Anda di halaman 1dari 14

Hiperrealitas Travelling dalam Iklan Traveloka

#XxperienceMore With Traveloka

Marina Rospitasari
NPM. 2006504300

Abstract:
Secara esensi, iklan merupakan media informasi konsumen terhadap produk yang dibutuhkan. Pada era
posmodernisme, iklan menjelma sebagai pesan hiperbolis yang memainkan simbol dan narasi yang
bersifat persuasif, sehingga mampu menstimulus fantasy dan hasrat untuk mengkonsumsi sebuah
produk. Iklan sebagai bagian dari aktivitas marketing memiliki kecenderungan untuk
mempertimbangkan karakteristik dan preferensi pasar. Iklan merupakan sebuah penggambaran terkait
segmen pasar utama yang dibidik dan bagaimana perusahaan membangun positioning di dalam benak
audience. Pada akhirnya, iklan menjelma sebagai simulasi realitas yang menciptakan hiper-realitas.
Iklan Traveloka #XperienceMore merupakan salah satu iklan terbaik 2020 versi Google. Dengan
pendekatan teori hiperrealitas Jean Baudrilard, penulis mengidentifikasi aspek konotatif dan denotatif
yang terkandung dalam iklan tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa Iklan tersebut menyasar lifestyle
kaum milenial yang menjadikan travelling sebagai identitas dan gaya hidup. Iklan Traveloka
#XperienceMore menciptakan hiperrealitas dengan mendekonstruksi persepsi audience tentang
pengalaman travelling yang selama ini sangat membosankan dan hanya akan menjadi lebih seru ketika
menggunakan layanan dalam aplikasi Traveloka. Sesuai dengan konsep yang digagas oleh Jameson
bahwa kapitalisme lanjut akan menciptakan masyarakat konsumeris yang akan selalu mengejar
selera/hasrat yang sengaja dibentuk oleh korporasi.

Keywords: hiperrealitas, semiotika, posmodernisme,konsumerisme, traveloka

Introduction
Perkembangan tekhnologi di era posmodernisme berhasil mendekonstruksi budaya masyarakat
modern yang cenderung hegemonic dan strukturalis menjadi lebih heterogen dan memberi ruang yang
lebih bebas untuk mengexpresikan kode-kode estetika yang disebut oleh Jameson sebagai “high-tech
paranioa”. Industri periklanan dan informasi bergerak secara massive mereproduksi bahasa, tanda, dan
memiliki kekuatan untuk mendokumentasikan realitas. Pada masa late capitalism, masyarakat
terdorong mengkonsumsi produk bukan lagi berdasar pada kebutuhannya, namun pada selera yang
distimulasi atau dibentuk oleh dunia periklanan. Iklan dalam era Posmodernisme menekankan pada
aspek branding atau citra perusahaan dibanding pada nilai guna produk. Brand sebagai identitas
perusahaan yang menjadi trademark dan simbol integritas. Produk sudah bukan menjadi fokus utama
pemasaran. (Jameson, 1991; Morris, 2005) Hal ini membentuk konsumerisme sebagai identitas
masyarakat postmodern yakni “you are what you buy”. (Todd, 2012)
Dalam memahami pola konsumsi manusia di era postmodern, Baudrillard berpijak pada asumsi
bahwa sejatinya manusia adalah makhluk “homo-economicus” yakni akan mencari kebahagiaan tanpa
ada rasa ragu dan prilakunya mengarah pada sesuatu yang dapat memenuhi kenyamanannya secara
maksimal, namun sayangnya manusia tidak akan pernah puas. Manusia akan selalu mengejar sesuatu
yang “lebih” dari apa yang sebelumnya dia rasakan. (Baudrillard, 1998). Sifat dasar inilah yang menjadi
fokus utama iklan untuk bisa menggugah pleasure dan taste sehingga mendorong manusia untuk

