PROPOSAL PENELITIAN
Oleh :
Vasuita Ferel Ramadhanti
NPM. E1D016148
PENDAHULUAN
Gambar 1.
Grafik Nilai Rata-Rata LQ Wilayah Basis Produksi Komoditas Kopi di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kopi
Kopi adalah tanaman budidaya yang telah lama dan umum ditemukan di Indonesia. Kopi
pertama kali ditemukan di daerah pegunungan di Etopia, Afrika. Akan tetapi kopi sendiri baru
mulai dikenal oleh masyarakat dunia setelah tanaman tersebut dikembangkan di Yaman di
bagian selatan Arab, di luar daerah asalnya (Raharjo, 2012). Adapun klasifikasi tanaman kopi
(Coffea sp.) menurut Rahardjo (2012) adalah sebagai berikut :
Kingdomm : Plantaee
Subkingdomm : Tracheobiontaa
Super Divisii : Spermatophytaa
Divisii : Magnoliophytaa
Kelass : Magnoliopsidaa
Sub Kelass : Asteridaee
Ordoo : Rubialess
Familii : Rubiaceaee
Genuss : Coffeaa
Spesiess :Coffea sp. ( Cofffea arabica L., Coffea canephora, Coffea
liberica, Coffea excels).))
Di Indonesia kopi pertama kali dibawa oleh VOC pada tahun 1696. Kopi mulai
diproduksi dengan hanya bersifat coba-coba tepatnya di pulau Jawa, namun dengan hasil yang
memuaskan dan dipandang menguntungkan sebagai komoditi perdagangan maka VOC mulai
memproduksi secara besar-besaran di berbagai daerah Indonesia (Najiyati, 2007).
Kopi adalah salah satu penghasil devisa terbesar di Indonesia, karena nilai ekonomisnya
yang sangat tinggi. Bukan hanya sebagai sumber devisa, namun juga sebagai sumber penghasilan
bagi petani kopi di Indonesia (Rahardjo, 2012).
Peluang untuk meningkatkan produktifitas tanaman kopi Indonesia masih sangat terbuka
lebar sebab Indonesia memiliki iklim tropis yang secara agronomis sangat cocok untuk
pengusahaan kedua jenis kopi tersebut (Sudjatmoko. 2013). Produktivitas tanaman juga sangat
berpeluang untuk ditingkatkan sebab produktivitas tanaman kopi di Indonesia baru mencapai
sekitar 50% dari potensi yang mampu dicapai.
2.2 Kopi Bubuk
Kopi merupakan komoditas hasil perkebunan yang termasuk bahan penyegar, tetapi juga
bisa digolongkan sebagai komoditas perkebunan tahunan. Saat ini, Indonesia merupakan negara
produsen kopi terbesar ketiga setelah Brasil dan Kolombia, tetapi bila dilihat dari
jenis/varietasnya termasuk negara penghasil utama jenis kopi robusta (Zaini, 2009). Kopi terbagi
menjadi dua jenis, yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Perbedaan dari kedua jenis kopi ini
tentunya dapat diketahui dari rasanya. Kopi arabika merupakan kopi dengan cita rasa terbaik,
sedangkan kopi robusta merupakan jenis kopi kelas 2 karena rasanya yang lebih pahit, sedikit
asam, dan mengandung kafein dengan kadar yang jauh lebih banyak (Darmanto, Adib, &
Wijayanti, 2013)
Sampai dengan tahun 2012 luas areal tanaman kopi di Indonesia tercatat 1.233.982 hektar
dengan komposisi pengusahaan tanaman kopi nasional masih didominasi oleh perkebunan rakyat
seluas 1.185.239 hektar atau (96,4%) perkebunan besar swasta hanya seluas 26.185 hektar
(2,12%) dan perkebunan besar negara seluas 22.578 hektar (1,84%) (Sudjatmoko, 2013). Dalam
hal penciptaan lapangan kerja komoditas kopi memberikan lapangan kerja kepada 1.88 juta KK
dengan luas kepemilikan rata-rata 0.6 hektar, sampai dengan saat ini tanaman kopi di Indonesia
masih didominasi kopi robusta (83%) di banding kopi arabika (17%) sementara pasar
internasional lebih menyukai kopi arabika (Ditjenbun, 2012).
