Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS KEBERLANJUTAN USAHA KOPI BUBUK

RAFFLESIA COFFEE DI KOTA BENGKULU

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh :
Vasuita Ferel Ramadhanti
NPM. E1D016148

Pembimbing Utama : Reswita S.P, M.M


Pembimbing Pendamping : Ir. Basuki Sigit Priyono, M.Sc

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS


JURUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang memiliki peran
penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain sebagai sumber perolehan
devisa, penyedia lapangan kerja, dan sebagai sumber pendapatan bagi petani pekebun kopi
maupun pelaku ekonomi lainnya yang terlibat dalam budidaya, pengolahan, maupun dalam
mata rantai pemasaran (Widyotomo, 2013).
Indonesia menjadi salah satu negara penghasil kopi terbesar di dunia dengan total
produksi 742.000 ton pada tahun 2019 (Badan Pusat Statistik, 2019). Selain itu, Produksi
kopi Robusta di Indonesia sebagian besar (61%) berada di lima provinsi, yaitu Sumatera
Selatan, Lampung, Aceh, Sumatera Utara dan Bengkulu dengan luas areal berturut-turut
251.027, 156.191, 124.236, 93.695, 87.929 ha (Badan Pusat Statistik, 2019).

Gambar 1.
Grafik Nilai Rata-Rata LQ Wilayah Basis Produksi Komoditas Kopi di Indonesia.