1
mengkonsumsi mitos yang ditanamkan melalui simulasi realitas dalam iklan. Iklan pada akhirnya
menjadi sebuah konstruksi realitas pada konteks budaya konsumsi. Iklan pada akhirnya menghipnotis
audience tentang makna yang dinarasikan melalui simbol-simbol yang mengarah pada hiper-realitas.
(Huang, 2019; Østergaard & Fitchett, 2012; Venugopal, 2019) Hiper-realitas merupakan pemikiran
Baudrillard yang mengacu pada suatu bentuk pemodelan realitas yang sejatinya sudah menghilangkan
esensi realitas itu sendiri. (Baudrillard, 1988)
Mengacu pada penelitian sebelumnya yang sudah membahas terkait hiper-realitas dalam iklan,
yakni pada iklan sabun lifeboy di India yang dibintangi oleh Kajol yang berperan seolah sebagai dokter
(Venugopal, 2019), mediatisasi iklan Apartemen Meikarta (Anwar, 2018), posmodernisme dalam iklan
the Javana yang menggunakan instrument budaya dalam membangun narasi hiper-realitas (Nugroho &
Haryadi, 2017) dan hiper-realitas “MTV Show” dalam konten iklan Alkohol, ternyata gagal melindungi
anak muda di UK dari terpaan iklan (Lowe et al., 2018). Dari beberapa penelitian diatas, penulis
menganlisis sebagian besar iklan yang dijadikan obyek penelitian adalah iklan yang memiliki produk
secara fisik atau berupa barang. Dimana hiper-realitas akan mengacu pada pemaknaan barang tersebut
yang dinarasikan secara hiperbolis dan tidak sesuai kenyataan. Penulis terdorong untuk mencoba
meneliti iklan yang tidak memiliki produk fisik berupa barang, melainkan berupa jasa. Di era digital
saat ini, E-commerce berkembang sangat massif menawarkan produk berupa jasa yakni menjadi
jembatan antara produsen dan konsumen melalui sistem aplikasi.
Menurut riset Alvara Research, Traveloka disebut sebagai “aplikasi pemesanan tiket dan hotel
terpopuler”. Riset tersebut diwakili oleh 1.204 responden dari generasi milenial dan sekitar 79% atau
950 responden menggunakan Traveloka dalam melakukan pemesanan tiket dan hotel untuk kebutuhan
travelling mereka. Hal ini disebabkan oleh Traveloka memiliki kekuatan merek yang tinggi, dari segi
image, loyalitas pelanggan, tingkat kerja sama, hingga kinerja perusahaan. (Triwijanarko, 2019). Hal
ini menunjukkan kesuksesan kinerja marketing Traveloka yang berhasil menyasar segmen kaum
milenial.
Generasi milenial merupakan salah satu representasi perubahan pola konsumsi yang
menekankan pada life style dibanding kebutuhan atas produk. Generasi milenial dikenal memiliki
primodial “Buy experiences, not things” (Hutauruk, 2018). Generasi milenial memiliki kecenderungan
menggunakan akses informasi digital untuk mendapatkan service travelling yang mudah dan
terjangkau. (Wiweka et al., 2019) Sedangkan secara makro, perkembangan pariwisata di Indonesia
semakin melejit setiap tahunnya. Perkembangan terakhir di tahun 2019, potensi pasar pariwisata sebesar
282.925.854 juta pengunjung (BPS, 2019).
Peluang besar ini tidak dilewatkan oleh Traveloka sebagai e-commerce yang bergerak sebagai
travel agent dengan menyusun media informasi berupa iklan untuk mempromosikan brand perusahaan
dan produk yang dimiliki. Traveloka memiliki keseriusan dalam membangun konstruksi iklan sehingga
disukai oleh masyarakat. Iklan Traveloka yang berjudul “Mudik Tapi Rumah Penuh, Traveloka Dulu”,
“Susahnya Cari Tiket Mudik, Traveloka Dulu”, “Liburan Harus Tertunda, Untung Pakai Traveloka”,
mengandung 3 mitos kenyamanan yakni kenyamanan dalam kemudahan aksessibilitas, kenyamanan
yang dalam penghematan uang, serta kenyamanan dalam memberikan pelayanan yang reliabel.
(Cahyadiarta et al., 2017). Iklan Traveloka berhasil menciptakan brand awareness di masyarakat
(Wicaksono & Seminari, 2016) dan Iklan #XperienceMore With Traveloka berhasil menjadi salah satu
iklan terpopular di 2020 versi Google. Terry Santoso, Head of Marketing Traveloka Xperience
menyampaikan bahwa pihaknya meyakini pengalaman (experience) adalah momen yang berharga
dalam hidup manusia. Oleh karena itu, Traveloka senantiasa berupaya untuk memberikan inspirasi dan
solusi untuk menemukan ribuan pengalaman seru yang dapat dipesan dengan mudah dan nyaman hanya
melalui satu aplikasi, yaitu Traveloka. (Wulandari, 2020) Dari pertimbangan inilah, penulis tergerak
untuk meneliti hiper-realitas dalam Iklan Traveloka terbaru yakni #XperienceMore With Traveloka.

2
Beberapa rumusan masalah yang hendak dijawab adalah (1) Apa hiper-realitas yang diciptakan dalam
Iklan #XperienceMore With Traveloka? (2) Mengapa hiper-realitas itu terbentuk ? (3) Bagaimana
proses terbentuknya hiperrealitas tersebut?. Dengan menjawab instrument penelitian tersebut,
diharapkan penelitian ini mampu menjawab secara kompherensif terkait hiper-realitas yang
dikonstruksi dalam iklan #XperienceMore With Traveloka.

Theoretical Framework

Consumer Society di Era Posmodernism tidak lagi berpijak pada nilai guna,
namun pada nilai tanda (Brand) dan selera (desire).
Konsumsi secara esensi adalah sebuah prilaku makhluk hidup untuk bertahan hidup, seperti
makan, minum, memiliki sesuatu, menggunakan, merusak, atau membuang sesuatu. Miller (1997)
mendefinisikan konsumsi sebagai keputusan untuk membeli atau mengkonsumsi sesuatu, bagaimana
dan mengapa kita memilih mengkonsumsi hal tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa pada dasarnya
prilaku konsumsi merupakan aktivitas memenuhi kebutuhan dengan proses pertimbangan secara
rasional. Prilaku konsumsi yang pada hakikatnya merupakan aktivitas dasar manusia, ketika dilakukan
semua manusia dan memiliki pola interaksi tertentu, maka akan membentuk Budaya Konsumsi.
Zygmunt Bauman (2000) menjelaskan bahwa pada perkembangannya, manusia tidak lagi menjadikan
kebutuhan sebagai pijakan dalam berkonsumsi, namun lebih berfokus pada “desire” atau hasrat yang
muncul akibat dari proses marketing dan advertising (Long & Wall, 2009).
Secara substansi, Iklan merupakan bagian aktivitas marketing yang berfungsi sebagai media
informatif terkait produk. Pada era Fordism dimana aktivitas mobilitas produksi massal berkembang,
Iklan tidak lagi bersifat informatif. Pola marketing modern cenderung membentuk homogenitas dengan
menekankan aspek nilai produk sehingga mampu menciptakan kebutuhan yang baru dan desire untuk
menkonsumsinya. Seiring perkembangan mobilitas dan tekhnologi komunikasi, Era Post-Fordism
mengubah pola marketing dari keunggulan produk menuju persaingan brand perusahaan. Posmodern
advertisement berfokus pada estetika yang bersifat simbolistik, yang mampu menggugah selera
konsumen dalam mengkonsumsi produk. Jameson mendefinisikan late capitalism dimana masyarakat
terdorong memgikuti seleranya yang dibentuk dan dipersuasif oleh media (Jameson, 1991; Morris,
2005). Baudrillard (1981) menggambarkan masyarakat posmodernisme sebagai masyarakat konsumtif
yang dibentuk dan dipengaruhi oleh media massa. Masyarakat yang bukan lagi mempertimbangkan
nilai guna (use value), namun sangat mempertimbangkan makna yang melekat pada objek yang disebut
sebagai nilai simbol (symbolic value). Pada hakekatnya, masyarakat postmodern mengkonsumsi nilai
tanda (sign value) untuk menunjukkan power dan eksistensinya. Pada saat yang sama menghilangkan
fungsi nilai tukar uang (exchange value), sehingga dapat disimpulkan bahwa ukuran nilai seseorang
bukan lagi dilihat dari apa yang mereka miliki, namun tanda apa yang mereka konsumsi dan simbol apa
yang melekat pada apa yang mereka konsumsi. (Baudrillard, 1981) Simbol dan nilai tanda dalam
konteks dunia advertising berkaitan dengan Brand yang disimulasikan melalui iklan. Dapat disimpulkan
bahwa sejatinya masyarakat postmodern berada di pusaran simulacrum dan hiper-realitas. (Habib,
2018)
Iklan dan Simulasi Realitas : Definisi, Struktur, Tujuan, dan Ambiguitas.
Iklan merupakan bagian dari proses pemasaran dengan menyusun design komunikasi yang
bertujuan untuk membangun kesadaran atas brand produk, service, dan perusahaan, sehingga
masyarakat terdorong mengkonsumsinya. Iklan merupakan bagian dari proses marketing yakni sebuah
proses untuk mengidentifikasi kebutuhan customer, peluang pasar, dan produksi barang dan jasa
(pricing, distribusi, dan promosi) untuk mendapatkan keuntungan/profit. Iklan dan semiotika (ilmu
tentang simbol) tidak bisa dipisahkan karena pada dasarnya iklan berisi simbol yakni bahasa, logo,

