Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM

BIOTEKNOLOGI
PEMANFAATAN RAGI TEMPE PADA PEMBUATAN TEMPE

Oleh:
INTAN FITRIASARI
10416004

PROGRAM STUDI S1 BIOLOGI


FAKULTAS SAINS, TEKNOLOGI DAN ANALISIS
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA KEDIRI
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Bioteknologi dideskripsikan sebagai suatu teknologi yang menggunakan dan
memanfaatkan sistem hayati untuk mendapatkan barang dan jasa yang berguna
bagi kesejahteraan manusia. Terdapat dua macam bioteknologi yaitu bioteknologi
konvensional atau tradisional dan bioteknologi modern. Bioteknologi tradisional
tanpa rekayasa genetika focus pada cara seleksi alam mikroba yang digunakan
dalam modifikasi lingkungan untuk memperoleh produk optimal misal:
pembuatan tape, tempe, roti, bir dan lain-lain. Bioteknologi modern dengan
rekayasa genetika memanfaatkan keterampilan manusia dalam melakukan
manipulasi makhluk hidup agar dapat digunakan untuk menghasilkan barang yang
diinginkan dalam bidang produksi pangan misalkan tanaman transgenic. Baik
bioteknologi konensional maupun modern bisa digunakan untuk konservasi
pangan (Widianti dkk, 2014)
Penggunaan bioteknologi konvensional digunakan untuk meningkatkan nilai
gizi dan cita rasa suatu bahan pangan, sedangkan bioteknologi modern berperan
sebagai salah satu cara untuk memproduksi suatu bahan pangan dalam
jumlah besar, memperbaiki nilai gizinya menggunakan rekayasa genetika.
(Widianti dkk, 2014)
Salah satu masalah gizi yang utama di Indonesia adalah Kurang Energi
Protein (KEP). KEP merupakan suatu keadaan seseorang yang kurang gizi
disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari–
hari. Pada umumnya penderita KEP berasal dari keluarga yang berpenghasilan
rendah. Kurangnya energi protein dapat mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan dan gangguan perkembangan mental anak. Anak balita dengan KEP
tingkat berat akan menunjukkan tanda klinis kwashiorkor/marasmus (Oktafiani,
2001)
Sumber utama protein biasanya berasal dari protein hewani
tetapi harga daging relatif mahal. Salah satu produk protein nabati yang dapat
menggantikan sumber protein hewani adalah tempe karena mutu protein
tempe mendekati mutu protein daging ayam dan sapi (Winarno, 1993).
Tempe berbahan dasar kedelai yang merupakan sumber gizi
yang baik bagi manusia. Kedelai utuh mengandung 35 sampai 38% protein
tertinggi dari kacang–kacangan lainnya dan yang paling tinggi proteinnya adalah
kedelai kuning. Hasil olahan kedelai kuning salah satunya adalah tempe
(Winarno, 1993).
Kedelai setelah mengalami fermentasi dikonsumsi oleh masyarakat
dalam bentuk tempe. Pada proses fermentasi menjadi tempe, nilai gizi hasil
olah kacang kedelai bertambah baik. Fermentasi merupakan tahap terpenting
dalam proses pembuatan tempe. Menurut Karmini (2003), pada tahap
fermentasi terjadi penguraian karbohidrat, lemak, protein dan
senyawa-senyawa lain dalam kedelai menjadi molekul-molekul yang lebih
kecil sehingga mudah di manfaatkan tubuh (Widianti dkk, 2014).
Fermentasi ini termasuk cara pengolahan produk inovasi konservasi pangan
menggunakan dasar Bioteknologi konvensional. Jadi, inovasi konservasi pangan
melalui bioteknologi konvensional yang dimaksud disini yaitu proses penambahan
nilai gizi, perbaikan cita rasa, maupun penampilan dari suatu bahan pangan
supaya memiliki nilai jual yang lebih tinggi (Widianti dkk, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana cara mengetahui pembuatan tempe dengan baik dan
benar dan karakteristik tempe kualitas yang baik?
1.2.2 Apakah faktor-faktor yang memperngaruhi proses fermentasi ?
1.2.3 Adakah pengaruh penyimpanan secara terbuka dan tertutup
terhadap proses fermentasi ?

