Anda di halaman 1dari 30

MARINE CULTURE

“PEMBESARAN SECARA SEMI INTENSIF DAN SISTEM


IMTA PADA BUDIDAYA UDANG VANAME
(LITOPENAEUS VANNAMEI)

LAPORAN PRAKTIKUM

Oleh:
Rahel Triasa
26040122120031
Kelompok 5

DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyusun laporan ini
sebagai tugas untuk memenuhi nilai praktikum Marine Culture. Laporan ini
membahas tentang “Pembesaran Udang Vaname Semi intensif dan IMTA”.
Dalam pembuatan laporan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan laporan ini. Dan penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen
pengampu dan asisten yang telah memberikan tugas Laporan Resmi Marine
Culture ini sehingga dapat menambah wawasan penulis mengenai budidaya udang
Vaname semi intensif..
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari
bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
penulis harapkan untuk penyempurnaan laporan selanjutnya. Akhir kata semoga
laporan ini dapat memberikan manfaat kepada penulis sendiri maupun pembaca
umum lainnya.

Semarang, 06 Mei 2023


Penulis

Rahel Triasa

2
DAFTAR ISI

COVER ...................................................................................................................1

KATA PENGANTAR ............................................................................................2

DAFTAR ISI ...........................................................................................................3

DAFTAR TABEL ..................................................................................................4

DAFTAR GAMBAR ..............................................................................................5

DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................6

1. PENDAHULUAN .......................................................................................7
1.1 LATAR BELAKANG ...........................................................................7
1.2 PERUMUSAN MASALAH ..................................................................8
1.3 TUJUAN ................................................................................................8
1.4 MANFAAT ............................................................................................8
2. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................9
2.1 ASPEK TEKNIS BUDIDAYA ORGANISME LAUT .........................9
2.1.1 PEMILIHAN LOKASI DAN SPESIES ....................................9
2.1.2 PERSIAPAN BUDIDAYA......................................................10
2.1.3 PENGELOLAAN PAKAN ......................................................11
2.1.4 PENGELOLAAN KUALITAS AIR DAN LIMBAH .............13
2.1.5 PENGELOLAAN PENYAKIT ...............................................15
2.1.6 PROSES PEMANENAN .........................................................17
2.1.7 PROSES PEMASARAN .........................................................18
3. MATERI DAN METODE .......................................................................20
3.1 MATERI ..............................................................................................20
3.2 METODE .............................................................................................20
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................22
4.1 BUDIDAYA SEMI INTENSIF ...........................................................22
4.2 TEKNIK PEMBESARAN UDANG VANAME SEMI INTENSIF ....22
4.3 INTEGRATED MULTI TROPIC AQUACULTURE (IMTA) ........................ 23
5. PENUTUP .................................................................................................25
5.1 KESIMPULAN ....................................................................................25
5.2 SARAN ................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................26

LAMPIRAN ....................................................................................................29

3
DAFTAR TABEL

TABEL 1 PEMAKAIAN PAKAN DAN PERTUMBUHAN UDANG ...............14

TABEL 2 KRITERIA LARVA SIAP PANEN .....................................................18

4
DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1. DIAGRAM PENGELOLAAN TAMBAK .....................................12

GAMBAR 2. UDANG YANG TERSERANG INFECTIOUS MYONECROSIS


VIRUS (IMNV) ......................................................................................................16

GAMBAR 3. UDANG YANG TERSERANG PENYAKIT BINTIK PUTIH .....17

5
DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1. DOKUMENTASI KEGIATAN PRAKTIKUM ................................... 29

6
1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Marikultur adalah istilah yang digunakan untuk budidaya organisme
laut dalam air laut, biasanya di perairan pantai terlindung. Marikultur
merupakan cabang khusus dari akuakultur yang melibatkan budidaya
organisme laut untuk makanan dan produk lainnya di laut terbuka, bagian
tertutup dari laut, atau di tangki, kolam atau saluran yang dipenuhi dengan air
laut. Budidaya laut, termasuk seperti udang ikan dan kerang, tiram dan rumput
laut atau di kolam air asin. Non-produk makanan yang dihasilkan oleh budidaya
meliputi: tepung ikan, nutrisi agar dan kosmetik. Budidaya perikanan melalui
marikultur kini mulai banyak dikembangkan di berbagai negara. Pengembangan
budidaya ini pun tidak terlepas dari makin menipisnya populasi ikan di laut dan
meningkatnya permintaan terhadap produk perikanan dari tahun ke tahun secara
internasional. Logikanya jika perikanan tangkap terus dikembangkan, besar
kemungkinan populasi berbagai jenis ikan dan hewan laut lainnya akan semakin
menipis dan punah, sehingga bisa mengganggu ekosistem laut secara
keseluruhan (Yuni et al., 2019).
Udang merupakan salah satu komoditas ekspor dari sub sektor
perikanan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Salah satu jenis udang yang
permintaannya cukup tinggi baik di dalam maupun luar negeri yaitu udang
vaname (Litopenaeus vannamei). Di Indonesia, keberadaan udang vaname
sudah bukan hal yang asing lagi karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki
oleh udang introduksi tersebut telah berhasil merebut simpati para
pembudidaya, sehingga sejauh ini keberadaannya dinilai dapat menggantikan
spesies udang windu (Penaeus monodon) sebagai alternatif kegiatan
diversifikasi usaha yang positif. Udang vaname secara resmi diperkenalkan
pada masyarakat pembudidaya pada tahun 2001 setelah menurunnya produksi
udang windu karena berbagai masalah yang dihadapi dalam proses produksi,
baik masalah teknis maupun non teknis. Produktivitas udang vaname dapat
mencapai lebih dari 13.600 kg/ha. Komoditas ini mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan spesies udang lainnya, antara lain lebih

