Anda di halaman 1dari 12

BUDI PEKERTI SEBAGAI IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA

Pendidikan Budi pekerti sangat penting bagi para generasi penerus bangsa, agar martabat bangsa
terangkat, kualitas hidup meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman dan nyaman serta
sejahtera. Kondisi ideal generasi muda sebagai generasi penerus, merupakan individu yang sedang
berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi kesempatan berkembang secara proporsional dan
terarah, dan mendapatkan layanan pendidikan yang berimbang antara pengetahuan umum dan
pendidikan nilai moral, agama dan Budi Pekerti.
Pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan nilai moralitas manusia yang disadari dan dilakukan
dalam tindakan nyata. Di sini ada unsur proses pembentukan nilai tersebut dan sikap yang didasari
pada pengetahuan mengapa nilai itu dilakukan. Dan semua nilai moralitas yang disadari dan
dilakukan itu bertujuan untuk membantu manusia menjadi manusia yang lebih utuh. Nilai itu
adalah nilai yang membantu orang dapat lebih baik hidup bersama dengan orang lain dan dunianya
(learning to live together) untuk menuju kesempurnaan. Nilai itu menyangkut berbagai bidang
kehidupan seperti hubungan sesama (orang lain, keluarga), diri sendiri (learning to be), hidup
bernegara, alam dunia, dan Tuhan.
Dalam penanaman nilai moralitas tersebut unsur kognitif (pikiran, pengetahuan, kesadaran), dan
unsur afektif (perasaan) juga unsur psikomotor (perilaku). Mereka memiliki peran dan posisi
strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kondisi faktual di
lapangan seperti yang muncul di media cetak dan elektronik, kenyataannya muda sebagai generasi
penerus terjebak dalam perilaku amoral yang sangat mencemaskan dan menghawatirkan bahkan
meresahkan masyarakat.
Hal ini sebagai akibat dari terabaikannya Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia. Apabila kita
melihat dari sudut pandang dunia nampak semakin tua, manusia semakin cerdas, pengetahuan
semakin maju, dan teknologi pun semakin canggih. Namun di balik semua itu, apakah kehidupan
kita menjadi semakin baik, semakin nyaman, dan semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun
bathiniah? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya. Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan
terpuruk, reformasi kita kebablasan, korupsi semakin terang-terangan dan merajalela, krisis multi
dimensi pun tak kunjung selesai.
Bangsa ini nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang
demikian. Bahwa “Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok
bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.”
Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat
dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan local yang kaya dan pluralis, serta bersikap
toleran dan gotong-royong mulai cenderung berubah menjadi hagemoni-hagemoni kelompok yang
saling mengalahkan dan berprilaku tidak jujur.
Semua ini menegaskan bahwa terjadi ketidak pastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara
pada disorientasi dan belum dihayatinya Budi Pekerti sebagai nilai-nilai Pancasila bangsa ini,
memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, serta bergesernya nilai etika dan budi
pekerti dalam kehidupan berbangsa dan berNegara.
Perilaku ini semua berpangkal pada tatakelola negara yang kurang bertanggung jawab dengan
korupsi, kolusi, dan nepotisne. Melihat kondisi bangsa ini seperti itu diperlukan upaya-upaya untuk
mengatasinya. Untuk itu saat ini yang menjadi pertanyaan kita saat ini adalah bagaimana cara kita
mengaktualisasikan Budi Pekerti sebagai nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kita ?
Sebagai manyarakat Indonesia, kita seharusnya sadar apa yang menjadi dasar kita sebagai rakyak
Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang
menjadi visi dan misi oleh bangsa ini. Pancasila merupakan dasar dalam kita warga negara
Indonesia dalam melakukan aktifitas kita sehari-hari dalam berprilaku. Keadaan tersebut tidak saja
mengakibatkan Krisis moneter yang kemudian disusul krisis ekonomi dan politik, yang akar-
akarnya tertanam dalam krisis moral dan menjalar kedalam krisis budaya, menjadikan masyarakat
