Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PRAKTIKUM BIOREAKSI

ANALISA KUANTITATIF PROTEIN TEMPE KARA PEDANG DENGAN


VARIASI UKURAN DAN MASSA RAGI MENGGUNAKAN
METODE TITRASI FORMOLFORMOL

Kelompok 1 :
Diramisti Dwi (141810301026)
Chanifah Dwi Happy P (151810301010)
Cici Desi Septiana (151810301061)
Frida Kristining Tyas (151810301067)

LABORATORIUM BIOKIMIA
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2018
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Protein merupakan makromolekul yang paling berlimpah didalam sel
makhluk hidup. Makromolekul ini ditemukan di seluruh bagian sel makhluk hidup
serta mempunyai berbagai peranan biologis. Peranan yang dimiliki protein
merupakan akibat dari status protein sebagai instrumen molekuler yang
mengekspresikan informasi genetik. Semua protein yang ada didalam makhluk
hidup disusun oleh susunan dasar yang sama, yakni 20 jenis asam amino baku
(Lehninger,1982).
Protein merupakan salah satu sumber gizi yang diperlukan oleh manusia.
Fungsi protein sebagai zat pembangun dan pengatur merupakan hal yang penting
untuk diketahui. Protein sebagai zat pembangun akan membentuk jaringan-
jairingan baru dalam tubuh. Protein juga dapat berperan sebagai bahan bakar
dalam tubuh saat kebutuhan energi oleh karbohidrat dan lemak tidak terpenuhi
(Soedarmo, 1973). Sebagai zat pengatur, protein membantu mengatur aktivitas
seluler atau fisiologi. Hormon, seperti insulin merupakan protein pengatur
metabolisme gula, hormon pituitary mengatur pertumbuhan dan sebagainya
(Lehninger,1982). Protein terdiri dari dua jenis berdasarkan sumbernya, yaitu
protein hewani dan protein nabati. Protein hewani pada umumnya memiliki nilai
yang tinggi dari pada protein nabati, namun ada beberapa tumbuhan yang
merupakan sumber protein nabati yang cukup tinggi seperti kacang-kacangan dan
biji-bijian (Soedarmo, 1973).
Masyarakat lebih sering mengkonsumsi protein nabati karena harganya
yang terjangkau. Tempe adalah salah satu sumber protein nabati yang sering
dikonsumsi berbagai kalangan. Tempe umunya diolah dari kacang kedelai dengan
perlakukan fermentasi menggunakan jenis kapang Rhizopus sp. (Ratnawati,
2008). Tempe mengandung protein sebesar 20,8 gram, karbohidrat sebesar 13,5
gram dan vitamin B1 sebesar 0,19 mg pada setiap 100 gramnya (Cahyadi, 2007).
Kandungan dalam tempe memiliki nilai obat seperti antibiotik dan
antioksidan. Namun, harga kedelai yang cenderung mahal mendorong para
peneliti untuk mencari bahan baku alternatif dalam pembuatan tempe. Rokhmah
(2008) telah berhasil membuat tempe dengan bahan dasar kara benguk serta
menganalisis kadar asam fitat dan protein terlarutnya. Penelitian ini akan
menggunakan kara pedang sebagai bahan baku tempe dan melakukan analisis
kadar protein terlarut.
Protein terlarut dalam tempe merupakan salah satu paremeter kualitas tempe
yang diproduksi. Jumlah protein terlarut dalam tempe dipengaruhi oleh ukuran
biji kara pedang dan massa kapang (ragi) yang digunakan saat proses fermentasi.
Oleh karena itu peneltian ini akan mempelajari pengaruh variasi pengecilan
ukuran biji kara pedang dan massa kapang (ragi) yang digunkan saat fermentasi
terhadap jumlah protein terlarut. Protein terlarut akan dianalisis dengan metode
titrasi formol.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas
adalah :
1. Bagaimana pengaruh pengecilan ukuran biji terhadap kadar protein terlarut
pada tempe kara pedang ?
2. Bagaimana pengaruh massa kapang (ragi) yang digunakan selama proses
fermentasi terhadap kadar protein terlarut pada tempe kara pedang ?

