NPM : 1911020207
Menurut G. Bergstrasser dan O.Pretzl (Die Geschische des Korantexst, Leipzig, 1928),
ialah yang berasal dari Abu Ubaid (wafat 845) yang memuat nama segolongan sahabat
Rasulullah, kira-kira 40 orang tabi’in dan akhirnya 15 orang qori’ yang sebenarnya, semua
berasal dari 5 buah kota, yaitu Madina, makkah, Kuffah, Bashrah dan Damaskus. Setelah
diselidiki lagi secara seksama, mereka itu dapat dipusatkan pada tujuh orang qori’.
Beberapa ulama ilmu al-Qur’an berpendapat bahwa qiraat ada tiga macam, mutawatir,
ahad dan syadz. Mereka berpendapat bahwa qiraat yang mutawatir adalah qiraat tujuh,
kemudian qiraat sepuluh dan qiraat para sahabat adalah ahad. Sebagian berpendapat
bahwa qiraat sepuluh adalah mutawatir. Sedangkan selain qiraat tersebut, menurut
pandangan ulama adalah syadz.
Ibnal-Jazari, sebagaimana dinukil oleh al-Suyuti, menyatakan bahwa qira’at dari segi
sanad dapat dibagi menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
1. Qira’at Mutawatir
Qira’at Mutawatir adalah qira’at yang diriwayatkan oleh orang banyak dari banyak
orang yang tidak mungkin terjadi kesepakatan diantara mereka untuk berbuat
kebohongan. Contoh untuk qira’at mutawatir ini ialah qira’at yang telah disepakati
jalan perawiannya dari imam Qiraat Sab’ah.
2. Qira’at Masyhur
Qira’at Masyhur adalah qira’at yang sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah
SAW. diriwayatkan oleh beberapa orang yang adil dan kuat hafalannya, serta qira’at -
nya sesuai dengan salah satu rasam Usmani; baik qira’at itu dari para imam
qira’atsab’ah, atau imam Qiraat’asyarah ataupun imam-imam lain yang dapat diterima
qira’at -nya dan dikenal di kalangan ahli qira’at bahwa qira’at itu tidak salah dan tidak
syadz, hanya saja derajatnya tidak sampai kepada derajat Mutawatir.
Misalnya ialah qira’at yang diperselisihkan perawiannya dari imam qira’atSab’ah,
dimana sebagian ulama mengatakan bahwa qira’at itu dirawikan dari salah satu imam
qira’atSab’ah dan sebagian lagi mengatakan bukan dari mereka.
Dua macam qira’at di atas, qira’at Mutawatir dan qira’at Masyhur, dipakai untuk
membaca al-Qur’an, baik dalam shalat maupun diluarshalat, dan wajib meyakini ke-
Qur’an-annya serta tidak boleh mengingkarinya sedikitpun.
3. Qira'at Ahad
Qira’at Ahad adalah qiraat yang sanadnya bersih dari cacat tetapi menyalahi rasam
Utsamani dan tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Juga tidak terkenal di kalangan
imam qiraat. Qira’at Ahad ini tidak boleh dipakai untuk membaca al-Qur’an dan tidak
wajib meyakininya sebagai al-Qur’an. Qiraat ahad, adalah qiraat yang sanadnya sahih,
tetapi rasmnya berbeda dengan rasm Uthmani. Demikian juga dengan kaidah dalam
bahasa Arabnya yang berbeda serta tidak se-masyhur seperti tersebut di atas, seperti
terdapat dalam surah al-Taubah ayat 128
َ )ر ْف َر
Kata (ف َ dibaca dengan (ف ِ َ)رف.
َ ار َ Kedua bacaan qiraah di atas al-Hakim melalui
jalur ‘Ashim Jahdari, dari Abu Barkah, dari Nabi SAW.
4. Qira'atSyazah
Qira’atSyazah adalah qira’at yang cacat sanadnya dan tidak bersambung sampai
kepada Rasulullah SAW. Hukum Qiraat Syazah ini tidak boleh dibaca di dalam
maupun di luar sholat. Qiraatsyadz,adalah qiraat yang sanadnya tidak sahih.Seperti
qiraat Ibnal-Samaifah,seperti dalam surah Yunus ayat 92:
ً فَ ْاليَ ْو َمنُ ْنحِ ْي َكبِبَدَنِ َك ِلت َ ُكونَ ِل َم ْن َخلَفَكَآيَةً َو ِإنَّ َكث
َِيرامِ نَالنَّا ِسعَ ْنآيَاتِنَالَغَافِلُون
Kata ( َ )نُن َِجيكdibaca dengan ( َ )نُ ْنحِ يْكdan kata ( َ )خ َْلفَكdibaca dengan ( َ) َخلَفَك.
