Anda di halaman 1dari 20

Makalah Dasar-dasar Akuakultur

Integreted Multi Tropic Aquaculture (IMTA)

NAMA: LUKI NUR HIDAYAT

NIM: 1954246011

PRODI: PSDP

SEMESTER:5

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas kasih karuniaNya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Integreted Multi Tropic Aquaculture (IMTA

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................5
PENDAHULUAN.............................................................................................................5
1.1 Latar Belakang.................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................6
1.3 Tujuan...............................................................................................................6
BAB II...............................................................................................................................7
PEMBAHASAN...............................................................................................................7
2.1 Pengertian IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture)...........................7
2.2 Pemilihan Komoditas.......................................................................................7
2.2.1 Udang vanname........................................................................................8
2.2.2 Ikan Nila merah........................................................................................8
2.2.3 Kekerangan...............................................................................................9
2.2.4 Rumput laut............................................................................................10
2.3 Pemilihan Lokasi............................................................................................10
2.4 Desain dan Konstruksi...................................................................................11
2.5 Persiapan Budidaya.......................................................................................12
2.5.1 Persiapan Petakan Tambak...................................................................12
2.5.2 Pemberantasan Hama............................................................................13
2.5.3 Pengapuran.............................................................................................13
2.5.4 Pemupukan.............................................................................................14
2.5.5 Pengisian Air...........................................................................................14
2.5.6 Persiapan Benih......................................................................................14
2.6 Pemeliharaan..................................................................................................15
2.6.1 Komposisi Penebaran Komoditas........................................................15
2.6.2 Pengelolaan kualitas air.........................................................................15
2.6.3 Pengelolaan Pakan..................................................................................16
2.6.4 Pemantauan penyakit.............................................................................16
2.7 Panen...............................................................................................................16
2.8 Analisis usaha................................................................................................17
2.9 Kelebihan IMTA............................................................................................17
BAB III...........................................................................................................................19
PENUTUP.......................................................................................................................19
3.1 Kesimpulan.....................................................................................................19
3.2 Saran...............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................20
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aktivitas budidaya perikanan yang berkembang dengan pesat dapat
menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan dan mengganggu
keseimbangan ekosistem. Salah satu strategi pengembangan perikanan
budidaya yaitu pemilihan lokasi yang sesuai dan tingkat teknologi yang
adaptif, yang merupakan langkah awal untuk menjamin usaha budidaya
yang berkelanjutan (Costa-Pierce, 2008). Penggunaan metode budidaya
yang tepat dapat mendorong perkembangan sistem budidaya perikanan
dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan sistem operasi yang ramah
lingkungan.
Budidayaperikanan secara terintegrasi(integratedmulti-trophic
aquaculture)merupakan inovasi pengembangan sistembudidaya perikanan,
jika dibandingkan dengan budidaya perikanan konvensional hanya
menggunakan satu spesies budidaya saja. Budidaya terintegrasi ini
memadukan beberapa spesies yang memiliki tingkattrofik yang berbeda
antara spesies yang diberi pakan (misalnya ikan) dengan spesies penyerap
bahan anorganik (misalnya rumput laut), dan spesies penyerap bahan
organik (suspension dan deposit feeder, seperti kekerangan) (Troell et al.,
2009; Barrington et. al., 2009).
Pada sistem IMTA, limbah yang dihasilkan dari komoditas utama
yang masuk ke dalam perairan akandikonversi dan dimanfaatkan oleh
spesies penyerap bahan organik dan anorganik. Sistem IMTA diterapkan
untuk menjawab tantangan mengenai isu dampak aktivitasbudidaya
terhadap lingkungan perairan yang meliputi sedimentasi dan pengkayaan
nutrien perairan (Radiarta et al., 2014; 2015; Alexander et al., 2016).
Pemilihan komoditas untuk sistem IMT sangat fleksibel,dapat disesuaikan
dengan komoditas yang telah berkembang pada suatu kawasan baik itu
ikan, rumput laut, ataupun kekerangan. Komoditas yang dipilih tersebut
disesuaikan dengan fungsinya dalam ekosistem dan merupakan komoditas
dengan nilai ekonomis yang tinggi. Dengan pemilihan spesies budidaya
yang benar, sistem IMTA ini akan mereduksi kandungan organik dan
anorganik nitrogen, karbon, dan fosfat; menjadikan sistem ini sebagai
nutrient trading credits (Chopin et al., 2010; Yuniarsih et al., 2014).
Perkembangan budidaya laut saat ini menunjukkan tren yang terus
meningkatseiring denganpeningkatankebutuhanproteinmanusia.
Tantanganyangadaadalahbagaimanameningkatkan produktivitasbudidaya
laut pada suatu kawasan ketika pilihanteknologi yang ada menjadi suatu
kendala. Peluang yang dapat digunakan adalah meningkatkan
levelteknologi yang digunakan dengan memperhatikan limbah yang
dihasilkan sehingga tidak merusak lingkungan. Penerapan sistem IMTA
merupakan satu jawaban dari teknologi yang tersedia (Soto,
2009).Performapertumbuhan spesies budidaya melalui IMTA
menunjukkan hasil yang sangat baik terutama spesies penyerap bahan
anorganik, seperti rumput laut, dan spesies penyerap bahan organik,
seperti kekerangan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture)?
2. Komoditas apa saja dalam budidaya sistem IMTA?
3. Apa saja keunggulan dan kelemahan dari budidaya sistem IMTA?
4. Bagaimana langkah-langkah dalam melakukan budidaya sistem
IMTA?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari budidaya sistem IMTA.
2. Mengetahui pemilihan komoditas yang digunakan dalam budidaya
IMTA.
3. Mengetahui keunggulan dan kelemahan dari budidaya sistem MTA.
4. Mengetahui langkah-langkah dalam melakukan budidaya sistem
IMTA.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian IMTA (Integrated Multi-Trophic Aquaculture)

