Anda di halaman 1dari 13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Theory of Planned Behavior

Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh

Ajzen yang merupakan penyempurnaan dari reason action theory yang

dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen. Fokus utama dari teori planned behavior

ini sama seperti teori reason action yaitu intensi individu untuk melakukan

perilaku tertentu. Intensi dianggap dapat melihat faktor-faktor motivasi yang

mempengaruhi perilaku. Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau

berusaha untuk mencoba dan berapa besar usaha yang akan dikeluarkan individu

untuk melakukan suatu perilaku.

“Intention is an indication of a person’s readiness to perform a given

behavior, and it is consider to be the immediate antecendent of behavior. The

intention is based on attitude toward behavior, seubjective norm, and perceived

behavioral contrh bol, with each predictor weighted for its importance in relation

to the behavior and population of interest” (Ajzen, 2005).

Intention adalah indikasi kesiapan seseorang untuk melakukan perilaku

tertentu dan dianggap sebagai penentu langsung atau penyebab munculnya

perilaku. Intention tersebut dibentuk berdasarkan sikap terhadap perilaku, norma

subjektif, dan kontrol perilaku yang dirasakan, dimana tiap-tiap prediktor ini

memiliki bobot keterkaitan yang penting terhadap tingkah laku dan ketertarikan

(Ajzen, 2005).
Ajzen menyatakan bahwa niat untuk berperilaku (intenttion) dapat

digunakan untuk meramalkan seberapa kuat keinginan individu untuk

menampilkan tingkah laku dan seberapa usaha yang direncanakan atau akan

dilakukan untuk menampilkan suatu tingkah laku.

Ajzen menegaskan intensi sebagai pendahulu dari suatu perilaku yang

dimunculkan seseorang. Jadi, sebelum perilaku muncul terlebih dahulu terbentuk

intensi atau niat untuk memunculkan perilaku tersebut. Di dalam konsep Theory

of planned behavior terdapat empat elemen yang sering dikenal dengan istilah

TACT, yaitu :

a. Target, yaitu objek yang menjadi sasaran perilaku. Objek yang menjadi

sasaran dari perilaku spesifik dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu orang

tertentu/objek tertentu (particular object), sekelompok orang/sekelompok

objek (a class of object), dan orang atau objek pada umumnya (any

object).

b. Action, yang berati tindakan dan bisa diartikan pula sebagai perilaku yang

akan diwujudkan secara nyata.

c. Context, yang berarti konteks atau situasi. Situasi yang mendukung untuk

dilakukannya suatu perilaku (bagaimana dan dimana perilaku itu akan

diwujudkan).

d. Time, yaitu waktu terjadinya perilaku yang meliputi waktu tertentu, dalam

satu periode atau jangka waktu yang tidak terbatas.

Menurut theory of planned behavior, intensi adalah fungsi dari tiga

determinan dasar yaitu :


1. Faktor Personal merupakan sikap individu terhadap perilaku berupa evaluasi

positif atau negatif terhadap perilaku yang akan ditampilkan.

2. Faktor sosial diistilahkan dengan kata norma subjektif yang meliputi persepsi

individu terhadap tekanan sosial untuk menampilkan atau tidak menampilkan

perilaku.

3. Faktor kendali yang disebut perceived behavioral control yang merupakan

perasaan individu akan mudah atau sulitnya menampilkan perilaku tertentu.

Umumnya seseorang menunjukkan intensi terhadap suatu perilaku jika

mereka telah mengevaluasinya secara positif, mengalami tekanan sosial untuk

melakukannya, dan ketika mereka percaya bahwa mereka memiliki kesempatan

dan mampu untuk melakukannya. Sehingga dengan menguatnya intensi seseorang

terhadap perilaku tersebut, maka kemungkinan individu untuk menampilkan

perilaku juga semakin besar (Ajzen, 2005). Apabila ketika control diri mereka

lebih besar dalam memiliki kesempatan dan mampu untuk melakukannya akan

langsung mempengaruhi ke perilaku mereka.

Teori ini berasumsi bahwa pentingnya attitude toward behavior, subjective

norm dan perceived behavioral control adalah relati teragntung pada intensi yang

diteliti. Pada beberapa intensi, pertimbangan attitudional lebih penting

dibandingkan pertimbangan normatif, sementara untuk intensi yang lainnya

pertimbangan normatif adalah yang lebih dominan. Begitu juga perceived

behavioral control, mungkin akan lebih penting ada beberapa perilaku

dibandingkan dengan determinan yang lain. pada beberapa hal, hanya satu atau
dua faktor saja yang dibutuhkan untuk menjelaskan intensi, sedangkan pada yang

lainnya, ketiga faktor adalah determinan yang sama pentingnya (Ajzen, 2015).

Gambar dibawah ini menggambarkan theory of planned behavior seperti yang

telah diuraikan sebelumnya.

Attitude
toward
Behavioral

Subjective
Intention Behavior
Norm

Perceived
Behavioral
Control

Bagan 2.1 The Theory Planned of Behavior

Pada gambar di atas terdapat dua ciri penting dari theory of planned

behavior. Pertama, teori ini mengasumsikan bahwa perceived behavioral control

mempunyai implikasi motivasional pada intensi. Seseorang yang percaya bahwa

mereka tidak mempunyai sumber daya ataupun peluang untuk melakukan perilaku

tertentu tidak mungkin menunjukan intensi perilaku yang kuat meskipun

mempunyai attitude toward behavior yang positif dan percaya bahwa orang-orang

yang penting baginya akan menyetuji ia melakukan perilaku tersebut.

Ciri yang kedua adalah kemungkinan hubungan langsung antara perceived

behavioral control dan perilaku. Pada beberapa hal, tampilnya perilaku tidak

hanya tergantung pada motivasi untuk melakukannya, tetapi juga pada kontrol

yang adekuat terhadap perilaku tersebut. Menurut teori ini perceived behavioral
control dapat membantu untuk memprediksi pencapaian tujuan dari intensi

perilaku karena perceived behavioral control adalah refleksi dari actual control

dengan beberapa derajat akurasi. Dengan kata lain, perceived behavioral control

dapat mempengaruhi perilaku secara tidak langsung melalui intensi, dan juga

dapat digunakan untuk memprediksi perilaku secara langsung karena perceived

behavioral control merupakan pengganti dari pengukuran actual control. Tanda

panah putus-putus pada gambar diatas mengindikasikan bahwa hubungan antara

perceived behavioral control dan perilaku diharapkan muncul hanya ketika

terdapat kesamaan antara persepsi terhadap kontrol dan kontrol aktual seseorang

terhadap perilaku (Ajzen, 2005).

2.2 Determinan-determinan Intensi

2.2.1 Attitude Toward Behavior

a. Pengertian Attitude Toward Behavior

“Attitude toward a behavior is the degree to which performance of the

behavior is positively or negatively valued” (Ajzen, 2005).

Sikap terhadap perilaku adalah derajat penilaian positif atau negatif dari

suatu perilaku tertentu (Ajzen, 2005).

Ajzen (2005) mengatakan sikap merupakan suatu disposisi untuk

merespon secara positif atau negatif suatu perilaku. Sikap terhadap perilaku

ditentukan oleh belief tentang konsekuensi dari sebuah perilaku, yang disebut

sebagai behavioral beliefs (Ajzen, 2005). Menurut Ajzen (2005) setiap behavioral

beliefs menghubungkan perilaku dengan hasil yang bisa didapat dari perilaku

tersebut. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh evaluasi individu mengenai hasil
yang berhubungan dengan perilaku dan dengan kekuatan hubungan dari kedua hal

tersebut (Ajzen, 2005).