1.3 Tujuan

1.3.1 Mengatahui cara pembuatan tempe dengan baik dan benar dan
karakteristik tempe kualitas yang baik.
1.3.2 Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses fermentasi.
1.3.3 Mengetahui pengaruh secara terbuka dan tertutup terhadap proses
fermentasi.

1.4 Manfaat

1.4.1 Mahasiswa mengetahui cara pembuatan tempe yang baik dan benar
dan karakteristik tempe kualitas yang baik.

1.4.2 Mahasiswa mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses


fermentasi.

1.4.3 Mahasiswa mengetahui pengaruh secara terbuka dan tertutup


terhadap proses fermentasi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PENGERTIAN BIOTEKNOLOGI

Bioteknologi berasal dari kata latin yaitu bio (hidup), teknos (teknologi =
penerapan) dan logos (ilmu). Bioteknologi adalah bidang penerapan biosains dan
teknologi yang menyangkut penerapan praktis organisme hidup atau komponen
subsellulernya pada industri jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan.
Atau dapat pula di definisikan sebagai teknologi yang menggunakan sistem hayati
(prosesproses biologi) untuk mendapatkan barang dan jasa yang berguna bagi
kesejahteraan manusia. Bioteknologi memanfaatkan: bakteri, ragi, kapang, alga,
sel tumbuhan atau sel hewan yang dibiakkan sebagai konstituen berbagai proses
industri (Niemann dan Kues, 2000).

Pada umumnya bioteknologi dibedakan menjadi bioteknologi tradisional


dan modern. Bioteknologi tradisional adalah bioteknologi yang memanfaatkan
mikrobia (organisme) untuk memodifikasi bahan dan dan lingkungan untuk
memperoleh produk optimal. Misalnya pembuatan tempe, tape, roti, pengomposan
sampah. Sedangkan bioteknologi modern dilakukan melalui pemanfaatan
ketrampilan manusia dalam melakukan manipulasi makhluk hidup agar dapat
digunakan untuk menghasilkan produk sesuai yang diinginkan manusia. Misalnya
melalui teknik rekayasa genetik. Rekayasa genetik merupakan teknik untuk
menghasilkan molekul DNA yang berisi gen baru yang diinginkan atau kombinasi
gen-gen baru atau dapat dikatakan sebagai manipulasi organisme (Niemann dan
Kues, 2000).

Bioteknologi modern berkembang pesat setelah genetika molekuler


berkembang dengan baik. Dimulai dengan pemahaman tentang struktur DNA
pada tahun 1960an dan hingga berkembangnya berbagai teknik molekuler telah
menjadikan pemahaman tentang gen menjadi semakin baik. Gen atau yang sering
dikenal dengan istilah DNA, merupakan materi genetik yang bertanggung jawab
terhadap semua sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup (Sutarno, 2014).
2.2 PENGERTIAN TEMPE

Tempe merupakan olahan kedelai dengan fermentasi kapang Rhizopus.


Kapang yang sering digunakan dalam pembuatan tempe, adalah Rhizopus
microsporus dan R. oryzae. Kedua kapang tersebut mempunyai aktivitas enzim β-
glukosidase berbeda. Aktivitas enzim β-glukosidase R. microsporus var.
chinensis lebih kuat daripada R. oryzae (Adnan dan Sudarmadji, 1997).

Tempe memungkinkan sebagai alternatif makanan untuk difortifkasi


dengan zat besi, karena tempe sebagai sumber protein, sedangkan protein dan zat
besi diperlukan dalam pembentukan kadar hemoglobin. Menurut Astuti
(1996), protein tempe tergolong mudah dicerna sehingga protein dapat digunakan
untuk membentuk hemoglobin bersama dengan besi atau senyawa lain. Proses
pembentukan hemoglobindalam sumsum tulang belakang juga memerlukan
vitamin B12, asam folat, protein, zat besi, Cu dan Zn, yang semuanya terdapat
dalam tempe (Adnan dan Sudarmadji, 1997).