1.3 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pengaruh pengecilan ukuran biji terhadap kadar protein terlarut
pada tempe kara pedang
2. Mengetahui pengaruh massa kapang (ragi) yang digunakan selama proses
fermentasi terhadap kadar protein terlarut pada tempe kara pedang
1.4 Manfaat
Manfaat yang akan didapatkan dalam penelitian ini diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Memberikan informasi bahwa kara pedang merupakan alternatif bahan baku
dalam pembuatan tempe
2. Memebrikan informasi bahwa ukuran biji kara pedang dan massa kapang
(ragi) yang digunakan saat fermentasi dapat mempengaruhi kadar protein
tempe
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Koro pedang

Kacang koro pedang merupakan salah satu tanaman lokal yang dapat
ditemukan dengan mudah di indonesia. Kacang koro pedang(Canavalia
ensiformis), secara luas ditanam di Asia Selatan dan Asia Tenggara, terutama di
India, Sri Lanka, Myanmar dan Indo China. Kacang koro pedang kini telah
tersebar di seluruh daerah tropis di beberapa daerah di Indonesia, termasuk
wilayah Jawa tengah. Tahun2010-2011 tercatat dari lahan seluar 24 Ha di 12
kabupaten Jawa Tengah telah menghasilkan 216 ton kacang koro pedang setiap
panen yang terdiridariKabupaten Blora, Banjarnegara, Temanggung, Pati,
Kebumen, Purbalingga, Botolali, Batang, Cilacap, Banyumas, Magelang dan
Jepara (Dakornas, 2012).
Kacang koro pedang merupakan sejenis tanaman yang memiliki persamaan
kandungan gizi dengan kedelai. Kacang koro pedang dibagi menjadi dua jenis
yaitu kacang koro pedang biji merah dan kacang koro biji putih. Kacang koro
pedang biji merah memiliki kandungan protein 32% dan kacang koro biji putih
memiliki kandungan protein sebesar 27,4% (Nabilla, 2013). Kacang koro biji
putih biasanya banyak di temukan di daerah Jawa Barat sedangkan kacang koro
biji merah biasanya ditemukan di Jawa Tengah. Kandungan protein padatan aman
koro ini cukup tinggi, hampir setara dengan kandungan protein hewani.
Kandungan protein pada koro pedang tersusun atas albumin, globulin, glutelin
(Andrew, dkk 2006). Fungsi dari protein salah satunya yang terdapat dari tepung
kacang koro adalah globulin yaitu sebagai pembentuk emulsi pada pembuatan roti
(Andrew,dkk 2006). Koro juga mengandung vitamin B1 dan B2 (Doni, 2005).
Komposisi kimia pada koro pedang yang cukup besar yaitu kandungan
karbohidrat dalam jenis polisakarida (amilosa dan amilopektin) dan protein.
Kacang koro pedang belum banyak dimanfaatkan, salah satu faktor yang
membatasi pemanfaatan biji koro pedang adalah adanya kandungan glukosida
sianogenetik yang dapat terurai menghasilkan sianida yang bersifat
toksisk.Sianida merupakan senyawa racun yang dapat mengganggu kesehatan
serta mengurangi penyerapan nutrien dalam tubuh. Sianida merupakan racun yang
bereaksi cepat, berbentuk gas tak berbau dan berwarna, yaitu hidrogen sianida
(HCN) atau sianogen khlorida (CNCI) atau berbentuk kristal seperti sodium
sianida (NaCN) atau potasium sianida (KCN). Sianida juga sering dijumpai pada
daun salam, cherry, ubi, dan keluarga kacang-kacangan lainnya seperti kacang
almond. kacang koro pedang batas maksimal kadar sianida (HCN) yang
diperbolehkan oleh Food Agricultural Organization (FAO) untuk di konsumsi
adalah < 10 ppm pada tingkat yang aman (Tintus, 2008).
Kacang koro memiliki kekurangan yaitu terkandungnya senyawa Con–
Canavalin A. atau sianida yang bersifat toksik. Kandungan sianida pada kacang
koro cukup tinggi yaitu sekitar 71,23 mg/kg, dapat diatasi dengan perendaman dan
perebusan. Perendaman selama 4 hari alias 96 jam menurunkan kadar sianida
dalam koro pedang dari 71,23 mg/kg sianida, menjadi 9,369 mg/kg. Perendaman
48 jam menurunkan kadar sianida menjadi 11,907 mg/kg; 72 jam, 10,06 mg/ kg.
Perendaman kacang koro pedang bertujuan untuk menurunkan kadar sianida
diperlukan sistem pengaduk sirkulasi dimana terjadinya sirkulasi antara air yang
masuk dan air yang keluar dengan kecepatan perputaran pengaduk yang dapat
ditentukan. Sirkulasi dan pengadukan dalam penurunan sianida kacang koro
pedang membantu membuka permukaan kacang koro sehingga terjadi transfer
masa dari molekul-molekul air dengan asam sianida karena adanya
tumbukan-tumbukaan yang membantu terjadinya difusi sianida ke dalam air dan
kacang koro pedang menjadi lunak (Yurisa, 2014). Perebusan selama 1 jam
menurunkan kadar sianida 14,742 mg/kg; 2 jam, 11,340 mg/kg; dan 3 jam, 5,670
m/kg. Penurunan kadar sianida semakin besar jika koro pedang dipotong kecil-
kecil terlebih dahulu. Con–Canavalin A dapat diolah sebagai obat kanker pada
industry farmasi (Wiwik, 2014).Metode lain untuk menghilangkan kadar sianida
