Anda di halaman 1dari 19

Daftar Lengkap Obat Alergi Kulit Dan Gangguan Kulit

Lainnya
Pemberian obat alergi untuk penderita dermatitis bukan jalan keluar utama yang terbaik.
Pemberian obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari
penyebab.

Pengobatan Topikal

 Tujuan pengobatan topikal adalah untuk mengatasi kekeringan kulit dan peradangan.
Mengatasi kekeringan kulit atau memelihara hidrasi kulit dapat dilakukan dengan mandi
memakai sabun lunak tanpa pewangi. Meskipun mandi dikatakan dapat memperburuk
kekeringan kulit, namun berguna untuk mencegah terjadi infeksi sekunder. Jangan
menggunakan sabun yang bersifat alkalis dan sebaliknya pakailah sabun atau pembersih
yang mempunyai pH 7,0. Pemberian pelembab kulit penting untuk menjaga hidrasi antara
lain dengan dasar lanolin, krim air dalam minyak, atau urea 10% dalam krim. Untuk
mengatasi peradangan dapat diberikan krim kortikosteroid. Penggunaan kortikosteroid
topikal golongan kuat sebaiknya berhati-hati dan tidak digunakan di daerah muka.
Apabila dermatitis telah teratasi maka secepatnya pengobatan dialihkan pada penggunaan
kortikosteroid golongan lemah atau krim pelembab. Untuk daerah muka sebaiknya
digunakan krim hidrokortison 1%.
 Dengan pengobatan topikal yang baik dapat dicegah penggunaan pengobatan sistemik.
Karena perjalanan penyakit DA adalah kronik dan residif, maka untuk pemakaian
kortikosteroid topikal maupun sistemik untuk jangka panjang sebaiknya diamati efek
samping yang mungkin terjadi. Bila dengan kortikosteroid topikal tidak adekuat untuk
menghilangkan rasa gatal dapat ditambahkan krim yang mengandung mental, fenol,
lidokain, atau asam salisilat. Bila dengan pengobatan topikal ini tetap tidak adekuat,
maka dapat dipertimbangkan pemberian pengobatan sistemik.

Steroid Topikal

Kortikosteroid topikal masih memegang peran besar dalam inflamasi kulit. Steroid topikal adalah
bentuk topikal kortikosteroid. Steroid topikal adalah obat topikal yang paling sering diresepkan
untuk pengobatan ruam, eksim dermatitis, dan. Steroid topikal memiliki sifat anti-inflamasi, dan
diklasifikasikan berdasarkan kemampuan vasokonstriksi. Ada banyak produk steroid topikal.
Semua persiapan di kelas masing-masing memiliki sifat anti-inflamasi yang sama, tetapi
dasarnya berbeda dalam dasar dan harga. Namun ada kekhawatiran yang cukup besar, terkait
efek samping. Dua yang terbesar adalah penipisan kulit dan efek sisitemik yaitu supresi HPA-
axis dan sindrom Cushing.

Penggolongan menurut USA system The USA system menggunakan 7 kelas, yang
diklasifikasikan oleh kemampuan mereka untuk menyempitkan kapiler. Kelas I adalah yang
terkuat atau superpotent. Kelas VII adalah yang paling lemah dan paling ringan.

Group I Sangat poten dan kuat potensinya 600 kali lebihkuat dibandingkan hydrocortisone

 Clobetasol propionate 0.05% (Dermovate)


 Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprolene)
 Halobetasol proprionate 0.05% (Ultravate, Halox)
 Diflorasone diacetate 0.05% (Psorcon)

Group II

 Fluocinonide 0.05% (Lidex)


 Halcinonide 0.05% (Halog)
 Amcinonide 0.05% (Cyclocort)
 Desoximetasone 0.25% (Topicort)

Group III

 Triamcinolone acetonide 0.5% (Kenalog, Aristocort cream)


 Mometasone furoate 0.1% (Elocon ointment)
 Fluticasone propionate 0.005% (Cutivate)
 Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprosone)

Group IV

 Fluocinolone acetonide 0.01-0.2% (Synalar, Synemol, Fluonid)


 Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort)
 Hydrocortisone butyrate 0.1% (Locoid)
 Flurandrenolide 0.05% (Cordran)
 Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort A ointment)
 Mometasone furoate 0.1% (Elocon cream, lotion)
Group V

 Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort,kenacort-a vail, cream, lotion)


 Fluticasone propionate 0.05% (Cutivate cream)
 Desonide 0.05% (Tridesilon, DesOwen ointment)
 Fluocinolone acetonide 0.025% (Synalar, Synemol cream)
 Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort cream)

Group VI

 Alclometasone dipropionate 0.05% (Aclovate cream, ointment)


 Triamcinolone acetonide 0.025% (Aristocort A cream, Kenalog lotion)
 Fluocinolone acetonide 0.01% (Capex shampoo, Dermasmooth)
 Desonide 0.05% (DesOwen cream, lotion)

Group VII Kelas terlemah dari steroid topikal. Memiliki permeabilitas lipid yang lemah,
dan tidak dapat menembus membran mukosa baik.