3
fotografi, musik, design, dan tipografi yang menggambarkan positioning produk dan perusahaan, yang
mampu dicerna dengan baik pada karakteristik pasar tertentu – target pasar. (Long and Wall, 2009:434).
Iklan merupakan wujud dari strategi pesan yang digagas oleh perusahaan sebagai komunikator kepada
audience sebagai komunikan. Morrisan (2010:345-347) menyebutkan iklan memiliki daya tarik/ide
untuk bisa mempengaruhi preferensi pasar, yakni ide rasional dan ide emosional, (a) Ide Rasional adalah
daya tarik rasional yang dimiliki oleh iklan sebagai media informasi, misalnya tentang produk, harga,
kebutuhan fungsional, kegunaan, atau kebermanfaatan suatu produk. Tujuannya supaya pasar dapat
memutuskan secara rasional mengapa membeli produk tersebut. (b) Ide Emosional berkaitan dengan
daya tarik iklan dengan berfokus pada pembangunan afeksi/emosional pada pasar terhadap produk.
Konsep integrasi emosional (emotional integration) dalam pembuatan sebuah iklan sangat dibutuhkan
untuk menggugah “desire” pasar, dimana iklan berusaha menggambarkan karakter dari orang-orang
yang mengalami atau menerima manfaat emosional setelah menggunakan suatu produk. Adapun dasar-
dasar kebutuhan dan perasaan konsumen yang harus dipenuhi seperti kebahagiaan, ketertarikan
(interest), aktualisasi diri, kenyamanan, dan status. Sedangkan (c) Ide Moral adalah daya tarik iklan
untuk mengarahkan audience kepada sesuatu yang “benar” dan “sesuai”.
Berdasar pada karakteristik iklan yang memiliki daya tarik dan bertujuan profit, maka
menciptakan ambiguitas pesan informatif dan pesan persuasive. Aspek inilah yang menjadi dasar
berfikir bahwa iklan merupakan sebuah simulasi realitas. Realitas sebenarnya mengacu pada kehidupan
sehari-hari, simulasi realitas bermakna iklan berisi kode visual yang menggambarkan elemen dalam
iklan yang terdiri dari produk, teks, dan konteks. Ketiga elemen ini menggambarkan makna denotatif
dan konotatif. Makna denotatif diinterpretasi berdasar pada teks yang nampak, sedangkan makna
konotatif berasal dari analisis symbol iklan dari perspektif ideologi dan kultural. (Baudrillard, 1988;
Østergaard & Fitchett, 2012; Piliang, 2010)

Iklan sebagai Medium Terciptanya Hiper-Realitas

Baudrillard (1988) menjelaskan empat proses bagaimana simulasi realitas akhirnya


menciptakan hiper-realitas. Hiper-realitas adalah sebuah entitas baru yang tidak ada hubungannya
dengan realitas. Hiper-realitas mengacu pada sesuatu yang tidak sesuai kenyataan, bersifat manipulatif
dan menghilangkan esensi dari realitas. Piliang (2010) menyebut simulasi realitas tersebut sebagai citra.
Fase pertama, citra merefleksikan realitas dengan penggambaran yang baik dan representatif. Fase
kedua, citra mulai membungkus (mask) dan menyesatkan realitas. Fase ketiga, citra mulai mengaburkan
ketidakhadiran realitas seolah menyihir keberadaan realitas seolah terlihat namun sejatinya tidak ada.
Fase keempat, sudah tidak terlihat ada batasan antara realitas dan simulasi realitas, citra menjelma
sebagai simulacrum. Mempertegas pemikiran Baudrillard, Eco (1986:15) menyebutkan bahwa hiper-
realitas menghilangkan esensi dari realitas, bersifat menipu, dan palsu.
Baudrillard dalam The Consumer Society menjelaskan bahwa iklan merupakan pernyataan
awal tentang obyek dan mengkonsumsi obyek sendiri. Pengertiannya, iklan mempropaganda barang
dan pada saat yang sama mengkonsumsi barang. Dengan kata lain, propaganda tersebut menyampaikan
keunggulan produk dan menjadi referensi utama pasar. Ketika seseorang tertarik mengkonsumsi
bareang tersebut, sama halnya mengkonsumsi sebuah budaya massa. Mengkonsumsi barang sebagai
produk, kemudian mengkonsumsi makna dibaliknya dari iklan. Dengan simbol-simbol tertentu yang di
konstruk, iklan mempengaruhi preferensi pasar dan menstimulus kesadaran masyarakat, kemudian
mengkonstruk identitas komunitas. Masyarakat massa dan masyarakat konsumsi mendapatkan
legitimasi. Jika iklan tradisional menekankan informasi produk, maka iklan postmodern
mengunggulkan citra produk. (Baudrillard, 1988; Huang, 2019)

4
Methodology
Kajian ini hendak meneliti simbol, simulasi, dan hiper-realitas (Huang, 2019) pada Iklan
#XperienceMore With Traveloka dengan menggunakan analisis kualitatif terkait makna denotatif dan
konotatif dalam iklan tersebut. Makna denotatif diinterpretasi berdasar pada teks yang nampak,
sedangkan makna konotatif berasal dari analisis simbol iklan dari perspektif ideologi dan kultural.
(Baudrillard, 1988; Huang, 2019) Pendekatan semiotika Baudirllard atau analisis tanda digunakan
untuk membedah daya tarik rasional, emosional, dan moral dalam iklan, untuk menjelaskan apa dan
bagaimana bentuk hiper-realitas yang dikonstruksi dalam iklan ini.