(HCN) dalam biji kacang koro yang sering dilakukan adalah dengan cara
perebusan dan perendaman dengan menggunakan senyawa natrium bikarbonat
(NaHCO3), natrium bisulfit, abu atau alkali, pengeringan, perendaman
menggunakan garam dapur.KonsentrasiNaHCO3yang semakin tinggi maka akan
semakin besar penurunan sianida (Hutami dkk, 2014).
Kacang koro pedang (Canavalia ensiformis) memiliki kelebihan,
diantaranya memilikiadaptasi yang luas pada lahan suboptimal (lahan kering
masam), mudah dibudidayakan secara tumpang sari seperti ubi kayu, jagung,
sengon, kopi, kakao, pepaya, cepat menghasilkan biomasa untuk pupuk hijau atau
pakan (pupuk hijau tanaman koro tipe tegak sekitar 40 – 50 ton/bahan organik
segar), dapat dipanen mulai 4 bulan (4 kali) selama siklus hidupnya 15 bulan,
mengandung protein tinggi (biji putih 27,4 %), koro pedang biji merah (32
%),dapat meningkatkan ketahanan tubuh dan mencegah penyakit kanker karena
Con canavalin A yang merupakan suatu protein bertindak sebagai antibody yang
dapat mengaktifkan sel anti kanker, dan juga mampu menggumpalkan virus dan
Spermatozoa serta dapat mengisolasi subtansi immonoglobulin dan glikoprotein
darah. Kacang koro pedang yang telah diolah dapat dijadikan sebagai bahan
alternatif pengganti kacang kedelai karena kandungan kacang koro pedang setara
dengan kacang kedelai. Kacang koro pedang dapat juga digunakan sebagai bahan
pembuat tahu, tempe, tauco, susu dan olahan camilan.Ditinjau dari kandungan
protein dan potensi pengembangannya, pemanfaatan protein dari tanaman ini
mempunyai harapan (Duke, 1992).
2.2 Pembuatan Tempe
Tempe adalah makanan hasil fermentasi yang sangat terkenal di Indonesia.
Tempe yang biasa dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah tempe yang
menggunakan bahan baku kedelai. Fermentasi dalam proses pembuatan tempe
menyebabkan perubahan kimia maupun fisik. Tempe segar tidak dapat disimpan
lama, karena tempe tahan hanya selama 2 x 24 jam, lewat masa itu, kapang tempe
mati dan selanjutnya akan tumbuh bakteri atau mikroba perombak protein,
akibatnya tempe cepat busuk ( Sarwono, 2005). Tempe pada awalnya hanya
terkenal di pulau Jawa dan merupakan makanan yang biasa dimakan dan
dihidangkan setiap hari. Seiring dengan berjalannya waktu, tempe tidak hanya
dikenal dipulau Jawa, melainkan hampir seluruh pelosok Indonesia dan biasa
disebut sebagai makan Nasional (Wirakusuma, 2005).
Fermentasi adalah perubahan kimia dalam bahan makanan yang
disebabkan oleh enzim dari kedelai yang mengandung enzim lipoksidase. Bahan
pangan umumnya merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan berbagai
jenis mikroorganisme. Jamur yang berperanan dalam proses fermentasi tersebut
adalah Rhizopus oligosporus. Beberapa sifat penting dariRhizopus oligosporus
antara lain meliputi: aktivitas enzimatiknya, kemampuan menghasilkan
antibiotika, biosintesa vitamin vitamin B, kebutuhannya akan senyawa sumber
karbon dan nitrogen, perkecambahan spora, dan penertisimiselia jamur tempe ke
dalam jaringan biji kedelai (Kasmidjo, 1990). Proses fermentasi pembuatan tempe
memakan waktu 36 – 48 jam. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan kapang yang
hampir tetap dan tekstur yang lebih kompak. Proses fermentasi terlalu lama,
menyebabkan terjadinya kenaikan jumlah bakteri, jumlah asam lemak bebas,
pertumbuhan jamur juga menurun dan menyebabkan degradasi protein lanjut
sehingga terbentuk amoniak. Akibatnya, tempe yang dihasilkan mengalami proses
pembusukan dan aromanya menjadi tidak enak. Hal ini terjadi karena senyawa
yang dipecah dalam proses fermentasi adalah karbohidrat (Winarno, 1980).
Tempe segar mempunyai aroma lembut seperti jamur yang berasal dari
aroma miselium kapang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas
dan aroma yang ditimbulkan karena penguraian lemak makin lama fermentasi
berlangsung, aroma yang lembut berubah menjadi tajam karena terjadi pelepasan
ammonia..Jenis tempe ada dua yakni tempe leguminosa non kedelai dan tempe
non leguminosa. Tempe leguminosa non kedelai diantaranya adalah tempe
benguk, tempe kecipir, tempe campuran beras dan kedelai, tempe ampas tahu,
tempe bongkrek, tempe ampas kacang, tempe tela, dan lain-lain.Tempe yang baik
harus memenuhi syarat mutu secara fisik dan kimiawi. Tempe dikatakan memiliki
mutu fisik jika tempe itu sudah memenuhi ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri tersebut
adalah sebagai berikut :
a. Warna putih warna putih ini disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh
pada permukaan biji.
b. Tekstur yang baik mempunyai bentuk kompak yang terikat oleh miselium