7
mampu beradaptasi terhadap kepadatan tinggi, tahan terhadap serangan
penyakit, dapat hidup pada kisaran salinitas 5 hingga 30 ppt, serta mempunyai
tingkat Survival Rate (SR) atau kelulushidupan dan konversi pakan yang tinggi.
Dalam proses budidaya udang vaname, dibagi menjadi 3 sektor kegiatan, yakni
pembenihan, pendederan, dan pembesaran. Kegiatan pembesaran udang
vaname pada sistem budidaya semi intensif meliputi persiapan tambak,
penebaran benur, pemberian pakan, parameter kualitas air, monitoring
pertumbuhan, hama dan penyakit dari teknik pembesaran udang hingga
akhirnya panen (Ghufron et al., 2017).
Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) adalah budidaya
terintegrasi beberapa komoditas (spesies) dari tingkat tropik yang berbeda yang
mengoptimalkan penggunaan nutrien dan energi, sehingga bermanfaat untuk
penyelesaian masalah akumulasi nutrien di lokasi budidaya laut yang intensif.
Sistem IMTA merupakan sistem budidaya yang menggunakan komoditas
dengan tingkatan trofik yang berbeda. Penggunaan sistem IMTA dapat
membantu dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena setiap spesies
tertentu memiliki fungsi yang berbeda seperti karnivora, herbivora, dan filter
feeder sehingga keseimbangan ekosistem mampu terjaga dengan baik. Prinsip
dari sistem IMTA yaitu mendaur ulang limbah dari proses budidaya yang
dihasilkan oleh spesies utama menjadi sumber energi dan nutrisi bagi komoditas
lainnya sehingga menghasilkan produk yang dapat dipanen dan dapat
mengurangi dampak lingkungan (Azizah et al., 2018).

1.2. PERUMUSAN MASALAH


1) Apa yang dimaksud dengan budidaya semi intensif?
2) Bagaimana tenik pembesaran udang vaname secara semi intensif?
3) Apa yang dimaksud dengan IMTA?

1.3. TUJUAN
1) Mengetahui apa itu budidaya semi intensif
2) Mengetahui teknik pembesaran udang vaname secara semi intensif
3) Mengetahui apa itu IMTA

8
1.4. MANFAAT
1) Memahami lebih jauh mengenai budidaya semi intensif
2) Untuk mengetahui teknik pembesaran udang vaname secara semi
intensif
3) Memahami bagaimana sistem IMTA

9
2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Aspek Teknis Budidaya Organisme Laut


Budidaya organisme laut melibatkan sejumlah aspek teknis yang perlu
diperhatikan untuk memastikan keberhasilan produksi. Aspek teknis tersebut yaitu
pemilihan lokasi dan spesies. Lokasi harus dipilih dengan cermat berdasarkan
kondisi lingkungan seperti suhu air, ketersediaan nutrisi, oksigen, kecepatan arus,
dan kualitas air lainnya. Selain itu, lokasi harus dipilih untuk meminimalkan efek
negatif pada lingkungan dan masyarakat setempat. Lalu desain dan konstruksi
sistem budidaya, sistem budidaya harus didesain dan dikonstruksi untuk memenuhi
kebutuhan spesies yang dibudidayakan. Faktor-faktor seperti kedalaman air, ukuran
kandang, dan sistem pemberian pakan dan aerasi harus dipertimbangkan dengan
cermat. Pengelolaan kualitas air, kualitas air adalah faktor kunci dalam budidaya
organisme laut. Pengukuran dan pemantauan kualitas air secara teratur harus
dilakukan untuk memastikan kondisi optimal bagi spesies yang dibudidayakan
(Hermawan et al., 2020).
Aspek teknis selanjutnya adalah pemberian pakan, pemberian pakan harus
dilakukan secara tepat waktu dan dengan jumlah yang cukup. Nutrisi yang tepat
diperlukan untuk pertumbuhan yang optimal dan kesehatan organisme laut.
Pengendalian penyakit organisme laut rentan terhadap penyakit. Pengawasan dan
tindakan pencegahan harus dilakukan secara teratur untuk mencegah penyebaran
penyakit dan mengurangi dampaknya terhadap populasi yang dibudidayakan.
Pemanenan dan penanganan pasca panen harus dilakukan dengan hati-hati untuk
memastikan kualitas produk yang optimal. Organisme laut harus diproses dan
disimpan dengan benar untuk mempertahankan kualitas dan kesegarannya.
Pemasaran, pemasaran produk harus dipertimbangkan dengan cermat untuk
memastikan bahwa ada pasar yang memadai untuk produk budidaya organisme
laut. Perlu dikembangkan strategi pemasaran yang efektif untuk meningkatkan
kesadaran konsumen dan meningkatkan penjualan produk. Itulah beberapa aspek
teknis dari budidaya organisme laut, namun akan dijelaskan lebih detail pada sub-
sub bab berikutnya.

10
2.1.1 Pemilihan Lokasi dan Spesies
Lokasi usaha pembenihan udang merupakan langkah awal yang harus di
lakukan sebelum melakukan atau membangun sebuah unit pembenihan. Kesesuaian
lokasi bertujuan untuk memaksimalkan kinerja produksi. BBPBAP Jepara, (2017)
mengatakan, ada beberapa aspek kesesuaian lokasi yang perlu diperhatikan dalam
membangun sebuah unit pembenihan, yaitu:
1. Lokasi sesuai standar kelayakan pembenihan ikan air payau dengan prasarana
transportasi yang memadahi serta akses yang mudah dituju oleh para
pembudidaya udang.
2. Terhindar dari banjir dan bebas dari pencemaran.
3. Sumber air sesuai persyaratan yang dibutuhkan oleh unit pembenihan dan kaidah
CPIB (Cara Pembenihan Ikan yang Baik).
4. Lahan bebas konflik dan atas nama atau milik sendiri.
5. Lahan usaha telah dipersiapkan untuk pembangunan percontohan unit
pembenihan udang.
6. Sarana penunjang operasional dilokasi pembenihan dapat memenuhi kebutuhan
dengan penerapan teknologi yang akan dikembangkan (teknologi anjuran)
Pemilihan spesies dalam budidaya sangatlah penting, karena spesies yang
tepat akan mempengaruhi keberhasilan budidaya. Menurut Buwono et al. (2020)
beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memilih spesies untuk budidaya
yakni harus memperhatikan kebutuhan lingkungan: spesies yang dipilih harus
cocok dengan lingkungan budidaya, seperti suhu air, pH, kadar oksigen, dan
ketersediaan nutrisi. Setiap spesies memiliki kebutuhan yang berbeda, sehingga
penting untuk memilih spesies yang cocok dengan kondisi lingkungan yang
tersedia. Selain kebutuhan lingkungan, sifat-sifat biologis spesies juga harus
dipertimbangkan. Beberapa spesies memiliki tingkat reproduksi yang tinggi dan
dapat tumbuh dengan cepat, sementara yang lain lebih sulit untuk ditumbuhkan dan
memiliki siklus hidup yang panjang. Pemilihan spesies yang tepat akan membantu
meningkatkan efisiensi produksi. Faktor berikutnya ialah permintaan pasar:
Pemilihan spesies juga harus mempertimbangkan permintaan pasar. Beberapa
spesies memiliki nilai jual yang lebih tinggi daripada yang lain, sehingga dapat
lebih menguntungkan secara ekonomi. Tak hanya itu, ketersediaan bibit spesies