Brand, (2) Mengapa hiper-realitas itu terbentuk ?


Positioning,
Target Pasar (1) Apa hiper-realitas yang diciptakan
dalam Iklan #XperienceMore With
Traveloka? Karakteristik
Traveloka Nilai-nilai
Simbol Preferensi
Simulasi Budaya
Daya Tarik Realitas
Rasional,
Emosional, Iklan Hiper-Realitas Pasar
dan Moral
Audio, Visual, Narasi Citra adalah refleksi realitas.
Objek, Teks, Konteks, Citra menyembunyikan dan
menyimpangkan realitas.
Semiotika (3) Bagaimana proses
Citra menyembunyikan absennya
realitas terbentuknya hiper-realitas
Citra sama sekali tidak berkaitan tersebut?
dengan realitas
Makna Denotatif apapun:simulakrum murni.
Makna Konotatif

Result and Discussion


Traveloka merupakan e-commerce yang bergerak sebagai Online Travel Agent di Indonesia
yang berdiri pada awal 2012. Traveloka pada awal kemunculannya lebih dikenal sebagai aplikasi untuk
melakukan pemesanan tiket pesawat, kereta api, dan booking hotel bagi masyarakat yang bepergian.
Pada 2019 tepat saat Traveloka meluncurkan fitur terbarunya yang bernama Traveloka Xperience.
Traveloka memutuskan untuk memperkuat positioning-nya sebagai end-to-end travel and lifestyle
booking platform untuk kawasan Asia dan Australia. Itu artinya, Traveloka tidak semata bergerak di
segmen travel, melainkan sudah berekspansi ke segmen gaya hidup atau lifestyle. Terry Santoso, Head
of Experience Product Marketing Traveloka menyampaikan bahwa target pasar utama Traveloka adalah
para traveller, khususnya yang berasal dari golongan milenial yang memiliki kebutuhan gaya hidup saat
travelling. (Wulandari, 2019) Dengan asumsi positioning dan target pasar tersebut, penulis memiliki
analisis bahwa iklan #Xperience with Traveloka seharusnya memiliki kecenderungan untuk
menampilkan simbol dan narasi yang linear, yakni menekankan lifestyle, sejalan dengan preferensi
masyarakat postmodern yang berfokus pada “desire” dibanding “kebutuhan”. Berikut analisis penulis
terkait analisis deskriptif terkait iklan Traveloka :

5
Pembabakan Audio Visual
Narasi
I Tetetettet (suara klakson Terdapat tulisan di layar/ caption :
Angkutan Umum) “ingin bebas main air?”
Voice Maker Ada seorang ibu paruh baya dengan penampilan stylist
(perempuan) : (menggunakan kacamata, topi merah, pakaian santai), sedang
Ingin bebas main air ? minum air kelapa sampil mengapung diatas ban (pelampung).
Seolah dia sedang menikmati kolam renang atau pantai.
Padahal dia berada di atas air kubangan di tengah jalan yang
berwarna coklat. Pengguna jalan raya melihat dia terjungkal
jatuh ke kubangan setelah kaget mendengar klakson Angkutan
Umum.

Iklan #Xperience with Traveloka memiliki durasi 41 detik dan berdasar pada narasi cerita,
penulis membagi berdasar 4 pembabakan karena setiap narasi memiliki simbol-simbol dan pemaknaan
tertentu. Secara umum iklan menggambarkan narasi sebelum dan sesudah aktor dalam iklan
menggunakan fitur #Xperience dalam aplikasi Traveloka. Gambar sebelah kiri menjelaskan sebelum
menggunakan fitur #Xperience dan gambar sebelah kanan setelah menggunakan fitur #Xperience.
Narasi pertama diperankan oleh perempuan setengah baya yang terlihat ingin sekali berlibur
menikmati bermain air di kolam renang. Namun keinginan itu hanyalah halusinasi karena ternyata dia
sedang berada diatas kubangan air di pinggir jalan. Berakhir tragis karena dia harus tercebur ke
kubangan akibat kaget bunyi klakson Angkutan Umum di tengah jalan yang ingin melalui jalan
kubangan tersebut. Hal yang memalukan ini terjadi sebelum aktor menggunakan fitur #Xperience. Pada
narasi selanjutnya, setelah menggunakan fitur #Xperience di Traveloka, perempuan tersebut
memperlihatkan expresi bahagia bersama dua orang temannya karena bisa bermain berseluncur di
kolam renang dengan air yang jernih dan dia bisa bersantai diatas ban pelampung. Dapat disimpulkan
bahwa secara makna denonatatif, narasi ini menceritakan pengalaman travelling perempuan yang
sebelumnya hanya bisa berkhayal berlibur dengan bahagia, kini bisa terwujud. Secara konotatif, narasi
ini hendak menyampaikan bahwa Traveloka merupakan sebuah pilihan yang tepat untuk membuat
pengalaman travelling bahagia, nyaman, puas, dan nikmat. Jika tidak menggunakan fiture #Xperience
Traveloka, maka pengalaman travelling sejatinya hanyalah halusinasi, memalukan, tidak sesuai
ekspektasi, dan menyedihkan. Permainan simbol dan narasi perempuan nyentrik yang berada diatas ban
apung di tengah kubangan air berwarna pekat menjadi sebuah penggambaran pengalaman travelling
yang menggugah emosional audience dengan perasaan malu, jijik, dan konyol. Audience didorong
untuk mengarahkan perasaan bahagia, nyaman, dan puas saat travelling dengan pemeranan aktor setelah
menggunakan fitur #Xperience. Dari narasi pertama ini, penulis melihat adanya simulasi realitas
travelling yang dinarasikan melalui simbol, pemeranan, dan videografis.

6
Pembabakan Audio Visual
Narasi
II Hahahahha (suara laki- Terdapat tulisan di layar/ caption :
laki tertawa sambil “Udah di Jepang, masa cuma ninja-ninjaan?”
memukul perutnya) Ada 2 orang laki-laki yang staycation di salah satu hotel di
Voice Maker Jepang. Satu orang bermain ninja-ninjaan, sedangkan satu
(perempuan) : orang laki-laki yang lain hanya tidur santai sambal tertawa.
“Udah di Jepang, masa
cuma ninja-ninjaan?”