IMTAadalahsalahsatu bentuk dari budidayaLautdengan


memanfaatkanpenyediaan pelayanan ekosistem oleh organisme trofik
rendah (seperti kerang dan rumput laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi
terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi (seperti ikan) (White,
2007dalamTeguh, 2011). IMTA berbeda dengan polikultur karena
polikulturadalahmembudidayakan lebihdari satu spesies tanpa
memperhatikan kegunaan spesies dalamekosistem,sedangkannIMTA
menitikberatkan pada kemampuan spesies dalam menjaga keseimbangan
ekosistem sehingga setiap spesies tertentu memiliki fungsi yang berbeda
misalnyasebagai karnivore,herbivore,detritus,biofilteringdan
penyerangpartikel sehingga keseimbangan ekosistem mampu terjaga
dengan baik. IMTA dapat digunakan hampir seluruh wadah budidaya baik
laut maupun darat karena konsep keseimbangan ekosistemyang
diterapkan.IMTApertama kali diterapkandiNorwegiadengan
memanfaatkan salmon, kelp dan kerang (ChopindalamPantjara 2012).
2.2 Pemilihan Komoditas

Pemilihan komoditas untuk IMTAdisesuaikan dengan daya


dukungtamba danperanan masing-masing komoditas yang memungkinkan
terjadi berbagai proses baik secara biologi maupun kimia dalam tambak
sehingga mencapai suatu titik keseimbangan yang stabil dan sehat.
Komoditas yang dikembangkan adalah udang windu (P. monodon), udang
vaname (L. vannamei), nila merah (Oreochromis niloticus), kerang, dan
rumput laut.
2.2.1 Udang vanname

Udang vannamei hampir sama seperti udang windu, bagian tubuh


udang vannamei digunakan untuk bergerak, keperluan makan dan
bersembunyi dibawah lumpur maupun pasir. Jika ingin membudidaya
udang vannamei harus benar-benar memperhatikan salinitas karena udang
ini sangat rentan pada berbagai hal, terutama kualitas air.