11
yang dipilih juga harus diperhatikan. Beberapa spesies memerlukan bibit yang sulit
diperoleh, sehingga dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya. Terakhir, perlu
dipertimbangkan persyaratan hukum dan regulasi dalam memilih spesies untuk
budidaya. Beberapa spesies mungkin terlarang untuk dibudidayakan di beberapa
daerah atau negara, atau mungkin memerlukan izin khusus untuk dibudidayakan.

Gambar 1. Diagram pengelolaan tambak


(Sumber : Hidayat et al., 2019)

2.1.2 Persiapan Budidaya


Persiapan budidaya organisme laut, seperti ikan, udang, kerang, dan rumput
laut, memerlukan beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum memulai
budidaya. Persiapan yang perlu diperhatikan adalah memilih jenis organisme laut
yang akan dibudidayakan dan memilih jenis yang sesuai dengan lingkungan
budidaya dan permintaan pasar. Hal penting selanjutnya adalah menyiapkan lokasi
budidaya. Dan memastikan lokasi budidaya memenuhi persyaratan lingkungan
seperti kualitas air yang baik, salinitas air yang sesuai, suhu air yang optimal, dan
sumber air yang cukup. Dalam persiapan budidaya juga perlu menyiapkan dan
memilih bibit atau benih yang berkualitas. Pastikan bibit atau benih yang akan
digunakan sehat, bebas dari penyakit, dan memiliki potensi untuk tumbuh dengan
baik. Hal yang juga harus diperhatikan ialah menyiapkan pakan yang tepat dan
memastikan pakan yang disediakan sesuai dengan jenis organisme laut yang
dibudidayakan dan berkualitas baik (Johan et al., 2019).
Menyiapkan rencana manajemen budidaya merupakan hal yang harus ada
dalam persiapan budidaya. Rencana manajemen budidaya meliputi perencanaan
pemeliharaan, pengawasan dan pengendalian, serta evaluasi hasil budidaya.

12
Pengawasan dan pengendalian yang dimakasud ialah mengawasi kesehatan dan
perkembangan spesies secara teratur untuk mengidentifikasi permasalahan atau
penyakit yang mungkin terjadi. Evaluasi hasil budidaya dilakukan secara berkala
untuk mengukur kesuksesan budidaya, seperti pertumbuhan dan produksi. Evaluasi
juga dapat membantu menemukan area yang perlu ditingkatkan atau diubah untuk
meningkatkan produktivitas. Berdasarkan hasil evaluasi, perbaikan atau
penyesuaian yang diperlukan haruslah dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
dan kesehatan spesies. Perbaikan meliputi tindakan pembenahan lingkungan,
penyesuaian rencana pakan, atau penerapan teknologi baru untuk meningkatkan
efisiensi budidaya (Sunardi et al., 2020).

2.1.3 Pengelolaan Pakan


Menurut Hermawan (2020), pakan yang baik adalah pakan yang
mengandung nutrisi lengkap, tidak rusak dan tidak berjamur. Sebaiknya pakan yang
digunakan berasal dari perusahaan yang telah memperoleh sertifikat dari Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan, yaitu minimal
kandungan protein pakan 30%. Pakan disimpan pada tempat yang bersih, kering,
terlindung, dan bebas dari hewan pengganggu, seperti tikus, serangga, dan ayam
(karena dapat menyebabkan kontaminasi patogen ke dalam pakan). Pakan yang
diberikan pada hari pertama penebaran, disesuaikan dengan kebiasaan udang yang
telah diberi pakan secara teratur setiap hari di hatchery. Pemberian pakan
disesuaikan dengan ketersediaan pakan alami di tambak dan kondisi kesehatan
udang. Pemberian pakan pada hari-hari awal, menggunakan takaran tetap (blind
feeding). Jika populasi udang sebanyak 100.000 ekor PL, maka dosis pemberian
pakan pada hari pertama penebaran, yaitu sebanyak 2 kg; selanjutnya jumlah pakan
ditambah sekitar 400 g (20%) per hari sampai umur 30 hari. Untuk meyakinkan
kecukupan dosis pemberian pakan dapat dilakukan dengan mengamati usus udang
dengan menggunakan anco (dilakukan pada saat udang sudah dapat diamati).
Apabila usus udang penuh dengan makanan, berarti dosis yang diberikan telah
cukup. Pemakaian pakan dan berat udang dapat dilihat pada Tabel 1