 Hydrocortisone 2.5% (Hytone cream, lotion, ointment)


 Hydrocortisone 1% (Many over-the-counter brands)

Penggolongan Steroid Topical sesuai Potensinya


Nama merek dagang Nama Generik
CLASS 1—Potensi sangat kuat
Clobex Lotion/Spray/Shampoo, 0.05% Clobetasol propionate
Cormax Cream/Solution, 0.05% Clobetasol propionate
Diprolene Ointment, 0.05% Betamethasone dipropionate
Olux E Foam, 0.05% Clobetasol propionate
Olux Foam, 0.05% Clobetasol propionate
Temovate Cream/Ointment/Solution, 0.05% Clobetasol propionate
Ultravate Cream/Ointment, 0.05% Halobetasol propionate
Vanos Cream, 0.1% Fluocinonide
Psorcon Ointment, 0.05% Diflorasone diacetate
Psorcon E Ointment, 0.05% Diflorasone diacetate
CLASS 2—Potensi Kuat
Diprolene Cream AF, 0.05% Betamethasone dipropionate
Elocon Ointment, 0.1% Mometasone furoate
Florone Ointment, 0.05% Diflorasone diacetate
Halog Ointment/Cream, 0.1% Halcinonide
Lidex Cream/Gel/Ointment, 0.05% Fluocinonide
Psorcon Cream, 0.05% Diflorasone diacetate
Topicort Cream/Ointment, 0.25% Desoximetasone
Topicort Gel, 0.05% Desoximetasone
CLASS 3—Potensi Sedang Kuat
Cutivate Ointment, 0.005% Fluticasone propionate
Lidex-E Cream, 0.05% Fluocinonide
Luxiq Foam, 0.12% Betamethasone valerate
Topicort LP Cream, 0.05% Desoximetasone
CLASS 4—Potensi Sedang Kuat
Cordran Ointment, 0.05% Flurandrenolide
Elocon Cream, 0.1% Mometasone furoate
Kenalog Cream/Spray, 0.1% Triamcinolone acetonide
Synalar Ointment, 0.03% Fluocinolone acetonide
Westcort Ointment, 0.2% Hydrocortisone valerate
CLASS 5—Potensi Sedang Lemah
Capex Shampoo, 0.01% Fluocinolone acetonide
Cordran Cream/Lotion/Tape, 0.05% Flurandrenolide
Cutivate Cream/Lotion, 0.05% Fluticasone propionate
DermAtop Cream, 0.1% Prednicarbate
DesOwen Lotion, 0.05% Desonide
Locoid Cream/Lotion/Ointment/Solution, 0.1% Hydrocortisone
Pandel Cream, 0.1% Hydrocortisone
Synalar Cream, 0.03%/0.01% Fluocinolone acetonide
Westcort Cream, 0.2% Hydrocortisone valerate
CLASS 6—Potensi Sedang
Aclovate Cream/Ointment, 0.05% Alclometasone dipropionate
Derma-Smoothe/FS Oil, 0.01% Fluocinolone acetonide
Desonate Gel, 0.05% Desonide
Synalar Cream/Solution, 0.01% Fluocinolone acetonide
Verdeso Foam, 0.05% Desonide
CLASS 7—Potensi Lemah
Cetacort Lotion, 0.5%/1% Hydrocortisone
Cortaid Cream/Spray/Ointment Hydrocortisone
Hytone Cream/Lotion, 1%/2.5% Hydrocortisone
Micort-HC Cream, 2%/2.5% Hydrocortisone
Nutracort Lotion, 1%/2.5% Hydrocortisone
Synacort Cream, 1%/2.5% Hydrocortisone

Pengobatan sistemik

Untuk mengurangi rasa gatal dapat diberikan antihistamin (H1) seperti difenhidramin atau
terfenadin, atau antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dengan H2 dapat
menolong pada kasus tertentu. Pada bayi usia muda, pemberian sedasi dengan kloralhidrat dapat
pula menolong. Penggunaan obat lain seperti sodium kromoglikat untuk menstabilkan dinding
sel mast dapat memberikan hasil yang memuaskan pada 50% penderita.

 Penggunaan kortikosteroid oral sangat terbatas, hanya pada kasus sangat berat dan
diberikan dalam waktu singkat, misalnya prednison 0,5-1,0 mg/kgBB/hari dalam waktu 4
hari.

Immunomodulators
Untuk pengobatan pasien dengan penyakit parah pada siapa terapi konvensional tidak efektif.
Dalam kasus yang lebih parah dan terutama pada orang dewasa, pertimbangkan untuk
menggunakan baik MTX dan siklosporin. Yang terakhir ini lebih berkhasiat, namun lesi kambuh
ketika dihentikan.