2.2.2 Ikan Nila merah

(Oreochromis niloticus) termasuk ikan omnivora yang mengonsumsi


segala jenis pakan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun hewan. Pada
ukuran benih, nila lebih menyukai makanan seperti detritus, makropita,
alga hijau, alga berfilamen serta koloni alga hijau lainnya (volvox atau
bagian insekta). Ikan ini mempunyai kemampuan adaptasi cukup tinggi
terhadap perubahan lingkungan barunya dan ikan ini dapat dibudidayakan
dengan salinitas hingga 35 ppt. Pada ukuran dewasa, ikan nila dapat diberi
makanan tambahan (pelet).
2.2.3 Kekerangan

Jenis kekerangan yang dapat dimanfaaatkan untuk budidaya


multitropik terintegrasi antara lain tiram daging (Crassostrea iredalei),
tiram batu (Saccostrea cucullata), kekerangan dara (Anadara granossa),
dan kekerangan bakau (Geolenia coaxan). Tiram dan kekerangan bakau
dapat tumbuh dengan optimum pada salinitas 13-28 ppt di daerah
mangrove dan banyak ditemukan di muara sungai dari sub tropis hingga
tropis. Kekerangan dara lebih menghendaki salinatas air laut 25-33 ppt.
Kekerangan pada IMTA berfungsi sebagai biofilter karena
kekerangan ini mengambil makanannya dengan cara menyaring air dan
meyerap fitoplankton, bakteri, jamur, flagellata, dan bahan organik lainnya
sehingga kualitas air tetap terjaga dengan baik (Chow et aldalamPantjara
2012).
2.2.4 Rumput laut

Pemeiharaan rumput laut Gracilaria verruosa tidak terlalu rumit dan


dapat tumbuh pada salintas 15-35 ppt da suhu perairan 27-35oC. Faktor
penting yang menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut antara
lain adalah lokasi yang sesuai (substrat dasar,pergerakan air), kualitas
bibit, metode budidaya, serta penanganan selama pemeliharaan. Pada
teknologi IMTA ditambak, rumput laut berperan dalam menyerap
kelebihan nutrien anorganik (NH4-,NO2,NO3-).

2.3 Pemilihan Lokasi

Persyaratan lokasi untuk keberhasilan penerapan teknologi IMTA


meliputi:

 Lokasi tambak sebaiknya berada diatas permukaan laut atau daerah


supratidal.
 Lokasi budidaya bebas dari banjir
 Terdapat sumber air (laut dan tawar) yang cukup memadai baikkualitas
maupun kuantitas
 Sumber air bebas dari bahan pencemar
 Tambak harus dilengkapi dengan saluran pemasukan dan pengeluaran
air yang lancar dan bila memungkinkan terdapat rundown air
 Tambak yang dibangun tidak berasal dari tanah gambut atau tanah
sulfat masam
 Tekstur tanah berperan penting dalam kesuburan tanah dan kekokohan
pematang. Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dan
komposisi fraksi-fraksi penyusun tanah yaitu : pasir, debu dan liat.
Penerapan IMTA sebaiknya dilakukan pada tambak yang memiliki
tekstur tanah lempung berpasir dengan komposisi fraksi liat 10-20%,
debu 20-30% dan pasir 50-60%.

2.4 Desain dan Konstruksi

Untuk menunjang keberhasilan IMTA, memerlukan desain dan


konstruksi tambak baikseperti pada tambak udang semi intensif atau
intensif (Tabel 1 dan Gambar 1)

Tabel 1. Persyaratan petakan tambak tanah yang dikelola secara semi intensif
danintensif pada budidaya udang sistem IMTA