13
Tabel 1. Pemakaian pakan dan pertumbuhan udang
Umur MBW Size Pakan Total Nomor Kincir
(hari) (g) (ek/kg) (kg/hari) (kg) pakan (buah) (Jam)
5 0.34 2941.2 0 0 0 0 0
10 0.75 1333.3 5 20 682 0 0
15 1.38 724.6 5 45 682/683 0 0
20 2.00 500.0 6 75 683 0 0
25 2.75 363.6 7 110 683 0 0
30 3.50 285.7 7 145 683 1 5
35 4.50 222.2 7 180 683 1 6
40 5.60 178.6 8 220 683 1 6
45 6.80 147.1 8 260 683 1 6
50 8.10 123.5 9 305 683 1 6
55 9.50 105.3 9 350 683 1 7
60 9.77 102.4 10 400 683 1 7
65 9.98 100.2 10 450 683 1 7
70 10.07 99.3 11 505 683 1 7
75 10.56 94.7 11 560 683 1 7
80 10.88 91.9 12 620 683 1 7
85 11.12 89.9 13 685 683 2 5
90 11.36 88.0 13 750 683 2 5
(Sumber: Hermawan et al., 2020)

Manajemen pemberian pakan yang tepat, sesuai dengan laju konsumsi dan
laju pertumbuhan yang ditentukan dengan metode sampling pertumbuhan untuk
menekan FCR (Food Conversion Ratio). Frekuensi pemberian pakan pada udang
yang berumur kurang dari satu bulan, cukup 2 sampai 3 kali sehari (karena pakan
alami masih cukup tersedia di tambak). Setelah udang berumur 10 hari maka
frekuensi pemberian pakan ditingkatkan menjadi 4 sampai 5 kali sehari dengan
menggunakan panduan anco untuk menentukan jumlah pakan. Pakan komersil yang
digunakan memperhatikan kandungan gizi pakan, minimal kandungan protein 30%.
Pada percontohan ini menggunakan pakan buatan dari CP Prima dengan kode pakan
682 dan 683 dengan kandungan protein 30%. Anco digunakan untuk memantau laju
konsumsi pakan dan memprediksi jumlah pakan yang akan ditebar selanjutnya.
Selain itu, anco berfungsi untuk mengontrol kesehatan dan pertumbuhan udang.
Jumlah anco berkisar 4 sampai 6 per petak tambak. Penggunaan anco untuk
pengontrolan pakan dilakukan setelah udang berumur 20 hari. Pemberian pakan
disertai dengan pemberian sedikit pakan di anco untuk membiasakan udang makan
di anco (Arsad et al., 2017)

14
2.1.4 Pengelolaan Kualitas Air dan Limbah
Sumber air untuk budidaya ikan harus memenuhi persyaratan kualitas ar
yang sesuai, baik secara biologis, fisika maupun kimia. Kualitas air harus jernih tapi
kaya akan pakan alami, tidak mengandung bahan-bahan yang beracun, serta suhu
dan pH sesuai dengan jenis ikan yang dibudidayakan. Menurut Munajat dan
Budiana (2003), air merupakan media yang paling vital bagi ikan maupun
organisme budidaya lainnya. Kenyamanan hidup ikan sangat tergantung pada
kualitas air. Kualitas air yang buruk akan mempengaruhi metabolisme tubuh ikan.
Air sebagai media hidup ikan harus memiliki sifat yang cocok bagi kehidupan ikan,
karena kualitas air dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan makhluk
hidup di air.
Biasanya penambahan air juga dilakukan pada tambak dengan tujuan untuk
mempertahankan ketinggian permukaan air dalam tambak. Pergantian air dilakukan
dengan mempertahankan kualitas air (kualitas air diukur, setelah pergantian air).
Penggantian air dilakukan dengan mengurangi air (sekitar 10% dari total
keseluruhan air dalam tambak), kemudian ditambahkan air yang berasal dari
tandon. Air yang ditambahkan ke dalam tambak, sebaiknya menggunakan selasar
(pemecah air), dengan tujuan meningkatkan kadar oksigen dan menghindari
naiknya bahan beracun dari dasar tambak (Sahrijanna & Septiningsih, 2017).
Karena organisme laut sangat peka sekali terhadap lingkungan dan hidupnya
tergantung sekali dengan kualitas air, maka sebaiknya menghindari pemilihan
lokasi yang sumber airnya tercemar, baik itu oleh limbah pabrik atau limbah rumah
tangga, karena bisa megakibatkan kematian pada ikan. Pengkondisian air tambak
menjadi salah satu kunci keberhasilan kegiatan budidaya ikan tumbuh secara
optimal apabila kualitas air tambak yang digunakan sangat baik (Kunia et al., 2016).

2.1.5 Pengelolaan Penyakit


Pencegahan masuknya hama dan penyakit udang dilakukan sejak tahap
persiapan tambak. Salah satu langkah yang dilakukan yaitu dengan memasang CPD
(Crab Protecting Device) di bagian tepi tambak. Hal ini dimaksudkan agar kepiting
tidak dapat masuk ke perairan budidaya. Selain sebagai hama yang dapat menjadi
kompetitor udang dalam hal pakan, oksigen terlarut dan ruang gerak, kepiting juga
dapat sebagai agen pembawa suatu penyakit, misalnya WSSV. Selain itu, upaya

15
yang dilakukan untuk mencegah adanya hama dan penyakit yaitu dengan
pemberian krustasida, cupri sulfat, kaporit dan probiotik yang telah dijelaskan pada
subbab persiapan tambak. Lingkungan yang tercemar akan mengakibatkan kondisi
biota menurun sehingga mudah terserang penyakit (Kilawati dan Maimunah, 2016).
Lingkungan yang bersangkutan dengan aspek sosial pun menjadi pertimbangan
pada saat akan membangun unit pembenihan. Ada beberapa aspek lingkungan yang
harus di pertimbangkan pada saat akan membangun unit pemebenihan seperti
pencemaran setempat hatchery dapat membuang limbah yang kaya akan nutrien,
penularan penyakit dari satu hatcheri ke hatchery lain, baik melalui kontak secara
langsung maupun melalui buangan dari hatchery dan daerah rawan terjadi konflik
kepentingan antar masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut (Pratama et al,
2017).