Kopi biji maupun kopi olahan karena tidak terlepas dari masalah-masalah seperti
kurangnya pengetahuan penanganan panen dan pasca panen oleh petani sehingga mutu biji kopi
masih rendah baik sebagai bahan baku pada industri pengelolaan kopi maupun untuk ekspor.
Jaminan pasokan bahan baku kopi masih rendah baik dalam hal jumlah, mutu maupun
kontinutas, produktivitas tanaman kopi masih sangat rendah sedangkan kesadaran petani untuk
menggunakan benih unggul juga masih rendah. Sebagian besar areal kopi dikelola dalam bentuk
perkebunan rakyat dengan penerapan kultur teknis yang belum sesuai dengan teknologi anjuran,
terbatasnya fasilitas produksi dan pengolahan biji kopi misalnya mesin peralatan pengering,
pengupas dan sortasi utamanya ditingkat skala kecil dan menengah, terbatasnya penguasaan
teknologi proses pada tahap roasting, kurangnya kemampuan melakukan inovasi dan
diversifikasi produk sesuai dengan permintaan pasar domestik maupun internasional (Fikriyah,
2012).
2.3 Jenis Kopi
Robusta
Permasalahan pada penelitian kopi robusta ini yaitu dari hulu (on farm) hingga
hilir (off farm). Di sisi on farm, tingkat produktivitas kopi di Indonesia masih rendah, hal
tersebut disebabkan karena 95% kopi merupakan perkebunan rakyat yang umumnya
belum menggunakan bibit unggul, teknik budidaya masih sederhana, terlambat dalam
melakukan peremajaan tanaman, minimnya sarana, dan prasarana pendukung
mengakibatkan rendahnya mutu kopi (Nalurita dkk, 2014). Bagian hilir industri skala
kecil memiliki keterbatasan sarana dan prasarana produksi (mesin pengolahan), teknologi
yang tinggi dimiliki oleh industri skala menengah dan besar. Industri skala kecil kurang
berinovasi untuk menciptakan diversifikasi produk olahan kopi yang beragam. Manfaat
dari penelitian ini adalah petani dapat dibantu dalam pengambilan strategi guna
mengembangkan usaha budidaya kopi robusta mulai dari hulu (on farm) hingga ke hilir
(off farm) dan memberikan informasi kepada kelembagaan pemerintah.
Arabika
Kopi arabika Indonesia dewasa ini banyak menjadi kopi khusus yang merupakan
jenis kopi dengan citarasa terbaik, dengan aroma yang bersifat khas karena itu memiliki
pasar yang khusus potensi pengembangannya untuk Indonesia masih sangat terbuka
terutama dengan bergesernya konsumen kopi biasa ke kopi khusus di negara-negara
konsumen seperti Amerika Serikat. Beberapa jenis kopi arabika Indonesia tercatat
sebagai kopi khusus single origin Indonesia yang mempunyai reputasi di pasar
internasional karena mutu dan cita rasanya antara lain adalah : Mandailing dan Lintong
Coffee (Sumatra Utara), Gayo Mountain Coffee (Aceh), Java Arabika Coffee (Jawa
Timur), Bali Kintamani Coffee (Bali), Toraja dan Kalosi Coffee (Sulawesi-Selatan),
Flores Bajawa Coffee (NTT), Baliem Coffee (Papua), Luwak Arabika Coffee.
Pengolahan biji kopi menjadi kopi bubuk merupakan proses pengolahan kopi yang paling
sederhana, dimana biji kopi yang digoreng tanpa minyak (sangrai) kemudian dihancurkan dan
dikemas. Pembuatan kopi bubuk banyak dilakukan oleh petani, pedagang, industri kecil dan
pabrik. Pembuatan kopi bubuk dapat dibagi ke dalam dua tahap yaitu tahap penggorengan tanpa
minyak dan tahap penggilingan. Industri pengolahan kopi pada umumnya menggunakan bahan
baku biji kopi arabika dan robusta dengan komposisi perbandingan tertentu. Selain biji kopi,
industri pengolahan kopi juga membutuhkan bahan tambahan seperti gula, jagung, dan mentega
serta bahan penolong seperti kemasan (packing), pallet, dan krat (Departemen Perindustrian,
2009).