Uraian Integrated Multitrophic


Aquaculture (IMTA)
Tambak semi intensif Tambak intensif
Luas petakan (ha) 0,5 - 1,0 0,4 - 0,5
Bentuk petakan Bujur sangkar/empat Bujur sangkar
persegi panjang
Tanah dasar Tanah agak keras/pasir Tanah keras/pasir
Saluran tambak Saluran tengah Saluran buang ditengah
Pematang:
-Bahan Tanah/plastik Tanah tembok/plastik
-Kemiringan 1 – 1, 5:1 1:1
Pintu air (unit) Dua, terpisah, pintu Dua, terpisah, pintu
buang di pematang buang ditengah dan di
Kedalaman air (cm) 100-200 pematang
120-150

Tata letak, desain, dan konstruksi tambak sebaiknya dibuat untuk


memudahkan pengoperasian selama budidaya serta efektif pada saat
pemberantasan hama penyakit dan mencegah penyebarannya. Apabila
memungkinkan petakan tambak bdidaya dilengkapi dengan petakan
pengendapan dan saringan fisik serta biologi untuk pasok air tambak.
Gambar 1. Desain dan konstruksi petakan tambak semi intensif (A) dan intensif
(B) untuk budidaya IMTA.

2.5 PersiapanBudidaya

2.5.1 Persiapan Petakan Tambak

Bila pematang dan dasar tambak dibuat dari semen (tambak beton)
atau tambak plastik, maka tidak akan banyak memerlukan biaya dan
tenaga dalam masa persiapan karena sisa limbah dapat dibuang melalui
saluran buang ditengah tambak (central drain). Namun pada tambak tanah
perlu dilakukan pengangkatan lumpur atau sisa dari limbah pakan setelah
budidaya agar kondisi tambak lebih sehat. Selain itu pada tambak tanah,
perbaikan rembesan pada pematang perlu dilakukan melalui keduk, teplok,
dan pemampatan tanah pada lubang bocoran untuk menghindari terjadinya
kelarutan senyawa toksik dari pematang terutama pada musim hujan.
Limbah budidaya yang berupa lumpur atau limbah organic dari sisa
pakan, kotoran udang, dan udang yang mati harus dikeluarkan dari dasar
tambak karena bahan organic tersebut bersifat racun yang dapat
membahayakan udang. Pengeluaran bahan organic limbah dapat dilakukan
dengan cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan
menggunakan pompa air. Pengolahan tanah dapat dilakukan dengan
menggunakan traktor tangan atau dicangkul pada kedalaman tanah 10-30
cm.
Pengeringan tanah dilakukan setelah pengolahan tanah. Lama
pengeringan tanah tergantung pada kondisi cuaca. Pada saat terik matahari
pengeringan tanah berlangsung 5-10 hari, tetapi pada saat mendung dan
hujan pengeringan bisa lebih dari 2 minggu. Pengeringan tanah dapat
meningkatkan nilai redoks tanah yang diukur menggunakan pH Meter.
Bila potensial redoks bernilai positif berarti terjadi pengeringan yang baik
atau telah terjadi proses mineralisasi bahan organik.

2.5.2 Pemberantasan Hama

Pemberantasan hama yang paling efektif adalah melalui pengeringan


tambak secara sempurna selain itu pemberantasan hama ikan dapat
dilakukan dengan menggunakan saponin yang kerjanya sangat dipengaruhi
kondisi suhu dan salinitas air tambak.

2.5.3 Pengapuran

Pengapuran bertujuan untuk meningkatkan pH tanah terutama pada


tambak yang tanahnya masam atau tanah yang mempunyai kandungan
bahan organik yang tinggi.

Cara pengapuran yang sesuai dengan rekomendasi adalah sebagai


berikut:
1. Sebelum ditaburi kapur tanah dasar sebaiknya dilakukan
pengolahan tanah dengan cara dicangkul atau dibajak.
2. Pengapuran dilakukan pada permukaan tanah dengan dosis
kapur sesuai dengan kebutuhan berdasarkan pH tanah dan
tekstur tanah.
3. Pengapuran sebaiknya dilakukan mengikuti arah angin.
4. Setelah pengapuran tambak dibiarkan selama 5-7 minggu
dalam kondisi tanah macak-macak sebelum memasukan air.