Meskipun dalam tempe terdapat zat besi, namun penambahan atau


fortifkasi zat besi pada tempe dalam penelitian ini dilakukan agar meningkatkan
kadar zat besi tempe dalam upaya program penanggulangan anemia defsiensi besi
khususnya pada remaja di daerah pedesaan. Pengertian fortifkasi adalah
penambahan satu atau lebih mikronutrien pada pangan tertentu, untuk
meningkatkan intake mikronutrien dalam rangka mencegah defsiensi dan
meningkatkan kesehatan (WHO, 2006 dan Hurrel & Egli, 2007).

2.3 FERMENTASI TEMPE

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dengan keadaan


anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk
respirasi anaerobik atau juga dapat didefinisikan fermentasi sebgai respirasi dalam
lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal (Adnan dan
Sudarmadji, 1997).
Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil
fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa
komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan
adeton. Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi
untuk menghasilkan etanol dalm bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya
(Adnan dan Sudarmadji, 1997).

Pada fermentasi tempe dibutuhkan inokulum tempe. Tanpa inokulum


tempe, kedelai yang difermentasi akan menjadi busuk. Inokulum tempe disebut
juga sebagai starter tempe dan banyak pula yang menyebut dengan ragi tempe.
Inokulum tempe merupakan kumpulan spora kapang dan jamur yang digunakan
untuk bahan pembibitan dalam pembuatan tempe. Kapang yang digunakan yaitu
jenis kapang Rhizopus, seperti Rhizopus oligosporus, Rhizopus Oryzae, Rhizopus
stolonifer (kapang roti), atau Rhizopus arrhizus (Sarwono, 2004).

Inokulum tempe yang telah dikenal masyarakat saat ini adalah usar
(biasanya menempel di daun waru) dan inokulum bubuk buatan LIPI. Usar
banyak mengandung bakteri kontaminan karena pada pembuatannya kurang
memperhatikan kondisi yang aseptis dan jenis kapang pada usar juga bervariasi
seperti Rhizopus sp dan mikroorganisme lain. Inokulum bubuk yang telah ada
sebelumnya dibuat dari kapang R Uji Coba Penggunaan Inokulum Tempe
(Sarwono, 2004).

2.4 KALSIFIKASI

Kingdom : Fungi

Diviso : Zygomycota

Class : Zygomycetes

Ordo : Mucorales

Familia : Mucoraceae

Genus : Rhizopus
Species : Rhizopus oryzae

2.5 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES


FERMENTASI

Pada pembuatan suatu tempe atau saat proses fermentasi tempe pasti
dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk menghasilkan tempe yang berkualitas dan
terjamin mutunya. Berikut ini beberapa faktor yang mempengaruhi proses
fermentasi dalam pembuatan tempe yaitu :

1. Oksigen
2. Uap air
3. Suhu
4. Keaktifan Laru (inokulum atau ragi tempe) (Suprapti, 2003).
BAB III
METODOLOGI
3.1 ALAT DAN BAHAN
Alat:
- Sendok
- Pelubang plastik (jarum besar)
- Timbangan (neraca)
Bahan:
- Kedelai
- Ragi tempe
- Kantong plastik

3.2 PROSEDUR PEMBUATAN


- Kedelai ditimbang sebanyak 500 gram
- Dicuci bersih
- Direbus hingga setengah matang
- Digiling agar terbelah dua
- Dicuci untuk menhilangkan kulit ari
- Direndam satu malam
- Direbus hingga mendidih
- Diangin-anginkan
- Ditaburi ragi
- Dikemas dalam plastik
- Diberi lubang pada plastik dengan menggunakan jarum besar
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
NO HARI KE- HASIL GAMBAR
1. 1 Jamur mulai tumbuh dan tekstur
tempe mulai memadat.

2. 2 Tempe berwarna kuning


kecoklatan dan timbul aroma tidak
sedap, tapi sebagian ada yang tidak
busuk.

