Anda di halaman 1dari 3

I.

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Indonesia adalah negara agraris yang memiliki kekayaan komoditas hasil pertanian.
Salah satu contoh komoditas pertanian yang banyak tumbuh di Indonesia adalah tanaman
buah, salah satunya nangka. Dalam 100 gram biji nangka, terdapat protein kacang-
kacangan, seperti kacang tanah, kedelai, dan kacang merah. Satu jenis kacang yang
banyak tumbuh di Indonesia namun potensinya masih belum banyak dimanfaatkan
masyarakat adalah kacang tunggak. Menurut Data Badan Pusat Statistik dalam Hayati
(2006), hasil rata-rata produksi kacang tunggak seluruh Indonesia berkisar antara 1,5 - 2 ton
per hektar yang ditentukan oleh varietasnya. Di Indonesia, kacang tunggak kurang diminati
oleh masyarakat, terbukti dari tingkat konsumsinya yang rendah. Masyarakat khususnya di
Pulau Jawa biasanya hanya mengolah kacang tunggak dengan cara langsung dimasak dan
dicampur dalam sayur-sayuran serta dikukus (Singh et al., 1997).
Produksi nangka yang relatif tinggi di Indonesia tentu menghasilkan limbah biji nangka
yang tinggi pula. Limbah biji nangka tersebut umumnya tidak terpakai dan akhirnya hanya
dibuang, tanpa adanya proses pengolahan lebih lanjut. Proses pengolahan yang masih bisa
dilakukan adalah merebus biji nangka untuk dikonsumsi. Namun, kekurangan dari proses
tersebut adalah masa simpan produk yang pendek. Oleh karena itu, perlu dilakukan metode
alternatif untuk mengolah limbah biji nangka agar menjadi produk pangan yang mempunyai
umur simpan yang panjang. Salah satu cara alternatif yang bisa digunakan adalah
mengolahnya menjadi konsentrat protein. Kacang tunggak sebagai tanaman budidaya
memiliki beberapa potensi, di antaranya adalah sifatnya yang tahan terhadap kekeringan
dan juga nutrisinya yang beragam. Kacang tunggak mengandung protein yang cukup tinggi,
yakni 22,9 gram per 100 gram bahan. Meskipun kadarnya lebih rendah dari kacang merah
dan kedelai, namun kadar protein kacang tunggak setara dengan kacang hijau dan kacang
gude (Rukmana, 2000). Oleh karena kadar protein yang cukup tinggi, kacang tunggak
berpotensi untuk diolah menjadi sumber protein nabati, dengan cara mengekstrak
proteinnya dalam bentuk konsentrat.
Protein adalah salah satu kelompok bahan makronutrien yang berperan penting dalam
pembentukan biomolekul dalam tubuh. Protein terbentuk dari asam-asam amino yang
mengandung unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat (Budianto,
A. K., 2009). Menurut sumbernya, protein kacang tunggak merupakan jenis protein nabati
(berasal tumbuh-tumbuhan). Protein kacang tunggak kaya akan asam amino jenis metionin,
yang jarang terdapat pada kacang-kacangan lainnya. Melihat konsumsi protein yang masih
rendah di Indonesia, protein kacang tunggak dalam bentuk konsentrat diharapkan bisa
menjadi alternatif sumber protein yang bisa dikonsumsi masyarakat (Bernhardt,
1976 dalam Suarni 2008).
Konsentrat protein adalah adalah produk lanjutan dari tepung kedelai, yang pada
prinsipnya dibuat dengan membuang setengah karbohidrat dan sebagian mineralnya.
Menurut definisi di atas, konsentrat protein harus diproses agar mengandung minimal 70%
protein berdasarkan berat kering. Kelebihan konsentrat protein sebagai produk pangan
adalah mempunyai kandungan protein yang tinggi, bentuk yang praktis (serbuk), umur
simpan yang panjang, kenampakan warna yang baik, dan bisa ditambahkan dalam berbagai
macam produk makanan yang membutuhkan kandungan protein yang tinggi, seperti produk
olahan susu, daging, dan makanan ringan (Winarno, F. G., 1993).
Dalam prinsip proses pembuatan konsentrat protein, komponen non-protein harus
dihilangkan melalui proses ekstraksi menggunakan pelarut. Oleh sebab itu, pemilihan jenis
pelarut dan waktu ekstraksi akan sangat memengaruhi hasil konsentrat yang didapat.
Rieuwpassa (2013) dalam jurnalnya menyatakan bahwa semakin lama proses ekstraksi,
maka prosentase protein dalam konsentrat yang dihasilkan akan semakin tinggi. DI samping
itu, penelitian yang dilakukan oleh WIlsa (2013) menyatakan bahwa jenis pelarut
mempengaruhi rendemen konsentrat yang dihasilkan karena setiap pelarut memiliki
perbedaan karakter. Pemilihan pelarut harus disesuaikan dengan sifat bahan dan
kandungan protein yang ada di dalam bahan tersebut agar menghasilkan konsentrat protein
dengan kuantitas yang maksimal serta sifat fisik dan kimia yang baik.
Faktor yang dapat mempengaruhi hasil ekstraksi selain pemilihan jenis pelarut dan lama
ekstraksi di antaranya adalah rasio penggunaan pelarut dengan bahan, pengecilan ukuran
bahan, dan lama ekstraksi (Hartuti, 2012). Berdasarkan latar belakang di atas, perlu
dilakukan penelitian tentang studi pembuatan konsentrat protein dari kacang tunggak
dengan kajian jenis pelarut yang digunakan dan lama ekstraksi.

I.2 Rumusan Masalah


Masalah yang perlu dipecahkan dalam penelitian ini adalah apakah jenis pelarut yang
tepat dan berapakah waktu ekstraksi terbaik untuk menghasilkan konsentrat protein dengan
rendemen tertinggi dan karakteristik fisik dan kimia terbaik serta bagaimana perbedaan jenis
pelarut dan lama ekstraksi dapat memberikan pengaruh terhadap karakteristik kimia dan
fisik konsentrat protein kacang tunggak.

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrat protein dari kacang tunggak,
mengetahui pengaruh dampak jenis pelarut dan lama ekstraksi terhadap sifat kimia dan fisik
konsentrat protein yang dihasilkan, serta untuk mendapatkan perlakuan terbaik dari kedua
faktor tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian


1. Menghasilkan konsentrat protein dari bahan kacang tunggak.
2. Memberikan informasi mengenai jenis pelarut dan lama ekstraksi yang optimal untuk
mengekstrak protein dari kacang tunggak.
3. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai potensi kacang-kacangan
inferior di Indonesia, terutama kacang tunggak, sebagai sumber protein nabati.

1.5 Hipotesis
Perbedaan jenis pelarut dan lama ekstraksi diduga akan memberikan pengaruh
pengaruh nyata terhadap kuantitas, karakteristik kimia dan fisik dari konsentrat protein
kacang tunggak yang dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai