Anda di halaman 1dari 24

FALDI PRAMAYUDHA

712018001
KORTIKOSTEROID

KLASIFIKASI
Sediaan kortikosteroid sistemik dapat dibedakan menjadi tiga golongan
berdasarkan masa kerjanya, potensi glukokortikoid, dosis ekuivalen dan potensi
mineralokortikoid.
Tabel perbandingan potensi relatif dan dosis ekuivalen beberapa sediaan
kortikosteroid

Potensi Lam Dosis


Kortikosteroid Mineralkortikoi Glukokortikoi a ekuivale
d d kerja n (mg)*
Glukokortikoid
Kerja singkat
Kortisol 1 1 S 20
(hidrokortison)
Kortison 0,8 0,8 S 25
Kerja sedang
6-α-metilprednisolon 0,5 5 I 4
Prednisone 0,8 4 I 5
Prednisolon 0,8 4 I 5
Triamsinolon 0 5 I 4
Kerja lama
Parametason 0 10 L 2
Betametason 0 25 L 0,75
Deksametason 0 25 L 0,75
Mineralokortikoid
Aldosteron 300 0.3 S -

1
Fluorokortison 150 15.0 I 2.0
Desoksikortikostero 20 0.0 - -
n asetat

Keterangan:
* hanya berlaku untuk pemberian oral atau IV.
S = kerja singkat (t1/2 biologik 8-12 jam)
I = intermediate, kerja sedang (t1/2 biologik 12-36 jam)
L = kerja lama (t1/2 biologik 36-72 jam)
Pada tabel diatas terlihat bahwa triamsinolon, parametason,
betametason, dan deksametason tidak mempunyai efek mineralokortikoid. Hampir
semua golongan kortikosteroid mempunyai efek glukokortikoid. Pada tabel ini
obat disusun menurut kekuatan (potensi) dari yang paling lemah sampai yang
paling kuat. Parametason, betametason, dan deksametason mempunyai potensi
paling kuat dengan waktu paruh 36-72 jam. Sedangkan kortison dan hidrokortison
mempunyai waktu paruh paling singkat yaitu kurang dari 12 jam. Harus diingat
semakin kuat potensinya semakin besar efek samping yang terjadi.5
Efektifitas kortiksteroid berhubungan dengan 4 hal yaitu vasokonstriksi,
antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi. Steroid topikal menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisial dermis, yang akan mengurangi
eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksi ini biasanya
berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini
digunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.
Kombinasi ini digunakan untuk membagi kortikosteroid topikal mejadi 7
golongan besar, diantaranya Golongan I yang paling kuat daya anti-inflamasi dan
antimitotiknya (super poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi
lemah).2

2
Berikut tabel penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi
klinis :
Klasifikasi Nama Dagang Nama Generik
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment 0,05% betamethason dipropionate
Diprolene AF cream
Psorcon ointment 0,05% diflorasone diacetate
Temovate ointment 0,05% clobetasol propionate
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment 0,05% halobetasol propionate
Ultravate cream

Golongan II: (potensi Cyclocort ointment 0,1% amcinonide


tinggi) Diprosone ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Elocon ointment 0,01% mometasone fuorate
Florone ointment 0,05% diflorasone diacetate
Halog ointment 0,01% halcinonide
Halog cream
Halog solution
Lidex ointment 0,05% fluocinonide
Lidex cream
Lidex gel
Lidex solution
Maxiflor ointment 0,05% diflorasone diacetate
Maxivate ointment 0,05% betamethasone dipropionate
Maxivate cream
Topicort ointment 0,25% desoximetasone
Topicort cream
Topicort gel 0,05% desoximetasone

3
Golongan III: (potensi Aristocort A ointment 0,1% triamcinolone acetonide
tinggi) Cultivate ointment 0,005% fluticasone propionate
Cyclocort cream 0,1 amcinonide
Cyclocort lotion
Diprosone cream 0,05% betamethasone dipropionate
Flurone cream 0,05% diflorosone diacetate
Lidex E cream 0,05% fluocinonide
Maxiflor cream 0,05% diflorosone diacetate
Maxivate lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Topicort LP cream 0,05% desoximetasone
Valisone ointment 0,01% betamethasone valerate

