Anda di halaman 1dari 9

NAMA: R. Moch.

Khoiruddin
NIM: 071711433015
UAS SOSIOLOGI KESEHATAN

NOMOR 1

Pendekatan Biomedis mendefinisikan kesehatan sebagai ketiadaan penyakit atau malfungsi


fisik. Dalam hal ini berarti tiap organ tubuh individu berfungsi dengan baik. Karena itu
kesehatan dilihat dari kondisi atau keadaan fisik seseorang. Bagi seorang dokter, sehat atau
sakit adanya simtom (symtom) dan tanda (sign) adanya penyakit yang merupakan bukti
adanya gangguan biologi pada tubuh manusia sehingga memerlukan penanganan medis. Jadi
sehat menurut biomedis adalah tidak adanya simtom atau tanda yang membuktikan adanya
penyakit. Contohnya adalah gejala/simtom seperti mata merah, radang tenggorokan bukti
adanya penyakit atau tidak sehat.

Pendekatan Psikologis memandang kesehatan mencakup tiga unsur, yakni (a) keterlibatan
yang menyenangkan (seperti rasa senang karena telah berprestasi ataupun dipuji), (b)
kepuasan jangka panjang (seperti kebahagiaan karena situasi keluarga yang positif), dan (c)
ketiadaan dampak negatif (seperti kesunyian atau ketidakbahagiaan). Karena itu dalam
pendekatan psikologis, individu bisa saja secara biomedis dianggap sakit. Katakanlah ia
merupakan disabilitas netra tetapi jika kondisi “kecacatan” yang dialaminya secara personal
tidak berdampak negatif baginya tentu ia akan merasa sehat belaka.

Secara sosiologis ada dua hal yang penting diperhatikan terkait dengan kesehatan. Pertama,
kategori antara sakit dan kesehatan pada tiap masyarakat berbeda. Kedua, definisi sehat dan
sakitnya individu tergantung dari kemampuannya melakukan peran dan tugas dalam sistem
sosial. Sebagaimana dikatakan oleh Talcott Parsons bahwa seseorang dianggap sehat
manakala ia mempunyai kapasitas optimum untuk melaksanakan peran dan tugas yang telah
dipelajarinya melalui proses sosialisasi, terlepas dari apakah secara biomedis ia sehat atau
tidak. Menurut Parsons pula kesehatan sosiologis seseorang bersifat relatif karena tergantung
pada peran yang dijalankannya dalam masyarakat. Contohnya individu boleh jadi mengidap
penyakit tertentu seperti diabetes, riwayat penyakit jantung atau sesak napas tetapi jika ia
mampu melakukan tugasnya sebagi guru sekaligus ibu rumah tangga maka secara sosiologis
ia dianggap sehat.
Terakhir, berkenaan dengan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi sesorang
mengkonstruksi sehingga memunculkan perbedaan makna dapat dilihat pada health belief
model. Dikatakan bahwa perbedaan pada masing-masing individu lah yang membedakan
mereka dalam mengkonstruksikan makna sehat-sakit. Bahwa terdapat struktur kognitif yang
dibentuk individu yang mempengaruhi tindakan pencapaian kesehatan melaui praktik
kesehatan. Akibatnya konstruksi sehat-sakit pun menurut individu tersebut unik dan berbeda
dari yang lain. Konstruksi tersebut dibentuk oleh latar belakang demografi, kondisi psikologi
sosial dan pengaruh struktural.

NOMOR 2

Pertama, Model Parsonian dimana Talcot Parson sendiri adalah pelopor yang mencoba
menjelaskan faktor sosio-kultural untuk perawatan kesehatan. Menurutnya, hubungan dokter-
pasien dapat dikatakan sebagai sub sistem dari sistem yang lebih besar. Nilai dalam subsistem
tersebut mencerminkan nilai masyarakat yang memberikan kontribusi terhadap hubungan
antara dokter dan pasien sehingga hubungan tersebut tidak terelakkan dan asimetris. Dalam
hal ini Parson percaya bahwa dokter memainkan peran kunci dan memainkan peran yang
“kuat” serta berinteraksi dengan pasien.

