Anda di halaman 1dari 48

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR GAMBAR

BAB 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian...............................................................................................2
1.4 Manfaat Penelitian.............................................................................................3

BAB 2
2.1 Konsep Pembedahan Ginjal...............................................................................4
2.1.1 Nefrostomi...............................................................................................4
2.1.2 Nefrektomi...............................................................................................5
2.1.3 Pielolitotomi.............................................................................................6
2.1.4 Bivalve Nefrolitotomi..............................................................................7
2.2 Konsep Dasar Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)....................................7
2.2.1 Definisi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)....................................7
2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pengobatan................................8
2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan ESWL terhadap PCNLL .............................8
2.2.4 Indikasi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL.....................................9
2.2.5 Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL).....................10
2.2.6 Persiapan dan Teknik Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL..............10
2.2.7 Persiapan Pasien Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)....................10
2.2.8 Alat dan Perlengkapan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL............11
2.2.9 Posisi Pasien...........................................................................................11
2.2.10 Jenis Anastesi pada Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)..............11
2.2.11 Pungsi...................................................................................................13
2.2.12 Dilatasi.................................................................................................15
2.2.13 Lithotripsi.............................................................................................16
2.2.14 Nefrotomi.............................................................................................17

i
2.2.15 Pasca Operasi.......................................................................................19
2.2.16 Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL....................19
2.2.17 Kelebihan dan Kekurangan Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL)................................................................................................22

BAB 3
3.1 Jurnal 1 : Teknik baru Mini Ultra Nefrolithotomi Perkutan: Pengantar dan
Pengalaman Pertama pada Pengobatan Batu Ginjal pada Saluran Kemih atas
Kurang dari 2 cm ............................................................................................23
3.2 Jurnal 2: Komplikasi Dari Nefrolithotomi Perkutan Yang Di Klasifikasikan
Menurut Sistem Penilaian Clavien Modifikasi: Sebuah Pengalaman Dari
Pusat Tunggal Lebih Dari 16 Tahun...............................................................28
3.3 Jurnal 3: Exit Strategi Pcnl: Perbandingan Hasil Operasi Di Clinical Research
Office Of The Endourological Society (CROES) PCNL Penelitian Global... 34
3.4 Jurnal 4: Nefrolithothomi perkutan yang dibantu dengan laparosikopi pada
ektopik pelvis ginjal........................................................................................38
3.5 Jurnal 5 : “Satu tusukan Nefrolitotomi perkutan untuk pengelolaan batu ginjal
kompleks.........................................................................................................41

BAB 4
4.1 Simpulan..........................................................................................................44
4.2 Saran.................................................................................................................44

DAFTAR PUSTAKA 45

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindakan operasi adalah sebuah tindakan yang bagi sebagian besar
klien adalah sesuatu yang menakutkan dan mengancam jiwa klien. Hal ini
dimungkinkan karena belum adanya pengalaman dan dikarenakan juga
adanya tindakan anestesi yang membuat klien tidak sadar dan membuat
klien merasa terancam takut apabila tidak bias bangun lagi dari efek
ansetesi. Tindakan operasi membutuhkan persiapan yang matang dan
benar-benar teliti karena hal ini menyangkut berbagai organ, terutama
jantung, paru-paru, dan pernapasan. Untuk itu diperlukan perawatan yang
komprehensif dan menyeluruh guna mempersiapkan tindakan operasi
sampai dengan benar-benar aman dan tidak merugikan klien maupun
petugas.
Transplantasi ginjal melibatkan menanamkan ginjal dari donor
hidup atau kadaver manusia resipien yang mengalami penyakit ginjal
tahap akhir. Transplantasi ginjal dapat dilakukan secara “cadaveric” (dari
seseorang yang telah meninggal) atau dari donor yang masih hidup
(biasanya anggota keluarga). Ada beberapa keuntungan untuk transplantasi
dari donor yang masih hidup termasuk kecocokan lebih bagus, donor dapat
dites secara menyeluruh sebelum transplantasi dan ginjal tersebut
cenderung memiliki jangka hidup yang lebih panjang.
Di Amerika Serikat, dari sekitar 300 juta penduduk, sebanyak 700
ribu orang mengalami gagal ginjal tahap akhir. Di Indonesia kalau
penderita gagal ginjal setengahnya saja dari penderita di Amerika Serikat,
jumlahnya mencapai angka 300 ribu. Sekarang yang tertangani baru
sekitar 25 ribu, artinya 80% tak tersentuh pengobatan sama sekali.

1
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah
adalah sebagai berikut:
a. Apa saja konsep dasar pembedahan ginjal?
b. Apa itu konsep dasar Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)?
c. Bagaimana hasil analisa jurnal terkait Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL)?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Mengetahui tentang konsep dasar pembedahan ginjal.
b. Mengetahui tentang konsep dasar Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL).
c. Memahami analisa jurnal terkait Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL).
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penulisan ini adalah sebagai berikut:
a. Memahami mengenai nefrostomi.
b. Memahami mengenai nefrektomi.
c. Memahami mengenai pielolitotomi.
d. Memahami mengenai bivalve nefrolitotomi.
e. Memahami mengenai definisi Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL)
f. Memahami mengenai faktor yang mempengaruhi pemilihan
pengobatan
g. Memahami mengenai kelebihan dan kekurangan ESWL terhadap
PCNL
h. Memahami mengenai indikasi Percutaneous Nephrolithotomy
(PCNL)
i. Memahami mengenai komplikasi dari Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)

2
j. Memahami mengenai persiapan dan teknik Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)
k. Memahami mengenai persiapan pasien Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)
l. Memahami mengenai alat dan perlengkapan Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)
m. Memahami mengenai posisi pasien
n. Memahami mengenai jenis anastesi pada Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)
o. Memahami mengenai dilatasi
p. Memahami mengenai lithotripsi
q. Memahami mengenai nefrotomi
r. Memahami mengenai pasca operasi
s. Memahami mengenai komplikasi dari Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)
t. Memahami mengenai kelebihan dan kekurangan Percutaneous
Nephrolithotomy (PCNL)

1.4 Manfaat Penulisan


Adapun manfaat dari penelitian  ini antara lain sebagai berikut:
1. Bagi Penulis
a. Menambah wawasan dan pengalaman tentang dunia kerja yang
akan kita hadapi di masa yang  akan datang
b. Sebagai persyaratan dalam menyelesaikan tugas makalah Sistem
Perkemihan 2.
2. Bagi Mahasiswa STIKES Hang Tuah Surabaya
a. Memberikan informasi tentang “Review Jurnal Pembedahan
Ginjal “Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)””.
b. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkait
materi.

3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Pembedahan Ginjal


2.1.1 Nefrostomi
1. Definisi Nefrostomi
Suatu tindakan pembedahan untuk mengalirkan urin atau nanah
dari sistem pelvikaliseal melalui insisi di kulit diikuti dengan
pemasangan alat/slang Ureter kateter/NGT no 8/10) di daerah nefron
atau ureter di atas sumbatan (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal,
2014).

2. Tujuan Nefrostomi
a. Mengeluarkan cairan/urin yang tersumbat tidak bisa turun ke
vesika urinaria.
b. Mencegah infeksi
c. Mencegah terjadinya gagal ginjal akut (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).

3. Indikasi Nefrostomi
a. Hidronefrosis
b. Sumbatan ureter (Ureterolithiasis)
c. Nephrolithiasis (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

4. Teknik Nefrostomi
Nefrostomi untuk uropati obstruktif dapat dilakukan dengan 2
cara:
a. Terbuka, ada 2 macam teknik:
1) Bila korteks masih tebal
2) Bila korteks sudah sangat tipis
b. Perkutan (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

4
5. Komplikasi Nefrostomi
Komplikasi pasca bedah ialah perdarahan dan ekstravasasi urin
(Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

6. Perawatan Pascabedah Nefrostomi


1. Ukur umlah urin dan produksi drain sebagai pedoman terapi
cairan dan elektrolit.
2. Kateter jangan sampai tertekuk, terjepit atau tertarik sehingga
mengganggu kelancaran aliran urin.
3. Pelepasan kateter sesuai indikasi.
4. Pelepasan drain bila dalam 2 hari berturut-turut setelah pelepasan
kateter produksinya <20 cc/24 am.
5. Pelepasan benang jahitan keseluruhan 10 hari pasca operasi
(Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

2.1.2 Nefrektomi
1. Definisi Nefrektomi
Suatu tindakan pembedahan untuk mengangkat bagian ginjal
dengan atau tanpa kelenjar getah bening regional (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).

2. Jenis Nefrektomi
a. Total
b. Parsial (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

3. Indikasi Nefrektomi
a. Disfungsi ginjal
b. Tumor ginjal stadium IIIA
c. Tumor ginjal sudah menginfiltrasi jaringan lain
d. Trauma ginjal berat

5
e. Ruptur ginjal dimana didapatkan fragmentasi ginjal atau ruptur
pedikel dengan hemodinamik yang tidak stabil (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).

4. Komplikasi Nefrektomi
a. Infeksi luka operasi
b. Internal bleeding
c. Renal failure
d. Ekstravasasi urine (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

5. Perawatan Pascabedah Nefrektomi


a. Pelepasan kateter 24 am setelah penderita siuman.
b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi
<220 cc/24 jam.
c. Pelepasan benang jahitan keseluruhan 7 hari pasca operasi
(Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

2.1.3 Pielolitotomi
1. Definisi Pielolitotomi
Suatu tindakan pembedahan terbuka untuk mengeluarkan batu
ginjal yang terletak di pielum ginjal (Bondan, Slide Pembedahan
Ginjal, 2014).

2. Indikasi Pielolitotomi
Batu ginjal yang berada di pielum dengan batu sekunder yang
dapat diambil dari pielum (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

3. Komplikasi Pielolitotomi
a. Internal bleeding
b. Infeksi pascabedah (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

6
4. Perawatan Pascabedah Pielolitotomi
a. Pelepasan kateter 24 jam setelah penderita siumn.
b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi
<20 cc/24 jam.
c. Pelepasan benang jahitan selang-seling 4 hari pascabedah bila
luka operasi kering dan pelepasan benang keseluruhan 7 hari
pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

2.1.4 Bivalve Nefrolitotomi


1. Definisi Bivalve Nefrolitotomi
Suatu tindakan bedah untuk mengeluarkan batu baik dari pielum
dan kalik ginjal dengan membelah ginjal dengan menjadi 2 sisi
anterior dan posterior (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

2. Indikasi Bivalve Nefrolitotomi


Batu ginjal yang bercabang dan memenuhi seluruh sistem
pelviokaliseal atau dengan batu sekunder yang banyak (Bondan, Slide
Pembedahan Ginjal, 2014).

3. Perawatan Pascabedah Bivalve Nefrolitotomi


a. Pelepasan kateter 24 jam setelah penderita siumn.
b. Pelepasan redon drain bila dalam 2 hari berturut-turut produksi
<20 cc/24 jam.
c. Pelepasan benang jahitan selang-seling 4 hari pascabedah bila
luka operasi kering dan pelepasan benang keseluruhan 7 hari
pasca operasi (Bondan, Slide Pembedahan Ginjal, 2014).