Golongan IV: (potensi Aristocort ointment 0,1% triamcinolone acetonide


medium) Cordran ointment 0,05% flurandrenolide
Elocon cream 0,1% mometasone furoate
Elocon lotion
Kenalog ointment 0,1% triamcinolone acetonide
Kenalog cream
Synalar ointment 0,025% fluocinolone acetonide
Westcort ointment 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan V: (potensi Cordran cream 0,05% flurandrenolide


medium) Cutivate cream 0,05% fluticasone propionate
Dermatop cream 0,1% prednicarbate
Diprosone lotion 0,05% betamethasone dipropionate
Kenalog lotion 0,1% triamcinolone acetonide
Locoid ointment 0,1% hydrocortisone butyrate
Locoid cream
Synalar cream 0,025% fluocinolone acetonide
Tridesilon ointment 0,05% desonide

4
Valisone cream 0,1% betamethasone valerate
Westcort cream 0,2% hydrocortisone valerate

Golongan VI: (potensi Aclovate ointment 0,05% aclometasone


medium) Aclovate cream
Aristocort cream 0,1% triamcinolone acetonide
Desowen cream 0,05% desonide
Kenalog cream 0,025% triamcinolone acetonide
Kenalog lotion
Locoid solution 0,1% hydrocortisone butyrate
Synalar cream 0,01% fluocinolone acetonide
Synalar solution
Tridesilon cream 0,05% desonide
Valisone lotion 0,1% betamethasone valerate

Golongan VII: (potensi Obat topical dengan


lemah) hidrokortison,
dekametason,
glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

5
ANTIBIOTIK PADA PIODERMA

SISTEMIK1,2
Sistemik Berbagai obat dapat digunakan sebagai pengobatan pioderma.
Berikut ini disebutkan contoh-contohnya.
1. Penisilin G prokain dan semisintetiknya a. Penisilin G prokain Dosis 1,2
juta per hari, i.m. Obat ini tidak dipakai lagi karena tidak praktis, diberikan i.m.
dengan dosis tinggi, dan makin sering terjadi syok anafilaktaktik. b. Ampisilin
Dosis 4 x 500 mg, diberikan sejam sebelum makan. c. Amoksisilin Dosis sama
dengan ampisilin, keuntungan lebih praktis karena dapat diberikan setelah makan.
Juga cepat diabsorbsi dibandingkan dengan ampisilin sehingga konsentrasi dalam
plasma lebih tinggi. d. Golongan obat penisilin resisten-penisilinase Yang
termasuk golongan ini, contohnya: oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin,
flukloksasilin. Dosis kloksasilin 3 x 250 mg per hari sebelum makan. Golongan
obat ini mempunyai kelebihan karena juga berkhasiat bagi Staphylococcus aureus
yang telah membentuk penisilinase.
2. Linkomisin dan klindamisin Dosis linkomisin 3 x 500 mg sehari. Klin-
damisin diabsorbsi lebih baik karena itu dosisnya lebih kecil, yakni 4 x 150 mg
sehari per oral. Pada infeksi berat dosisnya 4 x 300-450 mg sehari. Obat ini efektif
untuk pioderma di samping golongan obat penisilin resisten-penisilinase. Efek
samping yang disebut di kepustakaan berupa kolitis pseudomembranosa, belum
pernah penulis temukan. Linkomisin tidak dianjurkan lagi dan diganti dengan
klindamisin karena potensi antibakterialnya lebih besar, efek samping lebih
sedikit, pada pemberian per oral tidak terlalu dihambat oleh adanya makanan
dalam lambung,
3. Eritromisin Dosisnya 4 x 500 mg sehari per oral. Efektivitasnya kurang
dibandingkan dengan linkomisin/klindamisin dan obat golongan penisilin
resisten-penisilinase. Obat ini cepat menyebabkan resistensi. Sering memberi rasa
tak enak di lambung. 4. Sefalosporin Pada pioderma yang berat atau yang tidak
memberi respons dengan obatobat tersebut di atas, dapat digunakan sefalosporin.
Ada empat generasi yang berkhasiat untuk kuman positif-Gram ialah generasi I,

6
juga generasi IV. Contohnya sefadroksil dari generasi I dengan dosis untuk orang
dewasa 2 x 500 mg atau 2 x 1000 mg sehari.