kita kehilangan orientasi nilai, hancur dan kasar, gersang dalam kemiskinan busaya dan kekeringan
spritual.
“Societal terorism” muncul dan berkembang di sana sini dalam fenomena pergolakan fisik,
pembakaran dan penjarahan disertai pembunuhan sebagaimana yang terjadi di Poso, Ambon, dan
bom bunuh diri di berbagai tempat yang di siarkan secara luas baik oleh media massa didalam
maupun di luar negeri. Semenjak peristiwa pergolakan antar etnis di Kalimantan barat, bangsa
Indonesia di forum internasional di lecehkan sebagai bangsa yang telah kehilangan peradaban.
Kehalusan budi, sopan santun dalam sikap dan perbuatan, kerukunan, toleransi dan soledaritas
sosial, idiealisme dan sebagainya telah hilang hanyut dilanda oleh derasnya oleh moderisasi dan
globalisasi yang penuh paradoks. Berbagai lembaga kocar kacir semuanya dalam malfungsi. Trust
atau kepercayaan antar sesama baik vertikal maupun horinzontal telah lenyap dalam kehidupan
masyarakat. Identitas nasional kita di lecehkan dan di pertanyakan eksistensinya.
Krisis multidemensi yang sedang melanda masyarakat meyadarkan kita semua bahwa pelestarian
budaya sebagai upaya untuk mengembangkan identitas Nasional kita telah ditegaskan komitmen
konstitusional sebagaimana dirumuskan oleh para pendiri negara kita dalam pembukaa UUD 1945
yang intinya adalah memajukan kebuyaan Indonesia. Dengan demikian, konstitusional
pengembangan kebudayaan untuk membina dan mengembangkan identitas nasional kita telah
diberi dasar dan arahnya.
Merosotnya kualias hidup, bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang
menyebabkan semua itu ? Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada
yang mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil, rakyatnya
tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak
mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dsb. Jadi, kalau kita
simak dari uraian di atas, faktor penyebab utamanya adalah masalah nilai moral sekali lagi nilai
moral. Mungkinkah nilai moral sudah hilang di Negara kita? Mungkinkah nilai moral sudah tidak
dimiliki oleh generasi penerus bangsa? Pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama pada saat
ini dapat dikatakan ‘terpinggirkan. Bagaimana pada tahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah
pendidikan agama, budi pekerti masih juga terabaikan?
Satu penyebab krisis multi dimensi, termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah
karena telah terabaikannya “Pendidikan Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti)
bagi generasi penerus bangsa. Bagaikan memiliki garam satu truk tetapi tidak pernah tahu rasa
asinnya, punya gula satu peti kemas tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran
generasi penerus kita. Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama dan budi pekerti tidak tertanam dan
tidak dimilikinya oleh siswa, kecuali hanya sangat sedikit.
Pendidikan nilai moral/agama dan budi pekerti sangat penting bagi tegaknya satu bangsa.
Tanpa pendidikan nilai moral (agama, budi pekerti) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur,
carut marut, oleh karena itu “Munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona
dewasa ini mencerminkan kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan
sosial yang carut marut.” “Inilah waktunya untuk menentukan apakah nilai-nilai moral dan Budi
Pekerti penting bagi masa depan generasi penerus kita, dan kemudian mendukung dan mendorong
mereka mempraktikkan nilai-nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Siapa yang bertanggung-jawab untuk mengajarkan nilai-nilai moral ini pada generasi penerus
bangsa ? Tanggung-jawab itu dipikul kita semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu
mengajarkan nilai moral, tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarnya. Nilai-nilai
moral yang kita tanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh yang sangat
besar pada masyarakat yang akan datang.” Apakah Pendidikan Nilai Moral?
“Pendidikan dalam arti yang luas meliputi: semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada
generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik
jasmaniah maupun rohaniah.”

Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1):
“Pendidikan adalah: usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Sedangkan “nilai merupakan suatu ide sebuah konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting
dalam kehidupan. Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga
untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh.
Studi tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat
dengan studi dan justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia, apa yang mereka
nikmati. Etik merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku bagaimana orang berperilaku.
Dasar dari studi etik adalah pertanyaan mengenai moral yang merupakan suatu refleksi
pertimbangan mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.”

Moral menurut kamus Poerwadarminta, (1989: 592) adalah “ajaran tertentu baik buruk
yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq, budi pekerti,
susila.” Moral :
(1) cukup memperhatikan instink dan dorongan-dorongan spontan dan konstruktif,
(2) cukup membuka kondisi untuk membentuk pendapat yang baik,
(3) cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan untuk menerima dan sikap responsive,
(4) pendidikan moral memungkinkan memilih secara bijaksana mana yang benar, mana yang tidak.
Dari keinginan dan dambaan orang tua dan para pendidik pada umumnya manusia seperti apa yang
mereka inginkan terjadi dalam diri anak didik. Yang jelas mereka menginginkan bahwa anak didik
menjadi manusia yang utuh, yang berkembang bukan hanya ilmu pengetahuan tetapi juga sikap
dan nilai kemanusiaan yang lain.

