Anda di halaman 1dari 5

TUGAS INDIVIDU TEKNOLOGI INFORMASI

Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah berkembang pesat dalam beberapa
tahun terakhir. Kemajuan TIK telah banyak berperan di dalam meningkatkan efisiensi serta
memperluas akses layanan kesehatan.Pelayanan kesehatan saat ini sudah dimulai dengan
menggunakan komputer berbasis TIK atau disebut sebagai e-health, sedangkan di bidang
pelayanan kefarmasian berbasis TIK disebut e-pharmacy.

Literasi e-health merupakan suatu keterampilan dalam memanfaatkan internet untuk


mendapatkan informasi kesehatan. Baik di negara maju maupun berkembang, masyarakat telah
memanfaatkan internet untuk mencari informasi kesehatan. Pada hasil survei penggunaan media
komunikasi tahun 2013, diketahui bahwa 82,8% masyarakat di Jepang dan 72% masyarakat di
Amerika Serikat (AS) menggunakan internet untuk mencari informasi kesehatan.6 Hasil survei
di Indonesia menyebutkan bahwa sebanyak 51,06% masyarakat menggunakan internet untuk
mencari informasi kesehatan dan sebanyak 14,05% masyarakat berkonsultasi dengan ahli
kesehatan melalui internet. Sebuah studi di Yogyakarta menunjukkan bahwa sebanyak 52% dan
99% masyarakat mengakses internet setiap hari dan mencari informasi kesehatan di internet.
Penelitian di beberapa negara menunjukkan TIK memiliki peran yang penting terhadap
perkembangan pelayanan kefarmasian. Adanya apotek online mempermudah masyarakat dalam
pemesanan obat. Di samping itu, internet dapat digunakan pula sebagai sarana penyediaan
informasi dan pengembangan diri bagi seorang apoteker. Internet dan media sosial menyediakan
berbagai informasi yang dibutuhkan seorang apoteker. Namun demikian, apoteker harus
memiliki pemahaman dan keterampilan dalam memilah dan memilih informasi yang tersedia di
internet. Media social juga dapat digunakan oleh apoteker untuk berkomunikasi dengan pasien
maupun tenaga kesehatan lainnya

Menurut Permenkes No.26 Tahun 2018 dimana E-Farmasi adalah sistem elektronik
yang digunakan dalam penyelenggaraan kefarmasian. Penyelenggara Sistem Elektronik Farmasi
yang selanjutnya disingkat PSEF adalah badan hukum yang menyediakan, mengelola, dan/atau
mengoperasikan E-Farmasi untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.
Era industri 4.0 yang mengutamakan penggunaan sistem informasi, internet, serta
kecerdasan buatan sudah merambah ke berbagai sektor, termasuk dalam sektor farmasi. Salah
satu wujud nyata peranan teknologi terhadap dunia farmasi adalah munculnya e-prescribing atau
resep elektronik. E-prescribing merupakan perangkat lunak yang dirancang secara spesifik untuk
memudahkan pelayanan peresepan obat, mulai dari penulisan resep (prescribing), pembacaan
resep (transcribing), penyiapan hingga penyerahan resep (dispensing), serta administrasi dan
monitoring.

The Pharmacy Benefit Manager of CVS Health¸ sebuah perusahaan kefarmasian di


Amerika Serikat, melaksanakan e-prescribing dengan mempertimbangkan kegunaan serta
manfaat yang dapat diperoleh. Beberapa kegunaan resep elektronik yang menjadi alasan utama
penerapannya adalah sebagai pemberi informasi tercepat terkait biaya obat serta pengurangan
jumlah obat yang harus ditebus, serta penyedia alternatif obat yang lebih murah.

Berdasarkan pengamatan Troyen A. Brennan, MD, Wakil Presiden Eksekutif dan Kepala
Petugas Medis CVS Health, sering ditemukan pasien yang tidak mengetahui bahwa obat mereka
yang tertera dalam resep tidak tercakup atau memiliki harga yang lebih tinggi dari perkiraan
hingga mereka sampai di apotek. Hal ini mengakibatkan pasien tidak mengisi resep, tidak patuh.
Pada akhirnya, biaya perawatan kesehatan malah bertambah tinggi karena pasien tidak
melaksanakan terapi kesehatan dengan obat-obatan sehingga penyakit yang diderita tak kunjung
sembuh.

Dr. Adamson, asisten profesor di Departemen Dermatologi dari University of North


Carolina, Chapel Hill, melakukan sebuah penelitian terhadap lebih dari 2.500 pasien klinik
dermatologi dan menemukan bahwa keberadaan resep elektronik atau e-prescribing dapat
menurunkan tingkat ketidakpatuhan pasien dalam penebusan obat dengan cukup signifikan.
Penggunaan resep elektronik menunjukkan selisih risiko ketidakpatuhan penebusan obat sebesar
17% lebih rendah dibandingkan dengan resep kertas. Tak hanya itu, e-prescribing juga
bermanfaat mengurangi risiko terjadinya kesalahan membaca dan menerjemahkan resep,
meningkatkan akurasi dosis dan indikasi obat, mempercepat tahapan input data, memudahkan
proses administrasi dan pencatatan sejarah penggunaan obat pasien, hingga menghemat kertas.
Keberadaan resep elektronik memang memberikan begitu banyak keuntungan.
Sayangnya, masih ditemukan banyak kendala dalam penerapan teknologi ini. Menurut Jim
Bedford, Direktur dari Healthcare, Pharmaceuticals, Medical Devices & Life Sciences at West
Monroe Partners, perusahaan yang bergerak di bidang manajemen dan teknologi, kendala utama
terwujudnya e-prescribing di rumah sakit dan klinik adalah biaya pelaksanaan yang tidak sedikit,
serta adaptasi tenaga kerja kesehatan yang memerlukan waktu yang lama. Meskipun pekerja
kesehatan sudah diimingi dengan insentif untuk mengadopsi resep elektronik, masih banyak
organisasi yang kesulitan beradaptasi dengan sistem ini.