TOPIKAL1,2
Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengobatan
pioderma. Obat topikal antimikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara
sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi dan hipersensitivitas, contohnya ialah
basitrasin, neomisin dan mupirosin. Neomisin juga berkhasiat untuk kuman
negatif-Gram. Neomisin, yang di negeri barat dikatakan sering menyebabkan
sensitisasi, menurut pengalaman penulis jarang terjadi. Teramisin dan
kloramfenikol tidak begitu efektif, banyak digunakan karena harganya murah.
Obat-obat tersebut berbentuk salap atau krim. Sebagai obat topikal juga kompres
terbuka, contohnya: larutan permanganas kalikus 1/5000, larutan rivanol 1%o dan
yodium povidon 7,5% yang dilarutkan 10 kali. Yang terakhir ini lebih efektif,
hanya pada sebagian kecil mengalami sensitisasi karena yodium. Rivanol
mempunyai kekurangan karena mengotori kain.

7
8
9
TERAPI MIKOSIS1,2,3

Obat-obat antijamur berdasarkan target kerja dapat dibagi menjadi 3


kelompok besar, yaitu antijamur yang bekerja pada membran sel jamur, asam
nukleat jamur dan dinding sel jamur serta ada satu antijamur yang tidak termasuk
dalam ketiga kelompok besar di atas yaitu griseofulvin yang bekerja pada
mikrotubulus jamur. Antijamur yang bekerja pada membran sel jamur Kelompok
obat-obat antijamur ini sering digunakan secara luas dalam praktek sehari-hari.
Target kerja antijamur ini adalah membran sterol jamur. Kelompok antijamur ini
antara lain polyenes, derivat azol, dan alilamin.
1. Polyenes. Obat antijamur golongan polyene antara lain amfoterisin B dan
nistatin. Obat ini berinteraksi dengan sterol pada membran sel (ergosterol) untuk
membentuk saluran sepanjang membran, sehingga menyebabkan kebocoran sel
dan berujung pada kematian sel jamur.
2. Azol. Generasi pertama antijamur ini adalah imidazol (ketokonazol,
mikonazol, klotrimazol). Generasi berikutnya berupa triazol (flukonazol,
itrakonazol), serta derivat triazol yang paling baru (varikonazol, ravukonazol,
posakonazol, dan albakonazol). Mekanisme kerja derivat azol berdasarkan pada
inhibisi jalur biosintesis ergosterol, yang merupakan komponen utama membran
sel jamur.5 Obat ini bekerja dengan menghambat 14-α-demethylase, sebuah
enzim sitokrom P450 mikrosomal pada membaran sel jamur. Enzim 14-α-
demethylase diperlukan untuk mengubah lanosterol menjadi ergosterol.
Akibatnya, terjadi gangguan permeabilitas membran dan aktivitas enzim yang
terikat pada membran dan berujung pada terhentinya pertumbuhan sel jamur.7,8
3. Alilamin. Salah satu obat golongan alilamin yang paling sering digunakan
adalah terbinafin. Terbinafin bekerja dengan cara menghambat enzim skualen
epoksidase pada membran sel jamur sehingga menghambat biosintesis ergosterol.
Skualen epoksidase merupakan enzim yang mengkatalisis langkah enzimatik
pertama dalam sintesis ergosterol sehingga skualen berubah menjadi skualen
epoksida. Akibatnya terbinafin menyebabkan akumulasi skualen intraselular yang
abnormal dan defisiensi ergosterol. Secara in vitro, akumulasi skualen berperan