2.2 Konsep Dasar Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


2.2.1 Definisi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) merupakan salah satu
tindakan minimal invasif di bidang urologi yang bertujuan mengangkat
batu ginjal dengan menggunakan akses perkutan untuk mencapai

7
sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).
Sejak ditemukannya prosedur perkutan menggunakan jarum
untuk dekompresi hidronefrosis pada tahun 1955 oleh Willard
Goodwin, endourologi berkembang sangat pesat terutama untuk
menangani kelainan pada ginjal dan saluran kemih bagian atas. Pada
awal dekade 1980-an prosedur PCNL sangat populer sebagai terapi
batu ginjal, namun sejak ditemukannya Extracorporeal Shock Wave
Lithotripsy (ESWL) pada pertengahan dekade 1980-an penggunaannya
menurun. Dalam perkembangan selanjutnya ditemukan beberapa
kelemahan tindakan ESWL, sehingga PCNL kembali populer
digunakan sebagai penanganan batu ginjal dengan kemajuan pesat
teknik dan peralatannya (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy
as Therapy for Kidney Stone, 2011)

2.2.2 Faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Pengobatan


Banyak faktor yang mempengaruhi seorang ahli urologi dalam
mengambil keputusan terapi terhadap batu ginjal; dua hal yang paling
diperhitungkan adalah angka bebas batu dan morbiditas dari tindakan yang
akan dilakukan. Faktor lain yang ikut berperan antara lain ukuran, lokasi,
komposisi batu, kondisi anatomi, preferensi pasien, dan ketersediaan alat
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).

2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan ESWL terhadap PCNL


ESWL memiliki beberapa kelebihan, yaitu: prosedurnya yang aman
dan nyaman karena tanpa luka operasi, morbiditas rendah, mudah
digunakan, dan pasien dapat berobat jalan. Sedangkan kekurangan ESWL
adalah angka bebas batunya yang lebih rendah dibandingkan dengan
PCNL dan operasi terbuka terutama untuk batu ginjal dengan ukuran besar
(<20 mm). Angka bebas batu ESWL juga dipengaruhi oleh ukuran batu,
lokasi, komposisi batu, kondisi ginjal dan anatomis dari sistem

8
pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy
for Kidney Stone, 2011).
Kelebihan prosedur PCNL adalah angka bebas batu yang lebih besar
daripada ESWL, dapat digunakan untuk terapi batu ginjal berukuran besar
(>20 mm), dapat digunakan pada batu kaliks inferior yang sulit diterapi
dengan ESWL, dan morbiditasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan
operasi terbuka baik dalam respon sistemik tubuh maupun preservasi
terhadap fungsi ginjal pasca-operasi. Kekurangan PCNL adalah
dibutuhkan keahlian khusus dan pengalaman untuk melakukan
prosedurnya. Saat ini operasi terbuka batu ginjal sudah banyak digantikan
oleh prosedur PCNL dan ESWL baik dalam bentuk monoterapi maupun
kombinasi, hal ini disebabkan morbiditas operasi terbuka lebih besar
dibandingkan kedua modalitas lainnya (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.4 Indikasi Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


PCNL dianjurkan untuk: (1) batu pielum simpel dengan ukuran >2
cm, dengan angka bebas batu sebesar 89%, lebih tinggi dari angka bebas
batu bila dilakukan ESWL yaitu 43%. (2) Batu kaliks ginjal, terutama batu
kaliks inferior dengan ukuran 2 cm, dengan angka bebas batu 90%
dibandingkan dengan ESWL 28,8%. Batu kaliks superior biasanya dapat
diambil dari akses kaliks inferior sedangkan untuk batu kaliks media
seringkali sulit bila akses berasal dari kaliks inferior sehingga
membutuhkan akses yang lebih tinggi. (3) Batu multipel, pernah
dilaporkan kasus batu multipel pada ginjal tapal kuda dan berhasil
diekstraksi batu sebanyak 36 buah dengan hanya menyisakan 1 fragmen
kecil pada kalis media posterior. (4) Batu pada ureteropelvic junction dan
ureter proksimal. Batu pada tempat ini seringkali impacted dan
menimbulkan kesulitan saat pengambilannya. Untuk batu ureter proksimal
yang letaknya sampai 6 cm proksimal masih dapat dijangkau dengan
nefroskop, namun harus diperhatikan bahaya terjadinya perforasi dan
kerusakan ureter, sehingga teknik ini direkomendasikan hanya untuk yang

9
berpengalaman. (5) Batu ginjal besar. PCNL bada batu besar terutama
staghorn membutuhkan waktu operasi yang lebih lama, mungkin juga
membutuhkan beberapa sesi operasi, dan harus diantisipasi kemungkinan
adanya batu sisa. Keberhasilan sangat berkaitan dengan pengalaman
operator. (6) Batu pada solitary kidney. Batu pada solitary kidney lebih
aman diterapi dengan PCNL dibandingkan dengan bedah terbuka
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).

2.2.5 Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


Hanya ada satu kontraindikasi absolut PCNL yaitu pada pasien yang
memiliki kelainan perdarahan atau pembekuan darah (Nugroho dkk,
Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.6 Persiapan dan Teknik Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


Secara umum teknik PCNL mencakup empat tahap prosedur, yaitu:
akses ginjal perkutan, dilatasi, fragmentasi dan ekstraksi batu, serta
drainase (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for
Kidney Stone, 2011).

2.2.7 Persiapan Pasien Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


Persiapan meliputi anamnesis lengkap riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Kontraindikasi absolut terhadap
tindakan PCNL perlu diidentifikasi sebelum tindakan, yaitu: koagulopati
dan infeksi saluran kemih yang aktif serta belum diterapi. Penggunaan
obatobatan antikoagulan harus dihentikan minimal 7 hari sebelum
tindakan. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan adalah darah tepi,
fungsi ginjal, elektrolit, dan kultur urin (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

10
2.2.8 Alat dan Perlengkapan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)
Kelengkapan yang dibutuhkan dalam tindakan PCNL adalah:
Ultrasound, flouroskopi, jarum pungsi 18G translumbar angiography,
guide wire, Metallic dilator cannula 9 F dengan metal sheath 11 F (Karl
Storz Endoscopes,® Germany), Metal telescope dilators dengan hollow
guide rod (9-24 F, Karl Storz), rigid nephroscopes 18 F and 26 F
(6°telescope, Karl Storz®), lithotriptor, stone forceps, folley catheter 16F,
bila diperlukan selang nefrostomi, ureter kateter no 5Fr, dan DJ stent.
Sedangkan bahan-bahan yang perlu disiapkan adalah: cairan irigasi NaCl
0,9%, kontras, metillen blue, dan benang jahit (Nugroho dkk,
Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.9 Posisi Pasien


Sebelum dimulai tindakan PCNL dilakukan pemasangan kateter ureter
dalam posisi litotomi, kemudian posisi pasien dirubah menjadi tengkurap.
PCNL dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap dengan sisi ginjal yang
akan dikerjakan diposisikan lebih tinggi 30 derajat. Posisi tersebut
menjamin ventilasi pasien tetap baik dan membuat kaliks posterior berada
pada posisi vertikal sehingga membantu pada saat melakukan pungsi
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).

2.2.10 Jenis Anastesi pada Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


PCNL dapat dilakukan dalam anestesi lokal, regional maupun
umum. Penggunaan anestesi lokal dilaporkan oleh Trivedi et al. yang
menggunakan blok interpleura pada interkosta VIII dengan hasil yang
memuaskan terutama pada kasus-kasus risiko tinggi pembiusan, dan waktu
bius bebas nyeri rata-rata 10 jam dengan kontrol hemodinamik yang stabil.
Komplikasi yang dapat timbul dari tindakan ini antara lain pneumotoraks,
hematotoraks, empiema, toksisitas, sindrom Horner. Anestesi regional
dapat digunakan pada operasi PCNL namun terdapat beberapa masalah
dalam teknik ini yaitu: membutuhkan blok anestesi letak tinggi, dan

11
distensi renal pelvis saat PCNL dapat menyebabkan refleks vasovagal
yang sulit dicegah dengan anestesi regional. Teknik ini dapat
dipertimbangkan pada kasus batu ginjal dengan tindakan PCNL tidak lebih
dari 3 jam (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for
Kidney Stone, 2011).
Terdapat 2 teknik anestesi regional yang dapat digunakan yaitu spinal
dan epidural. Anestesi spinal memiliki keunggulan onset yang cepat,
pelaksanaannya mudah namun memiliki kerugian yaitu dapat mengganggu
hemodinamik intraoperatif. Anestesi epidural memiliki kelebihan menjaga
hemodinamik lebih stabil selama operasi, dan dosis obat dapat diberikan
ulang melalui kateter yang sekaligus dapat digunakan sebagai tatalaksana
nyeri pasca-operasi. Kerugiannya adalah teknik yang lebih sulit serta
waktu pemasangan dan onset lebih lama dengan risiko blok parsial. Untuk
mengurangi kerugian ini dapat dilakukan kombinasi antara spinal dan
epidural sehingga memiliki onset yang cepat namun tetap menjaga
hemodinamik stabil selama operasi. Komplikasi dari tindakan anestesi
regional antara lain infeksi (meningitis, abses vertebrae), hematom spinal,
bradikardia, hipotensi, intoksikasi, nyeri pinggang, cedera medulla
spinalis, post dura puncture headache (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila terdapat
kontraindikasi anestesi regional, yaitu: pasien menolak anestesi regional,
peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan,
gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung
berat. Adapun kontraindikasi relatif tindakan anestesi regional yaitu pasien
tidak kooperatif, sepsis, deformitas tulang belakang, pasca operasi tulang
belakang, dan defisit neurologis ekstremitas bawah. Bila operasi
berlangsung lama dan membutuhkan patensi jalan nafas yang terjamin
baik. maka kombinasi epidural dan anestesia umum dapat
dipertimbangkan. Pada kasus ketika puncture dilakukan pada pole atas
ginjal maka kombinasi dengan anestesi umum juga menjadi pilihan
mengingat anestesi umum dapat mengontrol penuh pernapasan yang