Gambar 2. Udang yang terserang Infectious Myonecrosis Virus (IMNV)


(Sumber : Hidayat et al., 2019)
Hama merupakan jenis organisme yang mengakibatkan kerugian bagi
pembudidaya. Proses timbulnya hama pada lingkungan budidaya disebabkan oleh
lemahnya fungsi biosekuriti yang diterapkan. Hama yang sering ditemukan dalam
lingkungan budidaya antara lain ikan liar pada tandon penampungan, Ketam, dan
Tritip). Pengendalian penyakit pada larva dapat dilakukan dengan pencegahan dan
pengobatan. Seperti penyakit pada udang Vaname disebabkan oleh hasil interaksi
kompleks antara tiga komponen dalam ekosistem perairan yaitu inang (udang)
lemah, patogen ganas, dan kualitas lingkungan yang buruk. Patogen tersebut berupa
virus, jamur, parasit, dan bakteri (Hidayat et al., 2019).

16
Gambar 3. Penyakit Bintik Putih (White Spot) Pada Udang
(Sumber : Nurlatu, 2019)

2.1.6 Proses Pemanenan


Menurut Ghufron (2017), udang dapat dipanen setelah memasuki ukuran
pasar (100-30 individu/ kg). Untuk mendapatkan kualitas udang yang baik, sebelum
panen dapat dilakukan penambahan dolomit untuk mengeraskan kulit udang dengan
dosis 6-7 ppm. Selain dolomit juga dapat menggunakan kapur Ca (OH)2 dengan
dosis 5–20 ppm sehari sebelum panen untuk menaikkan pH air hingga 9 agar udang
tidak molting. Pemanenan sangat ditentukan oleh jarak dan waktu tujuan
pengiriman. Pemanenan lebih baik dilakukan pada waktu malam hingga pagi hari
atau pada suhu rendah (< 21ºC) dengan tujuan untuk mengurangi resiko kerusakan
mutu udang.
Panen udang dapat dilakukan secara parsial atau panen total. Panen parsial
dilakukan pada pagi hari untuk menghindari udang molting dan DO rendah. Udang
telah mencapai ukuran 100 ind./kg (dipanen sebanyak 20 sampai 30% dari jumlah
udang). Panen dilakukan pada umur 90 hari dengan berat rata-rata udang 11.4 g
atau pada size 88 ekor/kg. Harga jual pada saat panen adalah Rp 77.000/kg. Selain
itu pemanenan malam hari juga untuk menghindari terik matahari dan resiko udang
berganti kulit (Briggs, 2011). Pemanenan dilakukan dua kali yaitu panen parsial
dan panen total. Panen parsial adalah panen udang sebagian untuk mengurangi
kepadatan udang ditambak. Panen parsial dilakukan ketika udang berumur 101-104
hari dengan bobot rata-rata berkisar antara 21,85-22,70 gram dan ukuran udang
berkisar antara 44-45 ekor/kg. Panen total adalah panen udang secara keseluruan
(kering). Panen total dilakukan ketika udang berumur 125-126 hari. dengan bobot
rata-rata berkisar antara 28,07-29,23 gram dan ukuran udang berkisar antara 34-35
ekor/kg Kriteria larva siap panen dapat dilihat pada Tabel 2.

17
Tabel 2. Kriteria larva siap panen

(Sumber: Hermawan et al., 2020)

2.1.7 PROSES PEMASARAN


Pemasaran merupakan sebuah kegiatan pendistribusian Larva dengan cara
mengirimkan kepada pembeli. Pemasaran larva udang Vaname dilakukan dengan
transportasi tertutup dan terbuka. Pengangkutan metode tertutup dilakukan apabila
tujuan pengiriman diluar pulau (bandara dan pelabuhan), sedangkan pengakutan
dengan metode terbuka dilakukan apabila jarak antara unit produksi dengan lokasi
pembesaran tidak jauh (mobil dan Truk). Para petambak biasanya sudah
berkomunikasi dengan calon pembeli sebelum dilakukan kegiatan pemanenan.
Setelah mencapai kesepakatan harga, para pembeli akan berdatangan ke lokasi
ketika proses pemanenan dilakukan dengan membawa styrofoam/cool box sendiri.
Udang vannamei memiliki nilai ekonomis terbesar, pernyataan ini didukung
oleh petani yang telah dijumpai di lokasi pada penelitian yang telah dilakukan oleh
Ghufron et al., 2017). Petani lebih suka membudidayakan vannamei karena panen
yang lebih cepat dan lebih menguntungkan. Menurut Fariyanto (2017), di
Indonesia, dalam dekade terakhir ini budidaya udang dikembangkan secara mantap
dalam rangka menanggapi permintaan pasar udang dunia. Pengembangan budidaya
udang vannamei semakin pesat menggantikan budidaya udang lainnya, alasan
utama beralihnya pembudidayaan udang lain ke udang vannamei antara lain adalah
laju pertumbuhan udang vannamei yang cepat serta kerentanan yang rendah
terhadap penyakit. Hal ini ditunjukkan mulai menurunnya produksi industri
budidaya udang lainnya akibat patogen viral yang menyerang udang, produksi

18
udang kemudian meningkat lagi dengan pesat setelah di budidayakannya udang
vannamei.

19
3 MATERI DAN METODE

3.1 Materi
Praktikum lapangan Marikultur dilakukan di MSTP pada tanggal 18 Maret 2023
pada pukul 10.00-14.00 WIB. Pada praktikum lapangan tersebut dijelaskan
bagaimana proses pembenihan hingga pembesaran udang vaname. Pada kelompok
5 mendapatkan bagian mengenai pembesaran udang vaname secara semi intensif.
Pada praktikum tersebut diketahui bahwa proses budidaya udang vaname semi
intensif diawali dengan persiapan lahan, kemudian dilanjutkan dengan masa
budidaya yang dimana sistem budidaya semi intensif dilakukan dengan memakai
bakteri / plankton, lalu dilanjutkan dengan manajemen kualitas air, pemberian
pakan, pencegahan hama dan penyakit hingga panen.