10
pada aktivitas fungisidal obat, sedangkan defisiensi ergosterol dikaitkan dengan
aktivitas fungistatik.
4. Antijamur yang bekerja pada asam nukleat jamur Flusitosin (5-
fluorocytosine) merupakan pirimidin yang telah mengalami fluorinisasi. Flusitosin
masuk ke dalam sel jamur dengan bantuan enzim cytosine permease, yang
selanjutnya mengalami perubahan intrasitoplasmik menjadi 5-fluourasil . Tahap
selanjutnya 5-fluourasil diubah menjadi 2 bentuk aktif yaitu 5-fluorouridine
triphosphate yang menghambat sintesis RNA, dan 5-fluorodeoxyuridine
monophosphate yang menghambat thymidylate synthetase dan akhirnya
menghambat pembentukan deoxythymidine triphosphate yang diperlukan untuk
sintesis DNA.6
5. Antijamur yang bekerja pada dinding sel jamur Dinding sel jamur
mengandung mannoprotein, chitin serta alfa, dan beta-glucans yang berperan
penting sebagai proteksi, menjaga morfologi sel dan rigiditas sel, metabolisme,
pertukaran ion dan filtrasi, ekspresi antigenik, interaksi primer dengan pejamu dan
pertahanan terhadap fungsi sistem imunitas selular pejamu. Komposisi ini tidak
selalu ditemukan pada organisme yang lain, namun memberikan beberapa
keuntungan selektif dan toksik dibandingkan mekanisme kerja obatobat antijamur
lain. Contoh obat golongan ini adalah echinocandins yang bekerja dengan
menghambat sintesis β-glucan dinding sel jamur.6 Produk echinocandins yang
telah disetujui penggunaannya antara lain : caspofungin, micafungin dan
anidulafungin. 5 Griseofulvin Griseofulvin secara in vitro bersifat fungistatik,
dengan spektrum aktivitas antimikotik yang sempit, dan hanya efektif untuk
infeksi dermatofita namun tidak efektif untuk kandidiasis, infeksi jamur profunda
maupun pitiriasis versikolor. Griseofulvin bekerja dengan cara merusak
pembentukan spindel mitosis mikrotubulus jamur sehingga mitosis berhenti pada
stadium metafase.

11
TABEL OBAT ANTIFUNGAL TOPICAL2

12
TABEL ANTIFUNGAL SISTEMIK2

13
14
15
KOMPRES PADA DERMATOVENEROLOGI1

JENIS KOMPRES

Pada kompres, bahan aktif yang dipakai biasanya bersifat astringen dan
antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Ada 2
macam cara kompres, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup.

a. Kompres terbuka
Dasarnya ialah terjadi penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi
eksudat atau pus.

Indikasi

• Dermatosis yang basah atau akut, misalnya erisipelas dan dermatitis akut
• Ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta
Kontraindikasi: Lesi kering

Efek pada kulit

• Kulit yang semula eksudatif akan kering


• Permukaan kulit menjadi dingin
• Vasokonstriksi
• Eritema berkurang
Cara penggunaan

1) Menggunakan kain kassa yang absorben, non-iritatif, dan tidak terlalu


tebal. Kassa sebanyak 3 lapis dicelupkan ke dalam larutan obat, peras
sedikit dan ditempelkan/dibalutkan pada lesi.
2) Kompres dibuka setiap 5-10 menit dan diulang selama 1-2jam, 3-
4x/hari.

16
3) Bila dermatosis luas, cara kompres boleh digunakan dengan tidak
melebihi 30% (1/3) luas permukaan badan setiap kali dikompres agar
tidak terjadi pendinginan.

b. Kompres Tertutup
Diharapkan terjadi vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Diindikasikan
untuk kelainan yang dalam, misalnya limfogranuloma venerium. Caranya
serupa dengan kompres terbuka namun dengan ditutup dengan pembalut tebal
dan impermeabel, misalnya selofan atau plastik selama 1 jam.