12
penting untuk meminimalisasi risiko komplikasi paru. Komplikasi dari
tindakan anestesi umum meliputi bradikardi, hipoksia, hiperkarbia,
hipotensi, henti jantung, mual muntah. Menurut penelitian yang dilakukan
Kuzgunbay et al. tidak ada perbedaan bermakna antara lama rawat PCNL
meng-gunakan anestesi regional dan umum, namun keamanan anestesi
epidural ebih tinggi dibandingkan anestesi umum dengan tingkat
efektivitas yang sama (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.11 Pungsi
Pungsi perkutan untuk mendapatkan akses ke ginjal dapat dilakukan
dengan bantuan kontrol ultrasonografi, fluoroskopi, atau CT-scan. Setelah
pasien diposisikan tengkurap, kontras dimasukkan melalui ureter kateter
sampai mengisi sistem pelviokalises. Fluoroskopi diposisikan dalam sudut
25-30o dari vertikal pada posisi aksial. Dilakukan insisi kecil pada tempat
pungsi. Pungsi dapat dilakukan melalui kaliks superior, media, maupun
inferior menggunakan jarum 18G yang diposisikan sehingga target pungsi,
ujung jarum dan pangkal jarum berada dalam posisi segaris. Kedalaman
pungsi dikontrol menggunakan fluoroskopi dalam posisi AP
(anteroposterior), ketika jarum mencapai kaliks target dan obturator
dilepas maka urin akan keluar dari jarum. Bila urin tidak keluar maka
dapat dimasukkan kontras untuk menilai posisi pungsi apakah tepat masuk
ke dalam sistem pelviokalises (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Lokasi batu dan stone burden menjadi pertimbangan dalam
menentukan letak pungsi ginjal. Adapun beberapa pertimbangan anatomis
secara umum menjadi pedoman dalam melakukan pungsi ginjal, yaitu:
kaliks posterior lebih dipilih karena biasanya berada pada Brödel’s line,
pungsi harus searah dengan infundibulum untuk mencegah perlukaan
terhadap pembuluh darah serta memudahkan akses dan maneuver
nefroskop saat memecahkan batu. Pungsi sebaiknya dilakukan dengan
pendekatan di bawah iga 12 untuk mengurangi risiko komplikasi terhadap

13
pleura, bila pungsi supra kosta diperlukan maka hendaknya dilakukan
pungsi saat paru ekspirasi penuh. Tujuan dari keseluruhan akses adalah
dapat mengangkat batu terbesar dengan nefroskop yang rigid. Untuk batu
kaliks biasanya pungsi diarahkan langsung pada kaliks yang bersangkutan
kecuali pada anterior kaliks, mengingat sudut yang tajam antara kaliks
anterior terhadap pelvis sehingga batu kaliks anterior biasanya diraih
melalui kaliks posterior dengan fleksibel nefroskop (Nugroho dkk,
Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Pungsi suprakostal biasanya diperlukan pada beberapa kasus tertentu,
seperti bila terdapat batu lebih banyak di kaliks superior, striktur
ureteropelvic junction yang membutuhkan endopielotomi, batu multipel di
kaliks dan infundibulum pole bawah/ureter, batu staghorn yang mayoritas
pada kutub pole atas, dan batu pada ginjal tapal kuda. Segura et al, sedang
melakukan PCNL yang dikerjakan lewat akses pole bawah didapatkan
hasil secara keseluruhan angka bebas batu mencapai 81%, lama rawat 7-11
hari dengan angka tranfusi kurang dari 30%. Sedangkan menurut Wong et
al. penggunaan akses tunggal pole atas ginjal dengan bantuan fleksibel
nefroskop dan laser lithotripsi menghasilkan angka bebas batu 95%, angka
tranfusi 2,2%, dan lama rawat 1-10 hari (rata-rata 2 hari); namun
didapatkan angka komplikasi hidrotoraks sebesar 5% yang diatasi dengan
thorakostomi (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy
for Kidney Stone, 2011).
Sedangkan akses multipel dipertimbangkan pada kasus yang pada tiap
kaliks terdapat batu ukuran >2 cm yang tidak dapat dijangkau dengan
akses primer menggunakan nefroskop rigid, atau batu dengan ukuran <2
cm namun tidak dapat dijangkau dengan akses primer menggunakan
nefroskop fleksibel. Akses multipel memiliki potensi lebih besar terjadinya
perdarahan, nyeri pasca operasi, lama rawat, biaya dan morbiditas yang
lebih besar dibandingkan dengan akses tunggal. Pada penelitian yang
dilakukan Williams et al. didapatkan angka tranfusi pada akses multipel
mencapai 23% sedangkan pada akses tunggal hanya 14%. Didapatkan pula
perbedaan lama rawat yang signifikan yaitu 3,25 hari untuk akses tunggal

14
dan 4,25 hari untuk akses multipel (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.12 Dilatasi
Setelah jarum pungsi telah dipastikan berada di dalam dilator metal,
dilator fasial (Teflon®), dilator malleable (Amplatz®) atau dilator balon.
Dilatasi dilakukan dengan pergerakan berputar (twist) 80%, mendorong
20% sampai ukuran 30F, dan meninggalkan sheath 34F. Dilator metal
terbuat dari bahan stainless steel dan berbentuk seperti antena radio.
Dilator jenis rigid bagus digunakan untuk pasien-pasien dengan riwayat
operasi ginjal karena biasanya terdapat jaringan fibrotik perirenal.
Kerugiannya adalah sulit untuk mengontrol tekanan saat melakukan
dilatasi yang dapat menyebabkan perforasi renal pelvis renalis. Dilator
fasial terbuat dari bahan Teflon.® Selain dapat digunakan pada jaringan
yang mengalami fibrosis, keuntungan dari dilator ini adalah lebih stabil
dan aman. Kerugian dari sistem ini adalah ketergantungan integritasnya
dengan guide wire dan ujung tip dilator, sehingga berisiko menyebabkan
perforasi pelvis renalis. Dilator malleable (Amplatz) ditemukan oleh Kurt
Amplatz pada tahun 1982. Dilator ini memperbaiki kelemahan dilator
fasial. Keuntungan dari dilator ini adalah tingkat stabilitas yang tinggi saat
melakukan dilatasi. Komplikasi yang dapat terjadi pada dilator malleable
antara lain perforasi sistem pelviokalises, perdarahan, ekstravasasi urin,
dan trauma kapsul renalis. Penggunaan dilator balon mengurangi risiko
komplikasi yang disebabkan oleh dilator-dilator lainnya. Dilatasi dengan
balon kateter dapat dicapai dengan satu langkah dilatasi tanpa
menimbulkan trauma yang bermakna sehingga mengurangi terjadinya
risiko perforasi pelvis renalis, ekstravasasi urin, dan perdarahan.
Kerugiannya adalah, dilatasi balon tidak dapat mendilatasi jaringan
fibrotik dan harganya yang mahal (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

15
2.2.13 Lithotripsi
Untuk batu ginjal yang berukuran kurang dari 1 cm dapat dikeluarkan
langsung dengan menggunakan forcep Randall melewati sheath 30F.
Untuk batu berukuran lebih dari 1 cm membutuhkan fragmentasi dengan
menggunakan litotriptor berupa laser, ultrasound, ballistic maupun EHL
(Electro Hydrolic Lithotripsy).
1. Ultrasound
Ultrasound adalah energi suara berfrekuensi tinggi 23 000-25
000Hz. Getaran dari probe yang berongga ditransmisikan ke batu
menghasilkan fragmentasi. Kekurangan dari ultrasound adalah
membutuhkan scope yang semirigid dan probe-nya berukuran cukup
besar. Litotriptor ultrasound memiliki angka keberhasilan fragmentasi
batu antara 69-100%.
2. Ballistic
Lithotriptor ballistic memiliki energi yang berasal dari
pergerakan metal proyektil. Energi tersebut diteruskan probe yang
menempel pada batu sehingga menimbulkan efek seperti martil. Alat
ini memiliki angka keberhasilan fragmentasi batu antara 73-100%
dengan tingkat keamanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
EHL, di mana insiden terjadinya perforasi mencapai 17,6% pada EHL
dibandingkan dengan ballistic yang hanya 2.6%.
3. Electrohydraulic lithotripsy (EHL)
EHL menggunakan tenaga listrik yang menyebabkan timbulnya
percikan api dan menyebabkan kavitasi gelembung udara yang
menghasilkan gelombang kejut sekunder atau mikrojet berkecepatan
tinggi sehingga dapat menfragmentasi batu. Keuntungan penggunaan
EHL antara lain biaya yang lebih murah dibandingkan dengan laser.
Probe EHL adalah komponen sekali pakai yang bergantung pada
kekerasan batu sehingga mungkin diperlukan lebih dari satu probe
untuk memecahkan batu. Probe EHL lebih fleksibel daripada fiber
laser. Kerugian dari penggunaan EHL antara lain beberapa jenis batu

16
sulit dipecahkan, tekanan tinggi dari ujung probe dengan jarak yang
cukup jauh membuat batas keamanan alat ini sempit, dan dapat
menyebabkan perforasi saluran kemih (17,6%). Namun demikian
angka keberhasilan fragmentasi batu EHL lebih tinggi dibandingkan
dengan ballistic lithotripsy yaitu mencapai 90%.
4. Laser
Holmium YAG Laser saat ini dijadikan baku emas pada lithotripsi
intrakorporeal. Medium aktif dari alat ini yaitu holmium dikombinasi
dengan Kristal YAG. Pertama kali digunakan di bidang urologi pada
tahun 1993 oleh Webb. Panjang gelombang 2100 nm ditransmisikan
lewat fiber silica yang fleksibel dan dapat digunakan pada endoskopi
rigid maupun fleksibel.6 Energi dari Holmium YAG laser
menghasilkan efek fotothermal yang kemudian menyebabkan
vaporisasi dari batu. Energi laser holmium YAG diabsorbsi kuat oleh
air dan jangkauannya tidak lebih dari 0,5-1 mm pada medium cair,
oleh karenanya alat ini memiliki batas keamanan yang cukup baik
dalam mencegah kerusakan saluran kemih dan memiliki angka bebas
batu yang cukup tinggi mencapai 90% (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.14 Nefrotomi
Setelah selesai dilakukan PCNL maka penggunaan drainase
nefrostomi biasanya dianjurkan. Pemasangan selang nefrostomi pasca
PCNL memiliki beberapa tujuan antara lain sebagai tamponade perdarahan
yang timbul dari jalur luka nefrostomi, memberikan kesempatan bekas
pungsi ginjal sembuh, drainase urin, serta memberikan akses ke sistem
pelviokalises bila dibutuhkan tindakan lanjutan PCNL (Nugroho dkk,
Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Terdapat beberapa selang nefrostomi yang sering digunakan dan
dibagi dalam beberapa kategori antara lain tipe kateter karet, tipe pigtail,
tipe kateter balon, loop kateter, dan kombinasi nefrostomi-stent. Pemilihan
tergantung dari seberapa besar manipulasi batu selama PCNL, trauma