sehingga terlihat berwarna putih dan bila diiris terlihat keeping bijinya.
c. Aroma dan rasa khas terbentuk aroma dan rasa yang khas disebab kan
terjadinya degradasi komponen – komponen selama berlangsungnya proses
fermentasi. Tempe dengan kualitas buruk ditandai dengan permukaannya yang
basah struktur tidak kompak adanya bercak bercak hitam, adanya bau amoniak
dan alcohol serta beracun.
(Astawan 2004).
2.3 Protein
Protein mengandung unsur-unsur seperti hidrogen, karbon, sulfur dan
nitrogen serta fosfor. Protein disebut juga sebagai zat makanan bernitrogen. Hal
ini disebabkan karena protein termasuk satu-satunya zat makanan yang
mengandung unsur nitrogen. Protein yang terkandung dalam makanan ada dua
jenis yaitu protein nabati dan protein hewani. Protein hewani paling bernilai untuk
tubuh manusia sebagai materi pembangun karena komposisinya sama dengan
protein manusia. Protein nabati mempunyai harga yang lebih murah daripada
protein hewani. Protein nabati berfungsi sebagai bahan bakar tubuh daripada
sebagai zat pembangun. Protein nabati berasal dari tumbuh-tumbuhan sedangkan
protein hewani berasal dari hewan seperti daging, telur dan sebagainya. Asam
amino yang disediakan oleh protein nabati lebih banyak yang dibutuhkan oleh
tubuh untuk membangun jaringan. Molekul protein tersusun oleh sejumlah asam
amino tertentu dengan susunan tertentu pula dan bersifat turunan sehingga protein
termasuk kedalam makromolekul sehingga protein mempunyai berat molekul
yang besar (Watson, 2002).
Protein mempunyai peranan yang sangat penting di dalam tubuh karena
mempunyai fungsi utama di dalam tubuh. Fungsi utama dari protein yaitu untuk
membentuk struktur sel atau zat pembangun misalnya untuk pembentukan otot,
kulit, rambut, sel jantung, ginjal, hati dan beberapa organ penting lainnya. Protein
ada yang bersifat aktiv seta ada yang berupa enzim. Protein ada yang bersifat aktif
artinya protein tersebut mempunyai fungsi khusus di dalam tubuh. Protein berupa
enzim mempunyai fungsi sebagai biokatalisator misalnya hemoglobin, hormon
dan antibodi. Hemoglobin dalam tubuh berfungsi sebagai pengangkut oksigen
sedangkan hormon berperan sebagai pengatur metabolisme yang terjadi dalam
tubuh sedangkan antibodi termasuk jenis protein pertahanan yang mempunyai
fungsi untuk mempertahankan tubuh terhadap serangan penyakit. Tubuh ketika
kekurangan protein dapat menyebabkan terganggunya berbagai proses
metabolisme yang terjadi di dalam tubuh dan juga berkurangnya daya tahan
tubuh terhadap serangan penyakit sehingga tubuh akan mudah terserang penyakit
(Brady, 1999).
Protein mempunyai sifat amfoter yang disebabkan oleh gugus amino (-NH2)
yang bersifat basa dan gugus karboksil (-COOH) yang bersifat asam. Gugus-
gugus tersebut terikat ujung-ujung rantai dari struktur protein sehingga protein
yang memiliki sifat amfoter maka ketika larutan bersifat asam yang ditunjukkan
dengn pH yang rendah maka gugus amino dari protein akan bereaksi dengan ion
H+ sehingga protein akan bermuatan positif, namun ketika larutan bersifat basa
maka gugus karboksil dari protein yang bersifat asam akan berekasi dengan ion
OH- sehingga protein akan bermuatan negatif. Protein dapat bergerak dengan
pengaruh medan listrik, hal ini disebabkan karena adanya muatan pada molekul
protein. Protein mempunyai pH tertentu yang disebut dengan pH isoelektrik.
Nilai pH isoelektrik dari protei terletak antara 4 – 4,5 dan pH isoelektrik dari
protein akan berbeda-beda bergantung pada jenis protein. Protein ketika pH
isolektrik akan memiliki muatan posistif dan negatif sehingga bermuatan nol atau
netral. Protein pada titik isoelektrik akan mengalami pengendapan atau koagulasi
paling cepat dibandingkan pada pH yang lain (Yazid dan Nursanti, 2006).
Protein tersusun dari berbagai asam amino yang masing-masing
dihubungkan dengan ikatan peptida. Peptida adalah jenis ikatan kovalen yang
menghubungkan suatu gugus karboksil satu asam amino dengan gugus amino
asam amino lainnya sehingga terbentuk suatu polimer asam amino (Toha, 2001).
Jika protein dimasak dengan asam atau basa kuat seperti pada gambar 2.3, asam
amino unit pembangunnya dibebaskan dari ikatan kovalen yang menghubungkan
molekul-molekul ini menjadi rantai (Lehninger, 1990).
Protei tersusun atas asam-asam amino yang tergabung melalui ikatan
peptida. Ikatan peptida merpakan jenis ikatan kovalen yang menghubungkan
gugus karboksil dari satu asam amino dengan gugus asam amino yang lain
sehingga akan terbentuk suatu polimer asam amino. Hidrolisis protein dengan
asam klorida akan menghasilkan asam amino. Berikut reaksi yang terjadi :