3.2 Metode
Pada praktikum yang telah dilakukan terdapat beberapa langkah-langkah dalam
pembesaran udang vaname secara semi intensif yaitu:
1. Dilakukan persiapan lahan dengan pengeringan selama 2 minggu
2. Pengisian air dilakukan kurang lebih selama 1 minggu
3. Dilakukan proses pembentukan plankton kurang lebih 3-5 hari.
4. Penumbuhan plankton dilakukan dengan sterilisasi yang digunakan untuk
membunuh telur moluska.
5. Selanjutnya pembentukan plankton dilakukan dengan fermentasi FRB
(Fermentasi Rice Brand). Jenis bakteri yang digunakan ialah bakteri
probiotik (dominan Bacillus)
6. Kemudian FRB diaplikasikan setiap hari sampai terbentuk kecerahan 50-
60, lalu benur siap ditebar.
7. Penebaran baiknya dilakukan saat suhu rendah
8. 20gr Bacillus ditebar per 100 m2
9. Setelah penebaran benur, masuk ke budidaya yang diawali dengan
manajemen kualitas air dengan memperhatikan parameter biologi, fisika,
dan kimianya
10. Pemberian pakan dilakukan sesuai dengan usia udang

20
11. Penentuan pakan per 100.000 ekor sebanyak 3 kg dengan kenaikan 2,4,6
atau 3,5,8
12. Selanjutnya, dilakukan pencegahan hama dan penyakit dengan cara
biosecurity (dipasang CPD), lalu untuk pencegahan penyakit dapat
dilakukan dengan mencampur pakan menggunakan vitamin B dan C serta
mineral
13. Kegiatan sampling dilakukan untuk mengetahui berat dan pertumbuhan
udang
14. Kemudian dilakukan kegiatan parsial dengan tujuan melonggarkan kolam
agar pertumbuhan tidak lambat.
15. Masa panen dapat dilakukan

21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Budidaya Semi Intensif


Sistem semi insentif merupakan teknik budidaya peralihan, antara budidaya
ekstensif (alami) dan budidaya intensif (buatan). Sistem ini dinilai cocok untuk
budidaya ikan dan udang di tambak karena dampaknya terhadap lingkungan relatif
lebih kecil. Selain itu, sarana dan prasarana produksi dinilai jauh lebih murah
dibandingkan tambak intensif. Manajemen pengelolaan tambak semi intensif
tergolong lebih mudah dibandingkan dengan tambak intensif, karena pada
penebaran benur atau benih tidak terlalu tinggi, begitu pula kebutuhan pakan yang
tidak sepenuhnya mengandalkan pakan buatan. Penurunan kualitas air juga tidak
sedrastis tambak intensif, karena tumpukan limbah organik berasal dari sisa pakan
dan kotoran udang. Kualitas air dapat dipertahankan dengan dengan cukup baik
hingga menjelang panen (Galasso et al., 2020).
Besarnya keuntungan yang diperoleh dari tambak semi intensif tidak terlepas
dari biaya kebutuhan sarana dan prasarana yang jauh lebih murah. Penerapan
tingkat teknologi budidaya ini juga berpengaruh terhadap hasil produksi pada
proses pemeliharaan berikutnya. Untuk itu, penetapan teknologi budidaya ini akan
lebih menguntungkan. Hal ini didasari oleh perhitungan ekonomis yang
memberikan tingkat keuntungan paling optimal dengan jangka waktu paling lama.
Salah satu kelebihan udang vaname adalah dapat dibudidayakan dengan kepadatan
yang tinggi sehingga harus dipelihara pada level budidaya semi intensif. Namun
akibat dari kepadatan yang tinggi dengan aplikasi pakan yang tinggi pada level
budidaya semi intensif, akan terjadi akumulasi bahan organik berupa pakan yang
tidak termakan (uneaten feed), limbah metabolime (ekskresi) udang, kotoran (feses)
udang serta plankton yang mati yang berada di dasar kolam, sehingga dibutuhkan
usaha untuk mengontrol bahan-bahan tersebut agar kualitas air dapat terpelihara
selama pemeliharaan (Hakim et al., 2018).

4.2 Teknik Pembesaran Udang Vaname Secara Semi Intensif


Udang vaname adalah salah satu udang yang menjadi favorit untuk dipelihara
karena memiliki potensi keuntungan lebih banyak dibandingkan dengan jenis udang

22
lain, selain itu, udang vaname juga dapat dibudidayakan dengan berbagai cara
sesuai kemampuan yang dimiliki dan kondisi lahan yang ada salah satu cara untuk
melakukannya ialah dengan menggunakan teknik semi intensif yang dapat
dilakukan di lahan sedang attau tidak terlalu luas serta tidak membutuhkan biaya
yang telalu tinggi. Yang membedakan system budidaya semi intensif dengan yang
lainnya ialah system budidaya nya yang memakai bakteri/plankton (Bacillus). Pada
budidaya udang vaname secara semi intensif, kepadatan udang mencapai 80-100
ekor/meter.
Tahapan awal pada budidaya semi intensif ialah menumbuhkan plankton yang
diawali dengan sterilisasi CuSO4, kaporit atau saponin untuk membenuh telur-telur
mollusca. Selanjutnya adalah pembentukan plankton, pembentukan plankton dapat
dilakukan dengan fermentasi FRB (Fermentasi Rice Brand). Jenis bakteri yang
dipakai adalah bakteri probiotik yang dominan bacillus.Namun pada saat
pembentukan plankton perlu di aplikasikan rice brand, aqua zinc, molase, ragi
instan, dan air tawar yang diaerasi selama 48 jam sampai terbentuk kecerahan.
Semua komponen tersebuut di aplikasikan setiap hari. Dalam tahap pembesaran
dalam budidaya udang hal yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air,
pemberian pakan, serta pencegahan hama dan penyakit. Dalam manajemen kualitas
air bisa dilihat dari parameter biologinya seperti plankton dan bakteri. Pemberian
pakan pada udang vaname tergantung dari usia udang vaname, pada usia 11-50 hari
pemberian pakan diberikan 4 kali sehari yaitu pada pagi, siang, sore, dan m alam
hari sedangkan untuk usia udang yang >50 hari pemberian pakan dilakukan lebih
dari 5 kali sehari.