17
terhadap uretelial selama tindakan, banyaknya perdarahan selama dan
setelah tindakan, habitus pasien, dan preferensi dokter urologi (Nugroho
dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).
Sebelum tahun 1997 ketika Bellman melaporkan tubeless PCNL,
setelah tindakan PCNL rutin dilakukan pemasangan selang nefrostomi.
Konsep tubeless PCNL sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Wickham
pada tahun 1984. Adapun tujuan dipasang selang nefrostomi pasca
tindakan PCNL antara lain mencegah ekstravasasi urin, mendapatkan efek
tamponade untuk hemostasis, dan sebagai akses terhadap batu sisa
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).
Ada 2 macam penggunaan selang nefrostomi yaitu penggunaan selang
nefrostomi ukuran besar 18-24 Fr dan penggunaan selang nefrostomi
ukuran kecil 8-10 Fr. Selang nefrostomi ukuran besar diindikasikan
pemasangannya pada pasien dengan batu besar kompleks dengan
kemungkinan masih terdapat batu sisa dan dibutuhkan akses renal untuk
tindakan PCNL berikutnya, waktu operasi yang lama, akses multipel,
perdarahan, perforasi atau infeksi saluran kemih pre operasi. Sedangkan
selang nefrostomi ukuran kecil diindikasikan pada pasien dengan prosedur
PCNL tanpa komplikasi dengan batu sisa yang membutuh renal akses
untuk tindakan selanjutnya, atau pada pasien yang tidak nyaman dengan
pemasangan DJ stent (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).
Tubeless PCNL diindikasikan pada kasus dengan stone burden rendah
dan pada prosedur yang sederhana, cepat serta tanpa komplikasi. Tindakan
yang terakhir ini dapat dikombinasikan dengan penggunaan DJ stent atau
ureter kateter untuk membuat drainase urin adekuat dan mempercepat
penyembuhan perlukaan sistem pelviokalises. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Desai et al. yang membandingkan antara nefrostomi besar,
kecil dan tubeless hasil nyeri pasca operasi yang minimal pada kelompok
tubeless dengan penggunaan analgetik pethidine 87,5 mg (tubeless), 140
mg (nefrostomi kecil), dan 217 mg (nefrostomi besar). Didapatkan lama

18
rawat yang lebih singkat pada kelompok tubeless yaitu 3,4 hari
dibandingkan kelompok nefrostomi kecil 4,3 hari dan kelompok
nefrostomi besar 4,4 hari. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Gupta
et al, tubeless PCNL memiliki beberapa keunggulan pada beberapa kasus
yang terseleksi, antara lain nyeri pasca operasi yang lebih rendah sehingga
penggunaan analgetik lebih sedikit pada kelompok tubeless (78,4mg
pethidine vs 230,2 mg pethidine), lama rawat yang lebih singkat (1,8 hari
vs 2,9 hari). Penelitian ini didukung juga oleh Woodside (1985) dan Salem
(2006) dengan hasil yang sama dalam hal nyeri pasca operasi yang
minimal dan lama rawat yang lebih singkat pada kelompok tubeless PCNL
(Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy for Kidney
Stone, 2011).

2.2.15 Pasca Operasi


Setelah nefrostomi terpasang, biasanya dilakukan anterograde
pielography 24-48 jam pasca operasi. Jika semua fragmen batu telah habis
dan pasase kontras lancar mengisi sampai ke buli tanpa ekstravasasi, maka
nefrostomi dapat dilepas (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as
Therapy for Kidney Stone, 2011).

2.2.16 Komplikasi dari Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


1. Perdarahan
Perdarahan sering terjadi pada tindakan PCNL. Peningkatan
risiko perdarahan terutama dihubungkan dengan pungsi kaliks media,
pungsi multipel, pungsi pada ginjal yang memiliki struktur anatomi
abnormal, dan pada pasien dalam medikasi antikoagulan atau
antiplatelet. Pada kebanyakan kasus perdarahan, transfusi tidak
diperlukan dan cukup dengan tatalaksana konservatif. Perdarahan akut
pada tindakan PCNL disebabkan trauma pada pembuluh darah
parenkim ginjal atau pada cabang-cabang dari arteri dan vena di sistem
pelviokaliks. Perdarahan akut biasanya dapat dihentikan oleh sheath
PCNL yang menimbulkan efek tamponade. Setelah tindakan PCNL

19
selesai, selang nefrostomi ukuran besar dapat menghentikan
perdarahan. Bila perdarahan masih berlangsung, perlu dilakukan
pemasangan selang nefrostomi balon kateter ukuran besar yang dapat
dikembangkan, atau bila gagal dengan teknik embolisasi. Adapun
tindakan yang dapat mengurangi perdarahan antara lain penggunaan
dilator balon dan miniperc.
2. Trauma pada Pelvis Renalis
Perforasi pada pelvis renalis biasanya terdiagnosis intraoperatif.
Penyebab perforasi yang paling sering adalah dilatasi yang terlalu
agresif serta tindakan percutaneus lithotripsy. Lithotripsy dengan
menggunakan alat mekanik seperti ultrasound rigid atau probe
pneumatic dapat juga menimbulkan perforasi pelvis. Adanya infeksi
dan inflamasi dapat membuat pelvis renalis menjadi lebih rapuh dan
mudah mengalami perforasi, adanya kinking dan angulasi pada pole
bawah ginjal juga meningkatkan risiko perforasi. Bila terjadi perforasi
maka irigasi diperlambat, cairan irigasi diubah menjadi normal saline,
serta dilakukan evaluasi apakah prosedur dapat diteruskan atau tidak.
Bila prosedur dihentikan perlu dipasang stent ureter dan selang
nefrostomi. Antegrade nefrostogram hendaknya dikerjakan sebelum
PCNL sekunder dilakukan atau sebelum pencabutan nefrostomi atau
stent ureter.
3. Absorpsi Cairan
Pasien dengan trauma vaskuler atau perforasi sistem
pelviokalises harus dimonitor untuk mencegah terjadinya overload
cairan. Irigasi tekanan tinggi yang terjadi pada dua keadaan di atas
dapat menyebabkan absorpsi intravaskuler cairan irigasi. Cairan irigasi
sebaiknya selalu menggunakan normal saline untuk mengurangi risiko
terjadinya hiponatremia delusional.
4. Trauma Rongga Pleura
Risiko terjadinya trauma paru atau rongga pleura meningkat
dengan dilakukannya pungsi superior. Pungsi yang dilakukan saat akhir
inspirasi meningkatkan risiko komplikasi intratoraks. Komplikasi yang

20
dapat terjadi antara lain: pneumotoraks (0-4%) dan efusi pleura (0-8%).
Postoperatif sebaiknya dilakukan rontgen toraks di ruang pemulihan
untuk menyingkirkan hidrotoraks atau pneumotoraks pada pasien-
pasien yang menjalani pungsi interkostal. Bila terjadi komplikasi pleura
maka dapat diatasi dengan pemasangn chest tube.
5. Perforasi usus
Perforasi kolon adalah komplikasi PCNL yang jarang terjadi.
Retrorenal kolon sering terdapat pada pasien wanita yang kurus. Pasien
dengan kelainan anatomi ginjal dan pasien yang pernah menjalani
operasi usus memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya perforasi
kolon jika dilakukan PCNL. Penggunaan CT guided nefrostomi atau
pemeriksaan CT preoperatif dapat digunakan sebagai guide pada kasus-
kasus di atas. Diagnosis perforasi kolon dipertimbangkan apabila
terdapat hematoschezia intraoperatif, peritonitis, sepsis, atau drainase
berupa gas atau feses dari selang nefrostomi. Perforasi kolon seringkali
asimtomatik dan baru bergejala pascaoperasi yang dapat ditegakkan
dengan nefrostografi pascaoperasi. Perforasi esktraperitoneal dapat
ditatalaksana secara konservatif dengan pemasangan DJ stent dan
pencabutan nefrostomi, pemberian antibiotik spektrum luas, serta
kolonografi 7-10 hari kemudian. Eksplorasi bedah dilakukan pada kasus
perforasi intraperitoneal atau jika terdapat tanda-tanda peritonitis dan
sepsis. Perforasi duodenum dapat juga terjadi pada tindakan PCNL
kanan dan biasanya diterapi secara konservatif dengan pemasangan
selang nefrostomi dan NGT.
6. Trauma Hepar dan Limpa
Trauma hepar dan limpa biasanya terjadi pada kasus
splenomegali atau hepatomegali. Penggunaan CT-guided dapat
mengurangi risiko trauma pada kasus di atas. Pada kasus trauma limpa
seringkali membutuhkan tatalaksana eksplorasi, sedangkan pada kasus
trauma hepar tatalaksana adalah secara konservatif dan jarang
diperlukan eksplorasi bedah.

21
7. Sepsis
Disarankan semua pasien sebelum menjalani prosedur PCNL
memiliki hasil kultur urine dan diberikan antibiotik sesuai kultur agar
urine steril (Nugroho dkk, Percutaneous Nephrolithotomy as Therapy
for Kidney Stone, 2011).

2.2.17 Kelebihan dan Kekurangan Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL)


1. Keuntungan : Angka bebas batu yang besar (90%), dapat digunakan
untuk terapi batu ginjal berukuran besar, dapat
digunakan pada batu kaliks inferior, dan morbiditasnya
yang lebih rendah.
2. Kelemahan : Dibutuhkan keahlian khusus serta pengalaman untuk
melakukan prosedurnya (Nugroho dkk, Percutaneous
Nephrolithotomy as Therapy for Kidney Stone, 2011).

22
BAB 3
ANALISIS JURNAL TERKAIT

3.1 Jurnal 1
ABSTRAK
Untuk menjelaskan teknik baru yang telah kami modifikasi yaitu ultra-
mini-nefrothotomi perkutan atau ultra-mini-percutaneous nephrolithotomy
(UMP) yang menggunakan mininefroskop berkuran 6 Fr baru melalui 11-13
Fr selubung logam yang akan menampilkan holmium: laser lithotripsi YAG.
Methods. Riwayat medis dari 36 pasien dengan batu ginjal berukuran sedang
(<20mm) yang diobati dengan teknik UMP dari April sampai Juli 2012 telah
diulas secara retrospektif. Pasien telah dinilai pada hari pertama dan bulan
pertama pasca operasi oleh KUB dan US hingga menilai bersihnya batu ginjal.
Hasil. Rata-rata besar batu ginjal adalah + 14,9 mm (range: 6-20). Rata-rata
waktu untuk operasi adalah + 15,9 menit. Tingkat keberhasilan bersih dari
batu ginjal pada hari pertama dan bulan awal paska operasi adalah 88,9% dan
97,2%. Rata-rata pasien rawat inap adalah 3 hari. Komplikasi yang sudah
dicatata pada 6 kasus (sekitar 16,7%) berdasarkan pada klasifikasi Clavien,
termasuk sepsis pada 2 kasus (5,6%), ekstravasasi urin pada 1 kasus (2,8%)
grade IIA, dan demam pada 3 kasus (8,3%) grade II. Tidak ada pasien yang
membutuhkan transfusi darah. Kesimpulan. UMP secara teknis sangat layak,
aman dan mancur untuk batu ginjal berukuran sedang dengan keuntungan bisa
terbebas dari ancaman tinggi akan batu ginjal dan tingkat komplikasi yang
rendah. Namun, karena keterbatasan indikasi yang belum teruji, karena itu
UMP adalah penunjang untuk, bukan pengganti, dari standara teknologi mini-
PCNL.

3.1.1 Judul : “Teknik baru Mini Ultra Nefrolithotomi Perkutan: Pengantar


dan Pengalaman Pertama pada Pengobatan Batu Ginjal pada Saluran
Kemih atas Kurang dari 2 cm ”

23
3.1.2 Penulis : Janak Desai, Guohua Zeng, Zhijian Zhao, Wen Zhong,
Wenzhong Chen, and Wenqi Wu.

