang terdapat pada piagam.
Baltik (Astonia, Latvia, dan Lithuania), Georgia dan 11 negara lainnya Terpecah-
pecahnya (dismemberment) Uni Soviet membentuk tiga negara (3 di antaranya Rusia,
Bylorusia, dan Ukraina) yang mana ke-11 negaraini membentuk Perserikatan Negara-negara
Merdeka (Commonwealth of Independent States) pada 21 Desember 1991. Sebelum
pecahnya Uni Soviet, Bylorusia dan Ukraina telah membentuk satu federasi dengan Uni
Soviet Namun, saat pembentukan PBB dengan kepiawaian diplomasinya, meskipun
mendapat banyak kritik dari negara-negara lain mengingat Bylorusia dan Ukraina bukan
"negara" dalam arti sebenarnya, Uni Soviet berhasil mengajukan agar kedua negara itu
memperoleh kursi sendiri sebagai anggota utama (original member) PBB. Kedua "negara" ini
mendapat hak dan kedudukan yang sama dengan negara-negara anggota PBB lainnya. Hal ini
berbeda dengan Negara-negara Republik Federal lainnya seperti Georgia, Armenia,
Azerbaijan, Turkmenistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Tadzhikistan, Kirghizia dan negara
republik federasi di Baltik yang bukan anggota PBB. Setelah terjadi suksesi negara di mana
Uni Soviet sebagai predecessor sudah tidak ada lagi, Republik Rusia diakui sebagai pewaris
yang sah (legitimate successor) dari Uni Soviet. Beberapa pertimbangannya adalah bahwa
Ibukota Moscow ada di wilayah Rusia juga pemerintahan yang efektif di negara suksesor ini
memperoleh dukungan terbesar dari mayoritas penduduk bekas Uni Soviet (entire popular
support). Demikianlah, akhirnya Rusia mewarisi kursi Uni Soviet sebagai anggota tetap
Dewan Keamanan PBB. Bylorusia dan Ukraina juga tetap bisa melanjutkan keanggotaannya
di PBB. Adapun 3 negara Baltik dan 9 negara lainnya harus mendaftarkan diri sebagai
anggota PBB,
Kasus Socialist Federal Republic of Yugoslavia (SFRY) yang terbagi-bagi menjadi
beberapa negara baru seperti Croatia, Slovenia, Bosnia Herzegovina, Macedonia dan
Republik Federasi Yugoslavia (RFY, terdiri dari Serbia dan Montenegro) bisa dikategorikan
sebagai Suksesi Universal (total succession) di mana predecessornya tidak eksis lagi.
Dibandingkan negara suskesor lain, RFY sering dianggap sebagai pewaris SFRY karena
Ibukota Bed RFY, memproleh dukungan luas dari segenap rakyatnya, telah melakukan ada di
hak-hak dan kewajiban dalam perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat oleh
predecessornya bahkan juga menguasai angkatan bersenjata Yugoslavia. RFY mengklaim
dirinya berhak mewarisi kursi SFRY sebagai original member di PBB. Namun demikian,
tidak sebagaimana Rusia dalam contoh kasus di atas yang tidak menemui kesulitan mewarisi
kursi Uni Soviet, RFYmemperoleh penolakan dari Dewan Keamanan. Beberapa Resolusi
Dewan Keamanan antara lain Resolusi 713 menyatakan perolehan wilayah dengan kekerasan
tidak bisa diterima dan memberikan sanksi embargo senjata, Resolusi 752 menyerukan pihak-
pihak terkait untuk mengakhiri konflik di Bosnia Herzegovina, demikian juga Resolusi 764
(1992), 769, 770, 771, 787, merupakan resolusi-resolusi yang berisikan sanksi pada Serbia
dan Montenegro, mengutuk pembersihan etnis juga penetapan zona-zona aman di kawasan
tersebut.
I. Akibat Hukum Suksesi Negara Terhadap Claims in Tort dan Delict
Prinsip yang umum berlaku dalam masalah ini adalah bahwa suksesor dipandang
tidak berkewajiban untuk menerima tanggung jawab akibat tort atau delik yang dilakukan
oleh predecessor-nya, baik dalam kasus suksesi negara karena penaklukan (aneksasi) ataupun
berintegrasi secara sukarela.
Pendapat-pendapat pakar hukum internasional mendudukung prinsip tersebut. Briggs
misalnya menyatakan bahwa.
No principle of international law establishes the liability of a State which annexes
territory for the delicts of the replaced States, whether the replacement took place
through conquest or through voluntary absorbtion.
Selanjutnya Schwarzenberger menulis bahwa...Cesssionary States are under no
obligation to assume any responsibility for tortiouss acts or omission of the ceding State...