JENIS LARUTAN KOMPRES

a. Alumunium asetat atau Burow solution

Alumunium asetat atau Burow solution berisi sekitar 5% alumunium asetat yang
didilusikan atau diencerkan 1:10 sampai 1:40. Burow solution ini mudah
digunakan dan tidak menodai daerah sekitarnya. Indikasi Burow solution adalah
inflamasi kulit minor. Kerja obat Burow solution adalah sebagai astringen dan
efek melembutkan terjadi akibat pendinginan dan vasokonstriksi. Efek
terapeutiknya mengurangi nyeri inflamasi pada kulit. Kontraindikasi Burow
solution adalah pada hipersensitivitas dan hanya untuk penggunaan luar, hindari
penggunaan di sekitar mata. Dosis Burow solution untuk dewasa dan anak-anak,
diberikan larutan 1:20 atau 1:40 sebagai balutan basah, setiap 15-30 menit
minimal selama 4-8 jam. Sediaan Burow solution Paket : berisi larutan 1:40 dan
Tablet berisi larutan 1:20 atau 1:40.

b. Kalium Permanganat (KMnO4)

Kalium permanganat merupakan oksidator kuat yang digunakan sebagai agen


antiseptik. Kalium permanganat berupa kristal ungu dan mudah larut dalam air.
Efek kalium permanganat ialah antiseptic dan astringen. Pada dermatitis dipakai
pengenceran 1:10.000, sedangkan pada infeksi digunakan pengenceran 1:5000.
Pada dermatitis, kulit telah peka, karena itu dipakai yang lebih encer. Jika
konsentrasinya lebih kuat daripada 1:5000 dapat mengiritasi kulit. Kalium

17
Permanganat (KMnO4) adalah agen untuk mengoksidasi bahan-bahan kimia yang
bertanggung jawab terhadap aktivitas germisidal, efek astringen dan fungisid.
Preparat ini dapat mengotori kulit dan baju, kristal yang tidak larut akan
mengakibatkan luka bakar kimia pada kulit. Perbandingan dilusi 1:4000 sampai
dengan 1:16000. Efek kalium permanganat, membantu penyembuhan luka yang
tidak dalam, ulkus tropikum, tinea pedis, pemfigus dan impetigo. 2,7 Cara
pemberian pada ulkus tropikum kompres larutan 1 : 5.000, diganti 2-3 kali sehari.
Ulkus tropikum memerlukan waktu 2-4 minggu diikuti dengan terapi prokain
benzylpenisilin. Pada tinea pedis dengan lesi yang berat dan basah, rendam kaki
dengan larutan PK 1:10.000 setiap 8 jam. Pada pemfigus kompres dengan larutan
PK 1:10.000 setiap 4 jam. Impetigo dengan krusta superfisial, lap luka dan
bersihkan dengan lembut dengan larutan PK 1:10.000. 2

c. Normal saline 0,9%

Normal saline 0,9% dapat dibuat dengan menambahkan kurang lebih 1 sendok
garam dalam 480ml air. Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9% merupakan
larutan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak mahal. NaCl 0,9%
merupakan larutan isotonis yang aman untuk tubuh, tidak iritan, melindungi
granulasi jaringan dari kondisi kering, menjaga kelembaban disekitar luka dan
membantu luka dalam proses penyembuhan.2,3

d. Perak nitrat Perak nitrat berbentuk kristal putih mudah larut dalam air. Perak
nitrat 0,1- 0,5% adalah germisid dan astringen yang sangat baik. Larutan perak
nitrat dapat digunakan untuk ulkus disertai pus yang disebabkan oleh kuman gram
negatif. Perak nitrat dapat memberi warna coklat kehitaman pada kulit tetapi akan
menghilang perlahan-lahan. Perak nitrat dapat mengakibatkan nyeri apabila
diberikan dalam konsentrasi lebih dari 0,5%. Solusio perak nitrat 0,25% dapat
dibuat dengan cara menambahkan 1 sendok dari 50% aqua ke dalam 1000 ml air
dingin. Perak nitrat 1:1000 dapat digunakan untuk dermatosis eksudatif yang tidak
memberikan efek dengan larutan lain. Aksi dari germisidalnya karena terjadi
presipitasi dari protein bakteri, dengan cara melepaskan ion-ion perak.1,2