Lebih jelasnya manusia yang didambakan dengan pendidikan budi pekerti dijelaskan oleh
Suparno (2002:13-18) sebagai berikut :
1) Manusia sebagai makhluk yang berakal budi.
Manusia dapat berpikir, dapat mempunyaia kehendak bebas untuk memilih dan menentukan apa
yang akan dibuatnya dan ia dapat bertanggung jawab terhadap pilihannya. Semuanya karena
manusia mempunyai akal budi. Maka manusia sering disebut animal rationale, binatang yang
berakal budi. Binatang hidup dari naluri dan isntink tidak menggunakan akal budi, dan ikut saja
apa yang menggerakkan dirinya. Sedangkan manusia dapat mengatur tindakannya dengan akal
budinya.
Meski manusia lapar, dia dapat menunda keinginan itu sampai di rumah. Meski dia marah sekali,
manusia dapat mengatur untuk tidak melampiaskan kemarahannya kepada orang yang membuat
marah. Meski manusia disakiti, dia dapat memilih untuk tidak membalas menyakiti, bahkan dapat
mengampuni yang menyakitinya. Hal ini disebabkan karena manusia bertindak berdasarkan akal
budinya bukan berdasarkan instink. Dengan akal budinya itu manusia dapat memikirkan, memilih
tindakan yang mau diambil, dan akhirnya bertanggung jawab terhadap pilihan itu.
2) Manusia sebagai pribadi.
Manusia sering juga dianggap sebagai pribadi, sebagai persona. Pribadi karena semua yang dia
buat dia sendirilah yang menentukan, dia sendirilah yang menginginkan. Sebagai pribadi secara
ektreem, kebahagiaan manusia pertama-tama menjadi tanggung jawab dia sendiri, karena dialah
yang memilih dan menentukan tindakan yang baik dan tidak baik. Maka bila seseorang celaka,
tidak bahagia dalam hidup, pertama-tama karena dia sendiri yang bertanggung jawab. Sebagai
pribadim, manusia bernilai, berharga. Sebagai pribadi manusia mempunyai nilai kemanusiaan yang
tidak boleh diganggu atau disengsarakan.
Oleh karena itu, manusia tidak boleh dipaksa, direndahkan, diobjekkan, apalagi dihancurkan begitu
saja. Manusia, bahkan juga bila dia sangat miskin ataupun penjahat, tetap merupakan pribadi yang
tidak boleh begitu saja dihancurkan. Dalam pengertian ini maka setiap manusia mempunyai hak
asasinya yang tidak boleh dilanggar oleh orang lain, juga bila orang itu pimpinannya. Hak asasi,
seperti hak hidup, hak beragama, hak bertempat tinggal, perlu dilindungi, karena manusia tidak
dapat menentukan hidup orang lain. Bahwa orang itu dilahirkan di dunia dalam keluarga tertentu
dan di tanah tertentu dengan agama orang tuanya yang tertentu, jelas bukan pilihan anak itus
sendiri, tetapi harus sudah begitu. Maka hal itu perlu diulindungi demi kehidupan orang tersebut.
Paksaan apalagi penghancuran hal tadi jelas tidak dapat dibenarkan.
3) Manusia adalah makhluk sosial.
Dalam kenyataan hidup, ternyata manusia yang berpribadi itu tidak dapat hidup sendirian. Seorang
anak yang baru lahir tidak dapat hidup begitu saja tanpa bantuan orang lain, seperti orang tuanya.
Seorang anak yang baru lahir bila dibiarkan di tengah hutan tanpa berelasi dengan manusia lain
tidak akan menjadi manusia. Bahkan ada pengalamanseorang anak yang sejak kecil dipelihara oleh
serigala di tengah hutan, akhirnya ia bertingkah sepeerti serigala. Sebagai makhluk sosial inilah
manusia akhirnya membangun persaudaraan atau persekutuan dengan orang lain.
Persaudaraan terkecil adalah keluarga yang berdasarkan darah kelahiran. Persekutuan yang lebih
luas terwujud dalam hidup bermasyarakat, berorganisasi karena tugas dan tujuan yang sama, dan
yang lebih besar membangun suatu negara yang dapat menjamin hidup mereka masing-masing.
4) Manusia sebagai makhluk yang berbudaya.
Berbudaya mempunyai berbagai makna. Kita berada dan hidup dalam budaya tertentu. Misalnya,
kita hidup dan berada dalam budaya Sunda. Kita lahir sebagai anak Sunda, dan dibesarkan dalam
lingkungan nilai Kepasundanan. Buidaya Sunda itu jelas mempengaruhi hidup kita dan kita tidak
dapat lepas begitu saja dengan nilai adat tersebut. Agar kita sungguh dapat hidup dalam budaya itu,
maka kita perlu masuk dalam budaya itu sungguh-sungguh.
Namun kita juga diharapkan ikut mengembangkan budaya tempat kita dilahirkan. Hal ini hanya
mungkin bila kita sadar akan budaya asal kita dan kritis terhadap budaya tersebut sehingga dapat
menilai mana yang kurang baik untuk dapat diubah dan dikembangkan. Dengan demikian kita
aktif mengembangkan dan memperbaiki budaya tempat kita lahir. Proses ini semua akan semakin
menjadikan kita berbudaya tinggi, yaitu dengan meneruskan nilai budaya yang sudah baik dan
mengubah nilai budaya yang sudah tidak baik lagi keran perkembangan zaman ataupun situasi. Hal
ini dimungkinkan karena kita mempunyai akal budi, kesadaran, dan juga hati. Kita menyadarai
bahwa setiap orang dilahirkan dalam budaya tertentu dan dapat berbeda dengan budaya orang lain
yang dilahirkan di tempat lain. Maka dalam pergaulan dan komunikasi, sering dapat muncul
persoalan dan bahkan konflik (Karl Marx) karena perbedaan budaya tersebut. Di sini perlu
keterbukaan dan juga kepekaan terhadap nilai budaya yang berbeda itu dan saling memperkaya.