Kedua, Model Szasz dan Hollender merupakan modifikasi dari model Parson dan
dikembangkan oleh Thomas Szasz dan Marc Hollender. Keduanya berpendapat bahwa ada 3
model yang dikembangkan, yaitu (1) model activity-passivity yang sangat mirip dengan
model Parson sebagai hubungan asimetris antara dokter dan pasien. Dalam hal ini, dokter,
sebagai ahli medis, mengontrol aliran komunikasi, membuat semua keputusan penting. (b)
the guidance cooperation model terjadi ketika pasien memiliki perasaan, diberitahu soal
medis, memiliki harapan, dan aspirasi terhadap dokter. Di mana keterlibatan pasien
meningkat dalam mendapatkan informasi, membuat keputusan berkaitan dengan treatment
yang diperoleh. Sementara Dokter tetap bertanggung jawab mengarahkan; membimbing
pertemuan, bersifat kooperatif dan mengurangi otokrasinya. (c) the mutual participation
model terjadi ketika ada hubungan yang seimbang antara dokter dan pasien. Di mana pasien
berpartisipasi penuh dan menjadi central player dalam pertemuan agar interaksi berlangsung
sukses dan dianggap lebih tahu tentang situasi dirinya dibandingkan dengan dokter yang
dalam hal ini mencoba bertanya untuk mendapatkan informasi dan menjamin kerahasiaan
informasi.
Ketiga, Model The Veatch di mana Robert Veatch menekankan pentingnya moral
relationship antara dokter dan pasien. Menurutnya ada empat kemungkinan hubungan yang
terjadi, yaitu (a) an engineering models terjadi ketika terdapat kesadaran bahwa dokter adalah
orang profesional dan menjalankan tugas profesinya secara obyektif yang dalam hal ini
melakukan apapun keinginan pasien meskipun bertentangan dengan nilai dan norma sosial.
(b) a priestly model terjadi ketika dokter dipandang sebagai figur yang memiliki tanggung
jawab profesi sekaligus tanggung jawab moral dengan mengambil tindakan terbaik untuk
pasien. (c) a collegial model adalah model idel yang terjadi ketika dokter dan pasien melihat
hubungan mereka sebagai hubungan kolega yang memiliki tujuan yang sama yakni good
health. (d) a contractual model terjadi ketika pola hubungan yang berlangsung atas dasar
kesepakatan terkait hak dan kewajiban. Dokter dan pasien berinteraksi dengan pengertian
bahwa ada kewajiban dan keuntungan yang diharapkan bagi keduanya.

Dari ketiga model di atas, model yang paling relevan dengan masyarakat Indonesia adalah
model Parsonian yang menempatkan dokter “unggul” dalam hubungannya dengan pasien.
Hal ini dikarenakan profesi dokter sendiri merupakan jabatan yang terhormat di kalangan
masyarakat. Belum lagi kebanyakan masyarakat juga tidak begitu mengerti mengenai tetek
bengek kesehatan dan dunia medis pada khususnya. Meskipun memang pada era informasi di
mana masyarakat dapat mengakses informasi medis dengan leluasa tetapi tentu masih banyak
lagi anggota masyarakat yang tidak melakukan itu. Akibatnya masyarakat ketika dihadapkan
pada dokter mereka hanya menjelaskan dan pasrah pada apa yang akan dilakukan oleh dokter
karena mereka percaya pada keahlian dari profesi dokter. Meskipun di sisi lain masih ada
yang tidak percaya dokter dan justru pergi ke pengobatan tradisional tetapi tetap saja hal itu
tidak menggantikan peran Puskesmas dan dokter pada khususnya.

NOMOR 3

HBM merupakan struktur kognitif yang dibentuk individu yang mempengaruhi tindakan
pencapaian kesehatan melaui praktik kesehatan. Struktur kognitif tersebut dibentuk oleh latar
belakang demografi, kondisi psikologi sosial dan pengaruh structural. Kemudian dari
pengalaman itu individu membentuk persepsi apakah dirinya sehat apa tidak. Muncul
persepsi seberapa rentan dirinya terhadap penyakit tertentu dan dia mempersepsikan penyakit
apa saja yang menurutnya berbahaya serta dampaknya jika dia terjangkit.
Setelah proses itu individu mengakumulasikan kerentanan. Sehingga individu
memperhitungkan peluang dirinya terserang penyakit: dengan kondisi tubuhnya yang begini
dan virus yang seperti ini apakah dia merasa rentan terhadap penyakit apa tidak. Jika
mereka merasa rentan maka tindakan pencegahan akan dilakukan. Akan tetapi tindakan
pencegahan dipengerahu latar belakang individu. Misalnya jika mereka tinggal di lingkungan
dekat dengan pengorbatan alternatif, maka tindakan dari pngobatan alternatif yang diambil.
Selain itu upaya individu untuk mencapai kesembuhan juga mendapat halangan, yang mana
berasal dari faktor eksternal individu. Misalnya, kemiskinan, ketiadaan akses, faskes, dokter
hingga informasi yang kurang.