Prinsip tidak beralihnya kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan hukum tort atau delik
ini menurut Charles de Visscher berasal dari prinsip tentang sifat personal dari kesalahan
(fault).
Kasus terkenal berkaitan dengan masalah klaim ini adalah kasus Robert E. Brown
yang diputus oleh Anglo-American Pecuniary Claims Tribunal 1923. Brown adalah Warga
Amerika dan seorang insinyur pertambangan yang sedang mengajukan gugatan di Republik
Afrika Selatan. Sayang sekali pada 1895 gugatannya kandas karena Afrika Selatan dikuasai
oleh Inggris yang memperoleh kemenangan lewat Boer War. Kasus GugatanBrown
kemudian diambil alih oleh Amerika. Pengadilan menolak gugatan Amerika yang
menginginkan Inggris untuk bertanggung jawab atas klaim yang diajukan warganya.
Pengadilan secara tegas menyatakan bahwa suatu negara yang memperoleh daerah dengan
penaklukan tidak sekali-kali wajib mengambil tindakan-tindakan tegas untuk memperbaiki
suatu kesalahan yang mungkin telah dilakukan oleh negara predecessor-nya. Putusan serupa
juga tampak dalam kasus Hawaiian Claims 1925.
J. Suksesi Negara di Indonesia
Sejarah menunjukkan bahwa beberapa kali Indonesia menghadapi peristiwa suksesi
negara. Suksesi negara yang pertama adalah kemerdekaan Indonesia dari pemerintah
Kolonial Belanda, sehingga Indonesia dapat tergabung dalam kelompok newly independent
state menurut bahasa Konvensi Wina 1978 dan 1983 tentang suksesi negara. Suksesi kedua
adalah diserahkannya Irian Barat oleh Belanda pada Indonesia melalui proses referendum di
bawah pengawasan PBB yang menjadikan wilayah itu menjadi provinsi ke-26 pada tahun
1963 dan yang ketiga adalah lepasnya Timor Timor sebagai provinsi ke-27 membentuk
negara baru yang merdeka yaitu Timor Leste pada tahun 1999.
Berkaitan dengan suksesi yang pertama, meskipun telah mem proklamasikan
kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, tetapi baru pada tahun 1949 melalui Perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB) Indonesia memperoleh pengakuan kedaulatan secara resmi
dari Belanda. Perjanjian KMB dilengkapi dengan perjanjian peralihan. Pasal 5 perjanjian
KMB mengatur mengenai kedudukan perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat Belanda
dalam hubungannya dengan Republik Indonesia Serikat (RIS). Melalui Pasal 5 tersebut dapat
ditafsirkan bahwa perjanjian perjanjian internasional yang dibuat Belanda tidak otomatis
mengikat RIS bekas wilayah jajahan yang baru saja merdeka, melainkan memerlukan
pengukuhan lebih lanjut oleh pemerintahnya masing-masing.
Dalam kasus permohonan ekstradisi Kapten Westerling oleh Indonesia pada penguasa
di Singapura saat itu, berdasarkan keberadaan perjanjian ekstradisi Belanda Inggris 1898,
memperoleh penolakan atas dasar ketiadaan perjanjian ekstradisi Inggris-Indonesia. Dengan
demikian, perjanjian yangdibuat Belanda yang juga diberlakukan untuk bekas wilayah
jajahannya memang tidak bisa diberlakukan otomatis terhadap Indonesia. Penolakan dengan
alasan yang sama pula terjadi dalam kasus permohonan ekstradisi yang diajukan Indonesia
pada penguasa Hongkong saat itu atas awak kapal Waikelo yang membunuh nakhoda
kapalnya saat berlabuh di Hongkong 1969.
Surat dari Departemen Luar Negeri RI Nomor 12727, 19 Desember 1972
perihal"partisipasi RI pada perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Nederland dan dinyatakan
berlaku untuk Hindia Belanda" semakin menegaskan bahwa perjanjian yang dibuat
predecessor tidak otomatis beralih pada Indonesia sebagai suksesornya. Dalam surat itu
dengan tegas Indonesia menyatakan bahwa Indonesia hanya menjadi pihak pada perjanjian
yang dibuat Nederland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda selama Indonesia
secara tegas menyatakan demikian sesuai dengan prosedur dalam hukum perjanjian
internasional, kecuali mengenai perjanjian perbatasan.