Narasi kedua dalam iklan ini diperankan oleh dua orang laki-laki yang berlibur ke Jepang,
namun hanya menghabiskan waktu di kamar hotel bermain ninja-ninjaan dengan melemparkan mainan
cakra berbentuk bintang. Seorang kawan yang lain hanya rebahan diatas Kasur lantai, dengan baju
santai dan tertawa terbahak-bahak melihat temannya bermain. Hal ini menggambarkan pengalaman
travelling yang monoton dan rugi karena sudah jauh-jauh ke luar negeri, namun hanya berakhir di
kamar, dengan aktivitas yang sangat membosankan. Fenomena ini berubah setelah sang aktor
menggunakan fitur #Xperience Traveloka, dimana dengan fitur Tur, aktor akhirnya bisa menikmati
belajar menjadi ninja sesungguhnya di Ninja School. Mereka memakai pakaian ninja dan berlatih
menggunakan pedang ninja. Secara denotative, narasi ini hendak menggambarkan pengalaman
travelling 2 sahabat ini yang awalnya membosankan dan monoton, berubah menjadi pengalaman yang
seru dan menantang. Secara konotatif, narasi ini hendak menyampaikan bahwa Traveloka merupakan
sebuah pilihan yang tepat untuk membuat pengalaman travelling menjadi seru, asyik, dan real. Jika
tidak menggunakan fiture #Xperience Traveloka, maka pengalaman travelling hanya rugi, buang-buang
waktu dan tenaga namun berakhir monoton, dan membosankan. Pemeranan 2 aktor yang awalnya tidak
bepergiaan kemana-mana padahal ada di Jepang, hanya menghabiskan waktu di kamar dengan bermain
ala ala ninja, menunjukkan penggambaran pengalaman travelling yang tidak real, tidak asyik, dan tidak
bisa mengexplorasi tempat-tempat di Jepang yang sebenarnya banyak yang menarik. Fitur “Tur”
digambarkan sebagai solusi supaya nuansa travelling lebih explorative, seru, dan tidak monoton.
Audience diarahkan untuk merasakan pengalaman travelling sesungguhnya dengan fitur #Xperience
Traveloka. Sejalan dengan narasi pertama, narasi kedua ini memperkuat diskursus iklan dengan
memainkan ide emosional kepada audience melalui simulasi realitas travelling yang digambarkan
melalui simbol, pemeranan, dan videografis.

7
Pembabakan Audio Visual
Narasi
III Aahhhhh… Ayo Bro Terdapat tulisan di layar/ caption :
(suara seorang laki-laki “Pengen tantangan lebih seru ?”
yang berusaha menarik Ada 2 orang laki-laki yang terlihat bersemangat melakukan
tangan temannya) aktivitas panjat tebing. Namun ternyata tukang bakso lewat
Penjual bakso lewat : dan mereka hanyalah pura-pura berakting demi konten.
Bakso, Dek ? Setelah penjual bakso lewat, terlihat mereka sebenarnya
2 laki-laki bersamaan : hanyalah di pinggir jalan, mensetting kamera seolah merekam
Yahhhhh…. mereka sedang latihan panjat tebing. Padahal mereka hanyalah
Voice Maker sedang merayap diatas jalan berbatu.
(perempuan) : Setelah voice maker bersuara “pengen tantangan lebih seru?”
“Pengen tantangan lebih Salah satu dari mereka hanya berkata Cut… Cut… dengan
seru ?” intonasi kesal.
1 orang laki-laki : cut,
cut, cut

Narasi ketiga ini diperankan oleh dua orang laki-laki yang ingin terlihat eksis seolah mereka
sedang memanjat tebing. Keduanya menjiwai seolah-olah sedang lelah dan bersusah payah untuk
memanjat tebing. Ditengah-tengah mereka sedang melakukan perekaman kamera, ternyata ada tukang
bakso lewat dan menjadikan rekaman mereka gagal, karena ternyata realitasnya mereka tidak sedang
memanjat tebing, mereka hanya berperan seolah sedang memanjat tebing. Mereka bahkan tidak sedang
memanjat, tapi sedang berada diatas tanah berbatu. Mereka dengan detail mengatur angle kamera,
expressi, dan prilaku supaya audience percaya mereka sedang memanjat tebing. Suara tukang bakso
membuat audience sadar bahwa sejatinya mereka hanya pura-pura ingin eksis di sosial media.
Pengalaman yang memalukan ini terjadi ketika mereka belum menggunakan fitur #Xprience di
Traveloka. Setelah mereka menggunakan fitur tersebut, pengalaman panjat tebing menjadi real, lebih
menantang, dan seru, sehingga mereka bisa benar-benar mengaktualisasikan hobbi mereka untuk panjat
tebing. Makna denotatif dari narasi ini adalah menceritakan pengalaman 2 sahabat yang sangat
menyukai panjat tebing namun tidak terealisasi. Karena dorongan eksis yang besar, maka mereka
melakukan adegan seolah-olah sedang panjat tebing supaya mendapatkan atensi. Mereka tidak malu
untuk melakukan panjat tebing palsu dengan memainkan angle kamera. Semua itu berubah ketika
mereka menggunakan fitur #Xperience Traveloka. Mereka bisa mengaktualisasikan hobby, tidak
berpura-pura untuk sekedar eksis, terlihat dari raut wajah yang antusias dan tertantang saat memanjat
tebing. Makna konotatif yang hendak disampaikan melalui narasi ini adalah fitur #Experience
Traveloka merupakan pilihan yang tepat untuk menciptakan pengalaman seru sesungguhnya, bukan
pengalaman yang seolah-olah seru. Simbol yang diperankan oleh kedua aktor yang berpura-pura panjat
tebing, padahal mereka berada di atas tanah berbatu, merupakan sebuah dekonstruksi pengalaman

8
travelling tanpa Traveloka sejatinya tidak real, tidak asyik dan tidak seru, apa yang ingin ditampilkan
di sosial media sejatinya hanyalah kamuflase dan perasaan yang pura-pura bahagia. Dengan fitur
#Xperience Traveloka, digambarkan pengalaman travelling menjadi seru, menantang, real, dan bisa
mengaktuskan hobby olahraga dengan maksimal. Audience diajak untuk mengarahkan perasaan
bahagia dan keinginan untuk eksis secara real hanya jika menggunakan fitur #Xperience saat travelling.
Narasi keempat ini, semakin memperkuat narasi sebelumnya yakni penulis melihat adanya simulasi
realitas travelling melalui simbol, pemeranan, dan videografis.