3.1.3 Tahun Terbit : 02 April 2013

3.1.4 Tujuan Penelitian:


Bahwa PCNL dapat dilakukan dengan aman dan efektif untuk
mencapai yang lebih tinggi batu bebas tingkat dan memungkinkan
masa pengobatan singkat di sebagian besar pasien. Sebagian besar
komplikasi ini terkait pembentukan saluran dan ukuran. Upaya untuk
mengurangi komplikasi PCNL telah berfokus pada ukuran akses.
Setelah cukup bukti dalam literatur menyarankan bahwa penurunan
saluran yang ukuran untuk PCNL dapat menurunkan perdarahan dan
morbiditas, Desai et al. mengembangkan jarum semua-melihat dan
menggunakannya dalam sebuah 4.85Fr ukuran saluran tanpa selubung
bekerja untuk melakukan PCNL, yang disebut "microperc"
Di sini, kita mengadopsi 6Fr Mininephroscope baru dengan
beberapa fitur khusus yang memungkinkan kinerja PCNL dalam
selubung logam 11-13Fr. Kami disebut prosedur sebagai 2 BioMed
Penelitian Internasional ultra-mini-perkutan nephrolithotomy (UMP)
karena saluran yang lebih kecil dibandingkan dengan mini-PCNL.

3.1.5 Metode Penelitian :


Pasien dan Pengukuran. Kami mendapatkan persetujuan di
klinik studi ini dari Komite Etik dari Gabungan Rumah Sakit di
Universitas Medis Guangzhou. Tertulis di lembar informed consent
bahwa percobaan ini adalah teknologi barus sudah didapatkan dari
semua partisipan sebelum operasi. Dari April 1012 sampai Juli 2012,
UMP sudah dilakukan pada 36 pasien oleh salah satu dari dua Dokter
Bedah yang berpengalaman (G. Zeng dan J. Desai). Termasuk salah
satu kriteria mencakup semua pasin dengan ukuran batu ginjal kurang
dari 20 mm yang lebih memilih untuk dilakukan UMP. Tujuan utama

24
dari penelitian ini adalah untuk mengenalkan teknik UMP (termasuk
alat-alat yang digunaka, metode memasuki renal, jumlah tusukan
untuk digunakan, teknik dilasi sistem perkemihan, penghancuran batu,
dan teknik pengeluaran) dan untuk melaporkan hasil dari UMP di grup
pasien ini (termasuk komplikasi pre dan pra operasi, waktu yang
digunakan selama operasi, penurunan hemoglobin, perkiraan rawat
inap, tingkat bebas dari batu ginjal dan kebutuhan untuk prosedur
tambahan).
Riwayat kesehatan yang detail, pemeriksaan fisik, analisis
urine, kultur urin, penghitungan darah lengkap, serum biokimia, tes
koagulasi, X-ray ginjal kandung kemih (KUB), ultrasonografi renal
(US), dan/atau urography intravenus (IVU) sudah dilakukan pada
semua pasien. CT (computed tomography) hanya dilakukan pada
situasi tertentu karena kekhawatiran karena paparan radiasi. Pasin
yang punya kultur urin positif diobati terlebih dahulu secara langsung
dengan pemberian antibiatok. Ukuran batu di hitung dengan
mengukur dari axis terpenjang pada pencitraan sebelum operasi.
Komposisi batu dari semua pasien sudah ditelati dengan spectroscop
infra-red. Status bebas dari batu sudah di periksa pada hari pertama
dan minggu pertama setelah operasi dan dijabarkan sebagai tidak ada
sisa batu pada KUB dan ultrasound. Komplikasi sebelum operasi pada
semua pasien sudah dicatat berdasar dari klasifikasi Clavien. Rawat
inap di rumah sakit telah dibulatkan pada hari tercepat dan dihitung
dari tanggal dimana pasin masuk untuk rawat inap sampai waktu
pulang ke rumah. Data dilaporkan sebagai angka atau persen atau rata-
rata + yang bisa dilihat di Tabel 2.
Armamenterium. Sebuah minipheroskop dan selubung bekerja
di desain pada universitas kami dan diterima masyarakat. Ini adalah
salh satu contoh alat-alat instrumen satu set, UMP menyiapkan; 11Fr
atau 13Fr metal selubung dengan jalan masuk terintegrasi port ke
samping. Ini melingkupi 1 mm diameter dari selang dalam (LUT-
GmbH, Jerman) (Gambar 1(b)). Ada sebuah sluran dari selang dalam

25
sampai ke port samping, port samping bisa mencapai jarum suntik
untuk membuat jet air (Gambar 1(b)). Selubung metal bisa cocok
dengan sumbatan di dalam. Sumbatan dipasang miring dengan sisi
alur ujung distal, jadi kabel penuntung bisa masuk ke sumabtan
(Figure 1(b)). Intrumen dasar spesial lainnya adalah teleskop 3,5 Fr
dengan selubung teleskop yang dapat dibongkar berukuran 6 Fr (LUT-
GmbH, Jerman) (Gambar 1(c)), dan selubung teleskop yang
mempunyai dua port. Teleskop 6 Fr yang dirakit digunakan untuk
visualisasi. Satu sisi port dari selubung teleskop berhubungan dengan
pompa irigasi untuk mengirigasi dan sisi lain port digunakan untuk
memasukkan laser fiber. Optik disambungkan lewat pembesar okular
dan adapter listrik sebagai sistem standar endoskopik kamera.

3.1.6 Hasil Penelitian :


Hasil penelitian menunjukan bahwa BMI adalah 24,63 (18,1-
33,2) kg / m2. Pra operasi rata-rata Ukuran batu itu 14.9 mm (kisaran 6
sampai 20). Indikasi UMP pada pasien dari studi ini termasuk
transplantasi ginjal di 1 ginjal soliter, 1 infundibulum sempit , 1
divertikular batu ginjal , pada 3 anak-anak prasekolah , di 2 tahan api
ESWL, di 6 gagal RIR di 5 (3 bate tiang lebih rendah dengan akut
sudut dan 2 divertikulum batu infundibular-panggul mana leher kaliks
tidak bisa dibuka selama RIR), dan sisanya dari pasien dengan ukuran
batu kurang dari 20mm lebih suka teknik baru.
Semua 36 pasien diobati dengan saluran tunggal. Di 15 pasien,
akses diperoleh melalui tusukan supracostal, sementara di 21, setiap
akses dicapai melalui punc- yg terletak di bawah tulang rusuk ture,
masing-masing. Selain itu, meskipun sebagian besar tusukan adalah
melalui kelopak posterior pada 30 pasien, anterior kelopak tusukan
tentative aplikasi untuk langsung mencapai tampuk batu target dalam
6 pasien. Tidak ada pasien harus dikonversi ke metode konvensional
atau ditinggalkan. Berarti Waktu operasi adalah 59,8 menit (kisaran

26
30 sampai 90). Rata-rata Penurunan hemoglobin adalah 5.4g / L
(kisaran 0-21), dan tidak ada yang membutuhkan transfusi darah.
Menurut sistem klasifikasi Clavien dimodifikasi, komplikasi yang
noteding (16,7%) kasus .Urosepsis (kelas II) dengan sedikit waktu
lebih lama operasi (87min) terjadi di 2 (5,6%) kasus dan demam
(kelas II) terjadi di 3 (8,3%) kasus, yang semuanya disembuhkan
dengan antibiotik intravena dan / atau Double-J berdiam stent.
Extravasations kemih (kelas IIIa) terjadi pada 1 (2,8%) kasus karena
fragmen berlebihan bergerak turun ke ureter yang mengakibatkan
obstruksi, yang disembuhkan dengan memasukkan dua J stent. Tidak
ada pasien menjalani perdarahan yang signifikan bahkan pada 6
pasien dengan anterior Pendekatan kelopak. Tidak ada pasien
membutuhkan transfusi darah. Tidak pneumotoraks terjadi pada 15
pasien yang menjalani pendekatan supracostal. Berarti pasca operasi
di rumah sakit tinggal 3 hari (kisaran 2 sampai 5). Dalam 29 pasien
tanpa batu residu dan komplikasi, berarti setiap rumah sakit adalah 2,3
hari. Demam pasca operasi terjadi pada 3 pasien, dan tinggal di rumah
sakit setiap pasien adalah 3 hari. Dalam 3 pasien dengan urosepsis (2
kasus) dan extravasations kemih (1 kasus), masing-masing, yang
membutuhkan Double-J stent indwelled, setiap rumah sakit tinggal 4
hari, masing-masing.

3.1.7 Kesimpulan :
UMP secara teknis sangat layak, aman dan mancur untuk batu
ginjal berukuran sedang dengan keuntungan bisa terbebas dari
ancaman tinggi akan batu ginjal dan tingkat komplikasi yang rendah.
Namun, karena keterbatasan indikasi yang belum teruji, karena itu
UMP adalah penunjang untuk, bukan pengganti, dari standara
teknologi mini-PCNL

27
3.2 Jurnal 2
ABSTRAK

Tujuan: untuk membagi tiap komplikasi sesuai dengan tingkat bahaya


dari nefrolithotomi perkutan (PCNL) pada rumah sakit pusat dan tingkat tiga
dengan menggunakan sistem Clavien modifikasi.
Bahan dan Metode: dari Mei 1987 hingga Desember 2010, 1.236 kasus
yang menggunakan PCNL telah dilakukan di instutasi kami. Rekam medis
tersedia bagi 826 kasus PCNL dari 698 pasien, dari Februari 1995 sampai
Desember 2010. Menggunakan beberapa faktor, kami secara retrospektif
mengulas dan menganalisa 698 pasien dengan komplikasi yang sudah
bobotnya di kelompokkan dengan menggunakan sistem penilaian Cavien,
bersamaan dengan rata-rata keberhasilan.
Hasil: pada 698 pasien, pasien dengan batu ginjal diperhitungkan
sebanyak 33.8% (236 pasien). Pada awal dan secara keseluruhan, pasien
dengan batu ginjal yang berhasil di angkat serta bersih rata-rata 69,9% dan
88,8%. Totalnya ada 297 komplikasi yang ditulis pada dokumen 282 pasien.
Merujuk pada klasifikasi modifikasi Clavien, tingkat komplikasi I, II, IIIa,
IIIb, Iva, Ivb dan V sudah di observasi di 88 pasien (12,6%), 145 pasien
(20,8%), 31 pasien (4,4%), 5 pasien (0,7%) 6 pasien (0,9%), 4 pasien (0,6%)
dan 3 pasien (0,4%) secara berurutan. Kebocoran kateter urin peri-nefrostomi
sementara juga salah satu komplikasi yang paling sering, diikuti dengan
demam > 38oC (11%) dan tranfusi (6,9%). Komplikasi individual lainnya
terjadi kurang dari 1,% kasus. Pasien dengan batu staghorn, tingkat
komplikasi I, II, IIIb, dan Iva secara signifikan lebih banyak terjadi dan semua
tingkat komplikasi IVb dan V terjadi pada pasien dengan batu staghorn.
Kesimpulan: klasifikasi modifikasi Clavien memberikan sebuah standar
baku untuk tingkat komplikasi PCNL, meskipun konsesus pada komplikasi
yang lebih mendetail akan lebih baik jika dibandingkan antara pusat ke pusat.
Waktu operasi yang lebih pendek sangat penting untuk mencapai tujuan lebih
sedikit adanya perdarahan. Demam yang disebabkan oleh batu sebelumnya

28
dan batu staghorn merukapan faktor penyebab yang paling banyak jika terjadi
demam pasca-operasi.