Gambar 2.1 Hidrolisis Protein


(Lehninger, 1990).
Asam amino dari suatu protein memiliki gugus amino, gugus karboksil
dan sebuah atom hidrogen serta rantai cabang yang terikat pada karbon alfa (Cα).
Struktur umum dari asam amino ditunjukkan sebagai berikut.

Gambar 2.2 Struktur Asam Amino

Struktur asam amino ketika dalam kondisi netral berda dalam bentuk
zwitter ion atau berda dalam bentuk ion dipolar. Gugus amino pada amino dipolar
mempuyai tambahan berupa proton serta gugus karboksil yang terdisosiasi
(Winarno, 1986).
2.4 Titrasi formol
Protein yang terkandung dalam setiap bahan kadarnya berbeda-beda.
Pengukuran kadar protein suatu bahan sangat diperlukan karena erat kaitannya
dengan tingkat konsumsi manusia dan tingkat kebutuhan protein yang dibutuhkan
oleh tubuh manusia. Analisis kadar protein dapat dilakukan dengan menggunakan
metode titrasi formol. Metode ini dilakukan dengan menggunakan cara NaOH
sebagai titran. Kadar protein dapat ditentukan menggunakan rumus berikut ini.
% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
p = banyaknya NaOH yang digunakan untuk titrasi sampel
q= banyaknya NaOH yang digunakan untuk titrasi blanko.
(Sumantri dkk, 2005).
Analisis protein dengan metode formol dilakukan dengan menetralkan
larutan protein dengan menggunakan basa. Larutan basa yang dapat digunakan
yaitu natrium hidroksida (NaOH). Campuran ditambahkan dengan formalin atau
formaldehida untuk membentuk dimenthiol sehingga ketika dimenthion sudah
terbentuk menunjukkan bahwa gugus amino dari protein sudah terikat dan tidak
akan berpengaruh pada reaksi antara gugus karboksil yang bersifat asam dengan
natrium hidroksida (NaOH) sehinga titik akhir dari titrasi dapat diperoleh dengan
tepat. Indikator yang dapat digunakan yaitu indikator PP (fenolftalein). Titik akhir
titrasi ditandai dengan terjadinya perubahan warna larutan dari tidak berwarna
menjadi merah muda yang tidak dapat hilanga dalam waktu 30 menit. Metode
titrasi formol hanya dapat digunakan untuk menentukan terjadinya pemecahan
protein dan kurang tepat untuk penentuan protein (Sudarmadji, 1989).
BAB 3. METODOLOGI PERCOBAAN

3.1 alat dan bahan


3.1.1 Alat
− Neraca Analitik
− Mortar dan Alu
− Baskom
− Tabung reaksi
− Pipet tetes
− Pipet mohr 1 mL
− Pipet mohr 5 mL
− Ball pipet
− Gelas beaker 250 mL
− Gelas ukur 5 mL
− Gelas ukur 25 mL
− Kaca arloji
− Sentrifus
− pH meter
− statif
− buret 25 mL
− autoklaf
− erlenmeyer 10 mL
3.1.2 Bahan
− Alumunium foil
− Kacang Koro
− Aquades
− Ragi tempe
− Plastik
− PBS (Phosphate Buffer Saline)
− NaOH 0,1 N
− Indikator PP
− Formaldehid 40%
− Kalium oksalat jenuh (1:3)