Menurut Sedyawati (1999:5) budi pekerti sering diartikan sebagai: moralitas yang
mengandung pengertian antara lain adat istiadat, sopan santun, dan perilaku. Sebagai perilaku,
budi pekerti meliputi pula sikap yang dicerminkan oleh perilaku itu. Jadi budi pekerti dapat
bermacam-macam, tergantung situasinya.

Sikap dan perilaku itu mengandung lima jangkauan sebagai berikut:


(1) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan Tuhan;
(2) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan diri sendiri
(3) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan keluarga
(4) sikap dan perilaku dalam hubungan dengan masyarakat dan bangsa;
(5) sikap dan perilaku dalam hubungannya dengan alam semesta.

Jadi Pendidikan Nilai Moral adalah: suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia (orang
dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik (generasi penerus)
menanamkan ketuhanan, nilai-nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk, benar dan salah,
mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban ; budi pekerti luhur agar mencapai kedewasaannya dan
bertanggungjawab.

Ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara lain meliputi : ketuhanan, kejujuran,
budi pekerti, kepedulian dan empati, kerjasama dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri,
loyalitas, sabar, rasa bangga, banyak akal, sikap respek, tanggungjawab, dan toleransi, serta
ketaatan, penuh perhatian, dan tahu berterima kasih.
Kita seringkali menyaksikan di banyak mass media elektronik dan cetak, fenomena tingkah laku
amoral yang semakin hari semakin meningkat, dari tindakan amoral yang paling ringan, seperti:
membohong, menipu, perilaku menyontek di ujian, tidak menaati peraturan, mélanggar norma,
mencaci maki, membuli, dll., sampai pada tingkat yang paling menghawatirkan, mencemaskan dan
meresahkan masyarakat, bahkan mengganggu ketertiban umum, kenyamanan, ketenteraman, dan
kesejahteraan, serta merusak fasilitas umum, seperti: mencuri, menodong/merampok, menjambret,
membegal, memukul, tawuran pelajar/mahasiswa tindak kekerasan, criminal, demonstrasi yang
anargis, mabuk, dan bahkan sampai membunuh, serta mutilasi.
Pendek kata perilaku amoral ini mengancam keselamatan fisik dan jiwa diri mereka dan orang lain.
Melihat dan memperhatikan fenomena dan kondisi ideal sebagai generasi penerus maka
Pendidikan Nilai Moral perlu ditanamkan sejak usia dini dan harus dikelola secara serius.
Dilaksanakan dengan perencanaan yang matang dan program yang berkualitas. Misalnya dengan
jumlah waktu yang memadai, program yang jelas, teknik dan pendekatan proses pembelajaran
yang handal serta fasilitas yang memadai. Jika hal ini bisa dilaksanakan dengan baik, niscaya
generasi penerus akan memiliki moral yang baik, budi pekerti yang luhur, empati, dan
tanggungjawab.
Sehingga yang kita saksikan bukan lagi kekerasan dan tawuran, melainkan saling membantu,
menolong sesama, saling menyayangi, rasa empati, jujur dan tidak korup, serta tanggungjawab.
Jangankan memukul atau membunuh, sedangkan mengejek, mengeluarkan kata-kata kotor dan
menghina teman pun tidak boleh karena dinilai sebagai melanggar nilai-nilai moral. Uraian
tersebut menggambarkan betapa pentingnya pendidikan nilai budi pekerti bagi generasi penerus
bangsa yang tercinta ini. Permasalahannya adalah kapan hal ini bisa kita lakukan ? Sekarang ?
Besok ?
Ketika menjadi pejabat akan, menjadi manusia yang selalu menyalahkan orang lain, dan tidak
pernah merasa dirinya yang bersalah dan harus meminta maaf. Bahkan yang terjadi adalah
mencaci maki orang lain, menyalahkan orang lain walaupun kenyataannya orang lain lebih pintar
dari dirinya. Pejabat pun mereka caci maki, bahkan presiden sekali pun mereka caci maki.
Pedidikan Nilai Moral/Agama, budi pekerti sangat penting bagi generasi muda penerus bangsa,
agar martabat bangsa terangkat, kualitas hidup meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman
dan nyaman serta sejahtera.
Kondisi faktual Pendidikan Nilai Moral/Agama, budi pekerti di Indonesia sampai saat ini masih
terabaikan, belum ditangani secara terencana dan serius. Karena itu perlu diberi kesempatan
berkembang secara proporsional dan terarah, dan mendapatkan layanan pendidikan yang
berimbang antara pengetahuan umum dan pendidikan nilai moral/agama, budi pekerti. Generasi
muda memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ruang lingkup materi Pendidikan Nilai Moral antara lain meliputi : Ketuhanan, budi pekerti
luhur, baik-buruk, benar-salah, kepedulian dan empati, kerjasama, suka menolong, berani,
keteguhan hati, adil, kejujuran dan integritas, humor, mandiri dan percaya diri, loyalitas, sabar,
rasa bangga, banyak akal, sikap respek, toleransi, ketaatan, penuh perhatian, komitmen, tahu
berterima kasih dan tanggungjawab.
Pendidikan Nilai Moral ini sangat penting bagi kelangsungan hidup para generasi penerus bangsa.
Tanpa Pendidikan Nilai Moral kemungkinan besar bangsa dan Negara ini akan terus terpuruk
dengan seribu satu permasalahan multi dimensi yang akan muncul.
Pada hakekatnya, pendidikan budi pekerti memiliki substansi dan makna yang sama dengan
pendidikan moral dan pendidikan akhlak.

Pengertian pendidikan budi pekerti menurut Haidar (2004) adalah: usaha sadar yang
dilakukan dalam rangka menanamkan atau menginternalisasikan nilai-nilai moral ke dalam sikap
dan perilaku peserta didik agar memiliki sikap dan perilaku yang luhur dalam kehidupan sehari-
hari, baik dalam berinteraksi dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan
alam/lingkungan.

Tujuan pendidikan Budi Pekerti adalah: untuk mengembangkan nilai, sikap dan perilaku siswa
yang memancarkan akhlak mulia/budi pekerti luhur (Haidar, 2004). Hal ini mengandung arti
bahwa dalam pendidikan Budi Pekerti, nilai-nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai akhlak
yang mulia, yaitu tertanamnya nilai-nilai akhlak yang mulia ke dalam diri peserta didik yang
kemudian terwujud dalam tingkah lakunya.
Secara umum Budi Pekerti berarti moral dan kelakuan yang baik dalam menjalani kehidupan ini.
Ini adalah tuntunan moral yang paling penting untuk orang Jawa tradisional. Budi Pekerti adalah
induk dari segala etika, tatakrama, tata susila, perilaku baik dalam pergaulan , pekerjaan dan
kehidupan sehari-hari.
Pertama-tama budi pekerti ditanamkan oleh orang tua dan keluarga dirumah, kemudian disekolah
dan tentu saja oleh masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Pada saat ini dimana
sendi-sendi kehidupan banyak yang goyah karena terjadinya erosi moral, budi pekerti masih
relevan dan perlu direvitalisasi.