Berangkat dari kondisi yang demikian individu memperhitungkan bagaimana individu dapat
melakukan tindakan tertentu untuk tetap sehat dengan berbagai hambatan tadi. Akhirnya dari
sini muncul pengaruh dari informasi entah dari buku, internet, atau koran. Di mana individu
yang menganggap informasi tersebut bermanfaat baginya, maka dia melakukan tindakan
berlebih untuk mengatasi hambatan tadi. Sebaliknya jika informasi dianggap tidak
bermanfaat baginya dan ia mempersepsikan dirinya baik-baik saja maka ia tidak mengatasi
hambatan. Keputusan individu dengan berbagai pertimbangan tersebutlah yang membentuk
apakah individu memperjuangkan praktik kesehatan yang ia pilih atau justru ia bertindak
sekadarnya dalam praktik kesehatan.
Health Belief Model (HBM) merupakan struktur kognitif yang dibentuk individu yang
mempengaruhi tindakan pencapaian kesehatan melaui praktik kesehatan. Struktur kognitif
tersebut dibentuk oleh latar belakang demografi, kondisi psikologi sosial dan pengaruh
structural. Kemudian dari pengalaman itu individu membentuk persepsi apakah dirinya sehat
apa tidak. Muncul persepsi seberapa rentan dirinya terhadap penyakit tertentu dan dia
mempersepsikan penyakit apa saja yang menurutnya berbahaya serta dampaknya jika dia
terjangkit.

Setelah proses itu individu mengakumulasikan kerentanan. Sehingga individu


memperhitungkan peluang dirinya terserang penyakit: dengan kondisi tubuhnya yang begini
dan virus yang seperti ini apakah dia merasa rentan terhadap penyakit apa tidak. Jika
mereka merasa rentan maka tindakan pencegahan akan dilakukan. Akan tetapi tindakan
pencegahan dipengerahu latar belakang individu. Misalnya jika mereka tinggal di lingkungan
dekat dengan pengorbatan alternatif, maka tindakan dari pngobatan alternatif yang diambil.
Selain itu upaya individu untuk mencapai kesembuhan juga mendapat halangan, yang mana
berasal dari faktor eksternal individu. Misalnya, kemiskinan, ketiadaan akses, faskes, dokter
hingga informasi yang kurang.
Berangkat dari kondisi yang demikian individu memperhitungkan bagaimana individu dapat
melakukan tindakan tertentu untuk tetap sehat dengan berbagai hambatan tadi. Akhirnya dari
sini muncul pengaruh dari informasi entah dari buku, internet, atau koran. Di mana individu
yang menganggap informasi tersebut bermanfaat baginya, maka dia melakukan tindakan
berlebih untuk mengatasi hambatan tadi. Sebaliknya jika informasi dianggap tidak
bermanfaat baginya dan ia mempersepsikan dirinya baik-baik saja maka ia tidak mengatasi
hambatan. Keputusan individu dengan berbagai pertimbangan tersebutlah yang membentuk
apakah individu memperjuangkan praktik kesehatan yang ia pilih atau justru ia bertindak
sekadarnya dalam praktik kesehatan.

Contoh kasus sederhanya yakni berkaitan dengan HBM masyarakat terhadap virus korona.
Dalam hal ini persepsi masyarakat terhadap virus korona amat berbeda. Ada masyarakat yang
menganggap serius virus korona. Ada pula yang menganggapnya enteng belaka. Persepsi
masyarakat ini dapat dikembalikan pada latar belakang individu. Tetapi pengaruh informasi
khususnya media sosial dan media massa amat berpengaruh terhadap wacana pandemi virus
korona belakangan ini. Artinya apabila masyarakat menganggap virus korona sebagai hal
benar-benar mengancam, maka ia akan beraktivitas di rumah dan membatasi aktvitas di luar
rumah. Begitupun jika individu percaya virus korona tidak seberbahaya sebagaimana
diberitakan media maka ia pun tetap beraktivitas dengan ringan.