 Siklosporin (Neoral, Sandimmune)


Menunjukkan untuk membantu dalam berbagai gangguan kulit, terutama psoriasis. Kisah
dengan menghambat T-sel produksi sitokin dan ILS. Seperti tacrolimus dan
pimekrolimus (ascomycin), siklosporin mengikat macrophilin dan kemudian
menghambat kalsineurin, enzim kalsium-tergantung, yang, pada gilirannya, menghambat
fosforilasi faktor nuklir sel T aktif dan menghambat transkripsi sitokin, terutama IL-4.
Hentikan pengobatan jika tidak ada respon dalam waktu 6 minggu.
 Methotrexate (Folex PFS, Rheumatrex)
Antimetabolit yang menghambat reduktase dihydrofolate, sehingga menghambat sintesis
DNA dan reproduksi sel. Respon yang memuaskan dilihat 3-6 minggu setelah pemberian.
Sesuaikan dosis secara bertahap untuk mencapai respon yang memuaskan.
 Tacrolimus (Protopic) salep 0,03% atau 0,1%
Imunomodulator yang menekan kekebalan humoral (T-limfosit) aktivitas. Digunakan
untuk penyakit yang sulit disembuhkan.

Antivirus agen
Untuk pengelolaan infeksi herpes dan untuk mengobati dermatitis atopik pada pasien yang
mengembangkan cacar air.

 Acyclovir (Zovirax)
Menghambat aktivitas dari kedua HSV-1 dan HSV-2. Memiliki afinitas untuk kinase
timidin virus dan, sekali terfosforilasi, menyebabkan DNA-rantai pemutusan kontrak
kerja ketika bertindak oleh polimerase DNA. Pasien mengalami sakit kurang dan resolusi
lebih cepat dari lesi kulit bila digunakan dalam waktu 48 jam dari onset ruam. Dapat
mencegah wabah berulang. Inisiasi awal terapi adalah keharusan. Dosis zoster adalah 4
kali lebih tinggi dari itu untuk herpes simpleks. Durasi terapi bervariasi.

Antibiotik

Antibiotik sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi DA yang luas dengan infeksi
sekunder. Tetapi dalam praktek sehari-hari pemberian antibiotika pada dermatitis atopi terlalu
berlebihan. Antibiotik yang dianjurkan adalah eritromisin, sefalosporin, kloksasilin, dan
terkadang ampisilin. Dari hasil pembiakan dan uji kepekaan terhadap Staphylococcus aureus
60% resisten terhadap penisilin, 20% terhadap eritromisin, 14% terhadap tetrasiklin, dan tidak
ada yang resisten terhadap sefalosporin Imunoterapi dengan ekstrak inhalan umumnya tidak
menolong untuk mengatasi DA pada anak.
Empirik antimikroba terapi harus komprehensif dan harus mencakup semua kemungkinan
patogen dalam konteks pengaturan klinis. Untuk pengobatan infeksi klinis oleh S aureus,
kloksasilin atau cephalexin digunakan. Pada infeksi streptokokus, sefaleksin disukai. Jika tidak
efektif, penisilin dan klindamisin dalam kombinasi yang efektif. Pertimbangkan infeksi
staphylococcal di setiap suar dermatitis atopik.
 Sefaleksin (Keflex)
Pertama-generasi cephalosporin penangkapan pertumbuhan bakteri dengan menghambat
sintesis dinding sel bakteri. Bakterisida aktivitas terhadap organisme yang berkembang
pesat. Kegiatan utama terhadap flora kulit, digunakan untuk infeksi kulit atau profilaksis
pada prosedur minor. Susp tersedia termasuk butiran mauve (125 mg / 5 ml) dan butiran
persik (250 mg / 5 ml).
 Kloksasilin (Cloxapen, Tegopen)
Untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh penisilinase penghasil staphylococcus.
Dapat digunakan untuk memulai terapi ketika infeksi staphylococcal dicurigai.
 Penisilin VK (Beepen-VK, Betapen-VK, Veetids)
Menghambat biosintesis mucopeptide dinding sel. Bakterisida terhadap organisme
sensitif ketika konsentrasi yang memadai dicapai, dan yang paling efektif selama tahap
multiplikasi aktif. Konsentrasi yang tidak memadai dapat menghasilkan hanya efek
bakteriostatik.
 Klindamisin (Cleocin)
Lincosamide untuk perawatan kulit yang serius dan infeksi jaringan lunak
staphylococcal. Juga efektif terhadap streptokokus aerobik dan anaerobik (kecuali
enterococci). Menghambat pertumbuhan bakteri, kemungkinan dengan menghambat
disosiasi peptidil t-RNA dari ribosom, menyebabkan RNA-dependent sintesis protein
untuk menangkap.
Daftar Lengkap Obat Anti Alergi Antihistamin dan Efek
Sampingnya
Pemberian obat alergi untuk penderita alergi bukan jalan keluar utama yang terbaik. Pemberian
obat jangka panjang adalah bentuk kegagalan mengidentifikasi dan menghindari penyebab.