Menurut Abu Amr Ibn Hajab,seperti dikutip al-Jazari,qiraat yang syadz dilarang
pembacaannya pada saat solat dan lainnya. Sedangkan menurut mazhab Syafii,apabila
seseorang mengetahui bahwa suatu bacaan adalah qiraat syadz dan membacanya pada
saat salat,maka batallah solatnya. Jika tidak mengetahui,maka terbebas dari kesalahan.
a. Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya sahih tetapi tidak sampai mutawatir dan
menyalahirasam Usmani atau kaidah bahasa Arab.
b. Syaz, yaitu qira’at yang tidak mempunyai salah satu dari rukun yang tiga.
c. Mudraj, yaitu qira’at yang ditambah dengan kalimat lain yang merupakan
tafsirnya.
Qiraat mudraj, adalah qiraat yang disisipkan penafsiran seperti qiraat yang diambil
dari Ibn Abbas, seperti terdapat Surah al-Baqarah ayat 198
Kalimat ( )الحج مواسم فيadalah penafsiran yang diselipkan dalam nash ayat tersebut.
ُس ُّ ث كًَللَةً أ َ ِو ْام َرأَة ٌ َولَهُ أ َ ٌخ أ َ ْو أ ُ ْختٌ ٍأم فَ ِل ُك ِل َواحِ ٍد مِ ْن ُه َما ال
ُ سد ُ ُور
َ َو ِإ ْن َكانَ َر ُج ٌل ي
e. Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir serta sesuai dengan kaeidah tata bahasa Arab dan Rasam Usmani.
f. Qiraat mutawatir, adalah qiraat yang disandarkan pada periwayat yang terpercaya
dan tidak mungkin mereka berdusta.
Dari segi jumlah, macam-macam qira’at dapat dibagi menjadi 3 (tiga) macam qiraat
yang terkenal, yaitu :
1. Qira’atSab’a, adalah qira’at yang dinisbahkan kepada para imam Qurra’ yang
tujuh yang termasyhur. Mereka adalah Nafi’, IbnKAsir, Abu Amru, Ibn Amir,
Ashim, Hamzah dan Kisa’i.
2. Qira’at ‘Asyarah, adalah qira’atSab’ah di atas ditambah dengan tiga qiraat lagi,
yang disandarkan kepada Abu Ja’far, Ya’kub dan Khalaf al-‘Asyir.
3. Qira’at Arba’ ‘Asyarah, adalah qira’at ‘Asyarah lalu ditambah dengan empat
qiraat lagi yang disandarkan kepada IbnMuhaisin, Al-Yazidi, Hasan al-Bashri dam
al-A’masy. Dari ketiga macam qira’at di atas, yang paling terkenal adalah Qiraat
Sab’ah kemudian disusul oleh qira’at ‘Asyarah.
Kata-kata ( )إسنادا وصحdi atas kemudian pahami sebagai riwayat yang mutawatir.Menurut
Imam Makki seperti dikutip Zarqani juga memaparkan tentang syarat suatu qiraat yang
dapat diterima atau tidak, yaitu:
• Pertama, qiraat yang dapat diterima dengan memenuhi tiga syarat, yaitu
diriwayatkan oleh orang yang tsiqah; sesuai dengan kaidah bahasa Arab dan rasm
mushaf.
• Kedua, periwayatannya sahih, sesuai dengan kaidah bahasa Arab tetapi tidak
sesuai dengan rasm mushaf. Qiraat ini tetap dapat diterima, tetapi tidak dapat
dipergunakan dalam bacaan meskipun periwayatannya sahih. Hal ini dikarenakan
jika qiraat tersebut dibaca, maka akan dianggap sebagai al-Qur’an. Karena didalam
al-Qur’an sendiri terdapat hukum-hukum, maka membacanya ditakutkan
mengundang kesalahpahaman.
• Ketiga, qiraat yang diriwayatkan oleh perawi yang siqah atau pun tidak, tetapi
tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab, maka qiraat ini tidak dapat diterima.