Manfaat kapur dolomit yang diberikan kedalam tanah adalah:

1. Menurunkan tingkat kemasaman tanah atau meningkatkan PH


tanah.
2. Menurunkan kelarutan Fe2+/3+, Al3+.
3. Meningkatkan kandungan unsur hara Ca2- dan Mg2+.
4. Memperbaiki tekstur, struktur, dan memantapkan agregat
tanah.
5. Memperbaiki sifat biologi tanah (aktivitas mikroorganisme).

2.5.4 Pemupukan

Kandungan hara dalam tanah ditentukan oleh jenis tanah dan


kesuburan tanah tambak. Pada tanah gambut atau tanah sulfat masam
pemupukan tidak akan efektif bila tidak didahului dengan pengapuuran
atau peningkatan pH tanah. Pada IMTA di tambak pemupukan sangat
diperlukan untuk menambah kesuburan tambak, menumbuhkan plankton,
dan rumput laut. Penggunaan pupuk organik tidak disarankan pada IMTA
karena bahan organic dari sisa pakan sudah cukup tersedia.

2.5.5 Pengisian Air

Pengisian air dilakukan pada kedalaman 1-1,5 m, 1-2 minggu


sebelum benih ditebar. Air yang diisikan kedalam tambak sebaiknya
berasal dari petak tendon.

2.5.6 Persiapan Benih


Benih udang yang baik dicirikan dengan ukuran seragam, warna
cerah, pergerakan lincah, melawan arus putaran air, sehat ( bebas parasite,
bakteri, dan virus), memiliki alat tubuh yang lengkap serta mempunyai
adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi. Untuk teknologi
IMTA sebaiknya benih ditokolkan terlebih dahulu. Pentokolan benur dapat
dilakukan di bak-bak beton, container atau pada hapa dalam tambak.
Penebaran bibit dilakukan setelah plankton tumbuh dengan baik,
warna air hijau kecoklatan dan kecerahan air sekitar 30-40 cm. penebaran
bibit dilakukan dengan hati-hati, karena bibit masih lemah. Tahap
penebaran benih diawali dengan adaptasi suhu dengan cara mengapung-
apungkan katong yang masih berisi benur selama 15-20 menit. Selanjutnya
adaptasi salinitas dilakukan dengan cara menambah air tambak sedikit
demi sedikit ke kantong plastic, sambil kantong plastic dimiringkan pada
permukaan air tambak sehingga bibit tetap aktif bergerak.

2.6 Pemeliharaan

Monitoring pertumbuhan dan kesehatan udang /ikan dilakukan sejak


awal penebaran hingga panen. Penambahan atau pergantian air dilakukan
bila kondisi kualitas air dalam tambak kurang baik yang dicirikan dengan
warna air terlalu jernih atau hijau pekat. Pada umur pemeliharaan setelah
30 hari sudah terlihat adanya limbah dari sisa pakan atau kotoran
udang/ikan. Hal ini menghasilkan ekstrak organic dari limbah dan dapat
menjadi ekstrak an organic(NH4+, N02,NO3) yang dalam prosesnya
dilakukan mikroorganisme.selanjutnya ekstrak anorganik tersebut
dimanfaatkan rumput laut dan plankton. Sedangkan bakteri,plankton, dan
sebagian nutrient dimanfaatkan kekerangan sehingga terjadi keseimbangan
ekosistem dalam tambak. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa
kelebihan nutrient yang ada dalam tambak mampu dimanfaatkan dengan
baik oleh komoditas tingkat menengah dan atau yang lebih rendah pada
budidaya udang sistem IMTA.

2.6.1 Komposisi Penebaran Komoditas

Penebaran tokolan udang dan yang dikelola secara intensif dengan


kepadatan udang windu sekitar 10-40 ekor/m2 atau udang vaname 50-120
ekor/m2. Sedangkan yang dikelola secara semi intensif kepadatan udang
windu 5-8 ekor/m2atau udang vaname sekitar 20-40 ekor/m2. Penebaran
gelondongan ikan nila 2-3 cm dilakukan di Hapa dengan padat penebaran
2000-4000 ekor/Ha. Hapa dipetakan dapat dipasang sebanyak 4-8 buah
dengan ukuran 5x4 m.

2.6.2 Pengelolaan kualitas air

Persyaratan kualitas air yang baik sangat penting untuk


meningkatkan produktivitas tambak terutama untuk membuat nyaman
kehidupan komoditas yang dibudidayakan. Beberapa kualitas air yang
ideal dan perlu dierhatikan untuk budidaya IMTA antara lain oksigen.
Keberadaan oksigen sangat penting karena peranannya untuk respirasi dan
menghasilkan energy untuk beraktivitas, pertumbuhan, reproduksi dll.
Jumlah oksigen dalam air dinyatakan dalam satuan ppm dimana besarnya
sekitar 4,0-7,5 ppm. Parameter fisika kualitas di perairan lainnya yaitu
suhu 0-30oC, salinitas 5-35 ppt, dan kecerahan 20-30 cm. Secara kimia
meliputi pH 7,5-8,5, oksigen 3-8 ppm, nitrat 100-300 ppm, dan nitrit <0,5
ppm.

2.6.3 Pengelolaan Pakan

Pemberian pakan pelet pada ikan dan udang dalam budidaya semi
intensif hingga intensif sangat diperlukan karena pakan alami tidak
mencukupi. Jenis pakan yang digunakan adalah pellet terapung sedangkan
pada udang pelet tenggelam. Dosis dan ukuran pakan tergantung pada
umur dan ukuran udang/ikan. Jumlah pakan pada awal pemeliharaan
biasanya lebih tinggi (30-50%) dan menurun hingga 2-3% dari bobot
udang atau ikan per hari dengan frekuensi 2x sehari.

2.6.4 Pemantauan penyakit

Pemantauan penyakit dilakukan dengan cara memeriksa kondisi


udang meliputi ada tidaknya udang berlumut, bakteri berpendar, dan bintik
putih. Penyakit yang sering menyebabkan kematian masal disebabkan
penyakit bintik putih. Gejala udang yang terserang penyakit ini adalah
udang berenang tidak teratur atau menempel dipinggir pematang. Penyakit
lainnya adalah insang merah yang gejalanya ditandai dengan terbentuknya
warna merah pada insang yang disebabkan tingginya keasaman air tambak
untuk mengatasi insang merah disarankan menambah dolomit sebanyak 3-
5 ppm dan penambahan air untuk mengencer keasaman air.

2.7 Panen

Panen udang dapat dilakukan pada umur 80-120 hari dengan ukuran
40-80 ekor/kg. Pemanenan udang dapat dilakukan pada malam atau dini
hari. Panen parsial dapat dilakukan dengan mengurangi sebagian air
dengan memasukkan air baru karena biasanya udang menyukai air segar
dan berkumpul disekitar air pemasukan. Pemanenan ikan dalam Hapa
lebih mudah yaitu mengangkat Hapa ke pematang atau menyeleksi ikan
dalam Hapa.

2.8 Analisis usaha

Kelayakan usaha budidaya tambahk sistem IMTA dengan padat


penebaran komoditas utama udang windu intensif (120.000 ekor/Ha),
udang windu semi intensif (80.000 ekor/Ha), udang vaname intensif
(500.000 ekor/Ha), dan udang vaname semi intensif (250.000 ekor/Ha)
dan masing-masing ditebari komoditas pendamping yaitu nila merah
(60.000 ekor/Ha), rumput laut (1.000 ekor/Ha), dan tiram (20.000
ekor/Ha). Menghasilkan keuntungan masing-masing untuk tambak udang
windu intensif Rp 34.867.500, BC rasio 1,61 per musim tanam (4 bulan),
udang windu semi intensif Rp 27.968.750, BC rasio 1,65 per musim tanam
(4 bulan), udang vaname intensif Rp 52.706.250, BC rasio 1,56 per musim
tanam (4 bulan), udang vaname semi intensif Rp 48.477.500, BC rasio
1,95 per musim tanam (4 bulan).