Sikap merupakan evaluasi individu baik positif maupun negatif terhadap

objek sikap berupa benda institusi, orang, kejadian, perilaku, maupun minat

tertentu. Sikap ditentukan dari evaluasi seseorang mengenai konsekuensi suatu

perilaku yang diasosiasikan dengan suatu perilaku, dengan melihat kuatnya

hubungan antara konsekuensi tersebut dengan suatu perilaku. Maka dapat

disimpulkan bahwa jika seseorang memiliki belief yang kuat bahwa suatu perilaku

akan menghasilkan konsekuensi yang positif, maka sikap terhadap perilaku

tersebut akan positif. Akan tetapi jika belief terhadap perilaku tersebut negatif,

maka sikap yang terbentuk terhadap suatu perilaku tersebut akan negatif.

Secara umum, semakin individu memiliki evaluasi bahwa suatu perilaku

akan menghasilkan konsekuensi positif maka individu akan cenderung bersikap

favorable terhadap perilaku tersebut; sebaliknya, semakin individu memiliki

evaluasi negative maka individu akan cenderung bersikap unfavorable terhadap

perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

b. Aspek Attitude Toward Behavior

Menurut Ajzen (2005) sikap terhadap perilaku didefinisikan sebagai

derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu. Sikap

terhadap perilaku ditentukan oleh kombinasi antara behavioral belief dan outcome

evaluation. Behavioral belief adalah belief individu mengenai konsekuensi positif

atau negatif dari perilaku tertentu dan outcome evaluation merupakan evaluasi
individu terhadap konsekuensi yang akan ia dapatkan dari sebuah perilaku.

Rumusnya adalah sebagai berikut:

Berdasarkan rumus di atas sikap terhadap perilaku (AB) didapat dari

penjumlahan hasil kali antara belief terhadap outcome yang dihasilkan (bi) dengan

evaluasi terhadap outcome (ei). Dapat disimpulkan bahwa individu yang percaya

melakukan suatu perilaku tertentu akan menyebabkan hasil tertentu dan sebagian

besar hasil tertentu tersebut dievaluasi sebagai hasil yang positif bagi dirinya

maka ia akan memiliki sikap yang baik terhadap perilaku tersebut. Sementara

orang yang percaya bahwa melakukan perilaku tersebut sebagian besar akan

membawa hasil negatif cenderung memiliki sikap yang kurang baik.

2.2.2 Subejective Norm

a. Pengertian Subjective Norm

“Subjective norm is the perceived social pressure to engage or not to

engage in a behavioral” (Ajzen, 2015).

Norma subjektif adalah tekanan yang dirasakan oleh seseorang yang

berasal dari lingkungan sosialnya tentang harus atau tidak harus menampilkan

suatu perilaku.

Ajzen (2005) mengatakan norma subjektif merupakan fungsi yang

didasarkan oleh belief yang disebut normative belief, yaitu belief mengenai

kesetujuan dan atau ketidaksetujuan yang berasal dari referent atau orang dan

kelompok yang berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua,
pasangan, teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu perilaku. Norma

subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang tekanan sosial untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Norma subjektif

ditentukan oleh kombinasi antara normative belief individu dan motivation to

comply.

Biasanya semakin individu mempersepsikan bahwa social referent yang

mereka miliki mendukung mereka untuk melakukan suatu perilaku maka individu

tersebut akan cenderung merasakan tekanan sosial untuk memunculkan perilaku

tersebut. Dan sebaliknya semakin individu mempersepsikan bahwa social referent

yang mereka miliki tidak menyetujui suatu perilaku maka individu cenderung

merasakan tekanan sosial untuk tidak melakukan perilaku tersebut. Ketika

seseorang ingin menampilkan perilaku, maka ia akan menyesuaikan perilaku

tersebut dengan norma kelompoknya sehingga kecenderungan untuk

menampilkan perilaku akan semakin besar jika kelompok bisa menerima perilaku

tersebut. Kelompok ini bisa saja berupa orangtua, saudara, teman dekat, dan orang

yang berkaitan dengan perilaku tersebut.