3.2 Skema Percobaan


3.2.1 Pembuatan Tempe dari Koro
a) Persiapan bahan dan Sortasi
Kacang koro disortasi dari cemaran fisik kemudian ditimbang, Lalu
dicuci terlebih dahulu sebelum ke tahap berikutnya.
b) Perendaman 1
Masing-masing sebanyak 250 gram kacang koro direndam selama 24
jam. Perbandingan air dan kacang koro adalah 4 :1.
c) Perebusan
Kacang koro yang telah direndam, direbus selama 30 menit.
Perbandingan air dan kara benguk (Mucuna pruriens) adalah 4 : 1.
Setelah dingin, kulitnya dikelupas
d) Perendaman 2
Kacang koro yang telah dikelupas direndam kembali dengan air.
Perbandingan air dan kacang koro adalah 4:1 selama 24 jam.
e) Perendaman 3
Setelah 24 jam, diganti air yang baru dan dilakukan perendaman lagi
selama 24 jam dengan perbandingan air : biji adalah 4 : 1
f) Perlakuan pengecilan ukuran
Kacang koro dibagi 2 bagian sama banyak, 1 bagian dicacah (1
lembaga dibelah menjadi 3), dan 1 bagian dihaluskan
g) Pengukusan
Pengukusan dilakukan selama 25 menit dengan api sedang
h) Penirisan
Penirisan dilakukan dengan menggunakan saringan
i) Pendinginan
Pendinginan dilakukan dalam suhu kamar dan udara terbuka
j) Inokulasi
Inokulasi dengan menggunakan ragi tempe dengan perbandingan 0,1
dan 0,4 gr ragi tempe dalam 45 gram kara pada setiap masing-masing
variasi bentuk. Dilakukan pencampuran secara homogen. Lalu
dimasukkan ke dalam kantong plastik berlubang dengan diameter
jarum kecil berjarak 1x 1 cm.
k) Fermentasi
Inkubasi dilakukan dengan menempatkan plastik, yang sudah diisi
sampel, dengan menata di rak pada suhu kamar selama 24 jam
3.2.2 Pembuatan PBS
Dinatrium hidrogen fosfat ditimbang 1,72 gram (Na2 HPO4 ), kemudian
ditambahkan 0,89 gram kalium dihidrogen fosfat (KH2 PO4 ) dan 8,5 gram
natrium klorida (NaCl) dilarutkan dalam aquades steril hingga 1 liter. Kemudian
distabilkan pada pH 7,2 dengan menggunakan pH meter dan disterilkan dengan
autoklaf.
3.2.3 Ekstrak protein dari tempe kara
0,5 gram serbuk tempe ditambakan 5 mL PBS (Phosphate Buffer Saline) pH
7,2 dan disentrifus pada 10000 rpm selama 30 menit pada suhu 40C. Kemudian
supernatan dikumpulkan sebagai ekstrak larut dengan membuang lapisan
berminyak dan pelet yang tidak larut.
3.2.4 Titrasi Formol
Penetapan protein kara dengan metode titrasi formol. Cara pemeriksaan
kadar protein tempe meliputi 5 mL sampel dipindahkan ke dalam erlenmeyer 10
mL lalu ditambahkan 10 mL akuades, larutan kalium oksalat jenuh (1:3) sebanyak
0,2 mL dan indikator pp sebanyak 0,5 mL. larutan ini didiamkan selama 2 menit.
Larutan dititrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terlihat warna standar (warna merah
jambu). Setelah warna standar tercapai pada titrasi ditambahkan formaldehyde
40% sebanyak 1 mL dan dilakukan titrasi dengan NaOH 0,1 N hingga terlihat
kembali warna standar, kemudian titrasi kedua dicatat. Lalu dilakukan pembuatan
titrasi blanko dengan memasukkan aquades 10 mL, larutan kalium oksalat jenuh
0,2 mL, indikator pp 0,5 mL dan larutan formaldehid 40% 1 mL ke dalam
erlenmeyer 10 mL kemudian dititrasi dengan larutan NaOH 0,1 N.
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
4.1.1 Titrasi

Massa Cacah Halus


ragi
(gram) Volume % %N Volume % %N
NaOH Protein NaOH Protein
(mL) (Ml)

0,1 g 1,8 10,625 0,053 2,1 12,5 0,062

0,4 g 2,3 8,45 0,068 2,8 16,875 0,84

No Jenis (ukuran, massa Titrasi 1 (mL) Titrasi 2 (mL) Total volume


ragi) (mL)

