Anda di halaman 1dari 29

ANALISISjKEBERLANJUTANjjUSAHAjjKOPI BUBUK

RAFFLESIA COFFEE DI KOTAjjBENGKULU

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
Vasuita Ferel Ramadhanti
NPM. E1D016148

Pembimbing Utama : Reswita S.P, M.M


Pembimbing Pendamping : Ir. Basuki Sigit Priyono, M.Sc

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB Ijj

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kopijjmerupakanjjsalahjjsatujjkomoditasjjperkebunan tradisional yang memiliki peran
penting dalam perekonomian Indonesia. jjPeran tersebut antara lain sebagai sumber
perolehan devisa, penyedia lapangan kerja, dan sebagai sumber pendapatan bagi petani
pekebunjjkopijjmaupunjjpelakujjekonomijjlainnyajjyangjjterlibatjjdalamjjbudidaya,pengolah
an, jjmaupunjjdalamjjmatajjrantaijjpemasaranjj (Widyotomo, jj2013).
Indonesiajjmenjadijjsalahjjsatujjnegara penghasil kopi terbesar di dunia dengan total
produksi 742.000 ton pada tahun 2019 (Badan Pusat Statistik, 2019). Selain itu, Produksi
kopi Robusta dijjIndonesiajjsebagian besarjj (61%)jjberadajjdijjlima provinsi, yaitu Sumatera
Selatan, jjLampung, Aceh, jjSumatera Utara danjjBengkulu dengan luas areal berturut-turut
251.027, jj156.191, jj124.236, jj93.695, jj87.929jjhajj (Badan Pusat Statistik, 2019). jj

Gambar 1.
GrafikjjNilaijjRata-Rata LQjjWilayahjjBasisjjProduksijjKomoditas Kopi di Indonesia.

Gambar 1jjmenunjukkanjjbahwajjkeseluruhanjjnilaijjLocationjjQuotient darijjSembilan