Industri kopi dalam negeri sangat beragam yang dimulai dari unit industri berskala home
industry hingga industri kopi berskala multinasional. Produk-produk yang dihasilkan tidak hanya
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi kopi dalam negeri, namun juga untuk mengisi pasar di
luar negeri. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi kopi di dalam negeri merupakan pasar
yang menarik bagi kalangan pengusaha yang masih memberikan prospek dan peluang sekaligus
menunjukkan adanya kondisi yang kondusif dalam berinvestasi di bidang industri kopi (Asosiasi
Eksportir dan Industri Kopi Indonesia, 2010)
Dasar pemikiran dari konsep pembangunan berkelanjutan pada awalnya dipublikasi oleh
World Commission on Environment and Development (WCED) pada tahun 1987 (Langhelle,
1999). Inti dari konsep tersebut menurut Munasinghe (2010) adalah integrasi antara 3 dimensi
utama, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan (ecology). Konsep pembangunan berkelanjutan
kemudian banyak diadopsi pada sistem pembangunan berbasis komoditi, misalnya pada kopi
(Adam dan Ghaly, 2007). Demikian juga pada bidang keilmuan yang lain, seperti manajemen
rantai pasok (Cuthbertson, 2011).
Tahap yang dilakukan untuk dapat memperoleh hasil dari MDS berdasarkan lima dimensi
atau aspek, yaitu ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, dan kelembagaan di antaranya (1)
penentuan atribut setiap dimensi, ditentukan melalui diskusi pakar, kajian pustaka, dan
pengamatan di lapangan. (2) Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal untuk mengetahui
keberlanjutan di setiap dimensi, pemberian skor dalam rentan 0 (buruk) sampai 3 (baik)
berdasarkan survei lapangan; (3) analisis ordinasi dengan MDS untuk menentukan status
keberlanjutan pada setiap dimensi dalam skala indeks keberlanjutan; (4) menilai indeks dan
status keberlanjutan di setiap dimensi; (5) penentuan atribut-atribut pengungkit sensitif di setiap
dimensi melalui analisis leverage, atribut sensitif yaitu atribut yang memiliki nilai Root Mean
Square (RMS) pada sumbu x, semakin besar nilai RMS maka semakin sensitif peranan atribut
tersebut terhadap peningkatan status keberlanjutan; (6) tahapan terakhir yaitu melalukan analisis
Monte Carlo untuk memperhitungkan dimensi ketidakapastian, dengan selang kepercayaan 95%.
(Kavanagh, 2001 dalam Hidayanto, 2009) nilai indeks Monte Carlo dibandingkan dengan
indeks MDS, nilai Stress dan koefisein deteminasi R² mempunyai fungsi untukmengetahui perlu
tidaknya penambahan atribut, dan mencerminkan keakuratan dimensi yang dikaji dengan
keadaan sebenarnya. Nilai S-Stress yang rendah menunjukkan good fit,Menurut Kavanagh dan
Pitcher 2004 dalam hidayanto 2009, hasil analisis cukup baik ditandai dengan nilai S-Stress
kurang dari 0,25 (S<0,25), dan R2 mendekati 1 (100%) (Hidayanto 2009). Diagram jaring laba-
laba untuk Multi Dimensional Scaling (MDS) dapat dilihat di bawah.
Kopi bubuk merupakan hasil dari pengolahan usahatani dari biji kopi. Mulai banyak
peminatnya untuk menjadi bahan minuman yang akan diolah kembali.
Rafflesia Coffee adalah salah satu usaha pembuatan kopi bubuk yang diolah sendiri oleh
pemilik. Sebelum diolah, pemilik usaha melihat langsung bahan baku dan membeli kepada
petani atau toke. Hal ini dilakukan agar pemilik usaha mengetahui kualitas biji kopi yang
nantinya akan diolah. Usaha Rafflesia Coffee tergolong cukup baru dan masih banyak hal yang
akan menjadi masukan, senhingga menjadi alasan kuat bagi peneliti untuk menjadikan Rafflesia
Coffee menjadi objek penelitian. Setelah pemilihan biji kopi, pengolah langsung membawa ke
pabrik dimana merupakan kediaman pribadi untuk melakukan segala macam urutan agar biji
kopi menjadi kopi bubuk.
Analisis keberlanjutan usaha Kopi Bubuk Rafflesia Coffee menggunakan analisis RAP-
Fish (Rapid Appraissal for Fisheries) dengan metode Multi Dimension Scalling (MDS) yang
dimodifikasi menjadi RAP-Coffee (Rapid Appraissal for Coffe) (Iswari, 2008).
Desty, dkk (2018) tentang “Analisis Keberlanjutan Biogas Limbah Tahu Pedesaan (Studi
Kasus Di Desa Kalisari, Kabupaten Banyumas)” Status berkelanjutan biogas limbah tahu pada
dimensi sosial, ekonomi, ekologi dan kelembagaan adalah cukup berkelanjutan sedangkan pada
dimensi teknologi berstatus kurang berkelanjutan. Faktor yang mempengaruhi status cukup
berkelanjutan pada 4 dimensi tersebut adalah biogas menyediakan energi bersih dan murah
sehingga masyarakat saat ini dapat mengurangi ketergantungan penggunaan gas elpiji 3 kg yang
keberadaannya semakin langka serta harganya cukup mahal bagi masyarakat pedesaan. Selain
itu, solusi pencemaran bau limbah tahu saat ini hanya dapat diatasi oleh instalasi biogas sehingga
ke depannya masyarakat optimis mengembangkan biogas limbah tahu sebagai energi alternatif
mereka.
Elida dkk (2012) dalam penelitan tentang “analisis keberlanjutan kawasan usaha perkebunan
kopi (kupk) rakyat di desa Sidomulyo kabupaten Jember” berdasarkan simulasi program Rap-
Coffee untuk masing-masing dimensi diketahui bahwa dimensi ekonomi tidak berkelanjutan.
Berdasarkan gabungan simultan antara keempat dimensi, indeks keberlanjutan KUPK Desa
Sidomulyo adalah 59.5 % yang berarti berlanjut. Indeks keberlanjutan ini dapat ditingkatkan
apabila dilakukan perbaikan terhadap faktor-faktor yang sensitif untuk masing-masing dimensi.
Oleh karena itu di dalam perencanaan kebijakan untuk pengembangan KUPK Desa Sidomulyo
sebaiknya memprioritaskan pada peningkatan indikator yang memiliki sensitivitas tinggi di
masing-masing dimensi. Dimensi teknologi merupakan salah satu aspek penting untuk
meningkatkan mutu kopi rakyat.
Seppa dkk (2020) tentang “strategi peningkatan kinerja dan keberlanjutan rantai pasok
agroindustri kopi robusta di kabupaten Tanggamus” menunjukkan bahwa penilaian keberlanjutan
dilakukan melalui analisis dimensi ekonomi, sosial, lingkungan, teknologi, dan 24 indikator
keberlanjutan. Hasil nilai keberlanjutan mengindikasikan dua indikator sensitif terhadap
keberlanjutan dimensi ekonomi, yaitu responsif terhadap pelanggan dan efisiensi biaya, dua
indikator sosial yang sensitif, yaitu penegakan hukum sengketa lahan dan ketenagakerjaan, dua
indikator lingkungan yaitu pengolahan limbah dan konsumsi energi serta enam indikator
teknologi yang dinilai memiliki nilai sensitif terhadap keberlanjutan rantai pasok. Berdasarkan
hasil penilaian indikator keberlanjutan, maka status keberlanjutan berada dalam kisaran hampir
berkelanjutan, selanjutnya perlu ditingkatkan menjadi status berkelanjutan dalam dimensi
ekonomi, sosial, lingkungan dan teknologi.