Permasalahan lain yang mungkin menjadi kesulitan pengembangan resep elektronik


adalah pelanggaran keamanan. Sistem e-prescribing yang berbasis web dapat digunakan semua
orang sehingga rentan terhadap pelanggaran keamanan. Dalam transaksi resep elektronik,
terdapat banyak data kesehatan rahasia yang dapat disalahgunakan apabila prosedur keamanan
tidak dijalankan dengan baik.

Di Indonesia sendiri, penggunaan e-prescribing masih sangat jarang karena teknologi


yang dianggap kurang memadai, serta sikap tenaga kerja medis yang belum siap menerima
sistem baru. Meskipun begitu, sudah ada beberapa rumah sakit nusantara yang menyediakan
pelayanan resep elektronik. Salah satu contohnya adalah RSUP Dr. Sardjito sejak 2014. Namun,
praktik resep elektronik ini hanya diimpelentasikan di beberapa poli (poli edelwise) saja dan
tidak diterapkan untuk penyakit-penyakit kronis karena dikhawatirkan menimbulkan kesalahan.

Sebenarnya, keberadaan e-prescribing, terutama di Indonesia, masih kerap kali menjadi


perbincangan hangat di dunia kefarmasian. Fakta bahwa negara lain mampu menyukseskan
penggunaan resep elektronik meskipun harus menghadapi banyak kesulitan di awal menjadi
acuan bahwa Indonesia mungkin akan menggunakan sistem yang sama di masa yang akan
datang. Namun, semua itu kembali bergantung pada ketersediaan dana serta inisiatif sumber daya
manusia untuk turut berpartisipasi dalam pelaksanaannya.
Menurut penelitian Catharina dkk, 2019 tentang Pengembangan dan Validasi Kuesioner
untuk Mengukur Penggunaan Internet dan Media Sosial dalam Pelayanan Kefarmasian. Dimana
penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan dan menguji validitas dan reliabilitas kuesioner
tentang persepsi penggunaan internet dan media sosial untuk pelayanan kefarmasian. Penelitian
ini bersifat observasional deskriptif. Kuesioner yang diuji dinamakan Penggunaan Internet dan
Media Sosial untuk Pelayanan Kefarmasian (PIMSAN). Uji validitas isi dilakukan dengan
metode professional judgement dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan professional
agreement dan kuantitatif yaitu nilai items content validity index (I-CVI). Uji pemahaman
bahasa dilakukan secara expert judgement dan uji coba kepada user yaitu tiga apoteker. Uji
reliabilitas dilakukan dengan masing-masing 35 responden apoteker di apotek jejaring dan
apotek nonjejaring dengan pendekatan nilai Chronbach Alpha. Hasil uji validitas isi putaran
pertama menunjukkan belum ada kesepakatan antarpenguji (professional agreement) dengan
nilai I-CVI sebesar 0,74. Professional agreement diperoleh pada putaran kedua dengan nilai I-
CVI 0,98, sehingga kuesioner PIMSAN dinyatakan valid dengan 45 butir pertanyaan. Uji
pemahaman bahasa oleh expert dinyatakan lolos uji dalam satu putaran saja. Uji pemahaman
bahasa kepada user (apoteker) dinyatakan lolos uji setelah dua putaran. Pada uji reliabilitas, nilai
Chronbach Alpha pada masing-masing apotek jejaring dan nonjejaring adalah 0,852.
Berdasarkan hasil uji coba, kuesioner PIMSAN dinyatakan valid dan reliabel. Kuesioner
PIMSAN dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengukur persepsi apoteker tentang
penggunaan internet dan media sosial untuk pelayanan kefarmasian di apotek.
DAFTAR PUSTAKA

Sucahyo YG, Basaruddin C. Sistem kesehatan nasional berbasis IT (e-Health) di Indonesia


[diunduh 11 April 2019]. Tersedia dari: https://scele.ui.ac.id/berkas
_kolaborasi/konten/mpktb_2015gasal/07 5.pdf

Arifin, Sjamsul. dan Dirgahayu, Teguh. 2017. Evaluasi Implementasi Modul E-Prescribing


Rumah Sakit dengan Metode Pieces. Dikutip
dari https://www.researchgate.net/publication/322968058_Evaluasi_Implementasi_Modul_EPre
scribing_Rumah_Sakit_dengan_Metode_Pieces
Modern Medicine Network. 2015. E-prescribing update for health execs: Where are we
now?  Dikutip dari http://www.managedhealthcareexecutive.com/mhe-articles/e-prescribing-
update-health-execs-where-are-we-now/page/0/1
Wathoni, Nasrul., et al. 2016. Penelitian Buktikan Resep Elektronik Mampu Tingkatkan
Kepatuhan Pasien. Dikutip dari http://farmasetika.com/2016/11/01/penelitian-buktikan-resep-
elektronik-manurunkan-tingkat-kesalahan-peresepan/

Anda mungkin juga menyukai