provinsijjdi atasjjmemilikijjnilaijjrata-rata LQ dari tahun 1999 – 2008 lebih besar dari satu
(LQ ≥1). jjWilayah basis komoditasjjkopi di Indonesiajjberadajjyang adajjdi provinsi
Nangroe Aceh Darusalam, jjSumatera Selatan, jjBengkulu, jjLampung, jjJawa Timur, Bali,
Nusa tenggara Barat, jjNusa Tenggara Timur danjjSulawesi Selatan. jjPropinsi yang
memilikijjrata-ratajjnilai LQjjterendahjjadalahjjProvinsijjJawa Timur dengan nilai LQ
sebesar 1,096jjdi ikutijjProvinsijjNusajjTenggarajjBaratjjdenganjjnilai rata-rata LQ yaitu
sebesar 1,357. jjDarijjgambar 1jjtampakjjbahwajjProvinsijjyangjjmemilikijjnilaijjrata-rata
LQjjtertinggijjadalahjjProvinsijjBengkulujjdenganjjnilai jjrata-ratajjLQjjsebesarjj6,193.
ProvinsijjBengkulujjmerupakanjjdaerah penghasil kopi terbesar ketiga di Indonesia
setelah Lampung dan SumatrajjSelatan, namun berdasarkan hasil analisis LQ Provinsi
Bengkulujjmerupakanjjwilayahjjbasis yang memiliki nilai tertinggi. Hal ini dikarenakan
suatu sektor basis jugajjdiperbandingkanjjdenganjjsektor-sektorjjtanaman perkebunan
lainnyajjdalam satu wilayah. jjKomoditas perkebunanjjlain yang terdapatjjdi Provinsi
Bengkulujjjugajjdapatjjmempengaruhijjpenentuan wilayah basis. j\
Provinsi Bengkulujjmemiliki jumlahjjproduksi cukupjjtinggi selain dipengaruhi oleh
kondisijjiklimjjsertajkesesuaianjjlahanjjjugajjdipengaruhijjolehjjbeberapajfaktordijjantaranyjj
adalah adanya penambahan penggunaan luas lahan kopi, meningkatnya jumlah pohon kopi
produktif yang diiringi dengan peningkatan penguasaan teknologi, pengetahuan dan
ketrampilan petani dalam budidaya kopi. Penyebab lainnya adalahjjberkembangnya
kesadaran dan keyakinan petani kopijjdalamjjusahajjtanijjkopijjsebagai usaha yang
prospektif (Ati & Reni 2011). Kopi Provinsi Bengkulu, dijadikan sebagai komoditas
unggulan yangjjmemiliki nilaijjekonomi cukupjtinggi. Sejalanjjdengan pengembangan
potensi daerah, penetapan kopijjsebagaijjkomoditas unggulan diharapkan mampu
mendukungjjpeningkatajjperekonomian masyarakat. Permasalahan yang dihadapi sampai
saatjjinijjadalah rendahnya produktivitas tanaman dan mutu hasil, serta lemahnya posisi
tawar dalam penentuan harga. Kopijjyang dihasilkanjjpetani padajjumumnyajjmemilikijmutu
yang rendah. Hal inijjdisebabkan buah kopi yang dipanen bukan hanya yang sudah merah,
tetapi jugajjyang masih hijau karena rawan pencurian. jjSelama ini petani terpaksa menjaga
kebun danjjmemanen buah kopijjlebihjjcepat sehinggajjhasil panen berupajjcampuran antara
buah yang sudah berwarnajjmerah dan yangjjmasihjjhijaujjSugiartijj (2010).
Momentumjjmembaiknyajjharga dan meningkatnya kebutuhan kopi dalam beberapa
tahunjjterakhirjjmendorongjjpemerintah daerahjjmenggalakkan pengembangan tanaman
kopi, termasuk dijjBengkulu dan daerahjjsentra kopi lainnya. jjSampai dengan tahun 2021,
eksporjjkopijjRobustajjIndonesiajjdiprediksijjakan terusjmeningkatjdengan laju pertumbuhan
sebesar 1,6%jjper tahunjj (Chandra, Ismono, &jjKasymir, 2013). jj
Kopi tidak lagi menjadijjsekedarjjuntuk dikonsumsi, jjtetapijjminumanjjkopijjkini bisa
menjadijjpelengkapjjaktifitasjjsehari-harijjseperti mengerjakan tugas, rapat, reuni teman
lama, dan lain-lain. jjSecara tidak sadar, jjminumanjjkopijjsudahjjmenjadijjgaya hidup bagi
beberapa kalangan masyarakat dari murid sekolah menengah hingga pekerja kantor pun
menggemarijjminumanjjkopijjyangjjsudahjjsangatjjbervariasi. jj
Agroindustrijjmerupakanjjsalah satujjsubsistemjjagribisnisjjyang berbasis pada kegiatan
pengolahan sumberdaya hasiljjpertanian dan peningkatan nilai tambah suatu komoditas.
Menurut Udayana (2010), jjagroindustrijjdapatjjmenjadijjpenggerakjjutamajjsektor pertanian
dalamjjkerangkajjpembangunanjjpertanian. Terlebihjjdalamjjmasajjyangjjakanjdatang, posisi
pertanian merupakanjjsektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga peranan
agroindustrijjakanjjsemakinjjbesar. jj
Agroindustrijjkopi memiliki peluang yang cukup tinggi untuk dikembangkan di
Indonesia karenajjmemiliki prospek besarjjdi pasar domestik dan internasional, namun
permasalahanjjyangjjdialamijjagroindustrijjkopijjsaatjjini jugajjsangatjjkompleks, jantara lain
kualitasjjdanjjkontinyuitas bahan baku kopi yang kurang terjamin, teknik budidaya yang
masih sederhana, kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana agroindustri, jaringan
pemasaran kopi yang belumjjterkelolajjdengan baik, dan kualitas SDM yang kurang
memadai (Hariyati et al., 2013). jj
Dalamjjupayajjmeningkatkanjjnilai tambah komoditas kopi perlu adanya pengembangan
yang tidak hanya berbasis pada sektor hulu namun lebih fokus pada sektor hilir
pengembangan kopi. jjSalah satu upaya peningkatan nilai tambah kopi ada pada
pengembangan Usaha MikrojjKecil dan Menengahjj (UMKM) yangjjberbasis pada produk
kopi bubuk. jjPengembangan ekonomijjlokal dalam hal ini adalah kopi perlu mengedepankan
sektor UMKM, mengingat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia
mempunyai peranan penting dalam pembangunan ekonomi. jj
UMKM berperan dalam perekonomian melalui sumbangan sektor UMKM dalam PDB
dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja. Peran penting UMKM sebagai salah satu
penopang perekonomianjjnasional akan berdampak langsungjjterhadap pertumbuhan
ekonomi. Peningkatan unit usahajjdan produktivitas UMKM akan berkonstribusijjterhadap
pertumbuhan ekonomi. jjSelainjjmampujjmemberikanjjkonstribusijjterhadapjjperekonomian,
UMKM dianggap tahanjjterhadap krisis ekonomi.jjUMKMjjtelahjjmampujjmembuktikan
eksistensinya dalam perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda
Indonesia di tahun 1998 usaha berskala keciljjdan menengah yang relatif mampu bertahan
dibandingkan perusahaan besarjj (Bank Indonesia, 2015). jj
Salah satu masalah yang menghambat produksi agroindustri berkelanjutan adalah
rendahnya tingkatjjadopsi pelaku usaha pada inovasi teknologi pertanian berkelanjutan.
Sebenarnya pemerintah telah banyak menghasilkan inovasi teknologi agroindustri
berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil agroindustri sehingga dapat
memenuhi kebutuhan pelaku usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. jNamun,
padajjkenyataannyajjtidakjjpelakujjusahajjmengadopsijjinovasijjteknologijjagroindustrijjberk
elanjutan tersebut. jjBisajjdikatakan bahwa tingkatjjadopsijjpetanijjatasjjinovasijjteknologi
agroindustri berkelanjutan masihjjrendah sehingga produktivitas agroindustri belum
sepenuhnya optimal. Hal ini disebabkan oleh keberagaman persepsi pelaku usaha
terhadapjjinovasijjteknologijjagroindustrijjberkelanjutanjjtersebut.
Menurut Ramli (2012) terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhijjpersepsi pelakujusaha terhadapjjinovasijjteknologijjagroindustri, diantaranya
adalah 1) Tingkat pendapatan pelakujjusaha yang relatif rendah; 2) Proses penciptaan
inovasi teknologi yang kurang komprehensif; 3) Proses diseminasi inovasi teknologi yang
kurang efektif; dan 4) jjPelaku usaha masih menghadapi berbagai masalah, baik internal
maupun eksternal. Kendala yang umumnya dihadapi petani secara eksternal ialah
minimnya ketersediaan sarana dan prasarana produksi agroindustri yang mendukung
penerapaan inovasi teknologi agroindustrijjberkelanjutanjjtersebut. Oleh karena itu,
menjadi penting untuk mengkaji bagaimana persepsi pelaku usaha terhadap dukungan
pemerintah dalam penerapan sistem agroindustri berkelanjutan.
Menurut (Novita et al., 2012), pengembangan agroindustri kopi berkelanjutan yang
berlandaskan pada tiga pilar utama, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan). Selain
itu, pelaku usahajjjugajjharusjjmampujjmembentuk badan usaha yang berorientasi pada
profitjjdan mengadopsi teknologi produksijjyangjjbercirikanjjefisiensi tinggi dan produk
yang kompetitif agar agroindustri kopi yang dijalankanjjdapat berkembang dengan baik dan
menghasilkan produk kopi yang bermutu tinggi. jjMenurut (Retno, 2016) analisis yang
dipakai untuk melihat keberlanjutan usahatani kopi bubuk memakai lima dimensi, yaitu
sosial, ekonomi, ekologi, etika dan teknologi. jjSehinggajjdalamjjpenelitianjjini, ditetapkan
kelayakanjjkeberlanjutanjjusahatani kopi bubuk setidaknya memenuhi 4, yaitu ekologi,
ekonomi, sosial danjjteknologi.jjNamunjjuntukjjmemperjelas, jjpenulisjjjugajmencantumkan
kelayakan kelembagaan. jj jj
Dengan adanya sistem agroindustri keberlanjutan setidaknya perkebunan kopi
berkelanjutan mempunyaijjsyarat secara ekologi tidak merusak lingkungan, dan secara
ekonomi produktif dan menguntungkanjj (Hurni, 2000). Sehingga penulis mendapatkan
beberapajjaspekjjyang tergolong kejjdalam dimensi ekonomi, yaitu hargajjbahan baku biji
kopi, biaya produksi kopi bubuk, jjbiaya produksi pengemasan, daya saing kopi bubuk,
pemasaran produk, jjkontribusijjterhadapjjpendapatanjjperkapita. Jj
Sedangkanjjuntukjjdimensijjekologi yaitu, rata-rata umur tanaman kopi, kualitas biji
kopi, pengetahuan terhadap dampak ekologi, pembuangan limbah olahan kopi bubuk,
pemanfaatan limbah kulit kopi untuk pupuk atau pakan ternak, kebersihan lokasi usaha.
Dimensi sosial disusunjjdari 7 atribut yang diduga berpengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan usahatani kopi bubuk, yaitu pendidikan formal pelaku usaha, intensifikasi
penyuluhan dan pelatihan, standarisasi mutu kopi, eksistensijjprodukjjterhadap target pasar,
sistem promosi melalui media sosial, kejasama dengan pengusaha bisnis, responsif terhadap
pelanggan. Teknologi menjadijjelemenjjpenting dalam kesuksesan dan keberlanjutan usaha.
pengaturan umur tanaman sangat berpengaruh pada hasil produktivitas tanaman. Pada
umumnya setelah tanaman berumur 20 tahun tanaman tersebut sudah tidak memberikan
keuntunganjjbagi usahatani kopi. jjPetani sangat dianjurkan melakukan pergantian tanaman
setelah tanaman berumur 20 tahun, jjtetapi pada kenyataannya secara umum di lapangan
umurjjtanaman kopijjArabika petani di Bali ditemukan lebih banyak berusia di atas umur 20
tahun. jj jj
Rafflesia Coffeejjmerupakanjjproduk olahan kopi bubuk yang berasal dari wilayah
perkebunan kopi dijjkabupaten Kepahiang, jjProvinsi Bengkulu dengan altitude 1000-1300
mdpl, dataran tinggi yang terletak di sepanjang wilayah bukit barisan pulau Sumatra,
tepatnya di wilayahjjBarat Daya pulau Sumatera. jjUntuk mendapatkan hasil kopi robusta
yang baik danjjbermutu, proses pemetikan panen kopi dilakukan dengan pemilihan buah
petik merah (redjjcherry) dengan melalui tahapan-tahapan proses yang panjang dalam
pegolahannya, jjmulai dari proses pengolahan pasca panen, proses sangrai/roasting, jjproses
penggilingan/grinding sampaijjkejjprosesjjpengemasan/packaging. jj
Menurut DorijjselakujjpengelolajjusahajjKopi bubukjjRafflesia Coffee, nama Rafflesia
Coffeejjmerupakanjjnamajjproduk yang diambil berdasarkan ikon dari Provinsi Bengkulu
yaitu Rafflesia Arnoldi. Hal ini merupakan suatu “trik” agar memudahkan konsumen
mengenal produk, jjterutama konsumen dari luarjjprovinsi Bengkulu. Kemasan 100gr dan
200gr dapat dijumpai padajjtokojjoleh-oleh yang berada di pusat oleh oleh Anggut Atas,
Kota Bengkulu. jjSerta dapat dijumpai di pasar tradisional dan toko lainnya dalam waktu
dekat. jj
Berkaitanjjdenganjjusahajjkopi bubuk yang berkelanjutan, pertanyaan yang muncul
adalah bagaimana statusjjkeberlanjutan ditinjau dari dimensi ekonomi, ekologi, sosial,
teknologi dan kelembagaan sangat penting untuk dikaji. jjMelihat permasalahan tersebut,
penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan atribut-atribut yang
sensitive berpengaruhjjterhadapjjkeberlanjutanjjusahajjkopijjbubukjjRafflesiajjCoffee.
1.2 Rumusan Masalahjj
1. Bagaimanajjindeksjjkeberlanjutanjjusahajjkopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu?
2. Bagaimana status keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu
denganjjpendekatan MultidimensionaljjScaling (MDS) jj
1.3 Tujuan Penelitianjj
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengukur indeks keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota
Bengkulu
2. Untuk melihat status keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu
menggunakan pendekatanjjMultidimensional Scaling (MDS)
1.4 ManfaatjjPenelitianjj
Hasil darijjpenelitian inijjdiharapkanjjdapat memberikan beberapa informasi yang dapat
dipakaijjsebagai masukan bagijjpihak yang membutuhkan, antara lain: jj
1. BagijjPeneliti, untuk menambahjjpengetahuan penulis dalam teori, praktek dan kenyataan
di lapangan serta sebagai bagian dalam penerapan teori yang dipelajari selama
perkuliahan. jj
2. Bagijjpemilik usaha, sebagai bahan informasi untuk mengetahui keberlanjutan usaha kopi
bubuk. jjHasil penelitianjjinijjjuga dapat menjadi masukan dan informasi untuk Usaha
Kopi Bubuk Rafflesia Coffee dalam merancang strategi untuk menarik perhatian
pelanggan danjjmempengaruhinya dalam melakukan pengambilan keputusan dan juga
informasi dalam menerapkanjjkebijakan-kebijakanjjselanjutnyajjdalamjjperusahaan. jj
3. Bagijjpembaca, jdiharapkanjjdapat memberikan informasi mengenai Kopi Bubuk
RafflesiajjCoffeejjdanjjdijadikanjjsebagaijjreferensijjuntukjjbahanjpenelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUANjjPUSTAKA

2.1 Kopijj

Kopi adalah tanaman budidaya yang telah lama dan umum ditemukan di Indonesia. Kopi
pertama kalijjditemukan di daerahjjpegunungan dijjEtopia, Afrika, Akan tetapi kopi sendiri baru
mulai dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di Yaman di
bagian selatan Arab, di luar daerah asalnya (Raharjo, 2012). Adapunjjklasifikasijjtanaman kopi
(Coffea sp.) jjmenurutjjRahardjojj (2012) jjadalahjjsebagaijjberikut: jj

Kingdomm : Plantaee
Subkingdomm : Tracheobiontaa
Super Divisii : Spermatophytaa
Divisii : Magnoliophytaa
Kelass : Magnoliopsidaa
Sub Kelass : Asteridaee
Ordoo : Rubialess
Familii : Rubiaceaee
Genuss : Coffeaa
Spesiess :Coffea sp. ( Cofffea arabica L., Coffea canephora, Coffea
liberica, Coffea excels).))

Di Indonesia kopi pertama kali dibawa oleh VOC pada tahun 1696. Kopi mulai
diproduksi dengan hanyajjbersifat coba-coba tepatnya di pulau Jawa, namun dengan hasil yang
memuaskan dan dipandang menguntungkan sebagai komoditi perdagangan maka VOC mulai
memproduksijjsecara besar-besaran dijjberbagaijjdaerahjjIndonesia (Najiyati, 2007). jj

Kopijjadalahjjsalahjjsatujjpenghasil devisa terbesar di Indonesia, karena nilai


ekonomisnya yang sangat tinggi. Bukan hanya sebagai sumber devisa, namun juga sebagai
sumberjjpenghasilanjjbagijjpetanijjkopijjdijjIndonesiajj (Rahardjo, 2012). jj

Peluangjjuntukjjmeningkatkanjjproduktifitas tanaman kopi Indonesia masih sangat


terbukajjlebarjjsebab Indonesiajjmemilikijjiklim tropis yang secara agronomis sangat cocok
untuk pengusahaanjjkeduajjjenisjjkopijjtersebutjj (Sudjatmoko. 2013). jjProduktivitas tanaman
jugajjsangatjjberpeluangjjuntukjjditingkatkan sebab produktivitas tanaman kopi di Indonesia
barujjmencapai sekitar 50%jjdarijjpotensi yangjjmampujjdicapai. jj
2.2 KopijjBubukjj

Kopijjmerupakanjjkomoditasjjhasil perkebunan yang termasuk bahan penyegar, tetapi


juga bisa digolongkan sebagai komoditas perkebunan tahunan. jjSaat ini, Indonesiajjmerupakan
negara produsen kopi terbesar ketiga setelah Brasil dan Kolombia, tetapi bila dilihat dari
jenis/varietasnya termasukjjnegara penghasil utama jenis kopi robusta (Zaini, 2009). Kopi
terbagijjmenjadi dua jenis, jjyaitujjkopijjrobusta dan kopijjarabika. jjPerbedaan dari kedua jenis
kopi ini tentunya dapat diketahui dari rasanya. Kopi arabika merupakan kopi dengan cita rasa
terbaik, sedangkan kopi robustajjmerupakanjjjenisjjkopijjkelas 2 karena rasanya yang lebih
pahit, sedikit asam, jjdanjjmengandung kafeinjjdenganjjkadar yang jauh lebih banyak
(Darmanto, Adib, & Wijayanti, 2013)

Sampaijjdengan tahunjj2012 luas areal tanaman kopi di Indonesia tercatat 1.233.982


hektar denganjkomposisi pengusahaan tanaman kopi nasional masih didominasi oleh perkebunan
rakyat seluas 1.185.239jjhektarjjatau (96,4%)jjperkebunan besar swasta hanya seluas 26.185
hektar (2,12%)jjdanjjperkebunanjjbesar negara seluas 22.578 hektar (1,84%)jj (Sudjatmoko,
2013). jjDalam hal penciptaan lapangan kerja komoditas kopi memberikan lapangan kerja
kepada 1.88 juta KK dengan luas kepemilikan rata-rata 0.6 hektar, sampai dengan saat ini
tanamanjjkopijjdijjIndonesia masih didominasi kopi robusta (83%) di banding kopi arabika
(17%)jjsementarajjpasarjjinternasionaljjlebihjjmenyukaijjkopijjarabikajj (Ditjenbun, 2012).