Kopi Bubuk
Rafflesia Coffee
1. Dimensi Ekologi
2. Dimensi Ekonomi
3. Dimensi Sosial
4. Dimensi Teknologi
5. Dimensi Kelembagaan
MDS:
Analisis Keberlanjutan
2.8 Hipotesa
Dimensi Ekologi, Dimensi Ekonomi, Dimensi Sosial, Dimensi Teknologi, dan Dimensi
Kelembagaan diduga mempengaruhi dalam keberlanjutan usaha kopi bubuk Rafflesia Coffee
BAB III
METODE PENELITIAN
TC = TVC + TFC
Keterangan:
TVC = Biaya Tidak tetap (Variabel Cost)
TFC = Biaya tetap (Fixed Cost)
TR = Total Penerimaan (Total Revenue) dirumuskan sebagai berikut:
TR = Q x Py
Keterangan:
Q = Kuantitas Produksi
Py = Harga
Posisi titik-titik keberlanjutan pembangunan ini secara visual akan sangat sulit
dibayangkan mengingat dimensinya sangat banyak. Oleh karena itu, untuk memudahkan
visualisasi posisi ini digunakan analisis ordinasi dengan metoda multidimensional scaling
(MDS). Dalam MDS, dua titik atau objek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling
berdekatan. Sebaliknya, objek atau titik yang tidak sama digambarkan dengan titik-titik yang
berjauhan. Titik-titik ini juga akan sangat berguna di dalam analisis regresi untuk menghitung
“stress” yang merupakan bagian dari metode MDS. Nilai skor pada setiap atribut akan
membentuk matriks X (n x p), n adalah jumlah wilayah beserta titik-titik acuannya, p adalah
jumlah atribut yang digunakan. Kemudian dilakukan standarisasi nilai skor untuk setiap atribut
sehingga setiap atribut mempunyai bobot yang seragam dan perbedaan antar skala pengukuran
dapat dihilangkan.
Metode standarisasi adalah:
Xik sd = Xik – Xk Sk
Keterangan: Xik sd = nilai skor standar wilayah (termasuk titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p;
Xik = nilai skor awal wilayah (termasuk titik-titik acuannya) ke-i = 1,2,…n, pada
setiap atribut ke k = 1,2,…p; Xk = nilai tengah skor pada setiap atribut ke k = 1,2,
…p;
Sk = simpangan baku skor pada setiap atribut ke k = 1,2,…p.
Adapun langkah-langkah untuk mengukur biaya produki pada kopi bubuk Raflessia di kota
Bengkulu sebagai berikut:
Biaya Bahan Baku = Saldo awal bahan baku + Pembelian bahan baku – Saldo akhir bahan
baku
Biaya produksi = biaya bahan baku + Biaya tenaga kerja langsung + Biaya overhead Produksi
Harga produksi = Total biaya produksi + Saldo awal persediaan barang – Saldo akhir
persediaan barang
4. Menghitung HPP
Cara Menghitung HPP dapat dihitung dengan menjumlahkan harga pokok produksi
dengan persediaan barang awal kemudian dikurangi persediaan barang akhir. Rumus
Menghitung HPP dapat dituliskan sebagai berikut:
Harga Pokok Penjualan (HPP) = Harga pokok produksi + Persediaan barang awal –
Persediaan barang akhir
5. Menghitung perbandingan margin
Yang di maksud dengan Margin di sini adalah persentase keuntungan atau laba yang
diharapkan. Yaitu dengan cara menentukan harga jual dengan menjadikan margin sebagai
patokan:
Adapun beberapa proses produksi dari kopi bubuk Raflessia di Kota Bengkulu sebagai berikut:
1. Kopi Bubuk merupakan salah satu produk olahan dari biji kopi setelah melewati proses
sangrai, penggilingan, dan pengemasan.
2. Usaha merupakan setiap aktivitas yang dilakukan manusia untuk mendapatkan apa yang
diinginkan. Jika diartikan secara khusus, istilah usaha dapat diartikan ke dalam banyak
makna dan sangat bergantung dengan di mana istilah usaha ini digunakan.