3.2.1 Judul : “Komplikasi Dari Nefrolithotomi Perkutan Yang Di


Klasifikasikan Menurut Sistem Penilaian Clavien Modifikasi: Sebuah
Pengalaman Dari Pusat Tunggal Lebih Dari 16 Tahun.”

3.2.2 Penulis : Tae Seung Shin, Hyuk Jin Cho, Sung-Hoo Hong, Ji Youl Lee,
Sae Woong Kim, Tae-Kon Hwang.

3.2.3 Tahun Terbit : 10 Agustus 2011

3.2.4 Tujuan Penelitian :


Untuk membagi tiap komplikasi sesuai dengan tingkat bahaya dari
nefrolithotomi perkutan (PCNL) pada rumah sakit pusat dan tingkat
tiga dengan menggunakan sistem Clavien modifikasi.

3.2.5 Metode Penelitian :


Dari Mei 1987 sampai Desember 2010, 1,236 kasus PCNL dari
1.066 pasien telah dilakukan di pusat kami. Diantara pasien-pasien ini,
rekam medis ada dari Februari 1995 sampai Desember 2010. Dalam
penelitian ini, kami secara retrospektif mengulas dan menganalisa 410
kasus PCNL yang sudah dilakukan. Batu ginjal diklasifikasikan
sebagai batu staghorn jika pelvis renal mempunyali kaliks bercabang
ke kalik major. Karena rumah sakit tersier dibuat oleh pusat kami,
banyak pasien yang dirujuk ke rumah sakit lainnya, dan 35% pasien
menjalani terapi shock wave lithotripsy extracorporeal dan 34%
pasien di diagnosa mempunyai batu staghorn. Karakteristik pasien
lebih lanjut dijelaskan di Tabel 1.
Semua pasien menjalani pemeriksaan laborat sebelum operasi,
termasuk tes darah dan analisis urin. Semua pasien juga menjalani
simpel X-ray ginjal-ureter-kandung kemih, bersama dengan CT atau

29
urography intravena. Saat hari operasi sudah ditentukan, generasi-
ketiga cephalosporin atau quinolon sudah diberikan lebih dari 5 hari
untuk mencegah adanya sepsis setelah operasi, jika pyuria ada dalam
analisis urin.
Dengan pasien yang sudah diberi endotrakeal anasthesia umum,
balon kateter berukuran 5 sampai 6 Fr yang bisa menutup dimasukkan
ke ureter ipsilateral, yang mana diikuti dengan injeksi material kontras
untuk mengeruhkan dan distensi dari sistem untuk menghindari
terjadinya tusukan di tempat yang salah. Setelah kateterisasi ureter,
posisi pasien dirubah dari tengkurap ke meja kompatibel C-arm.
Setelah akses diperoleh dengan jarum berselubung, stylet dilepas dan
kabel penuntun dimasukkan, melalui dilatasi sistem yang dilakukan
dengan salah satu dilator Amplatz atau dilatasi balon kateter (Cook
Urogical Inc. Indianapolis, IN, USA). Menggunakan nefroskop yang
kaku, pemecahan batu menggunakan balistik atau alat ultra suara dan
batu bisa dikeluarkan menggunakan forseps. Meskipun beberapa
pertanyaan perlukan kateter nefrostomi, itu sudah menjadi kebiasaan
untuk diberikan sebagai tampon pendarahan dan drainase urin di pusat
kami.
Tingkat kesuksesan di buktikan dengan tidak adanya residu
pecahan batu di X-Ray konvensional atau CT atau ketika pemeriksaan
CIRF. CIRF menampilkan residu pecahan batu lebih kecil dari 4 mm,
asimtompmatik, tidak ada obstruktif dan tidak infeksi. Kesuksesan
juga diklafisikasikan sebagai tingkat awal kebersihan batu, yang mana
sudah di evaluasi secara langsung setelah prosedur PCNL, dan semua
tingkat kebersihan batu, yang mana dievaluasi 3 bulan setelah PCNL
dan prosedur tambahan lebih lanjut telah dilakukan.
Komplikasi sebelum operasi di klasifikasikan menggunakan sistem
modifikasi Clavien, yang digolongkan menjadi lima (Tabel 2).
Riwayat operasi sebelumnya seperti hipertensi (n=221), diabetes )
n=105), TBC (n=30), cerebrovascular accident (n=21), dan skeletal
abnormalities (n-12) yang termasuk dalam variabel. Faktor anatomi

30
urologi seperti batu divertikular (n=42), obstruksi lengkungan
ureterpelvis (n=25), satu ginjal (n=13), megaureter (n=9), duplikasi
uerter (n=5), ginjal tapal kuda (n=4), dan striktur infundibular (n=3)
juga termasuk variabel. Nilai-p < 0,05 logistik multivariat analsisi
regresi juga dianggap siginifikan. Rasio odds (Ors) dan confidence
interval (CI) juga diperlihatkan. Semua analisis di tunjukkan
menggunakan SAS sistem untuk Windows veri 9.1 (SAS Institute Inc,
Cary, NC, USA).

3.2.6 Hasil Penelitian :


Hasil penelitian menunjukkan bahwa Data perioperatif tercantum
dalam Tabel 3. awal Tingkat batu bebas adalah 69,9% (488 pasien),
dan secara keseluruhan Tingkat batu bebas adalah 88,8% (620 pasien).
Rata-rata inap tinggal adalah 4,5 ± 2,6 hari setelah operasi. Paling
rendah Tingkat keberhasilan awal diamati pada batu staghorn
kelompok (46%, p <0,0089). Selanjutnya, berarti operasi waktu
(157,91 ± 76,85 hari, p <0,0037) dan tinggal di rumah sakit
(5.18 ± 3.12 hari, p <0,0095) secara signifikan lebih lama di kelompok
batu staghorn. Tabel 4 daftar komplikasi pasca operasi
diklasifikasikan oleh sistem penilaian Clavien dimodifikasi. Sebanyak
297 komplikasi- kation didokumentasikan. Grade I komplikasi yang
dijalin dgn tali di 88 (12,6%), kelas II di 145 (20,8%), kelas IIIa di
31 (4,4%), kelas IIIb di 5 (0,7%), kelas IVa di 6 (0,9%), kelas IVb di 4
(0,6%), dan kelas V di 3 (0,4%) pasien. Sementara peri nefrostomi
kebocoran kateter urine untuk kurang dari 24 jam, hanya
membutuhkan berpakaian sederhana, disajikan di 106 (15,2%) pasien.
Demam, yang didefinisikan sebagai setidaknya satu episode
spiking lebih dari 38 ° C, adalah komplikasi (77 pasien, 11,0%).
Transfusi diperlukan pada 48 pasien (6,9%). Komplikasi individu lain
tions menyumbang kurang dari 1,5%. Perbandingan komplikasi kation
antara pasien batu staghorn dan lain-lain diuraikan dalam Tabel 5.
Kelas I, II, IIIb, dan komplikasi Iva secara signifikan lebih sering

31
terjadi pada batu staghorn kelompok. Semua kelas IVb dan V
komplikasi terjadi di stag Penderita batu tanduk. Keempat pasien yang
mengembangkan sepsis pasca operasi yang staghorn pasien batu.
Keempat pasien memiliki kedua piuria dan hematuria dalam urine pra
operasi, dan dengan demikian Korea J Urol 2011; 52: 769-775
Komplikasi Percutaneous Nephrolithotomy 773 antibiotik oral pra
operasi diberikan untuk lebih dari 5 hari. Tak satu pun dari pasien ini
demam sebelum operasi. Tiga pasien dengan batu staghorn meninggal
setelah PCNL. Dari dua pasien yang meninggal karena syok septik,
satu akhirnya edema otak maju setelah replace- ginjal terus menerus
Terapi ment. Pasien lain yang meninggal karena syok septik memiliki
riwayat penyakit Parkinson dan akhirnya devel
oped stress cardiomyopathy. Satu pasien meninggal dari hipoksemia
dan asidosis pernafasan yang disebabkan oleh paru nary emboli
meskipun ventilasi mekanis. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penentu setiap komplikasi, multi analisis variate dilakukan. Demam-
batu yang terkait sebelum dan batu staghorn yang ditemukan menjadi
signifikan faktor untuk demam pasca operasi tributing> 38 o C.
Berarti op waktu timbangkan ditemukan signifikan untuk perdarahan
requiring transfusi (Tabel 6). Komplikasi Tujuan lainnya (embolisasi,
tabung dada penyisipan, sistem pengumpulan per foration, cedera
usus, nefrektomi, sepsis, kematian), mencegah minants tidak dapat
diidentifikasi karena kasus kecil. Untuk mengidentifikasi faktor risiko
untuk mengembangkan komplikasi kation diklasifikasikan sebagai
kelas IIIa atau lebih besar menurut Sistem Clavien, analisis regresi
logistik multivariat dilakukan dengan menggunakan variabel yang
sama. Hanya operasi waktu itu dianggap sebagai faktor yang
signifikan dalam analisis univariat (OR, 0,994; 95% CI, 0,989-0,999;
p = 0,0255), tetapi gagal untuk tetap menjadi faktor yang signifikan
dalam analisis multivariat (OR, 0,993; 95% CI, 0,984-1,000; p =
0,1071).

32
3.2.7 Kesimpulan :
klasifikasi modifikasi Clavien memberikan sebuah standar baku
untuk tingkat komplikasi PCNL, meskipun konsesus pada komplikasi
yang lebih mendetail akan lebih baik jika dibandingkan antara pusat
ke pusat. Waktu operasi yang lebih pendek sangat penting untuk
mencapai tujuan lebih sedikit adanya perdarahan. Demam yang
disebabkan oleh batu sebelumnya dan batu staghorn merukapan faktor
penyebab yang paling banyak jika terjadi demam pasca-operasi.