4.3 Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA)


Menurut Kleitou et al. (2018) Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA)
adalah budidaya terintegrasi beberapa komoditas (spesies) dari tingkat tropik yang
berbeda yang mengoptimalkan penggunaan nutrien dan energi, sehingga
bermanfaat untuk penyelesaian masalah akumulasi nutrien di lokasi budidaya laut
yang intensif, menjadi salah satu cara untuk keberlanjutan perikanan budidaya
jangka panjang (long-term) sekaligus mitigasi perubahan iklim, sebagai balanced
ecosystem management approach pada model pengembangan perikanan budidaya

23
dan mewujudkan keberlanjutan lingkungan dan ekonomi (Park et al. 2018). IMTA
telah lama diimplementasi di Asia, terbukti dapat mewujudkan keberlanjutan
perikanan budidaya karena berpotensi mendorong efisiensi ekologi, diterima
lingkungan, diversifikasi produk, keuntungan dan manfaat sosial. Diskusi
keberlanjutan usaha pembudidayaan ikan selama ini pada umumnya luput dalam
mempertimbangkan potensi dampak negatif dari perubahan iklim. Perubahan iklim
dan segala dampak yang ditimbulkan akan menentukan kelangsungan dan
keberlanjutan usaha pembudidayaan ikan (Ahmed et al. 2018), termasuk komoditas
laut dengan metode KJA. Diantara dampak perubahan iklim di Indonesia adalah
potensi gelombang ekstrem dapat mengalami peningkatan 1,0-1,5 m dan rata-rata
kenaikan muka laut (sea level rise) 0,9 cm per tahun (Bappenas 2021), intrusi air
laut, asidifikasi serta bencana alam (Hossain et al. 2021). Untuk keberlanjutan
jangka panjang maka perikanan budidaya berkepentingan dan perlu
mempertimbangkan permasalahan perubahan iklim.
Pada implementasinya, masing-masing pembudidaya menerapkan IMTA pada
unit budidaya atau memelihara komoditas ekstraktif pada suatu kawasan terbatas
sesuai dengan kemampuan adopsi teknologi dan permodalan. Shpigel et al. (2018)
merekomendasikan perbandingan luas permukaan perairan untuk tiga kelompok
komoditas sistem IMTA adalah 1:3:4 secara berurutan untuk ikan, Ulva lactuca dan
bulu babi. Rasio komoditas utama dengan komoditas ekstraktif pada IMTA
tergantung pada komposisi spesies, teknologi yang diaplikasikan dan kondisi
lingkungan budidaya. Pendekatan dynamic energy budget (DEB) adalah model
yang dapat digunakan untuk mengestimasi kapasitas bioremidiasi pada suatu
IMTA. IMTA terbukti sebagai pendekatan budidaya laut berkelanjutan yang
penerapannya terbuka luas di perairan umum China. Dengan karakteristik biofisik
dan kimia perairan tropis Indonesia, implementasi IMTA seharusnya berpeluang
lebih besar dengan pilihan komoditas yang lebih beragam. Dibutuhkan dukungan
penelitian terkait pakan yang efektif untuk benih dan pembesaran serta
manajemennya, parameter lingkungan yang optimal, metode budidaya, serta jenis
hama & penyakit dan penanggulangannya (Galasso et al. 2020).

24
5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
1. Manajemen pengelolaan tambak semi intensif tergolong lebih mudah
dibandingkan dengan tambak intensif, karena pada penebaran benur atau
benih tidak terlalu tinggi, begitu pula kebutuhan pakan yang tidak
sepenuhnya mengandalkan pakan buatan. Penurunan kualitas air juga tidak
sedrastis tambak intensif, karena tumpukan limbah organik berasal dari sisa
pakan dan kotoran udang. Kualitas air dapat dipertahankan dengan dengan
cukup baik hingga menjelang panen.
2. Teknik semi intensif dapat dilakukan di lahan sedang atau tidak terlalu luas
serta tidak membutuhkan biaya yang telalu tinggi. Yang membedakan
sistem budidaya semi intensif dengan yang lainnya ialah sistem
budidayanya yang memakai bakteri/plankton (Bacillus). Pada budidaya
udang vaname secara semi intensif, kepadatan udang mencapai 80-100
ekor/meter.
3. Integrated Multi Tropic Aquaculture (IMTA) adalah budidaya terintegrasi
beberapa komoditas (spesies) dari tingkat tropik yang berbeda yang
mengoptimalkan penggunaan nutrien dan energi, sehingga bermanfaat
untuk penyelesaian masalah akumulasi nutrien di lokasi budidaya laut yang
intensif, menjadi salah satu cara untuk keberlanjutan perikanan budidaya
jangka panjang (long-term)

5.2 Saran
Adapun saran yang dapat penulis berikan dalam budidaya pada praktikum lapangan
yaitu:
1. Perlunya peningkatan pengawasan kinerja terhadap karyawan, agar semua dapat
berjalan lancar sesuai dengan prosedur.
2. Perlu adanya proses pengolahan air buangan agar tidak mencemari lingkungan
tambak sekitar.
3. Perlunya penerapan biosecurity yang baik untuk menghindari kontaminasi yang
dapat terjadi.