3. Kualitas adalah tingkat baik atau buruknya, mutu, taraf atau derajat sesuatu kesesuaian
antara spesifikasi produk dengan kebutuhan konsumen, atau tingkat baik buruknya
sebuah produk (barang atau jasa) di mata penggunanya.
4. Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap
keputusan yang diambil oleh seorang biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik
itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan
dari sebuah pelaksanaan.
5. Limbah adalah bahan pembuangan tidak terpakai yang berdampak negatif bagi
masyarakat jika tidak dikelola dengan baik. Limbah merupakan sisa produksi, baik dari
alam maupun hasil kegiatan manusia.
6. Lokasi Lokasi adalah tempat suatu usaha atau aktivitas perusahaan beroperasi dan
melakukan kegiatan untuk menghasilkan barang, jasa atau tempat konsumen untuk
datang dan berbelanja.
7. Harga adalah senilai uang yang harus dibayarkan konsumen kepada penjual untuk
mendapatkan barang atau jasa yang ingin dibelinya. Oleh sebab itu, harga pada umumnya
ditentukan oleh penjual atau pemilik jasa. Akan tetapi, dalam seni jual beli, pembeli atau
konsumen dapat menawar harga tersebut.
8. Daya Saing adalah konsep perbandingan kemampuan dan kinerja perusahaan, sub-sektor
atau negara untuk menjual dan memasok barang dan atau jasa yang diberikan dalam
pasar. Daya saing sebuah negara dapat dicapai dari akumulasi daya saing strategis setiap
perusahaan.
9. Kontribusi merupakan daya dukung atau sumbangsih yang diberikan oleh sesuatu hal,
yang memberi peran atas tercapainya sesuatu yang lebih baik. Secara sederhana dapat
diartikan sebagai sumbangan.
10. Intensifikasi adalah Peningkatan kapasitas bisnis yang merujuk pada upaya untuk meningkatkan
omzet bisnis dengan cara mengoptimalkan potensi bisnis yang ada. Dalam hal ini, pebisnis tidak
melakukan suatu inovasi baru.
11. Eksistensi Dalam kamus lengkap bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa: “Eksistensi artinya
Keberadaan, maka yang dimaksud dengan eksistensi adalah suatu keberadaan atau
keadaan kegiatan usahanya masih ada dari dulu hingga sampai sekarang dan masih
diterima oleh lingkungan masyarakat perawang, dan keadaannya tersebut lebih dikenal
atau lebih eksis dikalangan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, M., Ghaly, A.E. 2007. Maximizing sustainability of the costarican coffee industry.
Journal of Cleaner Production, 15: 1716-1729.
Adnyana, Made Oka. 2001. Pengebangan Sistem Usaha Pertanian Berkelanjutan. JurnalFAE,
19(2), 38-49.
AEKI (Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia). 2013. Perkembangan Konsumsi Kopi di
Indonesia. http://www.aeki-aice.org. Akses tanggal 1 September 2015. Ciamis.
Ati Kusmiati&Reni Windiarti.2011. Analisis Wilayah Komoditas Kopi Di Indonesia.J-SEP Vol.
5 No. 2 Juli 2011
Brklacich, M., Bryant, C.R. and Smith,B. 1991.Review and Appraisal ofConcept ofSustainable
Food Production Systems. Environ. Management, 15(1),1-1 4.
Budiasa, I Wayan. 2011. Pertanian Berkelanjutan dan Teori Pemodelan.
UdayanaUniversity Press: Denpasar,
Chandra, D., Ismono, R. H., & Kasymir, E. (2013). Prospek perdagangan kopi Robusta
Indonesia di pasar internasional. Jurnal Ilmu-Ilmu Agribisnis, 1(1), 10–15.