33
3.3 Jurnal 3
ABSTRAK

Tujuan untuk membandingkan karakteristik dan hasil dari rencana yang akan
dilakukan pada PCNL menggunakan database Pusat Penelitian Klinis tentang
Perhimpunan Eundorogikal PCNL Penelitian Global .
Bahan dan Metode. Dua data yang cocok sudah disiapkan untuk
membandingkan hanya menggunakan sten dengan hanya menggunakan NT
dan TTl menggunakan hanya NT. Pasien yang cocok dengan rencana
mengguanakan variabel: banyaknya kasus di pusat dimana mereka melakukan
PCNL, berat batu, adanya batu staghorn, ukuran selubung yang digunakan
saat akses perkutan, adanya perdarahan saat operasi dan status sukses
pengobatan. Untuk kategori variabel, persentase sudah dijumlahkan dan
perbedaan diantara empat grup yang di tes dengan tes chi-squre.
Hasil. Satu satunya perbedaan signifikan dilaporkan diantara pasangan yang
cocok diantara grup NT dan hanya stent, hanya NT PCNL sudah dikatikan
dengan lamanya waktu operasi secara signifikan (p - 0,029) dan lamanya
rawat inap (p < 0,001) daripada PCNL yang menggunakan sten saja.
Kesimpulan. Pasien yang menjalani PCNL dengan rencana invasif termasuk
hanya menggunakan stent mempunyai waktu rawat inap yang lebih singkat
daripada pasien post operasi NT. Tujuan intraoperative tentu saja adalah
pendorong utama dari komplikasi di PCNL dan tidak membutuhkan rencana.

3.3.1 Judul : “Exit Strategi Pcnl: Perbandingan Hasil Operasi Di Clinical


Research Office Of The Endourological Society (Croes) Pcnl Penelitian
Global”

3.3.2 Penulis : Luigi Cormio • Gaspar Ibarlucea Gonzalez • David Tolley

3.3.3 Tahun Terbit : 23 Maret 2013

34
3.3.4 Tujuan Peneliti :
untuk membandingkan karakteristik dan hasil dari rencana yang akan
dilakukan pada PCNL menggunakan database Pusat Penelitian Klinis
tentang Perhimpunan Eundorogikal PCNL Penelitian Global .

3.3.5 Metode Penelitian :


Organisasi dan metode Croes PCNL global Penelitian telah
dijelaskan sebelumnya. Pasien diobati dengan PCNL selama periode 1
tahun antara November 2007 dan Desember 2009. PCNL dilakukan
keluar baik di terlentang atau dalam posisi rawan. Akses ke saluran
atas dipandu oleh USG dan / atau X-ray di kombinasi dengan injeksi
kontras intrarenal retrograde. Setelah akses diperoleh, kawat pemandu
yang dimasukkan dan sebaiknya bermanuver ke ureter. Dilatasi adalah
dilakukan dengan balon, teleskopik atau dilator serial dan sebuah
Amplatz sarung kemudian diposisikan. Sistem pengumpulan
kemudian diperiksa oleh nephroscope dan batu yang baik hancur oleh
laser, ultrasound atau perangkat balistik atau dihapus di toto dengan
graspers.
Prosedur itu dianggap telah selesai ketika semua batu removable
telah dibawa keluar. Internal dan / atau eksternal dan tiriskan (s)
diposisikan menurut penilaian dari Dokter bedah. Kebutuhan transfusi
didasarkan pada klinism penghakiman dari dokter yang merawat dan
lokal klinis pedoman praktek. Penilaian batu langsung izin dilakukan
dengan USG, X-ray atau computer tomography (CT) scanning,
berdasarkan ketersediaan atau praktek klinis lokal. Komplikasi
perioperatif yang dinilai dan dinilai sesuai dengan Clavien
dimodifikasi Sistem yang diterapkan pada PCNL.
Karakteristiknya pasien ' teristics, prosedur dan hasil data yang
bedah yang dianalisis sesuai dengan strategi keluar, yaitu penempatan
NT tanpa ureter stenting (NT saja); ureter stenting tanpa NT (stent
saja), dan benar-benar PCNL tubeless (TTL). Analisis statistik Dua set

35
data cocok disiapkan untuk membandingkan stent saja dan TTL
dibandingkan NT hanya saja dibandingkan NT. The set data cocok
dibuat menggunakan skor kecenderungan pencocokan, teknik
pencocokan multidimensi berdasarkan regresi logistik multivariat.
Pasien yang cocok pada strategi keluar menggunakan variabel-
variabel berikut: Kasus Volume pusat di mana mereka menjalani
PCNL, batu beban, kehadiran batu staghorn, ukuran selubung
digunakan di akses perkutan, kehadiran perdarahan selama operasi,
dan status keberhasilan pengobatan. Pencocokan ini faktor dipilih dari
kolam pra operasi acteristics yang akan menentukan pilihan dokter
bedah untuk strategi keluar. Untuk variabel kategori, persentase yang
dihitung dan perbedaan antara empat kelompok yang diuji dengan uji
chisquare dengan tingkat signifikansi p \ 0,05. Kontribusi dari peneliti
individu untuk naskah dan pentingnya masukan dalam pengumpulan
data yang dipertimbangkan dalam alokasi kepenulisan sesuai dengan
pedoman publikasi Croes.

3.3.6 Hasil Penelitian :


Dalam semua kelompok, ada lebih laki-laki daripada
perempuan, pasien rata-rata berlebihan berat badan, dan mayoritas
pasien memiliki seorang Amerika Masyarakat Anesthesiologists
(ASA) skor 1 atau 2. Satu-satunya perbedaan yang signifikan antara
kelompok adalah bahwa pasien yang menerima NT hanya lebih
mungkin untuk memiliki menjalani operasi ginjal terbuka sebelumnya
dari pasien menerima stent saja.
Distribusi pasien menurut ukuran NT ditunjukkan pada
Gambar. 1. Data yang tersedia untuk 5046 pasien. Yang paling umum
berukuran NT digunakan adalah 20 Ch (21,6%) diikuti oleh 14 Ch NT
(16,4%). Dalam hal prosedur operasi, satu-satunya perbedaan yang
signifikan antara kelompok-kelompok yang dilaporkan adalah antara
NT dan stent hanya kelompok dalam hal jalur akses perkutan.

36
Tidak perbedaan yang diamati antara kelompok-kelompok di
batu-bebas tarif dan kejadian perdarahan (Tabel 2). Berarti durasi tion
dari PCNL di kelompok perlakuan berkisar antara 67 sampai 82 min
(Tabel 3). Waktu operasi rata-rata adalah signifikan lagi untuk pasien
yang telah NT hanya dibandingkan dengan pasien yang memiliki ST
saja (p = 0,029). Sakit seperti pasca operasi pital tinggal itu juga
secara signifikan lebih lama untuk NT hanya dikupas dengan ST
hanya pasien (p \ 0,001). Tidak ada yang lain perbedaan yang
signifikan antara kedua kelompok cocok dilaporkan.

3.3.7 Kesimpulan :
Pasien yang menjalani PCNL dengan rencana invasif termasuk
hanya menggunakan stent mempunyai waktu rawat inap yang lebih
singkat daripada pasien post operasi NT. Tujuan intraoperative tentu
saja adalah pendorong utama dari komplikasi di PCNL dan tidak
membutuhkan rencana.

37
3.4 Jurnal 4
ABSTRAK
Tiga pasien menjalani laparoskopik yang dibantu oleh PNL. Semua pasien
adalah orang-orang yang berotot berumur 40 sampai 50-an dan mempunyai
berat masing-masing 94, 89, dan 78 kg. ginjal, ureter dan kandung kemih
serta pyelogram intravena pada pasien pertama menunjukkan adanya 3 cm
ektopik pada pelvis ginjal berada pada atas sakrum dengan ginjal normal pada
sisi lainnya. Dia mempunyai riwayat adanya dua batu ginjal yang secara
spontan keluar. Pasien kedua mempunyai ektopik ginjal bilateral. Ginjal
kanan berlokasi di pelvis yang tepat tanpa kalkuli dan ginjal kiri terletak pada
lubang iliac dengan 2,5 cm kalkulus di pelvis renal. Pasien ketiga mempunyai
batu ginjal berukuran 4 cm di infundibulum pada kaliks atas pada ektopik
pelvis ginjal kiri. Pasien terakhir mempunyai riwayat PNL pada batu ginjal
kanan tiga tahun yang lalu. Semua pasien ini mempunyai riwayat kegagalan
Shock Wave Lithoripsy (SWL) setelah dua sesi. Tidak ada satu pun dari
mereka pernah menjalani operasi besar sebelumnya.
Lalu pasien pasin ini akan melakukan laparoskopi yang disertai dengan
pengangkatan batu ginjal. Dengan menggunakan fluorsokopik untuk akses
atau rute terbaik sudah di berikan, ginjal juga ditusuk. Nefroskop berukuran
24F sudah dimasukkan dan semua batu ginjal dihancurkan dan dibuang.
Waktu berjalannya operasi adalah 150, 120 dan 110 menit pada kasus 1, 2, 3
secara berurutan. Pembersihan batu secara menyeluruh di dokumentasikan
dengan film X-Ray KUB dan ultrasonografy.
Akhirnya pasien menjalani IVP tiga bulan setelah operasi. Mereka semua
sehat dan tidak mengalami komplikasi.

3.4.1 Judul : Nefrolithothomi perkutan yang dibantu dengan laparosikopi


pada ektopik pelvis ginjal (Laparoscopic assisted percutaneous
nephrolithotomy in ectopic pelvic kidneys)

38
3.4.2 Penulis : Seyed Habibollah Mousavi-Bahar, Mohammad Ali Amir-
Zargar and Hamid Reza Gholamrezaie

3.4.3 Tahun Terbit : 2008

3.4.4 Tujuan Peneliti :


Menjelaskan tentang teknik laparosikopik yang digunakan untuk PNL
trans-peritonial pada ektopik ginjal.

3.4.5 Metode Penelitian :


Tiga pasien menjalani laparoskopik yang dibantu oleh PNL.
Semua pasien adalah orang-orang yang berotot berumur 40 sampai
50-an dan mempunyai berat masing-masing 94, 89, dan 78 kg. ginjal,
ureter dan kandung kemih serta pyelogram intravena pada pasien
pertama menunjukkan adanya 3 cm ektopik pada pelvis ginjal berada
pada atas sakrum dengan ginjal normal pada sisi lainnya. Dia
mempunyai riwayat adanya dua batu ginjal yang secara spontan
keluar. Pasien kedua mempunyai ektopik ginjal bilateral. Ginjal kanan
berlokasi di pelvis yang tepat tanpa kalkuli dan ginjal kiri terletak
pada lubang iliac dengan 2,5 cm kalkulus di pelvis renal. Pasien ketiga
mempunyai batu ginjal berukuran 4 cm di infundibulum pada kaliks
atas pada ektopik pelvis ginjal kiri. Pasien terakhir mempunyai
riwayat PNL pada batu ginjal kanan tiga tahun yang lalu. Semua
pasien ini mempunyai riwayat kegagalan Shock Wave Lithoripsy
(SWL) setelah dua sesi. Tidak ada satu pun dari mereka pernah
menjalani operasi besar sebelumnya.

3.4.6 Hasil Penelitian :


Waktu operasi adalah 150, 120 dan 110 menit pada kasus 1, 2,
3 secara berurutan. Pembersihan batu ginjal secara sempurna sudah di
rekam oleh film X-Ray KUB dan ultrasonografi. Kateter ureter dilepas
pada hari pertama dan selang nefrostomi di hari kedua setelah operasi.

39
Drain abdomen dilepas di hari ketiga pada kasus kedua dan ketiga dan
di hari kelima pada kasus pertama, karena adanya kebocoran urin.
Pasien diberi IVP selama tiga bulan setelah operasi. Semua pasein
sehat dan tidak ada komplikasi jangka pendek atau panjang.
Komposisi dari batu adalah calcium oxalate monohydrate pada pasien
pertama dan kedua, dan calcium oxalate dehydrate pada yang ketiga.

3.4.7 Kesimpulan :
Laparoskopi yang digunakan untuk PNL pada ektopik
pelvis ginjal adalah alternatif yang bagus untuk operasi besar dan
mempunyai akses poin yang paling baik yang bisa dilakukan di semua
bagian abdomen. Laparoskopik ini sangat layak dicoba, aman dan
hasilnya sangat memuaskan pada kelompok pasien ini.

40
3.5 Jurnal 5
ABSTRAK

Latar Belakang: Tujuan dari laporan ini adalah untuk menilai keamanan dan
kemanjuran akses tiang lebih rendah tunggal untuk beberapa dan bercabang
batu ginjal. Sebuah studi klinis acak non calon termasuk 26 pasien dengan
batu ginjal kompleks (9 pasien telah bercabang batu ginjal dan lainnya 17
memiliki beberapa batu ginjal) pada periode dari Mei 2003 sampai Mei 2004.
usia pasien Berarti adalah 42 tahun ± 13,2 (kisaran 18 untuk 67 tahun). Semua
pasien menjalani Nefrolitotomi perkutan (PCNL) melalui tusukan kaliks
tunggal yang lebih rendah. Batu-batu kecil yang utuh diekstraksi dengan
berbagai graspers batu sementara batu-batu besar (diameter terkecil lebih dari
1 cm) yang hancur baik menggunakan pneumatik EMS Swiss lithoclast atau
Holmium YAG laser. Nephroscope fleksibel digunakan untuk batu tidak dapat
diakses oleh instrumen kaku.
Temuan: Keseluruhan tingkat batu-bebas adalah 74,8%. Pasien dengan batu
residual yang dikelola oleh salah satu sesi dari shock wave lithotripsy (SWL).
Berarti waktu operasi adalah (80 menit ± 27,4) untuk batu bercabang dan
(49,1 ± 15,9 menit) untuk beberapa batu. Tidak ada kehilangan darah yang
signifikan dilaporkan. Perforasi sistem pelviokalises terjadi pada 2 pasien
(11,5%) tanpa gejala sisa yang serius. Hanya 1 pasien mengembangkan
perdarahan sekunder yang mengharuskan transfusi darah dan selektif angio-
embolisasi.
Kesimpulan: Di tangan kami, efikasi dan keamanan dari satu kaliks rendah
tusukan PCNL dalam pengelolaan batu ginjal kompleks sebanding dengan
prosedur umum dinyatakan dalam literatur.

3.5.1 Judul : “Satu tusukan Nefrolitotomi perkutan untuk pengelolaan


batu ginjal kompleks (Single puncture percutaneous nephrolithotomy for
management of complex renal stones)”

41
3.5.1 Penulis : Mahmoud M Shalaby, Medhat A Abdalla, Hassan A Aboul-
Ella1 Abdel- Monem A El-haggagy and Alaa A Abd-Elsayed

3.5.2 Tahun Terbit : 2009

3.5.3 Tujuan Peneliti :


Menilai keamanan dan kemanjuran akses tiang lebih rendah tunggal
untuk beberapa dan bercabang batu ginjal.

3.5.4 Metode Penelitian :


Setelah mendapat persetujuan dari Komite Etik Fakultas
Kesehatan, Universitas Assiut, penelitian ini dilakukan dari cara
perspektif tidak acak. Total 26 pasien (21 laki-laki dan 5 wanita)
dengan komplek (bercabang atau ganda) kalkuli renal termasuk
diantara mereka yang masuk ke Departemen Urologi, Rumah Sakit
Universitas Assiut pada periode Mei 2003 dan Mei 2004. Rata-rata
umur pasien adalah 42 tahun (antara 18 – 67 tahun). Delapan pasien
sebelumnya pernah menjalani operasi besar untuk batu ginjal.
Sembilan pasien mempunyai batu ginjal yang bercabang (di
kategorikan batu ginjal menutupi pelvis ginjal dan satu kaliks mayor)
dan 17 lainnya mempunyai beberapa batu ginjal. Semua pasien
menjalani single lower calyceal puncture PCNL.

3.5.5 Hasil Penelitian :


Keseluruhan tingkat bebas batu adalah 74,8%, 55,5% untuk
batu bercabang dan 94,1% untuk beberapa batu. Beban batu sisa
berkisar 0,7-1,5 cm untuk batu bercabang dan 0,6-0,8 cm untuk
beberapa batu dan ada korelasi positif yang signifikan secara statistik
antara beban batu dan adanya batu residual sebagai dengan
peningkatan beban batu ada peningkatan dalam batu residual (P <0,01
dan r = 0,402). Tabel 2 dan 3 saat ini hubungan antara batu residual,
lokasi batu dan batu beban.

42
Waktu operasi berkisar 45-120 menit untuk batu bercabang
(berarti 80 menit ± 27,4.) Dan 25 sampai 75 menit (rata-rata 49,1
menit ± 15,9) untuk beberapa batu. Ada korelasi positif yang
signifikan secara statistik antara beban batu dan waktu operasi pada
kedua kelompok dengan peningkatan beban batu ada peningkatan
dalam waktu operasi (P <0,01 dan r = 0,862). Selisih kadar
hemoglobin dalam darah pasca operasi pra jumlah dan langsung
dianggap sebagai indikator kehilangan darah intra-operatif.
Diperkirakan drop intra-operatif dalam hemoglobin (Hb) tingkat
berkisar 0,3-2 g / dl (berarti 0,52 g / dl) untuk batu bercabang dan 0,2-
2,8 g / dl (berarti 0,44 g / dl) untuk beberapa batu. Ada korelasi positif
yang signifikan secara statistik antara beban batu dan penurunan
hemoglobin dan antara waktu operasi dan penurunan hemoglobin
sebagai dengan peningkatan amplitudo penurunan hemoglobin ada
dan peningkatan di kedua batu beban dan waktu operasi (P <0,01, r =
0,458 dan P <0,01, r = 0,46 masing-masing).
Minor komplikasi intra-operatif terjadi pada 3 pasien: perforasi
sistem pelviokalises terjadi pada 2 pasien (antara kelompok dengan
beberapa batu). Hipotensi terjadi pada 1 pasien dengan batu bercabang
dan dikelola secara konservatif tanpa transfusi darah. Ada korelasi
positif yang signifikan secara statistik antara distribusi batu dan
komplikasi intra-operatif seperti dengan meningkatkan distribusi batu
ada peningkatan komplikasi intra-operatif (P = 0,05, r = 392), juga
antara waktu operasi dan intraoperatif komplikasi karena ada
peningkatan komplikasi intraoperatif dengan peningkatan waktu
operasi (P <0,01, r = 0,425).

3.3.7 Kesimpulan :
Single tusukan kaliks lebih rendah lebih aman daripada akses
kaliks atas dan kurang traumatis dibandingkan dengan beberapa
saluran dalam pengelolaan batu ginjal kompleks dan kami sarankan
terutama untuk pusat ESWL dilengkapi.

43
BAB 4
PENUTUP

4.1 Simpulan
Pembedahan ginjal banyak sekali macamnya, Nefrostomi, Nefrektomi,
Pielolitotomi, Bivalve Nefrolitotomi dan PCNL. PCNL sendiri banyak digunakan
untuk pembedahan batu ginjal.
Dalam jurnal banyak di ulas tentang bagaimana penggunaan PCNL sebagai
operasi terbaik untuk penghancuran batu ginjal. Meskipun begitu, namun PCNL
tetap mempunyai efek samping yang cukup tinggi. Maka dari itu, perlu orang-
orang yang ahli untuk mengaplikasikan PCNL pada pasien batu ginjal.

4.2 Saran
Memperbanyak literatur tentang konsep pembedahan ginjal secara umum.

44
DAFTAR PUSTAKA

Cormio, Luigi. 2013. Exit strategies following percutaneous nephrolithotomy


(PCNL): a comparison of surgical outcomes in the Clinical Research
Office of the Endourological Society (CROES) PCNL Global Study World
J Urol (2013) 31:1239–1244. http://link.springe
r.com/article/10.1007/s00345-012-0898-x. Diakses 7 September 2015.
Desai, Janak dkk. 2013. A Novel Technique of Ultra-Mini-Percutaneous
Nephrolithotomy: Introduction and an Initial Experience for Treatment of
Upper Urinary Calculi Less Than 2 cm BioMed Research International
Volume 2013, Article ID 490793, 6 pages. http://www.hinda
wi.com/journals/bmri/2013/490793/abs/ Diakses 7 September 2015.
National Kidney and Urologic Diseases Information Clearinghouse. 2015. Etopic
Kidney. http://www.kidneyurology.org/Library/Kidney_Health/Ectopic_K
idney .php. Diakses 7 September 2015.
Nugroho, Dimas dkk. 2011. Percutaneous Nephrolithotomy sebagai Terapi Batu
Ginjal Maj Kedokt Indon, Volum: 61, Nomor: 3, Maret 2011. https://ww
w.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&
uact=8&ved=0CFwQFjAIahUKEwihqOnIvOTHAhVFoJQKHaSBDAI&u
rl=http%3A%2F%2Findonesia.digitaljournals.org%2Findex.php%2Fidnm
ed%2Farticle%2FviewFile
%2F344%2F342&usg=AFQjCNEoLkZaVW9t3CBWzX-
I2eGuGzmDRg&sig2=YoiGGzxNTPYhaZ80IK0vfA&bvm=b v .
102022582,d.dGo. Diakses 6 September 2015.
Mousavi-Bahar dkk. 2008. Laparoscopic Assisted Percutaneous Nephrolithotomy
in Ectopic Pelvic Kidney International Journal of Urology 2008) 5, 276-
278. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.14422042.2007.0198
5.x/pdf. Diakses 6 September 2015.
Shalaby, Mahmoud M dkk. 2009. Single Puncture Percutaneous Nephrolithomy
for Management of Complex Renal Stones BMC Research Notes 2009,
2:62. http://www.biomedcentral.com/1756-0500/2/62/. Diakses 7
September 2015.
Shin, Tae Seung dkk. 2011. Complications of Percutaneous Nephrolithotomy
Classified by the Modified Clavien Grading System: A Single Center’s
Experience over 16 Years Korean J Urol 2011;52:769-775.
http://synapse.koreamed.org/DOIx.php?id=10.4111/kju.2011.52.11.769.
Diakses 7 September 2015.

Anda mungkin juga menyukai