3. 3 Tempe membusuk dengan aroma


tidak sedap dan berwarna coklat.
4.2 PEMBAHASAN

Bioteknologi adalah bidang penerapan biosains dan teknologi yang


menyangkut penerapan praktis organisme hidup atau komponen subsellulernya
pada industri jasa dan manufaktur serta pengelolaan lingkungan. Atau dapat pula
di definisikan sebagai teknologi yang menggunakan sistem hayati (prosesproses
biologi) untuk mendapatkan barang dan jasa yang berguna bagi kesejahteraan
manusia.
Pada praktikum kali ini praktikan melakukan pembuatan tempe.
Pembuatan tempe termasuk bioteknologi dalam jenis konvensional atau
sederhana. Sebelum memulai pembuatan tempe, sebelumnya kita harus tahu apa
saja alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pembutan tersebut. Alat yang
digunakan yaitu sendok, pelubang plastik (jarum besar), timbangan (neraca).
Sedangkan bahan yang digunakan yaitu kedelai yang berfungsi sebagai substrat,
ragi sebagai starter dan kantong plastik berfungsi sebagai wadah atau
pembungkus.
Proses pembuatan tempe terdiri dari perendaman kedelai yakni bertujuan
untuk merenggangkan ikatan dari absorbsi air. Selanjutnya dilakukan perebusan
dengan tujuan memudahkan pengelupasan kulit ari, kemudian pembersihan kulit
ari dari kedelai yang berguna untuk memudahkan kapang untuk masuk dalam
pori-pori biji kedelai, lalu dilanjutkan dengan pengukusan untuk strerilisasi
sesudah pembersihan kulit ari. Saat pendinginan menyesuaikan suhu optimum
kapang untuk tumbuh. Menanam ragi yaitu untuk mengetahui pertumbuhan
kapang. Tahap terakhir yaitu pengemasan dengan menggunakan plastik dengan
memberi lubang yang bertujuan sebagai keperluan respirasi kapang.
Proses pembuatan tempe pada dasarnya merupakan proses penumbuhan
spora pada jamur tempe oleh Rhizopus sp. Seperti yang kita ketahui pembuatan
tempe dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: oksigen, suhu, pH, dan
Kelembaban udara (uap air). Faktor tersebut sangat mendukung dalam proses
pertumbuhan jamur tempe (Rhizopus) dimana ketika keadaan lingkungan yang
baik sesuai dengan keadaan jamur yang tumbuh, maka akan menghasilkan tempe
yang bagus. Menurut Sarwono dalam Iqbalali “Dalam proses fermentasi tempe
kedelai, substrat yang digunakan adalah keping-keping biji kedelai yang telah
direbus. Mikroorganismenya berupa kapang antara lain Rhizopus olygosporus,
Rhizopus oryzae, Rhizopus stolonifer (dapat terdiri atas kombinasi dua spesies
atau ketiganya) dan lingkungan pendukung yang terdiri dari suhu 30˚C, pH awal
6,8% kelembaban nisbi 70-80%.
Dari hasil praktikum yang kami lakukan, menemukan bahwa pada setiap tempe
yang dibuat dengan hasil yang berbeda. Perbedaan tidak hanya terlihat pada
permukaan tempe saja, tetapi juga terlihat berbeda pada pengelihatan mikroskopik
serta warna dan bau yang dihasilkan.
Pada saat hari pertama Jamur mulai tumbuh dan tekstur tempe mulai
memadat. Kemudian pada saat hari kedua menunjukkan bahwa Tempe berwarna
kuning kecoklatan dan timbul aroma tidak sedap, tapi sebagian ada yang tidak
busuk. Aroma tidak sedap ini disebabkan oleh produksi amoniak yang berlebihan
akibat dari prombakan protein oleh mikro organisme yang merubah asam amino
menjadi amoniak. Pada hari ketiga diperoleh hasil semua tempe berwarna coklat
dan beraroma busuk atau bisa disebut gagal.
Kegagalan dalam pembuatan tempe atau kurang maksimalnya hasil tempe
yang didapatkan ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu pada saat penirisan
kedelai tidak dilakukan dengan benar dan pada saat pengemasan, dimana kedelai
masih basah dan terdapat air, air yang berlebihan dalam biji dapat menyebabkan
penghambatan pertumbuhan jamur dan menyebabkan pembusukan. Kemudian
ragi yang digunakan tidak merupakan isolate murni dari Rhizopus. Melainkan ada
mikroorganisme lain yang bisa menghidrolisis asam amino menjadi amoniak,
sehingga menyebabkan bau busuk yang menyengat. Pemberian ragi yang
digunakan maka semakin banyak pula kontaminan yang ditanam pada kedelai.
Oleh karena itu semakin banyak ragi yang digunakan bukan berarti menambah
tingkat keberhasilan pembuatan tempe melainkan memperkecil tingkat
keberhasilan pembuatan tempe.
Penyimpanan secara terbuka dan tertutup sangat berpengaruh terhadap
proses fermentasi. Jika penyimpanan dibiarkan terbuka maka oksigen atau aliran
udara yang terlau cepat bisa menyebabkan proses metabolisme akan berjalan
cepat sehingga dihasilkan panas sehingga bisa merusak pertumbuhan kapang.
Oleh karena itu saat pembungkusan menggunkan kantong plastik dianjurkan
untuk melubangi dan memberi jarak anatara lubang yang satu dengan yang
lainnya. Kemudian suhu ruang juga harus diperhatikan karena mikroba atau
kapang tempe dapat tumbuh dengan baik pada suhu optimum yaitu pada suhu
ruang (25-27 oC) dikarenakan bersifat mesofilik.
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Dari hasil praktikum dan pembahsan dapat disimpulkan bahwa tempe
merupakan produk dari bioteknologi konvensional yang digunakan untuk
meningkatkan nilai gizi dan pembuatan tempe ini dipengaruhi oleh bebrapa faktor
yaitu oksigen, uap air, suhu dan inokulum tempe.