Budi Pekerti yang mempunyai arti yang sangat jelas dan sederhana, yaitu : Perbuatan
(Pekerti) yang dilandasi atau dilahirkan oleh Pikiran yang jernih dan baik ( Budi). Dengan
definisi yang teramat gamblang dan sederhana dan tidak muluk-muluk, kita semua dalam
menjalani kehidupan ini semestinya dengan mudah dan arif dapat menerima tuntunan budi pekerti.
Budi pekerti untuk melakukan hal-hal yang patut, baik dan benar. Kalau kita berbudi pekerti, maka
jalan kehidupan kita paling tidak tentu selamat, sehingga kita bisa berkiprah menuju ke kesuksesan
hidup, kerukunan antar sesama dan berada dalam koridor perilaku yang baik.
Secara teknis, penerapan pendidikan budi pekerti setidaknya dapat ditempuh melalui empat
alternatif strategi secara terpadu.
1. Strategi pertama ialah dengan mengintegrasikan konten kurikulum pendidikan budi
pekerti yang telah dirumuskan ke dalam mata kuliah yang relevan, terutama mata
pelajaran agama, kewarganegaraan, dan bahasa.
2. Strategi kedua ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan
sehari-hari.
3. Strategi ketiga ialah dengan mengintegrasikan pendidikan budi pekerti ke dalam kegiatan
yang diprogramkan atau direncanakan.
4. Strategi keempat ialah dengan membangun komunikasi dan kerjasama.

Berkaitan dengan implementasi strategi pendidikan budi pekerti dalam kegiatan sehari-hari,
secara teknis dapat dilakukan melalui:
a. Keteladanan
Dalam kegiatan sehari-hari harus dapat menjadi teladan atau model yang baik bagi siswa. Sebagai
misal, bila ingin mengajarkan kesabaran, maka terlebih dahulu harus mampu menjadi sosok yang
sabar dihadapan siswa.
Begitu juga ketika hendak mengajarkan tentang pentingnya kedisiplinan, maka harus mampu
memberikan teladan terlebih dahulu dalam menjalankan tugas pekerjaannya.
Tanpa keteladanan, siswa hanya akan menganggap ajakan moral yang disampaikan sebagai
sesuatu yang omong kosong belaka, yang pada akhirnya nilai-nilai moral yang diajarkan tersebut
hanya akan berhenti sebagai pengetahuan saja tanpa makna.
b. Kegiatan spontan.
Kegiatan spontan yaitu kegiatan yang dilaksanakan secara spontan pada saat itu juga. Kegiatan ini
biasanya dilakukan pada saat mengetahui sikap/tingkah laku peserta didik yang kurang baik,
seperti berkelahi dengan temannya, meminta sesuatu dengan berteriak, mencoret dinding,
mengambil barang milik orang lain, berbicara kasar, dan sebagainya. Dalam setiap peristiwa yang
spontan tersebut, dapat ditanamkan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang baik kepada para
siswa, misalnya saat melihat dua orang siswa yang bertengkar/berkelahi karena memperebutkan
sesuatu, dapat dimasukkan nilai-nilai tentang pentingnya sikap maaf-memaafkan, saling
menghormati, dan sikap saling menyayangi dalam konteks ajaran agama dan juga budaya.
c. Teguran.
Pendidik perlu menegur peserta didik yang melakukan perilaku buruk dan mengingatkannya agar
mengamalkan nilai-nilai yang baik sehingga dapat membantu mengubah tingkah laku mereka.
d. Pengkondisian lingkungan.
Suasana tempat pendidikan dikondisikan sedemikian rupa melalui penyediaan sarana fisik yang
dapat menunjang tercapainya pendidikan budi pekerti.
Contohnya ialah dengan penyediaan tempat sampah, jam dinding, slogan-slogan mengenai budi
pekerti yang mudah dibaca oleh peserta didik, dan aturan/tata tertib yang ditempelkan pada tempat
yang strategis sehingga mudah dibaca oleh setiap peserta didik.
e. Kegiatan rutin.
Kegiatan rutinitas merupakan kegiatan yang dilakukan peserta didik secara terus menerus dan
konsisten setiap saat.
Contoh kegiatan ini adalah berbaris masuk ruang kelas untuk mengajarkan budaya antri, berdoa
sebelum dan sesudah kegiatan, mengucapkan salam bila bertemu dengan orang lain, dan
membersihkan ruang.
Dalam realitasnya antara apa yang diajarkan pendidik dengan apa yang diajarkan oleh orang tua di
rumah, sering kali kontra produktif atau terjadi benturan nilai. Untuk itu agar proses pendidikan
budi pekerti dapat berjalan secara optimal dan efektif, perlu membangun komunikasi dan
kerjasama dalam berbagai kegiatan dan program pendidikan budi pekerti yang telah dirumuskan
atau direncanakan. Tujuannya ialah agar terjadi singkronisasi nilai-nilai pendidikan budi pekerti
dengan apa yang diajarkan orang tua di rumah, sehingga pendidikan budi pekerti dapat berjalan
searah, sebaiknya bila memungkinkan orang tua hendaknya juga dilibatkan dalam proses
identifikasi kebutuhan program pendidikan budi pekerti di tempat pendidikan.
Dengan pelibatan orang tua siswa dalam proses perencanaan program pendidikan budi pekerti,
diharapkan orang tua siswa tidak hanya menyerahkan proses pendidikan budi pekerti siswa
mereka, tetapi juga dapat ikut serta mengambil tanggung jawab dalam proses pendidikan budi
pekerti di lingkungan keluarga.