Antihistamin adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor –histamin (penghambatan saingan).
Pada awalnya hanya dikenal satu tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya
jenis reseptor khusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor-H2,maka secara
farmakologi reseptor histamin dapat dibagi dalam dua tipe , yaitu reseptor-H1 da
reseptor-H2. Berdasarkan penemuan ini, antihistamin juga dapat dibagi dalam dua
kelompok, yakni antagonis reseptor-H1 (sH1-blockers atau antihistaminika) dan
antagonis reseptor H2 ( H2-blockers atau zat penghambat-asam)

Berbagai Jenis Antihistamin


H1-receptor antagonists

Dalam penggunaan umum, antihistamin merujuk hanya untuk antagonis H1, juga dikenal sebagai
antihistamin H1. Telah ditemukan bahwa antihistamin H1-agonis adalah benar-benar berlawanan
dengan reseptor histamin H1. Secara klinis, H1 antagonis digunakan untuk mengobati reaksi
alergi. Sedasi adalah efek samping yang umum, dan antagonis H1 tertentu, seperti
diphenhydramine dan Doksilamin, juga digunakan untuk mengobati insomnia. Namun,
antihistamin generasi kedua ini tidak melewati penghalang darah-otak, dan dengan demikian
tidak menyebabkan kantuk.

 Azelastine
 Brompheniramine
 Buclizine
 Bromodiphenhydramine
 Carbinoxamine
 Cetirizine
 Chlorpromazine (antipsychotic)
 Cyclizine
 Chlorpheniramine
 Chlorodiphenhydramine
 Clemastine
 Cyproheptadine
 Desloratadine
 Dexbrompheniramine
 Deschlorpheniramine
 Dexchlorpheniramine
 Dimenhydrinate (most commonly used as an antiemetic)
 Dimetindene
 Diphenhydramine (Benadryl)
 Doxylamine (most commonly used as an OTC sedative)
 Ebastine
 Embramine
 Fexofenadine
 Levocetirizine
 Loratadine
 Meclozine (sering digunakansebagai antiemetik)
 Olopatadine
 Orphenadrine (sejenis diphenhydramine digunakan terutama sebagai relaksan otot rangka
dan anti-Parkinson)
 Phenindamine
 Pheniramine
 Phenyltoloxamine
 Promethazine
 Pyrilamine
 Quetiapine (antipsychotic)
 Rupatadine
 Tripelennamine
 Triprolidine

H2-receptor antagonists

Antagonis H2, seperti antagonis H1, juga agonis dan antagonis terbalik tidak benar. H2 reseptor
histamin, ditemukan terutama di sel parietal dari mukosa lambung, digunakan untuk mengurangi
sekresi asam lambung, mengobati kondisi pencernaan termasuk tukak lambung dan penyakit
gastroesophageal reflux.

 Cimetidine
 Famotidine
 Lafutidine
 Nizatidine
 Ranitidine
 Roxatidine

Experimental: H3- and H4-receptor antagonists

Obat ini baru dalam tahap eksperimental dan belum memiliki penggunaan klinis, meskipun
sejumlah obat ini sedang dalam percobaan manusia. H3-antagonis memiliki stimulan dan efek
nootropic, dan sedang diselidiki untuk pengobatan kondisi seperti ADHD, penyakit Alzheimer,
dan skizofrenia, sedangkan H4-antagonis tampaknya memiliki peran imunomodulator dan
sedang diteliti sebagai obat anti-inflamasi dan analgesik .

H3-receptor antagonists

 A-349,821
 ABT-239
 Ciproxifan
 Clobenpropit
 Conessine
 Thioperamide

H4-receptor antagonists

 Thioperamide
 JNJ 7777120
 VUF-6002

Lainnya

 Atipical antihistamin Obat ini menghambat aktivitas enzimatik dekarboksilase histidin :


 Tritoqualine
 Catechin

Mast cell stabilizers

Mast cell stabilizers untuk menstabilkan sel mast untuk mencegah degranulasi dan pelepasan
mediator. Obat ini tidak biasanya digolongkan sebagai antagonis histamin, tetapi memiliki
indikasi serupa.

 Cromoglicate (cromolyn)
 Nedocromil
 Beta 2 (β2) adrenergic agonists

DERIVAT ETANOLAMIN :

 Difenhidramin : Benadryl Di samping daya antikolinergik dan sedative yang kuat,


antihistamin ini juga bersifat spasmolitik, anti-emetik dan antivertigo (pusing-pusing).
Berguna sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson, juga digunakan sebagai obat
anti-gatal pada urticaria akibat alergi (komb. Caladryl, P.D.) Dosis: oral 4 x sehari 25-
50mg, i.v. 10-50mg.
 Metildifenhidramin = orfenadrin (Disipal, G.B.) Dengan efek antikolinergik dan
sedative ringan, lebih disukai sebagai obat tambahan Parkinson dan terhadap gejala-
gejala ekstrapiramidal pada terapi dengan neuroleptika. Dosis: oral 3 x sehari 50mg.
 Metildifenhidramin (Neo-Benodin®) Lebih kuat sedikit dari zat induknya. Digunakan
pada keadaan-keadaan alergi pula. Dosis: 3 x sehari 20-40mg
 Dimenhidrinat (Dramamine, Searle) Adalah senyawa klorteofilinat dari difenhidramin
yang digunakan khusus pada mabuk perjalanan dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis: oral 4 x sehari 50-100mg, i.m. 50mg
 Klorfenoksamin (Systral, Astra) Adalah derivate klor dan metal, yang antara lain
digunakan sebagai obat tambahan pada Penyakit Parkinson. Dosis: oral 2-3 x sehari 20-
40mg (klorida), dalam krem 1,5%.
 Karbinoksamin : (Polistin, Pharbil) Adalah derivat piridil dan klor yang digunakan
pada hay fever. Dosis: oral 3-4 x sehari 4mg (maleat, bentuk,dll).
 Kiemastin: Tavegyl (Sandos) Memiliki struktur yang mirip klorfenoksamin, tetapi
dengan substituent siklik (pirolidin). Daya antihistaminiknya amat kuat, mulai kerjanya
pesat, dalam beberapa menit dan bertahan lebih dari 10 jam. Antara lain mengurangi
permeabilitas dari kapiler dan efektif guna melawan pruritus alergis (gatal-gatal). Dosis:
oral 2 x sehari 1mg a.c. (fumarat), i.m. 2 x 2mg.