Meski qiraat tersebut telah sesuai dengan rasm mushaf.
Terkait dengan syarat diterimanya qiraat, terdapat silang pendapat dikalangan ahli nahwu.
Mereka beranggapan bahwa qiraat yang sanadnya sahih sekalipun, jika tidak sesuai
dengan kaidah nahwu, maka qiraatnya ditolak. Terkait hal tersebut, Qattan mengutip
pendapat Abu Amr al-Dani yang mengatakan jika suatu qiraat telah sahih dalam
periwayatan dan penukilan, maka riwayat tersebut tidak bisa ditolak.
Contoh-contoh qira’at yang berbeda tetapi sesuai dengan rasm secara tahqiq adalah
“ta’lamuuna” dengan ta’ dan ya’. Juga “yaghfirlakum” dengan ya’ dan nun’ dan lain-
lain. Kekosongan rasm dari titik dan syakal baik ketika dihilangkan maupun ketika
ditetapkan merupakan bukti betapa tingginya para shahabat dalam ilmu ejaan
khususnya dan dalam pemahaman yang cemerlang terhadap kajian setiap ilmu.
Dalam menentukan qira’at yang shahih tidak disyaratkan qira’at itu harus sesuai
dengan semua mushaf, cukup dengan apa yang terdapat dalam sebagian mushaf saja.
Misalnya qira’atIbn ‘Amr “wabizzuburiwabilkitaabi” (Ali ‘Imraan: 184), dengan
menetapkan ba’ pada kedua lafaz itu, qira’at ini dipandang shahih karena yang
demikian ditetapkan pula dalam Mushaf Syami.
3. Qira’at itu harus shahih isnadnya, sebab qira’at merupakan sunah yang diikuti yang
didasarkan pada keselamatan penukilan dan keshahihan riwayat. Seringkali ahli
bahasa Arab mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu tidak sejalan dengan
aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun demikian para imam qira’at tidak
menanggung beban apapun atas keingkaran mereka itu. Itulah syarat-syarat yang
ditentukan dalam dlabit bagi qira’at yang shahih. Apabila ketiga syarat itu terpenuhi
yaitu:
a. Sesuai dengan bahasa Arab
b. Sesuai dengan rasam Mushaf
c. Shahih sanadnya
Maka qira’at tersebut adalah qira’at yang shahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih
tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah, syadz atau bathil.Yang
mengherankan ialah bahwa sebagian ahli Nahwu masih juga menyalahkan
qira’atshahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qira’at
tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolok
ukur bagi keshahihan bahasa.
Seharusnya qira’at yang shahih itu dijadikan hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah
nahwu dan kebahasaan, bukan sebaliknya menjadikan kaidah ini sebagai pedoman
bagi al-Qur’an. Hal ini karena al-Qur’an adalah sumber pertama dan pokok bagi
pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang al-Qur’an sendiri didasarkan pada
keshahihanpenukilan dari riwayat yang menjadi landasan para qari’, bagaimanapun
juga adanya.
IbnJaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama kaidah qira’at yang
shahih ini menegaskan, “Kata-kata dalam kaidah di atas meskipun hanya dalam satu
segi, yang kami maksudkan adalah suatu segi dari ilmu nahwu, baik segi itu fasih
maupun lebih fasih, disepakati atau pun diperselisihkan. Sedikit berlawanan dengan
kaidah nahwu tidaklah mengurangi keshahihan suatu qira’at jika qira’at itu telah
tersebar luas, populer dan diterima para imam berdasarkan isnad yang shahih, sebab
hal terakhir inilah yang menjadi dasar terpenting dan sendi paling utama.
Memang, tidak sedikit qira’at yang diingkari oleh ahli Nahwu atau sebagian besar
mereka, tetapi keingkaran mereka itu tidak perlu dihiraukan, seperti mensukunkan
“baari’kum” dan “ya’murkum”, mengkhafadkan “walarhaami”, menasabkan
“liyujziyalqauman” dan memisahkan antara dudaaf dengan mudaafilaiHi, seperti
dalam ayat “qatlaaulaadaHumsyurakaa-iHim” dan sebagainya.” (lihat al-itqaan jilid 1
hal 75, dan lihat kitab-kitab tarsir tentang ayat-ayat berikut: “wattaqullaa
Halladziitasaa-aluunabi Hiiwalarhaam” (an-Nisaa’: 1), liyuhzi yaqauman kaanuu
yaksibuun” (al-Jaatsiyah: 14) dan “wakadzaalikazayyannalikatsiirim minal
musyrikiinaqatlaaulaada Humsyurakaa-uHum” (al-An’am: 137).