Dirumah dan keluarga


Sejak masa kecil dalam bimbingan orang tua, mulai ditanamkan pengertian baik dan benar seperti
etika, tradisi lewat dongeng, dolanan/permainan anak-anak yang merupakan cerminan hidup
bekerjasama dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan.
Berperilaku yang baik dalam keluarga amat penting bagi pertumbuhan sikap anak selanjutnya. Dari
kecil sudah terbiasa menghormat orang tua atau orang yang lebih tua, misalnya : jalan sedikit
membungkuk jika berjalan didepan orang tua dan dengan sopan mengucap : nuwun sewu
(permisi), nderek langkung ( perkenankan lewat sini). Selain berperilaku halus dan sopan, juga
berbahasa yang baik untuk menghormati sesama, apakah itu bahasa halus ( kromo) atau ngoko
(bahasa biasa). Bahasa Jawa yang bertingkat bukanlah hal yang rumit, karena unggah ungguh bas
a ( penggunaan bahasa menurut tingkatnya) adalah sopan santun untuk menghormat orang lain.
Esensi Budi Pekerti, secara tradisional mulai ditanamkan sejak masa kanak-kanak, baik dirumah
maupun disekolah, kemudian berlanjut dalam kehidupan dimasyarakat. Prioritas pembangunan
nasional antara lain adalah mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika,
berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. Salah satu upaya untuk merealisasikannya
adalah dengan memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan.
Upaya ini bertujuan untuk membentuk dan membangun manusia Indonesia yang bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, mematuhi aturan hukum, memelihara kerukunan internal dan antar umat
beragama, melaksanakan interaksi antar budaya, mengembangkan modal sosial, menerapkan nilai-
nilai luhur budaya bangsa, dan memiliki kebanggaan sebagai bangsa Indonesia dalam rangka
memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa.

Pilar-pilar kebangsaan, yaitu:


1) Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi, dan pandangan hidup bangsa;
2) UUD 1945, sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
3) Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai kesepakatan final bentuk Negara Republik
Indonesia;
4) Bhineka Tunggal Ika, sebagai wujud filosofi kesatuan di balik keberagaman kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Pendidikan budi pekerti memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan
pendidikan akhlak, tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga
masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara
umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan
bangsanya, oleh karena itu, hakikat dari Pendidikan Budi Pekerti dalam konteks pendidikan di
Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan Pendidikan
Budi Pekerti pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial
yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian
masal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, seperti
Jakarta, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan
peranannya dalam pembentukan kepribadian siswa melalui peningkatan intensitas dan kualitas
pendidikan budi pekerti.