25
DAFTAR PUSTAKA

[Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional., 2021. Penilaian


Kegiatan Pembangunan Ketahanan Iklim Sektor Kelautan dan Pesisir:
Subsektor Pesisir. Bappenas. Jakarta.
Ahmed N, Thompson S and Glaser M., 2018. Global Aquaculture Productivity,
Environmental Sustainability, and Climate Change Adaptability.
Environmental Management 63:159-172.
Arsad, S., Afandy, Purwadhi, A. P. Maya. V. B. Saputra dan Buwono., 2017. Studi
Kegiatan Budidaya Pembesaran Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)
dengan Penerapan Sistem Pemeliharaan Berbeda [Study of Vaname Shrimp
Culture (Litopenaeus vannamei) in Different Rearing System]. Jurnal Ilmiah
Perikanan dan Kelautan, 9(1), 1–14.
Azizah, I., S. Rejeki, R. W. Ariyati., 2018. Performa Pertumbuhan Udang Windu
(Penaeus Monodon) yang Dibudidayakan Bersama Rumput Laut
(Gracilaria Sp.) dengan Padat Tebar yang Berbeda Menerapkan Sistem
Integrated Multi-Trophic Aquaculture (IMTA). Jurnal Sains Akukultur
Tropis., 2(2): 1-11.
BBPBAP-Jepara., 2017. Petunjuk Teknis Revitalisasi Hatchery Skala Rumah
Tangga (HSRT). Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara
(BPBBAP) - Jepara.
Buwono, N. R., M. Mahmudi, M. Musa, S. Arsad dan E. D. Lusiana., 2020.
Implementasi Sistem Budidaya Semi Intensif Udang Vanamei (Litopenaeus
vannamei) di Desa Temaji Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban. Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat., 4(1): 2581-1932.
Farkan, M., Djokostiysnto, D., Widjaja, R. S., Kholil, dan Wididatmaka., 2017.
Kesesuaian Lahan Tambak Budi Daya Udang Dengan Faktor Pembatas
Kualitas Air, Tanah dan Infrastruktur di Teluk Banten Indonesia. Jurnal
Segara, 13(1), 1–8.
Galasso HL, Lefebvre S, Aliaume S, Sadoul B and Callier MD., 2020. Using the
Dynamic Gnergy Budget Theory to Evaluate the Bioremediation Potential

26
of the Polychaete Hediste diversicolor in an Integrated Multi-Trophic
Aquaculture System. Ecological Modelling 437(109296):1-10.
Ghufron, M., M. Lamid, P. D. W. Sari dan H. Suprapto., 2017. Teknik Pembesaran
Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) pada Tambak Pendampingan PT.
Central Proteina Prima Tbk di Desa Randutatah, Kecamatan Paiton,
Probolinggo, Jawa Timur. Journal of Aquaculture and Fish Health., 7(2).
Hakim, L., Supono, Adiputra, Y. T., dan Waluyo, S., 2018. Performa Budidaya
Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) Semi Intensif di Desa Purworejo
Kecamatan Pasir Sakti Kabupaten Lampung Timur. E-Jurnal Rekayasa dan
Teknologi Budidaya Perairan, 6(2), 691–698.
Hermawan, R., D. Wahyudi, M. Akbar, W. A. T. A. M. Salanggon dan Y. S. Adel.,
2020. Penerapan Teknologi Budidaya Udang (Litopenaeus Vannamei) Semi
Intensif pada Tambak Udang Tradisional. Journal of Character Education
Society., 3(3): 460-471.
Hidayat, K. W., I. A. Nabilah, S. Nurazizah dan B. I. Gunawan., 2019. Pembesaran
Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei) di PT. Dewi Laut Aquaculture
Garut Jawa Barat. Journal of Aquaculture and Fish Health., 8(3).
Johan, M. D., Supono dan Suparmono., 2019. Kajian Sintasan dan Pertumbuhan
Benih Ikan Badut Amphiprion percula (Bloch,1801) yang Dipelihara pada
Media Salinitas yang Berbeda. Jurnal Kelautan., 12(2): 1907-9931.
Kilawati, Y. dan Y. Maimunah., 2014. Kualitas Lingkungan Tambak Intensif
Litopenaeus vannamei dalam Kaitannya dengan Prevalensi Penyakit White
Spot Syndrome Virus. Research Journal of Life Science, 2 (1) : 50-59.
Kleitou P, Kletou D. dan David J., 2018. Is Europe Ready for Integrated
Multitrophic Aquaculture? A Survey on the Perspectives of European
Farmers and Scientists with IMTA Experience. Aquaculture 490:136-148.
Munajat, A dan Budiana., 2003. Pestisida Nabati untuk Penyakit Ikan. Penebar
Swadaya, Jakarta, 87 hlm.
Park. M., Shin, Do YH, Yarish C and Kim JK., 2018. Application of Open Water
Integrated Multi-Trophic Aquaculture to Intensive Monoculture: A Review
of the Current Status and Challenges in Korea. Aquaculture 497:174-183.

27
Pratama, A., Wardiyanto, dan Supono., 2017. Studi Performa Udang Vaname
(Litopenaeus vannamei) yang Dipelihara dengan Sistem Semi Intensif pada
Kondisi Air Tambak dengan Kelimpahan Plankton yang Berbeda pada Saat
Penebaran. E-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan, 6(1), 643–
651.
Sahrijanna, A. dan Septiningsih., 2017. Variasi Waktu Kualitas Air pada Tambak
Budidaya Udang dengan Teknologi Integrated Multitrophic Aquaculture
(IMTA) di Mamuju Sulawesi Barat. Jurnal Ilmu Alam dan Lingkungan,
8(2), 52–57.
Sahrijanna, A., dan Septiningsih., 2017. Variasi Waktu Kualitas Air pada Tambak
Budidaya Udang dengan Teknologi Integrated Multitrophic Aquaculture
(IMTA) di Mamuju Sulawesi Barat. Jurnal Ilmu Alam dan Lingkungan, 8(2),
52–57.

Yuni, W., Budiyanto dan I. Riani., 2018. Faktor-faktor yang Mempengaruhi


Produksi Budidaya Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) di Kecamatan
Tinanggea Kabupaten Konawe Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan
FPIK UHO, 3(2), 127–136

28
LAMPIRAN

Lampiran 1. Dokumentasi Kegiatan Praktikum

Gambar 1. Tambak Udang Vaname Gambar 2. Penjelasan Materi


Semi Intensif Pada Saat Kering Budiaya Udang Vaname

Gambar 3. Tambak Udang Vaname Gambar 4. MSTP Jepara


Semi Intensif

29
30

Anda mungkin juga menyukai