Kopi biji maupun kopi olahan karena tidak terlepas dari masalah-masalah seperti
kurangnya pengetahuan penanganan panen dan pasca panen oleh petani sehingga mutu biji kopi
masih rendah baik sebagai bahan baku pada industri pengelolaan kopi maupun untuk ekspor.
Jaminan pasokan bahan baku kopi masih rendah baik dalam hal jumlah, mutu maupun
kontinutas, produktivitasjjtanamanjjkopijjmasihjjsangat rendah sedangkan kesadaran petani
untuk menggunakan benih ungguljjjugajjmasihjjrendah. jjSebagian besar areal kopi dikelola
dalam bentuk perkebunan rakyat dengan penerapan kultur teknis yang belum sesuai dengan
teknologi anjuran, terbatasnya fasilitas produksi dan pengolahan biji kopi misalnya mesin
peralatan pengering, pengupas dan sortasi utamanya ditingkat skala kecil dan menengah,
terbatasnya penguasaan teknologi proses pada tahap roasting, kurangnya kemampuan melakukan
inovasi danjjdiversifikasijjproduk sesuai dengan permintaan pasar domestik maupun
internasional (Fikriyah, 2012). jj
2.3 JenisjjKopijj

 Robustajj
Permasalahanjjpadajjpenelitianjjkopijjrobustajjini yaitu dari hulu (on farm)
hingga hilir (off farm). jjDi sisi on farm, tingkat produktivitas kopi di Indonesia masih
rendah, jjhal tersebutjjdisebabkanjjkarenajj95%jjkopijjmerupakan perkebunan rakyat
yang umumnya belum menggunakan bibitjjunggul, teknik budidaya masih sederhana,
terlambat dalam melakukan peremajaan tanaman, minimnya sarana, dan prasarana
pendukung mengakibatkan rendahnya mutu kopijj (Nalurita dkk, 2014). Bagian hilir
industri skala kecil memiliki keterbatasan sarana dan prasarana produksi (mesin
pengolahan), jjteknologijjyangjjtinggi dimiliki oleh industri skala menengah dan besar.
Industri skalajjkeciljjkurangjjberinovasi untuk menciptakan diversifikasi produk olahan
kopi yang beragam. jjManfaat dari penelitian ini adalah petani dapat dibantu dalam
pengambilan strategi guna mengembangkanjjusahajjbudidaya kopi robusta mulai dari
hulu (on farm) hingga ke hilirjj (off farm) dan memberikan informasi kepada
kelembagaanjjpemerintah. jj
 Arabikajj
KopijjarabikajjIndonesiajjdewasa ini banyak menjadi kopi khusus yang
merupakanjjjenis kopijjdenganjjcitarasa terbaik, dengan aroma yang bersifat khas karena
itujjmemilikijjpasar yang khusus potensi pengembangannya untuk Indonesia masih
sangat terbukajjterutamajjdenganjjbergesernyajjkonsumenjjkopi biasa ke kopi khusus di
negara-negarajjkonsumen sepertijjAmerika Serikat. Beberapa jenis kopi arabika
Indonesia tercatatjjsebagaijjkopijjkhusus single origin Indonesia yang mempunyai
reputasi di pasar internasional karena mutu dan cita rasanya antara lain adalah :
Mandailing danjjLintong Coffee (Sumatra Utara), jjGayo Mountain Coffee (Aceh), Java
Arabika Coffee (Jawa Timur), jjBali Kintamani Coffee (Bali), jjToraja dan Kalosi Coffee
(Sulawesi-Selatan), jjFlores Bajawa Coffee (NTT), Baliem Coffee (Papua), Luwak
Arabika Coffee.
Pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk merupakan proses pengolahan kopi
yang paling sederhana, dimana biji kopi yang digoreng tanpa minyak (sangrai) kemudian
dihancurkan dan dikemas. jjPembuatan kopi bubuk banyak dilakukan oleh petani,
pedagang, industri kecil dan pabrik. jjPembuatanjjkopijjbubukjjdapat dibagi ke dalam
dua tahap yaitu tahap penggorengan tanpa minyak dan tahap penggilingan. Industri
pengolahanjjkopijjpada umumnya menggunakan bahan baku biji kopi arabika dan
robusta dengan komposisi perbandinganjjtertentu. jjSelain biji kopi, industri pengolahan
kopijjjugajjmembutuhkanjjbahan tambahan sepertijjgula, jagung, dan mentega serta
bahan penolong seperti kemasan (packing), pallet, danjjkratjj (Departemen Perindustrian,
2009). Jj
Industri kopi dalam negeri sangat beragam yang dimulai dari unit industri
berskala home industry hingga industri kopi berskala multinasional. Produk-produk yang
dihasilkanjjtidakjjhanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kopi dalam negeri, namun
juga untuk mengisijjpasar di luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kopi
di dalam negerijjmerupakan pasar yang menarik bagi kalangan pengusaha yang masih
memberikan prospekjjdanjjpeluang sekaligus menunjukkan adanya kondisi yang
kondusifjjdalam berinvestasi di bidang industri kopi (Asosiasi Eksportir dan Industri
Kopi Indonesia, 2010) jj

2.4 KonsepjjKeberlanjutanjjUsahajj

Dasarjjpemikiranjjdarijjkonsep pembangunan berkelanjutan pada awalnya dipublikasi


oleh World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987
(Langhelle, 1999). Inti dari konsepjjtersebutjjmenurutjjMunasinghe (2010) adalah integrasi
antara 3 dimensi utama, yaitujjekonomi, sosial dan lingkungan (ecology). Konsep pembangunan
berkelanjutan kemudian banyakjjdiadopsi pada sistem pembangunan berbasis komoditi,
misalnya pada kopi (Adam dan Ghaly, 2007). jjDemikian juga pada bidang keilmuan yang lain,
seperti manajemen rantai pasok (Cuthbertson, 2011). jj

Menurut Wilkinsonjjdkk, (2007), jjpembangunanjjberkelanjutan berkaitan erat dengan


pertumbuhanjjekonomijjdanjjbagaimanajjmencari jalan untukjjmemajukan ekonomi dalam
jangka panjang, jjtanpajjmenggangujjlingkunganjjyangjjmemangjjterbatas. jj

2.5 Dimensi – DimensijjdalamjjKeberlanjutanjjUsahajj

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada lingkungan, pembangunan


mencakup tiga lingkup kebijakan, jjyaitu:
1) pembangunan ekonomi; 2) pembangunan sosial; 3) perlindungan lingkungan. Konsep
pembangunan berkelanjutan adalah interaksi antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang disebut triple bottom line concept. jjSehingga keberlanjutan merupakan bagian kecil dari
dimensi sosial, ekonomi, danjjlingkungan. jjModel tersebut tidak memberikan integritas suatu
konsepjjkeberlanjutanjjkarenajjsatu dimensijjdenganjjdimensi yang lain bukan merupakan
bagian yang mendukung. jj

2.6 MultijjDimensionaljjScalingjj (MDS) jj

Tahapjjyang dilakukan untuk dapat memperoleh hasil dari MDS berdasarkan lima
dimensi atau aspek, yaitujjekologi, jjekonomi, jjsosial, jjteknologi, dan kelembagaan di
antaranyajj (1) jjpenentuan atribut setiap dimensi, ditentukan melalui diskusi pakar, kajian
pustaka, dan pengamatanjjdi lapangan. jj (2) Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal untuk
mengetahuijjkeberlanjutanjjdijjsetiap dimensi, jjpemberianjjskorjjdalamjjrentan 0 (buruk) sampai
3 (baik) berdasarkanjjsurvei lapangan; (3) analisis ordinasi dengan MDS untuk menentukan
status keberlanjutanjjpadajjsetiapjjdimensijjdalamjjskalajjindeks keberlanjutan; (4) menilai
indeks dan status keberlanjutan di setiap dimensi; (5) penentuan atribut-atribut pengungkit
sensitif di setiap dimensijjmelaluijjanalisisjjleverage, jjatributjjsensitif yaitu atribut yang
memiliki nilai Root Mean Squarejj (RMS) pada sumbu x, semakin besar nilai RMS maka
semakin sensitif perananjjatributjjtersebutjjterhadap peningkatan status keberlanjutan; (6)
tahapan terakhir yaitu melalukan analisis Monte Carlo untuk memperhitungkan dimensi
ketidakapastian, dengan selang kepercayaan 95%.jj
(Kavanagh, jj2001jjdalamjjHidayanto, 2009) jjnilai indeks Monte Carlo dibandingkan
dengan indeks MDS, jjnilaijjStress dan koefisein deteminasi R² mempunyai fungsi
untukmengetahui perlujjtidaknyajjpenambahan atribut, dan mencerminkan keakuratan dimensi
yang dikaji dengan keadaan sebenarnya. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good
fit,Menurut Kavanagh danjjPitcher 2004 dalam hidayanto 2009, hasil analisis cukup baik
ditandai dengan nilai S-Stress kurang dari 0,25 (S<0,25), dan R2 mendekati 1 (100%)
(Hidayanto 2009).
Diagram jaring laba-labajjuntuk Multi Dimensional Scaling (MDS) dapat dilihat di
bawah.

