Reaksi transfusi adalah semua kejadian ikutan yang terjadi karena
transfusi darah. Potensi untuk terjadinya komplikasi pada transfusi darah cukup banyak, namun kebanyakan masalah yang muncul hanya pada pasien yang membutuhkan transfusi berulang atau dalam jumlah besar. Risiko yang berhubungan dengan transfusi dari komponen spesifik darah cukup rendah. Meskipun demikian, risiko tersebut harus dipertimbangkan dengan keuntungan setiap transfusi dilakukan (Weinstein, 2000). Reaksi transfusi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu immediate dan delayed. Keduanya kemudian dibagi menjadi imunologis dan non imunologis. 1. Immediate Reaksi transfusi tipe immediate biasanya terjadi pada 1-2 jam setelah transfusi selesai. Sehingga pasien harus diawasi dengan ketat selama dan sesudah transfusi untuk menilai dan mengidentifikasi tanda dan gejala reaksi yang segera terjadi. Kebanyakan reaksi transfusi tipe ini bisa dicegah dan disebabkan oleh pemberian yang kurang tepat, kegagalan untuk mengikuti standar operasi, atau kurangnya pengetahuan tentang prosedur atau dampak terapi. Mengikuti prosedur tertulis secara menyeluruh dan menaati kebijakan yang berlaku penting untuk terapi transfusi yang aman (Weinstein, 2000). a. Imunologis Reaksi antigen-antibodi dari eritrosit, leukosit, atau protein plasmalah yang berperan dalam reaksi transfusi pada resipien. Reaksi ini dibuat oleh respon tubuh terhadap protein asing. Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain: 1) Acute Hemolytic Reaction Acute hemolytic reaction terjadi ketika ada reaksi antigen-antibodi pada resipien sebagai akibat inkompabilitas antara antibodi resipien dan eritrosit donor. Inkompabilitas golongan darah sistem ABO berperan pada kebanyakan kematian akibat Acute hemolytic reaction (Weinstein, 2000). 2) Febrile Nonhemolytic Transfusion Reactions (FNHTRs) Febrile nonhemolytic reactions biasanya merupakan hasil transfusi komponen seluler tanpa hemolisis, dimana antibodi antileukosit resipien diarahkan melawan leukosit donor. Meskipun beberapa leukosit hancur dengan cepat selama penyimpanan, fragmen membrannya masih mampu mensensitisasi pasien dengan cara yang sama seperti leukosit yang utuh. Pasien yang telah tersensitisasi oleh banyak transfusi atau kehamilan multipel lebih mungkin mengalami febrile nonhemolytic reaction, yang didefinisikan sebagai peningkatan suhu 1°C dan biasanya terjadi selama 1-6 jam setelah inisiasi transfusi. Reaksi yang terjadi pada 0,5-1,5% transfusi ini dapat diikuti gejala kemerahan pada wajah, palpitasi, batu, sesak di dada, kecepatan nadi meningkat, atau menggigil (Weinstein, 2000). 3) Reaksi Anafilaktik Reaksi anafilaktik ini sangat jarang, diperkirakan hanya terjadi pada 1 dari 170.000 transfusi. Reaksi anafilaktik dapat terjadi pada pasien dengan defisiensi IgA dan pasien yang memiliki antibodi anti-IgA. Dua tanda klasik reaksi anafilaktik segera terjadi yaitu gejala hanya setelah beberapa millimeter darah atau plasma dimasukkan tanpa ada demam. Bronkospasme, distress pernapasan, nyeri abdominal, instabilitas vaskuler, syok, dan mungkin hilang kesadaran menandai terjadinya reaksi ini (Weinstein, 2000). 4) Urtikaria Reaksi ini sangat jarang, terjadi 1-3% dari transfusi, dan berdasarkan respon hipersensitivitas, mungkin terhadap protein dari plasma donor. Reaksi urtikaria biasanya ringan, dan ditandai oleh eritema lokal, bengkak, dan gatal. Sesekali demam dapat muncul (Weinstein, 2000). 5) Transfusion-Related Acute Lung Injury Transfusion-related acute lung injury paling sering muncul sebagai distres pernapasan dengan onset mendadak, yang disebabkan oleh sindrom non edema paru kardiogenik yang menyerupai sindrom distres pernapasan pada orang dewasa. Menggigil, demam, nyeri dada, hipotensi, dan sianosis merupakan manifestasi umum edema paru yang dapat terlihat. Gambaran radiografi dada menunjukkan edema paru yang kemerahan. Reaksi dapat terjadi dalam beberapa jam transfusi. Pada awalnya parah, tetapi biasanya membaik dalam 48-96 jam dengan bantuan pernapasan tanpa sekuele. Reaksi ini lebih jarang terjadi daripada FNHTRs, dengan insidensi sekitar 1 dalam 5000 transfusi, namun mungkin saja reaksi ini tak terdiagnosis (Greer et al, 2003). Etiologi yang umum adalah reaksi aantara donor dengan titer antibodi antileukosit yang tinggi dan leukosit resipien. Reaksi tersebut mengakibatkan leukoaglutinasi. Leukoaglutinin dapat terjebak di pembuluh darah paru yang kecil (Weinstein, 2000). b. Non imunologis Reaksi transfusi immediate non imunologis disebabkan oleh faktor eksternal dalam pemberian darah, seperti infeksi bakteri dari pasien, kontaminasi darah donor, penanganan darah yang tidak tepat, dan pemberian cairan hipertonik dengan transfusi. Pada kelompok ini tidak ada reaksi antigen-antibodi. Yang termasuk dalam kelompok ini ialah: 1) Overload Cairan Overload cairan dapat terjadi ketika darah atau komponennya diberikan dengan kecepatan melebihi cardiac output pasien (Weinstein, 2000). 