2.9 Kelebihan IMTA

IMTA berbeda dengan polikultur karena polikulturadalah


membudidayakan lebih dari satu spesies tanpa memperhatikan kegunaan
spesies dalam ekosistem, sedangkan IMTA menitik beratkan pada
kemampuan spesies dalam menjaga keseimbangan ekosistem sehingga
setiap spesies tertentu memiliki fungsi yang berbeda misalnya
sebagai karnivore, herbivore, detritus dan filter feeder (penyerap partikel)
sehingga keseimbangan ekosistem mampu terjaga dengan baik. IMTA
dapat digunakan hampir seluruh wadah budidaya baik laut maupun darat
karena konsep keseimbangan ekosistem yang diterapkan. Keunggulan
sistem IMTA dapat diketahui berdasarkan ekonomi, lingkungan dan
keamanan pangan bagi organisme budidaya dan manusia. Pemanfaatan
IMTA di China memberikan keuntungan ekonomi yang diaplikasikan di
provinsi Qingdao selama 2 tahun menghasilkan 900 kg dengan hasil
sebesar 70.000 yuan/ 1600 m2 atau 10.000 US dolar/ 1600 m2 sehingga
budidaya dengan IMTA sangat menguntungkan karena di ersifikasi
produknya sangat banyak dan bernilai ekonomis tinggi (Jinguang et al,
2009 dalam Wibisono, 2011). Keuntungan ekonomi dari IMTA di kanada
memiliki keuntungan yang jauh lebih untung dibandingkan dengan sistem
monokultur pada ikan salmon (Ridler et al, 2007 dalam Wibisono, 2011).

Dampak IMTA di China terhadap lingkungan secara tidak


langsung mengurangi perubahan iklim global dengan mereduksi 1,37 juta
MT karbon dan 96.000 MT Nitrogen pada budidaya rumput laut dan
kerang pada tahun 2006 (Jinguang et al, 2009 dalam Wibisono, 2011).
Keamanan pangan secara global mampu terpenuhi 15 juta MT hasil laut
terhadap manusia (Jinguang et al, 2009) dan penerapan IMTA dapat
mereduksi kemungkinan penyebaran penyakit dan penularannya baik yang
disebabkan oleh bakteri maupun virus dengan budidaya kerang
(Mytilusedelis) terhadap ikan salmon di Subtropis (Pietracket al,
2009 dalam Wibisono, 2011).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

IMTA(Intregated Multi-Trophic Aquaculture) sebagai inovasi


sistem budidaya perikanan sangat fleksibel. Hasil yang didapat pada
sistem budidaya IMTA memiliki performa pertumbuhan spesies yang
baik. Pemilihan komoditas pada IMTA disesuaikan dengan lokasi
budidaya, seperti tambak. Persiapan lokasi tambak harus diperhatikan dan
ditangani dengan baik karena limbah dapat menimbulkan penyakit dan
hama yang harus diberantas. Pengapuran juga menjadi hal yang harus
dilakukan dalam pemberantas hama dan mengontrol kualitas perairan.
Pemupukan dilakukan agar terciptanya pakan alami pada suatu tambak
yang akan dikelola. Pengisian air sebelum penebaran benih juga harus
dilakukan dengan baik agar suplai oksigen tercukupi pada perairan yang
akan digunakan untuk pemeliharaan budidaya. Kelebihan IMTA menitik
beratkan pada kemampuan spesies dalam menjaga keseimbangan
ekosistem sehingga spesies tertentu memiliki peran yang berbeda.
Kelemahan IMTA terkadang timbul dalam penyebaran penyakit yang
disebabkan oleh virus. IMTA juga harus melihat kondisi lokasi untuk
keberhasilan teknologi.