Gambar 2.1 Jaring Laba-laba MDS

2.7 KerangkajjPikiranjj

Kopi bubuk merupakan hasil dari pengolahan usahatani dari biji kopi. Mulai banyak
peminatnya untukjjmenjadijjbahanjjminumanjjyangjjakanjjdiolahjjkembali.

RafflesiajjCoffeejjadalahjjsalahjjsatu usaha pembuatan kopi bubuk yang diolah sendiri


oleh pemilik. jjSebelumjjdiolah, jjpemilik usaha melihat langsung bahan baku dan membeli
kepada petani atau toke. jjHal ini dilakukanjjagar pemilik usaha mengetahui kualitas biji kopi
yangjjnantinyajjakanjjdiolah. jjUsahajjRafflesiajjCoffeejjtergolong cukup baru dan masih
banyakjjhaljjyangjjakanjjmenjadijjmasukan, jjsenhinggajjmenjadijjalasan kuat bagi peneliti
untuk menjadikan Rafflesia Coffeejjmenjadijjobjekjjpenelitian. jjSetelah pemilihan biji kopi,
pengolah langsung membawa kejjpabrikjjdimanajjmerupakan kediaman pribadi untuk
melakukanjjsegalajjmacamjjurutan agarjjbijijjkopijjmenjadijjkopijjbubuk. jj

Dimensi-dimensijjkeberlanjutan usahatani kopi bubuk sebagaimana telah dijelaskan


bahwa memiliki 5 dimensi yaitu Ekologi, jjEkonomi, Sosial, Teknologi dan Kelembagaan.
Kelima dimensijjinijjtelahjjditetapkanjjdenganjjbanyak pertimbangan dan melihat pada
penelitian terdahulu. jjDenganjjharapanjjbisajjmelihatjjstatusjjkeberlanjutanjjusahajjkopijjbubuk.

AnalisisjjkeberlanjutanjjusahajjKopijjBubuk Rafflesia Coffee menggunakan analisis


RAP-Fish (Rapid Appraissal for Fisheries) jjdenganjjmetodejjMultijjDimension Scalling (MDS)
yangjjdimodifikasijjmenjadijjRAP-Coffee (Rapid Appraissal for Coffe) jj (Iswari, 2008). jj
Multi Dimensional Scaling (MDS) dalam RAP-Coffee merupakan pendekatan yang
memberikan hasil yangjjstabil dibandingkan dengan metoda analisis peubah ganda yang lain
(misal analisis faktor). jjSeluruh data dari atribut yang dipertimbangkan dalam penelitian ini
selanjutnya dianalisis secara multidimensi untuk menentukan titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutanjjsistemjjketersediaanjjkopi di masing-masing wilayah yang dikaji relatif terhadap
dua titik acuan yaitu titikjj “baik” jj (good) jjdanjjtitik j “buruk” (bad). jj
Analisis digunakan untuk mengetahui leveragejjatribut-atribut yang secara sensitif
mempengaruhi tingkat keberlanjutan usahatani. jjPerubahanjjnilai (RMS) Root Mean Square
merupakanjjnilaijjyangjjdiperoleh darijjhasiljjakhirjjanalisis, jjsemakin besar perubahan nilai
RMS leverage maka semakin sensitif peranan atribut tersebut dalam meningkatkan status
keberlanjutan usahatani. jjSuwarno (2011) jjmengemukakan atribut yang dipilih sebagai faktor
pengungkit utama merupakan atributjjyang memiliki nilai RMS tertinggi sampai dengan nilai
setengahnya darijjtiap-tiapjjdimensi keberlanjutan. Analisis merupakan rangkaian Monte Carlo
dalam metode RAP-AFSjjyang dilakukan untuk menduga tingkat kesalahan acak ( ) pada
random error model yang dihasilkan dari analisis MDS untuk semua dimensi pada tingkat
kepercayaan 95% Semakin kecil selisih nilai antara hasil analisis MDS dan analisis maka
semakinjjbaikjjmodeljjMontejjCarlo yangjjdihasilkanjjmetodejjRAP-APS.
Penelitian Putu (2017) tentangjj“Analisis Keberlanjutan pengelolaan pembenihan Badeng
skala rumah tangga (HSRT) di desajjPenyabangan kecamatanjjGerokgak kabupaten Buleleng
provinsi Bali” menunjukkan bahwa status keberlanjutannyajjtermasukjjdalam kategori Cukup
berkelanjutanjjdengan masing masing dimensi yaitu, ekonomi (67,94), jjdimensi sosial (74,38)
danjjdimensijjekologi (59,16). jjNilaijjindeks rata-rata sebesar 67,15. Atribut yang
mempengaruhijjnilaijjindeks keberlanjutan ditinjaujjdari dimensi ekonomi yaitu lokasi tujuan
atau orientari pemasaran. Untukjjdimensi sosial yaitu partisipasi keluarga dan tingkat
pendidikan. jjSedangkanjjdimensi ekologi atribut yang mempengaruhi yaitu pencemaran
perairanjjdanjjketersediaan TPA. jjDitinjau dari ketiga dimensi yang paling mempengaruhi
adalahj pencemaranjjperairan yangjjmemilikijjnilaijjsebesarjj10,95. jj

Desty, dkk (2018) jjtentangjj “Analisis Keberlanjutan Biogas Limbah Tahu Pedesaan (Studi
Kasus Di Desa Kalisari, jjKabupatenjjBanyumas)” jjStatus berkelanjutan biogas limbah tahu
pada dimensi sosial, jjekonomi, ekologijjdanjjkelembagaan adalah cukup berkelanjutan
sedangkanjjpadajjdimensijjteknologi berstatusjkurang berkelanjutan. Faktor yang mempengaruhi
status cukup berkelanjutan pada 4 dimensi tersebut adalah biogas menyediakan energi bersih dan
murah sehingga masyarakat saat ini dapat mengurangi ketergantungan penggunaan gas elpiji 3
kg yang keberadaannya semakin langka serta harganya cukup mahal bagi masyarakat pedesaan.
Selain itu, solusi pencemaran bau limbah tahu saat ini hanya dapat diatasi oleh instalasi biogas
sehingga ke depannya masyarakat optimis mengembangkan biogas limbah tahu sebagai energi
alternatif mereka.

Elida dkk (2012) dalam penelitan tentang “analisis keberlanjutan kawasan usaha perkebunan
kopi (kupk) rakyat di desa Sidomulyo kabupaten Jember” berdasarkan simulasi program Rap-
Coffee untuk masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi ekonomi tidak berkelanjutan.
Berdasarkan gabungan simultan antara keempat dimensi, indeks keberlanjutan KUPK Desa
Sidomulyo adalah 59.5 % yang berarti berlanjut. Indeks keberlanjutan ini dapat ditingkatkan
apabila dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang sensitif untuk masing-masing dimensi.
Oleh karena itu di dalam perencanaan kebijakan untuk pengembangan KUPK Desa Sidomulyo
sebaiknya memprioritaskan pada peningkatan indikator yang memiliki sensitivitas tinggi di
masing-masing dimensi. Dimensi teknologi merupakan salah satu aspek penting untuk
meningkatkan mutu kopi rakyat.