Gambar 1 menunjukkan bahwa keseluruhan nilai Location Quotient dari Sembilan


provinsi diatas memiliki nilai rata-rata LQ dari tahun 1999 –2008 lebih besar dari satu (LQ
≥1). Wilayah basis komoditas kopi di Indonesia berada di provinsi Nangroe Aceh Darusalam,
Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Timur, Bali, Nusa tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan. Propinsi yang memiliki rata-rata nilai LQ terendah
adalah Provinsi Jawa Timur dengan nilai LQ sebesar 1,096 diikuti Provinsi Nusa Tenggara
Barat dengan nilai rata-rata LQ yaitu sebesar 1,357. Dari gambar 1 tampak bahwa Provinsi
yang memiliki nilai rata-rata LQ tertinggi adalah Provinsi Bengkulu dengan nilai rata-rata
LQ sebesar 6,193.
Provinsi Bengkulu merupakan daerah penghasil kopi terbesar ketiga di Indonesia setelah
Lampung dan Sumatra Selatan, namun berdasarkan hasil analisis LQ Provinsi Bengkulu
merupakan wilayah basis yang memiliki nilai tertinggi. Hal ini dikarenakan suatu sektor
basis juga diperbandingkan dengan sektor-sektor tanaman perkebunan lainnya dalam satu
wilayah. Komoditas perkebunan lain yang terdapat di Provinsi Bengkulu juga dapat
mempengaruhi penentuan wilayah basis. Provinsi Bengkulu memiliki jumlah produksi cukup
tinggi selain dipengaruhi oleh kondisi iklim serta kesesuaian lahan juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor di antaranya adalah adanya penambahan penggunaan luas lahan kopi,
meningkatnya jumlah pohon kopi produktif yang diiringi dengan peningkatan penguasaan
teknologi, pengetahuan dan ketrampilan petani dalam budidaya kopi. Penyebab lainnya
adalah berkembangnya kesadaran dan keyakinan petani kopi dalam usahatani kopi sebagai
usaha yang prospektif (Ati & Reni 2011).
Kopi Provinsi Bengkulu, dijadikan sebagai komoditas unggulan yang memiliki nilai
ekonomi cukup tinggi. Sejalan dengan pengembangan potensi daerah, penetapan kopi
sebagai komoditas unggulan diharapkan mampu mendukung peningkatan perekonomian
masyarakat. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini adalah rendahnya produktivitas
tanaman dan mutu hasil, serta lemahnya posisi tawar dalam penentuan harga. Kopi yang
dihasilkan petani pada umumnya memiliki mutu yang rendah. Hal ini disebabkan buah kopi
yang dipanen bukan hanya yang sudah merah, tetapi juga yang masih hijau karena rawan
pencurian. Selama ini petani terpaksa menjaga kebun dan memanen buah kopi lebih cepat
sehingga hasil panen berupa campuran antara buah yang sudah berwarna merah dan yang
masih hijau Sugiarti (2010).
Momentum membaiknya harga dan meningkatnya kebutuhan kopi dalam beberapa tahun
terakhir mendorong pemerintah daerah menggalakkan pengembangan tanaman kopi,
termasuk di Bengkulu dan daerah sentra kopi lainnya. Sampai dengan tahun 2021, ekspor
kopi Robusta Indonesia diprediksi akan terus meningkat dengan laju pertumbuhan sebesar
1,6% per tahun (Chandra, Ismono, & Kasymir, 2013).
Kopi tidak lagi menjadi sekedar untuk dikonsumsi, tetapi minuman kopi kini bisa
menjadi pelengkap aktifitas sehari-hari seperti mengerjakan tugas, rapat, reuni teman lama,
dan lain-lain. Secara tidak sadar, minuman kopi sudah menjadi gaya hidup bagi beberapa
kalangan masyarakat dari murid sekolah menengah hingga pekerja kantor pun menggemari
minuman kopi yang sudah sangat bervariasi.
Agroindustri merupakan salah satu subsistem agribisnis yang berbasis pada kegiatan
pengolahan sumberdaya hasil pertanian dan peningkatan nilai tambah suatu komoditas.
Menurut Udayana (2010), agroindustri dapat menjadi penggerak utama sektor pertanian
dalam kerangka pembangunan pertanian. Terlebih dalam masa yang akan datang, posisi
pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan nasional sehingga peranan
agroindustri akan semakin besar.
Agroindustri kopi memiliki peluang yang cukup tinggi untuk dikembangkan di Indonesia
karena memiliki prospek besar di pasar domestik dan internasional, namun permasalahan
yang dialami agroindustri kopi saat ini juga sangat kompleks, antara lain kualitas dan
kontinyuitas bahan baku kopi yang kurang terjamin, teknik budidaya yang masih sederhana,
kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana agroindustri, jaringan pemasaran kopi yang
belum terkelola dengan baik, dan kualitas SDM yang kurang memadai (Hariyati et al., 2013).
Dalam upaya meningkatkan nilai tambah komoditas kopi perlu adanya pengembangan
yang tidak hanya berbasis pada sektor hulu namun lebih fokus pada sektor hilir
pengembangan kopi. Salah satu upaya peningkatan nilai tambah kopi ada pada
pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang berbasis pada produk kopi
bubuk. Pengembangan ekonomi lokal dalam hal ini adalah kopi perlu mengedepankan sektor
UMKM, mengingat Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia mempunyai
peranan penting dalam pembangunan ekonomi.
UMKM berperan dalam perekonomian melalui sumbangan sektor UMKM dalam PDB
dan kemampuannya dalam menyerap tenaga kerja. Peran penting UMKM sebagai salah satu
penopang perekonomian nasional akan berdampak langsungterhadap pertumbuhan ekonomi.
Peningkatan unit usaha dan produktivitas UMKM akan berkonstribusi terhadap pertumbuhan
ekonomi. Selain mampu memberikan konstribusi terhadap perekonomian, UMKM dianggap
tahan terhadap krisis ekonomi. UMKM telah mampu membuktikan eksistensinya dalam
perekonomian di Indonesia. Ketika badai krisis moneter melanda Indonesia di tahun 1998
usaha berskala kecil dan menengah yang relatif mampu bertahan dibandingkan perusahaan
besar (Bank Indonesia, 2015).
Salah satu masalah yang menghambat produksi agroindustri berkelanjutan adalah
rendahnya tingkat adopsi pelaku usaha pada inovasi teknologi pertanian berkelanjutan.
Sebenarnya pemerintah telah banyak menghasilkan inovasi teknologi agroindustri
berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan hasil agroindustri sehingga dapat
memenuhi kebutuhan pelaku usaha khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Namun,
pada kenyataannya tidak pelaku usaha mengadopsi inovasi teknologi agroindustri
berkelanjutan tersebut. Bisa dikatakan bahwa tingkat adopsi petani atas inovasi teknologi
agroindustri berkelanjutan masih rendah sehingga produktivitas agroindustri belum
sepenuhnya optimal. Hal ini disebabkan oleh keberagaman persepsi pelaku usaha terhadap
inovasi teknologi agroindustri berkelanjutan tersebut.
Menurut Ramli (2012) terdapat beberapa faktor internal dan eksternal yang
mempengaruhi persepsi pelaku usaha terhadap inovasi teknologi agroindustri, di antaranya
adalah 1) Tingkat pendapatan pelaku usaha yang relatif rendah; 2) Proses penciptaan inovasi
teknologi yang kurang komprehensif; 3) Proses diseminasi inovasi teknologi yang kurang
efektif; dan 4) Pelaku usaha masih menghadapi berbagai masalah, baik internal maupun
eksternal. Kendala yang umumnya dihadapi petani secara eksternal ialah minimnya
ketersediaan sarana dan prasarana produksi agroindustri yang mendukung penerapaan
inovasi teknologi agroindustri berkelanjutan tersebut. Oleh karena itu, menjadi penting
untuk mengkaji bagaimana persepsi pelaku usaha terhadap dukungan pemerintah dalam
penerapan sistem agroindustri berkelanjutan.
Menurut (Novita et al., 2012), pengembangan agroindustri kopi berkelanjutan yang
berlandaskan pada tiga pilar utama, yaitu ekonomi, sosial, dan ekologi (lingkungan). Selain
itu, pelaku usaha juga harus mampu membentuk badan usaha yang berorientasi pada profit
dan mengadopsi teknologi produksi yang bercirikan efisiensi tinggi dan produk yang
kompetitif agar agroindustri kopi yang dijalankan dapat berkembang dengan baik dan
menghasilkan produk kopi yang bermutu tinggi. Menurut (Retno, 2016) analisis yang dipakai
untuk melihat keberlanjutan usahatani kopi bubuk memakai lima dimensi, yaitu sosial,
ekonomi, ekologi, etika dan teknologi. Sehingga dalam penelitian ini, ditetapkan kelayakan
keberlanjutan usahatani kopi bubuk setidaknya memenuhi 4, yaitu ekologi, ekonomi, sosial
dan teknologi. Namun untuk memperjelas, penulis juga mencantumkan kelayakan
kelembagaan.
Dengan adanya sistem agroindustri keberlanjutan setidaknya perkebunan kopi
berkelanjutan mempunyai syarat secara ekologi tidak merusak lingkungan, dan secara
ekonomi produktif dan menguntungkan (Hurni, 2000). Sehingga penulis mendapatkan
beberapa aspek yang tergolong ke dalam dimensi ekonomi, yaitu harga bahan baku biji kopi,
biaya produksi kopi bubuk, biaya produksi pengemasan, daya saing kopi bubuk, pemasaran
produk, kontribusi terhadap pendapatan per kapita.
Sedangkan untuk dimensi ekologi yaitu, rata-rata umur tanaman kopi, kualitas biji kopi,
pengetahuan terhadap dampak ekologi, pembuangan limbah olahan kopi bubuk, pemanfaatan
limbah kulit kopi untuk pupuk/pakan ternak, kebersihan lokasi usaha.
Dimensi sosial disusun dari 7 atribut yang diduga berpengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan usahatani kopi bubuk, yaitu pendidikan formal pelaku usaha, intensifikasi
penyuluhan dan pelatihan, standarisasi mutu kopi, eksistensi produk terhadap target pasar,
sistem promosi melalui media sosial, kejasama dengan pengusaha bisnis, responsif terhadap
pelanggan.
Teknologi menjadi elemen penting dalam kesuksesan dan keberlanjutan usaha.
pengaturan umur tanaman sangat berpengaruh pada hasil produktivitas tanaman. Pada
umumnya setelah tanaman berumur 20 tahun tanaman tersebut sudah tidak memberikan
keuntungan bagi usahatani kopi. Petani sangat dianjurkan melakukan pergantian tanaman
setelah tanaman berumur 20 tahun, tetapi pada kenyataannya secara umum di lapangan
umur tanaman kopi Arabika petani di Bali ditemukan lebih banyak berusia di atas umur 20
tahun.
Rafflesia Coffee merupakan produk olahan kopi bubuk yang berasal dari wilayah
perkebunan kopi di kabupaten Kepahiang, Provinsi Bengkulu dengan altitude 1000-1300
mdpl, dataran tinggi yang terletak di sepanjang wilayah bukit barisan pulau Sumatra,
tepatnya di wilayah Barat Daya pulau Sumatera. Untuk mendapatkan hasil kopi robusta yang
baik dan bermutu, proses pemetikan panen kopi dilakukan dengan pemilihan buah petik
merah (red cherry) dengan melalui tahapan-tahapan proses yang panjang dalam
pegolahannya, mulai dari proses pengolahan pasca panen, proses sangrai/roasting, proses
penggilingan/grinding sampai ke proses pengemasan/packaging.
Menurut Dori selaku pengelola usaha Kopi bubuk Rafflesia Coffee, nama Rafflesia
Coffee merupakan nama produk yang diambil berdasarkan ikon dari Provinsi Bengkulu yaitu
Rafflesia Arnoldi. Hal ini merupakan suatu “trik” agar memudahkan konsumen mengenal
produk, terutama konsumen dari luar provinsi Bengkulu. Kemasan 100gr dan 200gr dapat
dijumpai pada toko oleh oleh yang berada di pusat oleh oleh Anggut Atas, Kota Bengkulu.
Serta dapat dijumpai di pasar tradisional dan toko lainnya dalam waktu dekat.
Berkaitan dengan usaha kopi bubuk yang berkelanjutan, pertanyaan yang muncul adalah
bagaimana status keberlanjutan ditinjau dari dimensi ekonomi, ekologi, sosial, teknologi dan
kelembagaan sangat penting untuk dikaji. Melihat permasalahan tersebut, penelitian ini
ditujukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor dan atribut-atribut yang sensitive berpengaruh
terhadap keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana indeks keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu?
2. Bagaimana status keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu
dengan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS)
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah:
1. Untuk mengukur indeks keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota
Bengkulu
2. Untuk melihat status keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee di kota Bengkulu
menggunakan pendekatan Multidimensional Scaling (MDS)
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa informasi yang dapat
dipakai sebagai masukan bagi pihak yang membutuhkan, antara lain :
1. Bagi Peneliti, untuk menambah pengetahuan penulis dalam teori, praktek dan kenyataan
di lapangan serta sebagai bagian dalam penerapan teori yang dipelajari selama
perkuliahan.
2. Bagi pemilik usaha, sebagai bahan informasi untuk mengetahui keberlanjutan usaha kopi
bubuk. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan dan informasi untuk Usaha Kopi
Bubuk Rafflesia Coffee dalam merancang strategi untuk menarik perhatian pelanggan
dan mempengaruhinya dalam melakukan pengambilan keputusan dan juga informasi
dalam menerapkan kebijakan-kebijakan selanjutnya dalam perusahaan.
3. Bagi pembaca, diharapkan dapat memberikan informasi mengenai Kopi Bubuk Rafflesia
Coffee dan dijadikan sebagai referensi untuk bahan penelitian selanjutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kopi

Kopi adalah tanaman budidaya yang telah lama dan umum ditemukan di Indonesia. Kopi
pertama kali ditemukan di daerah pegunungan di Etopia, Afrika. Akan tetapi kopi sendiri baru
mulai dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di Yaman di
bagian selatan Arab, di luar daerah asalnya (Raharjo, 2012). Adapun klasifikasi tanaman kopi
(Coffea sp.) menurut Rahardjo (2012) adalah sebagai berikut :

Kingdomm : Plantaee
Subkingdomm : Tracheobiontaa
Super Divisii : Spermatophytaa
Divisii : Magnoliophytaa
Kelass : Magnoliopsidaa
Sub Kelass : Asteridaee
Ordoo : Rubialess
Familii : Rubiaceaee
Genuss : Coffeaa
Spesiess :Coffea sp. ( Cofffea arabica L., Coffea canephora, Coffea
liberica, Coffea excels).))

Di Indonesia kopi pertama kali dibawa oleh VOC pada tahun 1696. Kopi mulai
diproduksi dengan hanya bersifat coba-coba tepatnya di pulau Jawa, namun dengan hasil yang
memuaskan dan dipandang menguntungkan sebagai komoditi perdagangan maka VOC mulai
memproduksi secara besar-besaran di berbagai daerah Indonesia (Najiyati, 2007).

Kopi adalah salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia, karena nilai ekonomisnya
yang sangat tinggi. Bukan hanya sebagai sumber devisa, namun juga sebagai sumber penghasilan
bagi petani kopi di Indonesia (Rahardjo, 2012).

Peluang untuk meningkatkan produktifitas tanaman kopi Indonesia masih sangat terbuka
lebar sebab Indonesia memiliki iklim tropis yang secara agronomis sangat cocok untuk
pengusahaan kedua jenis kopi tersebut (Sudjatmoko. 2013). Produktivitas tanaman juga sangat
berpeluang untuk ditingkatkan sebab produktivitas tanaman kopi di Indonesia baru mencapai
sekitar 50% dari potensi yang mampu dicapai.
2.2 Kopi Bubuk

Kopi merupakan komoditas hasil perkebunan yang termasuk bahan penyegar, tetapi juga
bisa digolongkan sebagai komoditas perkebunan tahunan. Saat ini, Indonesia merupakan negara
produsen kopi terbesar ketiga setelah Brasil dan Kolombia, tetapi bila dilihat dari
jenis/varietasnya termasuk negara penghasil utama jenis kopi robusta (Zaini, 2009). Kopi terbagi
menjadi dua jenis, yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Perbedaan dari kedua jenis kopi ini
tentunya dapat diketahui dari rasanya. Kopi arabika merupakan kopi dengan cita rasa terbaik,
sedangkan kopi robusta merupakan jenis kopi kelas 2 karena rasanya yang lebih pahit, sedikit
asam, dan mengandung kafein dengan kadar yang jauh lebih banyak (Darmanto, Adib, &
Wijayanti, 2013)

Sampai dengan tahun 2012 luas areal tanaman kopi di Indonesia tercatat 1.233.982 hektar
dengan komposisi pengusahaan tanaman kopi nasional masih didominasi oleh perkebunan rakyat
seluas 1.185.239 hektar atau (96,4%) perkebunan besar swasta hanya seluas 26.185 hektar
(2,12%) dan perkebunan besar negara seluas 22.578 hektar (1,84%) (Sudjatmoko, 2013). Dalam
hal penciptaan lapangan kerja komoditas kopi memberikan lapangan kerja kepada 1.88 juta KK
dengan luas kepemilikan rata-rata 0.6 hektar, sampai dengan saat ini tanaman kopi di Indonesia
masih didominasi kopi robusta (83%) di banding kopi arabika (17%) sementara pasar
internasional lebih menyukai kopi arabika (Ditjenbun, 2012).

Kopi biji maupun kopi olahan karena tidak terlepas dari masalah-masalah seperti
kurangnya pengetahuan penanganan panen dan pasca panen oleh petani sehingga mutu biji kopi
masih rendah baik sebagai bahan baku pada industri pengelolaan kopi maupun untuk ekspor.
Jaminan pasokan bahan baku kopi masih rendah baik dalam hal jumlah, mutu maupun
kontinutas, produktivitas tanaman kopi masih sangat rendah sedangkan kesadaran petani untuk
menggunakan benih unggul juga masih rendah. Sebagian besar areal kopi dikelola dalam bentuk
perkebunan rakyat dengan penerapan kultur teknis yang belum sesuai dengan teknologi anjuran,
terbatasnya fasilitas produksi dan pengolahan biji kopi misalnya mesin peralatan pengering,
pengupas dan sortasi utamanya ditingkat skala kecil dan menengah, terbatasnya penguasaan
teknologi proses pada tahap roasting, kurangnya kemampuan melakukan inovasi dan
diversifikasi produk sesuai dengan permintaan pasar domestik maupun internasional (Fikriyah,
2012).
2.3 Jenis Kopi

 Robusta
Permasalahan pada penelitian kopi robusta ini yaitu dari hulu (on farm) hingga
hilir (off farm). Di sisi on farm, tingkat produktivitas kopi di Indonesia masih rendah, hal
tersebut disebabkan karena 95% kopi merupakan perkebunan rakyat yang umumnya
belum menggunakan bibit unggul, teknik budidaya masih sederhana, terlambat dalam
melakukan peremajaan tanaman, minimnya sarana, dan prasarana pendukung
mengakibatkan rendahnya mutu kopi (Nalurita dkk, 2014). Bagian hilir industri skala
kecil memiliki keterbatasan sarana dan prasarana produksi (mesin pengolahan), teknologi
yang tinggi dimiliki oleh industri skala menengah dan besar. Industri skala kecil kurang
berinovasi untuk menciptakan diversifikasi produk olahan kopi yang beragam. Manfaat
dari penelitian ini adalah petani dapat dibantu dalam pengambilan strategi guna
mengembangkan usaha budidaya kopi robusta mulai dari hulu (on farm) hingga ke hilir
(off farm) dan memberikan informasi kepada kelembagaan pemerintah.
 Arabika
Kopi arabika Indonesia dewasa ini banyak menjadi kopi khusus yang merupakan
jenis kopi dengan citarasa terbaik, dengan aroma yang bersifat khas karena itu memiliki
pasar yang khusus potensi pengembangannya untuk Indonesia masih sangat terbuka
terutama dengan bergesernya konsumen kopi biasa ke kopi khusus di negara-negara
konsumen seperti Amerika Serikat. Beberapa jenis kopi arabika Indonesia tercatat
sebagai kopi khusus single origin Indonesia yang mempunyai reputasi di pasar
internasional karena mutu dan cita rasanya antara lain adalah : Mandailing dan Lintong
Coffee (Sumatra Utara), Gayo Mountain Coffee (Aceh), Java Arabika Coffee (Jawa
Timur), Bali Kintamani Coffee (Bali), Toraja dan Kalosi Coffee (Sulawesi-Selatan),
Flores Bajawa Coffee (NTT), Baliem Coffee (Papua), Luwak Arabika Coffee.

Pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk merupakan proses pengolahan kopi yang paling
sederhana, dimana biji kopi yang digoreng tanpa minyak (sangrai) kemudian dihancurkan dan
dikemas. Pembuatan kopi bubuk banyak dilakukan oleh petani, pedagang, industri kecil dan
pabrik. Pembuatan kopi bubuk dapat dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap penggorengan tanpa
minyak dan tahap penggilingan. Industri pengolahan kopi pada umumnya menggunakan bahan
baku biji kopi arabika dan robusta dengan komposisi perbandingan tertentu. Selain biji kopi,
industri pengolahan kopi juga membutuhkan bahan tambahan seperti gula, jagung, dan mentega
serta bahan penolong seperti kemasan (packing), pallet, dan krat (Departemen Perindustrian,
2009).

Industri kopi dalam negeri sangat beragam yang dimulai dari unit industri berskala home
industry hingga industri kopi berskala multinasional. Produk-produk yang dihasilkan tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kopi dalam negeri, namun juga untuk mengisi pasar di
luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kopi di dalam negeri merupakan pasar
yang menarik bagi kalangan pengusaha yang masih memberikan prospek dan peluang sekaligus
menunjukkan adanya kondisi yang kondusif dalam berinvestasi di bidang industri kopi (Asosiasi
Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, 2010)

2.4 Konsep Keberlanjutan Usaha

Dasar pemikiran dari konsep pembangunan berkelanjutan pada awalnya dipublikasi oleh
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 (Langhelle,
1999). Inti dari konsep tersebut menurut Munasinghe (2010) adalah integrasi antara 3 dimensi
utama, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (ecology). Konsep pembangunan berkelanjutan
kemudian banyak diadopsi pada sistem pembangunan berbasis komoditi, misalnya pada kopi
(Adam dan Ghaly, 2007). Demikian juga pada bidang keilmuan yang lain, seperti manajemen
rantai pasok (Cuthbertson, 2011).

Menurut Wilkinson dkk, (2007), pembangunan berkelanjutan berkaitan erat dengan


pertumbuhan ekonomi dan bagaimana mencari jalan untuk memajukan ekonomi dalam jangka
panjang, tanpa menggangu lingkungan yang memang terbatas.

2.5 Dimensi – Dimensi dalam Keberlanjutan Usaha

Pembangunan berkelanjutan tidak saja berkonsentrasi pada lingkungan, pembangunan


mencakup tiga lingkup kebijakan, yaitu :

1) pembangunan ekonomi; 2) pembangunan sosial; 3) perlindungan lingkungan. Konsep


pembangunan berkelanjutan adalah interaksi antara dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan
yang disebut triple bottom line concept. Sehingga keberlanjutan merupakan bagian kecil dari
dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan. Model tersebut tidak memberikan integritas suatu
konsep keberlanjutan karena satu dimensi dengan dimensi yang lain bukan merupakan bagian
yang mendukung.

2.6 Multi Dimensional Scaling (MDS)

Tahap yang dilakukan untuk dapat memperoleh hasil dari MDS berdasarkan lima dimensi
atau aspek, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan di antaranya (1)
penentuan atribut setiap dimensi, ditentukan melalui diskusi pakar, kajian pustaka, dan
pengamatan di lapangan. (2) Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal untuk mengetahui
keberlanjutan di setiap dimensi, pemberian skor dalam rentan 0 (buruk) sampai 3 (baik)
berdasarkan survei lapangan; (3) analisis ordinasi dengan MDS untuk menentukan status
keberlanjutan pada setiap dimensi dalam skala indeks keberlanjutan; (4) menilai indeks dan
status keberlanjutan di setiap dimensi; (5) penentuan atribut-atribut pengungkit sensitif di setiap
dimensi melalui analisis leverage, atribut sensitif yaitu atribut yang memiliki nilai Root Mean
Square (RMS) pada sumbu x, semakin besar nilai RMS maka semakin sensitif peranan atribut
tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan; (6) tahapan terakhir yaitu melalukan analisis
Monte Carlo untuk memperhitungkan dimensi ketidakapastian, dengan selang kepercayaan 95%.
(Kavanagh, 2001 dalam Hidayanto, 2009) nilai indeks Monte Carlo dibandingkan dengan
indeks MDS, nilai Stress dan koefisein deteminasi R² mempunyai fungsi untukmengetahui perlu
tidaknya penambahan atribut, dan mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan
keadaan sebenarnya. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good fit,Menurut Kavanagh dan
Pitcher 2004 dalam hidayanto 2009, hasil analisis cukup baik ditandai dengan nilai S-Stress
kurang dari 0,25 (S<0,25), dan R2 mendekati 1 (100%) (Hidayanto 2009). Diagram jaring laba-
laba untuk Multi Dimensional Scaling (MDS) dapat dilihat di bawah.

Gambar 2.1 Jaring Laba-laba MDS


2.7 Kerangka Pikiran

Kopi bubuk merupakan hasil dari pengolahan usahatani dari biji kopi. Mulai banyak
peminatnya untuk menjadi bahan minuman yang akan diolah kembali.

Rafflesia Coffee adalah salah satu usaha pembuatan kopi bubuk yang diolah sendiri oleh
pemilik. Sebelum diolah, pemilik usaha melihat langsung bahan baku dan membeli kepada
petani atau toke. Hal ini dilakukan agar pemilik usaha mengetahui kualitas biji kopi yang
nantinya akan diolah. Usaha Rafflesia Coffee tergolong cukup baru dan masih banyak hal yang
akan menjadi masukan, senhingga menjadi alasan kuat bagi peneliti untuk menjadikan Rafflesia
Coffee menjadi objek penelitian. Setelah pemilihan biji kopi, pengolah langsung membawa ke
pabrik dimana merupakan kediaman pribadi untuk melakukan segala macam urutan agar biji
kopi menjadi kopi bubuk.

Dimensi-dimensi keberlanjutan usahatani kopi bubuk sebagaimana telah dijelaskan bahwa


memiliki 5 dimensi yaitu Ekologi, Ekonomi, Sosial, Teknologi dan Kelembagaan. Kelima
dimensi ini telah ditetapkan dengan banyak pertimbangan dan melihat pada penelitian terdahulu.
Dengan harapan bisa melihat status keberlanjutan usaha kopi bubuk.