DERIVAT ETILENDIAMIN : Obat-obat dari kelompok ini umumnya memiliki data sedative
yang lebih ringan.
 Antazolin : fenazolin, antistin (Ciba) Daya antihistaminiknya kurang kuat, tetapi tidak
merangsang selaput lender. Maka layak digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi
pada mata dan hidung (selesma) sebagai preparat kombinasi dengan nafazolin (Antistin-
Privine, Ciba). Dosis: oral 2-4 x sehari 50-100mg (sulfat).
 Tripelenamin (Tripel, Corsa-Azaron, Organon) kini hanya digunakan sebagai krem
2% pada gatal-gatal akibat reaksi alergi (terbakar sinar matahari, sengatan serangga, dan
lain-lain).
 Mepirin (Piranisamin) Adalah derivate metoksi dari tripelenamin yang digunakan
dalam kombinasi dengan feniramin dan fenilpropanolamin (Triaminic, Wander) pada hay
fever. Dosis: 2-3 x sehari 25mg.
 Klemizol ( Allercur, Schering) Adalah derivate klor yang kini hanya digunakan dalam
preparat kombinasi anti-selesma (Apracur, Schering) atau dalam salep/suppositoria anti
wasir (Scheriproct, Ultraproct, Schering).

DERIVAT PROPILAMIN : Obat-obat dari kelompok ini memiliki daya antihistamin kuat.

 Feniramin : Avil (Hoechst) Zat ini berdaya antihistamink baik dengan efek meredakan
batuk yang cukup baik, maka digunakan pula dalam obat-obat batuk. Dosis: oral 3 x
sehari 12,5-25mg (maleat) pada mala hari atau 1 x 50mg tablet retard; i.v. 1-2 x sehari
50mg; krem 1,25%.
 Klorfenamin (Klorfeniramin. Dl-, Methyrit, SKF) Adalah derivate klor dengan daya
10 kali lebih kuat, sedangkan derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek-efek
sampingnya antara lain sifat sedatifnya ringan. Juga digunakan dalam obat batuk.
Bentuk-dextronya adalah isomer aktif, maka dua kali lebih kuat daripada bentuk dl
(rasemis)nya: dexklorfeniramin (Polaramin, Schering). Dosis: 3-4 x sehari 3-4mg (dl,
maleat) atau 3-4 x sehari 2mg (bentuk-d).
 Bromfeniramin (komb.Ilvico, Merck) Adalah derivate brom yang sama kuatnya
dengan klorfenamin, padamana isomer-dextro juga aktif dan isomer-levo tidak. Juga
digunakan sebagai obat batuk. Dosis: 3-4 x sehari 3mg (maleat).
 Tripolidin : Pro-Actidil Derivat dengan rantai sisi pirolidin ini berdaya agak kuat, mulai
kerjanya pesat dan bertahan lama, sampai 24 jam (sebagai tablet retard). Dosis: oral 1 x
sehari 10mg (klorida) pada malam hari berhubung efek sedatifnya.
DERIVAT PIPERAZIN : Obat-obat kelompok ini tidak memiliki inti etilamin, melainkan
piperazin. Pada umumnya bersifat long-acting, lebih dari 10 jam.