NOMOR 4

Berikut beberapa ragam sistem medis yang telah ada: Pertama, sistem etnomedis yang
bersumber pada pengetahuan budaya. Dalam hal ini Penyakit merupakan produk persepsi
budaya individu sesuai budaya makro komunitas. Penyakit dimaknai sebagai gangguan hidup
karena salah makan, salah perilaku atau gangguan makhulik supra natural, guna-guna, sihir
dan sejenisnya. Untuk sistem ini memiliki kelebihan telah diketahui oleh komunitas sehingga
informasi tersebar tetapi memiliki kekurangan berupa kearutan dalam melakukan
penyembuhan. Kedua, sistem medis modern yang bersumber pengetahuan berbasis ilmiah
yang dibangun dari kerangka berpikir yang rasional. Dalam sistem penyakit yang diidap
seseorang memberikan makna bahwa tubuh sebagai organisasi mengalami gangguan terkait
fungsinya. Sehingga organ yang telah “rusak” itulah yang mesti diperbaiki untuk kemudian
dirawat. Kelebihan sistem ini adalah keakuratan dan ketapatan dalam mengobati penyakit
tatapi memiliki kelemahan berupa terjadinya relasis dokter dan pasien yang tidak seimbang
atau asimetris sehingga menjadi masyarakat bergantung. Ketiga, sistem medis religious
bersumber pada ajaran agama yang bersumber dari kitab suci atau wahyu. Dalam kasus
agama Islam sistem medis ini berkaitan dengan fiqih yang terkait dengan tata cara melakukan
perilaku tertentu seperti tidak meminum alkohol, memakan babi dan mengkhitan penis.
Kelebihan sistem medis ini adalah ditaati oleh pengikutnya dan memiliki kekurangan bahwa
bisa jadi ajaran agama tidak benar secara ilmiah.

Berikut beberapa faktor mengapa masyarakat lebih memilih dan mengembangkan sistem
pengobatan tertentu. Pertama, faktor aksesibilitas yang berarti masyarakat cenderung
memilih sistem pengobatan yang terjangkau bagi mereka. Keterjangkauan ini tidak hanya
berkaitan dengan jarak tetap juga biaya. Tetapi di beberapa negara dengan sistem layanan
kesehatan yang bagus seperti National Health Service di Inggris banyak anggota masyarakat
yang memilih sistem pengobatan modern yang diakui oleh negara. Tetapi ada kasus di mana
masyarakat juga dapat menjangkau keduanya seperti pada masyarakat perkotaaan sehingga
membuka peluang masyarakat untuk memilih sistem pengobatan alternatif atau tradisional.
Kedua, bekaitan dengan konstruksi masarakat tentang “sehat” dan “sakit” yang berimplikasi
pada apa pertanyan tentang yang menyebabkan sakit? dan siapa serta bagaimana
menyembuhkan? dan jawaban atas dua hal tergantung dominasi wacana kesehatan yang
menang antara sistem kesehatan modern dan sistem kesehatan alternatif. Pada masyarakat
perkotaan wacana kesehatan medis yang dipengaruhi oleh Barat mendominasi wacana
sebagai akibatnya lebih banyak penduduk kota yang lebih memilih sistem pengobatan
modern. Pada masyarakat pedesaan wacana kesehatan alternatif memiliki pengaruh yang kuat
dibanding sistem pengobatan modern. Ketiga, pengalaman pribadi masing-masing individu.
Di mana individu melalui pengalaman pribadi akan menetukan mana yang bisa memberikan
kesembuhan semudah dan sesegara mungkin, begitu juga sebaliknya individu akan
menghindari sistem pengobatan yang dirasa tidak efektif dalam menyembuhkan. Dengan
demikian, pengalaman pribadi mempengaruhi kepuasan individu dan menilai pengobatan
mana yang paling efektif. Jika individu mengalami kepuasaan terhadap sistem pengobatan
yang diakses pertama kali akan membuat individu tetap menggunakan sistem pengobatan
yang sama, hal sebaliknya terjadi jika pilihan sistem pengobatan yang pertama dipilih tidak
memberi kepuasaan maka individu akan memilih sistem pengobatan yang lain. Sehingga
sangat mungkin individu beralih pilihan dari pengobatan modern ke pengobatan alternatif
begitu sebaliknya.
NOMOR 5

Berikut beberapa faktor yang menjelaskan mengapa virus corona bisa menyebar ke seluruh
dunia dan menjadi pandemi.