1. Cacah (0,1 g) 0.6 1,2 1,8

2. Halus (0.1 g) 0.8 1.3 2.1

3. Cacah (0,4 g) 1 1.3 2.3

4. Halus (0.4 g) 1.1 1.7 2.8

4.1.2 Hasil Pengamatan

No Perlakuan Hasil

1. Titrasi 1
2. Penambahan formaldehid

3. Titrasi 2

4. Titrasi blanko

4.2 Pembahasan
Percobaan ini dilakukan untuk menganalisis protein secara kuantitatif
dengan menggunakan metode titrasi formol. Sampel yang digunakan yaitu tempe
kara pedang dengan menggunakan variasi ukuran serta jumlah ragi. Variasi
ukuran dilakukan dengan cara dihaluskan dengan menggunkan mortar dan alu
serta dicacah. Pembuatan tempe kara pedang dilakukan dengan fermentasi
menggunakan ragi tempe komersil yang dijual di pasaran.
Percobaan ini diawali dengan membuat tempe kara pedang. Kara pedang
yang digunakan dilakukan pencucian terlebih dahulu untuk menghilangkan
pengotor-pengotor baik yang bersal dari bahannya sendiri maupun yang
terkontaminasi dari luar. Tahap selanjutnya yaitu dilakukan perendaman.
Perendaman akan mengakibatkan perubahan pada ukuran biji serta struktur kulit
dari biji kara pedang. Perendaman akan mengakibatkan ukuran sampel menjadi
lebih besar dan struktur kulit dari biji kara pedang akan mengaalami perubahan
sehingga mudah dilakukan pengupasan. Tahap selanjutnya yaitu dilakuakn
pengecilan ukuran lalu dilakukan pengukusan. Pengukusan berfungsi untuk
melunakkan biji serta membunuh kontaminan misalnya bakteri serta untuk
mengurangi zat anti gizi. Biji kara pedang yang telah dikukus kemudian ditiriskan.
Penirisan dilkukan dengan menggunakan saringan. Penirisan dilakukan untuk
mengurangi kadar air yang terkandung dalam sampel biji kara pedang. Sampel
yang telah ditiriskan kemudian dilakukan pendinginan pada suhu ruang.
Pendinginan pada sampel dilakukan untuk menurunkan suhu sampel sehingga
sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur pada tahap fermentasi selanjutnya
(Purwadaksi, 2007).
Tempe kara pedang yang dihasilkan dilakukan analisis protein secara
kuantitatif dengan menggunkan metode titrasi formol. Metode titrasi formol
merupakan suatu metode analisis protein yang dilakukan dengan teknik titrasi
menggunakan NaOH untuk menetralkan larutan protein disertai dengan
penambahan formaldehida. Formaldehida digunakan untuk membentuk
dimenthiol yang menunjukkan bahwa gugus amino sudah terikat sehingga tidak
akan berpengaruh terhadap reaksi antara karboksil yang bersifat asam dengan
basa NaOH. Titik akhir titrasi dapat ditentukan dengan tepat untuk mengetahui
kadar protein terlarut dalam tempe kara pedang . Indikator yang digunakan yaitu
indikator PP (fenolftalein) (Sudarmadji, 1989).
Formaldehida ditambahkan pada larutan protein yang sudah dinetralkan
dengan NaOH sehingga formaldehida yang ditambahkan dapat bereaksi dengan
gugus amino pada residu asam amino. Formaldehida yang ditambahkan akan
mengakibatkan terjadinya perubahan gugus –NH2 menjadi N=CH2 . Hal ini akan
meningkatkan sifat keasaman dari protein. Titik akhir dari titrasi protein dengan
NaOH sebagai titrant ditandai dengan terbentuknya warna merah muda (pink)
(Awwaly, 2017). Larutan protein ketika bereaksi dengan formaldehida maka
kelompok asam amino akan menghasilkan turunan metilen dari asam amino serta
kehilangan sifat kationiknya, sedangkan gugus karboksil dalam asam amino
metilen tidak terblokir dan dapat dititrasi dengan larutan alkali (NaOH)
menggunakan fenolofalein sebagai indikator. Jumlah asam amino yang dilepaskan
setara/ekuivalen dengan jumlah asam amino yang terikat pada formaldehida
(Sikorski, 2001).
Reaksi penetralan larutan protein dengan NaOH terjadi melalui reaksi
berikut :
RC2H4NO2 (aq) + NaOH (aq) → RC2H4NO2 (aq)
Larutan protein yang sudah netral ditambahkan dengan formaldehida sehingga
menghasilkan dimenthiol yang ditunjukkan pada reaksi berikut ini :
RC2H4NO2 (aq) + CH2O (aq) ) → RC4H8NO4 (aq)
Dimenthiol yang sudah terbentuk kemudian dititrasi kembali dengan NaOH
sehingga warnanya kembali ke warna awal. Reaksi yang terjadi yaitu sebagai
berikut :
RC4H8NO4 (aq) + NaOH(aq) → RC4H8NO4Na (aq)
Volume akhir titrasi digunakan untuk mengetahui kadar protein dalam
sampel tempe kara pedang dengan membandingkannya pada volume titrasi
blanko. Volume titrasi yang didapat dari tempe cacah serta halus dengan massa
ragi 0,1 gram dan cacah serta halus dengan massa ragi 0,4 gram berturut turut
adalah 1,8; 2.1; 2.3 dan 2.8 mL. Volume titrasi untuk larutan blanko adalah 0,1
ml. Volume NaOH yang digunakan untuk titrasi akan setara dengan banyaknya
asam amino yang terdapat dalam sampel. Hasil yang didapat menunjukkan bahwa
tempe halus dengan massa ragi 0,4 gram memiliki kadar protein yang paling besar
sementara kadar protein paling kecil ada pada tempe cacah dengan massa ragi 0,1
gram. Tempe halus dengan massa ragi 0,1 gram dan tempe cacah dengan massa
ragi 0,4 gram memiliki kadar protein yang hampir sama, namun massa ragi paling
mempengaruhi kadar protein tempe jika dilihat dari volume titrasi yang didapat.
Kadar protein dalam sampel diketahui dengan menggunakan perhitungan
%protein dan %N. %protein merupakan
DAFTAR PUSTAKA