18
e. Povidon iodine

Povidon-iodine bersifat bakteriostatik dengan kadar 640 μg/ml dan bersifat


bakterisid pada kadar 960 μg/ml. Povidon-iodine memiliki toksisitas rendah pada
jaringan, tetapi detergen dalam larutan pembersihnya akan lebih meningkat
toksisitasnya. Dalam 10% povidon iodine mengandung 1% iodiyum yang mampu
membunuh bakteri dalam 1 menit dan membunuh spora dam waktu 15 menit.
Betadine-antiseptik solution dapat digunakan beberapa kali dalam sehari, dan
digunakan dengan konsentrasi penuh baik untuk kompres.3 f. Asam salisilat Asam
salisilat merupakan antipruritus, keratolitik, dan antiseptik. Asam salisilat yang
digunakan untuk kompres adalah 1%. Mekanisme kerja zat ini adalah pemecahan
struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan antar sel korneosit.
Asam salisilat telah digunakan secara luas dalam terapi topikal sebagai bahan
keratolitik. Kompres dengan asam salisilat dapat mengurangi jumlah mikroba
dalam luka infeksi dan dapat digunakan sebagai terapi utama infeksi yang
melibatkan Pseudomonas auregenosa. Efek bakteriostatik lemah asam salisilat
tampak terutama terhadap golongan Streptococcus spp., Staphylococcus spp.,
Escherechia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. Solusio asam salisilat 1:1000
dapat digunakan sebagai kompres pada luka. Solusio asam salisilat 1:1000 lebih
nyaman digunakan dari solusio permanganas kalikus maupun rivanol, karena
tidak mengotori pakaian atau mewarnai kulit.

g. Etakridin laktat (rivanol) Etakridin laktat adalah senyawa organik berkristal


kuning oranye bekerja sebagai astringent dan antiseptik, 0,5-1 % dalam larutan
kompres. Penggunaannya sebagai antiseptik dalam larutan 0,1% lebih dikenal
dengan merk dagang rivanol. Tindakan bakteriostatik rivanol dilakukan dengan
mengganggu proses vital pada asam nukleat sel mikroba. Meskipun fungsi
antiseptiknya tidak sekuat jenis lain, rivanol memiliki keunggulan tidak
mengiritasi jaringan, sehingga banyak digunakan untuk mengompres luka atau
ulkus. Untuk luka kotor yang berpotensi infeksi lebih besar, penerapan jenis
antiseptik lain yang lebih kuat disarankan setelah luka dibersihkan.

19
ANTIHISTAMIN1,2

Antihistamin banyak digunakan pada berbagai penyakit kulit eksematosa


demikian juga pada penyakit alergi karena keluhan pruritusnya. Antihistamin
bekerja secara kompetitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor jaringan,
sehingga mencegah kerja histamin pada organ sasaran. Antihistamin digolongkan
menjadi 3 kategori yaitu antihistamin penghambat reseptor H1 (AH1 ),
antihistamin penghambat reseptor H2 (AH2) dan antihistamin penghambat
reseptor H3 (AH3). Antihistamin H1 merupakan golongan AH yang terbanyak
digunakan, menyusul AH2, sedangkan AH3 tidak digunakan khususnya dalam
bidang dermatologi.

ANTIHISTAMIN H1
Antihistamin H 1 (AH 1) adalah inverse agonists yang berikatan secara
reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor. Kerja dari AH1 ini akan
menurunkan produksi dari sitokin pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi,
kemotaksis eosinofil dan sel lainnya. Antihistamin H1 juga berperan dalam
pelepasan mediator dari sel mas dan sel basofil. Antihistamin H1 ini dibagi
menjadi 2 golongan, yaitu AH1 generasi pertama dan generasi kedua. AH1
generasi pertama yang mempunyai efek sedasi karena mempunyai kemampuan
untuk menembus sawar darah otak. Berdasarkan struktur kimianya AH1 generasi
pertama dibagi 6 group, yaitu: etilendiamin, etanolamin, alkilamin, fenotiazin,
piperazin dan piperidin. Sedangkan AH1 generasi kedua tidak dapat menembus
sawar darah otak, sehingga mempunyai efek sedasi minimal atau tidak ada.