 Siklizin : Marzine Mulai kerjanya pesat dan bertahan 4-6 jam lamanya. Terutama
digunakan sebagai anti-emetik dan pencegah mabuk jalan. Namun demikian obat-obat ini
sebaiknya jangan diberikan pada wanita hamil pada trimester pertama.
 Meklozin (Meklizin, Postafene/Suprimal®) adalah derivat metilfenii dengan efek lebih
panjang, tetapi mulai kerjanya baru sesudah 1-2 jam. Khusus digunakan sebagai anti-
emetik dan pencegah mabuk jalan. Dosis: oral 3 x sehari 12,5-25mg.
 Buklizin (longifene, Syntex) Adalah derivate siklik dari klorsiklizin dengan long-acting
dan mungkin efek antiserotonin. Disamping anti-emetik,juga digunakan sebagai obat anti
pruritus dan untuk menstimulasi nafsu makan. Dosis: oral 1-2 x sehari 25-50mg.
 Homoklorsiklizin (homoclomin, eisai) Berdaya antiserotonin dan dianjurkan pada
pruritus yang bersifat alergi. Dosis: oral 1-3 x sehari 10mg.
 Sinarizin : Sturegon (J&J), Cinnipirine(KF) Derivat cinnamyl dari siklizin ini
disamping kerja antihistaminnya juga berdaya vasodilatasi perifer. Sifat ini berkaitan
dengan efek relaksasinya terhadap arteriol-arteriol perifer dan di otak (betis,kaki-tangan)
yang disebabkan oleh penghambatan masuknya ion-Ca kedalam sel otot polos. Mulai
kerjanya agak cepat dan bertahan 6-8 jam, efek sedatifnya ringan. Banyak digunakan
sebagai obat pusing-pusing dan kuping berdengung (vertigo, tinnitus). Dosis: oral 2-3 x
sehari 25-50mg.
 Flunarizin (Sibelium, Jansen) Adalah derivat difluor dengan daya antihistamin lemah.
Sebagai antagonis-kalsium daya vasorelaksasinya kuat. Digunakan pula pada vertigo dan
sebagai pencegah migran.

DERIVAT FENOTIAZIN : Senyawa- senyawa trisiklik yang memiliki daya antihistamin dan
antikolinergik yang tidak begitu kuat dan seringkali berdaya sentral kuat dengan efek
neuroleptik.

 Prometazin: (Phenergan (R.P.)) Antihistamin tertua ini (1949) digunakan pada reaksi-
reaksi alergi akibat serangga dan tumbuh-tumbuhan, sebagai anti-emetik untuk mencegah
mual dan mabuk jalan. Selain itu juga pada pusing-pusing (vertigo) dan sebagai
sedativum pada batuk-batuk dan sukar tidur, terutama pada anak-anak. Efek samping
yang umum adalah kadang-kadang dapat terjadi hipotensi,hipotermia(suhu badan
rendah), dan efek-efek darah (leucopenia, agranulocytosis) Dosis: oral 3 x sehari 25-
50mg sebaiknya dimulai pada malam hari; i.m. 50mg.
 Tiazinamium (Multergan, R.P.) Adalah derivat N-metil dengan efek antikolinergik
kuat, dahulu sering digunakan pada terapi pemeliharaan terhadap asma.
 Oksomemazin (Doxergan, R.P.) Adalah derivat di-oksi (pada atom-S) dengan kerja dan
penggunaan sama dengan prometazin, antara lain dalam obat batuk. Dosis: oral 2-3 x
sehari 10mg.
 Alimemazin (Nedeltran®) Adalah analog etil denagn efek antiserotonin dan daya
neuroleptik cukup baik. Digunakan sebagai obat untuk menidurkan anak-anak,
adakalanya juga pada psikosis ringan. Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
 Fonazin (Dimetiotiazin) Adalah derivat sulfonamida dengan efek antiserotonin kuat
yang dianjurkan pada terapi interval migraine. Dosis: oral 3-4 x sehari 10mg.
b.Isotipendil: Andantol (Homburg) Derivat aso-fenotiazin ini kerjanya pendek dari
prometazin dengan efek sedatif lebih ringan. Dosis: ora; 3-4 x sehari 4-8mg, i.m. atau i.v.
10mg.
 Mequitazin (Mircol, ACP) Adalah derivat prometazin dengan rantai sisi heterosiklik
yang mulai kerjanya cepat, efek-efek neurologinya lebih ringan. Digunakan pada hay
fever, urticaria dan reaksi-reaksi alergi lainnya. Dosis: oral 2 x sehari 5mg.
 Meltidazin (Ticaryl, M.J.) Adalah derivat heterosiklik pula (pirolidin) dengan efek
antiserotonin kuat. Terutama dianjurkan pada urticaria. Dosis: oral 2 x sehari 8mg.

Obat Lain Dengan Khasiat Mirip Antihistamin

Banyak obat yang digunakan untuk indikasi lain memiliki aktivitas antihistaminergicyang tidak
diinginkan

Antihistamin H1 dikelompokkan dalam AH1 tradisional atau konvensional (generasi I), dan AH1
non-sedatif (generasi I). Mereka dibagi dalam beberapa subkelas.

 Etilendiamin Antazolin, tripelanamin, pirilamin.


 Etanolamin Karbinoksamin, difenhidramin, doksilamin.
 Alkilamin Klorfeniramin, deksklorfeniramin, dimetinden, feniramin.
 Piperazin Setirizin, homoklorsiklizin, hidroksizin, oksatomid.
 Piperidin Siproheptadin.
 Fenotiasin Prometasin.
 Lain-Lain Akrivastin, astemizol, azatadin, klemastin, levokobastin, loratadin,
mebhidrolin, terfenadin, ketotifen.
 Golongan antihistamin generasi baru adalah setirizin, akrivastin, astemizol,
levokobastin, loratadin, dan terfenadin.