Pendekatan Dalam Pendidikan Nilai


Setidaknya ada lima pendekatan dalam penanaman nilai yakni:
(1) Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach),
(2) Pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach),
(3) Pendekatan analisis nilai (values analysis approach),
(4) Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan
(5) Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach)
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah suatu pendekatan yang memberi
penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam diri siswa. Pendekatan ini sebenarnya
merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur barat yang ditujukan
kepada pendekatan ini, pendekatan ini dipandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan
kehidupan demokrasi (Banks, 1985; Windmiller, 1976).
Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk memilih nilainya sendiri secara bebas.
Menurut Raths et al. (1978) kehidupan manusia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita
tidak dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang, setiap generasi
mempunyai hak untuk menentukan nilainya sendiri. Oleh karena itu yang perlu diajarkan kepada
generasi muda bukannya nilai, melainkan proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai
mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zamannya.
2. Pendekatan Perkembangan Kognitif
Pendekatan ini mendorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam
membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini dilihat
sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari suatu tingkat
yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1989).
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa
dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih
tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et. al., 1976; Banks, 1985).
Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey (Kohlberg 1971,
1977), selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et. al.
1980).
Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut :
(1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong
oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial;
(2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis,
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
(3) Tahap "autonomous".
Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan
pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan
dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain,
dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai pada
suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak mempengaruhi
pertimbangan moral mereka.
Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang
teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias (1989),
Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-
tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang
berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan
dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih
baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi.
3. Pendekatan Analisis Nilai
Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada perkembangan
kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang berhubungan
dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan kognitif, salah satu
perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisis nilai lebih menekankan pada
pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan
kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat perseorangan.
Ada langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan
nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et. al., 1980; Elias, 1989), sebagai berikut:
Langkah Analisis Nilai Tugas Penyelesaian Masalah :
Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait
Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait
Mengumpulkan fakta yang berhubungan
Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan
Menguji kebenaran fakta yang berkaitan
Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan
Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan
Merumuskan keputusan moral sementara
Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara
Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan
Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima
4. Pendekatan Klarifikasi Nilai
Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan pada usaha
membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan
kesadaran mereka tentang nilai-nilai mereka sendiri. Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai
yang sesungguhnya dimiliki oleh seseorang.
Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan
kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti
agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi penganut pendekatan ini isi nilai tidak
terlalu penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini, dalam tiga proses tersebut terdapat
tujuh subproses sebagai berikut:
Pertama : Memilih
1. dengan bebas
2. dari berbagai alternatif
3. setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya
Kedua : Menghargai
4. merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya
5. mau mengakui pilihannya itu di depan umum
Ketiga : Bertindak
6. berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya
7. diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et. Al., 1978)
5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat
Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Menurut Elias (1989), Hersh,
et. al., (1980) dan Superka, et. al. (1976), pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh
Newmann, dengan memberikan perhatian mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah
menengah atas dalam melakukan perubahan-perubahan sosial.
Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan
"moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah memberikan
pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi kebijakan umum
sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Pancasila dan nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia lainnya, yang tumbuh dan berkembangan
dalam masyarakat Indonesia. Metode yang digunakan dalam pendekatan penanaman nilai antara
lain: keteladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lain-lain.
Metode yang digunakan dalam Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif. Misalnya mengangkat
dan mendiskusikan kasus atau masalah Budi Pekerti dalam masyarakat yang mengandung
dilemma, untuk didiskusikan dalam kelas. Penggunaan metoda ini akan dapat menghidupkan
suasana kelas.
Namun berbeda dengan Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif di mana yang memberi
kebebasan penuh kepada siswa untuk berpikir dan sampai pada kesimpulan yang sesuai dengan
tingkat perkembangan moral reasoning masing-masing, dalam pengajaran Pendidikan Budi Pekerti
siswa diarahkan sampai pada kesimpulan akhir yang sama, sesuai dengan nilai-nilai sosial tertentu,
yang bersumber dari Pancasila dan budaya luhur bangsa Indonesia.
Metoda pengajaran yang digunakan Pendekatan Analisis Nilai, khususnya prosedur analisis nilai
dan penyelesaian masalah yang ditawarkan, bermanfaat jua untuk diaplikasikan sebagai salah satu
strategi dalam proses pengajaran Pendidikan Budi Pekerti. Seperti telah dijelaskan, aspek
perkembangan kognitif merupakan aspek yang dipentingkan juga, yakni untuk mendukung dan
menjadi dasar bagi pengembangan sikap dan tingkah laku yang sesuai dengan nilai-nilai sosial
yang ingin ditanamkan. Hal ini sejalan dengan penegasan Haydon (1995) bahwa pengetahuan dan
pemahaman konsep adalah penting dalam pendidikan moral, untuk membentuk sikap moral yang
lebih stabil dalam diri seseorang.
Metoda pengajaran yang digunakan dalam Pendekatan Klarifikasi Nilai, dengan memperhatikan
faktor keadaan serta materi yang relevan, dapat diaplikasikan juga dalam pengajaran Pendidikan
Budi Pekerti. Berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mempunyai aspek
penekanan yang berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula.
Berbagai metode pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan
nilai yang berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti,
dengan proses pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor, sehingga
memberikan kontribusi positif dalam penerapan pendidikan budi pekerti secara holistik.

Anda mungkin juga menyukai