3.2 Saran

Penularan penyakit yang biasa disebabkan oleh virus harus


dilakukan dengan baik agar tidak menimbulkan dampak yang besar pada
budidaya. Persiapan tambak yang dilakukan dengan baik bisa saa belum
efektif dalam membasmi penyakit sehingga dapat dilakukan hal lain
seperti pemberian obat dan terdapatnya spesies di berbagai peran yang
dapat bersimbiosis dengan baik. Hal tersebut dilakukan agar hasil yang
diperoleh dari teknologi IMTA berkualitas dan beruntung banyak.
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, K. A., Angel, D., Freeman, S., Israel, D. Johansen, J., Kletou, D.,
Meland, M., Pecorino, D., Rebours, C., Rousou, M., Shorten, M., & Potts,
T. 2016. Improving sustainability of aquaculture in Europe: Stakeholder
dialogues on integratedmulti-trophic aquaculture (IMTA).
EnvironmentalScience & Policy, 55, 96-106.
Barrington, K., Chopin, T., & Robinson, S. 2009.Integrated multi-trophic
aquaculture (IMTA) in marine temperate waters.In Soto, D. (Ed.).
Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheriesand Aquaculture
Technical Paper No. 529. FAO. Rome, p. 7-46.
Chopin, T., Troell, M., Reid, G.K., Nowler, D.,Robinson, S.M.C., Neori, A.,
Buschmann, A.H., &Pang, S. (2010). Integrated multi-trophic aquaculture.
Part II. Increasing IMTA adoption.GlobalAquaculture Advocate,
November/December, p. 17-20.
Costa-Pierce, B. 2008. An ecosystem approach tomarine aquaculture: a global
review. In Soto, D., Aguilar-Manjarrez, J., &Hishamunda, N.
(Eds.).Building an ecosystem approach to aquaculture.FAO Fisheries and
Aquaculture Proceedings.No. 14.FAO. Rome, p. 81-155.
Pantjara, B., A. Mansyur., A. Parenrengi. 2012. Budi DayaUdangMelalui
Integrated Multitrophic Aquaculture (IMTA).
BadanPenelitiandanPengembanganKelautandanPerikananBudidayaBalaiPe
nelitiandanPengembanganBudidaya Air Payau.
Radiarta, I. N., Erlania, &Sugama, K. 2014. Budidayarumputlaut,
Kappaphycusalvareziisecaraterintegrasidenganikankerapu di
TelukGerupukKabupaten Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.J. Ris.
Akuakultur, 9(1), 125-134.
Radiarta, I. N., &Erlania. 2015.
Indekskualitasairdansebarannutriensekitarbudidayalautterintegrasi di
perairanTelukEkas, Nusa Tenggara Barat: aspekpentingbudidayalaut. J.
Ris.Akuakultur, 10(1), 141-152.
Radiarta, I. N. 2015. Site selection and carrying capacityfor marine finfish and
seaweeds aquaculture in Gerupuk Bay and Sereweh Bay, Lombok, West
Nusa Tenggara. FAO Report (Unpublished), 33 pp.
Soto, D. (Ed.). 2009. Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheries and
Aquaculture TechnicalPaper No. 529. FAO.Rome, 183 pp.
Troell, M. 2009. Integrated marine and brackishwater aquaculture in tropical
regions: research, implementation and prospects. In Soto, D. (Ed.).
Integrated mariculture: a global review. FAO Fisheriesand Aquaculture
Technical Paper No. 529. FAO. Rome, p. 47–131.
Wibisoso, Rico Wisnu, dkk.. 2011. Pengembangan IMTA (Integrated Multi
Trophic Aquaculture) Berbasis Ekosistem Lokal Melalui Peningkatan
Produksi Dan Diversifitas Yang Ramah LingkunganDi
Indonesia (Proposal). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yuniarsih, E., Nirmala, K., &Radiarta, I N. 2014.Tingkat penyerapan nitrogen


danfosforpadabudidayarumputlautberbasis IMTA (integratedmulti-trophic
aquaculture) di TelukGerupuk, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.J.
Ris. Akuakultur, 9(3), 487-501.

Anda mungkin juga menyukai