b. Aspek Subjective Norm

Norma Subjektif diartikan sebagai dukungan orang-orang terdekat untuk

melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen, 2005). Norma subjektif

ditentukan oleh dua aspek yaitu normative belief (keyakinan normatif), normative

belief adalah keyakinan seseorang mengenai setuju atau tidak setuju yang berasal

dari referent. Referent merupakan orang atau kelompok sosial yang sangat

berpengaruh bagi seseorang baik itu orang tua, pasangan (istrri atau suami), teman
dekat, rekan kerja dan lain-lain tergantung pada tingkah laku yang dimaksud.

Keyakinan normatif (normative belief) berasal dari keyakinan seseorang mengenai

orang-orang terdekatnya (significant others) yang mendukung atau menolak pada

tampilan perilaku tersebut. Keyakinan normatif didapat dari significant others

tentang apakah individu perlu, harus, atau dilarang melakukan perilaku tertentu

dan dari seseorang yang berhubungan langsung dengan perilaku tersebut.

Dan aspek kedua yaitu motivation to comply (keinginan untuk mengikuti),

motivation to comply adalah motivasi individu untuk menampilkan atau mematuhi

perilaku yang diharapkan significant others. Individu yang percaya bahwa

significant others menyetujui suatu perilaku, maka ini akan menjadi tekanan

sosial bagi individu untuk melakukan perilaku tersebut dan begitu sebaliknya.

Hubungan antara dua aspek norma subjektif diatas dapat digambarkan pada

persamaan berikut ini :

Berdasarkan rumus di atas norma subjektif (SN) didapat dari penjumlahan

hasil kali dari normative belief dengan motivation to comply. Dengan kata lain,

orang percaya bahwa individu atau kelompok yang cukup berpengaruh

terhadapnya akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku tertentu, maka hal

ini menyebabkan ia menjadi terdorong untuk melakukaknnya. Sebaliknya, jika ia

percaya individu atau kelompok yang cukup berpengaruh terhadap dirinya tidak

mendukung ia untuk melakukan tingkah laku tertentu, maka hal ini membuat

dirinya untuk tidak melakukan tingkah laku tersebut. Determinan ini dapat dinilai

secara langsung dengan meminta responden untuk menilai seberapa besar


kemungkinan bahwa kebanyakan orang-orang yang penting bagi mereka akan

menyetujui mereka melakukan perilaku tertentu.

2.2.3 Perceived Behavioral Control

a. Pengertian Perceived Behavioral Control

“Perceived behavioral control refers to people’s perception of their

ability to perform a given behavior” (Ajzen, 2015).

Kontrol tingkah laku yang dirasakan merujuk pada persepsi seseorag

mengenai kemampuannya untuk menampilkan perilaku tertentu.

Ajzen (2005) menjelaskan perceived behavioral control sebagai fungsi

yang didasarkan oleh belief yang disebut sebagai control beliefs, yaitu belief

individu mengenai ada atau tidak adanya faktor yang mendukung atau

menghalangi individu untuk memunculkan sebuah perilaku. Belief ini didasarkan

pada pengalaman terdahulu individu tentang suatu perilaku, informasi yang

dimiliki individu tentang suatu perilaku yang diperoleh dengan melakukan

observasi pada pengetahuan yang dimiliki diri maupun orang lain yang dikenal

individu, dan juga oleh berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun

menurunkan perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam melakukan suatu

perilaku.

Semakin banyak sumber yang dibutuhkan dan kesempatan yang dianggap

telah ia miliki dan lebih sedikit pengahalang atau penghambat yang mereka

rasakan, semakin besar kontrol yang mereka persepsi atas perilaku. Semakin

individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat

untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar kontrol yang mereka
rasakan atas perilaku tersebut dan begitu juga sebaliknya, semakin sedikit individu

merasakan faktor pendukung dan banyak faktor penghambat untuk dapat

melakukan suatu perilaku, maka individu akan cenderung mempersepsikan diri

sulit untuk melakukan perilaku tersebut (Ajzen, 2005).

b. Aspek Perceived Behavioral Control

Perceived behavioral control adalah persepsi individu mengenai

kemudahan atau kesulitan untuk melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2005).