Seppa dkk (2020) tentang “strategi peningkatan kinerja dan keberlanjutan rantai pasok
agroindustri kopi robusta di kabupaten Tanggamus” menunjukkan bahwa penilaian keberlanjutan
dilakukan melalui analisis dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, dan 24 indikator
keberlanjutan. Hasil nilai keberlanjutan mengindikasikan dua indikator sensitif terhadap
keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu responsif terhadap pelanggan dan efisiensi biaya, dua
indikator sosial yang sensitif, yaitu penegakan hukum sengketa lahan dan ketenagakerjaan, dua
indikator lingkungan yaitu pengolahan limbah dan konsumsi energi serta enam indikator
teknologi yang dinilai memiliki nilai sensitif terhadap keberlanjutan rantai pasok. Berdasarkan
hasil penilaian indikator keberlanjutan, maka status keberlanjutan berada dalam kisaran hampir
berkelanjutan, selanjutnya perlu ditingkatkan menjadi status berkelanjutan dalam dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi.
Kopi Bubuk

Rafflesia Coffee

Dimensi – Dimensi Keberlanjutan :

1. Dimensi Ekologi
2. Dimensi Ekonomi
3. Dimensi Sosial
4. Dimensi Teknologi
5. Dimensi Kelembagaan

MDS:

1. Penggolongan Atribut dan


Pemberian Skor
2. Kriteria
3. Pemberian Skor
4. Input Data
5. Analisis MDS
Run Rap-Coffee Run Leverage Run Monte Carlo

Analisis Keberlanjutan

2.8 Hipotesa

Dimensi Ekologi, Dimensi Ekonomi, Dimensi Sosial, Dimensi Teknologi, dan Dimensi
Kelembagaan diduga mempengaruhi dalam keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu Kopi Bubuk
Rafflesia Coffee di Kota Bengkulu, di mana terdapat pengolahan kopi bubuk yang akan dilihat
keberlanjutan usahanya. Pemilihan lokasi ini dengan alasan Rafflesia Coffee sudah beredar di
banyak toko dan warung yang ada di Kota Bengkulu, serta nama produknya sendiri terinspirasi
dari Bunga Rafflesia Arnoldi yang merupakan ikon Provinsi Bengkulu.

3.2 Responden Penelitian


Teknik penentuan responden dilakukan atas pemilihan responden dengan pemilik usaha,
karyawan usaha, dan supplier. Menurut Sugiyono metode penelitian deskriptif ini merupakan
suatu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran berupa fakta-fakta yang
ada di lapangan dengan cara mengumpulkan, menganalisis dan mengolah data sehingga nantinya
akan didapatkan suatu kesimpulan. Metode pengambilan responden pada proposal ini adalah
dengan menggunakan teknik purposive sampling. Metode purposive sampling ini merupakan
pengambilan sampel non-acak, dimana semua anggota populasi tidak mempunyai peluang yang
sama untuk dipilih menjadi contoh (Sevilla dkk, 1993). Responden sengaja dipilih dengan
pertimbangan bahwa responden adalah pelaku baik individu atau lembaga yang dianggap
mengerti permasalahan yang terjadi dan mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan
atau dapat memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan terhadap keberlanjutan usaha
kopi bubuk Rafflessia Cofee di Kota Bengkulu. Sehingga dalam penelitian ini dapat ditentukan
responden dilihat pada Table 1.

Table 1. Pemilihan Responden Untuk Survei Data Primer

Responden Jumlah Keterangan

Pemilik Usaha 1 Orang -


Mitra Usaha 1 Orang -
Supplier 1 Orang -
Karyawan Usaha 1 Orang -

3.3 Metode Pengumpulan Data


Data yang digunakan dalam proposal penelitian ini ada dua jenis dan sumber data yang
digunakan yakni:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden pelaku usaha, karyawan
dan supplier melalui wawancara dan observasi dengan menggunakan kuisioner/angket
yang berupa daftar pertanyaan sehingga datanya diperoleh dari hasil wawancara secara
langsung kepada salah satu pemilik caffe atau bisa dengan membagikan angket wawancara
kepada para karyawan dan staf yang bisa diambil data mengenai caffe tersebut.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang ada kaitannya dalam usaha
pengembangan komoditi kopi, terutama dari lembaga pemerintahan, lembaga penelitian,
serta instansi terkait. Data ini biasanya diperoleh dari buku, jurnal, maupun hasil penelitian
terdahulu yang dapat digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian.

3.4 Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif. Analisis
deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi yang sedang
berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.
Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) selain menentukan nilai indeks keberlanjutan
juga menyediakan analisis leverage yaitu untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap
keberlanjutan usahatani kopi bubuk dan nilai Monte Carlo sebagai pembanding nilai indeks
keberlanjutan usaha tani kopi bubuk Rafflesia Coffee.
Analisis Pendapatan Usaha Kopi Bubuk dengan Rumus:
π=TR – TC
Keterangan:
π= Pendapan/Bulan
TR = Total Penerimaan (Total Revenue)/Bulan
TC = Total Biaya (Total Cost)/Bulan
TC (Total Cost) dirumuskan sebagai berikut:

TC = TVC + TFC
Keterangan:
TVC = Biaya Tidak tetap (Variabel Cost)
TFC = Biaya tetap (Fixed Cost)
TR = Total Penerimaan (Total Revenue) dirumuskan sebagai berikut:

TR = Q x Py
Keterangan:
Q = Kuantitas Produksi
Py = Harga
Posisi titik-titik keberlanjutan pembangunan ini secara visual akan sangat sulit
dibayangkan mengingat dimensinya sangat banyak. Oleh karena itu, untuk memudahkan
visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi dengan metoda multidimensional scaling
(MDS). Dalam MDS, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling
berdekatan. Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang
berjauhan. Titik-titik ini juga akan sangat berguna di dalam analisis regresi untuk menghitung
“stress” yang merupakan bagian dari metode MDS. Nilai skor pada setiap atribut akan
membentuk matriks X (n x p), n adalah jumlah wilayah beserta titik-titik acuannya, p adalah
jumlah atribut yang digunakan. Kemudian dilakukan standarisasi nilai skor untuk setiap atribut
sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran
dapat dihilangkan.
Metode standarisasi adalah:
Xik sd = Xik – Xk Sk
Keterangan: Xik sd = nilai skor standar wilayah (termasuk titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p;
Xik = nilai skor awal wilayah (termasuk titik-titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p; Xk = nilai tengah skor pada setiap atribut ke k = 1,2,
…p;
Sk = simpangan baku skor pada setiap atribut ke k = 1,2,…p.

dij= √(XiK – Sjk)2


Keterangan: Xik = Hasil atribut ke i
Xjk = Hasil Atribut ke j
Metode jarak kuadrat Euclidian (euclidean distance squared /Seuclid) digunakan untuk
menghitung jarak antar wilayah (termasuk titik-titik acuannya). Jika ada n titik posisi di dalam p-
dimensi maka “jarak” antar wilayah, Dij ; i = 1,2,3,….n; j = 1,2,3,….n; i ≠ j akan membentuk
matriks D (n x n). Metode jarak kuadrat Euclidian (euclidean distance squared) : D2 (i,j) =
Σ(XikXjk) 2 ; i = 1,2,…n-1; j = 1,2,…n; k =1,2,…p. Nilai jarak ini kemudian diurutkan dari yang
besar hingga yang terkecil. Setelah itu membuat ordinasi baik untuk seluruh dimensi (dan
seluruh atribut) serta untuk setiap dimensi (aspek pembangunan) berdasarkan algoritma analisis
“multidimensional scaling”.
Dalam analisis MDS ini dimensi atribut yang semula sebanyak p direduksi menjadi hanya
tinggal dua (2) dimensi yang akan menjadi sumbu x dan sumbu y. Hasil dari ordinasi ini adalah
matriks V (n x 2) dimana n adalah jumlah wilayah yang diteliti termasuk titik- titik acuannya.
Jarak antar objek sekali lagi dihitung tetapi sekarang menggunakan 2 dimensi = dij. Nilai dij ini
kemudian diregresikan dengan nilai Dij. Hasil regresi sederhana akan menghasilkan persamaan
d^ij = α + β dij ; dimana d^ij dalah nilai harapan Dij pada 2 dimensi yang merupakan nilai Dij
pada garis regresi.
Dengan demikian nilai d^ij dapat dihitung dari nilai dij. Dari dua nilai ini dapat dihitung
nilai stress dengan rumus
S = {[Σ Σ i < j (dij - d^ij) 2 ]/[ Σ Σ i < j (dij ) 2 } ½
Keterangan: S = Stress
dij = data jarak yang diberikan responden
d^ij = Jarak turunan/data kemiripan
Perhitungan nilai stresss juga dapat digunakan untuk menilai atau menentukan goodness
of fit pada sebuah solusi MDS. Nilai stress yang tinggi mengindikasikan kecocokan yang buruk.
Kruska (1994) memberikan beberapa spanduan dalam hal ini interpretasi nilai stress mengenai
goodness of fit dari solusi yang ditunjukan pada Table 2 berikut:

Table 2. Nilai kesesuaian Fungsi Stress


Stress (%) Kesesuaian (Goodness of fit)
>20 Buruk
10-20 Cukup
5,1-10 Baik
2,5-5 Sangat Baik
<2,5 Sempurna
Sumber; Masuku, Paendong, Langi (2014)
Semakin kecil nilai Stress menunjukkan bahwa hubungan monoton yang terbentuk antara
ketidaksamaan dengan disparities semakin baik (didapat kesesuaian) dan kriteria peta persepsi
yang terbentuk semakin sempurna.
Table 3. Atribut Keberlanjutan Usaha tani Kopi Bubuk
No Dimensi No Atribut Nilai Buruk Sedang Baik Sumber Referensi
1. Ekologi 1.1 Kualitas biji kopi 0,1,2 0 1 2 Dewi Arziyah (2017).
Septarianes et al, (2020).

1.2 Pengetahuan terhadap 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).


dampak ekologi Ibrahim et al, (2013).
Yhonita et al, (2019).

1.3 Pembuangan limbah 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).


olahan kopi bubuk Novita et al, (2012).
Yhonitaet al, (2019).

1.4 Pemanfaatan limbah 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).


kulit kopi untuk Dewi Arziyah (2017).
pupuk/pakan ternak Novita et al, (2012).
Yhonita et al, (2019).
Septarianes et al, (2020)
1.5 Kebersihan lokasi 0,1,2 0 1 2 Yhonita et al, (2019).
usaha
2. Ekonomi 2.1 Harga bahan baku biji 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).
kopi Mulia et al, (2021). Dewi
Arziyah (2017).

2.2 Biaya produksi kopi 0,1,2 0 1 2 Yhonita et al, (2019).


bubuk dan
pengemasan
2.3 Harga Pokok 0,1,2 0 1 2 Ruswana et al, (2020).
Penjualan Yhonita et al, (2019).

2.4 Pemasaran produk 0,1,2 0 1 2 Mulia et al, (2021).

2.5 Kontribusi terhadap 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).


pendapatan per kapita Dewi Arziyah (2017).
Ibrahim et al, (2013).
Yhonita et al, (2019).
3. Sosial 3.1 Pendidikan Formal 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).
Pelaku Usaha Mulia et al, (2021).
Ibrahim et al, (2013).
Yhonita et al, (2019).

3.2 Intensifikasi 0,1,2 0 1 2 Mulia et al, (2021).


penyuluhan dan Novita et al, (2012).
pelatihan

3.3 Eksistensi produk 0,1,2 0 1 2 Lestari et al, (2015).


. terhadap target pasar Ibrahim et al, (2013)

3.4 Sistem promosi 0,1,2 0 1 2 Ruswana et al, (2020).


melalui media sosial
Ibrahim et al, (2013).
3.5 Kejasama dengan 0,1,2 0 1 2 Ruswana et al, (2020).
pengusaha Bisnis

3.6 Responsif terhadap 0,1,2 0 1 2 Septarianes et al, (2020).


pelanggan
4. Teknologi 4.1 Tingkat penguasaan 0,1,2 0 1 2 Mulia et al, (2021).
teknologi pasca panen Yhonita et al, (2019).
Septarianes et al, (2020).

4.2 Teknologi pengolahan 0,1,2 0 1 2 Yhonita et al, (2019).


limbah Septarianes et al, (2020).
4.3 Penerapan teknologi 0,1,2 0 1 2 Lukitaningrum et al,
dalam proses (2017). Ruswana et al,
pengolahan produk (2020).

4.4 Penerapan teknologi 0,1,2 0 1 2 Lukitaningrum et al,


dalam proses (2017).
pengemasan produk

4.5 Akses inprastruktur 0,1,2 0 1 2 Lukitaningrum et al,


tranportasi (2017).Dewi Arziyah
(2017).
Ruswana et al, (2020).
5. Lembaga 5.1 Ketersediaan Lembaga 0,1,2 0 1 2 Yhonita et al, (2019).
Keuangan Mikro Dewi Arziyah (2017).

5.2 Ketersediaan Lembaga 0,1,2 0 1 2 Ruswana et al, (2020).


Pemasaran Mulia et al, (2021).

5.3 Ketersediaan Lembaga 0,1,2 0 1 2 Mulia et al, (2021).


Sosial
Ristianingsih et al,
5.4 Keberadaan dan peran 0,1,2 0 1 2 (2018).
lembaga penyuluhan
pertanian
Lestari et al, (2015).
5.5 Dukungan pemerintah 0,1,2 0 1 2 Mulia et al,(2021).
kepada pengelola

5.6 Lembaga Permodalan 0,1,2 0 1 2 Dewi Arziyah (2017).


3.5 Konsep dan Pengukuran Variabel

Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator. Indikator-indikator yang


digunakan adalah harga pokok penjualan terhadap pemasaran, harga bahan baku biji kopi, biaya
produksi kopi bubuk dan pengemasan dan kontribusi terhadap pendapatan per kapita. Indikator-
indikator tersebut ditentukan berdasarkan tahapan-tahapan partisipasi menurut Cohen dan
Uphoff (2016), yakni pengambilan keputusan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi.

Adapun langkah-langkah untuk mengukur biaya produki pada kopi bubuk Raflessia di kota
Bengkulu sebagai berikut:

1. Menghitung Biaya Bahan Baku


Bahan baku yang digunakan atau biaya bahan baku dapat dihitung dengan cara
menjumlahkan saldo awal bahan baku dan pembelian bahan baku kemudian dikurangi saldo
akhir bahan baku. Rumus menghitung biaya produksi berupa bahan baku yang digunakan
yaitu:

Biaya Bahan Baku = Saldo awal bahan baku + Pembelian bahan baku – Saldo akhir bahan
baku

2. Menghitung Biaya Produksi


Cara Menghitung Biaya Produksi dapat dilakukan dengan menjumlahkan 3 biaya
komponen Harga Pokok Penjualan yang pertama (Biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan
biaya overhead). Dengan demikian, Rumus menghitung biaya produksi adalah:

Biaya produksi = biaya bahan baku + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya overhead Produksi

3. Menentukan Harga Pokok Produksi


Cara Menghitung Harga Pokok Produksi dapat dilakukan dengan menjumlahkan biaya
produksi dan saldo awal persediaan barang kemudian dikurangi saldo akhir persedian
barang. Rumus untuk menghitung harga pokok produksi adalah:

Harga produksi = Total biaya produksi + Saldo awal persediaan barang – Saldo akhir
persediaan barang
4. Menghitung HPP
Cara Menghitung HPP dapat dihitung dengan menjumlahkan harga pokok produksi
dengan persediaan barang awal kemudian dikurangi persediaan barang akhir. Rumus
Menghitung HPP dapat dituliskan sebagai berikut:

Harga Pokok Penjualan (HPP) = Harga pokok produksi + Persediaan barang awal –
Persediaan barang akhir

5. Menghitung perbandingan margin

Yang di maksud dengan Margin di sini adalah persentase keuntungan atau laba yang
diharapkan. Yaitu dengan cara menentukan harga jual dengan menjadikan margin sebagai
patokan:

Harga jual = biaya total + margin

Adapun beberapa proses produksi dari kopi bubuk Raflessia di Kota Bengkulu sebagai berikut:
1. Kopi Bubuk merupakan salah satu produk olahan dari biji kopi setelah melewati proses
sangrai, penggilingan, dan pengemasan.
2. Usaha merupakan setiap aktivitas yang dilakukan manusia untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Jika diartikan secara khusus, istilah usaha dapat diartikan ke dalam banyak
makna dan sangat bergantung dengan di mana istilah usaha ini digunakan.
3. Kualitas adalah tingkat baik atau buruknya, mutu, taraf atau derajat sesuatu kesesuaian
antara spesifikasi produk dengan kebutuhan konsumen, atau tingkat baik buruknya
sebuah produk (barang atau jasa) di mata penggunanya.
4. Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap
keputusan yang diambil oleh seorang biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik
itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan
dari sebuah pelaksanaan.
5. Limbah adalah bahan pembuangan tidak terpakai yang berdampak negatif bagi
masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Limbah merupakan sisa produksi, baik dari
alam maupun hasil kegiatan manusia.
6. Lokasi Lokasi adalah tempat suatu usaha atau aktivitas perusahaan beroperasi dan
melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang, jasa atau tempat konsumen untuk
datang dan berbelanja.
7. Harga adalah senilai uang yang harus dibayarkan konsumen kepada penjual untuk
mendapatkan barang atau jasa yang ingin dibelinya. Oleh sebab itu, harga pada umumnya
ditentukan oleh penjual atau pemilik jasa. Akan tetapi, dalam seni jual beli, pembeli atau
konsumen dapat menawar harga tersebut.
8. Daya Saing adalah konsep perbandingan kemampuan dan kinerja perusahaan, sub-sektor
atau negara untuk menjual dan memasok barang dan atau jasa yang diberikan dalam
pasar. Daya saing sebuah negara dapat dicapai dari akumulasi daya saing strategis setiap
perusahaan.
9. Kontribusi merupakan daya dukung atau sumbangsih yang diberikan oleh sesuatu hal,
yang memberi peran atas tercapainya sesuatu yang lebih baik. Secara sederhana dapat
diartikan sebagai sumbangan.
10. Intensifikasi adalah Peningkatan kapasitas bisnis yang merujuk pada upaya untuk
meningkatkan omzet bisnis dengan cara mengoptimalkan potensi bisnis yang ada. Dalam
hal ini, pebisnis tidak melakukan suatu inovasi baru.
11. Eksistensi Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa: “Eksistensi artinya
Keberadaan, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu keberadaan atau
keadaan kegiatan usahanya masih ada dari dulu hingga sampai sekarang dan masih
diterima oleh lingkungan masyarakat perawang, dan keadaannya tersebut lebih dikenal
atau lebih eksis dikalangan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Adam, M., Ghaly, A.E. 2007. Maximizing sustainability of the costarican coffee industry.
Journal of Cleaner Production, 15: 1716-1729.
Adnyana, Made Oka. 2001. Pengebangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. JurnalFAE,
19(2), 38-49.
AEKI (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia). 2013. Perkembangan Konsumsi Kopi di
Indonesia. http://www.aeki-aice.org. Akses tanggal 1 September 2015. Ciamis.
Ati Kusmiati&Reni Windiarti.2011. Analisis Wilayah Komoditas Kopi Di Indonesia.J-SEP Vol.
5 No. 2 Juli 2011
Brklacich, M., Bryant, C.R. and Smith,B. 1991.Review and Appraisal ofConcept ofSustainable
Food Production Systems. Environ. Management, 15(1),1-1 4.
Budiasa, I Wayan. 2011. Pertanian Berkelanjutan dan Teori Pemodelan.
UdayanaUniversity Press: Denpasar,
Chandra, D., Ismono, R. H., & Kasymir, E. (2013). Prospek perdagangan kopi Robusta
Indonesia di pasar internasional. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 1(1), 10–15.
Cuthbertson, R. 2011. The need for sustainable supply chain management di dalam Sustainable
Supply Chain Management: Practical Ideas for Moving Towards Best Practice. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg
Darmanto, S. M., Adib, A., & Wijayanti, A. Perancangan Corporate Identity Dan Kemasan Kopi
Surya Kintamani Bali. (On line) (publication.petra.ac.id, diakses 11 Juni 2018).
Departemen Perindustrian. 2009. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian.
http://www.pustaka.deptan.go.id. Departemen Pertanian. Jakarta. Akses tanggal 1
September 2015. Ciamis.
Ditjen Perkebunan, 2012. Sasaran Luas Areal Komoditas Unggulan
Nasional.http://www.ditjenperkebu nan.co.id.
Fikriyah, 2012.Dinamika Kopi Sulawesi di Pasar Global dan Pengaruhnya terhadap rantai kopi
lokal di Sulawesi-Selatan.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program
Sarjana Geografi. Universitas Indonesia. Depok.
Hariyati, Y., Sofia, & Sumarno, J. 2013. Pengembangan Agroindustri Pedesaan Berbasis
KopiMenuju Produk Specialty Kabupaten Jember. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Hidayanto, M., S. Supiandi., S. Yahya., Dan L., I. Amien. 2009. Analisis Keberlanjutan
Perkebunan Kakao Rakyat Di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,
Provinsi Kalimatan Timur. Jurnal Agro Ekonomi. 27(2): 213-229 .
Hurni, H. 2000. Assessing sustainable land management (SLM). Agric. Ecosys. Environ. 81: 83-
92.
Najiyati, S., Danarti. 2007. Kopi: Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Seri Pertanian.
Penebar Swadaya. Jakarta
Narulita, S., Ratna, W.A., & Siti, J. 2014. Analisis Daya Saing Dan Strategi Pengembangan
Agribisnis Kopi Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia, 2(1): 63–74.
Novita, E., Suryaningrat, I. B., Adriyani, I., dan Widyotomo, S. 2012. Analisis Keberlanjutan
Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) Rakyat Di Desa Sidomulyo Kabupaten
Jember. Jurnal Agritech. Vol. 32(2).
Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ramli R.2012. Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Tidak TuntasnyaPenerapan Inovasi
Teknologi oleh Petani Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding
Seminar Nasional: Petani dan Pembangunan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomidan
Kebijakan Pertanian. Bogor (ID).
Retno Murwanti . 2016. Analisis Keberlanjutan Usahatani Kopi Rakyat Di Kecamatan Silo
Kabupaten Jember. jurnal.unmuhjember.ac.id. Akses tanggal 18 Mei 2021
Statistik. 2019. Statistik Kopi Indonesi 2019. Badan Pusat Statistik.
Sugiarti, S. (2010). Analisis pemasaran kopi di Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang
Lebong. Jurnal AGRISEP, 9(2), 130–136.
Sudjatmoko, 2013.Kopi Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan Produksi Hilir dan Sistem
Kemitraan.ICCRI
Udayana, I. G. B. 2010. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian. Singhadwala, 44. pp.
3-8. ISSN 0852-775. Universitas Warmadewa. Denpasar
Widyotomo, S. 2013. Potensi Dan Teknologi Diversifikasi Limbah Kopi Menjadi Produk
Bermutu Dan Bernilai Tambah. Review Penelitian Kopi Dan Kakao. Vol. 1(1): 63-Badan
Pusat
Wilkinson et al, 2007. United Nation Division for Sustainable Development. Document:
Sustainable Development Issue Retrieved, 2007.

Anda mungkin juga menyukai