Makalah Toleransi Imun
Makalah Toleransi Imun
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Toleransi imun
2. Inersi dan anergi
3. Regulasi oleh sel B dan sel T
4. Terminasi toleransi
5. Pengaman dan pencegahan
1
BAB II
PEMBAHASAN
Anergi adalah menurunnya atau menghilangnya fungsi sel b atau sel t. Anergi
di induksi oleh pengenalan antigen tanpa adanya kostimulator yang cukup dan dapat
di induksi oleh mutasi antigen peptida.
2
2.3 Regulasi oleh antigen dan antibodi
3
Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur, bermigrasi ke zona sel
T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk
induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus
sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3 hari. namun beberapa sel B antigen dengan
aviditas tinggi berperan dalam respons terhadap antigen asing.
4
berada dalam perkembangannya di timus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan
timosit ang self reaktif. Melalui proses yang disebut seleksi positif, sel T hidup dengan
berikatan dengan MHC. Sel T dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam
timus akan mati melalui apoptosis.
Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup. Namun sel T
yang mengikat kompleks peptida-MHC dengan afinitas tinggi dalam tubuh, akan
memiliki potensi untuk mengenal sel-antigen yang menimbulkan autoimunitas. Oleh
karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu disebut seleksi negatif atau edukasi
timus. Timosit yang mengalami proses seleksi negatif dihancurkan dan gagal untuk
berfungsi.
Pada beberapa hal, sel T yang self reaktif dapat lolos dari seleksi negatif dari timus dan
muncul di perifer. Toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan
sebagai inaktivaasi sel T yang masih self-reaktif di perifer.
B. Toleransi Perifer
Toleransi perifer merupakan mekanisme yang diperlukan untuk memperthankan toleransi
terhadap antigen yang tidak ditemukan di organ limfoid primer atau terjadi bila ada klon
sel dengan reseptor afinitas tinggi yang lolos dari seleksi primer. Mekanisme yang dapat
mencegah toleransi perifer adalah ignorance, anergi dan konstimulasi, dan mekanisme
regulasi oleh sel Treg.
1. Ignorance
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan? Tidak kelihatan/
dikenal oleh sistem imun.
2. Sel T autoreaktif yang dipisahkan
Self-antigen dan limfosit juga dipisahka oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas.
Sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid
sekunder dah darah.
3. Anergi dan kostimulasi
Sel yang self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau induksi anergi/ keadaan tidak
responsif.
5
2.5 Terminasi Toleransi
A. Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui beberapa cara sebagai
berikut :
1. Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ globulin
heterolog.
2. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi. Mekanismenya tidak
spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi populasi asal sel T yang
tidak responsive.
3. Suntikan LPS, yan g merupakan activator sel B poliklonal dapat mengakhiri toleransi
sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T.
B. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi melalui blockade
reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat imunogenik, tergantung dari sifat dan
perbandingan antigen dan antibodi.
C. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul yang sulit dirusak
dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan biasa antigenik.
D. Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi
APC dan makrofag merupakan sel-sel pertama yang bekerja dalam respon imun. Pada
umumnya bila antigen sampai dikenal makrofag, imunitas akan diperoleh. Bila makrofag
dilewati, beberapa jenis toleransi dapat terjadi. Rusaknya makrofag oleh berbagai bahan yang
terjadi sebelum antigen diberikan, dapat menimbulkan toleransi.
APC mempresentasikan antigen ke sel T naïf dan perkembangan sel T naïf selanjutnya
menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit intraseluler menginduksi
6
terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit ekstraseluler menginduksi produksi IL-4
atau IL-13. Sel Th1 memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor.
Toleransi bersifat epitope spesifik, tidak ada respon terhadap semua atau hanya pada epitope
dari antigen tertentu. Deviasi imun (split tolerance) hanya mengenai respon humoral atau
seluler saja, tetapi tidak keduanya.
2.6 Induksi toleransi
Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik. Terjadinya
toleransi atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari berbagai variabel
seperti keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi sistem imun resipien atau
kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah diinduksi pada sel imatur dibanding
sel matang dan toleransi dapat diinduksi dengan antigen dosis lebih kecil. Menginduksi
toleransi sel T lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel B.
A. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh karena APC
tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena reseptor limfosit dan
rangsangan sel T dicegah.
B. Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in utero
sebelum sistem imun resipien menjadi matang.
C. Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa agar tidak
memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan mikroorganisme. Toleransi
oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem imun saluran cerna terpajan dengan
protein eksternal tanpa menimbulkan sensitasi.
D. APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC, akan
menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi presentasi antigen
dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi terhadap molekul MHC dapat
menerangkan efek transfuse darah dalam memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
E. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis rendah yang
berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
F. Bunuh Diri
7
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T atau sel B
dan membunuhnya tanpa merusak
E. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik yang larut. Bila sel
T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang menunjukkan adanya faktor blockade
dalam serum.
F. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan autoimunitas yang
nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah antibodi terhadap region ikatan epitope
dari antibodi asli. AAI tersebut dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah
epitope yang merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Toleransi imun merupakan tidak adanya respons spesifik terhadap antigen, sedangkan
respons lainnya bekerja baik.
2. Tujuan utama system imun adalah membedakan sel tubuh sendiri dari yang bukan
dari sendiri. Kegagalan tersebut akan menimbulkan reaksi imun terhadap sel dan
organ pejamu dengan kemungkinan terjadinya penyakit autoimun.
3. Mekanisme untuk mencegah reaktivitas terhadap sel tubuh sendiri disebut toleransi,
bekerja pada beberapa tahap. Toleransi sentral befungsi untuk menyingkirkan sel T
atau sel B yang self reaktif; toleransi perifer menonaktifkan limfosit sef reaktif yang
tetap bertahan hidup dalam proses skrinning awal.
4. Faktor yang berperan dalam sifat, intensitas dan lama fungsi imun anatara lain adalah
usia, kadar hormon neuroendokrin,HLA, dosis antigen dan lingkungan sitokin
5. Toleransi dapat terjadi pada sel B atau sel T atau keduanya dan terjadi melalui
mekanisme seperti apoptosis, anergi, akses antigen dan pembentukan sel Ts/Tr
10
DAFTAR PUSTAKA
Abbas K A, Lichtmant A H, Pillai S. Cellular and Molecular Immunology. Sixth ed.
Philadelphia : W B Saunders Company; 2007.
Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
11