Farmakokinetik

 Absorbsi AH1 berjalan sangat cepat setelah pemberian secara oral menyebabkan efek
sistemik dalam waktu kurang dari 30 menit. Hepar merupakan tempat metabolisme utama
(70-90%), dengan sedikit obat yang diekskresi dalam urin dalam bentuk yang tidak
berubah.

Penggunaan klinis

Antihistamin adalah obat yang paling banyak dipakai sebagai terapi simtomatik untuk reaksi
alergi yang terjadi. Semua jenis antihistamin sangat mirip aktivitas farmakologinya. Pemilihan
antihistamin terutama terhadap efek sampingnya dan bersifat individual. Pada seorang pasien
yang memberikan hasil kurang memuaskan dengan satu jenis antihistamin dapat ditukar dengan
jenis lain, terutama dari subkelas yang berbeda.

 Rinitis alergik musiman dan rinitis alergik perenial sangat baik reaksinya terhadap
antihistamin. Hampir 70-90% pasien rinitis alergik musiman mengalami pengurangan
gejala (bersin, keluar ingus, sumbatan hidung). Hasil yang terbaik didapat bilamana
antihistamin diberikan sebelum kontak. Walaupun pada rinitis vasomotor hasilnya
kurang memuaskan tetapi efek antikolinergiknya dapat mengurangi gejala pilek.
 Urtikaria akut sangat bermanfaat untuk mengurangi ruam dan rasa gatal. Manfaatnya
pada urtikaria kronik kurang dan pada keadaan ini AH1 pilihan adalah yang berefek sel
rendah dan mempunyai masa kerja panjang, misal hidroksizin atau AH1 nonsedatif
lainnya. Pemberiannya cukup sekali sehari sehing meningkatkan kepatuhan. Apabila
gejala belum diatasi dapat dikombinasi dengan AH2, dan kalau perlu ditambah
simpatomimetik.
 Reaksi anafilaksis akut antihistamin H1 digunakan sebagai terapi tambahan setelah
epinefrin. Preparat yang banyak dipakai adalah difenhidramin. Pada serum sickness
antihistamin berfungsi untuk mengurangi urtikaria tetapi mempunyai efek yang kecil
terhadap artralgia, demam, dan tidak mengurangi lama penyakitnya. Pada dermatitis
kontak dan erupsi obat fikstum, antihistamin oral dapat mengurangi rasa gatal. Hindari
penggunaan antihistamin topikal karena dapat menyebabkan sensititasi. Antihistamin
juga dapat dipakai sebagai terapi tambahan pada reaksi alergi obat dan reaksi akibat
transfusi.

Efek samping

 Mengantuk Antihistamin termasuk dalam golongan obat yang sangat aman


pemakaiannya. Efek samping yang sering terjadi adalah rasa mengantuk dan gangguan
kesadaran yang ringan (somnolen).
 Efek antikolinergik Pada pasien yang sensitif atau kalau diberikan dalam dosis besar.
Eksitasi, kegelisahan, mulut kering, palpitasi dan retensi urin dapat terjadi. Pada pasien
dengan gangguan saraf pusat dapat terjadi kejang.
 Diskrasia Meskipun efek samping ini jarang, tetapi kadang-kadang dapat menimbulkan
diskrasia darah, panas dan neuropati.
 Sensitisasi Pada pemakaian topikal sensitisasi dapat terjadi dan menimbulkan urtikaria,
eksim dan petekie.

Chlorpheniramin maleat

 Di Indonesia, Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan salah
satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa kantuk). Namun,
dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai obat tidur dibanding
antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat tunggal maupun campuran dalam obat
sakit kepala maupun influenza lebih ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan
sehingga pengguna dapat beristirahat. CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan)
cukup besar dengan efek samping dan toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu
diketahui mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin
dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan salah satu
antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir histamin secara kompetitif dari
reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian mampu meniadakan kerja histamin.
 Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan vasokontriksi
pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus, usus, uterus), kontraksi
sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika histamin mencapai kulit misal pada gigitan
serangga, maka terjadi pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau terjadi
pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin memegang
peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.
 CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan
bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk mengobati reaksi
hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan histamin endogen berlebih.
Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-UI,1995) disebutkan bahwa histamin
endogen bersumber dari daging dan bakteri dalam lumen usus atau kolon yang
membentuk histamin dari histidin.
 Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf pusat dengan
gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Efek
samping ini menguntungkan bagi pasien yang memerlukan istirahat namun dirasa
menggangu bagi mereka yang dituntut melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi.
Oleh sebab itu, pengguna CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai
kendaraan.
 Rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan CTM merupakan efek samping dari
obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM adalah sebagai antihistamin yang menghambat
pengikatan histamin pada resaptor histamin.