Pembabakan Audio Visual


Narasi
IV Hahahha…. Terdapat tulisan di layar/ caption :
(suara seorang laki-laki Udah di Australia, pengalamannya gitu gitu aja?
yang sedang tertawa ) Ada seorang laki-laki yang sedang berada di Sydney untuk
Voice Maker berlibur. Dia menggunakan kaca mata hitam, makan mie
(perempuan) : sambil tertawa terbahak-bahak dan meletakkan kursi
Udah di Australia, duduknya diatas kepala sehingga kursi tersebut tidak sesuai
pengalamannya gitu gitu fungsinya.
aja?

Narasi keempat diperankan oleh seseorang yang sudah jauh-jauh pergi ke Australia, bahkan
sudah berada di Gedung Opera Sydney, namun hanya bisa makan mie instan (sejenis popmie). Laki-
laki yang berpenampilan nyentrik berkaca mata hitam ini hanya bisa tertawa terbahak bahak seolah
menertawakan pengalaman buruknya sambil meletakkan kursi duduk diatas kepalanya (tidak sesuai
fungsinya), seolah itu menggambarkan pikiran dan perasaannya yang agak kacau karena pengalaman
travelling yang membosankan. Bahkan sudah jauh-jauh ke Australia, dia hanya menikmati mie instan
yang merupakan makanan sehari-hari yang bisa ditemui saat di Indonesia. Sangat jauh berbeda setelah
dia menggunakan fitur #Xperience Traveloka, pengalamannya menjadi berwarna. Dia bisa menikmati
makan dan minum dengan santai sambil menikmati suasana laut. Secara denotatif, narasi ini
menggambarkan pengalaman seseorang yang jauh-jauh ke luar negeri justru melakukan hal-hal yang
membosankan, mainstream, bahkan sama seperti apa yang dia bisa lakukan di Indonesia, yakni makan
mie instan. Secara konotatif, narasi ini menggambarkan perbandingan kondisi saat menggunakan fitur
#Xperience Traveloka. Pengalaman travelling menjadi lebih menarik, explorative, nyaman, dan bisa
menikmati suasana secara optimal. Jika tidak menggunakan fitur #Xperience, maka pengalaman
travelling menjadi hal yang tidak lagi membuat kita bahagia dan refresh, malah menjadi kacau,
monoton, dan tidak bisa berfikir secara sehat, disimbolkan dengan menggunakan kursi di kepala.
Audience didorong untuk mengarahkan imajinasi dan perasaan bahagia, nyaman, dan puas mereka saat
aktor memerankan travelling diatas kapal dengan makanan dan minuman yang enak,

9
Pembabakan Audio Visual
Narasi
IV Voice maker Terdapat simbol aplikasi Traveloka (burung terbang)
(perempuan) : di klik dan muncul fitur-fitur layanan “Jelajahi
(a) XperienceMore with Kategori Xperience” yakni Atraksi, Bioskop, Event,
Traveloka Xperience, Taman Bermain, Tur, Pelengkap Travel, Hiburan, Spa
dan Kecantikan, Makanan dan Minuman,
Transportasi, Olahraga, dan Kursus & Workshop.
(b) Beli semua Klik fitur Tur, muncul Ninja School (sekolah ninja).
pengalaman seru-mu. Ada 2 orang sahabat yang benar-benar berlatih
menjadi seorang ninja.
(c) Mulai dari tur luar Tampil tulisan: Experience now dengan 50.000+
negeri, spa, dan pilihan, spa kecantikan, taman bermain, olahraga.
kecantikan, Ada seorang laki-laki berada di atas kapal, bersulang
menggunakan gelas pesta, dan makan sambil melihat
panorama laut.
(d) Atraksi, 2 orang laki-laki sedang berlatih panjat tebing dan
terlihat senyum bahagia.
(e) Hingga Olahraga Ada 3 orang yang sangat menikmati arena berenang
dengan berseluncur sambil berteriak “ahhh….”
Beli sekarang…

Screen fitur #Xperience Traveloka menjadi jeda antara pengalaman sebelum dan sesudah yang
dialami oleh aktor dalam merasakan pengalaman travelling yang buruk kemudian menjadi bahagia, Hal
ini menggambarkan positioning fitur #Xperience sebagai solusi, sebagai jalan untuk mendapatkan
pengalaman travelling yang seru, exploratif, gak monoton, berwarna, dan menantang. Memperkuat
diskursus bahwa, jika tidak menggunakan fitur ini, maka pengalaman travelling menjadi seperti
sebelumnya yakni tidak real, tidak asyik, membosankan, penuh kepura-puraan, dan jenuh. Penulis
menganalisis bahwa daya tarik emosional dalam narasi iklan ini sangat kuat dibanding daya tarik
rasional. Ide rasional iklan tetap disampaikan melalui penggambaran fitur Xperience memiliki hampir
50.000 pilihan yang bemacam-macam, yakni dari sport, spa kecantikan, tur luar negeri, atraksi dan olah
raga.
Berdasar pada analisis audiovisual, pemaknaan narasi pesan dari keempat pembabakan cerita
diatas dengan pendekatan semiotika, maka penulis menyimpulkan bahwa ide emosional yang dominan
tentang kebahagiaan dan kepuasaan travelling yang didapatkan setelah menggunakan fitur #Xperience
menjadi sebuah penggambaran bahwa Iklan #Xperience Traveloka ini sesuai dengan karakteristik iklan