Analisis keberlanjutan usaha Kopi Bubuk Rafflesia Coffee menggunakan analisis RAP-
Fish (Rapid Appraissal for Fisheries) dengan metode Multi Dimension Scalling (MDS) yang
dimodifikasi menjadi RAP-Coffee (Rapid Appraissal for Coffe) (Iswari, 2008).

Multi Dimensional Scaling (MDS) dalam RAP-Coffee merupakan pendekatan yang


memberikan hasil yang stabil dibandingkan dengan metoda analisis peubah ganda yang lain
(misal analisis faktor). Seluruh data dari atribut yang dipertimbangkan dalam penelitian ini
selanjutnya dianalisis secara multidimensi untuk menentukan titik yang mencerminkan posisi
keberlanjutan sistem ketersediaan kopi di masing-masing wilayah yang dikaji relatif terhadap
dua titik acuan yaitu titik “baik” (good) dan titik “buruk” (bad).
Analisis digunakan untuk mengetahui leverage atribut-atribut yang secara sensitif
mempengaruhi tingkat keberlanjutan usahatani. Perubahan nilai (RMS) Root Mean Square
merupakan nilai yang diperoleh dari hasil akhir analisis, semakin besar perubahan nilai RMS
leverage maka semakin sensitif peranan atribut tersebut dalam meningkatkan status
keberlanjutan usahatani. Suwarno (2011) mengemukakan atribut yang dipilih sebagai faktor
pengungkit utama merupakan atribut yang memiliki nilai RMS tertinggi sampai dengan nilai
setengahnya dari tiaptiap dimensi keberlanjutan. Analisis merupakan rangkaian Monte Carlo
dalam metode RAP-AFS yang dilakukan untuk menduga tingkat kesalahan acak ( ) pada random
error model yang dihasilkan dari analisis MDS untuk semua dimensi pada tingkat kepercayaan
95% Semakin kecil selisih nilai antara hasil analisis MDS dan analisis maka semakin baik model
Monte Carlo yang dihasilkan metode RAP-APS.
Penelitian Putu (2017) tentang “Analisis Keberlanjutan pengelolaan pembenihan Badeng
skala rumah tangga (HSRT) di desa Penyabangan kecamatan Gerokgak kabupaten Buleleng
provinsi Bali” menunjukkan bahwa status keberlanjutannya termasuk dalam kategori Cukup
berkelanjutan dengan masing masing dimensi yaitu, ekonomi (67,94), dimensi sosial (74,38) dan
dimensi ekologi (59,16). Nilai indeks rata-rata sebesar 67,15. Atribut yang mempengaruhi nilai
indeks keberlanjutan ditinjau dari dimensi ekonomi yaitu lokasi tujuan atau orientari pemasaran.
Untuk dimensi sosial yaitu partisipasi keluarga dan tingkat pendidikan. Sedangkan dimensi
ekologi atribut yang mempengaruhi yaitu pencemaran perairan dan ketersediaan TPA. Ditinjau
dari ketiga dimensi yang paling mempengaruhi adalah pencemaran perairan yang memiliki nilai
sebesar 10,95.

Desty, dkk (2018) tentang “Analisis Keberlanjutan Biogas Limbah Tahu Pedesaan (Studi
Kasus Di Desa Kalisari, Kabupaten Banyumas)” Status berkelanjutan biogas limbah tahu pada
dimensi sosial, ekonomi, ekologi dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan sedangkan pada
dimensi teknologi berstatus kurang berkelanjutan. Faktor yang mempengaruhi status cukup
berkelanjutan pada 4 dimensi tersebut adalah biogas menyediakan energi bersih dan murah
sehingga masyarakat saat ini dapat mengurangi ketergantungan penggunaan gas elpiji 3 kg yang
keberadaannya semakin langka serta harganya cukup mahal bagi masyarakat pedesaan. Selain
itu, solusi pencemaran bau limbah tahu saat ini hanya dapat diatasi oleh instalasi biogas sehingga
ke depannya masyarakat optimis mengembangkan biogas limbah tahu sebagai energi alternatif
mereka.

Elida dkk (2012) dalam penelitan tentang “analisis keberlanjutan kawasan usaha perkebunan
kopi (kupk) rakyat di desa Sidomulyo kabupaten Jember” berdasarkan simulasi program Rap-
Coffee untuk masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi ekonomi tidak berkelanjutan.
Berdasarkan gabungan simultan antara keempat dimensi, indeks keberlanjutan KUPK Desa
Sidomulyo adalah 59.5 % yang berarti berlanjut. Indeks keberlanjutan ini dapat ditingkatkan
apabila dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang sensitif untuk masing-masing dimensi.
Oleh karena itu di dalam perencanaan kebijakan untuk pengembangan KUPK Desa Sidomulyo
sebaiknya memprioritaskan pada peningkatan indikator yang memiliki sensitivitas tinggi di
masing-masing dimensi. Dimensi teknologi merupakan salah satu aspek penting untuk
meningkatkan mutu kopi rakyat.

Seppa dkk (2020) tentang “strategi peningkatan kinerja dan keberlanjutan rantai pasok
agroindustri kopi robusta di kabupaten Tanggamus” menunjukkan bahwa penilaian keberlanjutan
dilakukan melalui analisis dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, dan 24 indikator
keberlanjutan. Hasil nilai keberlanjutan mengindikasikan dua indikator sensitif terhadap
keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu responsif terhadap pelanggan dan efisiensi biaya, dua
indikator sosial yang sensitif, yaitu penegakan hukum sengketa lahan dan ketenagakerjaan, dua
indikator lingkungan yaitu pengolahan limbah dan konsumsi energi serta enam indikator
teknologi yang dinilai memiliki nilai sensitif terhadap keberlanjutan rantai pasok. Berdasarkan
hasil penilaian indikator keberlanjutan, maka status keberlanjutan berada dalam kisaran hampir
berkelanjutan, selanjutnya perlu ditingkatkan menjadi status berkelanjutan dalam dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi.
Kopi Bubuk

Rafflesia Coffee

Dimensi – Dimensi Keberlanjutan :

1. Dimensi Ekologi
2. Dimensi Ekonomi
3. Dimensi Sosial
4. Dimensi Teknologi
5. Dimensi Kelembagaan

MDS:

1. Penggolongan Atribut dan


Pemberian Skor
2. Kriteria
3. Pemberian Skor
4. Input Data
5. Analisis MDS

Run Rap-Coffee Run Leverage Run Monte Carlo

Analisis Keberlanjutan

2.8 Hipotesa

Dimensi Ekologi, Dimensi Ekonomi, Dimensi Sosial, Dimensi Teknologi, dan Dimensi
Kelembagaan diduga mempengaruhi dalam keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penentuan Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja (purposive sampling) yaitu Kopi Bubuk
Rafflesia Coffee di Kota Bengkulu, di mana terdapat pengolahan kopi bubuk yang akan dilihat
keberlanjutan usahanya. Pemilihan lokasi ini dengan alasan Rafflesia Coffee sudah beredar di
banyak toko dan warung yang ada di Kota Bengkulu, serta nama produknya sendiri terinspirasi
dari Bunga Rafflesia Arnoldi yang merupakan ikon Provinsi Bengkulu.