Mekanisme kerja

 Antihistamin bekerja dengan cara kompetisi dengan histamin untuk suatu reseptor yang
spesifik pada permukaan sel. Hampir semua AH1 mempunyai kemampuan yang sama
dalam memblok histamin. Pemilihan antihistamin terutama adalah berkenaan dengan efek
sampingnya. Antihistamin juga lebih baik sebagai pengobatan profilaksis daripada untuk
mengatasi serangan.
 Mula kerja AH1 nonsedatif relatif lebih lambat; afinitas terhadap reseptor AH1 lebih kuat
dan masa kerjanya lebih lama. Astemizol, loratadin dan setirizin merupakan preparat
dengan masa kerja lama sehingga cukup diberi 1 kali sehari.
 Beberapa jenis AH1 golongan baru dan ketotifen dapat menstabilkan sel mast sehingga
dapat mencegah pelepasan histamin dan mediator kimia lainnya; juga ada yang
menunjukkan penghambatan terhadap ekspresi molekul adhesi (ICAM-1) dan
penghambatan adhesi antara eosinofil dan neutrofil pada sel endotel. Oleh karena dapat
mencegah pelepasan mediator kimia dari sel mast, maka ketotifen dan beberapa jenis
AH1 generasi baru dapat digunakan sebagai terapi profilaksis yang lebih kuat untuk
reaksi alergi yang bersifat kronik.

EFEK SAMPING

 Pada dosis terapi, semua AH1 menimbulkan efek samping walaupun jarang bersifat
serius dan kadang-kadang hilang bila pengobatan diteruskan. Efek samping yang paling
sering ialah sedasi, yang justru menguntungkan bagi pasien yang dirawat di RS atau
pasien yang perlu banyak tidur. Tetapi efek ini mengganggu bagi pasien yang
memerlukan kewaspadaan tinggi sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya
kecelakaan.
 Pengurangan dosis atau penggunaan AH1 jenis lain mungkin dapat mengurangi efek
sedasi ini. Astemizol, terfenadin, loratadin tidak atau kurang menimbulkan sedasi. Efek
samping yang berhubungan dengan efek sentral AH1 ialah vertigo, tinitus, lelah, penat,
inkoordinasi, penglihatan kabur, diplopia, euphoria, gelisah, insomnia dan tremor.
 Efek samping yang termasuk sering juga ditemukan ialah nafsu makan berkurang, mual,
muntah, keluhan pada epigastrium, konstipasi atau diare, efek samping ini akan
berkurang bila AH1 diberikan sewaktu makan.
 Efek samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, disuria, palpitasi,
hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Insidens efek samping karena
efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang mendapat antihistamin nonsedatif.
 AH1 bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan lokal berupa dermatitis alergik. Demam dan foto sensitivitas juga pernah
dilaporkan terjadi.
 Selain itu pemberian terfenadin dengan dosis yang dianjurkan pada pasien yang
mendapat ketokonazol, troleandomisin, eritromisin atau lain makrolid dapat
memperpanjang interval QT dan mencetuskan terjadinya aritmia ventrikel. Hal ini juga
dapat terjadi pada pasien dengan gangguan fungsi hati yang berat dan pasien-pasien yang
peka terhadap terjadinya perpanjangan interval QT (seperti pasien hipokalemia).
 Kemungkinan adanya hubungan kausal antara penggunaan antihistamin non sedative
dengan terjadinya aritmia yang berat perlu dibuktikan lebih lanjut.
 INTOKSIKASI AKUT AH1 Keracunan akut AH1 terjadi karena obat golongan ini
sering terdapat sebagai obat persediaan dalam rumah tangga. Pada anak, keracunan
terjadi karena kecelakaan, sedangkan pada orang dewasa akibat usaha bunuh diri. Dosis
20-30 tablet AH1 sudah bersifat letal bagi anak. Efek sentral AH1 merupakan efek yang
berbahaya.
 PAda anak kecil efek yang dominan ialah perangsangan dengan manifestasi halusinasi,
eksitasi, ataksia, inkoordinasi, atetosis dan kejang. Kejang ini kadang-kadang disertai
tremor dan pergerakan atetoid yang bersifat tonik-klonik yang sukar dikontrol.
 Gejala lain mirip gejala keracunan atropine misalnya midriasis, kemerahan di muka dan
sering pula timbul demam. Akhirnya terjadi koma dalam dengan kolaps kardiorespiratoar
yang disusul kematian dalam 2-18 jam. Pada orang dewasa, manifestasi keracunan
biasanya berupa depresi pada permulaan, kemudian eksitasi dan akhirnya depresi SSP
lebih lanjut.
 PENGOBATAN INTOLSIKASI Pengobatan diberikan secara simtomatik dan suportif
karena tidak ada antidotum spesifik. Depresi SSP oleh AH1 tidak sedalam yang
ditimbulkan oleh barbiturate. Pernapasan biasanya tidak mengalami gangguan yang berat
dan tekanan darah dapat dipertahankan secara baik. Bila terjadi gagal napas, maka
dilakukan napas buatan, tindakan ini lebih baik daripada memberikan analeptic yang
justru akan mempermudah timbulnya konvulsi. Bila terjadi konvulsi, maka diberikan
thiopental atau diazepam.
 Sopir atau pekerja yang memerlukan kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus
diperingatkan tentang kemungkinan timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada
resep, harus digunakan dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol,
obat penenang atau hipnotik sedative.

Anda mungkin juga menyukai