Lepasnya Timor-Timor sebagai provinsi Indonesia yang ke-27 menjadi negara baru
yang merdeka merupakan kasus suksesi negara di Indonesia yang juga sangat menarik untuk
dibahas. Sebagaimana diketahui hasil jajak pendapat 30 Agustus 1999 menunjukkan bahwa
78,5% warga Timor Timor menghendaki kemerdekaan. Dengan demikian, sejak 4 September
1999 Timor Timor bukan menjadi bagian wilayah Indonesia lagi. Sesuai Resolusi Dewan
Keamanan Nomor 1272 (1999) UNTAET (United Nations Transition Administration in east
Timor) memperoleh mandat dari PBB untuk memegang pemerintahan sementara di Timor
Timor UNTAET atas nama PBB menyerahkan kedaulatan Timor Leste pada tanggal 26 Mei
2002 pukul 00.00 kepada bangsa Timor Leste yang diwakili oleh Presiden Xanana Gusmao.
Peristiwa ini menandakan terjadinya suksesi negara yang mengandung implikasi yuridis bagi
aset Indonesia yang berada di Timor Leste dalam posisi Ex post facto.
Dalam kaitannya dengan aset negara (public property) milik Indonesia yang ada di
Timor Timor saat terjadinya suksesi maka otomatis akan beralih pada negara baru itu tanpa
ada kewajiban untuk memberikan ganti rugi pada Indonesia. Berbeda halnya dengan aset
milik swasta asing yang ada di Timor Leste. Hukum internasional mengenal prinsip tanggung
jawab negara untuk melindungi setiap orang dan benda asing yang berada dalamwilayah
negara. Ini berarti pemerintah Timor Leste mengemban kewajiban hukum untuk
melindungi/mengamankan aset swasta Indonesia yang berada di wilayah negara Timor Leste.
Pemerintah Timor Leste tidak dapat melakukan penyitaan (konfiskasi), tetapi dapat
melakukan pengambilalihan (nasionalisasi) disertai ganti rugi dengan prinsip memadai
(adequate), segera (prompt) dan efektif (effective).
Dalam kaitannya dengan perjanjian internasional, pelaksanaannya sebagaimana juga
kasus Indonesia-Belanda maka tidak semua perjanjian yang dibuat Indonesia berlaku
otomatis terhadap Timor Leste sebagai suksesor. Beberapa perjanjian yang beralih adalah
sebagai berikut:

1. Agreement between The Government of The republic of Indonesia and The


Government of the Commonwealth of Australia Establishing Certain Seabed
Boundaries in the Area of The Timor and Arafura Seas 1972
2. Treaty between the The Government of The Republic of Indonesia and The
Government of Australia Establishing an Exclusive Economy Zone Boundary and
Certain Seabed Boundaries 1997
3. Treaty between the The Government of The Republic of Indonesia and The
Government of Australia on the Zone of Cooperation in an Area between the
Indonesia Province of east Timor and Nothern Australia 1989.
Ketiga perjanjian di atas otomatis beralih pada Timor Leste mengingat kedudukannya
sebagai perjanjian perbatasan yang tidak terpengaruh oleh terjadinya suksesi negara. Di
samping tiga perjanjian perbatasan yang beralih di atas dua perjanjian penting yang perlu
mendapat catatan khusus yaitu:
a. memorandum of Understanding between The Government of The Republic of
Indonesia and The Government of Australia Relating to The Water Supply and
Sanitarian project in East Timor 1992
b. Loan Agreement between the Republic of Indonesia and The united States of America
for Timor Malaria Project 1980
Pada perjanjian pertama Australia berkewajiban menyediakan dana $A 11.945.000
dan Indonesia Rp 8.592.000.000 untuk mengerjakan proyek air bersih dan sanitasi di imor
Timor. Pasca suksesi Indonesia tidak lagi terikat dengan hak dan kewajiban melaksanakan
proyek tersebut. Kelanjutan proyek tergantung dari kesediaan Australia dan Timor Leste.
Adapun pada perjanjian kedua Indonesia berhak atas pinjaman $US 3.600.000 untuk
penanggulangan malaria di wiayah Timor Indonesia, Timor Timor dan NTT Indonesia wajib
membayar pinjaman tersebut dalam jangka waktu 40 tahun. Pasca suksesi Indonesia tidak
lagi berkewajibanmenyalurkan 60% dana pinjaman ke wilayah Timor Timor yang
memisahkan diri. Timor Leste sebagai suksesor yang telah mendapatkan manfaat dari utang
itu berkewajiban melanjutkan kewajiban pembayaran utang berdasarkan prinsip taking the
burden with the benefits. Adapun Indonesia masih terikat pada kewajiban pembayaran utang
yang digunakan untuk wilayah NTT.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Arba. M. 2015. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Hal 82

Santoso Urip. 2012. Hukum Agraria Kajian Komprehensif. Surabaya : Kencana. Hal 75

Anda mungkin juga menyukai