10
di era posmodernisme. Mengacu pada pemikiran Zygmunt Bauman (2000) bahwa pada
perkembangannya, proses marketing dan advertising tidak terlalu menekankan aspek informasi
rasional terkait produk, sebaliknya justru menggugah “desire” atau hasrat yang bersifat emosional
untuk mendorong konsumsi masyarakat. (Long and Wall, 2019). Iklan #Xperience Traveloka ini
sangat menonjolkan nilai simbolik dari Traveloka sebagai e-commerce yang mengajak audience
“membeli pengalaman”. Audience diajak untuk tidak lagi mempertimbangkan sensasi travelling yang
mainstream selama ini mereka lakukan, audience diajak untuk “lebih” mendapatkan “pleasure”
travelling dengan akses pengalaman yang tidak akan pernah habis, bebas, luas, dan menawarkan
kebahagiaan dan kepuasan yang maksimal. Pada akhirnya ketika audience tidak lagi diajak
mempertimbangkan nilai guna travelling yang pada umumnya digunakan hanya sebagai jeda dari
kepenatan rutinitas, namun bergeser menjadikan travelling sebagai lifestyle dimana yang diutamakan
pleasure menggali pengalaman seluas-luasnya. Hal ini kemudian menjelma sebagai nilai tanda bagi
Traveloka. Narasi iklan ini sejalan dengan positioning perusahaan sebagai end-to-end travel and
lifestyle booking platform untuk kawasan Asia dan Australia. Sesuai dengan perspektif Baudrillard
tentang masyarakat era posmodernisme dimana masyarakat mengkonsumsi nilai simbolik dibanding
nilai guna. Dibuktikan dengan keberhasilan Traveloka menjadi salah satu platform e-commerce
terbaik di Indonesia, mengindikasikan Traveloka berhasil menawarkan ide moral kepada masyarakat
bahwa travelling yang baik adalah travelling yang mampu menawarkan pengalaman seru, bebas,
tanpa batas, tidak monoton, dan exploratif. Sedangkan gaya travelling konvensional diposisikan
sebagai gaya travelling yang kuno, jadul, membosankan, tidak real, tidak membahagiakan dan tidak
bisa memberikan kepuasan. Dari penjelasan ini, sangat terlihat bagaimana simulasi realitas yang
terkandung dalam iklan Traveloka ini, berdasar pada konsep Baudrillard, tahapan simulasi menjadi
hiper-realitas sebagai berikut :
a. Fase pertama, citra merefleksikan realitas dengan penggambaran yang baik dan representatif.
Traveloka menyusun materi iklan ini pada awalnya pasti mempertimbangkan apakah konten
iklan mampu menggambarkan keunggulan produk fitur #Xperience. Iklan ini sejatinya
diinspirasi dari pengalaman travelling audience yakni ingin santai menikmati main air dengan
santai diatas ban apung, ingin mengaktualisasikan hobby panjat tebing, ingin jalan-jalan keluar
negeri. Pada awalnya iklan ini secara pespektif komunitor (Traveloka) dan komunikan
(audience) berpijak hendak merepresentasikan pengalaman sehari-hari tentang Travelling.
b. Fase kedua, citra mulai membungkus (mask) dan menyesatkan realitas.
Dalam penyusunan iklan, pasti tidak berupa materi mentah, namun dikemas secara menarik
dengan videografis. Atribut-atribut iklan mulai ditonjolkan dengan adanya narasi sebelum dan
sesudah menggunakan fitur #Xperience. Disini mulai terjadi pengemasan pengalaman
travelling dan mulai menggeser realitas. Karena pada dasarnya orang melakukan travelling
memiliki preferensi beragam. Tidak selalu stay di hotel dan istirahat sama dengan
membosankan. Beberapa karakteristik pasar, justru menyukai staycation dibanding melakukan
explorasi. Namun pada narasi iklan senantiasa konsisten digambarkan bahwa travelling
mainstream adalah gaya travelling yang membosankan, seperti staycation, makan mie instan.
Banyak sekali justru artis Indonesia yang selalu membawa mie instan keluar negeri untuk
sekedar melepas rindu dengan Indonesia atau sebagai persediaan jika tidak ada makanan halal.
Di fase kedua ini, citra yang digambarkan oleh iklan mulai membungkus dan menyesatkan
realitas travelling itu sendiri.
c. Fase ketiga, citra mulai mengaburkan ketidakhadiran realitas seolah menyihir keberadaan
realitas seolah terlihat namun sejatinya tidak ada.
Di fase ini, iklan mulai mengaburkan realitas dengan menonjolkan expresi aktor dan
membangun sebuah narasi bahwa realitas travelling mainstream hanyalah kepura-puraan.

11
Digambarkan laki-laki yang ingin panjat tebing namun pura-pura melakukannya diatas jalan
berbatu, dan perempuan yang seolah menikmati mengapung di atas kubangan air kotor ditengah
jalan raya. Hal ini menggambarkan travelling mainstream sebagai gaya travelling yang tidak
real, penuh kepura-puraan, dan menjijikkan. Ide emosional ini membawa audience untuk
tersihir dan mulai mempercayai bahwa apa yang disimulasikan dalam iklan benar adanya.
Padahal kenyataanya saat seseorang melakukan travelling, dia pasti terdorong untuk menikmati
pemandangan, dan refresh. Tidak mungkin ada orang yang ingin travelling dengan berjemur
diatas kubangan air kotor atau berpose diatas tanah bebatuan. Penggambaran hiperbolis ini telah
mengaburkan pandangan audience tentang esensi travelling pada umumnya. Hal yang tidak
mungkin dilakukan diasosiasikan menjadi karakter travelling mainstream.
d. Fase keempat, sudah tidak terlihat ada batasan antara realitas dan simulasi realitas, citra
menjelma sebagai simulacrum.
Fase teakhir ini merupakan kesimpulan dari narasi keseluruhan iklan yang mengarah untuk
memperkuat Brand Traveloka sebagai perusahaan e-commerce terkemuka yang mampu
menghadirkan ribuan pengalaman tanpa batas. Bahwa fitur #Xperience diasosiasikan sebagai
solusi, sebagai jalan satu-satunya jika ingin mendapatkan travelling yang bahagia, puas,
nyaman, dan bisa mengexplore banyak tempat. Padahal kenyataannya, Traveloka hanyalah
sebuah aplikasi yakni penjembatan antara konsumen dan produsen. Yang sebenarnya akan
memberikan service dan kepuasan pelayanan secara real tentu produsen yakni pelayanan hotel,
restaurant, transportasi, dll. Image ini dibangun begitu kuat bahkan langsung menutupi
kenyataan secara real. Banyak sekali traveller yang mampu menikmati perjalanannya tanpa
harus menggunakan fitur ini. Karena untuk bisa mengexplorasi suatu tempat pariwisata yang
kita butuhkan adalah informasi dan tersedianya finansial. Traveloka jelas dalam hal ini
berusaha untuk menghadirkan hiper-realitas pengalaman travelling untuk kepentingan
bisnisnya.