3.2 Responden Penelitian


Teknik penentuan responden dilakukan atas pemilihan responden dengan pemilik usaha,
karyawan usaha, dan supplier. Menurut Sugiyono metode penelitian deskriptif ini merupakan
suatu metode penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran berupa fakta-fakta yang
ada di lapangan dengan cara mengumpulkan, menganalisis dan mengolah data sehingga nantinya
akan didapatkan suatu kesimpulan. Metode pengambilan responden pada proposal ini adalah
dengan menggunakan teknik purposive sampling. Metode purposive sampling ini merupakan
pengambilan sampel non-acak, dimana semua anggota populasi tidak mempunyai peluang yang
sama untuk dipilih menjadi contoh (Sevilla dkk, 1993). Responden sengaja dipilih dengan
pertimbangan bahwa responden adalah pelaku baik individu atau lembaga yang dianggap
mengerti permasalahan yang terjadi dan mempunyai kemampuan dalam pembuatan kebijakan
atau dapat memberikan masukan kepada para pengambil kebijakan terhadap keberlanjutan usaha
kopi bubuk Rafflessia Cofee di Kota Bengkulu. Sehingga dalam penelitian ini dapat ditentukan
responden dilihat pada Table 1.

Table 1. Pemilihan Responden Untuk Survei Data Primer

Responden Jumlah Keterangan

Pemilik Usaha 1 Orang -


Mitra Usaha 1 Orang -
Supplier 1 Orang -
Karyawan Usaha 1 Orang -
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam proposal penelitian ini ada dua jenis dan sumber data yang
digunakan yakni:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden pelaku usaha, karyawan
dan supplier melalui wawancara dan observasi dengan menggunakan kuisioner/angket
yang berupa daftar pertanyaan sehingga datanya diperoleh dari hasil wawancara secara
langsung kepada salah satu pemilik caffe atau bisa dengan membagikan angket wawancara
kepada para karyawan dan staf yang bisa diambil data mengenai caffe tersebut.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber yang ada kaitannya dalam usaha
pengembangan komoditi kopi, terutama dari lembaga pemerintahan, lembaga penelitian,
serta instansi terkait. Data ini biasanya diperoleh dari buku, jurnal, maupun hasil penelitian
terdahulu yang dapat digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian.

3.4 Analisis Data


Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis deskriptif. Analisis
deskriptif merupakan metode pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-
masalah yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi yang sedang
berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena.
Analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) selain menentukan nilai indeks keberlanjutan
juga menyediakan analisis leverage yaitu untuk mengetahui atribut yang sensitif terhadap
keberlanjutan usahatani kopi bubuk dan nilai Monte Carlo sebagai pembanding nilai indeks
keberlanjutan usaha tani kopi bubuk Rafflesia Coffee.
Analisis Pendapatan Usaha tani Kopi Bubuk dengan Rumus:
π=TR – TC
Keterangan:
π= Pendapan/Bulan
TR = Total Penerimaan (Total Revenue)/Bulan
TC = Total Biaya (Total Cost)/Bulan
TC (Total Cost) dirumuskan sebagai berikut:

TC = TVC + TFC
Keterangan:
TVC = Biaya Tidak tetap (Variabel Cost)
TFC = Biaya tetap (Fixed Cost)
TR = Total Penerimaan (Total Revenue) dirumuskan sebagai berikut:

TR = Q x Py
Keterangan:
Q = Kuantitas Produksi
Py = Harga
Posisi titik-titik keberlanjutan pembangunan ini secara visual akan sangat sulit
dibayangkan mengingat dimensinya sangat banyak. Oleh karena itu, untuk memudahkan
visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi dengan metoda multidimensional scaling
(MDS). Dalam MDS, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling
berdekatan. Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang
berjauhan. Titik-titik ini juga akan sangat berguna di dalam analisis regresi untuk menghitung
“stress” yang merupakan bagian dari metode MDS. Nilai skor pada setiap atribut akan
membentuk matriks X (n x p), n adalah jumlah wilayah beserta titik-titik acuannya, p adalah
jumlah atribut yang digunakan. Kemudian dilakukan standarisasi nilai skor untuk setiap atribut
sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran
dapat dihilangkan.
Metode standarisasi adalah:
Xik sd = Xik – Xk Sk
Keterangan: Xik sd = nilai skor standar wilayah (termasuk titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p;
Xik = nilai skor awal wilayah (termasuk titik-titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p; Xk = nilai tengah skor pada setiap atribut ke k = 1,2,
…p;
Sk = simpangan baku skor pada setiap atribut ke k = 1,2,…p.

dij= √(XiK – Sjk)2


Keterangan: Xik = Hasil atribut ke i
Xjk = Hasil Atribut ke j
Metode jarak kuadrat Euclidian (euclidean distance squared /Seuclid) digunakan untuk
menghitung jarak antar wilayah (termasuk titik-titik acuannya). Jika ada n titik posisi di dalam p-
dimensi maka “jarak” antar wilayah, Dij ; i = 1,2,3,….n; j = 1,2,3,….n; i ≠ j akan membentuk
matriks D (n x n). Metode jarak kuadrat Euclidian (euclidean distance squared) : D2 (i,j) =
Σ(XikXjk) 2 ; i = 1,2,…n-1; j = 1,2,…n; k =1,2,…p. Nilai jarak ini kemudian diurutkan dari yang
besar hingga yang terkecil. Setelah itu membuat ordinasi baik untuk seluruh dimensi (dan
seluruh atribut) serta untuk setiap dimensi (aspek pembangunan) berdasarkan algoritma analisis
“multidimensional scaling”.
Dalam analisis MDS ini dimensi atribut yang semula sebanyak p direduksi menjadi hanya
tinggal dua (2) dimensi yang akan menjadi sumbu x dan sumbu y. Hasil dari ordinasi ini adalah
matriks V (n x 2) dimana n adalah jumlah wilayah yang diteliti termasuk titik- titik acuannya.
Jarak antar objek sekali lagi dihitung tetapi sekarang menggunakan 2 dimensi = dij. Nilai dij ini
kemudian diregresikan dengan nilai Dij. Hasil regresi sederhana akan menghasilkan persamaan
d^ij = α + β dij ; dimana d^ij dalah nilai harapan Dij pada 2 dimensi yang merupakan nilai Dij
pada garis regresi.
Dengan demikian nilai d^ij dapat dihitung dari nilai dij. Dari dua nilai ini dapat dihitung
nilai stress dengan rumus
S = {[Σ Σ i < j (dij - d^ij) 2 ]/[ Σ Σ i < j (dij ) 2 } ½
Keterangan: S = Stress
dij = data jarak yang diberikan responden
d^ij = Jarak turunan/data kemiripan
Perhitungan nilai stresss juga dapat digunakan untuk menilai atau menentukan goodness
of fit pada sebuah solusi MDS. Nilai stress yang tinggi mengindikasikan kecocokan yang buruk.
Kruska (1994) memberikan beberapa spanduan dalam hal ini interpretasi nilai stress mengenai
goodness of fit dari solusi yang ditunjukan pada Table 1 berikut:

Table 2. Nilai kesesuaian Fungsi Stress


Stress (%) Kesesuaian (Goodness of fit)
>20 Buruk
10-20 Cukup
5,1-10 Baik
2,5-5 Sangat Baik
<2,5 Sempurna
Sumber; Masuku, Paendong, Langi (2014)
Semakin kecil nilai Stress menunjukkan bahwa hubungan monoton yang terbentuk antara
ketidaksamaan dengan disparities semakin baik (didapat kesesuaian) dan kriteria peta persepsi
yang terbentuk semakin sempurna.