Perceived behavioral control ditentukan oleh kombinasi antara control belief dan

perceived power control. Control belief merupakan belief individu mengenai

faktor pendukung atau penghambat untuk memunculkan sebuah perilaku.

Perceived power control adalah kekuatan perasaan individu akan setiap faktor

pendukung atau penghambat tersebut.

Behavioral belief dianggap menentukan sikap, normative belief dipandang

sebagai menentukan norma subjektif dan control belief yang kuat mengenai

faktor-faktor yang ada akan memfasilitasi suatu perilaku, maka seseorang tersebut

memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku.

Namun sebaliknya, seseorang akan memiliki control belief yang kuat mengenai

faktor-faktor yang menghambat perilaku. Hubungan antara control belief dan

perceived power control dapat dilihat pada rumus berikut:

PBC = Σ ci pi

Berdasarkan rumus di atas perceived behavioral control (PBC) didapat

dari penjumlahan hasil kali control belief (ci) dengan perceived power control

(pi). Hasilnya dapat dilihat dari jumlah control belief yang dapat diukur. Dengan
kata lain, orang yang memiliki control belief yang kuat mengenai faktor-faktor

yang ada yang akan memfasilitasi perilaku tertentu, maka orang tersebut memiliki

persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku. Sebalinya,

orang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam mengendalikan suatu

perilaku jika ia memiliki control belief yang kuat mengenai faktor-faktor yang

menghambat perilaku.

2.2.4 Background Factor

Bagan 2.2 Background Factor

Dalam Theory Planned of Behavior (Icek Ajzen, 2005)

2.3 Drama Korea

Drama Korea atau K-drama mengacu pada drama televisi di Korea, dalam

sebuah format miniseri, yang diproduksi dalam bahasa Korea. Banyak dari drama

ini telah menjadi populer di seluruh Asia dan telah memberi kontribusi pada

fenomena umum dari gelombang Korea, dikenal sebagai Hallyu, dan juga
"Demam Drama" di beberapa negara seperti di negara-negara Amerika Latin,

Timur Tengah, dan Asia termasuk Indonesia. (sumber:

https://id.wikipedia.org/wiki/Drama_Korea).

Masyarakat Indonesia yang pada saat itu tengah jenuh dengan tayangan

Bollywood, telenovela, dan sinetron-sinetron Indonesia langsung menyambut baik

masuknya drama serta film Korea di Indonesia. Keberhasilan drama Korea

mengambil hati masyarakat Indonesia terbukti dengan tingginya minat penonton

terhadap drama Korea yang pertama kali ditayangkan saat itu, yaitu Endless love.

Sukses dengan Endless love, membuat stasiun televisi lokal lebih gencar

mengimpor drama dari negeri gingseng. Drama seperti Winter Sonata, Full

House, Princess Hours sampai Boys Before Flower tak kalah suksesnya menarik

perhatian masyarakat. Bahkan, para pemain yang ada dalam drama-drama tersebut

telah menjadi idola baru di kalangan masyarakat Indonesia. Stasiun tv RCTI dan

Indosiar adalah dua stasiun televisi yang menyiarkan drama Korea di Indonesia

saat itu (sumber: https://falcondhehacker.wordpress.com/).

Hingga saat ini drama Korea tidak hanya dapat dinikmati melalui tv

swasta, namun melalui tv kabel yang memiliki saluran khusus tayangan drama

Korea. Selain itu, masyarakat bisa menyaksikan drama Korea melalui website

yang menyediakan untuk streaming dan mengunduh soft file drama Korea.

Anda mungkin juga menyukai