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, “Para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun
huruf-huruf al-Qur’an menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebahasaan
yang paling sesuai dengan kaidah bahasa Arab, tetapi menurut yang paling mantap
[tegas] dan shahih dalam riwayat dan penukilan. Karena itu bila riwayat itu mantap,
maka aturan kebahasaan yang popularitas bahasa tidak bisa menolak atau
mengingkarinya, sebab qira’at adalah sunah yang harus diikuti dan wajib diterima
seutuhnya serta dijadikan sumber acuan.” Zaid bin Tsabit berkata: “Qira’at adalah
sunah muttaba’ah, sunah yang harus diikuti.” (haditsSa’id bin Mansur dalam Sunan-
nya)Baihaqi menjelaskan, maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-
orang sebelum kita dalam hal qira’atal-Qur’an merupakan sunah atau tradisi yang
harus diikuti, tidak boleh menyalahi mushaf yang merupakan imam dan tidak pula
menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa Arab.”
Jumhur berpendapat bahwa qira’at yang tujuh itu mutawathir. Dan yang tidak
mutawathir, seperti masyhur, tidak boleh dibaca dalam maupun di luar shalat.
Nawawi dalam Syarhal-Muhadzdzab berkata: “Qira’at yang syadz tidak boleh dibaca
baik di dalam maupun di luar shalat, karena ia bukan al-Qur’an. Al-Qur’an hanya
ditetapkan dengan sanad yang mutawathir, sedang qira’at yang syadz tidak
mutawathir. Orang yang berpendapat selain ini adalah salah atau jahil. Seandainya
seseorang menyalahi selain ini dan membaca dengan qira’at yang syadz, maka ia
harus diingkari baik bacaan itu di dalam maupun di luar shalat. Para fuqahaBagdad
sepakat bahwa orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at yang syadz harus
disuruh bertobat. Ibn ‘Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa al-Qur’an
tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syadz dan juga tidak sah shalat di belakang
orang yang membaca al-Qur’an dengan qira’at-qira’atsyadz itu.”
Qira’at merupakan salah satu cabang ilmu dalam ‘Ulum al-Qur’an, namun tidak
banyak orang yang tertarik kepadanya, kecuali orang-orang tertentu saja, biasanya
kalangan akademik. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, di antaranya adalah,
ilmu ini tidak berhubungan langsung dengan kehidupan dan muamalah manusia
sehari-hari, tidak seperti ilmu fiqih, hadis, dan tafsir misalnya,yang dapat dikatakan
berhubungan langsung dengan kehidupan manusia. Hal ini dikarenakan ilmu qira’at
tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan secara langsung dengan halal-
haram atau hukum-hukum tertentu dalam kehidupan manusia.
Selain itu, ilmu ini juga cukup rumit untuk dipelajari, banyak hal yang harus diketahui
oleh peminat ilmu qira’at ini, yang terpenting adalah pengenalan al-Qur’an secara
mendalam dalam banyak seginya, bahkan hafal sebagian besar dari ayat-ayat al-
Qur’an merupakan salah satu kunci memasuki gerbang ilmu ini; pengetahuan bahasa
Arab yang mendalam dan luas dalam berbagai seginya, juga merupakan alat pokok
dalam menggeluti ilmu ini, pengenalan berbagai macam qiraat dan para perawinya
adalah hal yang mutlak bagi pengkaji ilmu ini. Hal-hal inilah – barangkali – yang
menjadikan ilmu ini tidak begitu populer.
Meskipun demikian keadaannya, ilmu ini telah sangat berjasa dalam menggali,
menjaga dan mengajarkan berbagai “cara membaca” al-Qur’an yang benar sesuai
dengan yang telah diajarkan Rasulullah SAW. Para ahli qiraat telah mencurahkan
segala kemampuannya demi mengembangkan ilmu ini. Ketelitian dan kehati-hatian
mereka telah menjadikan al-Qur’an terjaga dari adanya kemungkinan penyelewengan
dan masuknya unsur-unsur asing yang dapat merusak kemurnian al-Qur’an.