Table 3. Atribut Keberlanjutan Usaha tani Kopi Bubuk


N Dimensi No Atribut Pengukuran Sumber Referensi
o Ekologi
1. Ekologi 1.1 Kualitas biji kopi 0 (Buruk) Dewi Arziyah (2017). Septarianes
1 (Cukup) et al, (2020).
2 (Baik)
3 (Sangat
Baik)
4 (Sempurna)
1.2 Pengetahuan terhadap dampak Lestari et al, (2015). Ibrahim et
ekologi al, (2013). Yhonita et al, (2019).

1.3 Lestari et al, (2015). Novita et al,


Pembuangan limbah olahan kopi (2012). Yhonitaet al, (2019).
bubuk
1.4 Lestari et al, (2015). Dewi
Arziyah (2017). Novita et al,
Pemanfaatan limbah kulit kopi (2012). Yhonita et al, (2019).
untuk pupuk/pakan ternak Septarianes et al, (2020)
1.5
Yhonita et al, (2019).
Kebersihan lokasi usaha
2. Ekonomi 2.1 Harga bahan baku biji kopi Lestari et al, (2015). Mulia et al,
(2021). Dewi Arziyah (2017).

2.2 Biaya produksi kopi bubuk dan Yhonita et al, (2019).


pengemasan
Ruswana et al, (2020).
2.3 Harga Pokok Penjualan Yhonita et al, (2019).

2.4 Pemasaran produk Mulia et al, (2021).

2.5 Kontribusi terhadap pendapatan Lestari et al, (2015). Dewi


per kapita Arziyah (2017). Ibrahim et al,
(2013).
Yhonita et al, (2019).
3. Sosial 3.1 Pendidikan Formal Pelaku Usaha Lestari et al, (2015). Mulia et al,
(2021). Ibrahim et al, (2013).
Yhonita et al, (2019).
3.2 Intensifikasi penyuluhan dan
pelatihan Mulia et al, (2021). Novita et al,
(2012).

3.3 Eksistensi produk terhadap target Lestari et al, (2015). Ibrahim et


. pasar al, (2013)

3.4 Sistem promosi melalui media Ruswana et al, (2020).


sosial
3.5 Kejasama dengan pengusaha Ibrahim et al, (2013). Ruswana et
Bisnis al, (2020).
3.6
Responsif terhadap pelanggan Septarianes et al, (2020).
4. Teknolog 4.1 Tingkat penguasaan teknologi Mulia et al, (2021). Yhonita et al,
i pasca panen (2019). Septarianes et al, (2020).

4.2 Teknologi pengolahan limbah Yhonita et al, (2019). Septarianes


et al, (2020).

4.3 Penerapan teknologi dalam Lukitaningrum et al, (2017).


proses pengolahan produk Ruswana et al, (2020).

4.4 Penerapan teknologi dalam Lukitaningrum et al, (2017).


proses pengemasan produk

4.5 Akses inprastruktur tranportasi Lukitaningrum et al, (2017).Dewi


Arziyah (2017).
Ruswana et al, (2020).
5. Lembaga 5.1 Ketersediaan Lembaga Yhonita et al, (2019). Dewi
Keuangan Mikro Arziyah (2017).

5.2 Ketersediaan Lembaga Ruswana et al, (2020). Mulia et


Pemasaran al, (2021).

5.3 Ketersediaan Lembaga Sosial

5.4 Keberadaan dan peran lembaga Ristianingsih et al,(2018).


penyuluhan pertanian

5.5 Dukungan pemerintah kepada Lestari et al, (2015). Mulia et al,


5.6 pengelola (2021).
Lembaga Permodalan
3.5 Konsep dan Pengukuran Variabel
Variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi indikator. Indikator-indikator yang
digunakan adalah harga pokok penjualan terhadap pemasaran, harga bahan baku biji kopi, biaya
produksi kopi bubuk dan pengemasan dan kontribusi terhadap pendapatan per kapita. Indikator-
indikator tersebut ditentukan berdasarkan tahapan-tahapan partisipasi menurut Cohen dan
Uphoff (2016), yakni pengambilan keputusan, pelaksanaan, menikmati hasil dan evaluasi.

Adapun langkah-langkah untuk mengukur biaya produki pada kopi bubuk Raflessia di kota
Bengkulu sebagai berikut:

3. Menghitung Biaya Bahan Baku


Bahan baku yang digunakan atau biaya bahan baku dapat dihitung dengan cara
menjumlahkan saldo awal bahan baku dan pembelian bahan baku kemudian dikurangi saldo
akhir bahan baku. Rumus menghitung biaya produksi berupa bahan baku yang digunakan
yaitu:

Biaya Bahan Baku = Saldo awal bahan baku + Pembelian bahan baku – Saldo akhir bahan
baku

4. Menghitung Biaya Produksi


Cara Menghitung Biaya Produksi dapat dilakukan dengan menjumlahkan 3 biaya
komponen Harga Pokok Penjualan yang pertama (Biaya bahan baku, biaya tenaga kerja dan
biaya overhead). Dengan demikian, Rumus menghitung biaya produksi adalah:

Biaya produksi = biaya bahan baku + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya overhead Produksi

5. Menentukan Harga Pokok Produksi


Cara Menghitung Harga Pokok Produksi dapat dilakukan dengan menjumlahkan biaya
produksi dan saldo awal persediaan barang kemudian dikurangi saldo akhir persedian barang.
Rumus untuk menghitung harga pokok produksi adalah:

Harga produksi = Total biaya produksi + Saldo awal persediaan barang – Saldo akhir
persediaan barang
4. Menghitung HPP

Cara Menghitung HPP dapat dihitung dengan menjumlahkan harga pokok produksi
dengan persediaan barang awal kemudian dikurangi persediaan barang akhir. Rumus
Menghitung HPP dapat dituliskan sebagai berikut:

Harga Pokok Penjualan (HPP) = Harga pokok produksi + Persediaan barang awal –
Persediaan barang akhir
5. Menghitung perbandingan margin

Yang di maksud dengan Margin di sini adalah persentase keuntungan atau laba yang
diharapkan. Yaitu dengan cara menentukan harga jual dengan menjadikan margin sebagai
patokan:

Harga jual = biaya total + margin

Adapun beberapa proses produksi dari kopi bubuk Raflessia di Kota Bengkulu sebagai berikut:

1. Kopi Bubuk merupakan salah satu produk olahan dari biji kopi setelah melewati proses
sangrai, penggilingan, dan pengemasan.
2. Usaha merupakan setiap aktivitas yang dilakukan manusia untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Jika diartikan secara khusus, istilah usaha dapat diartikan ke dalam banyak
makna dan sangat bergantung dengan di mana istilah usaha ini digunakan.
3. Kualitas adalah tingkat baik atau buruknya, mutu, taraf atau derajat sesuatu kesesuaian
antara spesifikasi produk dengan kebutuhan konsumen, atau tingkat baik buruknya
sebuah produk (barang atau jasa) di mata penggunanya.
4. Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap
keputusan yang diambil oleh seorang biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik
itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan
dari sebuah pelaksanaan.
5. Limbah adalah bahan pembuangan tidak terpakai yang berdampak negatif bagi
masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Limbah merupakan sisa produksi, baik dari
alam maupun hasil kegiatan manusia.
6. Lokasi Lokasi adalah tempat suatu usaha atau aktivitas perusahaan beroperasi dan
melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang, jasa atau tempat konsumen untuk
datang dan berbelanja.
7. Harga adalah senilai uang yang harus dibayarkan konsumen kepada penjual untuk
mendapatkan barang atau jasa yang ingin dibelinya. Oleh sebab itu, harga pada umumnya
ditentukan oleh penjual atau pemilik jasa. Akan tetapi, dalam seni jual beli, pembeli atau
konsumen dapat menawar harga tersebut.
8. Daya Saing adalah konsep perbandingan kemampuan dan kinerja perusahaan, sub-sektor
atau negara untuk menjual dan memasok barang dan atau jasa yang diberikan dalam
pasar. Daya saing sebuah negara dapat dicapai dari akumulasi daya saing strategis setiap
perusahaan.
9. Kontribusi merupakan daya dukung atau sumbangsih yang diberikan oleh sesuatu hal,
yang memberi peran atas tercapainya sesuatu yang lebih baik. Secara sederhana dapat
diartikan sebagai sumbangan.
10. Intensifikasi adalah Peningkatan kapasitas bisnis yang merujuk pada upaya untuk meningkatkan
omzet bisnis dengan cara mengoptimalkan potensi bisnis yang ada. Dalam hal ini, pebisnis tidak
melakukan suatu inovasi baru.
11. Eksistensi Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa: “Eksistensi artinya
Keberadaan, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu keberadaan atau
keadaan kegiatan usahanya masih ada dari dulu hingga sampai sekarang dan masih
diterima oleh lingkungan masyarakat perawang, dan keadaannya tersebut lebih dikenal
atau lebih eksis dikalangan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Adam, M., Ghaly, A.E. 2007. Maximizing sustainability of the costarican coffee industry.
Journal of Cleaner Production, 15: 1716-1729.
Adnyana, Made Oka. 2001. Pengebangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. JurnalFAE,
19(2), 38-49.
AEKI (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia). 2013. Perkembangan Konsumsi Kopi di
Indonesia. http://www.aeki-aice.org. Akses tanggal 1 September 2015. Ciamis.
Ati Kusmiati&Reni Windiarti.2011. Analisis Wilayah Komoditas Kopi Di Indonesia.J-SEP Vol.
5 No. 2 Juli 2011
Brklacich, M., Bryant, C.R. and Smith,B. 1991.Review and Appraisal ofConcept ofSustainable
Food Production Systems. Environ. Management, 15(1),1-1 4.
Budiasa, I Wayan. 2011. Pertanian Berkelanjutan dan Teori Pemodelan.
UdayanaUniversity Press: Denpasar,
Chandra, D., Ismono, R. H., & Kasymir, E. (2013). Prospek perdagangan kopi Robusta
Indonesia di pasar internasional. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 1(1), 10–15.
Cuthbertson, R. 2011. The need for sustainable supply chain management di dalam Sustainable
Supply Chain Management: Practical Ideas for Moving Towards Best Practice. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg
Darmanto, S. M., Adib, A., & Wijayanti, A. Perancangan Corporate Identity Dan Kemasan Kopi
Surya Kintamani Bali. (On line) (publication.petra.ac.id, diakses 11 Juni 2018).
Departemen Perindustrian. 2009. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian.
http://www.pustaka.deptan.go.id. Departemen Pertanian. Jakarta. Akses tanggal 1
September 2015. Ciamis.
Ditjen Perkebunan, 2012. Sasaran Luas Areal Komoditas Unggulan
Nasional.http://www.ditjenperkebu nan.co.id.
Fikriyah, 2012.Dinamika Kopi Sulawesi di Pasar Global dan Pengaruhnya terhadap rantai kopi
lokal di Sulawesi-Selatan.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program
Sarjana Geografi. Universitas Indonesia. Depok.
Hariyati, Y., Sofia, & Sumarno, J. 2013. Pengembangan Agroindustri Pedesaan Berbasis
KopiMenuju Produk Specialty Kabupaten Jember. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Hidayanto, M., S. Supiandi., S. Yahya., Dan L., I. Amien. 2009. Analisis Keberlanjutan
Perkebunan Kakao Rakyat Di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,
Provinsi Kalimatan Timur. Jurnal Agro Ekonomi. 27(2): 213-229 .
Hurni, H. 2000. Assessing sustainable land management (SLM). Agric. Ecosys. Environ. 81: 83-
92.
Najiyati, S., Danarti. 2007. Kopi: Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Seri Pertanian.
Penebar Swadaya. Jakarta
Narulita, S., Ratna, W.A., & Siti, J. 2014. Analisis Daya Saing Dan Strategi Pengembangan
Agribisnis Kopi Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia, 2(1): 63–74.
Novita, E., Suryaningrat, I. B., Adriyani, I., dan Widyotomo, S. 2012. Analisis Keberlanjutan
Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) Rakyat Di Desa Sidomulyo Kabupaten
Jember. Jurnal Agritech. Vol. 32(2).
Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ramli R.2012. Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Tidak TuntasnyaPenerapan Inovasi
Teknologi oleh Petani Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding
Seminar Nasional: Petani dan Pembangunan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomidan
Kebijakan Pertanian. Bogor (ID).
Retno Murwanti . 2016. Analisis Keberlanjutan Usahatani Kopi Rakyat Di Kecamatan Silo
Kabupaten Jember. jurnal.unmuhjember.ac.id. Akses tanggal 18 Mei 2021
Statistik. 2019. Statistik Kopi Indonesi 2019. Badan Pusat Statistik.
Sugiarti, S. (2010). Analisis pemasaran kopi di Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang
Lebong. Jurnal AGRISEP, 9(2), 130–136.
Sudjatmoko, 2013.Kopi Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan Produksi Hilir dan Sistem
Kemitraan.ICCRI
Udayana, I. G. B. 2010. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian. Singhadwala, 44. pp.
3-8. ISSN 0852-775. Universitas Warmadewa. Denpasar
Widyotomo, S. 2013. Potensi Dan Teknologi Diversifikasi Limbah Kopi Menjadi Produk
Bermutu Dan Bernilai Tambah. Review Penelitian Kopi Dan Kakao. Vol. 1(1): 63-Badan
Pusat
Wilkinson et al, 2007. United Nation Division for Sustainable Development. Document:
Sustainable Development Issue Retrieved, 2007.

Anda mungkin juga menyukai