5.2 SARAN

Untuk kedelai atau bahan pembutan tempe sebaiknya memilih yang kualitasnya
baik dan unggul. Ragi atau inokulum tempe yang digunakan jangan terlalu banyak
karena bisa menyebabkan bau amoniak pada tempe.
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, M. dan Sudarmadji. 1997. Contribution of tempe for the economy and
health of indonesian in reinventing the hidden miracle of tempe.
Proceedings International Tempe Symposium di Bali, Indonesia. Publiced
by Indonesian Tempe Foundation.

Astuti, M. 1996. Tempe dan ketersediaan besi untuk penanggulangan anemia


besi. Yayasan Tempe Indonesia: Jakarta.

Karmini, Mien. 2003. Akitvitas Enzim Hidrolitik Kapang Rhizopus sp pada


Proses Fermentasi Tempe. Center for Reseach and Development pf
Nutrision and Food, NIHRD.

Niemann, H. and W.A. Kues. 2000. Transgenic Livestock : Premises and


Promises. J. Anim. Reprod. Sci. 60 : 277 -293.

Oktafiani, N. 2001. Pengaruh MacamVarietas Kedelai terhadap Mutu Tempe


Selama Penyimpanan Suhu Beku. Jurusan THP-FTPUniversitas Brawijaya,
Malang.

Sarwono, B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. PT. Penebar Swadaya. Jakarta.

Suprapti L. 2003. Pembuatan Tempe. Kanisius. Yogyakarta.

Sutarno. 2014. Genetika Non-Mendel. DNA mitokondria dan perannya dalam


produksi hewan dan kelainan pada manusia. ISBN no 978-979-498-872-5.
UNS Press, Solo.

Widianti, Tuti, Bintari, S. Harnina dan Iswari, Retno Sri. 2014. Dasar-Dasar
Bioteknologi. Jurusan Biologi: Semarang.

Winarno FG. 1993. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Utama Pustaka. Jakarta.

World Health Organizations. 2006. Guidelines on food fortifcation with


micronutrients. World Health Organization and Agriculture Organization of
the United Nations. Genewa, Switzerland.

Anda mungkin juga menyukai