Awwaly, Khotibul Umam. 2017. Protein Pangan Hasil Ternak Dan Aplikasinya.
Malang :UB Press.
Brady, J. E. 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur. Bandung : Binarupa
Aksara.
Lehninger. 1990. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1. Alih bahasa oleh Maggy
Thenawidjaja. Jakarta: Erlangga.
Purwadaksi. 2007. Membuat Tempe Dan Tahu. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Sikorski, Zdsislaw. 2001. Chemical And Functional Properties Of Food Proteins.
New York : CRC Press LLC.
Sudarmadji, dkk. 2010. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta.
Sumantri dkk. 2005. Pengaruh Genotipe Kappa Kasein (κ-Kasein) Terhadap
Kualitas Susu Pada Sapi Perah FH di BPTU Baturaden. Seminar
Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005.
Toha, A. H. 2001. Biokimia: Metabolisme Biomolekul. Bandung: Alfabeta.
Watson, Roger. 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Perawat. Jakarta : EGC.
Winarno F, G. 1986. Kimia Pangan dan Gizi I. Jakarta: PT. Gramedia.
Yazid, E. dan Nursanti, L. 2006. Penuntun Praktikum Biokimia.Yogyakarta :
Andi.
LAMPIRAN

Diket : Faktor koreksi tempe : 6,25


% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
p = banyaknya NaOH yang digunakan untuk titrasi sampel
q= banyaknya NaOH yang digunakan untuk titrasi blanko.
No Jenis (ukuran, massa Titrasi 1 (mL) Titrasi 2 (mL) Total volume
ragi) (mL)

1. Cacah (0,1 g) 0.6 1,2 1,8


2. Halus (0.1 g) 0.8 1.3 2.1

3. Cacah (0,4 g) 1 1.3 2.3

4. Halus (0.4 g) 1.1 1.7 2.8

1. Cacah (0,1 gram)


% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
= (1,8 -0,1)mL x 6,25
= 1,7 x 6,25
= 10,625
𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑜𝑙
%N = × 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 14,008
𝑔 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ×10
1,7 𝑚𝐿
%N = × 1 𝑁 × 14,008
45 𝑔𝑟𝑎𝑚 ×10

%N = 0,053
2. Halus (0,1 gram)
% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
= (2,1 -0,1)ml x 6,25
= 2,0 x 6,25
= 12,5
𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑜𝑙
%N = × 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 14,008
𝑔 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ×10
2,0 𝑚𝐿
%N = × 1 𝑁 × 14,008
45 𝑔𝑟𝑎𝑚 ×10

% N = 0,062
3. Cacah (0,4 gram)
% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
= (2,3 -0,1)ml x 6,25
= 2,2 x 6,25
= 8,45
𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑜𝑙
%N = × 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 14,008
𝑔 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ×10
2,2 𝑚𝐿
%N = × 1 𝑁 × 14,008
45 𝑔𝑟𝑎𝑚 ×10

% N = 0,068
4. Halus (0,4 gram)
% protein = (p – q) ml x 6,25 (faktor formol)
= (2,8 -0,1)ml x 6,25
= 2,7 x 6,25
= 16,875
𝑡𝑖𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑓𝑜𝑟𝑚𝑜𝑙
%N = × 𝑁 𝑁𝑎𝑂𝐻 × 14,008
𝑔 𝑏𝑎ℎ𝑎𝑛 ×10
2,7 𝑚𝐿
%N = × 1 𝑁 × 14,008
45 𝑔𝑟𝑎𝑚 ×10

% N = 0,084

Anda mungkin juga menyukai