Pertama, sifat penularan yang relatif mudah dimana COVID-19 telah bermutasi dan
mengembangkan beberapa cara penularan. Dari udara, sentuhan dan cairan tubuh telah
memungkinkan penyebaran COVID-19. sifat yang mudah menyebar sejak awal menambah
pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat yang memfasilitasi proses difusi.

Kedua, globalisasi yang berperan dalam mendorong konektivitas komunitas lintas batas
melalui liburan atau perjalanan kerja, telah menyebabkan COVID-19 berpindah antar negara.
Semakin banyak orang dari luar negeri yang bersentuhan dengan patogen dari Wuhan
kemudian kembali ke negara asalnya membawa COVID-19 di dalamnya, yang kemudian
menyebar di lingkungan keluarga mereka dan membentuk area pandemi baru.

Ketiga, kebijakan pemerintah di mana pemerintah berbagai negara mengabaikan peringatan


tentang penyebaran virus corona. Dalam hal ini, pemerintah tidak merespon dengan
menghentikan transmisi dengan menutup arus orang. Belum lagi, ada pemerintah yang cuek
saja dan sibuk membangun wacana bahwa masyarakat kebal dengan argumentasi tidak ilmiah
dan lebih fokus pada ekonomi jangka pendek.

Keempat, pekerjaan di mana orang dihadapkan pada pilihan antara mata pencaharian dan
kehidupan. Komunitas berperan penting dalam munculnya infeksi terkait di tempat kerja.
Petugas kesehatan yang merawat orang dengan COVID-19 memiliki kecenderungan tinggi
untuk tertular infeksi COVID-19 akibat bekerja. Selain itu masih ada pekerja lain seperti
ojek, penata rambut, tukang pijat, dll.

Dampak: (1) pandemi memperlambat pertumbuhan ekonomi dengan merusak jumlah


penduduk yang mempunyai kemampuan produksi yang baik. Pada skala makro, pandemi
juga memaksa banyak sektor ekonomi jasa dan barang tutup total sebagai hasil kebijakan
pemerintah #BekerjadariRumah untuk menekan jumlah penyebaran. Selain itu ada PHK yang
memunculkan banyak pengngguran baru dalam tempo yang singkat. (2) banyaknya jumlah
pasien yang harus dikarantina di rumah sakit, khususnya para pencari nafkah telah membuat
ekonomi rumah tangga menjadi sulit dan juga semakin tingginya angka kematian di suatu
daerah. (3) perubahan gaya hidup untuk sebagian besar masyarakat di mana mereka yang
waspada pada penularan COVID-19 mulai menggunakan masker ketika keluar rumah dan
membawa hand sinitizer serta juga semakin sering cuci tangan. Dan tentu saja banyak
tindakan manusia yang menjadi serba digital mulai dari sekolah, kuliah, kerja, hingga pesan
makanan. Singkatnya masker telah banyak mengubah wajah masyarat menjadi pemandangan
yang lebih rentan akan penyakit.

Solusi: (1) Penyebaran COVID-19 antar negara melalui transportasi maka solusi yang paling
tampak adalah menutup akes keluar dan masuk dalam proses perjalanan antar negara atau
setidaknya melakukan pembatasan kuota dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
(2) Pemerintah bisa melakukan rekayasa sosial seperti memberlakukan hukuman bagi yang
tidak taat serta mengedukasi melalui media massa dan pendidikan serta pemerintah pusat dan
daerah berkolaborasi dan memastikan kebijakan kesehatan dapat berjalan dengan saling
mendukung dan tidak saling kontradiktif. (3) Pemerintah wajib menggunakan anggaran
darurat untuk menambah layanan kesehatan, memberi insentif tambahan untuk tenaga
kesehatan (4) Pemerintah juga wajib memberikan akses vaksin gratis kepada seluruh warga
negara. (5) Pemerintah memastikan bahwa segala kebutuhan dan administrasi harus
menunjang kinerja tenaga kesehatan dan memberi insentif tambahan sebagai ucapan
terimakasih meskipun jumlah uang tidak akan bisa setara dengan risiko nyawa yang
dipertaruhkan oleh tenaga medis.

Anda mungkin juga menyukai