FARMAKOKINETIK
Pada AH 1 generasi pertama efek sedasi terjadi dalam waktu 30 menit
sampai 1 jam setelah pemakaian obat, dan mencapai puncak pada 1 - 2 jam, lama
kerja bisa berlangsung 4 - 6 jam, walaupun ada beberapa obat yang dapat bertahan
selama 24 jam atau lebih. Dosis pemberian AH1 generasi pertama biasanya
diberikan interval waktu antara 4 - 8 jam sehari. Pada AH1 generasi kedua, dosis

20
diberikan 1 - 2 kali sehari karena lama kerjanya lebih panjang dibandingkan
dengan AH1 generasi pertama, sehingga dikenal dengan AH long acting. Obat ini
diabsorbsi lebih cepat dan mencapai puncak dalam waktu 1 - 2 jam, lama kerja
bervariasi, misalnya untuk setirizin mencapai puncak dalam 1 jam dengan lama
kerja sampai 8 jam. Sedangkan contoh lain, yaitu feksofenadin yang merupakan
metabolit aktif dari terfenadin, mencapai puncak dalam 2 - 3 jam dan bertahan
selama 14 jam, sedangkan loratadin dapat bertahan hingga 8 - 24 jam.

EFEK SAMPING
Sedasi merupakan efek samping yang sering terjadi pada AH1 generasi
pertama. Efek sedasi ini lebih menonjol pada golongan etanolamin dan fenotiazin,
sedangkan pada golongan alkilamin efek sedasinya berkurang. Efek samping
terhadap susunan saraf pusat (SSP) dapat berupa pusing, tinnitus, gangguan
koordinasi, kurang konsentrasi, pandangan kabur dan diplopia. Efek samping pada
SSP, berupa gelisah, mudah
marah, insomnia dan tremor dapat terjadi pada pemberian golongan
alkilamin. Sedangkan keluhan gastrointestinal dapat berupa anoreksia, nausea,
vomitus, nyeri epigastrik, diare dan konstipasi, sering ditemukan pada pemberian
golongan etilendiamin. Efek samping lain berupa efek antikolinergik seperti
kekeringan mukosa, retensi urin, hipotensi postural, pusing, disfungsi ereksi dan
konstipasi, ditemukan pada pemberian golongan etanolamin, fenotiazin dan
piperazin. Kelainan kulit yang timbul akibat pemberian AH1 sangat jarang
ditemukan, kelainan dapat berupa dermatitis eksematosa, dermatitis kontak
alergik (OKA), urtikaria, petekie, fixed drug eruptions dan fotosensitivitas. Pada
penggunaan AH1 generasi kedua tidak menimbulkan sedasi, misalnya pada
pemberian feksofenadin, loratadin dan desloratadin. Efek sedasi minimal
ditemukan pada pemberian obat setirizin dan akrivastin.

21
Antihistamin H2
Antihistamin H2 serupa dengan AH1, yaitu inverse agonist yang berikatan
secara reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor H2 yang berada di
seluruh tubuh, meliputi sel epitel dan sel endotel. Antihistamin H2 secara cepat
diabsorbsi melalui traktus gastrointestinal dan mencapai puncak dalam waktu 1-2
jam setelah pemakaian obat. Lama kerja simetidin dalam plasma sekitar 2 jam,

22
sedangkan ranitidin bisa mencapai lebih dari 10 jam. Efek samping yang
ditimbulkan bisa berupa gangguan pada SSP, seperti nyeri kepala, pusing, gelisah,
sedangkan keluhan gastrointestinal dapat berupa nausea, vomitus, diare,
konstipasi, dan nyeri abdomen. Simetidin merupakan AH2 pertama dan yang
paling banyak digunakan, dengan cara kerja menghambat produksi asam
lambung, antiandrogen dan tidak menembus sawar darah otak. Penggunaan AH2
dalam bidang dermatologi dapat digunakan secara kombinasi dengan AH 1 bi la
pengobatan dengan satu jenis AH gagal.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, A., dkk. Dermatomikosis. Dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke-7.Jakarta. Balai Pustaka FakultasKedokteran Universitas Indonesia.
2. Gudjonsson JE, Elder JT. Fitzpatrick’s Dermatology in general Medicine. 8th
ed. United States of America: The McGaw-Hill Medical Companies. 2012.
3. Lee-Bellantoni MS, Konnikov N. Oral Antifungal Agents. Dalam: Wolff K,
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, penyunting.
Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. Edisi ke-7. New York:
MacGraw-Hill; 2008. h. 2137-42.

24

Anda mungkin juga menyukai