Cuthbertson, R. 2011. The need for sustainable supply chain management di dalam Sustainable
Supply Chain Management: Practical Ideas for Moving Towards Best Practice. Springer-
Verlag Berlin Heidelberg
Darmanto, S. M., Adib, A., & Wijayanti, A. Perancangan Corporate Identity Dan Kemasan Kopi
Surya Kintamani Bali. (On line) (publication.petra.ac.id, diakses 11 Juni 2018).
Departemen Perindustrian. 2009. Dasar-Dasar Penyuluhan Pertanian.
http://www.pustaka.deptan.go.id. Departemen Pertanian. Jakarta. Akses tanggal 1
September 2015. Ciamis.
Ditjen Perkebunan, 2012. Sasaran Luas Areal Komoditas Unggulan
Nasional.http://www.ditjenperkebu nan.co.id.
Fikriyah, 2012.Dinamika Kopi Sulawesi di Pasar Global dan Pengaruhnya terhadap rantai kopi
lokal di Sulawesi-Selatan.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Program
Sarjana Geografi. Universitas Indonesia. Depok.
Hariyati, Y., Sofia, & Sumarno, J. 2013. Pengembangan Agroindustri Pedesaan Berbasis
KopiMenuju Produk Specialty Kabupaten Jember. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Strategis Nasional. Lembaga Penelitian Universitas Jember.
Hidayanto, M., S. Supiandi., S. Yahya., Dan L., I. Amien. 2009. Analisis Keberlanjutan
Perkebunan Kakao Rakyat Di Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan,
Provinsi Kalimatan Timur. Jurnal Agro Ekonomi. 27(2): 213-229 .
Hurni, H. 2000. Assessing sustainable land management (SLM). Agric. Ecosys. Environ. 81: 83-
92.
Najiyati, S., Danarti. 2007. Kopi: Budidaya dan Penanganan Lepas Panen. Seri Pertanian.
Penebar Swadaya. Jakarta
Narulita, S., Ratna, W.A., & Siti, J. 2014. Analisis Daya Saing Dan Strategi Pengembangan
Agribisnis Kopi Indonesia. Jurnal Agribisnis Indonesia, 2(1): 63–74.
Novita, E., Suryaningrat, I. B., Adriyani, I., dan Widyotomo, S. 2012. Analisis Keberlanjutan
Kawasan Usaha Perkebunan Kopi (KUPK) Rakyat Di Desa Sidomulyo Kabupaten
Jember. Jurnal Agritech. Vol. 32(2).
Rahardjo, P. 2012. Panduan Budidaya dan Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta. Penebar
Swadaya. Jakarta.
Ramli R.2012. Beberapa Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Tidak TuntasnyaPenerapan Inovasi
Teknologi oleh Petani Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah. Dalam Prosiding
Seminar Nasional: Petani dan Pembangunan Pertanian. Pusat Sosial Ekonomidan
Kebijakan Pertanian. Bogor (ID).
Retno Murwanti . 2016. Analisis Keberlanjutan Usahatani Kopi Rakyat Di Kecamatan Silo
Kabupaten Jember. jurnal.unmuhjember.ac.id. Akses tanggal 18 Mei 2021
Statistik. 2019. Statistik Kopi Indonesi 2019. Badan Pusat Statistik.
Sugiarti, S. (2010). Analisis pemasaran kopi di Kecamatan Bermani Ulu Raya Kabupaten Rejang
Lebong. Jurnal AGRISEP, 9(2), 130–136.
Sudjatmoko, 2013.Kopi Sejarah, Botani, Proses Produksi, Pengolahan Produksi Hilir dan Sistem
Kemitraan.ICCRI
Udayana, I. G. B. 2010. Peran Agroindustri dalam Pembangunan Pertanian. Singhadwala, 44. pp.
3-8. ISSN 0852-775. Universitas Warmadewa. Denpasar
Widyotomo, S. 2013. Potensi Dan Teknologi Diversifikasi Limbah Kopi Menjadi Produk
Bermutu Dan Bernilai Tambah. Review Penelitian Kopi Dan Kakao. Vol. 1(1): 63-Badan
Pusat
Wilkinson et al, 2007. United Nation Division for Sustainable Development. Document:
Sustainable Development Issue Retrieved, 2007.