Conclusion

Penelitian ini telah berhasil menjawab semua rumusan masalah yakni


(1) Apa hiper-realitas yang diciptakan dalam Iklan #XperienceMore With Traveloka ?
• Hiper-realitas sensasi pengalaman travelling dimana traveling yang tidak menggunakan
fitur #Xperience diposisikan sebagai travelling mainstream yang membosankan, tidak seru,
tidak asyik, bahkan tidak membahagiakan.
• Ide emosional yang sangat dominan digambarkan melalui narasi iklan seolah menghiptonis
audience bahwa fitur #Xperience menjadi solusi dan jalan satu-satunya untuk
mengexplorasi wisata dan membuat pengalaman travelling lebih menarik. Sebelum
menggunakan aplikasi tersebut, pengalaman travelling dikesankan monoton, tidak real,
halusinatif, memalukan, dan menjijikkan.
(2) Mengapa hiper-realitas itu terbentuk ?
• Kepentingan penguatan Brand Traveloka.
• Mendorong konsumsi masyarakat atas travelling sebagai lifestyle.
• Mendapatkan profit sebesar-besarnya.
(3) Bagaimana proses terbentuknya hiperrealitas tersebut?
Melalui 4 fase yakni merefleksikan, menyesatkan, mengaburkan, dan membangun realitas baru
yang menggambarkan travelling bersama Traveloka merupakan pengalaman hidup yang seru,
menarik, dan membahagiakan.

12
Referensi :

Anwar, K. (2018). Mediatisasi Rupa Kota dalam Iklan Meikarta : Spectacle, Hiperealitas, dan
Simulakra. Journal Communication Spectrum, 8(2), 147–165.
Baudrillard, J. (1981). The Art Auction: Sign Exchange And Sumptuary Value. For a Critique of the
Political Economy of the Sign, 1–7.
Baudrillard, J. (1988). Selected Writing (M. Poster (ed.); 1st ed.). Stanford University Press.
Baudrillard, J. (1998). Th e Consumer Society : Myth & Structures. Sage Publications.
Cahyadiarta, I. K. R., Suwastini, N. K. A., & Agustini, D. A. E. (2017). An Analysis of The Myth of
Convenience on Three Traveloka Advertisements. Jurnal Pendidikan Bahasa Inggris Undhiksa,
5(2), 1–13.
Habib, M. M. (2018). Culture and Consumerism in Jean Baudrillard: A Postmodern Perspective.
Asian Social Science, 14(9), 43–46.
Huang, Y. (2019). The Construction of Hyper-Reality of Advertisement in Consumption Culture.
Journal of Asian Research, 3(2), 190–205.
Jameson, F. (1991). Posmodernism, or, The Cultural Logic of Late Capitalism. Duke University
Press.
Long, P., & Wall, T. (2009). Media Studies: Texts, Production, Context (2nd ed.). Routledge.
Lowe, E., Britton, J., & Cranwell, J. (2018). Alcohol Content in The “Hyper-Reality” MTV Show
“Geordie Shore.” Alcohol and Alcoholism, 53(3), 337–343.
Morris, M. (2005). Interpretability and Social Power, or, Why Postmodern Advertising Works. In
Media, Culture and Society (Vol. 27, Issue 5, pp. 697–718). Sage Publications.
Nugroho, A., & Haryadi, T. (2017). Posmodernisme dalam Iklan Teh “Javana.” Andharupa: Jurnal
Desain Komunikasi Visual & Multimedia, 3(2), 154–165.
Østergaard, P., & Fitchett, J. (2012). Relationship Marketing and The Order of Simulation. Marketing
Theory, 12(3), 233–249.
Piliang, Y. A. (2010). Semiotika dan Hipersemiotika : Kode, Gaya, dan Matinya Makna (4th ed.).
Matahari.
Todd, D. (2012). You are What You Buy: Postmodern Consumerism and Construction of Self.
Hohonu, 10, 48–50.
Venugopal, S. M. (2019). Unaddressed Truth Claims in Hyperreal Spaces: Analysing Truth and
Reality in Media Advertising. Singularities, 6(1), 37–42.
Wiweka, K., Wachyuni, S. S., Rini, N. A., Adnyana, I. N., & Adnyana, P. P. (2019). Perilaku
Berwisata Wisatawan Generasi Milenial di Jakarta pada Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Sains
Terapan Pariwisata, 4(3), 313–334.

Thesis
Guspita, A.N. (2019). Komodifikasi Kemiskinan dibalik Tayangan Bertema Religi (Studi terhadap
Program “Catatan Harian Dewi Sandra” di Trans TV Episode Tukang Koran Pergi Umroh).
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Internet
Hutauruk, Alodia. (15 Agustus 2018). “Mengenal Kebiasaan Konsumsi Generasi Milenial”. Retrieved
http://dewina-journal.foutap.com/kebiasaan-konsumsi-generasi-milenial/ (diakses pada tanggal
13 Januari 2021)
Bps. (13 Januari 2021). “Jumlah Perjalanan Wisatawan Nusantara”. Retrieved
https://www.bps.go.id/indicator/16/1189/1/jumlah-perjalanan-wisatawan-nusantara.html
(diakses pada tanggal 13 Januari 2021)

13
Wulandari, Dwi. (18 Juli 2020). “Inilah 10 Iklan Youtube Terpopular di Indonesia pada Semester I
2020”. Retrieved https://mix.co.id/marcomm/news-trend/inilah-10-iklan-youtube-terpopular-di-
indonesia-pada-semester-i-2020/ (diakses pada tanggal 13 Januari 2021)
Triwijanarko, Ramadhan. (17 Juli 2019). “Traveloka Jadi Aplikasi Travel Terpopuler di Kalangan
Milenial”. Retrieved https://www.marketeers.com/traveloka-jadi-aplikasi-travel-terpopuler-di-
kalangan-milenial/ (diakses pada tanggal 13 Januari 2021)
Wulandari, Dwi. (11 Juni 2019). “Ekspansi ke Segmen Lifestyle, Traveloka Hadirkan Traveloka
Xperience”. Retrieved https://mix.co.id/marcomm/news-trend/ekspansi-ke-segmen-lifestyle-
traveloka-hadirkan-traveloka-xperience/ (diakses pada tanggal 14 Januari 2021)

14

Anda mungkin juga menyukai