2) Emboli Udara Gejala yang muncul sama seperti kolaps kardiovaskuler, meliputi sianosis, dispneu, syok, dan terkadang henti jantung (Weinstein, 2000). 3) Keracunan Sitrat Pasien yag berisiko untuk berkembang menjadi keracunan sitrat atau deficit kalsium ialah mereka yang mendapat transfusi plasma, whole blood, trombosit dengan kecepatan melebihi 100 mL/menit, atau lebih rendah pada pasien dengan penyakit hati. Dimana hati tidak bisa mengikuti pemberian yang cepat, tidak bisa memetabolasi sitrat, mengurangi kalsium yang terionisasi. Hipokalsemia dapat memicu aritmia jantung (Weinstein, 2000). 4) Hipotermia Hipotermia terjadi ketika darah dingin dengan volume yang banyak diberikan dengan cepat. Pemberian yang cepat dapat mengakibatkan pasien menggigil, hipotermi, vasokonstriksi perifer, aritmia ventrikuler, dan henti jantung (Weinstein, 2000). 5) Kontaminasi Bakteri Kontaminasi bakteri darah dapat terjadi pada saat donasi atau persiapan komponen infusi. Sebagai tambahan terhadap kontaminasi kulit, bakteri gram negative tahan dingin dapat berperan pada kejadian yangtidak menguntungkan ini. Organism seperti spesies Pseudomonas, Citrobacter freundii, dan Escherichia coli merupakan penyebab yang potensial. Organism ini mampu berproliferasi pada suhu refrigerator, melepaskan endotoksin yang menginisiasi reaksi yang jarang dan berpotensi fatal ini (Weinstein, 2000). 2. Delayed Komplikasi ini terjadi setelah beberapa hari, bulan, atau tahun setelah transfusi dan biasanya merupakan akibat alloimunisasi atau penyakit menular. a. Imunologis Yang termasuk dalam kelompok ini ialah: 1) Delayed Hemolytic Reaction Delayed hemolytic reaction disebabkan oleh antibodi yang terbentuk sebagai respon terhadap antigen asing. Reaksi ini dikelompokkan menjadi primer dan sekunder. Reaksi yang primer biasanya ringan dan dapat terjadi satu minggu atau lebih setelah transfusi. Reaksi yang sekunder terjadi pada pasien yang sebelumnya terimunisasi melalui transfusi atau kehamilan (Weinstein, 2000). 2) Transfusion-Associated Graft-Versus-Host Disease (TAGVHD) Transfusion-associated graft-versus-host disease merupakan reaksi yang kompleks, jarang, dan sering fatal. Penyebab umumnya yaitu transfer limfosit T imunokompeten pada komponen darah pada pasien dengan penurunan imun berat. Hal ini bisa juga terjadi dari transfusi yang berasal dari anggota keluarga tingkat pertama. Limfosit donor dikenali dan membelah pada resipien dengan penurunan imun berat. Sel yang dikenali ini bereaksi terhadap jaringan asing asal resipien, menyebabkan komplikasi pendarahan dan infeksi (Weinstein, 2000). b. Non Imunologis Yang termasuk dalam kelompok ini ialah: 1) Hepatitis Risiko hepatitis virus (non-A, non-B,C,D) kira-kira 1:3.000 sampai 1:5.000 pemajanan donor (Nelson, 1996). Risiko transfusi terhadap hepatitis B kira-kira 1:171.000 tiap unit transfusi. ). Risiko transfusi terhadap hepatitis C kira-kira 1:1.613.000tiap unit transfusi (Greer et al, 2003). 2) Human Immunodeficiency Virus (HIV) Risiko ransfusi terkait HIV mendekati nol, dengan perkiraan berkisar antara 1:300.000 sampai 1:1.000.000 pemajanan donor (Nelson, 1996). 3) Human T-Cell Lymphotropic Virus Frekuensi penularan melalui transfusi pada HTVL cukup rendah di Amerika Serikat, dengan perkiraan antara 1 dari 250.000 sampai 1 dari 2.000.000 trasfusi unit (Weinstein, 2000). 4) Sifilis Hingga saat ini tidak ada laporan terkait transmisi sifilis pada transfusi selama beberapa decade ini (Weinstein, 2000). 5) Cytomegalovirus Transfusi terkait cytomegalovirus dapat dieliminasi dengan memberikan transfusi produk seluler darah, yang disaring dengan filter penghilang leukosit, atau dengan memilih darah dari donor seronegatif untuk antibodi terhadap cytomegalovirus (Nelson, 1996). 6) Malaria Jumlah kasus penularan malaria melalui transfusi di Amerika Serikat dilaporkan sebanyak 0,25 kasus setiap 1.000.000 unit darah yang terkumpul (Weinstein, 2000).